Anda di halaman 1dari 38

Referat

Psikoterapi pada Gangguan Depresi

Disusun Oleh:
Eka Purnama Wulan Tri Utami, S. Ked
(H1AP20010)

Pembimbing:
dr. Lucy Marturia Bangun, Sp.KJ.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PSIKIATRI


RSJKO SOEPRAPTO PROVINSI BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama & NPM : Eka Purnama Wulan Tri Utami, S. Ked (H1AP20010)

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Judul : Psikoterapi pada Gangguan Depresi

Bagian : Kepaniteraan Klinik Bagian Psikiatri

Pembimbing : dr. Lucy Marturia Bangun, Sp.KJ.

Bengkulu, Agustus 2022

Pembimbing

dr. Lucy Marturia Bangun, Sp.KJ.

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, anugerah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Psikoterapi pada Gangguan Depresi” ini dengan baik dan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Lucy Marturia Bangun, Sp.KJ. selaku
pembimbing di Departemen Psikiatri RSJKO Soeprapto Provinsi Bengkulu.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh sebab
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca agar kedepannya penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan
referat ini. Penulis berharap agar referat ini berguna bagi para pembaca dan dapat
digunakan sebaik-baiknya sebagai sumber informasi. Atas perhatiannya, penulis
ucapkan terima kasih.
Bengkulu, Agustus 2022

Eka Purnama Wulan Tri Utami


H1AP20010

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 4
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. 5
DAFTAR TABEL ................................................................................................. 6
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 7
1.1. Latar Belakang........................................................................................... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 8
2.1 Depresi ........................................................................................................ 8
2.1.1 Pengertian Depresi ..................................................................................... 8
2.1.2 Teori Penyebab Depresi ............................................................................ 8
2.1.3 Etiologi Depresi .......................................................................................... 9
2.1.4 Faktor Resiko Depresi ............................................................................. 10
2.1.5 Gejala-gejala Depresi .............................................................................. 11
2.1.6 Tingkatan Depresi.................................................................................... 14
2.1.7 Penatalaksanaan Depresi ........................................................................ 15
2.2 Psikoterapi ................................................................................................ 18
2.2.1 Definisi Psikoterapi ........................................................................................ 18
2.2.2 Jenis Psikoterapi............................................................................................. 18
2.3 Cognitive Behavioral Therapy (CBT) ...................................................... 23
2.3.1 Definisi Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy) ............ 23
2.3.2 Cara Kerja Terapi Perilaku Kognitif ........................................................... 24
2.3.3 Pola pikir dan perilaku yang berbahaya...................................................... 24
2.3.4 Kapan Terapi Perilaku Kognitif Menjadi Pilihan ...................................... 25
2.3.5 Cara Kerja Terapi Perilaku Kognitif ........................................................... 26
2.3.6 Lama Terapi Perilaku Kognitif .................................................................... 29
2.3.7 Hasil Terapi Perilaku Kognitif...................................................................... 29
2.4 Psikoterapi pada Pasien dengan Gangguan Depresi ............................ 30
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tatalaksana Depresi ........................................................................ 16


Gambar 2.2 Model Kognitif Depresi. ................................................................. 32

5
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Dosis Obat Antidepresan ……………………………………………...16

Tabel 2.2. Reaksi Berbahaya dan Reaksi Netral………………………………….25

Tabel 2.3. Terapi Perilaku Kognitif Sesuai dengan Tingkat Keparahan Depresi…31

6
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan depresi adalah salah satu gangguan kejiwaan yang paling umum
yang terjadi pada masyarakat dari segala usia di seluruh dunia. Meskipun dapat
terjadi pada semua usia, namun masa remaja hingga dewasa awal adalah usia onset
yang paling umum, dan wanita terkena dua kali lebih banyak dibandingkan dengan
pria. Gangguan depresi dapat terjadi sebagai kondisi heterogen dalam skenario
klinis mulai dari gejala ringan sementara hingga kondisi klinis yang parah dan
menyebabkan gangguan sosial dan pekerjaan.1
Bukti ekstensif dan pedoman klinis menunjukkan bahwa pengobatan yang
efektif untuk depresi mencakup farmakoterapi dan psikoterapi. Terapi perilaku
kognitif (CBT) adalah jenis umum dari psikoterapi. Terapi ini dapat membantu
klien menyadari pemikiran yang tidak akurat atau negatif sehingga mereka dapat
melihat situasi yang menantang dengan lebih jelas dan menanggapinya dengan cara
yang lebih efektif. Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah salah satu intervensi
psikologis yang paling berbasis bukti untuk pengobatan beberapa gangguan
kejiwaan seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan somatoform, dan
gangguan penggunaan zat. Penggunaannya baru-baru ini diperluas ke gangguan
psikotik, pengobatan perilaku, perselisihan perkawinan, situasi kehidupan yang
penuh tekanan, dan banyak kondisi klinis lainnya.2
Sejumlah penelitian telah dilakukan dan menunjukkan efektivitas psikoterapi
perilaku kognitif pada gangguan depresi. Sebuah meta-analisis dari 115 studi telah
menunjukkan bahwa CBT adalah strategi pengobatan yang efektif untuk depresi
dan pengobatan kombinasi dengan farmakoterapi secara signifikan lebih efektif
daripada farmakoterapi saja. Bukti juga menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan
pasien yang diobati dengan CBT lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang
diobati dengan farmakoterapi saja.3

7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi
2.1.1 Pengertian Depresi
Menurut sejarah psikiatri dapat dilihat bahwa pengertian depresi sebagai
gangguan tersendiri terpisah dari gangguan mental lain yang telah sama ada sejak
zaman Hipocrates (460-377 SM). Hipocrates inilah yang berusaha
mengklasifikasikan gangguan jiwa dalam beberapa penyakit yang berdiri sendiri:
epilepsi, mania (gaduh, gelisah), melankoli (depresi), paranoid. Walaupun namanya
berbeda, waktu itu diberi nama melancholy, yang digambarkan sebagai
kemurungan atau kesedihan yang ditimbulkan oleh karena kelebihan cairan empedu
yang berwarna hitam (zwartgalligheid). Kemudian pada tahun 1905 istilah
melancholy diganti dengan depresi oleh Meyer dengan alasan etiologi yang luas. 4,5
Depresi merupakan kata Indonesia yang disadur dari bahasa Inggris yaitu
depression, sadness dan low spirit. Depresi adalah suatu penyakit jiwa yang gejala
utamanya adalah sedih, yang dapat disertai gejala-gejala psikologik lainnya,
gangguan somatik maupun gangguan psikomotor dalam kurun waktu tertentu dan
digolongkan kedalam penyakit jiwa afektif. Stuart (2006) berpendapat bahwa
depresi atau melankolia adalah suatu kesedihan dan perasaan yang berkepanjangan
atau abnormal. Dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena, seperti
tanda, gejala, sindrom, emosional, reaksi. Menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnostik Gangguan Jiwa III di Indonesia yang dimaksud depresi adalah
sekumpulan gejala dengan gambaran utama gangguan mood yang mempengaruhi
penampilan kognitif, psikomotor dan psikososial disertai kesulitan hubungan
interpersonal.4,5
2.1.2 Teori Penyebab Depresi
Adapun teori penyebab terjadinya depresi meliputi:
a. Teori biologi: depresi berhubungan dengan gangguan pada ritme sirkadian,
disfungsi otak, aktivitas kejang limbik, disfungsi neuroendokrin, defisiensi
biogenik amine, cacat pada sistem imun dan genetik.6,7

