Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

EFEK SAMPING OBAT-OBAT ANTI PSIKOTIK

Oleh:
Febri Astiasuri, S.Ked (H1AP10011)

Pembimbing:
dr. Norevia Eurelyn, Sp.KJ

SMF BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


RSJKO SOEPRAPTO KOTA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021

HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Febri Astiasuri, S.Ked
NPM : H1AP10011
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Judul : Efek Samping Obat-Obat Anti Psikotik
Bagian : Ilmu Kesehatan Jiwa
Pembimbing : dr. Norevia Eurelyn, Sp.KJ

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik di


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Bengkulu.

Bengkulu, Maret 2021

Pembimbing

dr. Norevia Eurelyn, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah


SWT. akhirnya penulis dapat merampungkan referat dengan judul “Efek
Samping Obat-Obat Anti Psikotik” ini dengan baik.

Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSJ Soeprapto Kota
Bengkulu, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini, penulis telah melibatkan
berbagai pihak yang berperan memberikan bantuan kepada penulis. Oleh karena
itu, penulis ingin menghaturkan ribuan terima kasih kepada:

1. dr. Norevia Eurelyn, Sp.KJ sebagai pembimbing yang telah bersedia


meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Keluarga dan teman – teman yang telah memberikan bantuan baik material,
moril, maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun referat ini.
Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang positif sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan referat ini. Akhir kata semoga referat ini dapat memberikan
manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pembaca.

Bengkulu, Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1..................................................................................................................................
LATAR BELAKANG ........................................................................... 1
1.2..................................................................................................................................
TUJUAN ................................................................................................ 2
1.3..................................................................................................................................
MANFAAT ............................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1. DEFINISI ............................................................................................... 3
2.2. INDIKASI TERAUPETIK .....................................................................
3
2.3. JENIS ANTI PSIKOTIK ........................................................................
4
2.4. ANTIPSIKOTIK TIPIKAL/ ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA
(APG 1) …………….............................................................................. 5
2.4.1 SEDIAAN OBAT .......................................................................
6
2.4.2 MEKANISME KERJA OBAT ...................................................
6
2.4.3 EFEK SAMPING OBAT ............................................................
9
2.5. ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL/ ANTIPSIKOTIK GENERASI
PERTAMA (APG 2) ............................................................................
21

iv
2.5.1 SEDIAAN OBAT .....................................................................
21
2.5.2 MEKANISME KERJA OBAT .................................................
22
2.5.3 EFEK SAMPING OBAT ..........................................................
25
BAB III. PENUTUP ............................................................................................. 32
3.1. KESIMPULAN .............................................................................
........ 32
DAFTAR PUSTAKA .…..................................................................................... 33

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin
dalam berbagai jaras di otak. Obat-obatan antipsikotik dapat diklasifikasikan
dalam kelompok tipikal dan atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan golongan
obat yang memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak,
khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor
antagonist).1
Istilah antipsikotik dan neuroleptik secara bergantian digunakan untuk
kelompok obat yang digunakan untuk terapi skizofrenia, tetapi juga efektif untuk
keadaan psikosis atau agitatif yang disebabkan karena hal lain. Obat-obatan
antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptic karena memiliki beberapa
efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut
pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek
sedasi atau mengantuk berat.2

Antipsikotik telah digunakan di kedokteran barat selama lebih 50 tahun.


Reserpine dan klorpromazin merupakan obat-obat pertama yang ditemukan untuk
mengobati skizofrenia. Sampai saat ini terus berkembang bahwa obat antipsikotik
sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan
dikembangkannya golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala
ekstrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah
antipsikotik. Selanjutnya ditemukan generasi kedua antipsikotik yang
penggunaannya cukup luas hingga selama 4 dekade. Pada tahun 1990, ditemukan
klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik golongan atipikal.
Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang umum terjadi dengan obat antipsikotik tipikal yang
ditemukan lebih dulu, sejak ditemukan klozapin, pengembangan obat baru
golongan atipikal ini terus dilakukan, hal ini terlihat dengan ditemukannya obat
baru yaitu risperidon, olanzapine, zotepin, ziprasidon dan lainnya.1

