Anda di halaman 1dari 54

KEPERAWATAN JIWA

“Perspektif Gangguan Jiwa, Trend dan Issue Keperawatan Jiwa, Konsep


Dasar Kesehatan/Keperawatan Jiwa, Metode Konseptual Keperawatan Jiwa,
Dan Konsep Penatalaksanaan Terapi Modalitas”

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Ni Gusti Ayu Putu Widyantari (P07120018001)
2. I Wayan Prayogi Kastama Putra (P07120018002)
3. Ni Putu Ari Indriyani (P07120018003)
4. Sita Harnita (P07120018004)
5. Wayan Tirta Jinawi (P07120018005)
6. Luh Mei Febrianti (P07120018006)
7. Komang Apriyani (P07120018007)
8. Kadek Ratna Sukma Dewi (P07120018008)
9. Ni Putu Mellinea Dewi (P07120018009)
Kelas 2.1
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
DIII KEPERAWATAN
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat-Nya lah kami dapat menyelesaikan paper dengan judul “Perspektif
Gangguan Jiwa, Trend dan Issue Keperawatan Jiwa, Konsep Dasar
Kesehatan/Keperawatan Jiwa, Metode Konseptual Keperawatan Jiwa, Dan
Konsep Penatalaksanaan Terapi Modalitas” tepat sesuai pada waktunya.
Paper ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Jiwa. Dalam penyusunan paper ini, kami mendapat bimbingan dan
petunjuk dari berbagai pihak, diantaranya :
1. I Nengah Sumirta,SST,S.KeP,Ns. M.Kes
2. Teman-teman kelas 2.1 DIII Keperawatan.
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan paper ini masih
belum sempurna, maka kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan
demi kesempurnaan paper ini selanjutnya. Akhirnya kami berharap semoga paper
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, 13 Januari 2020

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
2.1 Perspektif Gangguan Jiwa, Trend an Issue Keperawatan.......................3
2.1.1 Tinjauan Tentang Gangguan Jiwa...........................................................4
2.1.2 Trend Curent Issue Dan Kecenderungan Dalam Keperawatan Jiwa......8
2.1.3 Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri........................18
2.1.4 Trend Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri Globalisasi................18
2.1.5 Issue Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri....................................19
2.2 Konsep Dasar Keperawatan Jiwa............................................................19
2.2.1 Definisi Kesehatan dan Keperawatan Jiwa...........................................19
2.2.2 Prinsip Keperawatan Jiwa.....................................................................20
2.2.3 Ciri-Ciri Sehat Jiwa (Mental)...............................................................21
2.2.4 .Falsafah Keperawatan Jiwa.................................................................23
2.2.5 Konsep Dasar Kesehatan dan keperawatan Jiwa.................................23
2.2.6 . Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa.......................................................23
2.2.7 Penyebab Terjadinya Gangguan Jiwa...................................................24
2.2.8 Fungsi Perawat Kesehatan Jiwa dalam Upaya Penanganan Masalah
Kesehatan  Jiwa..............................................................................................25
2.3.Model Konseptual Keperawatan Jiwa.....................................................27
2.3.1 Model Konseptual.................................................................................27
2.3.2 Model Konseptual dalam Keperawatan................................................27
2.3.3 Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966.........................................28
2.3.4 Beberapa Model Konsep Keperawatan Jiwa........................................31