8
b. Teori psikoanalitical: depresi berasal dari respon terhadap kehilangan,
kekecewaan atau kegagalan. Rasa marah dipindahkan dan dikembalikan pada
diri sendiri, ketidakmampuan untuk berduka cita karena adanya kehilangan. 6,7
c. Teori Behavioral: kegagalan untuk menerima reinforcement positif dari orang
lain dan lingkungan merupakan predisposisi bagi seseorang untuk mengalami
gangguan depresi.7
d. Teori kognitif: konsep negatif dari diri, pengalaman, orang lain dan lingkungan
merupakan kontribusi terjadinya depresi. Kepercayaan bahwa seseorang tidak
dapat mengontrol situasi memberikan kontribusi terjadinya depresi. 6,7
e. Teori sociological: kehilangan kekuasaan, status, identitas, nilai dan tujuan
untuk menciptakan eksistensi yang tepat akan menyebabkan depresi. 6,7
f. Teori Holism: depresi adalah hasil dari genetik, biologi, psikoanalisa, tingkah
laku, kognitif dan pengalaman sosiologis. 6,7

2.1.3 Etiologi Depresi


Faktor penyebab terjadinya depresi menurut Kaplan dan Saddock (2010)
adalah:
a. Faktor Biologi
Noreepinephrin dan serotonin adalah dua jenis neurotransmitter yang
bertanggung jawab mengendalikan patofisiologi gangguan alam perasaan pada
manusia. Gangguan depresi melibatkan keadaan patologi di limbic system, basal
ganglia dan hypothalamus. Limbic system dan basal ganglia berhubungan sangat
erat, hipotesa sekarang menyebutkan produksi alam perasaan berupa emosi, depresi
dan mania rupakan peranan utama limbic system. Disfungsi hypothalamus berakibat
perubahan regulasi tidur, selera makan, dorongan seksual dan memacu perubahan
biologi dalam endokrin dan imunologik.6,8
b. Faktor Genetika
Gangguan alam perasaan (mood) baik tipe bipolar (adanya episode manik
dan depresi) dan tipe unipolar (hanya depresi saja) memiliki kecenderungan
menurun kepada generasinya. Gangguan bipolar lebih kuat menurun daripada
unipolar. Sebanyak 50 % pasien bipolar memiliki satu orang tua dengan alam
perasaan atau gangguan afektif, yang tersering unipolar (depresi saja). Jika salah
satu orang tua mengidap gangguan bipolar maka 27 % anaknya memiliki resiko

9
mengidap gangguan alam perasaan. Bila kedua orang tua mengidap gangguan
bipolar maka 75 % anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. 6,8
c. Faktor Psikososial
Peristiwa traumatik kehidupan dan lingkungan sosial dengan suasana yang
menegangkan dapat menjadi kausa gangguan nerosa depresi. Sejumlah data yang
kuat menunjukkan kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan
pasangan hidup dapat memacu serangan awal gangguan nerosa depresi. Boyd dan
Nihart (1998) menggambarkan hubungan sebab-sebab biopsikososial terjadinya
depresi pada lansia terdiri dari: 6,8
1) Biologik: penyakit fisik, disregulasi neurotransmitter dalam system saraf pusat
(SSP), efek samping terapi pengobatan, interaksi pengobatan resep maupun non
resep, gangguan mobilitas, perubahan kapasitas sensorik.
2) Psikologis: stress, kehilangan sesuatu dalam hidup, episode depresi sebelumnya
(diawal kehidupan), kemunduran kognitif.
3) Sosiokultural: isolasi sosial, kematian atau ketidakmampuan pasangan atau
teman, kesulitan ekonomi, pensiun, gangguan perubahan lingkungan. 6,8

2.1.4 Faktor Resiko Depresi


Menurut Kaplan dan Saddock (2010), faktor resiko dari depresi dipengaruhi
oleh:
a. Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40 tahun, 50 %
dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan
depresif berat juga mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada
lanjut usia, walaupun hal tersebut jarang terjadi.6,9,10
b. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih
besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah
didalilkan sebagai melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan stressor
psikososial bagi perempuan dan laki-laki
c. Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering
pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau
karena perceraian atau berpisah dengan pasangan. .6,9,10

10
d. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru,
pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian
dari beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi.6,9,10

2.1.5 Gejala-gejala Depresi


Menurut Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III
depresi ditandai dengan gejala, yaitu : 10,11
a. Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas menurun. 10,11
b. Gejala lain, meliputi:
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik.
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.
6) Tidur terganggu.
7) Nafsu makan berkurang. 10,11
Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis,
gejala fisik dan sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif,
mudah marah dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya konsentrasi dan menurunnya daya tahan. 10,11
Gejala-gejala ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
a. Gejala fisik
Gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasi yang luas
sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun secara garis besar ada
beberapa gejala fisik umum yang relatif mudah dideteksi. 10,11
Gejala itu seperti:
1) Sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit

11
2) Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan perilaku yang
pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti nonton tv,
makan, dan tidur.
3) Orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran
pada suatu hal, atau pekerjaan. Sehingga mereka juga akan sulit
memfokuskan energi pada hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan
justru hal-hal yang tidak efisien dan tidak berguna, seperti misalnya
mengemil, melamun, merokok terus-menerus, sering menelpon yang tidak
perlu. Orang yang terkena depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang
menjadi kurang terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau kerjanya jadi
lamban. 10,11
4) Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau seluruh motivasi
kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi bisa menikmati dan merasakan kepuasan
atas apa yang dilakukannya. Ia sudah kehilangan minat dan motivasi untuk
melakukan kegiatannya seperti semula. Oleh karena itu, keharusan untuk
tetap beraktivitas membuatnya semakin kehilangan energi karena energi yang
ada sudah banyak terpakai untuk mempertahankan diri agar tetap dapat
berfungsi seperti biasanya. Mereka mudah sekali lelah, capai padahal belum
melakukan aktivitas yang berarti. 10,11
5) Depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika seseorang menyimpan
perasaan negatif maka jelas akan membuat letih karena membebani pikiran
dan perasaan dan ia harus memikulnya dimana saja dan kapan saja, suka tidak
suka. 10,11
b. Gejala Psikis
1) Kehilangan rasa percaya diri
Penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala
sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Pasti mereka senang
sekali membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai
lebih sukses, pandai, beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih
berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan dan pikiran negatif lainnya.
10,11

12
2) Sensitif
Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala sesuatu
dengan dirinya perasaannya sensitif sekali, sehingga sering peristiwa yang
netral jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka, bahkan
disalahartikan. Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa,
curiga akan maksud orang lain (yang sebenarnya tidak ada apa-apa), mudah
sedih, murung, dan lebih suka menyendiri10,11
3) Merasa diri tidak berguna
Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi orang yang
gagal terutama dalam bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka
kuasai. Misalnya seorang manager mengalami depresi karena ia dimutasikan
ke bagian lain. Dalam persepsinya, pemutasian itu disebabkan
ketidakmampuannya dalam bekerja dan pimpinan menilai dirinya tidak
cukup memberikan kontribusi sesuai dengan yang diharapkan. 10,11
4) Perasaan bersalah
Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang mengalami
depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai
suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung
jawab yang seharusnya dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi
beban bagi orang lain dan menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut. 10,11
5) Perasaan terbebani
Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dialami.
Mereka merasakan beban yang terlalu berat karena merasa dibebani tanggung
jawab yang berat. 10,11
c. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi
lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas lainnya). Bagaimana tidak, lingkungan
tentu akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada
umumnya negatif (mudah marah, tersinggung, menyendiri, sensitif, mudah letih,
mudah sakit).
Masalah sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah yang berinteraksi
dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk

13
konflik, namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika
berada diantara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara
normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif
menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan. 10,11