1
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi
dalam menghambat reseptor dopamine 2, hal inilah yang diperkirakan
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat, obat golongan atipikal pada
umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamine 2, selain itu juga
memiliki afinitas terhadap reseptor dopamine 4, serotonin, histamine, reseptor
muskarinik, dan reseptor alfa adrenergic. 1 Pemberian obat antipsikotik tipikal
umumnya pada pasien dengan gejala positif seperti halusinasi, delusi, gangguan
isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien psikotik dengan gejala negatif obat
tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan. Sehingga pemberian obat psikotik
atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal memiliki kemampuan untuk
meningkatkan aktivitas dopaminergik kortikal prefrontal sehingga dengan
peningkatan aktivitas tersebut dapat memperbaiki fungsi kognitif dan gejala
negatif.

1.2. TUJUAN
Adapun tujuan referat ini yaitu untuk mengetahui definisi, indikasi
teraupetik, jenis anti psikotik, mekanisme kerja obat, dan efek samping yang
ditimbulkannya.

1.3. MANFAAT
 Bagi Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Kota Bengkulu
Sebagai bahan referensi untuk menambah pengetahuan mengenai efek samping
obat anti psikotik yang dapat ditemui pada pasien-pasien di RSJ Kota
Bengkulu.
 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Menambah wawasan dan pengetahuan bagi civitas akademika di lingkungan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu mengenai efek
samping obat anti psikotik.
 Bagi Penulis

2
Sebagai pengalaman untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam
mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama proses belajar
dalam perkuliahan mengenai efek samping obat anti psikotik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Obat psikotropik atau psikotropika adalah obat yang bekerja secara selektif
pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas
mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk terapi
gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication).1

2.2. INDIKASI TERAUPETIK


Gejala Sasaran (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS1
Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis:
1. Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing
ability), bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang
terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan
diri (insight) terganggu.
2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala
POSITIF : gangguan asosiasi pikiran (inkohherensi), isi pikiran yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak
sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized),
dan gejala NEGATIF : gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi
minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis), gangguan
proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang stereotip dan tidak ada
insiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia).
3. Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam
gejala: tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan
kegiatan rutin.

3
Sindrom psikosis dapat terjadi pada :
 Sindrom Psikosis Fungsional : Skizofrenia, Psikosis paranoid, Psikosis
Afektir, Psikosis Reaktif singkat dll.
 Sindrom Psikosis Organik : Sindrom Delirium, Dementia, Intoksikasi
alkohol, dll

2.3. JENIS ANTI PSIKOTIK


Obat anti psikotik digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu:1
NO NAMA OBAT
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
 Rantai aliphatic : chlorpromazine
 Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
 Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole

4
2.4. ANTIPSIKOTIK TIPIKAL/ ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA
(APG 1)
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan
antipsikotik generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai
cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine
pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor
Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal. Dapat menurunkan
gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala
negative.1,2

5
2.4.1. Sediaan Obat
Obat-obat Anti Psikotik Tipikal :1

2.4.2. Mekanisme Kerja Obat


Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem
ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala
positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-
neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang
berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-
neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari
sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus
anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang

6
berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.3,4

Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2


khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,3,4
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,
dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.3,4
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik
dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur
nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,
mengontrol movements atau pergerakan.2,4
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi
seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin
tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.2,4
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat

7
bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,4

8
2.4.3. Efek Samping Obat
Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine
ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu,
berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang
ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek
samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat
memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan
efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek
samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup
pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .1,2,3

9
A. Efek Samping Non neurologis1,3,4
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan
dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan
perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi
segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada
gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes
yang sangat mematikan, mungkin menjelaskan mengapa overdosis piperidin
phenotiazine merupakan obat yang paling letal di dalam obat ini. Jika interval
QT melampaui 0,44 ms, terdapat hubungan berupa meningkatnya risiko
terjadinya kematian mendadak, mungkin akibat takikardia ventrikuler atau
fibrilasi ventrikuler.

