Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Pera n Perawat dalam Psikofarmaka.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Peranan Perawat dalam
Psikofarmaka ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Padang, 12 januari 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A.    Latar Belakang...........................................................................................................................3
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................................................4
C.    Tujuan Penulisan........................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A.    Pengertian Terapi Somatic.........................................................................................................5
B.     Jenis – jenis Terapi Somatik......................................................................................................5
C.    Terapi Psikofarmaka..................................................................................................................9
D.    Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka......................................................................15
BAB III................................................................................................................................................18
PENUTUP...........................................................................................................................................18
A.    Kesimpulan..............................................................................................................................18
B.     Saran.......................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................19

2
BAB I

PENDAHULUAN

3
A.    Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan keharmonisan fungsi
mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga individu
tersebut merasa puas dan mampu. Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah
setiap saat serta dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi
perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi di lingkungan sosial (sosiogenk)
ketidakseimbangan salah satu dari ketiga factor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000). Adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan atau hambatan dalam pelaksanaan peran sosial. WHO memperkirakan saat ini
diseluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia tahu 2006
sekitar 26 juta penduduknya mengalami gangguan jiwa dirasio populasi 1:4 penduduk.
Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang telah menjadi pasien rumah sakit
jiwa. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana keadaan
sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan
berkomunikasi dan mengenai realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada
penurunan produktivitas hidup.
Pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan oleh multi profesi yang terdiri dari dokter,
perawat, psikolog, sosial worker serta okupasi terapis yang memiliki peran dan fungsi
masing-masing. Dokter memberikan terapi somatic, psikolog melakukan pemilihan klien
berdasarkan hasil psikotes, kemampuan serta minat klien, sosial worker menjadi penghubung
anatar klien dan keluarga serta lingkungan. Sedangkan okupasi terapis memberikan terapi
kerja bagi pasien. Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan
rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan maupun pengawasan. Sebagai sebuah
tim perawat memberikan peran yang penting dalam mengkoordinasikan berbagai cara dan
kerja yang dilaksanakan oleh anggota tim sesuai dengan tujuan yang akan dicapai antara
pasien dengan tim kesehatan sehingga rehabilitasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut para perawat system dan budaya kerja yang ada tidak memungkinkan untuk
melaksanakan tersebut, sehingga perawat mengerjakan tugas multi profesi sekaligus mulai
dari dokter, psikolog, sosial worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian.

4
B.     Rumusan Masalah
1. Apa pengertian terapi somatic?
2. Apa saja jenis – jenis terapi somatik?
3. Apa saja terapi psikofarmaka?
4. Bagaimana peran perawat dalam pemberian psikofarmaka?

C.    Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian terapi somatic
2. Untuk mengetahui jenis – jenis terapi somatik
3. Untuk mengetahui terapi psikofarmaka
4. Untuk mengetahui peran perawat dalam pemberian psikofarmaka

5
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Terapi Somatic


Terapi somatik merupakan terapi yang diberikan apda klien dengan tujuan merubah
perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dalam melakukan tindakan dalam
bentuk perlakuan fisik. Terapi somatik telah banyak dilakukan kepada klien dengan gangguan
jiwa. Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa,
sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh lain.

B.     Jenis – jenis Terapi Somatik


1.      Pengikatan
Terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik
klien. Tujuannya melindungi klien dan orang lain dari cidera fisik, khususnya bila terapi lain
seperti perubahan lingkungan. dan strategi perilaku sudah tidak mempan.
Indikasi :
Klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan :
a.       Beresiko mencederai diri dan orang lain
b.      Mengalami toleransi dan tidak responsif lagi
c.       Klien bingung yang beresiko cidera atau jatuh
d.      Klien membutuhkan penurunan stimulus dan istirahat
e.       Klien membutuhkan bantuan mendapat rasa aman & pengendalian dirinya
Pengikatan membatasi mobilitas fisik tetapi bukan untuk menghukum klien. Harus disadari
klien pengikatan membantu klien mengendalikan perilaku yang tidak dapat dikendalikan
sendiri.
  
