Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

TERAPI SOMATIK
Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa II

KELOMPOK 6 :

Rika Andriani (2040703008)


Lailatul Fauziah (2040703030)
Reghina Julia Rahayu (2040703034)
Devi Miftahul Hasanah (2040703037)
Putri Nabilah Nur Athifah (2040703041)
Sherina Fransiska (2050703039)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
telah melimpahkan rahmat dan berkah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas penulisan makalah kelompok dengan baik dan tanpa kendala apapun.
Makalah berjudul “Terapi Somatik” ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
semester 6 dalam mata kuliah Keperawatan Jiwa II.
Pada kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak
yang telah membantu sekaligus memberi dukungan dalam penyusunan makalah
ini, terutama kepada seluruh dosen pengajar Keperawatan Jiwa II
1. Bapak M. Akbar Nugraha, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Kep.J
2. Ibu Darni, S.Kep, Ns., M.Kep
3. Ibu Fitriya Handayani, S.Kep., Ns., M.Kep
4. Ibu Hasriana, S.Kep., Ns., M.Kep
Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Karenanya, kami menerima kritik serta saran yang
membangun dari pembaca agar kami dapat menulis makalah secara lebih baik
pada kesempatan berikutnya.
Besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat dan berdampak besar
sehingga dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca, terutama Mahasiswa/i
Fakultas Ilmu Kesehatan Jurusan S1 Keperawatan Universitas Borneo Tarakan.

Tarakan, 19 Maret 2023

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan Makalah.........................................................................................2

1.3.1 Tujuan Umum........................................................................................2

1.3.2 Tujuan Khusus.......................................................................................2

BAB II TINJAUAN LITERATUR.......................................................................3

2.1 Pengertian Terapi Somatik........................................................................3

2.2 Klasifikasi Terapi Somatik........................................................................3

2.3 Indikasi Terapi Somatik............................................................................6

2.4 Kontraindikasi Terapi Somatik.................................................................8

2.5 Efek Samping Terapi Somatik..................................................................9

2.6 Peran Perawat Dalam Pemberian Terapi Somatik..................................10

BAB III PENUTUP..............................................................................................13

3.1 Kesimpulan..............................................................................................13

3.2 Saran........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan
atau bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya
kualitas hidup manusia. Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan
persaingan bebas cenderung meningkat. Berbagai hal seperti kegagalan dalam
hidup, kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, masalah dalam
pernikahan, tekanan dalam pekerjaan, krisis ekonomi merupakan faktor pemicu
yangg menimbulkan stress dan dapat meningkatkan risiko menderita gangguan
jiwa (Jayanti et al., 2019). Menurut Purnama 2016 dalam (Nurcantika, 2019)
mengatakan bahwa gangguan jiwa adalah seseorang dari segi mental yang
terganggu bahkan pikirannya tidak bisa digunakan secara normal. Skizofrenia
adalah kerusakan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kogitif, aktif,
gangguan memandang terhadap realitas dan hubungan interpersonal, dan
mempunyai perubahan perilaku seperti perilaku agisitas dan agresif.
Menurut data WHO pada tahun 2012 dalam (Nurcantika, 2019) angka
penderita gangguan jiwa mengkhawatirkan secara global, sekitar 450 juta jiwa
yang menderita gangguan mental. Prevalensi skizofrenia mencapai 2,5% dari
jumlah total penduduk di Indonesia yaitu sekitar 6 juta orang (Novitayani, 2018).
Sementara untuk provinsi Kalimantan Utara, prevalensi gangguan jiwa
skozofrenia sebesar 6,8% dimana angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata
nasional (Diskominfo, 2021).
Dalam membantu mengurangi dan mengatasi tingginya angka pengidap
gangguan mental, diperlukan sebuah wadah yang dapat secara efektif merestorasi
keadaan mental pasien. Jenis pelayanan kesehatan yang biasa dilakukan pada
penanganan pasien skizofrenia adalah terapi somatik. Terapi somatik bertujuan
untuk merubah perilaku pasien yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptid
dalam melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Jayanti et al., 2019).
Berdasarkan uraian tersebut maka kelompok tertarik untuk menyusun
makalah Keperawatan Jiwa tentang “Terapi Somatik”.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari terapi somatik?
2. Apa saja klasifikasi dari terapi somatik?
3. Apa indikasi dan kontraindikasi pada pemberian terapi somatik?
4. Apa saja efek samping dari terapi somatik?
5. Bagaimana peran perawat dalam pemberian terapi somatik?

