Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH TUTORIAL

KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA I

TERAPI FARMAKA (OBAT) PADA MASALAH KESEHATAN JIWA :


PSIKOFARMAKA

Dosen Pengampu:

Jumaini, M.Kep, Sp.Kep.J.

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1

Aldi Arsenta (1811110191) Dessika Larassati (1811110762)


Adinda Nia Oktaviani (1811113751) Dina Amanda Ramadhani (1811113599)
Alifia Salsabila (1811113547) Dinda Bucira Alma (1811112458)
Ani Ayu Lita (1811111494) Doni Imam Sari (1811125252)
Anisatul Muntamah (1811112198) Elmi Wahyuni (1811110605)
Annisa Devia Islamy (1811110493) Fadhilah Putri Fertycia (1811110426)
Annisa Ramadhani (1811112392) Fajri Disfa Madhani (1811110273)
Arni Febrianti (1811125318) Hajar Adhara (1811112450)
Datin Suhailah (1811112710) Hanifa Arifany (1811113045)
Delvi Sa’idah (1811112543)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS RIAU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan
Karunia-Nya, kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
baiknya dan tepat pada waktunya.
Makalahini berjudul “Terapi Farmaka (obat) pada Masalah Kesehatan Jiwa :
Piskofarmaka” untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata
kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa I. Selain itu juga, makalah ini diharapkan mampu
menjadi sumber pembelajaran bagi kita semua untuk mengerti lebih jauh tentangTerapi
Farmaka (obat) pada Masalah Kesehatan Jiwa : Piskofarmakasebagai salah satu materi dalam
pleno tutorial KeperawatanKesehatan Jiwa I.
Makalah dibuat dengan meninjau beberapa sumber dan menghimpunnya menjadi
kesatuan yang sistematis. Terimakasih saya ucapkan kepada semua pihak yang menjadi
sumber referensi bagi kami. Terimakasih juga kepada dosen pengampu dan semua pihak
yang terkait dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca sekalian. kami sebagai penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Pekanbaru, 10 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................4
A. Skenario................................................................................................4
B. Terminologi..........................................................................................5
C. Identifikasi Masalah dalam Bentuk Pertanyaan...................................5
D. Hipotesis (Analisis Masalah)................................................................6
E. Analisis Mendalam dan Membuat Sistematika....................................7
F. Identifikasi Learning Objective............................................................9
G. Pembahasan Learning Objective..........................................................9
1. Sejarah Perkembangan Psikofarmaka.............................................9
2. Definisi Psikofarmaka....................................................................11
3. Klasifikasi Psikofarmaka................................................................12
4. Jeni-jenis Psikofarmaka..................................................................13
5. Mekanisme Psikofarmaka...............................................................33
6. Indikasi dan kontraindikasi Psikofarmaka......................................35
7. Efek Samping Psikofarmaka...........................................................36
8. Peran Perawat dalam Psikofarmaka................................................37
9. Tindakan Perawat dalam Masalah Kesehatan Jiwa........................40
10. Pasien Dengan Masalah Gangguan Jiwa Putus Obat.....................45
BAB III PENUTUP.........................................................................................49
A. Kesimpulan...........................................................................................49
B. Saran.....................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................50

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta dipengaruhi
oleh beberapa factor, yaitu: kondisi fisik (samatogenik), kondisi perkembangan mental-
emosional (psikogenik) dan kondisi dilingkungan sosial (sosiogenik). Ketidakseimbangan
pada salah satu factor dari ketiga factor tersebut dapat menyebabkan gangguan jiwa.
Kesehatan jiwa adalah kemampuan seseorang atau individu untuk menyeseuaikan diri
dengan diri sendiri, orang lain masyarakat, dan lingkungan sebagai perwujudan
keharmonisan fungsi mental dan kesanggpannya menghadapi masalah yang biasa terjadi,
sehingga individu tersebut merasa puasa dan mampu.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan
pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. WHO memperkirakan
saat ini di seluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan  jiwa, di Indonesia
sendiri pada tahun 2006 diperkirakan26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan
jiwa dengan ratio populasi 1 berbanding 4 penduduk. Departemen Kesehatan RI mengakui
sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa (Setiawan, 2009).
Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana keadaan
sebelum sakit, beberapa pasein meninggalkan gejala sisa seperti adanya
ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenali realitas, serta perilaku kekanak-kanakan
yang berdampak  pada penurunan produktivitas hidup. Hal ini ditunjang dengan data Bank
Dunia pada tahun2 001 di beberapa Negara yang menunjukkan bahwa hari-hari produktif
yang hilang Atau Dissabiliiy AdjustedLife Years (DALY's) sebesar 8,1 % dari Global
Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa (Setiawan, 2009).
Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan produktifitas maka pada
pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi dengan psikofarmaka sebelum klien
dipulangkan dari Rumah Sakit. Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental
sebesar-besarnya,  penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan
penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan socials ehingga bisa berfungsi sebagai
anggota masyarakat yang mandiri dan berguna .

iii
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf
kualitas hidup pasien.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Sejarah Perkembangan Psikofarmaka?
2. Apa Definisi Psikofarmaka?
3. Apa Klasifikaasi Psikofarmaka?
4. Apa Jenis-Jenis Psikofarmaka?
5. Bagaimana Mekanisme Psikofarmaka?
6. Apa Indikasi dan kontraindikasi Psikafarmaka?
7. Apa Efek Samping Psikofarmaka?
8. Apa Peran Perawat dalam Psikofarmaka?
9. Apa Tindakan Perawat dalam Kesehatan Jiwa?
10. Bagaimana Pasien Dengan Masalah Gangguan Jiwa Putus Psikofarmaka?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran perawat dalam terapi psikofarmaka pada masalah kesehatan
jiwa.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui sejarah perkembangan psikofarmaka.
b) Mengetahui definisi psikofarmaka.
c) Mengetahui klasifikasi psikofarmaka.
d) Mengetahui jenis-jenis psikofarmaka.
e) Mengetahui mekanisme psikofarmaka.
f) Mengetahui indikasi dan kontraindikasi psikofarmasi.
g) Mengetahui efek samping psikofarmaka.
h) Mengetahui peran perawat dalam psikofarmaka.
i) Mengetahui tindakan perawat dalam masalah kesehatan jiwa.
j) Mengetahui pasien dengan masalah gangguan jiwa putus psikofarmaka.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Skenario
Lala, pasien pertamaku di RSJ

Lili, ners muda dari Fkp UNRI sedang berbincang dengan keluarga pasien
kelolaannya (lala, 28 tahun) yang berkunjung ke ruang indrigiri RSJ Tampan.
Keluarga mengatakan sejak usia sekitar 19 tahun Lala mengalami masalah
kejiwaan. Lala adalah anak pertama yang lahir melalui operasi section secsaria
dan premature. Lala cukup lemah secara akademik sehingga pernah tinggal
kelas saat SD, sering mendapat ejekan, merasa minder, danterakhir mengalami
kegagalan saat UN SMA. Akibatnya Lala mengalami maslaah kejiwaan dan
dokter puskesmas memberinya Amitriptylin 3×. Lala berhasil melewati masa
sulitnya dan masuk kuliah disebuah perguruan tinggii swasta.
Lala kembali mengalami banyak stressor ditahun kedua perkualiahanmya
sehingga gejala masalah kejiwaannya muncul kembali. Sejak saat itu Lala
beberapa kali dirawat di RSJ dan mendapatkan obat-obat seperti
Ampitriptyline, chlorpromazine, haloperidol, dan stelazine. Keluaarga Lala
menyatakan selalu memoivasi Lala untuk minum obat secara teratur, namun
kadang-kadang Lala menolak minum obatdengan alasan bosan, minum obat
membuatnya mengantuk, badan terasa kaku dan tegang.
Saat ini kondisi Lala cukup memprihatikan, Lala masih sering murung,
afek datar/tumpul, berjalan dan psikomotor lambat, serta jari jemarinya tremor.
Lala mengalami gangguan estrapiramkidal dan hipotensi ortostatik sebagai
efek samping obat yang dikonsumsinya selama ini. Lili dan perawat
penanggung jawab perawatan Lala menyusun sejumlah rencana tindakan untuk
mengatasi kondisi Lala.

4
B. Terminologi
1. Sectio Caesaria
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.
2. Stressor
Stressor adalah Pengalam atau siuasi yang penuh tekanan.
3. Gangguan ekstrapiramidal
Sindrom ekstrapiramidal (atau sering disebut juga sebagai gejala
ekstrapiramidal) merupakan kondisi yang terjadi akibat gangguan pada
sistem ekstrapiramidal di otak. Akibatnya, penderita melakukan gerakan-
gerakan yang tak disadari dan sulit dikendalikan.
4. Stelazine
Stelazine adalahObat mengandung trifluoperazine untuk mengobati
gangguan mental.
5. Hipotensi ortastik
Hipotensi ortostatik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
penurunan tekanan darah ketika seseorang berdiri. Ketika seseorang berdiri
dari duduk atau berbaring, tubuh harus bekerja untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan posisi itu.
6. Haloperidol
Haloperidol adalah obat golongan antipsikotik yang bermanfaat untuk
mengatasi gejala psikosis pada gangguan mental, seperti skizofrenia. Obat
ini juga dapat membantu mengurangi gejala sindrom Tourette, seperti
gerakan otot yang tidak terkontrol.

C. Identifikasi Masalah dalam Bentuk Pertanyaan


1. Masalah kejiwaan yg bagaimana yang dialami oleh Lala ?
2. Apakah ada hubungan dilakukannya caesar dengan masalah kejiwaan
yang di alami lala?
3. Masalah kejiwaan apa yg dialami oleh Lala sehingga bergejala minder?

5
4. Di skenario terdapat kalimat lala kembali stress dan mengalami gangguan
kejiwaan, disini apakah seseorang yang sudah pernah mengalami
gangguan jiwa kemudian stres akan kembali gangguan jiwa? Apakah tidak
bisa sembuh total?
5. Apa yang membuat lala lemah dalam akademis dan pernah tinggal kelas?
Apakah ada hubungan nya dengan lala yang dilahirkan secara premature?
6. Apa diagnosa yang tepat untuk skenario kita hari ini?
7. Apa saja faktor-faktor yang bisa menyebab remaja memiliki masalah
kejiwaan?