Tindakan keperawatan :
a.       Hargai hak azasi klien, lakukan :
1)      Identifikasi kejadian pencetus
2)      Observasi
3)      Buat rencana tindakan sesuai standar dan document

6
b.      Lindungi klien dari cidera fisik akibat pengikatan
c.       Sediakan lingkungan yang aman
d.      Jaga integritas biologis klien, dengan :
1)      Cek tanda vital secara rutin
2)      Mandikan & jaga kulit ttp bersih & kering
3)      Penuhi kebutuhan toileting
4)      Atur suhu ruangan tetap nyaman
5)      Beri posisi anatomis
6)      Periksa daerah ikatan
7)      Ganti posisi klien minimal tiap 2 jam
e.       Jaga harga diri klien, dengan :
1)      Pertahankan privacy klien
2)      Jangan memberi penjelasan yang bersifat merendahkan
3)      Tetap mempertahankan komunikasi verbal
4)      Staf yang merawat harus konsisten
5)      Staf yang menangani berjenis kelamin sama
6)      Lepaskan ikatan sesuai indikasi.

Protokol pelapasan ikatan :


a.       Saat masih berbaring monitor tanda-tanda vital. Pastikan klien sudah dapat
mengendalikan perilakunya
b.      Pastikan jumlah perawat cukup
c.       Lepaskan ikatan mulai dari ekstremitas yang tdk dominan
d.      Anjurkan klien untuk mobilisasi aktif
e.       Anjurkan klien bergerak secara bertahap
f.       Observasi perilaku klien
g.      Dokumentasikan kondisi klien

2.      Isolasi
Bentuk terapi ini dengan menempatkan klien sendiri di ruang tersendiri. Di indikasikan pada
klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan tidak bisa dikendalikan dengan cara
lain. Tidak dianjurkan klien yang beresiko bunuh diri, klien yang agitasi disertai gangguan
pengaturan suhu tubuh akibat obat serta klien dengan perilaku sosial menyimpang.
a.       Prosedur Isolasi :

7
1)      Tunjuk seorang pemimpin
2)      Perlihatkan kepada klien kekuatan yang ada
3)      Buat rancangan yang tepat, siapkan lingkungan ruangan
4)      Komunikasikan antar perawat
5)      Tangkap klien tanpa menyakiti
6)      Kendalikan perilaku agresif klien
7)      Pindahkan klien ke ruang isolasi
8)      Ganti pakaian dengan yang aman dan nyaman
9)      Pindahkan benda-benda yang membahayakan klien
10)  Buat rencana askep lanjutan
11)  Tetap pertahankan kontak dgn klien

b.      Setelah di ruang isolasi :


1)      Bantu pemenuhan KDM klien
2)      Observasi sesering mungkin
3)      Pertahankan komunikasi verbal
4)      Catat dan dokumentasikan hasil observasi
5)      Berikan umpan balik tentang perilaku klien
6)      Tetap berikan terapi yang lain
7)      Segera melepaskan klien dr ruang isolasi jika perilakunya mulai terkendali

3.      ECT ( Elektro Confulsive Therapy )


Bentuk terapi ini dengan menimbulkan kejang grand mall, dimana mengalirkan arus listrik
melalui elektroda yg ditempelkan pd pelipis klien. Awalnya ditujkan untuk klien skizopreni,
tetapi lebih cocok untuk gangguan afektif. Kontra indikasi : Tumor intra kranial, Kehamilan,
Osteoporosis, Infarc miokard dan Asthma bronchiale.
a.       Peran perawat
1)      Persiapan :
a)      Tangani kecemasan klien
b)      Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium
c)      Mempersiapkan inform concent
d)     Puasakan klien minima 6 jam
e)      Hentikan pemberian obat sblm ECT
f)       Lepaskan gigi palsu, kontak lens, dll

8
g)      Memakaikan pakaian yg longgar
h)      Membantu mengosongkan blass
2)      Pelaksanaan :
a)      Baringkan klien
b)      Siapkan alat
c)      Pasang bantalan gigi
d)     Sementara ECT dilakukan, tahan persendian dgn supel
e)      Setelah selesai, berikan bantuan nafas