- Kematian Mendadak.

10
Efek antagonis reseptor dopamine pada jantung di dalilkan sebagai
penyebab kematian mendadak pada pasien yang mendapatkan terapi obat
tersebut. Namun, evaluasi literatur yang teliti menunjukkan bahwa mengaikat
kematian mendadak dengan obat antagonis reseptor dopamin yang digunakan
sendiri (tanpa obat lain) merupakan hal yang prematur.
Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia
lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum
potassium dan magnesium.2

- Hipotensi ortostatik (postural)


Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic
yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, terutama
chlorpromazine, thioridazine, chlorprothixene, dan clozapin. Keadaan ini
terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat
yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya
kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM),
tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis
pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang
efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan sangat membantu pasien
sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien
yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan
membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi
volume dengan cairan sangat membantu. Pemberian epinefrin
dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan
norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak
menghambat adrenergic.2,3,4

2. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat
pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada

11
hampir semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah
suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah
granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di
tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan
kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia,
radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi
dengan insidensi sekitar 1 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.
Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung
darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan
terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera
dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura
trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat
terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik. 2

3. Efek Antikolinergik Perifer


Efek kolinergik perifer sangat sering ditemukan, terdiri dari mulut dan
hidung kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin,
dan midriasis. Beberapa pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine
adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan
dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering
membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau
permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan
infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi
harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta
preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi
ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau
penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin
berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 2,3,4

12
4. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular
menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan
pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut
dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan
impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan
pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,
dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis
adrenergic α1.
Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling
sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan
nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didapatkan karena adanya blok
pada reseptor 5 HT2c2,3,4.

5. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah
kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan
antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi
kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah
dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai
proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan
tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih
dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan

13
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 2
6. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila
diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek
tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan
dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi
kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.2
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif
ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa
anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3
kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi
granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak
mempengaruhi penglihatan pasien. 3,4

7. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang
relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus
muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian
atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan
peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika
ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi
pada fluphenazine dan trifluoperazine.2

B. Efek Samping Neurologis


Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang
mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.
Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal.
Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada

14
DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 2,3

1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik


Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 %
pasien yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30
hari setelah awal terapi.
Parkinsonisme yang dicetuskan neuroleptik terutama ditandai oleh
trias yaitu: tremor saat istirahat, rigiditas, dan bradikinesia. Tremor
parkinsonisme yang khas bergetar dengan laju tetap 3 hingga 6 siklus per
detik, dan dapat ditekan oleh gerakan yang disengaja. Rigiditas merupakan
gangguan tonus otot yaitu tegangan yang mendasari dan terjadi secara
involunteer di otot. Gangguan tonus dapat mengakibatkan hipertonia
(rigiditas) atau hipotonia. Hipertonia terkait parkinsonism yang dicetuskan
neuroleptik merupakan jenis yang pasti, yang tonusnya terus menerus
meningkat, atau jenis roda gigi yang tremornya bertumpang tindih dengan
rigiditas. Rigiditas roda gigi tampak ketika pemeriksa merotasi tangan di
sekeliling aksis pergelangan tangan dan menemukan resistensi ritmik yang
regular dan mirip roda bergigi searah. Sindrom bradikinesia dapat mencakup
tampilan wajah orang mirip topeng. Menurunnya gerakan lengan aksesori
tambahan ketika pasien berjalan, dan kesulitan yang khas untuk memulai
gerakan. Sindrom kelinci adalah tremor yang mengenai lidah dan otot perioral,
sindrom ini merupakan bagian dari sindrom parkinsonisme yang dicetuskan
neuroleptik yang paling lazim di pertimbangkan, meskipun sering terjadi di
kemudian hari dibandingkan dengan gejala lain. Gambaran parkinsonisme lain
mencakup berpikir lambat, perburukan gejala negatif, ludah berlebihan,
berliur, jalan diseret, mikrografia, seborea dan disforia.2
Patofisiologi parkinsonisme yang dicetuskan neuroleptik meliputi
blockade reseptor dopamin tipe 2 di kaudatus pada akhir neuron dopamin
nigrostriatal, neuron yang sama yang mengalami degenerasi pada penyakit
parkinson idiopatik. Pasien lanjut usia dan perempuan memiliki risiko tinggi
mengalami parkinsonisme yang dicetuskan neuroleptik. Perbandingan