D. Hipotesis (Analisis Masalah)


1. Masalah kejiwaan seperti stressor karena cemeehan dan ejekan yang sering
didapati lala. Masalah kejiwaan lainnya yang didapati Lala adalah Masalah
kejiwaan depresi, karena Lala mengalami perubahan perasaan (mood)
akibat dari ejekan yang diterima.
2. Tidak, di skenario lala mengalami masalah kejiwaan karena dia lemah
secara akademik dan pernah tinggal kelas saat SD. Hal itu yg membuat lala
sering di ejek sehingga dia menjadi minder dan mengalami masalah
kejiwaan.
3. Masalah kejiwaan yang dialami Lala sehingga ia minder dikarenakan dia
trauma ketika diejek oleh temannya dan dia juga lemah secara akademik
sehingga dia minder dengan dirinya. Masalah nya juga karena stressor dan
depresi seperti yang telah disampaikan tadi karena nilai yang rendah
dialami lala
4. Gangguan kejiwaan dapat kembali muncul kembali jika faktor penyebab
terjadinya gangguan jiwa yang lama kembali muncul atau bisa saja adanya
stressor baru yang sama kuatnya untuk memunculkan gangguan kejiwaan si
penderita serta Tidak kuatnya koping si penderita untuk mengatasi masalah
tersebut dan tergantung pengobatan dan management masalah kejiwaan si
penderita.
5. Mungkin ada hubungannya. Karena lala dilahirkan dengan kondisi
prematur yang mana mungkin tingkat kognitif lala tidak berkembang sesuai

6
dengan tahap perkembangannya. karena itu yang menyebabkan lala lemah
dalam akademiknya sehingga ia merasa minder karena sering diejek oleh
teman-teman nya.
6. Gangguan mental berhubungan dengan lingkungan sosial
7. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan masalah kejiwaan remaja, yaitu:
a) Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya
b) Gangguan kecemasan
c) Eksplorasi identitas seksual
d) Bullying di dunia nyata dan maya
e) Faktor kondisi lingkungan sosial dan keluarga yang kurang suportif.
f) Peristiwa traumatik, seperti kekerasan dan pelecehan seksual.
g) Kehilangan orang tua atau disia-siakan di masa kecil.
h) Kurang mampu bergaul dengan orang lain.
i) Perasaan rendah diri, tidak mampu, marah, atau kesepian.
j) Konsumsi obat-obatan terlarang.

E. Analisis Mendalam dan Membuat Sistematika

Lala 28 THN

RSJ Tampan Ruang


Indragiri

Lahir keadaan caesar

Pernah Mengalami Ganguan


Kejiwaan

Lemah Akademik

7
Ejekan Minder Stresor Kegagalan UN

Efek
Murung & Terjadi Datar/Tumpul
tremor Masalah & psikomotor
lambat

Farmakologi

Stelazine Amitriptyline Chlorpromazin Haloperidol


e

-Efek Samping

-Gangguan esthrapiramidal.

-Hipertensi ortstatiik

Terapi Farmaka (obat) pada Masalah Kesehatan Jiwa : Piskofarmaka

8
F. Identifikasi Learning Objective
1. Sejarah Perkembangan Psikofarmaka.
2. Definisi psikofarmaka.
3. Klasifikasi Psikofarmaka.
4. Jenis-Jenis Psikofarmaka.
5. Mekanisme Psikofarmaka.
6. Indikasi dan Kontraindikasi Psikofarmaka.
7. Efek samping psikofarmaka.
8. Peran Perawat Dalam Psikofarmaka.
9. Tindakan Perawat dalam Psikofarmaka.
10. Pasien Masalah Gangguan Jiwa Putus Psikofarmaka.

G. Pembahasan Learning Objective


1. Sejarah Perkembangan Psikofarmaka
Sejarah perkembangan terapi organik dalam psikiatri dimulai sejak
pertengahan tahun 1800-an sampai sekarang, walaupun pada tahun 1960
kumpulan obat psikiatri pada dasarnya adalah yang diketahui saat ini.
Dalamseparuh kedua abad ke-20, kemoterapi sebagai terapi untuk
gangguan mentalmenjadi bidang utama penelitian dan praktek. Hampir
segera setelah diperkenalkannya chlorpromazine pada tahun 1950-an, obat
psikoterapeutikmenjadi inti terapi psikiatrik, khususnya untuk pasien
dengan penyakit mentalyang serius.
Tahun 1949 dokter psikiatrik Australia John Cade menggambarkan
terapi untuk luapan manik dengan lithium (eskalith). Sambil melakukan
prcobaan terhadap binatang, Cade menemukan bahwa lithium karbonat
menyebabkan binatang menjadi lethargi, dan mengarahkannya memberikan
obat kepada beberapa pasien psikiatrik yang teragitasi yang mendapatkan
manfaat terapetik dari obat. Tahun 1950 Charpenter mensintesis Chlor
promazine (suatu anti psikotik fenotiazine alifatik) dalam usaha untuk
mengembangkan suatu obat histaminic yang akan berperan sebagai
pelengkap anestetik. Laborit melaporkan kemampuan obat untuk
menginduksi tidur buatan. Laporan oleh Paraire dan Siguald , John Delay,

9
Piere Deniker, Hein z Lehmann dan Narran menggambarkan efektifitas
Chlorpromazine dalam mengobati agitasi parah dan psicosis.
Chlorpromazine dengan cepat diperkenalkan kepada dokter psikiatrik
Amerika, dan obat lain dengan efektifitas yang serupa juga disintesis
termasuk haloperidol (haldol) yaiu suatu anti psikotik butyrofenon di tahun
1958 oleh Paul Jansson. Inipramine (Tofranill) yaitu suatu obat yang secara
structural berupa trisiklik yang berhubungan dengan anti psikotik
fenotiazine. Sambil melakukan penelitian klinis pada obat mirip
chlorpromazine, Thomas kant menemukan bahwa inipranin tidak efektif
dalam menurunkan agitasi tetapi obat tersebut dapat menurunkan depresi
pada beberapa pasien. Diperkenalkannya inhibitor monoamine oksidasi
(MAOI) untuk mengobati depresi dikembangkan untuk obat
antitubrtkulosis, iproniazide memiliki efek yang meningkatkan mood pada
beberapa pasien. Di tahun 1958 Nathan Kline merupakan salah satu peneliti
pertama yang melaporkan manfaat terapi MAOI pada pasien psikiatrik
yang depresi.
Tahun 1960 dengan diperkenalkannya Chlordiazefoxide (Liberium)
yaitu suatu obat antisietas benzodiazepine yang disintesis oleh Richard
Sternbach di Roche laboratories pada akhir tahun 1950an, armada obat
psikiatrik memasukkan anti psikotik (chlorpromazine), obat trisiklik untuk
depresi (inpramine), inhibitor monoamine oksidase untuk depresi
(tranilsipromine), lethium, dan benzodiazepine, barbiturate untuk terapi
kecemasan dan insomnia. Tiga puluh tahun kemudian dipusatkan kemudian
pada penelitian klinis yang menunjukkan manfaat obat-obat tersebut dan
untuk mengembangkan obat yang berhubungan dalam masing-masing
kategori.
Kemanjuran masing-masing kelas obat untuk mengobati sindroma
psikiatrik yang relative spesifik dan menguraikan efek farmakodinamiknya
memberikan dorongan untuk mengembangkan berbagai hipotesis
neurotransmitter dari berbagai gangguan mental (dopamine untuk
skizoprenia dan hipotesis aminbiogenic untuk gangguan mood).Sejak tahun
1960 tambahan utama terhadap obat psikoterapetik adalah antikonvulsan,

10
khususnya Charbamazepine (tegretol) dan Valproate, yang efektif dalam
mengobati gangguan bipolar I. Buspirone (BuSpar), suatu ansiolitik non-
benzodiazepine, diperkenalkan dalam pemakaian klinis di amerika serikat
pada tahun 1986. Beberapa inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin-
sebagai contohnya Fluoxietin (Prozac) dan obat trisikllik spesifik
serotonergik clomipramine (anafranil) adalah efektif dalam mengobati
depresi dan beberapa gangguan kecemasan, termasuk gangguan obsessive
convulsife.
Obat yang paling terakhir diperkenalkan adalah antagonis reseptor
dopamine yang disertai dengan sedikit efek samping neurologist
( risperidone), obat pertama untuk pengobatan penurunan kognitif pada
demensia tipe alzeimer (tacrine), dan dua antidepresan baru, venlafaxine
dan nefazodone, yang akhirnya dapat terbukti memiliki beberapa
keuntungan terapeutik di atas obat-obat yang sekarang ada.

2. Definisi Psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama
terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan
psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien.
Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang
bersifatNeuroleptik (bekerja pada sistem saraf). Pengobatan pada gangguan
mental bersifatkomprehensif, yang meliputi :
a) Teori biologis (somatik). Mencakup pemberian obat psikotik dan
ElektroConvulsi Therapi (ECT).
b) Psikoterapeutik
c) Terapi Modalitas
Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management
psikoterapi.Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka.
Beberapa hal yang termasukNeurotransmitter adalah Dopamin,
Neuroepineprin, Serotonin, dan GABA (Gama AminoButeric Acid), dll.
Meningkatnya dan menurunnya kadar/konsentrasi neurotransmitter akan

11
menimbulkan kekacauan atau gangguan mental. Obat-obatan psikofarmaka
efektif untuk mengatur keseimbangan Neurotransmitter.
Obat psikofarmaka, sebagai salah satu zat psikoaktif bila digunakan
secara salah (misuse) atau disalahgunakan (abuse) beresiko menyebabkan
gangguan jiwa. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa III (PPDGJ III) penyalahgunaan obat psikoaktif digolongkan kedalam
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.

3. Klasifikasi Psikofarmaka
Psikofarmaka dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar, yaitu:
a) Obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu pada SSP(Sistem
Syaraf Pusat) yang terdiri atas :
1) Neuroleptika
Obat ini bekerja secara antipsikotis dan sedative. Digunakan pada
bermacam-macam psikosis (schizophrenia,mania,dll). Obat ini
disebut juga “major tranquillizer”.
2) Tranquilizers (ataraktika atau anksiolitika)
Tranquillus berasal dari bahasa latin yang berarti tenang. Obat ini
bekerja secra sedative, merelaksasi otot dan antikonvulsif.
Digunakan pada keadaan-keadaan neurotis (gelisah, takut,stess).
Obat ini disebut juga “minor transquillizers”
b) Obat-obat yang menstimulir fungsi-fungsi psikis tertentu pada SSP
(Sistem Syaraf Pusat)
1) Antidepresiva
Dahulu obat ini dipecah lagi menjadi :
(a) Thimoleptika, yang berkhasiat melawan melancholia, dan
memperbaiki suasana jiwa.
(b) Thimeretika, yang berkhasiat menghilangkan inaktivitas
fisik dan mental yang menyertai depresi tanpa memperbaiki
suasana jiwa

12
2) Psikostimulasia.
Obat ini berkhasiat mempertinggi inisiatif,kewaspadaan serta
prestasi fisik dan mental, rasa lelah dan ngantuk ditanguhkan.
Suasan jiwa dipengaruhi silih berganti, seringkali terjadi euphoria
(rasa nyaman), tak jarang juga dapat menimbulkan dysforia (rasa
tidak nyaman) bahkan depresi. Oleh karena itu obat ini tidak layak
digunakan sebagai antidepresivum.Yang termasuk dalam kelompok
ini adalah amfetamin, metilfenidat, fenkamfamin, dan juga kofein.
c) Obat-obat yang mengacaukan fungsi-fungsi mental tertentu.
1) Psikodisleptika.
Obat ini mengandung zat-zat halusinogen, yang menimbulkan
keadaan desintegrasi dengan gejala-gejala yang mirip psikosis
halusinasi, pikiran-pikiran dan impian-impian khayal,dan
sebagainya. Yang termasuk obat ini adalah LSD, fensiklidin
(HOG,PCP) obat-obat ini adalah obat-obat drugs.