3)      Setelah ECT :


a)      Observasi TTV sampai stabil
b)      Jaga keamanan klien
c)      Bila sudah sadar, orientasikan klien

Komplikasi dari pemberian tindakan ini :


a.       Lukasio dan dislokasi sendi
b.      Fraktur vetebra
c.       Robekan otot rahang
d.      Apnea
e.       Sakit kepal, mual dan nyeri otot
f.       Amnesia
g.      Bingung
h.      Demensia

4.      Fototerapi
Foto terapi atau terapi cahaya merupak terapi pemaparan cahaya terapeutik buatan
kepada pasien yang kekuatannya 5-20 kali lebih terang dari pencahayaan dalam ruangan.
Terapi ini berlangsung cepat dan dapat efektif. Pasien merasakan sembuh setelah 3-5 hari
terapi dan kambuh bila terapi dihentikan.

5.    Terapi deprivasi tidur


Sebanyak 60% pasien depresi membaik segera setelah dilakukan satu malam
deprivasi tidur total namun pasien dapat depresi kembali ketika mereka hanya tidur selama
kurang dari 2 jam pada malam hari.

9
6.    Stimulasi magnetik transkranial
Stimulasi magnetik transkranial (SMT) adalah prosedur noninvasif memasukkan
bidang magnetik yang berubah ke dalam otak untuk mempengaruhi aktifitas otak.

7.    Stimulasi saraf vagus


Stimulasi saraf vagus (SSV) mencakup penanaman suatu generator kecil (seukuran
jarum jam) ke dada pasien melalui pembedahan. SSV hanya boleh digunakan secara klinis
pada terapi epilepsi. Penggunaan SSV yang paling meyakinkan dalam psikiatri adalah pada
terapi gangguan afektif terutama depresi.

C.    Terapi Psikofarmaka


Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat. Efek
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk pengobatan
gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik khusus
untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa. Golongan dan jenis
psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat mengembangkan upaya kolaborasi
pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta
memadukan dengan alternatif terapi lainnya. Berdasarkan efek klinik, oat psikofarmaka
dibagi menjadi golongan antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan antimanik (mood
stabilizer).
1.      Antipsikotik
Obat ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranqullizer. Indikasi utama obat
golongan ini adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau psikotik lainnya).
Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
a.   Derivat fenotiazin
1)      Rantai samping alifatik
Contoh: Chlorpromazine (Largatil, ethibernal), Levomepromazine (Nozinan)
2)      Rantai samping piperazin
Contoh: Trifluoperazin (Stelazine), Perfenazin (Trilafon), Flufenazin (Anatensol)
3)      Rantai samping piperidin
Contoh: Thioridazin (Melleril)

10
b.      Derivat butirofenon
Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace)
c.       Derivat thioxanten
Contoh: Klorprotixen (Taractan)
d.      Deribat dibenzoxasepin
Contoh: Loksapin
e.       Derivat difenilbutilpiperidin
Contoh Pimozide (Orap)
f.       Derivat benzamide
Contoh: Sulpirid (dogmatil)
g.      Derivat benzisoxazole
Contoh: Risperidon (Risperdal)
h.      Derivat dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal)
Contoh: Clozapin (Leponex)

Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan
proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang berlebihan
(agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek samping ekstrapiramidal. Timbulnya
efek samping sangat bervariasi dan bersifat individual. Efek samping yang dapat terjadi
antara lain sebagai berikut.
a.       Gangguan neurologik
1)      Gejala ekstrapiramidal
a) Akatisia Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah
duduk pun tak enak.
b) Distonia akut Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah),
tortikolis (otot leher tertarik ke satu sisi), opistotonus (otot punggung
tertarik ke belakang), dan okulogirikrisis (mata seperti tertarik ke atas).
c) Sindroma Parkinson/Parkinsonisme Terdapat rigiditas otot/fenomena
roda bergerigi, tremor kasar, muka topeng, hipersalivasi, disartria.
d) Diskinesia tardif Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta
mengenai bagian tubuh/ kelompok otot tertentu yang biasanya timbul
setelah pemakaian antipsikotik jangka lama.
2)      Sindroma neuroleptika maligna Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan
timbulnya febris tinggi, kejang-kejang, denyut nadi meningkat, keringat berlebihan,