iii
2.4 Konsep Penatalaksanaan Terapi Modalitas............................................38
2.4.1 Pengertian Terapi Modalitas.................................................................38
2.4.2 Jenis – jenis terapi modalitas................................................................38
BAB III..................................................................................................................48
3.1 Simpulan.....................................................................................................48
3.2 Saran...........................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah tahun 2000,dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era
globalisasi. Pada tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak
tenaga profesional keluar dan masuk ke dalam negeri. Pergeseran pola nilai
keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah
kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lnjut usia serta penyakit degenerative.
Dengan banyaknya masalah-masalah yang ada di dalam keperawatan jiwa yang
kini kita hadapi,maka kita perlu mengkaji ulang apa faktor faktor yang
mempengaruhi masalah-masalah kperwatan jiwa. Telah terbukti Bahwa upaya
pencegahan jauh lebih baik daripada upaya pengobatan. Untuk itu masyarakat luar
sangat perlu informasi tentang kesehatan jiwa beserta
permasalahan,pencegahan,dan penanganannya.
Dalam keperawatan jiwa perawat memandang manusia secara holistic dan
menggunakan diri sendiri secara terapeutik.Metodologi dalam keperawatan jiwa
adalah menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal
dengan menyadari diri sendiri,lingkungan dan interaksi dengan lingkungan dan
kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Model konseptual keperawatan
jiwa merupakan suatu kerangka rancangan terstruktur untuk melakukan praktik
pada setiap tenaga kesehatan mental. Hal ini merupakan upaya yang dilakukan
baik oleh tenaga kesehatanmental maupun perawat untuk menolong seseorang
dalam mempertahankan kesehatan jiwanya melalui mekanisme penyelesaian
masalah yang positif untuk mengatasi stressor atau cemas yang dialaminya.
Perawat psikiatri dapat bekerja lebih efektif bila tindakan yang dilakukan
didasarkan pada suatu model yang mengenali keberadaan sehat atau sakit sebagai
suatu hasil dari berbagai karakteristik individu yang berinteraksi dengan sejumlah
faktor di lingkungan(Videbeck,2008).
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda
terhadap apa yang dimaksud dengan gangguan jiwa dan bagaimana gangguan
perilaku terjadi. Perbedaan pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model
konseptual kesehatan jiwa. Pandangan model psikoanalisa berbeda dengan

1
pandangan model social,model perilaku,model eksistensial,model
medical,berbeda pula dengan model stress-adaptasi. Masing-masing model
memiliki pendekatan unik dalam terapi gangguan jiwa. Berbagai pendekatan
penanganan klien gangguan jiwa inilah yang dimaksud dengan terapi modalitas.
Suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang bertujuan
mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi
perilaku yang adaptif.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja perspektif gangguan jiwa, trend dan isue keperawatan jiwa?
2. Bagaimana Konsep dasar kesehatan/keperawatan jiwa?
3. Apa saja Metode konseptual keperawatan jiwa?
4. Bagaiaman Konsep penatalaksanaan tetapi modalitas?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa saja persefektif gangguan jiwa,trend dan issue
keperawatan jiwa
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep dasar kesehatan/keperawatan jiwa
3. Untuk mengetahui apa saja metode konseptual keperawatan jiwa
4. Untuk mengetahui bagaimana konsep penatalaksanaan terapi modalitas

1.4 Manfaat Penulisan


Agar pembaca dapat mengetahui tentang persefektif gangguan jiwa,trend dan
issue keperawatan jiwa, konsep dasar kesehatan/keperawatan jiwa, metode
konseptual keperawatan jiwa, konsep penatalaksanaan terapi modalitas.