15
perempuan dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik
adalah 2:1.2
Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang
positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan
reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan
ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak
ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan
gejala parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala
negatif atau defisit pada skizofrenia. 2,3,4
Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme,
khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah.
Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah
penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 2
Ketika timbul gejala parkinsonisme, terdapat 3 langkah terapi yaitu:
1. Mengurangi dosis neuroleptik
2. Memberikan obat anti ekstrapiramidal,
3. Mengubah neuroleptik tersebut
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian
obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus
dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira
50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan
terapi. Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan
karena akan memperburuk gejala psikotiknya.2,3,4
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala
parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3
bulan sehingga perlu meneruskan pemberian antikolinergik setelah
menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya.2
Antagonis dopamine-serotonin/ Anti psikotik golongan ke-2
merupakan alternatif yang dianjurkan untuk mengganti antagonis reseptor
dopamin pada pasien dengan gangguan gerakan yang dicetuskan neuroleptik.

16
2. Distonia Akut akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi
antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi
dalam beberapa jam atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia
disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus
yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher
(tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang
menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan
keseluruhan tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis
okulorigik, ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe
distonia lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi.
Distonia lain berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan
diartria, disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis.2,3
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin
tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada
semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi
tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas
dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP
mulai menurun diantara pemberian dosis. 2,3,4
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan
biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi
profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau
diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan
hipnosis dilaporkan juga efektif.2,3

3. Akatisia Akut akibat Neuroleptik

17
Akatisia ditandai dengan perasaan subjektif berupa gelisah dan tanda
objektif gelisah, atau keduanya. Contohnya mencakup rasa ansietas, tidak
dapat bersantai, gelisah, berjalan mondar-mandir, gerakan berayun saat sedang
duduk, dan perubahan yang cepat antara duduk dan berdiri. Akatisia sering
dapat di salah diagnosis sebagai ansietas atau agitasi psikotik yang meningkat,
dan dapat menyebabkan ditingkatkannya dosis obat anti psikotik, yang
sebenarnya akan memperberat keadaan. Perempuan berusia pertengahan
memiliki peningkatan risiko untuk mengalami akatisia dan perjalanan
waktunya serupa dengan parkinsonisme yang dicetuskan neuroleptik. Akatisia
dikaitkan dengan penggunaan suatu besaran luas obat psikiatri termasuk
antipsikotik, antidepresan, dan simpatomimetik. Laporan terkini mengaitkan
akatisia dengan hasil terapi yang buruk.
Tiga langkah utama di dalam terapi akatisia yaitu mengurangi dosis obat
neuroleptik, mencoba terapi dengan obat yang sesuai, dan mempertimbangkan
untuk mengubah obat neuroleptik tersebut. Obat yang paling efektif di dalam
terapi akatisia adalah antagonis reseptor beta-adrenergik, meskipun obat
antikolinergik, benzodiazepine, dan cyproheptadine dapat memberikan
keuntungan bagi sejumlah pasien. Pasien mungkin lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami akatisia jika menerima neuroleptik potensi
rendah contohnya thioridazine dari pada saat menerima neuroleptik potensi
tinggi contohnya haloperidol.