1.3 Tujuan Makalah


1.3.1 Tujuan Umum
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca mengetahui dan memahami
tentang terapi somatik
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian terapi somatik
2. Mengetahui klasifikasi terapi somatik
3. Mengetahui indikasi dan kontra indikasi terapi somatik
4. Mengetahui efek samping terapi somatik
5. Mengetahui peran perawat dalam pemberian terapi somatik

2
BAB II
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Pengertian Terapi Somatik


Terapi somatik merupakan teknik yang mengeksplorasi potensi manusia
untuk mengatasi stres, kecemasan dan depresi. Penerapan terapi somatik
didasarkan pada model medikal yang merupakan pengkajian spesifik dan
pengelompokkan gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abormal dipercaya
akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu. Tujuan dari penerapan terapi
somatik adalah membantu pasien untuk menyelaraskan tubuh, pikiran, hati dan
jiwa, serta membantu pasien untuk menjadi sadar diri dan melanjutkan hidup
mereka (Risnasari, 2019).

2.2 Klasifikasi Terapi Somatik


1. Restrain
Restrain adalah terapi yang menggunakan alat-alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien. Alat tersebut meliputi penggunaan
manset untuk pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat. Restrain harus
dilakukan pada kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi yang terakhir
jika perilaku klien sudah tidak dapat di atasi atau dikontrol dengan strategi
perilaku maupun modifikasi lingkungan. Terapi restrain dilakukan dengan
tujuan menghindari risiko menciderai diri pasien sendiri atau orang lain,
untuk menurunkan perilaku agresif sudah tidak mempan lagi dengan obat-
obatan,untuk mencegah jatuh pada pasien yang sedang bingung, agar pasien
bisa istirahat dan ada beberapa pasien yang meminta sendiri agar perilakunya
bisa terkontrol (Kuncoro dkk, 2021).
2. Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi yang mengurung klien dalam ruangan khusus.
Klien tidak dapat meninggalkan ruangan tersebut secara bebas. Bentuk siklusi
dapat berupa pengurungan diruangan tidak terkunci sampai pengurungan
dalam ruangan yang terkunci dengan kasur tanpa seprei, terganting dari
tingkat kegawatan klien (Kuncoro dkk, 202). Adapun tujuan dilakukan terapi

3
seklusi adalah memberikan pasien kesempatan untuk memperoleh kembali
pengendalian diri secara fisik dan emosional (Sholehah & Sulalah, 2021)
3. ECT (Electro Convulsif Therapy)
ECT adalah suatu tidakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Terapi ini
dilakukan dengan memberikan kejutan listrik di kepala melalui elektroda
yang ditusukkan di kulit kepala. Kejutan listrik bisa memberikan dampak
pada nerokimia, neuroendrokrin, dan neuropsikologis seperti dampak obat-
obatan antidepresan dalam waktu yang lama. ECT menghasilkan perubahan
pada reseptor neurotransmitter seperti asetilkolin, nor epinefrin, dopamin dan
serotonin sama seperti obat antidepresan. Adapun terapi ECT bertujuan untuk
menginduksi suatu kejang kronik yang dapat memberi efek terapi ( therapetic
clonic seizure) setidaknya pada 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu
kejang dimana seseorang kehilangan kesadaran yang mengalami renjatan.
Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat
dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penulisan menunjukan kalau
ECT dapat meningkatkan kadar serum Brainderived Neutrophic (Linda,
2020).
4. Foto terapi/terapi sinar
Foto terapi atau terapi sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan
dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-20x lebih terang daripada sinar
ruangan. Klien biasanya duduk, mata terbuka, 1,5 meter di depan klien
diletakkan lampu setinggi mata. Waktu dilaksanakan foto terapi bervariasi
dari orang per orang. Beberapa klien berespon kalau terapi diberikan pada
pagi hari, sementara yang lain lebih berespon kalau diberikan pada sore hari.
Terapi sinar sangat bermanfaat dan menimbulkan efek yang positif.
Kebanyakan klien membaik setelah 3-5 hari terapi kan tetapi bisa kambuh
kembali segera setelah terapi dihentikan (Kuncoro et al., 2021). Foto terapi
bertujuan untuk dapat menurunkan 75% gejala depresi yang dialami pasien
depresi musim dingin atau gangguan efektif musiman, dimana pada beberapa
pasien ketika mendung terus-menerus dapat menimbulkan kekambuhan
depresi (Tumuya dkk,2019).