11
dan penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakaian kombinasi antipsikotik
golongan Butirofenon dengan garam lithium.
3)      Penurunan ambang kejang Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi yang
mendapat antipsikotik.
b.      Gangguan otonom
1)      Hipotensi ortostatik/postural Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi,
misalnya dari keadaan berbaring kemudian tiba-tiba berdiri, sehingga dapat terjatuh
atau syok/kesadaran menurun.
2)      Gangguan sistem gastrointestinal Mulut kering, obstipasi, hipersalivasi, dan diare.
3)      Gangguan sistem urogenital Inkontinensia urine.
4)      Gangguan pada mata Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia karena
terjadi mydriasis.
5)      Gangguan pada hidung Selaput lendir hidung edema sehingga pasien mengeluh
hidungnya mampet.
c.       Gangguan hormonal
1)      Hiperprolaktinemia
2)      Galactorrhoea
3)      Amenorrhoea
4)      Gynecomastia pada laki-laki
d.      Gangguan hematologi
1)      Agranulositosis
2)      Thrombosis
3)      Neutropenia
e.       Lain-lain
Dapat terjadi ikterus obstruktif, impotensia/disfungsi seksual, alergi, pigmentasi
retina, dermatosis.

2.      Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan neurotransmitter
norepinefrin dan serotonin. Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
a.       Golongan trisiklik
Contoh: Imipramin (Tofranil), Amitriptilin (Laroxyl), Clomipramin (Anafranil)
b.      Golongan tetrasiklik

12
Contoh: Maprotilin (Ludiomil)
c.       Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric)
d.      Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh: Setralin (Zoloft), Paroxetine (Seroxal), Fluoxetine (Prozax)
Untuk gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan
penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan. Efek samping yang sering
terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai berikut. a. Gangguan pada sistem
kardiovaskular.
1)      Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut.
2)      Hipertensi (sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang klasik).
3)      Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan golongan
trisiklik).
  
3.      Antiansietas (Anxiolytic Sedative)
Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis tanpa
banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek sedatif dan
berpotensi menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada golongan Benzodiazepin.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a.       Derivat benzodiazepin
Contoh: Klordiazopoksid (Librium), Diazepam (Valium), Bromazepam (Lexotan),
Lorazepam (Aktivan), Clobazam (Frisium), Alprazolam (Xanax), Buspiron (Buspar)
b.      Derivat gliserol
Contoh: Meprobamat (Deparon)
c.       Derivat barbitrat
Contoh: Fenobarbital (Luminal)

Obat-obat golongan Benzodiazepam paling banyak disalahgunakan karena efek


hipnotiknya dan terjaminnya keamanan dalam pemakaian dosis yang berlebih. Obat-obat
golongan ini tidak berefek fatal pada overdosis kecuali bila dipakai dalam kombinasi dengan
antisiolitik jenis lain atau dicampur alkohol. Efek samping yang sering dikeluhkan adalah
sebagai berikut.
a.       Rasa mengantuk yang berat.
b.      Sakit kepala.

13
c.       Disartria.
d.      Nafsu makan bertambah.
e.       Ketergantungan.
f.       Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang).

4.      Antimanik (Mood Stabilizer)


Merupakan kelompok obat yang berkhasiat untuk kasus gangguan afektif bipolar
terutama episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah kekambuhannya. Obat yang
termasuk kelompok ini adalah sebagai berikut.
a.       Golongan garam lithium (Teralith, Priadel)
b.      Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
c.       Asam Valproat

Hal yang penting untuk diperhatikan pada pemberian obat golongan ini adalah
kadarnya dalam plasma. Misalnya pada pemberian lithium karbonat, dosis efektif antara 0,8–
1,2 meq/L. Hal ini perlu selalu dimonitor karena obat ini bersifat toksik terutama terhadap
ginjal. Efek samping yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut.
a.       Tremor halus
b.      Vertigo dan rasa lelah
c.       Diare dan muntah-muntah
d.      Oliguria dan anuria
e.       Konvulsi
f.       Kesadaran menurun
g.      Edema
h.      Ataksia dan tremor kasar