Golongan Sinonim Obat acuan


Antipsikosis Neurolrptika, major Chlorpromazine
tranquillizer, ataractics
Antidepresan Thymoleptics, pschic amitrptyline
energizers
Anti anisetas Phsycoleptics, minor Diazepam atau
tranqullizer, anxyolitic chlordiazepoxide
Anti obsesif Drugs used in chlomipramin
konfulsif obsesivecompulsive
disorder
Anti panic Drugs used in panic imipramine

4. Jenis-jenis Psikofarmaka
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan,
diantaranya:antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-
insomnia, anti-panik,dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari
obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan
psikomimetika.

13
a) Anti Psikosis
Obat anti psikosis mempunyai beberapa sinonim antara lain;
neuroleptik dan tranquilizer mayor. Salah satunya adalah
chlorpromazine(CPZ), yang diperkenalkan pertama kali tahun 1951
sebagai premedikasidalam anastesi akibat efeknya yang membuat
relaksasi tingkat kewaspadaanseseorang. CPZ segera dicobakan pada
penderita skizofrenia dan ternyata  berefek mengurangi delusi dan
halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan. Obat-obat anti psikotik
ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu:
1) Obat anti psikotik tipikal
Antipsikotik tipikal adalah obat untuk mengatasi episode
psikosis, yang kerap terjadi pada penderita gangguan skizofrenia.
Pada beberapa kasus, antipsikotik tipikal juga digunakan untuk
memulihkan kondisi mania (perasaan gembira berlebihan), rasa
gelisah, serta kondisi kejiwaan lain. Obat ini disebut juga sebagai
neuroleptic atau antipsikotik konvensional, yang menjadi
antipsikotik generasi pertama. Antipsikotik mulai dikembangkan
pada tahun 1950-an.
(a) Phenothiazine
(b) Rantai aliphatic: Chlorpromazine, levomepromazine.
(c) Rantai piperazine: perphezanize, trifluoperazine, fluphenazine.
(d) Butyrophenone: Haloperidol
(e) diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide
2) Obat anti psikotik atipikal
Antipsikotik atipikal adalah obat yang juga digunakan untuk
memulihkan kondisi psikosis atau gangguan psikotik. Antipsikotik
atipikal merupakan golongan antipsikotik yang lebih baru dari
antipsikotik tipikal, ditemukan sekitar tahun 1990-an. Karena
termasuk baru, golongan ini disebut sebagai antipsikotik generasi
kedua. Selain dopamin, antipsikotik atipikal juga dapat
memengaruhi serotonin, yaitu neurotransmiter lain di otak.

14
(a) Benzamide: Sulpiride
(b) Dibenzodiazepine: Clozapine, Olanzapine, quatipine
(c) Benzisoxazole: Risperidon
Antipsikotik adalah golongan obat yang digunakan dalam
penanganan gangguan mental untuk mengendalikan dan mengurangi
gejala. Dokter dapat memberi obat ini pada pasien yang mengalami
gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan kecemasan, atau depresi.
Dengan obat antipsikotik, gejala-gejala berupa munculnya keyakinan
yang salah dan tidak sesuai kenyataan (waham atau delusi), mengalami
pengalaman panca indera yang tidak nyata seperti mendengar suara
tanpa ada orang yang berbicara (halusinasi), kecemasan dan
kegelisahan yang berlebihan, gangguan pemikiran yang
mengakibatkan pembicaraan tidak dapat dipahami (inkoherensi), atau
perilaku kasar dan membahayakan, dapat ditekan.
Di dalam otak kita, ada salah satu zat neurotransmitter yang
disebut dengan dopamine. Jika dopamine terlalu aktif, maka kita bisa
mengalami halusinasi, delusi, dan gangguan pikiran. Selain
itu, dopamine juga berperan dalam mengendalikan pergerakan
otot. Dalam mengatasi gejala-gejala psikosis, obat antipsikotik bekerja
dengan cara memengaruhi dopamine.
Antipsikotik memang tidak bisa menyembuhkan penyakit
gangguan mental. Kendati demikian, obat ini dapat membantu
mengendalikan gejala yang muncul atau menurunkan tingkat
keparahannya. Antipsikotik merupakan obat yang harus digunakan
berdasarkan resep dokter. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet, sirup,
atau suntik.
Kontraindikasi menggunakan obat antipsikotik, lakukan
pemeriksaan fisik, tes darah, serta EKG jantung untuk memastikan
kondisi kesehatan. Selain itu, berhati-hati jika pernah menderita
penyakit hati, paru-paru, ginjal, jantung, diabetes, penyakit Parkinson,
epilepsi, depresi, prostat, glaukoma, atau kelainan darah. Beri tahu
dokter jika sedang menggunakan obat-obatan lain. Saat menjalani

15
pengobatan dengan obat antipsikotik, hindari minuman beralkohol
karena meningkatkan efek kantuk.
Gejala psikosis berisiko untuk kambuh kembali. Oleh karena itu,
jangan menghentikan penggunaan obat antipsikotik secara tiba-tiba
tanpa adanya saran dari dokter. Seluruh obat antipsikotik dapat
berbahaya bagi janin dan bayi yang sedang menyusui. Konsultasikan
kepada dokter jika Anda sedang hamil atau apabila Anda sedang
merencanakan kehamilan.Kedua jenis obat antipsikotik tersebut, dapat
menimbulkan efek samping yang berbeda. Salah satu efek samping
yang dibandingkan yakni efek samping ekstrapiramidal.
Antipsikotik tipikal memiliki potensi yang lebih besar, untuk
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Efek samping ini
mengganggu sistem ekstrapiramidal di otak, yang berarti juga
mengganggu sistem motorik serta koordinasi tubuh. Efek samping
esktrapiramidal karena konsumsi obat antipsikotik tipikal, dapat
berupa tremor, kejang, kekakuan otot, serta hilangnya kontrol atau
koordinasi pergerakan otot. Efek samping ini kadang menjadi
permanen, walau konsumsi obat antipsikotik tipikal telah dihentikan.
Obat antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal, obat
antipsikotik atipikal memiliki risiko yang lebih kecil, untuk
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Walau begitu, beberapa
penelitian menunjukkan, efek samping antipsikotik atipikal tidak selalu
berisiko lebih kecil dibandingkan pendahulunya. Bahkan, golongan
kedua ini lebih cenderung menyebabkan diabetes tipe 2, peningkatan
berat badan, dan tardive dyskinesia (gangguan neurologis yang
ditandai dengan gerakan tubuh berulang tanpa disengaja).
Pada dosis ekivalen semua obat anti-psikosis mempunyai efek
primer (klinis) yang sama, perbedaan terutama pada efek sekunder
(efek samping). Pemilihan jenis obat antipsikosis harus
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat.Pengantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat
anti-psikosis tertentu sudah sudah diberikan dalam dosis optimal dan

16
dalam jangka waktu yang memadai tetapi tidak memberikan efek yang
optimal maka dapat diganti dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya
dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen, dimana profil
efek samping belum tentu sama. Apabila klien memiliki riwayat
penggunaan obat anti-psikosis yang terbukti efektif dan efek samping
obat mampu ditolerir dengan baik maka obat tsb dapat dipilih kembali
untuk pemakaian sekarang. Dengan dosis yang efektif, onset efek
primer didapatkan setelah 2-4 minggu pemberian obat, sedangkan efek
sekunder (efek samping) sekitar 2-6 minggu.
Waktu paruh obat anti-psikosis adalah 12-24 jam (pemberian 1-
2 kali perhari). Dosis pagi dan malam bisa berbeda untuk mengurangi
dampak dari efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar)
sehingga kualitas hidup klien tidak terganggu. Dosis awal diberikan
dalam dosis kecil, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari hingga dosis
efektif (mulai timbul peredaan sindrom psikosis). Evaluasi dilakukan
setiap 2 minggu dan bila diperlukan dosis dinaikkan hingga mencapai
dosis optimal, dan dosis pemberian dipertahankan sekitar 8-12 minggu
(stabilisasi).Pemberian obat dengan dosis efektif dipertahankan 6 bulan
sampai 2 tahun. Setelah waktu tersebut dosis diturunkan tiap 2-4
minggu dan stop.
Pemberian obat anti-psikosis yang bersifat “long acting” sangat
efektif diberikan pada klien yang tidak mau atau sulit minum obat
secara teratur ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebelum penggunaan secara parenteral sebaiknya pemberian obat
dilakukan secara oral terlebih dahulu dalam beberapa minggu, hal ini
bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Pemberian obat anti-psikosis “long acting” hanya diberikan pada klien
skizoprenia yang bertujuan untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan.
Efek samping penggunaan obat-obat anti psikotik sangat luas
dan bervariasi, untuk ituseorang perawat dituntut untuk memberikan
asuhan perawatan yang optimal, sehingga efeksamping penggunaan
obat ini tidak membahayakan klien.

17
1) Efek samping yang harus diperhatikan adalah sindrom
ekstrapiramidal (EPS), baik jangka akut maupun kronik. Efek
samping yang bersifat umum meliputi neurologis,behavioral,
autoimun, autonomik. Reaksi neurologis yang terjadi adalah
timbulnyagejala-gejala ekstrapiramidal (EPS) seperti reaksi
distonia akut yang terjadi secaramendadak dan sangat menakutkan
bagi klien seperti spasme kelompok otot mayoryang meliputi leher,
punggung dan mata. Katatonia, yang akan
mengakibatkangangguan pada sistem pernafasan. Reaksi
neurologis yang juga sering terjadi adalah akatisia ditandai dengan
rasa tidak tenteram, dan sakit pada tungkai, gejala ini akanhilang
jika klienmelakukan gerakan.
2) Sindrom parkinson’s merupakan kelainan neurologis yang sering
muncul sebagai efeksamping penggunaan obat golongan ini. Gejala
sindrom Parkinson meliputi akinesia,rigiditas/kekakuan dan
tremor. Akinesia adalah suatu keadaan dimana tidak ada
atauperlambatan gerakan, sikap tubuh klienkaku seperti layaknya
sebatang kayu yangpadat, cara berjalan inklin dengan ciri berjalan
dengan posisi tubuh kaku kedepan,langkah kecil dan cepat dan
wajah seperti topeng. Pada pemeriksaan fisik
terjadirigiditas/kekakuan pada otot, tremor halus bilateral di
seluruh tubuh serta gerakan“memutar-pil” dari jari-jari tangan.
3) Reaksi behavioral akibat efek samping dari penggunaan obat ini
ditandai denganbanyak tidur, grogines dan keletihan.
4) Reaksi autoimun ditandai dengan penglihatan kabur, konstipasi,
takikardi, retensiurine, penurunan sekresi lambung, penurunan
berkeringat dan salivasi (mulut kering),sengatan panas, kongesti
nasal, penurunan sekresi pulmonal, “psikosis atropine” padaklien
geriatrik, hiperaktivitas, agitasi, kekacauan mental, kulit
kemerahan, dilatasi pupilyang bereaksi lambat, hipomotilitas usus,
diatria, dan takikardia.