4. Diskinesia Tardive akibat Neuroleptik


Diskinesia tardive yang dicetuskan neuroleptik adalah gangguan gerakan
koreoatetoid involunter yang muncul lambat. Gerakan yang paling lazim
meliputi regio orofasial bersama dengan gerakan koreoatetoid jari tangan dan
jari kaki. Gerakan atetoid kepala, leher dan pinggul juga terjadi pada pasien
yang terkena gangguan berat. Pada kasus yang paling serius, pasien dapat
mengalami ketidakteraturan pernafasan dan menelan yang mengakibatkan
aerofagia, bersendawa, dan mengorok.

18
Faktor resiko diskinesia tardive yang terdapat pada hingga 25% pasien
yang diterapi dengan antagonis reseptor dopamin selama lebih dari 4 tahun,
mencakup terapi yang lama dengan neuroleptic, semakin tua usia, jenis
kelamin perempuan, adanya gangguan mood, serta adanya gangguan kognitif.
Distonia tardive dapat timbul beberapa tahun setelah pajanan dengan
neuroleptik, lebih lazim ditemukan pada pasien yang lebih mudah dan dapat
terjadi bersamaan dengan diskinesia tardive. Distonia tardive ditandai dengan
gerakan involunter yang lama atau lambat pada leher, batang tubuh, wajah
atau ekstremitas.
Meskipun berbagai terapi diskinesia tardive belum berhasil perjalanan
gangguan diskinesia tardive dianggap tidak seberat dari yang sebelumnya
diperkirakan. SDA terkait dengan risiko yang sangat rendah untuk mengalami
diskinesia tardive, sehingga merupakan pendekatan terapi yang efektif. Pasien
dengan diskinesia tardive sering mengalami perburukan gejala ketika
antagonis reseptor dopamine dihentikan, sedangkan penggantian SDA dapat
membatasi gerakan abnormal tanpa memperburuk diskinesia.2

5. Sindrom Neuroleptik Maligna


Prevalensi sindrom neuroleptik maligna diperkirakan 0,02 hingga 2,4
persen dari pasien yang terpajan antagonis reseptor dopamine. Sindrom
neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat
terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Hal ini dapat terjadi
karena reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.2
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia,
akinesia, mutisme, obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah
hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan
darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel darah putih,
kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria,
kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 2,3

19
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan
perawatan suprotif dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60
mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut
kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-
2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan
dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30
mg/hari dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada
penanganan SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan
kembali.2,3

6. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan
peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana
antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik
potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat
potensi tinggi. 2,3,4

7. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor
dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling
menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur

20
biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek
merugikan tersebut dapat terjadi. 2,3

8. Efek Antikolinergik Sentral


Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi
terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi
pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah
pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian anticholinergic agents
seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari.
Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari antipsikotik. 2,3

2.5. ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL/ ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA


(APG 2)
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)
atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
antara serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang
menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi
gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat
memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 2,5

2.5.1. Sediaan Obat


Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping
yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik. 3

21
Obat-obat Anti Psikotik Atipikal :1

2.5.2. Mekanisme Kerja Obat

1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin
dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT 2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.

22
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan
sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih
banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga
menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.2,3,4

2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.2,3

3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT 2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.2,3

4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi
jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan
terjadi kelainan pergerakan seperti pada parkinson yang disebut extrapyramidal
reaction. Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, distonia (terutama pada wajah
dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:

23
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya
pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.2,3

2.5.3. Efek Samping Obat2

24
Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai anti psikotik atipikal
bervariasi dan spesifik pada masing-masing obat.
 Risperidone
Penambahan berat badan, anxietas, mual dan muntah rinitis, disfungsi ereksi,
dan disfungsi orgasmik dikaitkan dengan penggunaan risperidone. Alasan terkait
obat yang paling lazim untuk penghentiaan penggunaan risperidone adalah gejala
ekstrapiramidal, pusing, hiperkinesia, somnolen, dan mual.

 Olanzapine
Somnolen, mulut kering, pusing, konstipasi, dispepsia, meningkatnya nafsu
makan dan tremor terkait dengan penggunaan olanzapine. Olanzapine lebih
cenderung meningkatkan berat badan dibandingkan risperidone.