Berbagai obat yang sering digunakan di rumah sakit jiwa dan tindakan keperawatan
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a.       Golongan Butirofenon (Haloperidol, Serenace)
1)      Efek Antipsikotik, sedasi psikomotor, mengontrol keseimbangan psikis
dan otomatik, menghambat gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan
antiemetik
2)      Efek samping Efek ekstrapiramidal, spasme otot, dan parkinson.

14
3)      Tindakan keperawatan
Observasi ketat tingkah laku pasien, beri dukungan dan rasa aman
kepada pasien, berada dekat pasien. Selain itu, lakukan tindakan kolaboratif
dengan pemberian obat-obat antikolinergik untuk mengatasi spasme otot dan
dopamin agonis untuk mengatasi parkinson.
4)      Cara pemberian: per oral

b.      Golongan Fenotiazin (Klorpromazin, Stelazine)


1)      Efek Penenang dengan daya kerja antipsikotik, antisiolitik, dan antiemetik
yang kuat.
2)      Efek samping
a)      Efek antikolinergik: hipotensi orthostatik, konstipasi, mulut kering,
penglihatan kabur.
b)      Efek ekstrapiramidal pada pemakaian dosis tinggi atau pada pasien
berusia di atas 40 tahun seperti gelisah dan sukar tidur.
3)      Tindakan keperawatan
a)      Untuk efek antikolinergik
Observasi bising usus, beri diet tinggi serat, tingkatkan input cairan, dan
beri aktivitas untuk mencegah konstipasi. Monitor tekanan darah,
tingkatkan volume cairan untuk mengembangkan pembuluh darah dan
beritahu pasien untuk berpindah posisi perlahanlahan untuk mengontrol
hipotensi orthostatik. Beri pelembap mulut secara berkala untuk
mengurangi rasa kering, misalnya gliserin. Anjurkan pasien untuk tidak
bekerja dengan alat berbahaya, benda tajam, dan tidak bepergian untuk
mengurangi kecelakaan akibat adanya kekaburan pandangan. Kolaborasi:
pemberian kolinergik agonis dan laksatif.
b)      Untuk efek ekstrapiramidal
Prinsip tindakan sama dengan pada pemberian haloperidol. Untuk
mengatasi sulit tidur dapat diberi susu hangat sebelum tidur atau dengan
cara lain. Cara pemberian: per oral

15
c.       Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek ekstrapiramidal.
Cara pemberian: per oral

D.    Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka


Peran perawat dalam penatalaksanaan obat di rumah sakit jiwa adalah sebagai berikut.
1.      Mengumpulkan data sebelum pengobatan.
Dalam melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang pengetahuan
biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lain riwayat penyakit, diagnosis
medis, hasil pemeriksaan laboratorium yang berkaitan, riwayat pengobatan, jenis obat yang
digunakan (dosis, cara pemberian, waktu pemberian), dan perawat perlu mengetahui program
terapi lain bagi pasien. Pengumpulan data ini agar asuhan yang diberikan bersifat menyeluruh
dan merupakan satu kesatuan.
2.      Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas.
Hal ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan. Pemilihan
terapi yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan hasil yang
lebih baik.
3.      Pendidikan kesehatan.
Pasien di rumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat yang
diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat yang dianggap tidak ada manfaatnya.
Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga karena adanya anggapan
bahwa jika pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu lagi minum obat padahal ini
menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat kembali di rumah sakit.
4.      Memonitor efek samping obat.
Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-reaksi
lain yang kurang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam mencapai pemberian
obat yang optimal.
5.      Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.
Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik obat
dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam tim kesehatan yang
melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan tiap dosis obat pasien, serta
secara terus-menerus mewaspadai efek samping obat. Dalam melaksanakan peran ini,
perawat bekerja sama dengan pasien.