2.1.6 Tingkatan Depresi


Menurut PPDGJ-III, depresi dibagi sesuai dengan tingkat keparahannya,
yaitu:
a. Depresi Ringan
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan. 10,12

b. Depresi Sedang
Pedoman yang dipakai adalah :
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga. 10,12

c. Depresi Berat
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Semua 3 gejala depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat

14
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi dan retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejala secara rinci. 10,12

Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif


berat masih dapat dibenarkan, yaitu:
a) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya dua minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu
b) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada tahap yang sangat terbatas.
10,12

Lebih lanjut dijelaskan bahwa depresi berat ditandai dengan adanya:


1) Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut episode depresif berat
tanpa gejala psikotik
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

2.1.7 Penatalaksanaan Depresi


Penatalaksanaan pada penderita depresi harus dilakukan secara adekuat
dengan menggunakan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai
pendekatan multidisiplin yang menyeluruh. Terapi fase akut biasanya berlangsung
selama 6-10 minggu. Terapi fase lanjutan pada umumnya berlangsung selama 6-9
bulan setelah dimulainya masa remisi. Terapi fase pemeliharan dilakukan selama
12-36 bulan untuk mengurangi resiko terjadinya rekurensi hingga 2/3. Adapun
penatalaksanaan depresi meliputi:

15
Gambar 2.1 Tatalaksana depresi
a. Terapi Fisik
1) Obat
Secara umum, semua obat anti-depresan sama efektifitasnya. Pemilihan
jenis anti-depresan lebih ditentukan oleh pengalaman klinikus dan familiarity
terhadap jenis-jenis anti-depresan. Pertimbangkan baik, untung dan rugi dari
setiap pemberian terapi dengan mengacu pada 4 hal yaitu efektivitas,
tolerabilitas, keamanan, dan interaksi obat.13,14
Tabel 2.1 Dosis obat antidepresan

2) Terapi ECT (Electroconvulsive Therapy)


Terapi ini ditujukan untuk pasien depresi yang tidak bisa makan minum, mau
bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat, maka ECT merupakan
pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali seminggu pada

16
pasien rawat inap, dengan metode unilateral untuk mengurangi confusion atau
memory problem. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood (sekitar
5-10 kali), sementara anti-depresan maintenance harus diberikan untuk
mencegah relaps atau kekambuhan. 13,14
3) Terapi profilaksis
Terapi profilaksis harus diberikan untuk mencegah terjadinya kekambuhan
depresi. Setelah gejala-gejala depresi membaik, terapi anti-depresan masih
harus dilanjutkan selama 4-6 bulan dengan dosis terapeutik penuh. Beberapa
penelitian bahkan menganjurkan agar terapi diteruskan sampai 2 tahun.
Kapan anti-depresan boleh dihentikan, sangatlah tergantung pada evaluasi
klinis (perkembangan efek samping, munculnya penyakit fisik atau
kelemahan kondisi umum). 13,14
b. Terapi psikologik antara lain:
1) Psikoterapi
Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika dilakukan
bersama-sama dengan pemberian anti-depresan. Baik pendekatan secara
psikodinamik maupun kognitif behavioural adalah sama keberhasilannya.
13,14

2) Terapi kognitif
Terapi kognitif perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu
negatif (persepsi diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak
ramah, diri yang tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola
pikir yang netral atau positif. 13,14
3) Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi,
sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Tujuan
dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan
perasaan frustasi dan putus asa, merubah dan memperbaiki sikap/struktur
dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien. 13,14

17
4) Penanganan ansietas (relaksasi)
Macam relaksasi antara lain (Davis et.al., 1995): Relaksasi progresif,
pernafasan dalam, meditasi, guided imagery, mendengarkan musik,
biofeedback, kesadaran tubuh, dan visualisasi. 13,14
2.2 Psikoterapi
2.2.1 Definisi Psikoterapi
Psikoterapi adalah cara pengobatan terhadap masalah emosional seseorang
yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan profesional secara
sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat
gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku-perilaku yang terganggu dan
mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif. Psikoterapi juga
diartikan sebagai intervensi psikologis yang efektif untuk banyak masalah
psikologis, perilaku, somatik, gejala, dan gangguan, dengan demikian dianggap
sebagai pendekatan utama dalam manajemen perawatan kesehatan mental dan
somatik. Namun terlepas dari banyaknya temuan empiris, mekanisme utama
perubahan psikoterapi masih dalam perdebatan.15,16,17
Psikoterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang dimiliki oleh seorang
psikiater disamping psikofarmaka dan terapi fisik. Psikoterapi, dalam arti luas
adalah cara-cara atau pendekatan yang menggunakan teknik-teknik psikologik
untuk menghadapi ketidakserasian atau gangguan mental, selain itu psikoterapi
adalah terapi yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan oleh orang yang
terlatih, dalam hubungan profesional (terapis-pasien) dengan tujuan menghambat,
menghilangkan gejala dan penderitaan akibat penyakit.18

2.2.2 Jenis Psikoterapi


Psikoterapi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu psikoterapi
suportif dan psikoterapi wawasan atau genetik-dinamik.
1. Psikoterapi Suportif
Psikoterapi suportif adalah teknik untuk memperbaiki atau menguatkan "ego
strength" pasien dengan membantu pasien untuk mengontrol impuls melalui
penentuan batasan secara langsung, untuk mendapatkan gambaran lebih akurat dari
realitas melalui klarifikasi dan "testing of perception", untuk menopang struktur
adaptif dengan menerima (bukan menganalisa maupun mengkonfrontasi) teknik

18
pertahanan, dan untuk mengembangkan koping yang lebih baik melalui pengajaran
langsung, saran praktis, maupun melalui terapis sebagai "role model" dan sebagai
tokoh yang senantiasa dapat menenangkan dan menjadi tempat bersandar pasien.
Tujuan dari psikoterapi suportif antara lain menguatkan daya tahan mental
yang dimiliki pasien, mengembangkan mekanisme daya tahan mental yang baru
dan yang lebih baik untuk mempertahankan fungsi pengontrolan diri, meningkatkan
kemampuan adaptasi lingkungan, mengevaluasi situasi kehidupan pasien saat ini,
beserta kekuatan serta kelemahannya, untuk selanjutnya membantu pasien
melakukan perubahan realistik apa saja yang memungkinkan untuk dapat berfungsi
lebih baik. Kriteria pemilihan dalam psikoterapi ini ialah pasien yang sangat sehat
yang berhadapan dengan krisis yang melanda pasien dengan defisit ego. Lama
terapinya dapat beberapa hari, bulan, atau tahun sesuai kebutuhan.15,19,20
Adapun mekanisme psikoterapi suportif antara lain dengan pasien dianjurkan
untuk datang ≤ satu kali dalam seminggu, selama beberapa minggu atau bulan atau
kadang mencapai tahunan. Termasuk pula disini intevensi krisis yang singkat
(untuk 1-3 pertemuan). Terapis berurusan dengan gejala pasien, tetapi hanya sedikit
mengolah proses alam nirsadarnya dan tidak berupaya mengubah kepribadian.
Pertahanan psikologik diperkuat dan teknik yang digunakan antara lain
menenangkan, sugesti, mengeluarkan semua masalah, abreaction, dan manipulasi
lingkungan. Terapis bersikap aktif, menunjukkan minat, berempati dan hangat
(mendengarkan pasien), mengerti hal-hal yang menjadi perhatian pasien, dan
menolong pasien untuk menetukkan arah. Terapi medikasi juga dapat diberikan.19
Jenis psikoterapi suportif antara lain sebagai berikut:
• Ventilasi atau katarsis
Ventilasi atau katarsis ialah membiarkan pasien mengeluarkan isi hati
sesukanya. Sesudahnya biasanya ia merasa lega dan kecemasannya (tentang
penyakitnya) berkurang, karena ia kemudian dapat melihat masalahnya dalam
proporsi yang sebenarnya. Hal ini dibantu oleh dokter dengan sikap yang
penuh pengertian (empati) dan dengan anjuran. Jangan terlalu banyak
menginterupsi. Yang dibicarakan ialah kekhawatiran, impuls-impuls,
kecemasan, masalah keluarga, perasaan salah atau berdosa. Sikap terapis