4
5. Sleep deprivation terapi
Menurut (Loannou, 2021) Metode pengobatan yang menarik adalah kurang
tidur (sleep deprivation/SD) atau terapi bangun, di mana pasien secara
sengaja tetap terjaga selama satu malam atau lebih untuk mengatur ritme
diurnal dan dengan demikian mengurangi gejala depresi. Meskipun remisi
gejala depresi dalam semalam setelah SD telah banyak dilaporkan,
kekambuhan setelah tidur pemulihan adalah hal yang umum terjadi. Untuk
meningkatkan efek SD dan untuk mencapai efek yang dipertahankan,
beberapa protokol kronoterapi telah dikembangkan. Protokol ini bervariasi
dalam beberapa aspek: jenis SD (total, yaitu SD lengkap untuk satu malam
penuh atau parsial, yaitu sebagian malam); jumlah malam terjaga (tunggal
atau berulang dengan malam yang terputus-putus dengan tidur); manajemen
tidur setelah SD (misalnya lama tidur pemulihan, strategi untuk kemajuan
fase tidur dan stabilisasi waktu tidur); strategi pemeliharaan (misalnya terapi
cahaya bersamaan atau farmakoterapi) dan strategi untuk kepatuhan terhadap
protokol (misalnya pengaturan di rumah sakit, berbagai metode pemantauan,
ketersediaan aktivitas fisik dan sosial selama SD). Tujuan dilakukan terapi
sleep deprivation adalah untuk memaksimalkan kembali kualitas tidur pasien
dan membantu perawatan jadwal tidur yang tepat..
6. Terapi aktivitas kelompok
Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah terapi yang berupaya untuk
memberikan fasilitas bagi perawat atau psikoterapis untuk diberikan kepada
pasien dengan waktu yang bersamaan (Maulana et al., 2021) dalam (Nafisa et
al., 2023). Masalah-masalah keperawatan jiwa yang dapat diatasi melalui
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) adalah klien dengan isolasi sosial,
menarik diri, halusinasi, waham dan perilaku kekerasan. Melalui Terapi
Aktivitas Kelompok (TAK) masing-masing pasien saling membantu dalam
membangun hubungan, serta mengubah perilaku destruktif dan maladaptif.
Kekuatan terapi aktivitas kelompok ini terletak pada kontribusi dari setiap
anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuan bersama (Keliat, 2007) dalam
(Parcoyo, 2023).

5
Terapi Aktivitas Kelompok dilakukan sesuai masalah keperawatan utama
yang timbul pada pasien. Perawat harus mampu mengidentifikasi masalah
keperawatan yang tiap pasien alami. TAK Sosialisasi ditujukan untuk pasien
dengan menarik diri, TAK penyaluran energi ditujukan untuk pasien resiko
perilaku kemarahan, TAK orientasi realitas ditujukan untuk pasien gangguan
orientasi realita (halusinasi dan waham) dan TAK stimulasi orientasi
ditujukan untuk pasien halusinasi. Hal ini ditujukan agar kegiatan di dalam
TAK tepat sasaran, tujuan yang diinginkan dapat tercapai dan masalah
keperawatan yang pasien alami dapat teratasi (Parcoyo,2023). Melalui Terapi
Aktivitas Kelompok (TAK) masing-masing pasien saling membantu dalam
membangun hubungan, serta mengubah perilaku destruktif dan maladaptif.
Kekuatan terapi aktivitas kelompok ini terletak pada kontribusi dari setiap
anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuan bersama (Keliat, 2007) dalam
(Parcoyo,2023). Terapi aktifitas kelompok dapat membantu kesembuhan
pasien jika dilakukan secara teratur dan sesuai dengan masalah keperawatan
yang pasien alami.