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Perspektif Gangguan Jiwa, Trend an Issue Keperawatan
Menurut Longhorn (1984) (dalam supratiknya, 2006: 15), stigma terhadap
gangguan jiwa adalah istilah yang sebenarnya sukar didefinisikan secara khusus
karena istilah meliputi aspek yang luas, tetapi disepakati mengandung konotasi
kemanusiaan ya1.ng kurang. Istilah ini berarti suatu sikap jiwa yang muncul
dalam masyarakat, yang mengucilkan anggota masyarakat yang memiliki kelainan
jiwa. Stigma dapat pula diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang salah
yang lebih sering merupakan kabar angin yang dihembuskan berdasarkan reaksi
emosi untuk mengucilkan dan menghukum mereka yang sebenarnya memerlukan
pertolongan.
Stigma gangguan jiwa yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah
fenomena sosial tentang sikap masyarakat terhadap individu yang mengalami
gangguan jiwa serta menunjukkan abnormalitas pada pola perilakunya, serta
dipandang memiliki identitas sosial yang menyimpang, sehingga membuat
masyarakat tidak dapat menerima sepenuhnya. Akibatnya, sikap masyarakat
menjadi cenderung mendeskreditkan dan diskriminatif.
Kehidupan modern dewasa ini telah tampil dalam dua wajah yang
antagonistik. Di satu sisi modernism telah berhasil mewujudkan kemajuan yang
spektakuler, hususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain,
ia telah menampilkan wajah ke manusiaan yang buram berupa kemanusiaan
modern sebagai kesengsaraan rohaniah. Modernitas telah menyeret manusia pada
kegersangan spiritual. Ekses ini m erupakan konsekuensi logis dari paradigma
modernisme yang terlalu bersifat materi alistik dan m ekanistik, dan unsur nilai-
nilai normatif yang telah terabaikan.
Modernitas dengan hasil kemajuannya diharapkan membawa kebahagiaan
bagi manusia dan kehidupannya, akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan
ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan
kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental (psychic). Beban
jiwa semakin berat, kegelisahan, kete gangan dan ketertekanan menimbulkan

3
problem-problem kejiwaan yang bervariasi.

Studi Bank Dunia ( World Bank ) pada tahun 1995


(Siswono,www.gizi.net.Akses, 18 Januari 2015) di beberapa negara, menunjukan
bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissability Adjusted Life Years
(DALYs) sebesar 8,1 % dari “Global Burden of Disease” disebabkan oleh masalah
kesehatan jiwa, angka ini lebih tinggi daripada dampak yang disebabkan oleh
penyakit tuberculosis (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4) maupun
malaria (2,6%).
Di Indonesia sendiri kondisi keseha tan m ental sungguh memprihatinkan
dan menjadi masalah yang sangat serius. Hal ini ditunjukkan oleh data hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan B adan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan pada tahun 1995 yang antara lain
menunjukan bahwa gangguan mental remaja dan dewasa terdapat 140 per 1.000
anggota rumah tangga dan gangguan mental anak usia sekolah terdapat 104 per
1000 anggota rumah tangga.
Selain meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa, dampak yang
ditimbulkanpun menjadi problem yang penting untuk dilihat dalam masalah
kesehatan mental. Beban yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa yang dipikul oleh
penderita membuat mereka tak mampu menikmati kehidupannya secara normal,
sosial, baik secara individu maupun sosial. Beban ini ditam bah oleh adanya
stigma negatif masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.
Stigma yang paling umum terjadi, ditimbulkan oleh panda ngan sebagian
masyarakat yang mengidentikkan gangguan jiwa dengan “orang gila”. Oleh
karena gejala-gejala yang dianggap aneh dan berbeda dengan orang normal, masih
banyak orang yang menanggapi penderita gangguan jiwa, (khususnya gangguan
jiwa akut seperti psikosis dan skizofrenia) dengan perasaan takut, jijik, dan
menganggap mereka berbahaya. Tak jarang mereka diperlakukan dengan cara
yang semena-mena, seperti, penghinaan, perlakuan kasar hingga dipasung dalam
kamar gelap atau tidak memperbolehkan melakukan interaksi sosial.
2.1.1 Tinjauan Tentang Gangguan Jiwa
Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of