19
seharusnya menjadi pendengar yang baik dan penuh pengertian. Topik
pembahasannya mengenai permasalahan yang menjadi stres utama.15,19
• Persuasi atau bujukan
Persuasi atau bujukan ialah penerangan yang masuk akal tentang
timbulnya gejala-gejala serta baik-buruknya atau fungsi dari gejala-gejala
tersebut, kritik diri sendiri oleh pasien penting untuk dilakukan. Dengan
demikian maka impuls-impuls yang tertentu dibangkitkan, diubah atau
diperkuat dan impuls-impuls yang lain dihilangkan atau dikurangi, serta
pasien dibebaskan dari impuls-impuls yang sangat mengganggu. Pasien
pelan-pelan menjadi yakin bahwa gejala-gejalanya akan hilang. Sikap terapis
yaitu berusaha membangun, mengubah dan menguatkan impuls-impuls
tertentu serta membebaskan dari impuls yang mengganggu secara masuk akal
dan sesuai hati nurani, berusaha meyakinkan pasien dengan alasan yang
masuk akal bahwa gejalanya akan hilang. Topik pembahasan meliputi ide dan
kebiasaan pasien yang mengarah kepada terjadinya gejala. 15,19
• Sugesti
Sugesti ialah secara halus dan tidak langsung menanamkan pikiran
pada pasien atau membangkitkan kepercayaan padanya bahwa gejala-gejala
akan hilang. Dokter sendiri harus mempunyai sikap yang meyakinkan dan
otoritas profesional serta menunjukan empati. Pasien percaya pada dokter
sehingga kritiknya berkurang dan emosinya terpengaruh serta perhatiannya
menjadi sempit. Ia mengharap-harapkan sesuatu dan ia mulai percaya. Bila
tidak terdapat gangguan kepribadian yang mendalam, maka sugesti akan
efektif, umpamanya pada reaksi konversi yang baru dan dengan konflik yang
dangkal atau pada nerosa cemas sesudah kecelakaan. Sugesti dengan aliran
listrik (faradisasi) atau dengan masasi kadang-kadang juga menolong, tetapi
perbaikan itu cenderung untuk tidak menjadi tetap karena pasien menganggap
pengobatan itu dari luar dirinya. Jadi sugesti harus diikuti dengan reedukasi.
Anak-anak dan orang-orang dengan inteligensi yang sedikit kurang
serta pasien yang berkepribadian tak matang atau histerik lebih mudah
disugesti. Namun, jangan memaksa pasien dan jangan memberikan kesan
bahwa dokter menganggap ia membesar-besarkan gejalanya. Jangan

20
mengganggu rasa harga diri pasien. Pasien harus percaya bahwa gejala-
gejalanya akan hilang dan bahwa tidak terdapat kerusakan organik sebagai
penyebab gejala-gejala itu. Ia harus diyakinkan bahwa bila gejala-gejala itu
hilang, hal itu terjadi karena ia sendiri mengenal maksud gejala-gejala itu dan
bahwa timbulnya gejala itu tidak logis. Sikap terapis antara lain meyakinkan
dengan tegas bahwa gejala penyakit pasien akan menghilang. Topik
pembahasannya yaitu gejala-gejala bukan karena kerusakan organik/fisik dan
timbulnya gejala-gejala tersebut adalah tidak logis. 15,19
• Penjaminan kembali (reassurance)
Penjaminan kembali dilakukan melalui komentar yang halus dan
pertanyaan yang berhati-hati, bahwa pasien mampu berfungsi secara adekuat.
Dapat juga diberi secara tegas berdasarkan kenyataan atau dengan
menekankan pada apa yang telah dicapai oleh pasien. Sikap terapis sebaiknya
meyakinkan secara tegas dengan menunjukkan hasil-hasil yang telah dicapai
pasien. Topik pembahasan yaitu pengalaman pasien yang berhasil nyata. 15,19
• Bimbingan
Bimbingan ialah memberi nasihat-nasihat yang praktis dan khusus yang
berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa pasien agar ia lebih sanggup
mengatasinya, contohnya tentang cara mengadakan hubungan antar manusia,
cara berkomunikasi, bekerja dan belajar dan sebagainya. Sikap terapis berupa
penyampaian nasihat dengan penuh wibawa dan pengertian. Topik yang
dibahas mengenai cara hubungan antar manusia, cara komunikasi, cara
bekerja dan belajar yang baik. 15,19
• Penyuluhan atau konseling
Penyuluhan atau konseling ialah suatu bentuk wawancara untuk
membantu pasien mengerti dirinya sendiri lebih baik, agar ia dapat mengatasi
suatu masalah lingkungan atau dapat menyesuaikan diri. Konseling biasanya
dilakukan sekitar masalah pendidikan, pekerjaan, pernikahan dan pribadi.
Sikap terapis yaitu menyampaikan secara halus dan penuh kearifan. Topik
pembicaraan mengenai masalah pendidikan, pekerjaan, pernikahan dan
pribadi. 15,19
• Kerja kasus sosial (social casework)

21
Kerja kasus sosial secara tradisional didefinisikan sebagai suatu proses
bantuan oleh seorang yang terlatih kepada seorang pasien yang memerlukan
satu atau lebih pelayanan sosial khusus. Fokusnya ialah pada masalah luar
atau keadaan sosial dan tidak pada gangguan dalam individu itu sendiri. Tidak
diadakan usaha untuk mengubah pola dasar kepribadian pasien, karena
tujuannya ialah hendak menangani masalah situasi pada tingkat realistik. 15,19
• Terapi kerja
Terapi kerja dapat berupa sekedar memberi kesibukan kepada pasien,
ataupun berupa latihan kerja tertentu agar ia terampil dalam hal itu dan
berguna baginya untuk mencari nafkah kelak. 15,19
2. Psikoterapi Wawasan (genetik-dinamik atau insight psychotherapy)
Psikoterapi wawasan dibagi menjadi psikoterapi re-edukatif dan psikoterapi
rekonstruktif.
a. Psikoterapi reedukatif
Psikoterapi re-edukatif bertujuan untuk mencapai pengertian tentang konflik-
konflik yang letaknya lebih banyak di alam sadar, dengan usaha rencana untuk
menyesuaikan diri kembali, memodifikasi tujuan dan membangkitkan serta
mempergunakan potensi kreatif yang ada. 15,19
Cara-cara psikoterapi re-edukatif antara lain:
• Terapi hubungan antar-manusia (relationship-therapy)
• Terapi sikap (attitude therapy)
• Terapi wawancara (interview therapy)
• Analisa dan sintesa yang distributif (terapi psikobiologik Adolf Meyer)
• Konseling terapetik
• Terapi case-work
• Reconditioning
• Terapi kelompok yang re-edukatif
• Terapi somatik
b. Psikoterapi rekonstruktif
Psikoterapi rekonstruktif bertujuan untuk mencapai pengertian tentang
konflik-konflik yang letaknya di alam tak sadar, dengan usaha untuk mendapatkan
perubahan yang luas daripada struktur kepribadian dan pengluasan daripada