18
5) Reakasi autonomik (jantung) biasanya terjadi pening/pusing,
takikardia, penurunan tekanan darah diastolik. Reaksi akut
merugikan dan jarang terjadi pada penggunaananti-psikosis adalah
reaksi alergi, abnormalitas elektrokardiography dan neurologisyang
biasanya terjadi kejang grand mal dan tidak ada tanda aura.
6) Reaksi alergi yang terjadi meliputi agranulositosis, dermatosis
sistemik, dan ikterik.Agranulositosis yang terjadi secara mendadak,
demam, malaise, sakittenggorokan,ulserativa, leukopenia.
Dermatosis sistemik, yaitu adanyamakupopapular, eritematosa,
ruam gatal pada wajah-leher-dada-ekstrimitas,dermatitis kontak
jika menyentuh obat, fotosensitifitas yaitu adanya surbun
hebat.Ikterik dengan adanya demam, mual, nyeri abdomen,
malaise, gatal, uji fungsi leverabnormal.
7) Efek Samping Jangka Panjang
(a) Efek samping jangka panjang yang umum terjadi gejala-gejala
eksrapiramidal.Diskinesia tardif merupakan efek samping
jangka panjang yang umum terjadiyaitu adanya protrusi
lidah/kekakuan lidah, mengecapkan bibir,
merengut,menghisap, mengunyah, berkedip, gerakan rahang
lateral, meringis, anggotagerak, bahu melorot, “pelvic
thrusting”, rotasi atau fleksi pergelangan kaki,telapak kaki
geplek, gerakan ibu jari kaki.
(b) Efek samping jangka pendek atau jangka panjang yang jarang
terjadi tetapimengancam jiwa adalah adanya sindrom malignan
neuroleptik yang ditandaidengan adanya demam tinggi,
takikardia, rigiditas otot, stupor, tremor,inkontinensia,,
leukositosis, kenaikan serum CPK, hiperkalemia, gagal
ginjal,peningkatan nadi-pernapasan dan keringat

b) Anti ansietas
Obat antiansietas adalah obat yang terutama berguna untuk
pengobatan simtomatik penyakit psikoneurosis dan berguna sebagai

19
obat tambahan pada terapi penyakit somatik yang didasari ansietas
(perasaan cemas) dan ketegangan mental. 
Dosis obat efektif bila kadar obat dalam darah dengan eksresi
obat seimbang. Kondisi ini tercapai setelah 5-7 hari dengan dosis 2-3
kali per hari.Pemberian obat dimulai dari dosis awal (dosis anjuran),
selanjutnya dosis dinaikkan setiap 3-5 hari sampai mencapai dosis
optimal, dan dosis dipertahankan selama 2-3 minggu, selanjutnya dosis
diturunkan 1/8 x setiap 2-4 minggu sampai dosis minimal yang efektif.
Apabila terjadi kekambuh dosis obat dapat dinaikan kembali dan bila
efektif dosis dipertahankan hingga 4-8 minggu selanjutnya diturunkan
secara gradual.
Lama pemberian obat pada sindrom ansietas yang disebabkan
faktor situasi eksternal, pemberian obat tidak boleh melibihi waktu 1-3
bulan. Pemberian sewaktu-waktu dapat dilakukan apabila sindrom
ansietas dapat diantisipsi kejadiaanya.
Antiansietas adalah golongan obat yang digunakan untuk
mengatasi gangguan kesehatan mental, seperti serangan panik atau
gangguan kecemasan. Obat-obatan antiansietas bekerja dengan cara
memengaruhi sistem saraf pusat yang memberikan efek menenangkan
atau mengantuk, sehingga membantu juga dalam mengatasi gangguan
tidur dan penenang sebelum tindakan medis, seperti tindakan operasi
atau bedah.Selain untuk meredakan kecemasan, obat-obat antiansietas
juga digunakan untuk:
1) Menangani epilepsi.
2) Menangani gangguan bipolar.
3) Mengatasi insomnia.
4) Meredakan kekakuan atau ketegangan otot (muscle spasm).
5) Mengobati trigeminal neuralgia, yaitu penyakit nyeri
menahun(kronis) yang menyerang saraf pada wajah.
Berikut ini adalah jenis-jenis obat yang termasuk ke dalam
golongan antiansietas:
1) Antikonvulsan, contohnya carbamazepine.

20
2) Barbiturat, contohnya phenobarbital.
3) Benzodiazepin, contohnya diazepam, lorazepam, chlordiazepoxide,
dan clonazepam,
4) Benzodiazepin antagonis, contohnya flumazenil.
Kontraindikasi dari anti ansietas:
1) Ibu hamil, ibu menyusui, dan wanita yang sedang merencanakan
kehamilan sebaiknya berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu
sebelum menggunakan obat ini.
2) Diskusikan dengan dokter terlebih dahulu mengenai manfaat dan
risikonya sebelum mengonsumsi obat antiansietas, terutama jika
obat diberikan kepada anak-anak (di bawah 18 tahun) atau lansia
(di atas 65 tahun).
3) Harap berhati-hati dalam menggunakan obat ini jika menderita
gangguan ginjal, gangguan hati, gangguan pernapasan menahun
(kronis), myasthenia gravis, gangguan koordinasi gerakan, sleep
apnea, glaukoma, atau jika mengalami gejala depresi, pernah
memiliki keinginan untuk bunuh diri, serta memiliki riwayat
penyalahgunaan NAPZA dan kecanduan alkohol.
4) Diskusikan dengan dokter bila akan menggunakan obat
antiansietas dalam jangka panjang, untuk menghindari
ketergantungan obat.
5) Beri tahu dokter jika sedang menggunakan obat-obat lainnya,
termasuk suplemen dan produk herbal.
6) Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Efek samping yang dapat timbul setelah menggunakan obat-obatan
antiansietas, di antaranya adalah:
1) Mengantuk
2) Sakit kepala
3) Bingung
4) Penglihatan kabur
5) Mual
6) Diare

21
7) Konstipasi
8) Mulut kering
9) Berat badan meningkat
10) Jantung berdebar
11) Hipotensi ortostatik
12) Disfungsi seksual.
Obat anti ansietas digolongkan menjadi dua yaitu :
1) Benzodiazepin
2) Diazepam
3) Klordiazepoksid
4) Oksazepam
5) Klorazepa
6) Lorazepam
7) Prazepam
8) Alprazolam
9) Halozepam
10) Non Benzodiazepine
(a) Buspiron
(b) Hydroxyzine
(c) Sulpiride

c) Anti deperesan
Obat antidepresan adalah obat-obatan yang mampu memperbaiki
suasanan jiwa (mood) dengan menghilangkan atau meringankan gejala
keadaan murung.Mekanisme kerja dari anti depresan adalah dengan
cara trisiklik (TCA) memblokadereuptakedari noradrenalin dan
serotonin yang menuju neuron presinaps. MAOI hanya memblokade
Reuptake dari serotonin. MAOI menghambat pengrusakan serotonin
pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade reseptor alfa
( presinaps
Secara umum, antidepresan mungkin dapat menimbulkan bahaya
bagi janin, tetapi menghentikan pengobatan juga sangat berbahaya bagi

22
ibu hamil. Depresi yang terjadi saat kehamilan dapat menimbulkan
ketidakpedulian ibu terhadap janin atau dirinya sendiri. Perubahan
hormon yang terjadi saat kehamilan akan membuat keadaan ini semakin
buruk.
Penggunaan obat antidepresan saat kehamilan akan
mempertimbangkan manfaat dan risiko yang mungkin terjadi. Sampai
saat ini, risiko kecacatan janin dari ibu yang mengonsumsi antidepresan
tergolong rendah, tetapi tetap berisiko. Bila dirasa perlu, obat golongan
SSRI atau SNRI menjadi pilihan utama.
Pada wanita menyusui, obat antidepresan berpotensi diserap ke
dalam ASI. Namun dalam beberapa penelitian, kadar obat tersebut akan
menjadi sangat kecil di tubuh bayi. Diskusikan dengan dokter mengenai
bahaya yang mungkin ditimbulkan bila menghentikan obat antidepresan
dan risiko yang terjadi terhadap bayi bila terus mengonsumsinya.
Setiap mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan modulasi
pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis. Jenis obat
antidepresan yang digunakan sebagai terapi depresi adalah sebagai
berikut:
1) Golongan trisiklik imipramine, Amitriptiline, clomipramine,
desipramine, dexopin, notriptyline, Protriptyline, trimipramine.
Antidepresan trisiklik adalah sejenis obat yang digunakan sebagai
antidepresan sejak tahun 1590. Dinamakan trisiklik karena struktur
molekulnya mengandung = cincin atom. Mekanisme kerja
antidepresantrisiklik masih belum sepenuhnya diketahui. Diduga
penghambatan pelepasan biogenik monoamin, sepertinorepinefrin
dan serotonin, diujungsyaraf pada sistem syaraf pusat. Antidepresan
trisiklik menyebabkan efek dengan menghambat neuronal uptake
dari noradrenaline dan menyebabkanaktifitas antikolinergik.
2) Antidepresan trisiklik juga menghambat neuronal uptake dari
5HTdandopamine. Antidepresan ini efeknya terlihat setelah tiga
sampai empat minggu dari pemberian obat. Obat ini dapat
mempunyai efek perbaikan suasana perasaan (mood), bertambahnya

23
aktivitas fisik, kewaspadaan mental, perbaikan nafsu makan, pola
tidur yang lebih baik, serta berkurangnya pikiran morbid. Obat
depresi golongan ini biasanya menyebabkan mulut kering,tremor
ringan, detak jantung cepat, konstipasi, mengantuk, dan bertambah
berat badan. khususnya pada penderita yang lebih tua dapat
menyebabkan kebingungan, menjadi lambat atau terhenti sewaktu
berkemih, pingsan bilatekanan darah rendah dan koma.
3) Golongan heterosiklik generasi kedua dan ketiga atau tetracyclics
(TCAs), Amoxapine, Maptrotiline, trazodone, bupropion,
Mirtazapine,.Obat-obatan ini merupakan antidepresi yang relatif
baru. Obat-obatan inimerupakan hasil dari usaha mendapatkan obat
yang efek sampingnya lebihringan dari antidepresan terdahulu.
Kontraindikasi dari mengonsumsi obat nti depresan adalah berat
badan naik, gangguan tidur, masalah kardiovaskular, disfungsi seksual,
perdarahan) sehingga antidepresan dapat dihentikan dan harus
dilakukan monitoring ketat pada efek samping yang terjadi.
Berikut adalah jenis antidepresan dan efek samping yang umum
terjadi:
1) Selective serotonin reuptake inhibitor / SSRI (misalnya fluoxetine
dan sertraline) dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor /
SNRI (misalnya duloxetine dan venlafaxine): gejala gastrointestinal,
disfungsi seksual, risiko perdarahan serta (khusus venlafaxine)
hipertensi.
2) Monoamine oxidase inhibitors / MAOI (misalnya phenelzine dan
tranylcypromine): hipotensi ortostatik, agitasi
3) Antidepresan tetrasiklik (misalnya mirtazapine dan maprotiline):
glaukoma sudut tertutup
4) Antidepresan trisiklik (Tricyclic antidepressant / TCA) (misalnya
amitriptyline, amoxapine, dan imipramine): gejala kardiovaskular
berupa pemanjangan interval QT pada EKG dengan gejala aritmia,
hipotensi.