16
6.      Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien dengan
fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai dirawat di rumah sakit
maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang ada di masyarakat misalnya
puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7.      Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran perawat
dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah satu program terapi
bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi pengobatan serta bersama pasien bekerja
sebagai satu kesatuan.
8.      Ikut serta dalam riset interdisipliner Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan
dengan pasien, perawat dapat berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau
sebagai peneliti utama. Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih
terus digali.
Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk pasien curiga, risiko bunuh
diri, dan ketergantungan obat adalah sebagai berikut.
1.      Pendekatan khusus pada pasien curiga.
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau pemberian yang
diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan pada pasien
ini tidak membahayakan, tetapi bermanfaat bagi pasien. Secara verbal dan nonverbal perawat
harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan pada diri pasien
karena tindakan yang ragu-ragu pada diri perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien.
Selain itu perawat harus bersikap jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas, misalnya,
“Bapak J, ini adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan, “Letakkan obat ini
dalam mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan kemasan yang sama setiap kali
memberi obat agar pasien tidak bingung, cemas, dan curiga. Jika ada perubahan dosis atau
cara meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan pasien sebelum meminta pasien untuk
meminumnya. Yakinkan obat benar-benar diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien
untuk membuka mulut dan gunakan spatel untuk melihat apakah obat disembunyikan. Hal ini
terutama pada pasien yang mempunyai riwayat kecenderungan menyembunyikan obat di
bawah lidah dan membuangnya. Untuk pasien yang benar-benar menolak minum obat
meskipun sudah diberikan pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan

17
melalui kolaborasi dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan
memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk menolak pengobatan dalam keadaan
darurat.

2.      Pendekatan khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.


Pada pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam pemberian obat
adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud pasien ingin merusak dirinya.
Perawat harus bersikap tegas dalam pengawasan pasien untuk minum obat karena pasien
pada tahap ini berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup dan mati. Perawat
menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat pasien mempunyai keinginan
hidup, agar keraguan pasien untuk mengakhiri hidupnya berkurang karena pasien merasa
diperhatikan. Perhatian perawat merupakan stimulus penting bagi pasien untuk meningkatkan
motivasi hidup. Dalam hal ini, peran perawat memberikan obat diintegrasikan dengan
pendekatan keperawatan, di antaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.

3.      Pendekatan khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.


Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya menganggap obat adalah
hal yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, perawat perlu memberikan
penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya cara untuk
menyelesaikan masalah. Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan masalahmasalah sosial
seperti patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan lainnya. Terapi obat harus
disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya seperti penjelasan cara-cara melewati proses
kehilangan. Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat mengidentifikasi
kasus yang dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat untuk melaksanakan peran
perawat dalam pemberian obat.

18
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Salah satu somatic terapi (terapi fisik) pada klien gangguan jiwa adalah pemberian
obat psikofarmaka. Psikofarmaka adalah sejumlah besar obat farmakologis yang digunakan
untuk mengobati gangguan mental. Obat-obatan yang paling sering digunakan di Rumah
Sakit Jiwa adalah Chlorpromasin, Halloperidon, dan Trihexypenidil. Obat-obatan yang
diberikan selain dapat membantu dalam proses penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga
mempunyai efek samping yang dapat merugikan klien tersebut, seperti pusing, sedasi,
pingsan, hipotensi, pandangan kabur dan konstipasi. Untuk menghindari hal tersebut perawat
sebagai tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus
mampu mengimbangi terhadap perkembangan mengenai kondisi klien terutama efek dari
pemberian obat psikofarmaka.

B.     Saran
Pembelajaran tentang peran perawat pada terapi somatic dan psikofarmaka harus
ditanamkan kepada mahasiswa keperawatan sedini mungkin supaya nantinya mereka bisa
lebih memahami, dan diharapkan makalah ini dikritik dan diberikan saran sehingga makalah
kami dapat disempurnakan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. dkk. 2007. Advance Course Community Mental health Nursing. Manajemen
Community Health Nursing Dstric Level: Jakarta
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Muhith Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Andi Offset

20

Anda mungkin juga menyukai