22
pertumbuhan kepribadian dengan pengembangan potensi penyesuaian diri yang
baru. 15,19
Cara-cara psikoterapi rekonstruktif antara lain:
• Psikoanalisa Freud
• Psikoanalisa non-freud
• Psikoterapi yang berorientasi kepada psikoanalisa

2.3 Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah salah satu bentuk psikoterapi yang
paling umum dan paling baik dipelajari. Terapi ini merupakan kombinasi dari dua
pendekatan terapeutik, yang dikenal sebagai terapi kognitif dan terapi perilaku.
Metode pengobatan yang diterapkan tergantung pada penyakit atau masalah yang
akan diobati. Namun, prinsip dasar dibalik terapi selalu sama yaitu apa yang kita
pikirkan, bagaimana perasaan kita, dan bagaimana kita berperilaku, semuanya
terkait erat dan semua faktor ini memiliki pengaruh yang menentukan pada
kesejahteraan.21,22
2.3.1 Definisi Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy)
Istilah kognitif berasal dari bahasa Latin "cognoscere", yang berarti "untuk
mengenali." Inti dari terapi kognitif adalah untuk membentuk gagasan yang jelas
tentang pikiran, sikap, dan harapan diri sendiri. Tujuannya adalah untuk
mengungkapkan dan mengubah keyakinan yang salah dan menyedihkan, karena
seringkali bukan hanya hal-hal dan situasi itu sendiri yang menyebabkan masalah,
tetapi juga keyakinan yang melekat pada diri seseorang. Misalnya, pola pikir yang
mungkin berbahaya yaitu ketika seseorang segera menarik kesimpulan negatif dari
suatu kejadian, menggeneralisasikannya dan menerapkannya pada situasi serupa.
Dalam psikologi, cara berpikir yang digeneralisasikan ini disebut
"menggeneralisasikan secara berlebihan." Kesalahan lain yang menyedihkan dalam
penalaran bersifat “menghancurkan”: Jika sesuatu masalah terjadi, orang-orang
segera menarik kesimpulan yang berlebihan tentang cakupan bencana yang
seharusnya terjadi di masa depan. Pola pikir seperti itu terkadang dapat berkembang
menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya dan membuat hidup orang-
orang yang terkena dampak menjadi sulit. Terapi kognitif membantu orang belajar
mengganti pola pikir ini dengan pikiran yang lebih realistis dan tidak terlalu

23
berbahaya. Ini juga membantu orang untuk berpikir lebih jernih dan mengendalikan
pikiran mereka sendiri dengan lebih baik. 21,22
2.3.2 Cara Kerja Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku berasal dari "behaviorisme" Amerika. Teori ini
mengasumsikan bahwa perilaku manusia dipelajari dan oleh karena itu dapat
dipelajari dan dipelajari lagi. Terapi perilaku bertujuan untuk mengetahui apakah
pola perilaku tertentu membuat hidup lebih sulit atau memperparah masalah yang
ada. Langkah selanjutnya adalah berusaha mengubah kebiasaan perilaku ini.
Misalnya, orang yang telah mengembangkan pikiran depresi sering cenderung
menarik diri dan melepaskan hobi mereka. Akibatnya, mereka merasa lebih tidak
bahagia dan terisolasi. Terapi kognitif membantu mengidentifikasi mekanisme ini
dan menemukan cara untuk menjadi lebih aktif lagi.23,24
Pada gangguan kecemasan, terapi perilaku seringkali mencakup metode
pembelajaran untuk membantu menenangkan diri. Misalnya, seseorang dapat
belajar mengurangi kecemasan dengan secara sadar menarik dan menghembuskan
napas dalam-dalam sehingga tubuh dan pernapasan dapat rileks. Saat melakukan
ini, orang tesebut berkonsentrasi pada pernapasan alih-alih apa yang menyebabkan
kecemasan. Teknik-teknik semacam ini dapat membantu menenangkan diri.24,25

2.3.3 Pola pikir dan perilaku yang berbahaya


Pikiran atau kebiasaan perilaku yang berbahaya dapat membuat seseorang
merasa buruk tentang diri mereka sendiri. Misalnya, ketika seseorang melihat orang
yang ia kenal di jalan dan kemudian menyapa, tetapi orang yang disapa tidak
membalasnya. Reaksi orang tersebut terhadap hal itu sangat tergantung pada
bagaimana ia menilai situasinya, reaksi yang mungkin dapat timbul berupa reaksi
berbahaya atau netral seperti yang digambarkan dalam Tabel 2.2.21

24
Tabel 2.2. Reaksi Berbahaya dan Reaksi Netral
Reaksi Berbahaya Netral

Pikiran “Dia mengabaikanku- dia tidak “Dia tidak memperhatikan saya-


menyukaiku lagi.” mungkin dia sedang tidak enak
badan. Saya harus meneleponnya
dan mencari tahu bagaimana
keadaannya.”

perasaan Seseorang yang berpikir seperti ini Pola pikir ini tidak menimbulkan
merasa down, sedih dan ditolak. perasaan negatif.

Perilaku Konsekuensi dari pemikiran ini Pikiran ini adalah dorongan untuk
adalah untuk menghindari orang kembali berhubungan dengan orang
ini di masa depan, meskipun tersebut untuk mengetahui apakah
asumsi itu bisa sepenuhnya salah. semuanya baik-baik saja.

2.3.4 Kapan Terapi Perilaku Kognitif Menjadi Pilihan


Terapi perilaku kognitif digunakan untuk mengobati kondisi seperti depresi ,
kecemasan, gangguan obsesif-kompulsif, dan kecanduan. Selain itu, terapi ini juga
merupakan pilihan untuk mengobati kondisi fisik seperti nyeri kronis, tinitus dan
rematik. Terapi ini dapat membantu meringankan gejalanya. Terapi perilaku
kognitif membutuhkan komitmen dan inisiatif pasien sendiri. Terapi hanya dapat
berhasil jika pasien secara aktif mengambil bagian dalam perawatan dan juga
mengatasi masalah mereka diantara sesi. Hal ini dapat menjadi tantangan yang
cukup besar, terutama dengan kondisi parah seperti depresi atau gangguan
kecemasan. Memilih jenis psikoterapi tertentu juga tergantung pada tujuannya. Jika
seseorang merasa perlu wawasan mendalam tentang penyebab masalah mereka,
terapi perilaku kognitif mungkin bukan pilihan yang tepat. Terapi ini sangat
berguna jika seseorang terutama tertarik untuk mengatasi masalah tertentu dan
hanya memikirkan "mengapa”.21,26
Terapi perilaku kognitif digunakan untuk mengobati berbagai masalah.
Terapi ini merupakan jenis psikoterapi yang disukai karena dapat dengan cepat
membantu mengidentifikasi dan mengatasi masalah tertentu. Biasanya

25
membutuhkan sesi yang lebih sedikit daripada jenis terapi lainnya dan dilakukan
dengan cara yang terstruktur. Terapi perilaku kognitif adalah media yang berguna
untuk mengatasi tantangan emosional. Misalnya, membantu mengelola gejala
penyakit mental, mencegah kekambuhan gejala penyakit mental, membantu
merawat penyakit mental ketika obat bukanlah pilihan yang baik, mempelajari
teknik untuk mengatasi situasi kehidupan yang penuh tekanan, mengidentifikasi
cara mengelola emosi, menyelesaikan konflik hubungan dan mempelajari cara
berkomunikasi yang lebih baik, mengatasi kesedihan atau kehilangan, mengatasi
trauma emosional terkait pelecehan atau kekerasan, mengatasi penyakit medis,
ataupun mengelola gejala fisik kronis. 21,26