24
Kontaindikasi dari obat antidepresan:
1) Antidepresan tidak menyembuhkan depresi, tetapi mengurangi
gejala depresi. Tetap ikuti anjuran dokter untuk mengikuti terapi
lain selain obat antidepresan.
2) Pertimbangan pilihan antidepresan didasarkan kepada manfaat yang
dirasakan serta efek samping yang timbul. Diskusikan dengan
dokter mengenai penggantian pilihan obat antidepresan bila obat
tidak mengurangi gejala atau menimbulkan efek samping yang
mengganggu.
3) Pilihan obat antidepresan dapat berganti-ganti sampai ditemukan
yang cocok dengan penderita. Jangan putus asa sampai menemukan
obat antidepresan yang cocok untuk Anda.
4) Obat antidepresan akan dimulai dari dosis yang paling rendah,
namun dianggap masih memberikan manfaat untuk mengurangi
gejala. Dosis akan ditingkatkan secara perlahan, bila diperlukan.
5) Antidepresan memberikan efek kerja yang lambat, setidaknya 1
minggu untuk obat tersebut bekerja. Usahakan untuk tidak lupa
meminum obat.
6) Diskusikan kembali kepada dokter bila sudah 4 minggu
mengonsumsi antidepresan tetapi tidak merasakan manfaatnya.
Dokter dapat meningkatkan dosis atau mengganti obat jenis lain.
7) Antidepresan merupakan obat yang dikonsumsi jangka panjang,
paling tidak 6 bulan hingga 2 tahun. Jangan hentikan pengobatan,
walaupun dirasa gejala sudah membaik.
8) Bila timbul efek samping, jangan menghentikan obat tanpa
sepengetahuan dokter.
9) Antidepresan dapat berinteraksi jika digabungkan dengan obat lain.
Tanyakan kepada dokter sebelum mengonsumsi obat-obatan lain
(termasuk produk herba).
10) Konsultasikan juga kepada dokter mengenai penyakit lain yang
diderita, untuk menghindari efek antidepresan terhadap penyakit
tersebut.

25
11) Antidepresan dapat memicu timbulnya pemikiran untuk menyakiti
diri atau bunuh diri jika dikonsumsi oleh anak-anak di bawah 18
tahun. Diskusikan kepada dokter mengenai pemberian obat
antidepresan untuk anak-anak.
12) Beberapa obat antidepresan dapat menyebabkan kantuk, pusing atau
penglihatan buram. Disarankan untuk tidak mengemudikan
kendaraan atau mengoperasikan alat berat, khususnya pada
konsumsi awal. Hindari juga minuman beralkohol agar tidak
memperparah kondisi.
13) Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis setelah mengonsumsi obat
antidepresan, segera temui dokter.

d) Anti mania
Antimania adalah kelompok obat yang digunakan untuk
mengendalikan suasana hati atau mood. Obat pengendali mood ini
digunakan sebagai pengobatan jangka panjang pada kondisi-kondisi
seperti gangguan bipolar, depresi tingkat berat, atau episode mania.
Antimania bekerja dalam mengendalikan mood, terutama saat
episode mania. Pada kondisi tersebut, penderita kerap mengalami
euforia berlebihan dan berperilaku hiperaktif. Episode mania ditandai
dengan gejala-gejala seperti sulit tidur, berbicara berlebihan, rasa
percaya diri yang terlalu tinggi, dan bertambahnya nafsu makan.
Seiring perkembangan episode mania, penderita dapat mengalami
gejala lanjutan, seperti pikiran kacau, gaduh gelisah, delusi atau
waham, halusinasi, ketakutan, hingga memiliki keinginan untuk
melukai diri sendiri.
Selain itu, kelompok obat antimania juga digunakan untuk
menangani epilepsi, trigeminal neuralgia, serta skizofrenia. Berikut ini
adalah jenis-jenis obat yang tergolong ke dalam antimania:
1) Asenapine
2) Carbamazepine
3) Lamotrigine

26
4) Lithium
5) Valproate
Ibu hamil, ibu menyusui, atau wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk berkonsultasi kepada dokter sebelum
mengonsumsi jenis obat antimania.
Harap berhati-hati dalam menggunakan obat ini jika mengalami
gangguan ginjal, gangguan hati, gagal jantung, serangan jantung,
aritmia, penyumbatan pembuluh darah, stroke, hipokalemia, dehidrasi,
penyakit Parkinson, demensia, atau jika memiliki riwayat kejang.
Beri tahu dokter jika sedang menggunakan cimetidine, cisplatin,
quetiapine, cyclophosphamide, aripriprazole, tacrolimus, lapatinib,
hydrochlorothiazide, furosemide, fluvoxamine, atau levodopa, untuk
menghindari terjadinya interaksi obat yang tidak diinginkan.Jika terjadi
reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Kontraindikasi dari obat antimania dari tiap orang memiliki reaksi
yang berbeda-beda setelah mengonsumsi obat. Pada tiap jenis obat
antimania, efek samping yang umumnya terjadi adalah tampak bingung,
penurunan daya ingat, penurunan kesadaran, pusing, denyut jantung
menjadi sangat cepat atau lambat, merasa sering haus, sering buang air
kecil, kaku pada lengan atau tungkai, kesulitan bernapas, rasa lelah atau
lemah, serta bertambahnya berat badan.
Selain itu, efek samping yang jarang terjadi adalah nyeri pada
mata, gangguan penglihatan, serta jari tangan ataupun kaki yang nyeri,
dingin, dan membiru.
Obat-obatan antimania disebut juga mood modulators, mood
stabilizers. Penggolongannya adalah:
1) Mania Akut : Haloperidol, Carbamazepine, Asam Valproat.
2) Profilaksis Mania: Lithium Carbonate.

e) Anti obsesif komplusif


Obat yang digunakan untuk menangani gangguan obsesif
kompulsif (OCD), yaitu kelainan psikologis menetap atau menahun

27
(kronis) yang menyebabkan seseorang memiliki pemikiran obsesif dan
perilaku kompulsif (bersifat mendorong atau memaksa). Kelainan ini
ditandai dengan pikiran atau ketakutan tidak masuk akal (obsesif) yang
menyebabkan perilaku berulang-ulang (repetitif). Salah satu contoh,
pasien OCD merasa perlu memeriksa pintu, jendela, atau sekeliling
rumah berkali-kali sebelum meninggalkan rumah.
Obat yang termasuk golongan antidepresan trisiklik ini digunakan
untuk membantu dalam mengurangi pikiran atau ketakutan yang
dipaksakan (obsesif), serta dapat menghentikan niat pasien untuk
melakukan hal-hal yang terdorong oleh pemikiran obsesif tersebut.
Clomipramine bekerja dengan cara mengatur keseimbangan senyawa
alami pada otak, yaitu dengan meningkatkan produksi serotonin atau
senyawa otak yang mengatur keseimbangan mental.
Efek samping penggunaan obat anti-obsesif kompulsif, sama
seperti obat anti-depresi trisiklik, yaitu efek anti-histaminergik seperti
sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun, kemampuan kognitif menurun, efek anti-kolinergik seperti
mulut kering, keluhan lambung, retensi urin, disuria, penglihatan kabur,
konstipasi, gangguan fungsi seksual, sinus takikardi; efek anti-
adrenergik alfa seperti perubahan gambaran elektokardiografi, hipotensi
ortostatik, efek neurotoksis seperti tremor halus, kejang epileptic,
agitasi, insomnia. Efek samping yang sering dari penggunaan anti-
obsesif kompulsif jenis trisiklik adalah mulut kering dan konstipasi,
sedangkan untuk golonggan SSRI efek samping yang sering adalah
nausea dan sakit kepala. Pada keadaan overdosis dapat terjadi
intoksikasi trisiklik dengan gejala eksitasi susunan saraf pusat,
hipertensi, hiprpireksia, konvulsi, “toxic confusional state”(confusion,
delirium, disorientasi).
Kontraindikasi:
1) Jangan memberikan obat ini kepada bayi.
2) Waspadai pemberian obat ini untuk anak-anak dan remaja.
Diskusikan dahulu dengan dokter mengenai penggunaan obat ini.

28
3) Pasien yang ingin mengonsumsi clomipramine disarankan untuk
rutin melakukan pemeriksaan ke dokter.
4) Keluarga pasien dianjurkan untuk menginformasikan segala bentuk
perubahan dan kondisi terkini pasien yang sedang mengonsumsi
clomipramine kepada dokter.
5) Harap berhati-hati dalam menggunakan obat ini jika memiliki
penyakit jantung dan pembuluh darah, pasca serangan jantung,
menderita glaukoma, sulit buang air kecil atau besar, hormon tiroid
berlebih (hipertiroidisme), kejang, tumor otak, serta gangguan
pernapasan.
6) Hindari mengemudikan kendaraan dan mengoperasikan alat berat
selama mengonsumsi obat ini.
7) Hentikan konsumsi minuman beralkohol selama mengonsumsi
obat ini.
8) Beri tahu dokter jika sedang menggunakan obat-obat lain,
termasuk suplemen dan produk herba, yang mungkin dapat
menimbulkan interaksi obat yang tidak diinginkan.
9) Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Obat anti Obsesif Kompulsif yang menjadi acuan adalah
klomipramin. Obat antikompulsi dapat digolongkan menjadi :
Trisiklik : Klomipramin
SSRJ : sentralin, paroksin, Flovokamin, Fluoksetin

f) Anti panic
Obat anti-panik merupakan persamaan dari drugs used in panic
disorders. Sediaan obat anti-panik di Indonesia adalah imipramine,
clomipramine, alprazolam, moclobemide, sertraline, fluoxatine,
parocetine, fluvoxamine. Penggolongan obat anti-panik adalah obat
anti-panik trisiklik (impramine, clomipramine), obat anti-panik
benzodiazepine (alprazolam) dan obat anti-panik RIMA/reversible
inhibitors of monoamine oxydase-A (moclobmide) serta obat anti-panik
SSRI (sertraline, fluoxetine,paroxetine, fluvoxamine).

