Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Pera n Perawat dalam Psikofarmaka.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Peranan Perawat dalam
Psikofarmaka ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Pengertian Terapi Somatic.........................................................................................................5
B. Jenis – jenis Terapi Somatik......................................................................................................5
C. Terapi Psikofarmaka..................................................................................................................9
D. Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka......................................................................15
BAB III................................................................................................................................................18
PENUTUP...........................................................................................................................................18
A. Kesimpulan..............................................................................................................................18
B. Saran.......................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................19
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan keharmonisan fungsi
mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga individu
tersebut merasa puas dan mampu. Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah
setiap saat serta dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi
perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi di lingkungan sosial (sosiogenk)
ketidakseimbangan salah satu dari ketiga factor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000). Adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan atau hambatan dalam pelaksanaan peran sosial. WHO memperkirakan saat ini
diseluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia tahu 2006
sekitar 26 juta penduduknya mengalami gangguan jiwa dirasio populasi 1:4 penduduk.
Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang telah menjadi pasien rumah sakit
jiwa. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana keadaan
sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan
berkomunikasi dan mengenai realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada
penurunan produktivitas hidup.
Pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan oleh multi profesi yang terdiri dari dokter,
perawat, psikolog, sosial worker serta okupasi terapis yang memiliki peran dan fungsi
masing-masing. Dokter memberikan terapi somatic, psikolog melakukan pemilihan klien
berdasarkan hasil psikotes, kemampuan serta minat klien, sosial worker menjadi penghubung
anatar klien dan keluarga serta lingkungan. Sedangkan okupasi terapis memberikan terapi
kerja bagi pasien. Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan
rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan maupun pengawasan. Sebagai sebuah
tim perawat memberikan peran yang penting dalam mengkoordinasikan berbagai cara dan
kerja yang dilaksanakan oleh anggota tim sesuai dengan tujuan yang akan dicapai antara
pasien dengan tim kesehatan sehingga rehabilitasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut para perawat system dan budaya kerja yang ada tidak memungkinkan untuk
melaksanakan tersebut, sehingga perawat mengerjakan tugas multi profesi sekaligus mulai
dari dokter, psikolog, sosial worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian.
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian terapi somatic?
2. Apa saja jenis – jenis terapi somatik?
3. Apa saja terapi psikofarmaka?
4. Bagaimana peran perawat dalam pemberian psikofarmaka?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
b. Lindungi klien dari cidera fisik akibat pengikatan
c. Sediakan lingkungan yang aman
d. Jaga integritas biologis klien, dengan :
1) Cek tanda vital secara rutin
2) Mandikan & jaga kulit ttp bersih & kering
3) Penuhi kebutuhan toileting
4) Atur suhu ruangan tetap nyaman
5) Beri posisi anatomis
6) Periksa daerah ikatan
7) Ganti posisi klien minimal tiap 2 jam
e. Jaga harga diri klien, dengan :
1) Pertahankan privacy klien
2) Jangan memberi penjelasan yang bersifat merendahkan
3) Tetap mempertahankan komunikasi verbal
4) Staf yang merawat harus konsisten
5) Staf yang menangani berjenis kelamin sama
6) Lepaskan ikatan sesuai indikasi.
2. Isolasi
Bentuk terapi ini dengan menempatkan klien sendiri di ruang tersendiri. Di indikasikan pada
klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan tidak bisa dikendalikan dengan cara
lain. Tidak dianjurkan klien yang beresiko bunuh diri, klien yang agitasi disertai gangguan
pengaturan suhu tubuh akibat obat serta klien dengan perilaku sosial menyimpang.
a. Prosedur Isolasi :
7
1) Tunjuk seorang pemimpin
2) Perlihatkan kepada klien kekuatan yang ada
3) Buat rancangan yang tepat, siapkan lingkungan ruangan
4) Komunikasikan antar perawat
5) Tangkap klien tanpa menyakiti
6) Kendalikan perilaku agresif klien
7) Pindahkan klien ke ruang isolasi
8) Ganti pakaian dengan yang aman dan nyaman
9) Pindahkan benda-benda yang membahayakan klien
10) Buat rencana askep lanjutan
11) Tetap pertahankan kontak dgn klien
8
g) Memakaikan pakaian yg longgar
h) Membantu mengosongkan blass
2) Pelaksanaan :
a) Baringkan klien
b) Siapkan alat
c) Pasang bantalan gigi
d) Sementara ECT dilakukan, tahan persendian dgn supel
e) Setelah selesai, berikan bantuan nafas
4. Fototerapi
Foto terapi atau terapi cahaya merupak terapi pemaparan cahaya terapeutik buatan
kepada pasien yang kekuatannya 5-20 kali lebih terang dari pencahayaan dalam ruangan.