2.3 Indikasi Terapi Somatik


1. Indikasi restrain
Indikasi restrain menurut (Arianti et al., 2020), sebagai berikut :
1) Pasien yang beresiko mencederai diri sendiri, menyerang orang lain, dan
lingkungan
2) Mengalami toleransi dan atau tidak lagi responsif terhadap obat-obatan
yang menekan perilaku patologisnya
3) Pengendalian agitasi dan disorientasi
4) Perilaku kekerasan pada benda-benda disekitarnya
5) Agresi verbal atau ancaman menyakiti dan atau secara aktual menyakiti
dirinya
6) Membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa aman dan pengendalian
dirinya
7) Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan penolakan klien

6
2. Indikasi seklusi
Terapi seklusi diperbolehkan untuk dilakukan hanya ketika pasien melakukan
tindakan yang agresif dan membahayakan dirinya sendiri, orang lain, dan
lingkungannya yang tidak berhasil ditenangkan (Kurniawan, 2019b).
3. Indikasi ECT
Indikasi pemberian terapi elektrokonvulsif (ECT) menurut (Agustina, 2018),
sebagai berikut :
1) Gangguan afektif tipe depresi/depresi berat
2) Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak berespon lagi terhadap obat-
obatan
3) Episode manik atau pasien yang memiliki mood yang berlebihan
4) Pasien resiko bunuh diri dan lama tidak menggunakan obat-obatan
4. Indikasi foto terapi/foto sinar
Pada pasien dengan gangguan depresi (Kuncoro et al., 2021).
5. Indikasi sleep deprivation terapi
Menurut (Loannou, 2021) indikasi pada sleep deprivation terapi sebagai
berikut :
1) Pasien dengan gangguan depresi
2) Pasien dengan gangguan bipolar (gangguan manik-depresif)
6. Indikasi TAK
Indikasi terapi aktivitas kelompok menurut (Maulana et al., 2021) sebagai
berikut :
1) Pasien yang mengalami gangguan persepsi : halusinasi, menarik diri,
gangguan realitas, kurang inisiatif atau ide
2) Pasien yang berisiko melakukan perilaku kekerasan
3) Pasien yang tidak mengalami gangguan komunikasi verbal
4) Pasien yang dapat membaca dan menulis

2.4 Kontraindikasi Terapi Somatik


1. Kontraindikasi terapi restrain
Ada beberapa kontraindikasi penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint)
menurut (Kardina Hayati, 2020) yaitu:

7
1) Tidak bisa mendapatkan izin tertulis dari orang tua pasien untuk
melaksanakan prosedur kegiatan
2) Pasien anak kooperatif
3) Pasien anak memiliki komplikasi kondisi fisik atau mental
2. Kontraindikasi terapi seklusi
Menurut (Febriyana, 2019) kontraindikasi dari terapi seklusi antara lain :
1) Risiko tinggi bunuh diri
2) Klien dengan gangguan sosial
3) Kebutuhan untuk observasi masalah medis
4) Hukuman
3. Kontraindikasi terapi ECT
Menurut (Agustin, 2022) kontraindikasi dari ECT yaitu seseorang dengan
penyakit epilepsi, gangguan infark jantung, tekanan tinggi intrakarsial, dan
TBC miller. Tindakan Electroconvulsive therapy memiliki kontraindikasi
menurut (Kemenkes RI, 2007) didalam (Dewi, 2019) yaitu pada pasien yang
usianya masih muda (kurang dari 15 tahun), masih sekolah atau kuliah,
mempunyai riwayat kejang, kondisi fisik kurang baik, wanita hamil dan
menyusui, epilepsi. Kontra indikasi terapi ECT menurut (Febriyana, 2019)
yaitu : Peningkatan tekanan intra cranial (karena tumor otak, infeksi SSP)
1) Keguguran pada kehamilan gangguan sistem muskuloskeletal,
osteoartritis berat, osteoporosis, fraktur karena kejang grandma
2) Gangguan kardiovaskuler, infark miokardium, angina, hipertensi, aritmia,
dan aneurisma
3) Gangguan sistem pernafasan, asma bronkial
4) Keadaan lemah
4. Kontraindikasi foto terapi
Menurut (Dipali et al., 2023) ada 2 kontraindikasi pada foto terapi yaitu :
Kontraindikasi mutlak
1. Sindrom nevus displastik
2. Lupus eritematosus sistemik
3. Dermatomiositis
4. Sindrom kanker kulit genetik (xeroderma pigmentosum, sindrom Gorlin)