29
Pengaturan dosis pemberian obat anti-panik adalah dengan
melihat keseimbangan antara efek samping dan kasiat obat. Mulai
dengan dosis rendah, secara perlahan-lahan dosis dinaikkan dalam
beberapa minggu untuk meminimalkan efek samping dan mencegah
terjadiya toleransi obat. Dosis efektif biasanya dicapai dalam aktu 2-3
bulan. Dosis pemeliharaan umunya agak tinggi, meskipun sifatnya
individual. Lama pemberian obat bersifat individual, namun pada
umunya selama 6-12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 3 bulan bila kondisi klien sudah memungkinkan. Ada beberapa
klien yang memerlukan pengobatan bertahun-tahun untuk
mempertahankan bebas gejala dan bebas dari disabilitas.
Efek samping penggunaan obat anti-panik golongan trisiklik
dapat berupa efek antihistaminergik seperti sedasi, rasa mengantuk,
kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan
kognitif menurun; efek anti-kolinergik seperti mulut kering, retensi
urin, penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardi; efek anti-adrenergik
alfa seperti perubahan gambaran elektrokardiografi, hipotensi
ortostatic; efek neurotoksis seperti tremor halus, kejang, agitasi,
insomnia. Pada kondisi overdosis dapat terjadi intoksikasi trisiklik
dengan gejala-gejala seperti eksitasi susunan saraf pusat, hipertensi,
hiperpireksia, konvulsi, “toxic confusional satate” (confusion, delirium,
disorientasi).
Anti panic adalah golongan obat yang digunakan untuk
mengatasi gangguan kesehatan mental, seperti serangan panik atau
gangguan kecemasan. Obat-obatan anti panic bekerja dengan cara
memengaruhi sistem saraf pusat yang memberikan efek menenangkan
atau mengantuk, sehingga membantu juga dalam mengatasi gangguan
tidur dan penenang sebelum tindakan medis, seperti tindakan operasi
atau bedah.Selain untuk meredakan kecemasan, obat-obat antiansietas
juga digunakan untuk:
1) Menangani epilepsi.
2) Menangani gangguan bipolar.

30
3) Mengatasi insomnia.
4) Meredakan kekakuan atau ketegangan otot (muscle spasm).
5) Mengobati trigeminal neuralgia, yaitu penyakit nyeri menahun
(kronis) yang menyerang saraf pada wajah.
Cara Penggunaan Obat
1) Golongan SSRI mempunyai efek samping yang lebih ringan
2) Alprozolam merupakan obat yang paling kurang toksiknya dan
onset kerjanya lebih cepat.

g) Anti insomnia
Obat anti-insomnia merupakan sinonim dari hypnotics,
somnifacient, hipnotika. Sediaan obat anti-insomnia di Indonesia adalah
nitrazepam, triazolam, estazolam, chloral hydrate.
Pengaturan dosis, pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit
sebelum tidur. Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis
efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya
diturunkan secara gradual untuk mencegah timbulnya rebound dan
toleransi obat. Penggunaan obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2
minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu agar resiko ketergantungan
kecil.
Kontra indikasi penggunaan obat anti insomnia adalah “sleep
apnoe syndrome”, “congestive heart failure”, dan chronic respiratory
disease”.Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom insomnia yang
dapat terjadi pada:
1) Sindrom insomnia psikik seperti gangguan afektif bipolar dan
unipolar (episode maniaatau depresi, gangguan ansietas (panic,
fobia); sindrom insomnia organic sepertihyperthyroidism, putus
obat penekan SSP (benzodiazepine, phenobarbital, narkotika),zat
perangsang SSP (caffeine, ephedrine, amphetamine).
2) Sindrom insomnia situasional seperti gangguan penyesuaian
dengan ansietas/depresi,sleep, wake schedule (jet lag, workshift),
stres psikososial.

31
3) Sindrom insomnia penyerta seperti gangguan fisik dengan
insomnia (pain producingillness, paroxysmal nocturnal dyspnea).
4) Gangguan jiwa dengan insomnia (skizofrenia, gangguan paranoid).
Efek samping penggunaan obat anti-insomnia diantaranya
adalah depresi susunan saraf pusat terutama pada saat tidursehingga
memudahkan timbulnya koma, karena terjadinya penurunan dari
fungsi pernafasan, selain itu terjadi uremia, dan gangguan fungsi hati.
Pada klien usia lanjut dapat terjadi “oversedation” sehingga risiko
jatuh dan Hip fracture (trauma besar pda sistem muskulo skleletal).
Penggunaan obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dalam
jangka panjang yaitu “rage reaction” (perilaku menyerang dan ganas).

32
5. Mekanisme Psikofarmaka
Semua obat psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk dalam
CCS (Cairan Serebro Spinal) dimana mereka melakukan kegiatannya
secara langsung terhadap saraf-saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf
biokimia belum diketahui secara pasti , tetapi terdapat petunjuk-petunjuk
kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter
diotak atau antar keseimbanganya.
Seperti diketahui neurotransmitter atau neurohormon adalah zat
yang menyebabakan penerusan implus (rangasangan listrik) dari sutu
neuron (axon) melalui sinaps ke neuron yang lain (dendrite atau saraf post-
sinaptik).
Neurohormon terpenting dari sistem adrenergic diotak adalah zat-
zat mono-amin noradrenalin (NA), serotonin (5-HT = 5 Hidroksitriptamin)
dan dopamine (DA), yang menentukan kegiatan otak dengan antar
keseimbanganya. Zat-zat ini khususnya terdapat dalam gelembung-
gelembung kecil diujung-ujung axon, berdekatan dengan sinaps. Setelah
implus listrik masuk kedalam axon gelembung persendian melepaskan
neurohormonnya. Sebagaian besar daripadanya segera diserap kembali
secara aktif oleh gelembung-gelembug tersebut (re-uptake), sisanya
melangkai sinaps dan mencapai reseptor-reseptor di ujung dendrite
seberang. Tibanya neurohormon menstimulasi reseptor untuk melepaskan
suatu impuls kedua, yang mengakibatkan “loncatnya” impuls asli melalui
sinaps. Enzim MAO (Mono Amin Oksidase) yang juga terdapat diujung-
ujung neuron, berfungsi menguraikan mono-amin sesudah pekerjaannya
selesai. Neurotransmitter asetilkolin dari sistem kolinergik tidak direspon
kemabali,melainkan langsung diuraikan oleh kolinesterase.
Teori mono-amin menyebutkan bahwa terganggunya
keseimbangan antara masing-masing neurohormo tersebut dari sistem
adrenergic memperihatkan hubungan erat dengan penyakit-penyakit jiwa.
Tetapi juga neurotransmitter-neurotransmitter dari sistim-sistim yang lain
memegang peran yang lain dalam hal ini, misalnya asetilkolin dan

33
endorfin-endorfin (morfin endrogen). Dengan demikian pada depresi
endogen (keadaan murung dan sendu yang hebat) seringkali ditemukan
kekurangan NA dan 5-HT disinaps-sinaps penting dari SSP, sedangkan
pada keadaan mania (suatu keadaan hiperaktif dan gembira) justru terdapat
berlebihan akan hormon-hormon tersebut.
Mekanisme psikafarmaka ada 2 yaitu:
a) Proses interaksi sinaps
Rongga synaps (synaptic cleft) atau synaps, hubungan antara
dua neuron adalah tempat terjadinya peristiwa kimiawi yang dibawa
oleh bouton. Bouton adalah neuron prasynaps atau gelembung-
gelembung pada ujung akson dari neuron penyalur rangsang. Bouton
inilah yang membawa neurotransmitter zat kimia yang berfungsi
untuk meneruskan informasi antara neuron satu ke neuron lainnya
yang dikeluarkan ke rongga synaps bila ada impuls saraf yang sampai
ke titik itu (Morgan, 1986). Neurotransmitter yang keluar akan
bergabung dengan molekul-molekul resepstor khusus yang berada di
daerah neuron penerima rangsang. Dampak dari neurotransmitter pada
neuron penerima dapat berupa aktivasi (mencetuskan impuls saraf)
atau inhibisi (menghambat impuls saraf).
Berikut adalah langkah dalam transmisi kimiawi (chemical
transmission) informasi dari satu neuron ke neuron lain. Pertama,
neuron prasynaps atau neuron penyalur memproduksi atau mensintesis
molekul neurotransmitter dari molekul yang lebih sederhana yang
berasal dari makanan yang masuk atau sumber-sumber lain. Kedua,
neurotransmitter yang telah dibuat tadi, disimpan dalam bouton dari
sebuah neuron pengirim (neuron transmitter). Impuls saraf yang
mencapai bouton memulai (initiates) suatu proses yang menyebabkan
beberapa gelembung bergerak ke rongga synaps di mana kemudian
neurotransmitter itu dilepaskan/dikeluarkan. Ketiga, neurotransmitter
itu menyebar dengan cepat di sepanjang rongga synaps, lalu
bergabung dengan molekul reseptor khusus yang ada pada membran
dari neuron penerima atau neuron pascasynaps (postsynaptic neuron).

34
Kombinasi dari neurotransmitter dan reseptor memulai perubahan
pada neuron penerima yang menimbulkan perangsangan atau inhibisi
tergantung pada jenis transmitter dan jenis reseptor. Keempat,
neurotransmitter yang telah bergabung tadi dideaktivasikan secara
cepat seperti halnya kelebihan neurotransmitter pada rongga synaps
agar sel pasca synaps siap menerima informasi baru.
b) Neurologi dan farmaka
Reseptor adalah bagian neuron dimana neurotransmitter-
neurotranmiter terikat hingga menghasilkan sebuah efek. Bahan-bahan
kimia selain neurotranmiter juga dapat terikat ke reseptor untuk
menghasikan atau menghambat aktivitas. Pengikatan obat-obatan ke
reseptor menjadi konsep fundamental psikofarmakologi. Beberapa
neurotransmitter menurut Morgan (1986) adalah : acethylcholine,
dopamine, norepinephrine, serotonin (5-hydroxystriptamine), GABA
(gamma-amino butyric acid), glysine, glutamic acid, dan neuropeptida
(a.l.endorphin), EAA (excitory amino acids) dan opioids (Olson,
1993). Jenis neurotransmitter yang diproduksi dan jenis reseptor
menentukan reaksi pada neuron penerima eksitasi (perangsangan),
aktivasi (pengaktifan), inhibisi (penekanan), atau dekativasi
(penghentian aktivitas) (Morgan 1986). Obat-obat psikotropika atau
zat psikoaktif adalah obat-obat yang mempengaruhi kerja
neurotransmitter mempengaruhi kerja susunan saraf dengan
mempengaruhi alur informasi melalui synaps, mempengaruhi pada
tahapan lain selain synaps, atau mempengaruhi fungsi yang ada
(Olson, 1993).

6. Indikasi dan kontraindikasi Psikofarmaka


Indikasi dari psikofarmaka untuk pasien dengan terapi gangguan
psikiatrik. Sedangkan kontraindikasi dari psikofarmaka tidak boleh
diberikan kepada pasien yang menderita penyakit jantung, hati, glaucoma,
parkison.