Adapun gangguan kesehatan mental yang dapat membaik dengan terapi


perilaku kognitif meliputi:26
• Depresi
• Gangguan kecemasan
• Fobia
• PTSD
• Gangguan tidur
• Gangguan makan
• Gangguan obsesif-kompulsif (OCD)
• Gangguan penggunaan zat
• Gangguan bipolar
• Skizofrenia
• Gangguan seksual

Dalam beberapa kasus, terapi perilaku kognitif paling efektif bila


dikombinasikan dengan perawatan lain seperti farmakoterapi menggunakan obat
antidepresan atau obat lain.26

2.3.5 Cara Kerja Terapi Perilaku Kognitif


Psikoterapis dan klien penting untuk memiliki hubungan kerja yang dekat dan
saling percaya. Terkadang perlu beberapa saat untuk menemukan terapis yang
tepat. Pada sesi pertama, klien akan menjelaskan secara singkat masalah yang saat

26
ini dihadapi dan klien juga dianjurkan untuk menguraikan harapan mereka. Hal
tersebut menjadi dasar untuk mendiskusikan tujuan terapi dan rencana terapi.
Rencananya dapat disesuaikan jika tujuan pribadi klien berubah selama terapi.
Tahap ini mencakup pemikiran klien sendiri selama periode waktu tertentu. Terapis
kemudian akan memeriksa hal-hal berikut dengan klien: Apakah saya memahami
hal-hal dengan tepat dan realistis? Apa yang terjadi jika saya berperilaku berbeda
dari biasanya dalam situasi tertentu? Klien akan secara teratur mendiskusikan
masalah yang mungkin klien miliki dan kemajuan yang telah dibuat. Terapi
perilaku kognitif juga menggunakan latihan relaksasi, metode penghilang stres dan
nyeri, dan strategi pemecahan masalah tertentu.21,27
Dibandingkan dengan pendekatan psikoterapi analitis, terapi perilaku
kognitif adalah pengobatan jangka pendek. Tetapi juga tidak ada panjang standar
terapi perilaku kognitif. Beberapa orang sudah merasa jauh lebih baik setelah
beberapa sesi, sementara yang lain membutuhkan perawatan selama beberapa
bulan. Hal ini tergantung pada jenis dan tingkat keparahan masalah. Sesi psikoterapi
individu biasanya berlangsung sekitar satu jam. Sesi biasanya dilakukan seminggu
sekali. Terapi perilaku kognitif ditawarkan dalam praktik psikoterapi, rumah sakit,
dan klinik rehabilitasi. Kadang-kadang juga ditawarkan sebagai terapi kelompok.27

Berikut tahapan perilaku kognitif yang dijelaskan secara lebih rinci:21,27


Sesi Pertama Terapi Perilaku Kognitif
Pada sesi pertama, terapis biasanya akan mengumpulkan informasi tentang
klien dan menanyakan masalah apa yang ingin diatasi. Terapis kemungkinan akan
bertanya tentang kesehatan fisik dan emosional saat ini dan di masa lalu untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang situasi klien. Terapis mungkin
mendiskusikan apakah klien mungkin mendapat manfaat dari perawatan lain juga,
seperti obat-obatan. Diperlukan beberapa sesi bagi terapis untuk sepenuhnya
memahami situasi dan kekhawatiran klien dan untuk menentukan tindakan terbaik.
Selama Terapi Perilaku Kognitif
Terapis akan mendorong klien untuk berbicara tentang pikiran dan perasaan
dan hal yang mengganggu. Terapi perilaku kognitif umumnya berfokus pada
masalah tertentu, menggunakan pendekatan berorientasi tujuan. Saat menjalani
proses terapi, terapis mungkin meminta klien untuk mengerjakan pekerjaan rumah-

27
aktivitas, membaca, atau praktik yang didasarkan pada apa yang klien pelajari
selama sesi terapi regular dan mendorong klien untuk menerapkan apa yang klien
pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Terapis dapat menggabungkan terapi perilaku
kognitif dengan pendekatan terapeutik lain seperti terapi interpersonal, yang
berfokus pada hubungan dengan orang lain.
Langkah-langkah dalam Terapi Perilaku Kognitif:27,28
• Identifikasi situasi atau kondisi yang mengganggu dalam hidup klien
Ini mungkin termasuk masalah seperti kondisi medis, perceraian, kesedihan,
kemarahan atau gejala gangguan kesehatan mental. klien dan terapis mungkin
memerlukan waktu untuk memutuskan masalah dan tujuan apa yang ingin
difokuskan.
• Sadari pikiran, emosi, dan keyakinan klien tentang masalah ini
Setelah klien mengidentifikasi masalah yang harus diatasi, terapis akan
mendorong klien untuk membagikan pemikiran tentang masalah tersebut,
termasuk mengamati tentang suatu pengalaman (pembicaraan diri sendiri),
interpretasi klien tentang makna suatu situasi, dan keyakinan tentang dirinya,
orang lain, dan peristiwa. Terapis mungkin menyarankan agar klien membuat
jurnal tentang pemikirannya.
• Identifikasi pemikiran negatif atau tidak akurat
Dalam membantu klien mengenali pola berpikir dan perilaku yang mungkin
berkontribusi pada masalah, terapis mungkin meminta klien untuk
memperhatikan respons fisik, emosional, dan perilaku dalam situasi yang
berbeda.
• Membentuk kembali pemikiran negatif atau tidak akurat
Terapis kemungkinan akan mendorong klien untuk bertanya pada diri sendiri
apakah pandangan klien tentang suatu situasi yang didasarkan pada fakta atau
persepsi yang tidak akurat tentang apa yang sedang terjadi. Langkah ini bisa
jadi sulit. Dengan latihan, pola pikir dan perilaku akan menjadi kebiasaan dan
tidak membutuhkan banyak usaha.

28
2.3.6 Lama Terapi Perilaku Kognitif
CBT umumnya dianggap terapi jangka pendek - mulai dari sekitar lima
hingga 20 sesi. Klien dan terapis dapat mendiskusikan berapa banyak sesi yang
mungkin tepat. Faktor yang perlu dipertimbangkan meliputi: 27,28
• Jenis gangguan atau situasi
• Tingkat keparahan gejala
• Berapa lama mengalami gejala atau waktu telah berurusan dengan situasi
• Seberapa cepat adanya kemajuan
• Seberapa besar stres yang dialami
• Berapa banyak dukungan yang diterima dari anggota keluarga dan orang lain.
2.3.7 Hasil Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku kognitif mungkin tidak menyembuhkan kondisi klien atau
menghilangkan situasi yang tidak menyenangkan. Tetapi terapi ini dapat memberi
kekuatan untuk mengatasi situasi dengan cara yang sehat dan agar klien merasa
dirinya lebih baik. Berikut beberapa hal yang dapat memengaruhi hasil terapi: 27,28
• Pendekatan terapi sebagai kemitraan
Terapi efektif bila peserta aktif dan ikut serta dalam pengambilan keputusan.
Pastikan klien dan terapis setuju tentang masalah utama dan cara
mengatasinya. Bersama-sama, tetapkan tujuan dan nilai kemajuan dari waktu
ke waktu.
• Bersikap terbuka dan jujur
Keberhasilan terapi bergantung pada kesediaan klien untuk berbagi
pemikiran, perasaan, dan pengalaman serta keterbukaan terhadap wawasan
dan cara baru dalam melakukan sesuatu.
• Tetap pada rencana perawatan
Melewatkan sesi terapi dapat mengganggu kemajuan terapi. Oleh sebab itu,
klien harus menghadiri semua sesi dan pikirkan apa yang ingin didiskusikan.
• Mengerjakan pekerjaan rumah bagi klien diantara sesi
Jika klien diminta terapis untuk membaca, membuat jurnal atau melakukan
aktivitas lain di luar sesi terapi reguler, maka klien sebaiknya melakukannya.
Melakukan pekerjaan rumah ini akan membantu menerapkan apa yang telah
dipelajari dalam sesi terapi.