 Quetiapine
Efek simpang quentiapine yang paling lazim adalah somnolen, hipotensi
postural, dan pusing, yang biasanya bersifat sementara dan paling baik di
tatalaksana dengan titrasi dosis meningkat secara bertahap. Quentiapine tampak
tidak menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Quentiapine menyebabkan sedikit
peningkatan berat badan sementara pada 23 persen orang, terjadi sedikit
peningkatan denyut jantung, konstipasi, dan peningkatan transaminase hati hati
sementara.

 Clozapine
Efek simpang terkait obat yang paling lazim adalah sedasi, pusing, synkope,
takikardia, hipotensi perubahan elektrokardiogram (EKG), mual dan muntah,
leukopenia, granulositopenia, agranulosistosis, dan demam terjadi pada kira-kira 1
persenn pasien. Efek simpang lain yang lazim mencakup kelelahan, sialorea,
penambahan berat badan, berbagai gejala gastrintestinal (paling sering konstipasi),
efek antikolinergik, dan kelemahan otot subjekif. Perubahan metabolisme insulin
telah dilaporkan. Risiko terjadinya bangkitan kira-kira pada 4 persen pasien yang

25
mengkonsumsi dosis diatas 600 mg perhari. Miokarditis dan kardiomiopati juga
merupakan efek simpang yang dilaporkan.

 Ziprasidone
Efek simpang paling lazim pada pasien yang mengkonsumsi ziprasidone
adalah somnolen, sakit kepala, pusing, mual, dan seperti akan pingsan.
Ziprasidone hampir tidak memiliki efek signifikan diluar sistem saraf pusat (SSP)
dan hampir tidak menyebabkan penambahan berat badan; meskipun demikian,
perpanjangan QT berpotensi fatal pada pasien dengan riwayat aritmia jantung.

 Aripiprazole
Aripriprazole tampak terkait dnegan risiko gejala ekstrapiramidal yang
rendah, sedasi ringan, penambahan berat badan ringan, tidak ada perpanjangan QT
dan peningkatan prolaktin. Diperlukan informasi tambahan mengenai efek
simpang. Efek samping terkait yang paling lazim mencakup sakit kepala, anxietas,
dan insomnia.

 Sindrom Neuroleptik Maligna


Meskipun jarang terjadi pada penggunaan SDA, semua obat antispikotik
dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna. Sindrom ini terdiri atas rigiditas
otot, demam, distonia, akinesia, mutisme, pergantian antara obtundasi dan agitasi,
diaforesis, tremor, inkontinensia, tekanan darah labil, leukositosis dan
meningkatnya kreatinin fosfokinase (CPK). Sindrom neuroleptik maligna
dilaporkan pada penggunaan clozapine, risperidone, dan olanzapin, serta harus
dipertimbangkan di dalam diagnosis demam pada orang yang diterapi dengan
clozapine.

 Diskinesia Tardive
SDA jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan antagonis reseptor
dopamine untuk menyebabkan diskinesia tardive akibat terapi. Labih jauh lagi,
SDA mengurangi gejala diskinesia tardive dan terutama diindikasikan untuk

26
orang psikotik dengan diskinesia tardive yang telah ada sebelumnya, diskinesia
tardive dapat terjadi pada orang yang diterapi dengan antagonis reseptor dopamine
selama setidaknya 1 bulan. Dengan demikian, penggunaan antagonis reseptor
dopamine untuk rumatan jangka panjang pasien dengan psikosis telah menjadi
praktek yang dapat dipertanyakan. SDA sebaiknya menggantikan antagonis
reseptor dopamine untuk terapi jangka panjang.

 Hipotensi ortostatik, sinkop, dan takikardia


Semua SDA, paling sering quetiapine, menyebabkan hipotensi ortostatik,
terutama jika dosisnya ditingkatkan dengan cepat. SDA harus digunakan dengan
hati-hati pada orang dengan hipotensi , diabetes melitus, atau infark miokardium
serta mereka yang mengonsumsi obat antihipertensif. Clozapine menyebabkan
hipertensi paradoksal pada 4 persen orang.