8
5. Sindrom Bloom, sindrom Cockayne
6. Pasien tidak mau atau tidak dapat mematuhi prosedur keselamatan
7. Pasien yang secara medis tidak sehat dan tidak mampu berdiri, misalnya
penyakit kardiovaskular atau pernafasan yang parah
Kontraindikasi relatif
1) Riwayat paparan arsenik / radiasi pengion
2) Melanoma sebelumnya
3) Kehamilan
4) Kondisi kulit pra-ganas saat ini
5) Terapi imunosupresif bersamaan
6) Epilepsi akibat foto
7) Katarak
8) Pemfigoid/pemfigus bulosa
9) Kanker kulit non-melanoma
10) Disfungsi hati yang signifikan
11) Usia <16 tahun
5. Kontraindikasi sleep deprivation terapi
1) Pasien dengan anemia
2) Pasien dengan penyakit jantung
3) Pasien vertigo
4) Pasien dengan hipoglikmia
6. Kontraindikasi TAK
Menurut (Restra, 2019) kontraindikasi terapi aktivitas kelompok yaitu :
1) Pasien psikopat dan sosiopat
2) Delusi tak terkontrol
3) Mudah bosan

2.5 Efek Samping Terapi Somatik


1. Efek samping restrain
Efek samping Restrain menurut (Iskandar et al., 2019) :
1) Edema, lesi, resiko terjadi cedera, inkontensia,
2) penampilan klien kurang rapi, dan sering kali
3) kebutuhan dasar manusia pada klien tidak terpenuhi.

9
4) Selain itu klien juga merasakan dampak psikologis yaitu cemas, marah,
takut bahkan trauma baik fisik maupun psikologis
2. Efek samping seklusi
Efek samping terapi seklusi menurut (Kurniawan, 2019) :
1) Trauma psikologi mengambil langkah untuk bunuh diri (suicide)
2) Pasien menjadi cedera atau bahkan meninggal dunia
3. Efek samping ECT
Efek Samping ECT menurut (Rahmiyati et al., 2020) dan (Ghaisani, 2018)
1) Pusing
2) Disorientasi
3) trauma fisik
4) nyeri, kejang yang berlangsung lama
5) resiko kerusakan memori ingatan
6) Kematian
4. Efek samping foto terapi
Menurut Tirta (2020) efek samping dari terapi cahaya yaitu mata dan hidung
kering, sakit kepala, kulit terbakar, dan hipomania masih mungkin terjadi.
Selain itu, rangsangan cahaya yang diberikan pada terapi ini berkaitan erat
dengan ritme sirkadian. Oleh sebab itu, efektivitas terapi cahaya bagi pasien
insomnia tanpa gangguan pola sirkadian masih diragukan. Paparan cahaya
yang lama juga berisiko terhadap kesehatan mata sehingga tidak dianjurkan
bagi pasien dengan masalah pada mata.
5. Efek samping sleep deprivation terapi
Menurut (Loannou, 2021) efek samping sleep deprivation adalah :
1) Setelah semalam melakukan terapi sleep depretion timbul gejala depresi
2) Kambuh kembali setelah tidur pemulihan

10
6. Efek samping TAK
Menurut (Sutinah et al., 2020) jika terapi aktivitas kelompok tidak dilakukan
maka pasien
1) Tidak mampu untuk mempersepsikan stimulus secara rill
2) Penurunan dalam proses sensosi
3) Tidak mampu mengekspresikan perasaan
4) Risiko perilaku mal adaptif