4
Mental Disorder (DSM)-IV (yang merupakan rujukan dari PPDGJ-III)16: Mental
dis order is conceptua lized as clinically sig nificant behavioural or psychological
syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated with
present distress (eg., a painful symptom) or disability (ie., impairmen t in one or
more important areas of functioning) or with a significant incr eased risk of
suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom.
Artinya, gangguan jiwa dikonseptualis asikan secara klinis sebagai
sindrom psikologis atau pola behavioral yang terdapat pada seorang individu dan
diasosiasikan dengan distress (misalnya simtom yang menyakitkan) atau
disabilitas (yakni, hendaya di dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting)
atau diasosiasikan dengan resiko m engalami kematian, penderitaan, disabilitas,
atau kehilangan kebebasa n diri yang pentin g sifatnya, yang meningkat secara
signifikan.
Kesehatan Jiwa, Di rektorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan R I, di mana nomor kode dan diagnosis gangguan jiwa merujuk pada
ICD-10 yang diterbitkan oleh WHO pada tahun 1992, sementara diagnosis multi-
aksial merujuk pada DSM-IV. Perkembangan isinya meliputi PPDGJ,
perbandingan diagnosis dan penggolongan struktur klasifikasi PPDGJ-III,
beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan diagnosis gangguan jiwa dan
penggolongannya, kategori diagnosis gangguan jiwa dengan mengacu pada
pedoman diagnostiknya. Rusdi Maslim (ed), Buku Saku Diagnosis Gangguan
Jiwa (Rujukan dari PPDGJ-III), (Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI, 1993:7) untuk
melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan
hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar
dan kecil). Gangguan kinerja ( performance) dalam peran sosial dan pekerjaan
tidak digunakan sebagai kom ponen esensial untuk didiagnosis gangguan jiwa,
oleh karena itu hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas.
Dari konsep tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep
gangguan jiwa, didapatkan butir-butir:

5
a. Adanya gejala klinis yang berm akna berupa sindrom atau pola perilaku
dan sindrom atau pola psikologik.
b. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderita” distress), antara lain dapat
berupa : rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, disfungsi organ tubuh, dll.
c. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” ( disability) dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup.
Proses mengenai timbulnya gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Luh
Ketut Suryani (http://www.balipost.co.id akses 19 Januari 2015) mengungkapkan
bahwa gangguan jiwa dapat terjadi ka rena tiga faktor yang bekerja sama yaitu:
1.Faktor Biologik
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti
kriteria penyakit dalam ilmu ke dokteran, para psikiater mengadakan banyak
penelitian dianta ranya mengenai kelainan-kelainan neurotransmiter (L.Suryantha
Chandra, http://www.republika.co.id, akses 18 Januari 2015) biokimia, anatomi
otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa. Gangguan
mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neurotransmiter diotak,
seperti pendapat Brown et. al. (1983), yaitu fungsi sosial yang kompleks seperti
agresi dan perilaku seksual sangat di pengaruhi oleh impuls serotonergik ke dalam
hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay (1983), yang mengatakan
noradrenalin yang ke hipotalamus bagian dorsal melayani sistem Hipotalamus
( hypothalamus) adalah bagian da ri otak de pan y ang terletak di bawah thalamus
dan membentuk atap dari ventricle ke tiga tahap yang mencakup mallary bodies,
infudibulus, pituitary (h ypophysis) dan chiasm optic. Dorsal: y ang berhubungan
dengan bagian posterior atau bagian belakang dari tubuh atau organ. Lihat Philip
L. Harrim an, Panduan Untuk Memahami Istilah Psikologi, alih bahasa M. W.
Husodo, cet. I (Jakarta: Restu Agung, 1995).monoamine di limbokortikal
berfungsi sebagai pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada
rangsangan yang datangnya relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan
suatu penyakit adalah di dalam studi keluarga. Pada penelitian ini didapatkan