29
2.4 Psikoterapi pada Pasien dengan Gangguan Depresi
Gangguan depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama.
Bukti ekstensif dan pedoman klinis menunjukkan bahwa pengobatan yang efektif
untuk depresi mencakup farmakoterapi dan psikoterapi. Terapi perilaku kognitif
(CBT) adalah jenis umum dari terapi psikoterapi dan merupakan salah satu
intervensi psikologis yang paling berbasis bukti untuk pengobatan beberapa
gangguan kejiwaan seperti depresi.29
Sejumlah penelitian telah dilakukan dan menunjukkan efektivitas CBT pada
gangguan depresi. Sebuah meta-analisis dari 115 studi telah menunjukkan bahwa
CBT adalah strategi pengobatan yang efektif untuk depresi dan pengobatan
kombinasi dengan farmakoterapi secara signifikan lebih efektif daripada
farmakoterapi saja. Bukti juga menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan pasien
yang ditatalaksana dengan CBT lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang
hanya diobati dengan farmakoterapi.30
Pedoman pengobatan untuk depresi menunjukkan bahwa intervensi
psikologis adalah strategi yang efektif dan dapat diterima untuk pengobatan depresi.
Intervensi psikologis paling sering digunakan untuk episode depresi ringan hingga
sedang. Indikasi untuk terapi perilaku kognitif (CBT) antara lain:30
• Preferensi klien
• Ketersediaan dan aksesibilitas terapis terlatih
• Situasi khusus seperti anak-anak dan remaja, kehamilan, menyusui, Wanita
dalam kelompok usia subur yang merencanakan kehamilan, penyakit
penyerta medis, dan lain-lain
• Ketidakmampuan untuk mentolerir perawatan psikofarmakologis
• Adanya faktor psikososial yang signifikan, konflik intrapsikis, dan kesulitan
interpersonal
Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk CBT. Namun, sering dilaporkan
bahwa klien dengan komorbiditas gangguan kepribadian berat seperti gangguan
kepribadian antisosial dan kecerdasan subnormal sulit dikelola melalui CBT.
Berikut beberapa keuntungan dari terapi perilaku kognitif dalam depresi:30

30
• Digunakan untuk mengurangi gejala depresi sebagai pengobatan independen
atau dalam kombinasi dengan obat-obatan
• Digunakan untuk memodifikasi skema atau keyakinan yang mendasari yang
mempertahankan depresi
• Dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah psikososial, misalnya
perselisihan perkawinan, stres kerja yang dapat berkontribusi pada gejala
• Mengurangi angka kemungkinan kekambuhan
• Meningkatkan kepatuhan terhadap perawatan medis yang direkomendasikan

Terapi perilaku kognitif (CBT) dapat dilakukan secara Out Patient


Department (OPD) dengan sesi yang direncanakan secara teratur. Setiap sesi
berlangsung selama sekitar 45 menit hingga 1 jam tergantung pada kesepakatan
pasien dan terapis. Dalam situasi tertentu, CBT dapat diberikan dalam layanan
rawat inap bersama dengan pengobatan seperti biasa seperti pengobatan adjuvant
pada depresi berat, risiko tinggi untuk melukai diri atau bunuh diri, pasien dengan
beberapa komorbiditas medis atau psikiatri dan pada pasien yang dirawat di rumah
sakit karena alasan sosial. Penggunaan terapi perilaku kognitif sesuai dengan
tingkat keparahan depresi dapat dilihat pada Tabel 2.3.30

31
Tabel 2.3. Terapi Perilaku Kognitif Sesuai dengan Tingkat Keparahan Depresi
Jenis depresi Garis pertama Tambahan Jumlah sesi

CBT atau obat-


Ringan CBT atau obat-obatan 8–12
obatan

CBT atau obat-


Sedang CBT atau obat-obatan 8–16
obatan

Pengobatan atau/dan
Berat CBT 16 atau lebih
pengobatan somatic

16 atau lebih dan sesi


Depresi kronis dan CBT atau obat-
CBT atau obat-obatan booster hingga 1-2
depresi berulang obatan
tahun

Protokol pengobatan psikoterapi yang didukung secara empiris terdiri dari


setidaknya 12-20 sesi mingguan selama 1 jam. Namun, terkadang terdapat kendala
waktu dan sumber daya yang menimbulkan hambatan penting untuk secara efektif
menerapkan psikoterapi durasi standar (yaitu, 12 hingga 20 sesi) untuk depresi.
Penelitian oleh Jason et al.(2012) dengan menggunakan metode complex systematic
review dan meta-analisis pada 2 uji systematic review dan 15 uji randomized
controlled trials (RCT) tentang psikoterapi singkat ≤ 8 sesi untuk depresi
mengatakan bahwa kedua systematic review tersebut menyimpulkan terapi kognitif
perilaku (CBT) durasi singkat tersebut efektif terhadap pengobatan fase akut
depresi di perawatan primer. Kesimpulan tersebut didukung dengan analisis
terhadap 15 uji RCT, 7 diantaranya belum termasuk dalam 2 uji systematic review
sebelumnya. Pada tinjauan oleh Cuijpers tidak menemukan perbedaan yang
signifikan secara statistik antara psikoterapi yang diberikan dalam 6 sesi
dibandingkan dengan psikoterapi yang diberikan dalam 7 hingga 16 sesi. Selain itu,
dalam uji coba penting yang dilakukan oleh Shapiro, et al. menggunakan 117 pasien
dengan depresi dilakukan randomisasi menjadi 8 atau 16 sesi psikoterapi manual,
dan 16 sesi ditemukan lebih unggul dari 8 hanya untuk mereka yang mengalami
depresi berat. Dari beberapa tinjauan tersebut dapat disimpulkan bahwa psikoterapi
singkat merupakan pilihan yang efektif untuk pengobatan fase akut depresi dengan

32
sebagian besar protokol yang hanya membutuhkan 6 sesi masing-masing 30
menit.29,31,32
Teori kognitif untuk depresi mengkonseptualisasikan bahwa orang tidak
dipengaruhi oleh peristiwa melainkan pandangan yang mereka ambil dari peristiwa
tersebut. Ini pada dasarnya berarti bahwa perbedaan individu dalam proses berpikir
maladaptif dan penilaian negatif dari peristiwa kehidupan mengarah pada
pengembangan reaksi kognitif disfungsional. Disfungsi kognitif ini pada gilirannya
bertanggung jawab atas sisa gejala dalam domain afektif dan perilaku. Aaron beck
mengusulkan model kognitif depresi yang dijelaskan pada Gambar 2.2. 30
Gambar 2.2. Model Kognitif Depresi

Respon terhadap psikoterapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terbagi


menjadi faktor terkait pasien dan faktor terkait terapis. Adapun faktor terkait
pasien antara lain: 30
• Pikiran psikologis pasien: Pasien yang mampu memahami dan melabeli
perasaan dan emosi mereka umumnya merespons CBT dengan lebih baik.