2.6 Peran Perawat Dalam Pemberian Terapi Somatik


1. Peran perawat dalam pemberian restrain dan seklusi
Perawat menjelaskan tindakan prosedur restrain tersebut kepada keluarga
pasien karena dengan melihat kondisi pasien yang tidak kooperatif maka
perawat menjelaskan prosedur restrain tersebut kepada pihak keluarga
pasien.. Kemudian perawat melakukan tindakan tanda-tanda vital kepada
pasien, setelah itu perawat mendokumentasikan tindakan restrain tersebut
serta memberikan lembar persetujuan kepada keluarga untuk dilakukan
tindakan restrain (Narindrianisa, 2019). Perawat mengkaji pasien untuk
melihat apakah ada luka dan memberikan pengobatan yang diperlukan pasien.
Pengawasan secara tidak langsung bisa juga dilakukan dengan monitor atau
video. Perawat memonitor dan mendokumentasikan kondisi kulit pasien,
sirkulasi darah pada tangan dan kaki (untuk pasien yang direstraint), kondisi
emosional dan kesiapan untuk tidak dilakukan restraint dan seklusi. Perawat
juga harus mengobservasi efek samping dari pengobatan yang diberikan pada
dosis tinggi dalam kondisi emergensi. Perawat atau care provider yang
terlibat juga harus menawarkan makanan, air, dan kesempatan menggunakan
kamar mandi. Pasien sebaiknya diberikan informasi mengenai perilaku –
perilaku yang harus dilakukan untuk menentukan apakah restrain atau seklusi
dikurangi atau diakhiri. Kriterianya meliputi kemampuan pasien untuk
mengungkapkan perasaan secara verbal, tidak melakukan ancaman verbal,
ketegangan otot yang menurun dan bisa melakukan kontrol diri (Kurniawan,
2019).

11
2. Peran perawat dalam pemberian ECT
Tindakan perawat dalam pemberian ECT sesuai dengan peran sebagai
pelaksanan dan pendidik menurut (Yusuf et al., 2015) adalah sebagai berikut
ini :
1) Melakukan pemeriksaan fisik pasien secara menyeluruh sebelum
diputuskan untuk melakukan ECT (walaupun tidak ada kontraindikasi).
1. Fungsi vital
2. EKG
3. Rontgen kepala dan rontgen toraks serta rontgen tulang belakang
4. EEG
5. CT scan
6. Pemeriksaan darah dan urine
2) Menjelaskan kepada pasien untuk berpuasa (tidak makan dan minum)
minimal 6 jam sebelum ECT
3) Menjelaskan kepada pasien akan diberikan premedikasi
4) Mengobservasi keadaan pasien dan menjelaskan tentang ECT agar pasien
tidak cemas
5) Menanyakan dan menjelaskan kepada pasien untuk tidak memakai gigi
palsu, perhiasan, ikat rambut, ikat pinggang
6) Tenaga perawat yang akan membantu sebanyak 3-4 orang
3. Peran perawat dalam pemberian TAK
Perawat sebagai terapis perlu mengarahkan. Perawat dapat bertugas sebagai
pimpinan, pembantu pimpinan, fasilitator, dan observer. Namun untuk
kelompok yang telah melakukan aktivitas secara teratur, pasien yang sudah
kooperatif dan stabil dapat berperan sebagai pembantu pimpinan, fasilitator,
observer bahkan sebagai pimpinan. (Yusuf et al., 2015)
4. Peran perawat dalam pemberian foto terapi
Menurut (Stuart, 2016) peran perawat dalam foto terapi yaitu :
1) Melakukan protokol tindakan keperawatan sebelum terapi dan mengkaji
perilaku klien, memantau klien selama dilakukan prosedur, mengevaluasi
respons klien.
2) Jelaskan tujuannya
3) Dokumentasi hasilnya.

