Oleh:
Febri Astiasuri, S.Ked (H1AP10011)
Pembimbing:
dr. Norevia Eurelyn, Sp.KJ
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Febri Astiasuri, S.Ked
NPM : H1AP10011
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Judul : Efek Samping Obat-Obat Anti Psikotik
Bagian : Ilmu Kesehatan Jiwa
Pembimbing : dr. Norevia Eurelyn, Sp.KJ
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
2.5.1 SEDIAAN OBAT .....................................................................
21
2.5.2 MEKANISME KERJA OBAT .................................................
22
2.5.3 EFEK SAMPING OBAT ..........................................................
25
BAB III. PENUTUP ............................................................................................. 32
3.1. KESIMPULAN .............................................................................
........ 32
DAFTAR PUSTAKA .…..................................................................................... 33
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi
dalam menghambat reseptor dopamine 2, hal inilah yang diperkirakan
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat, obat golongan atipikal pada
umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamine 2, selain itu juga
memiliki afinitas terhadap reseptor dopamine 4, serotonin, histamine, reseptor
muskarinik, dan reseptor alfa adrenergic. 1 Pemberian obat antipsikotik tipikal
umumnya pada pasien dengan gejala positif seperti halusinasi, delusi, gangguan
isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien psikotik dengan gejala negatif obat
tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan. Sehingga pemberian obat psikotik
atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal memiliki kemampuan untuk
meningkatkan aktivitas dopaminergik kortikal prefrontal sehingga dengan
peningkatan aktivitas tersebut dapat memperbaiki fungsi kognitif dan gejala
negatif.
1.2. TUJUAN
Adapun tujuan referat ini yaitu untuk mengetahui definisi, indikasi
teraupetik, jenis anti psikotik, mekanisme kerja obat, dan efek samping yang
ditimbulkannya.
1.3. MANFAAT
Bagi Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Kota Bengkulu
Sebagai bahan referensi untuk menambah pengetahuan mengenai efek samping
obat anti psikotik yang dapat ditemui pada pasien-pasien di RSJ Kota
Bengkulu.
Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Menambah wawasan dan pengetahuan bagi civitas akademika di lingkungan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu mengenai efek
samping obat anti psikotik.
Bagi Penulis
2
Sebagai pengalaman untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam
mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama proses belajar
dalam perkuliahan mengenai efek samping obat anti psikotik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Obat psikotropik atau psikotropika adalah obat yang bekerja secara selektif
pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas
mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk terapi
gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication).1
3
Sindrom psikosis dapat terjadi pada :
Sindrom Psikosis Fungsional : Skizofrenia, Psikosis paranoid, Psikosis
Afektir, Psikosis Reaktif singkat dll.
Sindrom Psikosis Organik : Sindrom Delirium, Dementia, Intoksikasi
alkohol, dll
4
2.4. ANTIPSIKOTIK TIPIKAL/ ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA
(APG 1)
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan
antipsikotik generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai
cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine
pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor
Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal. Dapat menurunkan
gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala
negative.1,2
5
2.4.1. Sediaan Obat
Obat-obat Anti Psikotik Tipikal :1
6
berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.3,4
7
bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,4
8
2.4.3. Efek Samping Obat
Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine
ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu,
berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang
ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek
samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat
memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan
efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek
samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup
pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .1,2,3
9
A. Efek Samping Non neurologis1,3,4
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan
dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan
perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi
segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada
gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes
yang sangat mematikan, mungkin menjelaskan mengapa overdosis piperidin
phenotiazine merupakan obat yang paling letal di dalam obat ini. Jika interval
QT melampaui 0,44 ms, terdapat hubungan berupa meningkatnya risiko
terjadinya kematian mendadak, mungkin akibat takikardia ventrikuler atau
fibrilasi ventrikuler.
- Kematian Mendadak.
10
Efek antagonis reseptor dopamine pada jantung di dalilkan sebagai
penyebab kematian mendadak pada pasien yang mendapatkan terapi obat
tersebut. Namun, evaluasi literatur yang teliti menunjukkan bahwa mengaikat
kematian mendadak dengan obat antagonis reseptor dopamin yang digunakan
sendiri (tanpa obat lain) merupakan hal yang prematur.
Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia
lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum
potassium dan magnesium.2
2. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat
pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada
11
hampir semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah
suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah
granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di
tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan
kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia,
radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi
dengan insidensi sekitar 1 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.
Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung
darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan
terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera
dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura
trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat
terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik. 2
12
4. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular
menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan
pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut
dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan
impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan
pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,
dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis
adrenergic α1.
Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling
sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan
nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didapatkan karena adanya blok
pada reseptor 5 HT2c2,3,4.
5. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah
kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan
antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi
kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah
dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai
proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan
tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih
dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan
13
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 2
6. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila
diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek
tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan
dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi
kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.2
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif
ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa
anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3
kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi
granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak
mempengaruhi penglihatan pasien. 3,4
7. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang
relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus
muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian
atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan
peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika
ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi
pada fluphenazine dan trifluoperazine.2
14
DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 2,3
15
perempuan dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik
adalah 2:1.2
Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang
positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan
reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan
ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak
ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan
gejala parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala
negatif atau defisit pada skizofrenia. 2,3,4
Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme,
khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah.
Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah
penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 2
Ketika timbul gejala parkinsonisme, terdapat 3 langkah terapi yaitu:
1. Mengurangi dosis neuroleptik
2. Memberikan obat anti ekstrapiramidal,
3. Mengubah neuroleptik tersebut
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian
obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus
dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira
50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan
terapi. Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan
karena akan memperburuk gejala psikotiknya.2,3,4
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala
parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3
bulan sehingga perlu meneruskan pemberian antikolinergik setelah
menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya.2
Antagonis dopamine-serotonin/ Anti psikotik golongan ke-2
merupakan alternatif yang dianjurkan untuk mengganti antagonis reseptor
dopamin pada pasien dengan gangguan gerakan yang dicetuskan neuroleptik.
16
2. Distonia Akut akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi
antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi
dalam beberapa jam atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia
disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus
yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher
(tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang
menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan
keseluruhan tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis
okulorigik, ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe
distonia lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi.
Distonia lain berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan
diartria, disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis.2,3
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin
tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada
semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi
tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas
dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP
mulai menurun diantara pemberian dosis. 2,3,4
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan
biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi
profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau
diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan
hipnosis dilaporkan juga efektif.2,3
17
Akatisia ditandai dengan perasaan subjektif berupa gelisah dan tanda
objektif gelisah, atau keduanya. Contohnya mencakup rasa ansietas, tidak
dapat bersantai, gelisah, berjalan mondar-mandir, gerakan berayun saat sedang
duduk, dan perubahan yang cepat antara duduk dan berdiri. Akatisia sering
dapat di salah diagnosis sebagai ansietas atau agitasi psikotik yang meningkat,
dan dapat menyebabkan ditingkatkannya dosis obat anti psikotik, yang
sebenarnya akan memperberat keadaan. Perempuan berusia pertengahan
memiliki peningkatan risiko untuk mengalami akatisia dan perjalanan
waktunya serupa dengan parkinsonisme yang dicetuskan neuroleptik. Akatisia
dikaitkan dengan penggunaan suatu besaran luas obat psikiatri termasuk
antipsikotik, antidepresan, dan simpatomimetik. Laporan terkini mengaitkan
akatisia dengan hasil terapi yang buruk.
Tiga langkah utama di dalam terapi akatisia yaitu mengurangi dosis obat
neuroleptik, mencoba terapi dengan obat yang sesuai, dan mempertimbangkan
untuk mengubah obat neuroleptik tersebut. Obat yang paling efektif di dalam
terapi akatisia adalah antagonis reseptor beta-adrenergik, meskipun obat
antikolinergik, benzodiazepine, dan cyproheptadine dapat memberikan
keuntungan bagi sejumlah pasien. Pasien mungkin lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami akatisia jika menerima neuroleptik potensi
rendah contohnya thioridazine dari pada saat menerima neuroleptik potensi
tinggi contohnya haloperidol.
18
Faktor resiko diskinesia tardive yang terdapat pada hingga 25% pasien
yang diterapi dengan antagonis reseptor dopamin selama lebih dari 4 tahun,
mencakup terapi yang lama dengan neuroleptic, semakin tua usia, jenis
kelamin perempuan, adanya gangguan mood, serta adanya gangguan kognitif.
Distonia tardive dapat timbul beberapa tahun setelah pajanan dengan
neuroleptik, lebih lazim ditemukan pada pasien yang lebih mudah dan dapat
terjadi bersamaan dengan diskinesia tardive. Distonia tardive ditandai dengan
gerakan involunter yang lama atau lambat pada leher, batang tubuh, wajah
atau ekstremitas.