35
7. Efek Samping Psikofarmaka
a) Gejala-gejala ekstrapiramidal (G.E.P)
Gejala ini dapat berupa dystoria, gejala penyakit parkison (tremor
tangan, kakunya anggota gerak, muka seperti topeng), dan akathisia
(selalu ingin bergerak). Gejala-gejala ini disebabkan karena kurangnya
dopamine pada otak.
b) Diskinesi tarda
Merupakan suatu bentuk G.E.P yang hebat. Gejala-gejalanya adalah
gerakan-gerakan tak sengaja khususnya dari otot-otot muka, mulut,
bibir, dan rahang. Hal tersebut disebabkan karena adanya hiperaktivitas
dopamin, atau mungkin juga hiperaktivitas pada reseptor-reseptornya.
c) Efek sedative
Efek ini disebabkan oleh efek antihistamin (blockade reseptor-reseptor
histamine), yang berupa rasa ngantuk, lelah dan pikiran keruh. Pada
pasien-pasien dengan gangguan tidur obat ini bias menguntungkan.
d) Efek hipotensif dan hipotermia
Efek ini disebabkan karena adanya blokade reseptor alpha-adrenergik
dan vasodilatasi.
e) Efek antikolinergik
Efek ini disebabkan karena adanya blockade reseptor-reseptor
muskarin, yang berciri-ciri, mulut kering, pengelihatan buram, dan
obtipasi.
f) Efek anti-serotanin
Terjadi karena adanya blockade reseptor-reseptor serotonin,yang
berupa stimulasi nafsu makan yang dapat menyebabkan pasien menjadi
bertambah gemuk.
g) Galaktorea (meluapnya air susu)
Terajdi karena disebabkan adanya blockade dopamine yang identik
dengan PIF (prolactine inhibiting factor) hingga sekresi prolaktin tidak
dapat ditahan lagi dan produksi air susu akan bertambah.
Efek samping yang jarang terjadi pada obat ini adalah gangguan-
gangguan seksual (hilangnya libido) khususnya pada derivate-derivat

36
fenotiazine penyakit kuning (icterus) dan gangguan-gangguan darah
(agranulocytosis)

8. Peran Perawat Dalam Psikofarmaka


Beberapa peran perawat dalam Psikofarmaka.
a) Mengumpulkan data sebelum pengobatan.
Dalam melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang
pengetahuan biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara
lain riwayat penyakit, diagnosis medis, hasil pemeriksaan laboratorium
yang berkaitan, riwayat pengobatan, jenis obat yang digunakan (dosis,
cara pemberian, waktu pemberian), dan perawat perlu mengetahui
program terapi lain bagi pasien. Pengumpulan data ini agar asuhan yang
diberikan bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan.
b) Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas.
Hal ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan.
Pemilihan terapi yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan
pasien akan memberikan hasil yang lebih baik.
c) Pendidikan kesehatan.
Pasien di rumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan
tentang obat yang diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat
yang dianggap tidak ada manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan
juga diperlukan oleh keluarga karena adanya anggapan bahwa jika
pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu lagi minum obat padahal ini
menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat kembali di rumah sakit.
d) Memonitor efek samping obat.
Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan
reaksi-reaksi lain yang kurang baik setelah pasien minum obat. Hal ini
penting dalam mencapai pemberian obat yang optimal.

e) Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.

37
Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek
terapeutik obat dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada
profesi lain dalam tim kesehatan yang melakukan dan mempunyai
kesempatan dalam memberikan tiap dosis obat pasien, serta secara
terus-menerus mewaspadai efek samping obat. Dalam melaksanakan
peran ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
f) Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara
pasien dengan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah
pasien selesai dirawat di rumah sakit maka perawat akan merujuk
pasien pada fasilitas yang ada di masyarakat misalnya puskesmas,
klinik jiwa, dan sebagainya.
g) Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat,
peran perawat dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat
memilih salah satu program terapi bagi pasien dan menggabungkannya
dengan terapi pengobatan serta bersama pasien bekerja sebagai satu
kesatuan.
h) Ikut serta dalam riset interdisipliner.
Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien,
perawat dapat berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten
peneliti, atau sebagai peneliti utama. Peran perawat dalam riset
mengenai obat ini sampai saat ini masih terus digali.
Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk pasien
curiga, risiko bunuh diri, dan ketergantungan obat adalah sebagai
berikut.
a) Pendekatan khusus pada pasien curiga.
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau
pemberian yang diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan
bahwa tindakan yang dilakukan pada pasien ini tidak membahayakan,
tetapi bermanfaat bagi pasien. Secara verbal dan nonverbal perawat
harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan

38
pada diri pasien karena tindakan yang ragu-ragu pada diri perawat akan
menimbulkan kecurigaan pasien. Selain itu perawat harus bersikap
jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas, misalnya, “Bapak J, ini
adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan, “Letakkan
obat ini dalam mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan
kemasan yang sama setiap kali memberi obat agar pasien tidak bingung,
cemas, dan curiga. Jika ada perubahan dosis atau cara meminumnya,
diskusikan terlebih dahulu dengan pasien sebelum meminta pasien
untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-benar diminum dan ditelan
dengan cara meminta pasien untuk membuka mulut dan gunakan spatel
untuk melihat apakah obat disembunyikan. Hal ini terutama pada pasien
yang mempunyai riwayat kecenderungan menyembunyikan obat di
bawah lidah dan membuangnya. Untuk pasien yang benar-benar
menolak minum obat meskipun sudah diberikan pendekatan yang
adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan melalui kolaborasi
dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan
memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk menolak
pengobatan dalam keadaan darurat.
b) Pendekatan khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.
Pada pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam
pemberian obat adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan
maksud pasien ingin merusak dirinya. Perawat harus bersikap tegas
dalam pengawasan pasien untuk minum obat karena pasien pada tahap
ini berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup dan mati.
Perawat menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat
pasien mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk
mengakhiri hidupnya berkurang karena pasien merasa diperhatikan.
Perhatian perawat merupakan stimulus penting bagi pasien untuk
meningkatkan motivasi hidup. Dalam hal ini, peran perawat
memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan keperawatan, di
antaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.

39
c) Pendekatan khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.
Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya
menganggap obat adalah hal yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh
karenanya, perawat perlu memberikan penjelasan kepada pasien tentang
manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan
masalah. Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan masalahmasalah
sosial seperti patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan
lainnya. Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya
seperti penjelasan cara-cara melewati proses kehilangan.
Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat
mengidentifikasi kasus yang dihadapi dan menerapkan pendekatan
secara adekuat untuk melaksanakan peran perawat dalam pemberian
obat.

9. Tindakan Perawat Dalam Masalah Kesehatan Jiwa dan Psikafarmaka


Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk pasien
curiga, risiko bunuh diri, dan ketergantungan obat adalah sebagai berikut:
a) Pendekatan khusus pada pasien curiga.
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau
pemberian yang diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan
bahwa tindakan yang dilakukan pada pasien ini tidak membahayakan,
tetapi bermanfaat bagi pasien. Secara verbal dan nonverbal perawat
harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan
pada diri pasien karena tindakan yang ragu-ragu pada diri perawat akan
menimbulkan kecurigaan pasien. Selain itu perawat harus bersikap
jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas, misalnya, “Bapak J, ini
adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan, “Letakkan
obat ini dalam mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan
kemasan yang sama setiap kali memberi obat agar pasien tidak
bingung, cemas, dan curiga. Jika ada perubahan dosis atau cara
meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan pasien sebelum
meminta pasien untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-benar

40
diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien untuk membuka
mulut dan gunakan spatel untuk melihat apakah obat disembunyikan.
Hal ini terutama pada pasien yang mempunyai riwayat kecenderungan
menyembunyikan obat di bawah lidah dan membuangnya. Untuk
pasien yang benar-benar menolak minum obat meskipun sudah
diberikan pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat
dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan
instruksi dengan memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk
menolak pengobatan dalam keadaan darurat.
b) Pendekatan khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.
Pada pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam
pemberian obat adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan
maksud pasien ingin merusak dirinya. Perawat harus bersikap tegas
dalam pengawasan pasien untuk minum obat karena pasien pada tahap
ini berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup dan mati.
Perawat menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat
pasien mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk
mengakhiri hidupnya berkurang karena pasien merasa diperhatikan.
Perhatian perawat merupakan stimulus penting bagi pasien untuk
meningkatkan motivasi hidup. Dalam hal ini, peran perawat
memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan keperawatan, di
antaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.
c) Pendekatan khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.
Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya
menganggap obat adalah hal yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh
karenanya, perawat perlu memberikan penjelasan kepada pasien tentang
manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan
masalah. Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan masalahmasalah
sosial seperti patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan
lainnya. Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya
seperti penjelasan cara-cara melewati proses kehilangan

41
Tindakan Keperawatan pada pasien:
a) Untuk efek antikolinergik.
Observasi bising usus, beri diet tinggi serat, tingkatkan input cairan,
dan beri aktivitas untuk mencegah konstipasi. Monitor tekanan darah,
tingkatkan volume cairan untuk mengembangkan pembuluh darah dan
beritahu pasien untuk berpindah posisi perlahanlahan untuk mengontrol
hipotensi orthostatik. Beri pelembap mulut secara berkala untuk
mengurangi rasa kering, misalnya gliserin. Anjurkan pasien untuk tidak
bekerja dengan alat berbahaya, benda tajam, dan tidak bepergian untuk
mengurangi kecelakaan akibat adanya kekaburan pandangan.
Kolaborasi: pemberian kolinergik agonis dan laksatif.
b) Untuk efek ekstrapiramidal
Prinsip tindakan sama dengan pada pemberian haloperidol. Untuk
mengatasi sulit tidur dapat diberi susu hangat sebelum tidur atau dengan
cara lain. Cara pemberian: per oral.
c) Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek
ekstrapiramidal. Cara pemberian: per oral.
Tindakan keperawatan masalah kesehatan jiwa dilakukan terhadap
pasien dan keluarga/pelaku yang merawat klien. Saat melakukan pelayanan
di poli kesehatan jiwa, Puskesmas atau kunjungan rumah, perawat
menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui klien. Bersama
keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang dialami pasiendan
keluarga.
Setelah itu, perawat menemui pasienuntuk melakukan pengkajian
dan melatih cara untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa yang dialami
klien. Setelah perawat selesai melatih pasienmaka perawat kembali
menemui dan melatih keluarga untuk merawat klien, serta menyampaikan
hasil tindakan yang telah dilakukan terhadap pasiendan tugas yang perlu
keluarga lakukan yaitu untuk membimbing pasienmelatih kegiatan yang
telah diajarkan oleh perawat untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa.