6
bahwa keluarga penderita gangguan efektif, lebih banyak menderita gangguan
afektif daripada skizofrenia (Kendell dan Brockington, 1980), skizofrenia erat
hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi psikosis paranoid
tidak ada hubungannya dengan faktor genetik (Kender, 1981). Walaupun beberapa
peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah mendukung etiologi genetik,
akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama yang perlu dalam membangun
kemungkinan keterangan genetik.
Bila salah satu orangtua mengalami skizofrenia kemungkinan 15 persen
anaknya mengalami skizofrenia. Sementara bila kedua orangtua menderita maka
35-68 persen anaknya menderita skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat
apabila orangtua, anak dan saudara kandung menderita skizofrenia (Benyamin,
1976). Pendapat ini didukung oleh pendapat Slater (1966) yang menyatakan
angka prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada anggota keluarga yang individunya
sakit di bandingkan dengan angka prevalensi penduduk umumnya.
2. Faktor Psikologik
Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental
sangat kom pleks tergantung dari situasi, individu dan konstitu si orang itu. Hal ini
sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur
sosial, perubahan sosial dan tingkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam
pengalaman hidup seseorang.
Kepribadian merupakan bentuk ke tahanan relatif dari situasi interpersonal
yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang
bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan
retensi pengumpulan dan pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional
memperlihatkan kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase
perkembangan akibat tidak kuatnya hubungan personal dengan keluarga,
lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan
oleh seseorang merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu
pengalaman masa bayi sampai dewasa.
3. Faktor Sosio-budaya
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan

7
terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu
sosio-budaya tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Menurut Zubin (1969),
Adanya perbedaan satu budaya dengan budaya yang lainnya, merupakan salah
satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson (1969), mengatakan bahwa inkulturasi
dapat menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya.
Pendapat ini didukung pernyataan Favazza (1980) yang menyatakan perubahan
budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi, inkulturasi dan penyesuaian
dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya
gangguan jiwa Goodm an (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan
bahwa penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan
prevalensi gangguan afektif dan alkoholisma.
2.1.2 Trend Curent Issue Dan Kecenderungan Dalam Keperawatan Jiwa
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah
yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut
dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada
keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa
di antaranya adalah sebagai berikut:
2.1.2.1 Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset
terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan
jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena
masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa
berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan
harus dimulai dari masa pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya
keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang
di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa
kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada
pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk

8
menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan
bahwa lingkungan luar yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan
dapat meningkatkan risiko menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif,
yang menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan
perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan
neurokognitif seperti berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan
perhatian, membedakan suara rangsang yang berurutan, working memory, dan
fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam
kandungan dan dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan,
misalnya, tekanan berat dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau
terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan
neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala
skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku
yang aneh dan gangguan emosi.
2.1.2.2 Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah
penderita sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus
meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan
pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan
psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan
dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial
maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan
semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan
remaja, juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk
gangguan kejiwaan yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress,
kecemasan yang berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang
tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu.
Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya
menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan remaja

9
kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa
berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien
yang menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang
yang kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa
membahayakan dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.
2.1.2.3 Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan
merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai
gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization
(WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah
menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak ada
satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan
ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan
kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta
orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya
meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika
dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang
mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak
hal. Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
(psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga
golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau
organic. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada
otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan
alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan.
Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting)
hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik,
dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat
berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan
antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah

10
keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-
lain).

2.1.2.4 Kecenderungan situasi di era globalisasi


Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas
sebagai ciri globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan.
Perawat dituntut mampu memberikan askep yang profesional dan dapat
mempertanggung jawabkan secara ilmiah. Perawat dituntut senantiasa
mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang keperawatan khususnya
keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus membekali diri dengan
bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan pemanfaatan teknologi
komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.
2.1.2.5 Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan
termasuk keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan
penyelenggaraan pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat
“jiwa” ) harus mempunyai standar global dalam memberikan pelayanan
kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan. Fenomena masalah kesehatan jiwa,
indicator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis seperti
prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan sosial.
Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit, melainkan pada
peningkatan kualitas hidup. Jadi konsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit,
tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social
Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk pencegahan
daripada menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan
(preventif) dan promotif. Penangan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base
menjad community base.
2.1.2.6 Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“
(Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health
Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit
infeksi. Standar pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional

11
adalah angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa
seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY
(Disabilitty Adjusted Lfe Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan
masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik
yang tidak menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran,
kemiskinan, dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis
dan gangguan jiwa dalam kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan
seperti psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai
baik dari segi kuantitas. Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang
terpapar dengan kejadian Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-
kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya dan
mereka yang cedera serta yang dalam ancaman terhadap integritas fisik diri
sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa rasa takut yang kuat serta
tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang menghadapinya akan
dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar
rentang. Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-
hari. Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang
sedang terjadi), pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun
bencana alam, (gempa dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan
berusaha untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik
seperti yang disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll
dan Lv serta Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di
Indonesia menyatakan, gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan
suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan
demikian mereka menjadi manusia yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan
akibat dan resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal
seperti diketahui ada diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami
pengalaman katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi

12
berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya.
Kondisi itu memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi
kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi manusia
yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip,
terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga
menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang.
Akibatnya, tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh,
namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan
seakan berada dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau
merasa seakan-akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman,
ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai
memahami bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat
individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan
sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi
kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di
Indonesia, kompleksitas sosial dan kultural sangat penting mengingat bahwa
masyarakat telah mengalami dan menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak
berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman
tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang bersifat
personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami bencana
di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah
mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena
direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode
yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan
mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan,
dan tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk
membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian
trauma, juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut
sebagai transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis

13
yang terjadi dari orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang
mengerikan kepada orang lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud
memberi contoh bahwa psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat
ia secara tak sadar melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori
Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa
transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang melakukan
wawancara dengan korban.
2.1.2.7 Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman
trauma yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan
keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang
demikian. Mereka menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan
akibat akhir menjadi tidak produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang
bersifat individual, trauma muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan
sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi
kejiwaan.
2.1.2.8 Meningkatnya Masalah Psikososial
Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling
berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu Kedokteran Jiwa
(psychitri), secara garis besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi :
a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas, hidup
yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan nilai-nilai kehidupan
manusia, misalnya:
 Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan manusia,
mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita, anak, remaja,
dewasa, usia lanjut.
 Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan disabilitas.
 Pemukiman yang sehat.
 Pemindahan tempat tinggal.
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai
aikbat terjadinya perubahan sosial, misalnya :

14
 Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu
ketertiban/keamanan lingkungan).
 Pemasungan penderita gangguan jiwa.
 Masalah anak jalanan.
 Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
 Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).
 Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi nafkah, korban
kekerasaan pada anak dan lain-lain).
 Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali merasakan
kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam, ledakan, kekerasaan,
penyerangan/penganiyaan secara fisik atau seksual, termasuk pemerkosaan,
terorisme dan lain-lain).
 Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat
terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress pascatrauma, dan
lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik,
gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan,
perubahan minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada
daya ingat, dll).
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga
kerja, penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).
2.1.2.9 Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja
Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat
mengancam Sejak tahun 1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang
diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Sedangkan untuk negara Austria,
Denmark, dan Inggris, rata-rata 25 orang. Urutan pertama diduduki Jerman
dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di Amerika tiap 24 menit seorang
meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang sebenarnya 10 kali
lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini yang mengkhawatirkan
trend bunuh diri mulai tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan remaja.