12
5. Peran perawat dalam pemberian terapi aktivitas kelompok
Menurut (Stuart, 2016) peran perawat dalam terapi aktivitas kelompok yaitu :
1) Beritahu klien dan jelaskan tujuannya
2) Mengantar pada waktu pelaksanaan dan ajak komunikasi verbal
3) Dokumentasi hasilnya

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Terapi somatik merupakan teknik yang mengeksplorasi potensi manusia
untuk mengatasi stres, kecemasan dan depresi. Penerapan terapi somatik
didasarkan pada model medikal yang merupakan pengkajian spesifik dan
pengelompokkan gejala dalam sindroma spesifik.
2. Klasifikasi terapi somatik terdiri dari beberapa teknik terapi antara lain,
Restrain, seklusi, ECT (Electro Convulsif Therapy), Foto terapi/foto sinar,
sleep deprivation terapi, dan Terapi aktivitas kelompok (TAK).
3. Adapun indikasi dari klasifikasi terapi Somatik yang ada hampir memiliki
indikasi yang sama dimana terapi Somatik ini dapat dilakukan pada pasien
pasien yang sudah tidak dapat menerima obat dikarenakan sudah mencapai
tingkat keparahan berat, dan diberikan terapi Somatik ketika pasien
melakukan kekerasan baik kepada dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
4. Kontra indikasi terapi Somatik terdiri beberapa poin pada setiap terapi, mulai
dari tidak mendapatkan izin tertulis dari orang tua pasien, klien dengan resiko
bunuh diri, pasien dengan gangguan infark miokard, pasien dibawah 15
tahun, pada pasien hamil dan menyusui, kelainan perdarahan, kerusakan saraf
dan penyakit epilepsi.
5. Efek samping dari terapi Somatik adanya edema, lesi, resiko terjadi cedera,
inkontensia, Pusing, disorientasi, trauma fisik, nyeri, kejang, sakit kepala,
kulit terbakar, hingga timbul kekambuhan depresi.
6. Peran perawat dalam terapi Somatik Perawat menjelaskan tindakan prosedur
terapi yang akan dilakukan kepada keluarga pasien, menjadi pendidik dan
pelaksana serta perawat sebagai terapis perlu mengarahkan. Perawat dapat
bertugas sebagai pimpinan, pembantu pimpinan, fasilitator, dan observer.

14
3.2 Saran
Adapun beberapa saran yang dapat penulis sampaikan yaitu :
1. Bagi institusi
Bagi Institusi pendidikan diharapkan dapat menyediakan lebih lengkap
literatur atau bahan bacaan buku mengenai keperawatan jiwa terkhusus pada
terapi somatik untuk mempermudah mahasiswa dalam penyusunan tugas
yang telah diberikan. Kurang lengkapnya bahan baca mengenai keperawatan
jiwa sehingga membuat penulis merasa kesulitan dalam mengambil referensi
untuk tugas yang telah diberikan.
2. Bagi pembaca
Bagi pembaca disarankan agar apabila memiliki keluarga yang mengalami
atau mengenal seseorang yang mengalami gangguan jiwa sekiranya dapat
segera membawa keluarganya ke praktek/klinik kejiwaan agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan serta segera mendapatkan terapi seperti yang
dijelaskan diatas.
3. Bagi mahasiswa
Bagi mahasiswa agar dapat lebih memperdalam ilmu pengetahuannya
khususnya tentang keperawatan jiwa serta dapat menggunakan makalah ini
sebagai evidence based practice dalam pembelajaran keperawatan jiwa
khususnya pada terapi somatik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, P. (2022). Evaluasi ketepatan penggunaan obat antidepresan pada