 Perubahan pada jantung


Perubahan EKG potensial mencakup perubahan gelombang ST-T
nonspesifik, pendataran gelombang T, atau inversi gelombang T, meskipun
perubahan ini biasanya secara klinis tidak signifikan. Olanzapin, quetiapin,
ziprasidone, dan clozapine menyebabkan perubahan yang signifikan pada interval
PR atau QT; meskipun demikian, ziprazidone, bisa memiliki perpanjangan QT
yang secara klinis bermakna pada pasien yang rentan. Karena berbagai perubahan
pada jantung yang terkait dengan penggunaan SDA, obat harus digunakan secara
hati-hati pada orang dengan penyakit jantung yang telah ada sebelumnya atau
dalam kombinasi dengan obat yang memperpanjang interval QT secara signifikan,
seperti quinidine (cardioquin).

 Agranulositosis
Agranulositosis merupakan keadaan yang berpotensi fatal dan didefinisikan
sebagai penurunan hitung neutrofil absolut yang paling sering terjadi pada orang
yang diterapi dengan clozapine. Agranulositosis dapat muncul mendadak atau
bertahap dan paling sering timbul pada 6 bulan pertama terapi.

27
 Bangkitan
Orang dengan gangguan bangkitan sebelumnya telah ada atau riwayat trauma
kepala yang signifikan memiliki risiko terbesar untuk mengalami bangkitan saat
mengonsumsi clozapine. Jika timbul bangkitan, penggunaan clozapine sementara
harus dihentikan. Terapi antikonvulsan dapat dimulai, dan penggunaan clozapine
dapat dilanjutkan kembali dengan kira-kira 50 % dari dosis sebelumnya,
kemudian secara bertahap ditingkatkan lagi.

 Hiperprolaktinemia
Aktivitas antagonis reseptor D2 obat antipsikotik menyebabkan peningkatan
kadar prolaktin selama terapi. Di antara semua SDA, risperidone paling berpotensi
menyebabkan hiperprolaktinemia, diikuti oleh olanzapine dan ziprasidone.
Clozapine dan quetiapine tidak meningkatkan sekresi prolaktin.
Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan galaktorea, amenorea, ginekomastia, dan
impotensi. Aripiprazole tidak meningkatkan pelepasan prolaktin.

 Hendaya Kognitif dan Motorik


Semua SDA yang saat ini tersedia menimbulkan sedasi. Dengan demikian
orang yang mengonsumsi SDA harus hati-hati saat mengemudi atau
mengoperasikan mesin yang berbahaya. Efek simpang ini dapat diminimalkan
dengan memberikan sebagian besar dosis sebelum tidur.

 Pengaturan Suhu Tubuh


Karena SDA mengubah kemampuan tubuh untuk mengatur suhu, orang yang
mengonsumsinya harus menghindari Latihan berat, pajanan terhadap panas yang
berlebihan, pemberian obat anti-kolinergik secara bersamaan dan dehidrasi.

 Gejala Ekstrapiramidal
Semua SDA jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan antagonis reseptor
dopamine untuk menimbulkan gejala ekstrapiramidal seperti dystonia akut,
parkinsonisme, sindrom kelinci, dan akinesia.

28
 Penmbahan Berat Badan
Risperidone, olanzapine, Quetiapine dan clozapine menyebabkan penambahan
berat badan yang dapat dikendalikan dengan kepatuhan ketat terhadap diet yang
terencana. Clozapine dan olanzapine terutama dapat menyebabkan peningkatan
sebesar 15 hingga 25 kg pada penggunaan jangka pendek. Penambahan berat
badan yang signifikan dapat mencetuskan dan memperberat DM, sehingga
olanzapine dan clozapine harus digunakan dengan hati-hati pada orang dengan
atau memiliki risiko DM. Ziprasidone dan aripiprazole tidak tampak
menimbulkan penambahan berat badan yang signifikan.