33
Meskipun beberapa pasien dalam proses pengobatan mempelajari
keterampilan tersebut selama pengobatan
• Tingkat intelektual pasien juga dapat mempengaruhi efektivitas pengobatan
secara keseluruhan
• Kesediaan dan motivasi dari pihak pasien: Meskipun bukan merupakan
prasyarat, pasien yang termotivasi untuk menganalisis perasaan mereka dan
siap untuk menjalani berbagai pekerjaan rumah menunjukkan respons yang
lebih baik terhadap pengobatan.
• Preferensi pasien adalah faktor tunggal yang paling penting: Setelah
penilaian awal pasien, mereka yang lebih memilih perawatan psikologis
dapat ditawarkan CBT sendiri atau dalam kombinasi tergantung pada jenis
depresi.
• Mereka dengan depresi ringan hingga sedang CBT dapat direkomendasikan
sebagai pengobatan lini pertama
• Pasien dengan depresi berat mungkin memerlukan kombinasi CBT dan
obat-obatan (dan atau perawatan lain)
• Ketidakmampuan untuk mentolerir pengobatan psikofarmakologis
• Adanya faktor psikososial yang signifikan, konflik intrapsikis, dan kesulitan
interpersonal.
Sedangkan, faktor terkait terapis antara lain ketersediaan terapis perilaku
kognitif/psikiater dan kemampuan terapis untuk membentuk aliansi terapeutik
dengan pasien. 30

34
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama.
Bukti ekstensif dan pedoman klinis menunjukkan bahwa pengobatan yang efektif
untuk depresi mencakup farmakoterapi dan psikoterapi. Psikoterapi secara umum
dibagi menjadi dua yaitu psikoterapi suportif dan psikoterapi wawasan atau
genetik-dinamik. Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah jenis umum dari terapi
psikoterapi. Terapi perilaku kognitif (CBT) merupakan salah satu intervensi
psikologis yang paling berbasis bukti untuk pengobatan beberapa gangguan
kejiwaan seperti depresi. Protokol pengobatan psikoterapi yang didukung secara
empiris terdiri dari setidaknya 12-20 sesi mingguan selama 1 jam yang disebut
sebagai durasi standar. Namun, terkadang terdapat kendala waktu dan sumber daya
yang menimbulkan hambatan penting untuk secara efektif menerapkan psikoterapi
durasi standar sehingga memicu beberapa peneliti untuk mengetahui efektivitas
psikoterapi dengan durasi yang lebih singkat terhadap depresi dan dapat
disimpulkan bahwa terapi kognitif perilaku (CBT) durasi singkat (≤8 sesi) efektif
terhadap pengobatan fase akut depresi di perawatan primer. Namun, pada pasien
dengan depresi berat dibutuhkan psikoterapi dosis standar atau lebih lama.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. Depressive Disorders. DSM V, 5th ed.


Washington DC; 2013;12-17.
2. Fennell M. Terapi perilaku kognitif untuk gangguan depresi. Dalam: Gelder
M, Andreasen N, Lopez-Ibor J, Geddes J, editor. Buku Teks Oxford
Psikiatri Baru. New York: Pers Universitas Oxford; 2012. hlm. 1304–12.
3. Indian J Psychiatry. 2020 Jan; 62(Suppl 2): S223–S229. Published online
2020 Jan 17. doi: 10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry_772_19
4. American Psychiatric Association. Depressive Disorders. DSM V, 5th ed.
Washington DC; 2013;12-17.
5. Velligan DI and Alphs LD. Negative Symptoms in Schizophrenia: The
Importance of Identification and Treatment. Psychiatric Times. March 1,
2008;25(3).
6. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Schizophrenia and Other Psychotic
Disorders. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry,
8th ed ; 2005.
7. P. Kulhara, A Avasthi, R Chadda. Negative and depressive symptoms in
schizophrenia. The British Journal of Psychiatry; 1989; 154:207-11.
8. K. W. Sax, S. Strakowski, Keck. Relationships among negative, positive,
and depressive symptoms in schizophrenia and psychotic depression. The
British Journal of Psychiatry; 1996; 168:68-71.
9. D A Johnson. Studies of depressive symptoms in schizophrenia. The British
Journal of Psychiatry;1981.
10. Novita S. Correlation Between Family Health Task and Relapse of
Schizophrenia. Journal Universitas Airlangga, Surabaya; 2012: 9 – 23.
11. Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.
12. McInnis Melvin G, Riba Michelle , Greden John F.Depressive disorders.
American Journal of Psychiatry; 2001: 882 – 882
13. Philip Gorwood , M.D., Ph.D. , Emmanuelle Corruble , M.D., Ph.D. , et all.
Depressive symptoms, medical illness, and functional status in depressed
psychiatric inpatients. American Journal of Psychiatry; June 1993: 910 –
915.
14. Arshad, Samreen K, Farah J. Impact of Caregivers' Expressed Emotions on
their Mental Health and Relapse Symptoms; 1998.
15. Maramis.2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press:
Surabaya
16. Goldfried, M. R. 2013. Clinical Psychology Review. Department of
Psychology, Stony Brook University, New York: Elsevier; May 2013: 862–
869.

36
17. Wampold, B. E., & Imel, Z. E. 2015. The great psychotherapy debate: The
evidence for what makes psychotherapy work, 2nd ed. American
Psychological Association
18. Halovic, S. 2016. Effective Therapeutic Relationships Using
Psychodynamic Psychotherapy in the Face of Trauma : Comment on "The
Ethics of Isolation for Patients With Tuberculosis in Australia". J Bioeth
Inq, 13, 159-60.
19. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri edisi 6. Jakarta: EGC.
20. Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis
edisi 2. Jakarta: EGC.
21. InformedHealth.org [Internet]. Cologne, Germany: Institute for Quality and
Efficiency in Health Care (IQWiG); 2006-. Cognitive behavioral therapy.
2013 Aug 7 [Updated 2016 Sep 8]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279297/
22. What is cognitive behavioral therapy. American Psychological Association.
https://www.apa.org/ptsd-guideline/patients-and-families/cognitive-
behavioral. Accessed Feb. 6, 2019.
23. What is psychotherapy? American Psychiatric Association.
https://www.psychiatry.org/patients-families/psychotherapy, Accessed
Feb. 6, 2019.
24. Ethical principles of psychologists and code of conduct: Including 2010 and
2016 amendments. American Psychological Association.
https://www.apa.org/ethics/code/. Accessed Feb. 6, 2019.
25. PTSD: National Center for PTSD — Types of therapists. U.S. Department
of Veterans Affairs.
https://www.ptsd.va.gov/understand_tx/types_therapist.asp. Accessed Feb.
6, 2019.
26. Cognitive behavioural therapy (CBT). Royal College of Psychiatrists.
https://www.rcpsych.ac.uk/mental-health/treatments-and wellbeing/
cognitive- behavioural-therapy-(cbt). Accessed Feb. 7, 2019.
27. Understanding psychotherapy and how it works. American Psychological
Association. https://www.apa.org/helpcenter/understanding-
psychotherapy. Accessed Feb. 6, 2019.
28. Cognitive behavioural therapy (CBT). Royal College of Psychiatrists.
https://www.rcpsych.ac.uk/mental-health/treatments-and-
wellbeing/cognitive-behavioural-therapy-(cbt). Accessed August, 2022.
29. Jason A, Niewsma, Jennifer M.et eal. 2012. Brief Psychotherapy for
Depression: A Systematic Review and Meta-Analysis. Int J Psychiatry Med.
2012; 43(2) :129–151.
30. Cognitive Behavioral Therapy for Depression. Indian J Psychiatry. 2020
Jan; 62(Suppl 2): S223–S229.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7001356
31. Cuijpers, P. 2019. Targets and outcomes of psychotherapies for mental
disorders: an overview. World Psychiatry 2019;18:276–285
32. Shapiro DA, Barkham M, Rees A, Hardy GE, Reynolds S, Startup M.
Pengaruh durasi pengobatan dan tingkat keparahan depresi pada efektivitas

37
psikoterapi kognitif-perilaku dan psikodinamik-interpersonal. J
Konsultasikan dengan Clin Psychol. 1994; 62 :522–34.

38

Anda mungkin juga menyukai