pasien depresi di puskesmas licin skripsi.
Agustina, M. (2018). Pemberian Terapi Elektrokonvulsif (ECT) Terhadap
Peningkatan Fungsi Kognitif Klien Gangguan Jiwa. Jurnal Ilmiah Ilmu
Keperawatan Indonesia, 8(3).
https://journals.stikim.ac.id/index.php/jiiki/article/download/127/108/
Arianti, D., Hamid, A. Y. S., & Fernandes, F. (2020). Studi Fenomenologi:
Pengalaman Perawat Melakukan Tindakan Restrain Pada Pasien Perilaku
Kekerasan di RSJ. Hb. Saanin Padang. Jik Jurnal Ilmu Kesehatan, 4(2), 184.
https://doi.org/10.33757/jik.v4i2.305
Dipali, G., Rathod., Hira, M., & Sadia, M. Phototherapy. National Library Of
Medicine. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563140/
Diskominfo. (2021). Pemprov Telah Siapkan Lahan Untuk Pembangunan Rumah
Sakit Jiwa. https://diskominfo.kaltaraprov.go.id/gubernur-kaltara-pemprov-
telah-siapkan-lahan-untuk-pembangunan-rumah-sakit-jiwa/
Febriyana, S. (2019). Asuhan Keperawatan Pada..., Fakultas Ilmu Kesehatan
UMP. Kesehatan, 18, 8–23.
Ghaisani, N. (2018). Potensi Ketamin Dosis Rendah untuk penderita depresi
berat. 6(2), 150–152.
Iskandar, I., Anggraini, W. R., & Rahman, B. (2019). Persepsi pasien gangguan
jiwa tentang aspek positif dan negatif dari tindakan restrain fisik pada pasien
rawat inap. Holistik Jurnal Kesehatan, 13(3), 194–200.
https://doi.org/10.33024/hjk.v13i3.1397
Jayanti, D. M. A. D., Lestari, N. K. Y., & Sugiantari, N. N. M. (2019). Pengaruh
Terapi Somatis Isolasi Terhadap Perubahan Perilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia. Journal Center of Research Publication in Midwifery and
Nursing, 3(1), 5–10. https://doi.org/10.36474/caring.v3i1.59
Kurniawan, D. (2019). Restrain Dan Seklusi Dalam Tinjauan Hukum Di
Keperawatan Jiwa. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Maulana, I., Hernawati, T., & Shalahuddin, I. (2021). Pengaruh terapi aktivitas
kelompok terhadap penurunan tingkat halusinasi pada pasien skizofrenia:
literature review. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap Penurunan
Tingkat Halusinasi Pada Pasien Skizofrenia: Literature Review, 9(1), 153–
160.

16
Narindrianisa, C. S. (2019). Kemampuan Perawat Melakukan Tindakan Restrain
pada Pasien Amuk di Unit Gawat Darurat RSJD Dr. Arif Zainudin Surakarta.
In Universitas Muhammadiyah Surakarta. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Novitayani, S. (2018). Terapi Psikofarmaka Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah
Sakit Jiwa Aceh. Idea Nursing Journal, 9(1), 16.
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/view/10816/9512
Nurcantika. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Gangguan
Resiko Perilaku Kekerasan. Media Karya Kesehatan, 2(2).
http://eprints.ukh.ac.id/id/eprint/15/1/Naskah Publikasi cantika.pdf
Rahmiyati, Dewi, Y. T. N., Kuntjoro, C. T., & Soepratignja, P. (2020). The Rights
to Informed Consent to Mental Disorder Patient at Regional Mental Hospital
of Dr . Amino Gondohutomo of Central Java Province. Soepra Jurnal
Hukum Kesehatan, 6(1), 121–142.
resta, T. A. (2019). Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Aktivitas Kelompok
Risnasari, N. (2019). Keperawatan Jiwa: Modul Bahan Ajar Keperawatan.
Fakultas Ilmu Kesehatan Dan Sains Universitas Nusantara PGRI Kediri,
146. http://repository.unpkediri.ac.id/2251/1/BAHAN AJAR
KEPERAWATAN JIWA.pdf
Soemarjono, A. (2015) Terapi Infrared, Klinik Rehabilitasi Khusus Otot Tulang
Sendi I Dokter Sp.KFR I Fisioterapi. Available at:
https://flexfreeclinic.com/layanan/detail/24 (Accessed: March 29, 2023).
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan praktik keperawatan kesehatan jiwa stuart (J. P.
Buni Anna Keliat, Trans. B. Keliat & J. Pasaribu Eds.): Elsevier Singapore.
Yusuf, A. ., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. In F. Ganiajri (Ed.), Jakarta : Salemba medika. Salemba
Medika.

17

Anda mungkin juga menyukai