 Sialorea
Clozapine dapat menyebabkan sialorea, yang dapat menempatkan pasien pada
risiko aspirasi saliva dan tersedak, terutama saat tidur. Clozapine dianggap
menyebabkan sialorea dengan menghambat penelanan, bukan dengan
meningkatkan salivasi. Pilihan terapi mencakup pelekat clonidine 0,1 atau 0,2 mg
tiap minggu atau amitryptiline (elavil, endep) atau clomipramine (anafranil) 75
hingga 100 mg sebelum tidur. Obat antikolinergik seperti atropin tidak boleh
digunakan karena dapat memperburuk aktivitas antikolinergik clozapine. Sialorea
yang dicetuskan clozapine dapat pulih spontan pada sejumlah kecil orang setelah
beberapa bulan.

 Gejala Obsesif Kompulsif


Gejala obsesif kompulsif yang dicetuskan terapi dilaporkan pada pasien dengan
respon antipsikotik yang baik terhadap clozapine, risperidone, dan olanzapine.
Percobaan terkontrol belum menegakkan adanya hubungan kausal yang jelas.
Sebaliknya, jika digunakan oleh orang dengan diagnosis OCD sebelumnya, SDA
sukses dalam menguatkan efek antiobsesional dari inhibitor ambilan kembali
serotonin.

29
 Priapismus
Antagonis α-reseptor SDA dapat mencetuskan priapismus. Terdapat beberapa
laporan kasus terpisah mengenai priapismus selama terapi dengan risperidone,
olanzapine, quetiapine, dan clozapine.

 Gejala Genitourinarius
Enuresis, frekuensi atau urgensi, dan hesitansi atau retensi urin terlihat pada
penggunaan clozapine. Masalah ini dapat berespon terhadap desmopressin
(DDAVP), oxybutynin (ditropan), atau interupsi saat tidur yang terjadwal.

 Disfagia
Obat antipsikotik yang digunakan jarang menyebabkan dismotilitas esofagus
dan aspirasi, yang dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.

 Peningkatan Transaminase dan Disfungsi Hepatik


Kira-kira 6% orang yang mengonsumsi quetiapine dan 2% dari mereka yang
mengonsumsi olanzapine memiliki konsentrasi transaminase serum lebih dari tiga
kali batas atas normal pada tiga minggu pertama terapi.

 Peningkatan Kolesterol dan Trigliserida


Penggunaan quetiapine dan olanzapine dapat meningkatkan konsentrasi
kolesterol dan trigliserida di dalam serum sebesar 17 persen.

 Hipotiroidisme
Sejumlah kecil orang yang mengonsumsi dosis quetiapine yang lebih tinggi
menurunkan konsentrasi serum tiroksin serum total dan bebas. Hal ini tidak
mempunyai makna klinis.

30
31
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang
menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Anpsikotik berguna untuk
mengurangi gejala positif dan negative dari gejala psikotik dan agitatif,terutama
pada pasien dengan skizofrenia. Efek samping yang sering ditimbulkan pada
pemakaian antipsikotik tipikal seperti : gangguan pergerakan seperti distonia,
tremor, bradikinesia, akatisia, koreoatetosis, anhedonia, sedasi, peningkatan berat
badan yang sedang, disregulasi tempertur, hiperprolaktinemia, dengan galaktorea
dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual
pada pria dan wanita, hipotensi postural (ortostatik), interval QT memanjang,
risiko terjadi fatal aritmia.

Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal


seperti: gangguan pergerakan yang sedang, sedasi, hiperkolesterolemia,
peningkatan berat badan sedang sampai berat, hipotensi postural,
hiperprolaktinemia, kejang.

Penggunaan secara klinis obat-obatan antipsikotik haruslah


mempertimbangkan risk and benefit dari obat tersebut, sehingga terapi yang
diberikan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.


Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3.
Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia :
Lippincott Williams and WOLTERS Kluwer business.2007.Bab
13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin
Dunitz Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept
: how individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
4. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and
their treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic
disorders; p.260-89.

33

Anda mungkin juga menyukai