Meskipun berbagai terapi diskinesia tardive belum berhasil perjalanan
gangguan diskinesia tardive dianggap tidak seberat dari yang sebelumnya
diperkirakan. SDA terkait dengan risiko yang sangat rendah untuk mengalami
diskinesia tardive, sehingga merupakan pendekatan terapi yang efektif. Pasien
dengan diskinesia tardive sering mengalami perburukan gejala ketika
antagonis reseptor dopamine dihentikan, sedangkan penggantian SDA dapat
membatasi gerakan abnormal tanpa memperburuk diskinesia.2
19
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan
perawatan suprotif dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60
mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut
kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-
2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan
dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30
mg/hari dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada
penanganan SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan
kembali.2,3
6. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan
peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana
antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik
potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat
potensi tinggi. 2,3,4
7. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor
dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling
menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur
20
biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek
merugikan tersebut dapat terjadi. 2,3
21
Obat-obat Anti Psikotik Atipikal :1
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin
dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT 2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
22
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan
sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih
banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga
menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.2,3,4
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.2,3
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT 2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.2,3
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi
jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan
terjadi kelainan pergerakan seperti pada parkinson yang disebut extrapyramidal
reaction. Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, distonia (terutama pada wajah
dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
23
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya
pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.2,3
24
Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai anti psikotik atipikal
bervariasi dan spesifik pada masing-masing obat.
Risperidone
Penambahan berat badan, anxietas, mual dan muntah rinitis, disfungsi ereksi,
dan disfungsi orgasmik dikaitkan dengan penggunaan risperidone. Alasan terkait
obat yang paling lazim untuk penghentiaan penggunaan risperidone adalah gejala
ekstrapiramidal, pusing, hiperkinesia, somnolen, dan mual.
Olanzapine
Somnolen, mulut kering, pusing, konstipasi, dispepsia, meningkatnya nafsu
makan dan tremor terkait dengan penggunaan olanzapine. Olanzapine lebih
cenderung meningkatkan berat badan dibandingkan risperidone.
Quetiapine
Efek simpang quentiapine yang paling lazim adalah somnolen, hipotensi
postural, dan pusing, yang biasanya bersifat sementara dan paling baik di
tatalaksana dengan titrasi dosis meningkat secara bertahap. Quentiapine tampak
tidak menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Quentiapine menyebabkan sedikit
peningkatan berat badan sementara pada 23 persen orang, terjadi sedikit
peningkatan denyut jantung, konstipasi, dan peningkatan transaminase hati hati
sementara.
Clozapine
Efek simpang terkait obat yang paling lazim adalah sedasi, pusing, synkope,
takikardia, hipotensi perubahan elektrokardiogram (EKG), mual dan muntah,
leukopenia, granulositopenia, agranulosistosis, dan demam terjadi pada kira-kira 1
persenn pasien. Efek simpang lain yang lazim mencakup kelelahan, sialorea,
penambahan berat badan, berbagai gejala gastrintestinal (paling sering konstipasi),
efek antikolinergik, dan kelemahan otot subjekif. Perubahan metabolisme insulin
telah dilaporkan. Risiko terjadinya bangkitan kira-kira pada 4 persen pasien yang
25
mengkonsumsi dosis diatas 600 mg perhari. Miokarditis dan kardiomiopati juga
merupakan efek simpang yang dilaporkan.
Ziprasidone
Efek simpang paling lazim pada pasien yang mengkonsumsi ziprasidone
adalah somnolen, sakit kepala, pusing, mual, dan seperti akan pingsan.
Ziprasidone hampir tidak memiliki efek signifikan diluar sistem saraf pusat (SSP)
dan hampir tidak menyebabkan penambahan berat badan; meskipun demikian,
perpanjangan QT berpotensi fatal pada pasien dengan riwayat aritmia jantung.
Aripiprazole
Aripriprazole tampak terkait dnegan risiko gejala ekstrapiramidal yang
rendah, sedasi ringan, penambahan berat badan ringan, tidak ada perpanjangan QT
dan peningkatan prolaktin. Diperlukan informasi tambahan mengenai efek
simpang. Efek samping terkait yang paling lazim mencakup sakit kepala, anxietas,
dan insomnia.
Diskinesia Tardive
SDA jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan antagonis reseptor
dopamine untuk menyebabkan diskinesia tardive akibat terapi. Labih jauh lagi,
SDA mengurangi gejala diskinesia tardive dan terutama diindikasikan untuk
26
orang psikotik dengan diskinesia tardive yang telah ada sebelumnya, diskinesia
tardive dapat terjadi pada orang yang diterapi dengan antagonis reseptor dopamine
selama setidaknya 1 bulan. Dengan demikian, penggunaan antagonis reseptor
dopamine untuk rumatan jangka panjang pasien dengan psikosis telah menjadi
praktek yang dapat dipertanyakan. SDA sebaiknya menggantikan antagonis
reseptor dopamine untuk terapi jangka panjang.