42
Tindakan keperawatan untuk pasiendan keluarga dilakukan pada
setiap pertemuan, minimal empat kali pertemuan dan dilanjutkan sampai
pasiendan keluarga mampu mengatasi harga diri rendah.
Tindakan Keperawatan untuk Masalah Kesehatan Jiwa
Tujuan: Pasien mampu:
1) Membina hubungan saling percaya
2) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3) Menilai kemampuan yang dapat digunakan
4) Menetapkan/ memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
5) Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
6) Merencanakan kegiatan yang telah dilatihnya
Tindakan Keperawatan:
1) Membina hubungan saling percaya, dengan cara:
a) Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien.
b) Perkenalkan diri dengan klien: perkenalkan nama dan nama
panggilan yang Perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama
panggilan pasienyang disukai.
c) Tanyakan perasaan dan keluhan pasiensaat ini.
d) Buat kontrak asuhan: apa yang Perawat akan lakukan bersama
klien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana.
e) Jelaskan bahwa Perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi.
f) Tunjukkan sikap empati terhadap klien.Penuhi kebutuhan dasar
pasienbila memungkinkan.
2) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
klien. Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah :
a) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif
pasien(buat daftar kegiatan)
b) Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian
yang negatif setiap kali bertemu dengan klien.
3) Membantu pasiendapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :

43
a) Bantu pasienmenilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih
dari daftar kegiatan): buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan
saat ini.
b) Bantu pasienmenyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan klien.
4) Membantu pasiendapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan
daftar kegiatan yang dapat dilakukan. Tindakan keperawatan yang
dapat dilakukan adalah :
a) Diskusikan kegiatan yang akan dipilih untuk dilatih saat
pertemuan.
b) Bantu pasienmemberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan.
c) Latih kegiatan yang dipilih (alat dan cara melakukannya).
d) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kali per hari.
e) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang
diperlihatkan klien.
5) Membantu pasiendapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuannya dan menyusun rencana kegiatan. Tindakan
keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
a) Berikesempatan pada pasienuntuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
b) Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan
pasiensetiap hari.
c) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan
perubahan setiap aktivitas.
d) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasiendan
keluarga.
e) Beri kesempatan pasienuntuk mengungkapkan perasaannya
setelah pelaksanaan kegiatan.
f) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan klien.

44
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga dengan Pasien Masalah Kesehatan
Jiwa. Keluarga diharapkan dapat merawat pasienharga diri rendah di
rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif bagi klien.
1) Tujuan: Keluarga mampu:
a) Mengenal masalah kesehatan jiwa
b) Mengambil keputusan untuk merawat harga diri rendah
c) Memodifikasi lingkungan yang mendukung meningkatkan
kesehatan jiwa
d) Menilai perkembangan perubahan kemampuan klien
e) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
2) Tindakan Keperawatan:
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat klien.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya
masalah kesehatan jiwa dan mengambil keputusan merawat klien
c) Membimbing keluarga merawat harga diri rendah
d) Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan lingkungan
yang mendukung meningkatkan kesehatan jiwa
e) Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan
rujukan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan
f) Menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara
teratur.

10. Putus Obat, Penyebab, akibat dan solusinya.


Istilah sindrom putus obat atau dalam dunia medis dikenal dengan
sebutan withdrawal syndrome, salah satunya dapat disebabkan oleh karena
obat-obatan steroid. Steroid withdrawal syndrome (SWS) atau sindrom
putus obat steroid adalah sebuah kondisi yang menggambarkan
kekambuhan penyakit yang sedang dirawat setelah penghentian terapi
glukokortikoid. Glukokortikoid sendiri digunakan untuk mengontrol
aktivitas peradangan, autoimun, alergi, dan neoplastik.
Penyebab Steroid Withdrawal Syndrome, diperkirakan bahwa
sindrom ini dapat terjadi akibat perkembangan toleransi terhadap

45
glukokortikoid dan mediator yang dianggap penting dalam
perkembangannya termasuk interleukin-6, hormon pelepas kortikotropin,
vasopresin, central noradrenergic dan dopaminergic systems. Meski
begitu, mekanisme yang mendasari terjadinya steroid withdrawal
syndrome adalah sesuatu yang belum jelas. Namun, dengan meningkatnya
rekomendasi untuk penggunaan dosis rendah glukokortikoid pengganti,
insidensinya dapat meningkat.
Faktor Risiko putus obat: terapi glukokortikoid kronis digunakan
dalam berbagai pengobatan karena efek antiinflamasinya yang kuat dan
kadang-kadang dianggap memiliki aktivitas imunosupresan.
Glukokortikoid sering digunakan untuk rheumatoid arthritis, vasculitis
besar dan kecil, systemic lupus erythematosus, polymyalgia rheumatica,
dan dalam beberapa kasus, artritis yang terkait dengan penyakit radang
usus.
Terlepas dari manfaatnya, efek samping yang diinduksi steroid
umumnya memerlukan pengurangan dosis obat segera setelah penyakit
yang dirawat terkendali. Tapering (penurunan dosis secara berkala sesuai
resep dokter) harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
aktivitas berulang dari penyakit yang mendasarinya dan kemungkinan
defisiensi kortisol yang dihasilkan dari penekanan hypothalamic-pituitary-
adrenal axis (HPA) selama periode terapi steroid.
Gejala Steroid Withdrawal Syndrome yaitu Gejala biasanya muncul
setelah penggunaan steroid yang lama dengan penghentian obat secara
cepat atau tiba-tiba. Steroid ini termasuk glukokortikoid, steroid anabolik
dalam bentuk topikal, injeksi, dan transdermal. Gejala dan tanda-tanda
berikut dapat terjadi pada individu yang menarik diri dari steroid:
a) Kelelahan.
b) Nafsu makan menurun.
c) Penurunan berat badan.
d) Mual.
e) Muntah.
f) Diare.

46
g) Sakit perut.
h) Tekanan darah rendah (hipotensi).
i) Pusing atau pingsan.
j) Gula darah rendah (hipoglikemia).
k) Perubahan periode menstruasi.
Pada kasus yang jarang terjadi, sindrom putus obat ini dapat
menyebabkan nyeri sendi, perubahan kondisi kulit, nyeri otot, demam,
perubahan mental, atau peningkatan kalsium. Selain itu, dehidrasi,
penurunan kontraksi gastrointestinal dapat terjadi dan mengarah ke
pelebaran usus.
Pengobatan Steroid Withdrawal Syndrome secara umum adalah
dengan pemberian steroid yang dikurangi dosisnya secara berkala untuk
menghilangkan gejala penarikan atau pemutusan obat, kemudian secara
bertahap mengurangi jumlah steroid yang diberikan sehingga tubuh dapat
menyesuaikan diri untuk mensintesis steroid secara normal.Karena setiap
kondisi pasien berbeda-beda, sehingga dokter akan mempertimbangkan
gejala, jenis steroid (misalnya, steroid hormon dapat dikurangi lebih cepat
daripada obat steroid lainnya), dan kepatuhan pasien. Waktu berhenti
sangat bervariasi dan dapat memakan waktu beberapa minggu hingga satu
tahun atau lebih tergantung pada ketergantungan pasien, kekuatan dan
jenis steroid yang diberikan, dan masalah medis yang mendasarinya.
Beberapa pasien mungkin memerlukan peningkatan steroid selama
penarikan dengan kondisi stres seperti operasi darurat. Peningkatan seperti
itu biasanya merupakan kenaikan jangka pendek. Pada akhirnya, jika
kondisi ini cepat dikenali dan diobati, biasanya kondisi akan membaik.
Kondisi akan sulit diatasi jika penarikan steroid tidak dikenali, muncul
komplikasi seperti kelainan elektrolit, dehidrasi, dan gejala lainnya yang
mengarah pada masalah kesehatan lebih lanjut, atau jika pasien menjadi
tidak patuh dengan protokol pengobatan.
Pencegahan Steroid Withdrawal Syndrome yaitu dengan cara terbaik
untuk mencegah penarikan atau pemutusan obat steroid adalah
memastikan menggunakan steroid secara ketat dan untuk periode sesingkat

47
mungkin. Penggunaan steroid jangka pendek (jangka waktu bervariasi
dengan jenis steroid dan jumlahnya bisa berhari-hari hingga berminggu-
minggu) biasanya tidak memicu timbulnya gejala sindroma putus obat
steroid.Namun, dengan penggunaan steroid jangka pendek dan jangka
panjang, penarikan steroid dapat dihindari pada sebagian besar pasien
dengan mengurangi dosis seiring waktu. Metode ini juga dapat mencegah
withdrawal syndrome steroid pada sebagian besar pasien.

48
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien. Klasifikasi dari psikofarmaka
ada 3 yaitu: obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu pada SSP
(Sistem Syaraf Pusat, obat-obat yang menstimulir fungsi-fungsi psikis tertentu
pada SSP (Sistem Syaraf Pusat), obat-obat yang mengacaukan fungsi-fungsi
mental tertentu.
Jenis-jenis psikafarmaka ada 6 yaitu: anti psikotik, anti ansietas, anti
panic, anti deperesan, anti mania, dan anti obsesif komplusif. Mekanisme kerja
psikafarmaka yaitu dengan psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk
dalam CCS (Cairan Serebro Spinal) dimana mereka melakukan kegiatannya
secara langsung terhadap saraf-saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf
biokimia belum diketahui secara pasti , tetapi terdapat petunjuk-petunjuk kuat
bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter diotak
atau antar keseimbanganya.
Peran perawat dalam psikofarmaka yaitu mengumpulkan data,
mengorganisir pemberian obat, melakukan pendidikan kesehatan,ikut serta
dalam riset interdisipliner Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan
dengan pasien.
B. Saran
Penyusun mengetahui bahwa makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari dosen dan pembaca
sungguh saya harapkan agar makalah ini bisa lebih baikdan bisa menjadi
perbaikan untuk makalah selanjutnya

49
DAFTAR PUSTAKA

Morgan, C.T. and King, R.A. (1986). Introduction to Psyhology. New York:
McGraw-Hill Book Company.
Muslim, R. 2004. PAduan Praktis: Penggunaan Obat Psikotropik. Edisi tiga.
Jakarta: Fakultas Kedokteeran Jiwa UNIKA AMA.
Ralph S.S., Rosenberg, M.C., Scroggins, L., Vassallo, B., Warren, J., 2005,
Nursing Diagnoses :Definitions & Classification, NANDA International,
Philadelphia.
Rawlins, R.P., Heacoch, P.E., 1993, Clinical Manual of Psychiatric Nursing,
Mosby Year Book,Toronto.
Rawlins, R.P., Williams,S.R., Beck, C.M.,1993, Mental Health Psychiatric
Nursing a Holistic LifeCicle Approach, Mosby Year Book, London.
Stuart, G.W., Laraia, M.T., 1998, Principles and Practice of Psychiatric Nursing,
6th Edition,Mosby, St. Louis.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kemenkes RI
Lestari, Made Diah, dkk. 2016. Bahan Ajar: Psikologi Klinis. Denpasar:
Universitas Udayana
Stuat, G.W., Sundeen, S.J., 1998, Keperawatan Jiwa, Buku Saku, Terjemahan
Hamid, A.S.,Edisi 3, EGC, Jakarta
Stuart, Gall Wiscart and Sundeen, Sandra J. Pocket guide to psychiatric nursing
(2 nd. Ed) Mosby Year Book, St. Louis, baltimore. Boston Chicago.
London. Sydney. Toronto.
Townsend, M.C. 1998. Diagnosis Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri:
Pedoman untuk Pembuatan Rincian Perawatan, Jakarta: EGC.
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. https://bppsdmk.kemkes.go.id diakses
pada 10 April 2020 .
Nihayati, Hanik Endang., Rizky, Fitryasari PK., Ah, Yusuf. 2015. Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B.A. dkk.2007. Advance Course Community Mental Health Nursing.
Manajemen Community Health Nursing District Level: Jakarta.

50

Anda mungkin juga menyukai