Terapi ini berlangsung cepat dan dapat efektif. Pasien merasakan sembuh setelah 3-5 hari
terapi dan kambuh bila terapi dihentikan.
9
6. Stimulasi magnetik transkranial
Stimulasi magnetik transkranial (SMT) adalah prosedur noninvasif memasukkan
bidang magnetik yang berubah ke dalam otak untuk mempengaruhi aktifitas otak.
10
b. Derivat butirofenon
Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace)
c. Derivat thioxanten
Contoh: Klorprotixen (Taractan)
d. Deribat dibenzoxasepin
Contoh: Loksapin
e. Derivat difenilbutilpiperidin
Contoh Pimozide (Orap)
f. Derivat benzamide
Contoh: Sulpirid (dogmatil)
g. Derivat benzisoxazole
Contoh: Risperidon (Risperdal)
h. Derivat dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal)
Contoh: Clozapin (Leponex)
Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan
proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang berlebihan
(agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek samping ekstrapiramidal. Timbulnya
efek samping sangat bervariasi dan bersifat individual. Efek samping yang dapat terjadi
antara lain sebagai berikut.
a. Gangguan neurologik
1) Gejala ekstrapiramidal
a) Akatisia Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah
duduk pun tak enak.
b) Distonia akut Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah),
tortikolis (otot leher tertarik ke satu sisi), opistotonus (otot punggung
tertarik ke belakang), dan okulogirikrisis (mata seperti tertarik ke atas).
c) Sindroma Parkinson/Parkinsonisme Terdapat rigiditas otot/fenomena
roda bergerigi, tremor kasar, muka topeng, hipersalivasi, disartria.
d) Diskinesia tardif Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta
mengenai bagian tubuh/ kelompok otot tertentu yang biasanya timbul
setelah pemakaian antipsikotik jangka lama.
2) Sindroma neuroleptika maligna Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan
timbulnya febris tinggi, kejang-kejang, denyut nadi meningkat, keringat berlebihan,
11
dan penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakaian kombinasi antipsikotik
golongan Butirofenon dengan garam lithium.
3) Penurunan ambang kejang Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi yang
mendapat antipsikotik.
b. Gangguan otonom
1) Hipotensi ortostatik/postural Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi,
misalnya dari keadaan berbaring kemudian tiba-tiba berdiri, sehingga dapat terjatuh
atau syok/kesadaran menurun.
2) Gangguan sistem gastrointestinal Mulut kering, obstipasi, hipersalivasi, dan diare.
3) Gangguan sistem urogenital Inkontinensia urine.
4) Gangguan pada mata Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia karena
terjadi mydriasis.
5) Gangguan pada hidung Selaput lendir hidung edema sehingga pasien mengeluh
hidungnya mampet.
c. Gangguan hormonal
1) Hiperprolaktinemia
2) Galactorrhoea
3) Amenorrhoea
4) Gynecomastia pada laki-laki
d. Gangguan hematologi
1) Agranulositosis
2) Thrombosis
3) Neutropenia
e. Lain-lain
Dapat terjadi ikterus obstruktif, impotensia/disfungsi seksual, alergi, pigmentasi
retina, dermatosis.
2. Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan neurotransmitter
norepinefrin dan serotonin. Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
a. Golongan trisiklik
Contoh: Imipramin (Tofranil), Amitriptilin (Laroxyl), Clomipramin (Anafranil)
b. Golongan tetrasiklik
12
Contoh: Maprotilin (Ludiomil)
c. Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric)
d. Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh: Setralin (Zoloft), Paroxetine (Seroxal), Fluoxetine (Prozax)
Untuk gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan
penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan. Efek samping yang sering
terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai berikut. a. Gangguan pada sistem
kardiovaskular.
1) Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut.
2) Hipertensi (sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang klasik).
3) Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan golongan
trisiklik).
3. Antiansietas (Anxiolytic Sedative)
Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis tanpa
banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek sedatif dan
berpotensi menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada golongan Benzodiazepin.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a. Derivat benzodiazepin
Contoh: Klordiazopoksid (Librium), Diazepam (Valium), Bromazepam (Lexotan),
Lorazepam (Aktivan), Clobazam (Frisium), Alprazolam (Xanax), Buspiron (Buspar)
b. Derivat gliserol
Contoh: Meprobamat (Deparon)
c. Derivat barbitrat
Contoh: Fenobarbital (Luminal)
13
c. Disartria.
d. Nafsu makan bertambah.
e. Ketergantungan.
f. Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang).