Agranulositosis
Agranulositosis merupakan keadaan yang berpotensi fatal dan didefinisikan
sebagai penurunan hitung neutrofil absolut yang paling sering terjadi pada orang
yang diterapi dengan clozapine. Agranulositosis dapat muncul mendadak atau
bertahap dan paling sering timbul pada 6 bulan pertama terapi.
27
Bangkitan
Orang dengan gangguan bangkitan sebelumnya telah ada atau riwayat trauma
kepala yang signifikan memiliki risiko terbesar untuk mengalami bangkitan saat
mengonsumsi clozapine. Jika timbul bangkitan, penggunaan clozapine sementara
harus dihentikan. Terapi antikonvulsan dapat dimulai, dan penggunaan clozapine
dapat dilanjutkan kembali dengan kira-kira 50 % dari dosis sebelumnya,
kemudian secara bertahap ditingkatkan lagi.
Hiperprolaktinemia
Aktivitas antagonis reseptor D2 obat antipsikotik menyebabkan peningkatan
kadar prolaktin selama terapi. Di antara semua SDA, risperidone paling berpotensi
menyebabkan hiperprolaktinemia, diikuti oleh olanzapine dan ziprasidone.
Clozapine dan quetiapine tidak meningkatkan sekresi prolaktin.
Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan galaktorea, amenorea, ginekomastia, dan
impotensi. Aripiprazole tidak meningkatkan pelepasan prolaktin.
Gejala Ekstrapiramidal
Semua SDA jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan antagonis reseptor
dopamine untuk menimbulkan gejala ekstrapiramidal seperti dystonia akut,
parkinsonisme, sindrom kelinci, dan akinesia.
28
Penmbahan Berat Badan
Risperidone, olanzapine, Quetiapine dan clozapine menyebabkan penambahan
berat badan yang dapat dikendalikan dengan kepatuhan ketat terhadap diet yang
terencana. Clozapine dan olanzapine terutama dapat menyebabkan peningkatan
sebesar 15 hingga 25 kg pada penggunaan jangka pendek. Penambahan berat
badan yang signifikan dapat mencetuskan dan memperberat DM, sehingga
olanzapine dan clozapine harus digunakan dengan hati-hati pada orang dengan
atau memiliki risiko DM. Ziprasidone dan aripiprazole tidak tampak
menimbulkan penambahan berat badan yang signifikan.
Sialorea
Clozapine dapat menyebabkan sialorea, yang dapat menempatkan pasien pada
risiko aspirasi saliva dan tersedak, terutama saat tidur. Clozapine dianggap
menyebabkan sialorea dengan menghambat penelanan, bukan dengan
meningkatkan salivasi. Pilihan terapi mencakup pelekat clonidine 0,1 atau 0,2 mg
tiap minggu atau amitryptiline (elavil, endep) atau clomipramine (anafranil) 75
hingga 100 mg sebelum tidur. Obat antikolinergik seperti atropin tidak boleh
digunakan karena dapat memperburuk aktivitas antikolinergik clozapine. Sialorea
yang dicetuskan clozapine dapat pulih spontan pada sejumlah kecil orang setelah
beberapa bulan.
29
Priapismus
Antagonis α-reseptor SDA dapat mencetuskan priapismus. Terdapat beberapa
laporan kasus terpisah mengenai priapismus selama terapi dengan risperidone,
olanzapine, quetiapine, dan clozapine.
Gejala Genitourinarius
Enuresis, frekuensi atau urgensi, dan hesitansi atau retensi urin terlihat pada
penggunaan clozapine. Masalah ini dapat berespon terhadap desmopressin
(DDAVP), oxybutynin (ditropan), atau interupsi saat tidur yang terjadwal.
Disfagia
Obat antipsikotik yang digunakan jarang menyebabkan dismotilitas esofagus
dan aspirasi, yang dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.
Hipotiroidisme
Sejumlah kecil orang yang mengonsumsi dosis quetiapine yang lebih tinggi
menurunkan konsentrasi serum tiroksin serum total dan bebas. Hal ini tidak
mempunyai makna klinis.
30
31
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang
menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Anpsikotik berguna untuk
mengurangi gejala positif dan negative dari gejala psikotik dan agitatif,terutama
pada pasien dengan skizofrenia. Efek samping yang sering ditimbulkan pada
pemakaian antipsikotik tipikal seperti : gangguan pergerakan seperti distonia,
tremor, bradikinesia, akatisia, koreoatetosis, anhedonia, sedasi, peningkatan berat
badan yang sedang, disregulasi tempertur, hiperprolaktinemia, dengan galaktorea
dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual
pada pria dan wanita, hipotensi postural (ortostatik), interval QT memanjang,
risiko terjadi fatal aritmia.
32
DAFTAR PUSTAKA
33