Hal yang penting untuk diperhatikan pada pemberian obat golongan ini adalah
kadarnya dalam plasma. Misalnya pada pemberian lithium karbonat, dosis efektif antara 0,8–
1,2 meq/L. Hal ini perlu selalu dimonitor karena obat ini bersifat toksik terutama terhadap
ginjal. Efek samping yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut.
a. Tremor halus
b. Vertigo dan rasa lelah
c. Diare dan muntah-muntah
d. Oliguria dan anuria
e. Konvulsi
f. Kesadaran menurun
g. Edema
h. Ataksia dan tremor kasar
Berbagai obat yang sering digunakan di rumah sakit jiwa dan tindakan keperawatan
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Golongan Butirofenon (Haloperidol, Serenace)
1) Efek Antipsikotik, sedasi psikomotor, mengontrol keseimbangan psikis
dan otomatik, menghambat gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan
antiemetik
2) Efek samping Efek ekstrapiramidal, spasme otot, dan parkinson.
14
3) Tindakan keperawatan
Observasi ketat tingkah laku pasien, beri dukungan dan rasa aman
kepada pasien, berada dekat pasien. Selain itu, lakukan tindakan kolaboratif
dengan pemberian obat-obat antikolinergik untuk mengatasi spasme otot dan
dopamin agonis untuk mengatasi parkinson.
4) Cara pemberian: per oral
15
c. Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek ekstrapiramidal.
Cara pemberian: per oral
16
6. Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien dengan
fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai dirawat di rumah sakit
maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang ada di masyarakat misalnya
puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7. Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran perawat
dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah satu program terapi
bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi pengobatan serta bersama pasien bekerja
sebagai satu kesatuan.
8. Ikut serta dalam riset interdisipliner Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan
dengan pasien, perawat dapat berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau
sebagai peneliti utama. Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih
terus digali.
Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk pasien curiga, risiko bunuh
diri, dan ketergantungan obat adalah sebagai berikut.
1. Pendekatan khusus pada pasien curiga.
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau pemberian yang
diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan pada pasien
ini tidak membahayakan, tetapi bermanfaat bagi pasien. Secara verbal dan nonverbal perawat
harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan pada diri pasien
karena tindakan yang ragu-ragu pada diri perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien.
Selain itu perawat harus bersikap jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas, misalnya,
“Bapak J, ini adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan, “Letakkan obat ini
dalam mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan kemasan yang sama setiap kali
memberi obat agar pasien tidak bingung, cemas, dan curiga. Jika ada perubahan dosis atau
cara meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan pasien sebelum meminta pasien untuk
meminumnya. Yakinkan obat benar-benar diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien
untuk membuka mulut dan gunakan spatel untuk melihat apakah obat disembunyikan. Hal ini
terutama pada pasien yang mempunyai riwayat kecenderungan menyembunyikan obat di
bawah lidah dan membuangnya. Untuk pasien yang benar-benar menolak minum obat
meskipun sudah diberikan pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan
17
melalui kolaborasi dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan
memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk menolak pengobatan dalam keadaan
darurat.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu somatic terapi (terapi fisik) pada klien gangguan jiwa adalah pemberian
obat psikofarmaka. Psikofarmaka adalah sejumlah besar obat farmakologis yang digunakan
untuk mengobati gangguan mental. Obat-obatan yang paling sering digunakan di Rumah
Sakit Jiwa adalah Chlorpromasin, Halloperidon, dan Trihexypenidil. Obat-obatan yang
diberikan selain dapat membantu dalam proses penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga
mempunyai efek samping yang dapat merugikan klien tersebut, seperti pusing, sedasi,
pingsan, hipotensi, pandangan kabur dan konstipasi. Untuk menghindari hal tersebut perawat
sebagai tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus
mampu mengimbangi terhadap perkembangan mengenai kondisi klien terutama efek dari
pemberian obat psikofarmaka.
B. Saran
Pembelajaran tentang peran perawat pada terapi somatic dan psikofarmaka harus
ditanamkan kepada mahasiswa keperawatan sedini mungkin supaya nantinya mereka bisa
lebih memahami, dan diharapkan makalah ini dikritik dan diberikan saran sehingga makalah
kami dapat disempurnakan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, B.A. dkk. 2007. Advance Course Community Mental health Nursing. Manajemen
Community Health Nursing Dstric Level: Jakarta
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Muhith Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Andi Offset
20