15
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering
diberitakan bahwa warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri (menikam
atau merobek perut sendiri) sering dilakukan bawahan untuk melindungi nama
baik atasannya. Sebagai contoh, sekretaris pribadi mantan Perdana Menteri
Takeshita melakukan bunuh diri, ketika skandal suap perusahaan Recruits Cosmos
terbongkar pada tahun 1984 atau yang paling terkenal kasus bunuh dirinya sopir
pribadi mantan Perdana menteri Tanaka, ketika skandal suap Lockheed
terbongkar. Sang sopir menusuk perutnya, demi menjaga kehormatan
pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003
mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau
terjadi dalam seiap 40 detiknya.
Bunuh diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada
usia 15-34 tahun, selain faktor kecelakaan.
2.1.2.10 Masalah Napza dan HIV/AIDS
Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan
dampak dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju.
Hal terpenting yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah
perangkat hukum yang lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali
menjadi backing, ditambah dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi
pengedar dan pemakai, sehingga dampaknya SDM Indonesia kalah dengan
Malaysia yang lebih bertindak tegas terhadap pengedar dan pemakai NAPZA.
Kondisi ini akan semakin menigkat untuk masa yang akan datang khususnya
dalam era globalisasi. Dalam era globalisasi tersebut terdapat gerakan yang sangat
besar yang disebut dengan istilah “Gerakan Kafirisasi“. Bila beberapa dekade
yang lalu kita mengenal istilah zionisme, maka dengan ini sejalan dengan
globalisasi kita berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang disebut dengan
Neozionisme, sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan dunia global yang
sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang mereka anggap sebagai
kepalsuan, racun, dan dogmatis fundamentalis. Gerakan konspirasi mereka telah
membuat carut marut dan tercabiknya wajah kaum beragama, utamanya umat
muslim, mereka menuduh umat islam sebagai fundamentalis, ekstrimis, dan tiran.

16
Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah mengatakan : “Musuh Barat
terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam“. Salah satu program mereka adalah
menghancurkan islam melalui penghancuran generasi mudanya dengan cara
menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Sekarang para imperalis
dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi yang tersimpan dalam generasi
negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang berusia 15-25 tahun melalui NAPZA
(Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah membunuh 30 orang perbulannya.
Masalah lainnya muncul seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA.
Menjelang tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang
permenit. Ini merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil
menyelamatkan generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika,
Alkohol, psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen
terbesar dari seluruh tim kesehatan, maka upaya-upaya pengcegahan dan
penatalaksanaan keperawatan menjadi hal yang sangat penting karena perawat
senantiasa berada di sisi klien dalam rentang waktu yang lama di banding tim
kesehatan lainnya. Melalui forum presentasi orientasi keperawatan jiwa kami
berusaha memaparkan suatu topic dengan tema Asuhan Keperawatan pada
Pengguna NAPZA.
2.1.2.11 Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa
Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini pola
asuh keluarga menjadi sorotan. Pola aush yang baik adalah pola asuh dimana
orang tua menerapkan kehangatan tinggi yang disertai dengan kontrol yang tinggi.
Kehangatan adalah bagaimana orang tua menjadi teman curhat, teman bermain,
teman yang menyenangkan bagi anak terutama saat rekreasi, belajar, dan
berkomunikasi. Adakalanya kehangatan diwujudkan dengan mendekap, mencium,
menggendong atau mengajak anak menjalajahi alam sambil belajar. Kehangatan
adalah upaya-upaya yang dilakukan orang tua agar anak dekat dan berani bicara
pada orang tuanya pada saat anak mendapatkan masalah. Orang tua menjadi
teman dalam express feeling anak sehingga anak menjadi sehat jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan
mengenal disiplin di rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat penting

17
dalam kesehatan jiwa. Anak mandiri terbiasa menyelesaikan masalahnya, ia akan
memiliki self confidence yang cukup. Contoh kontrol yang diterapkan orang tua
adalah kapan anak harus bangun pagi, kapan belajar, kapan anak berlatih memakai
kaos kaki sendiri, makan sendiri dan berpakaian secara mandiri. Orang tua juga
melatih anak bertanggung jawab mengerjakan tugas-tugas di rumah seperi
mencuci, menyiram bunga, dan sebagainya.
2.1.2.12 Masalah Ekonomi dan Kemiskinan
Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat
Indonesia semakin terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah, lingkungan
buruk, kurang gizi, mudah terigitasi, kekebalan menurun dan infrastruktur yang
masih rendahmenyebabkan banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami
gangguan jiwa. Masalah ekonomi merupaka masalah yang paling dominant
menjadi pencetus gangguan jiwa di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa saat
terjadi kenaikan BBM selalu dsertai dengan peningkatan dua kali lipat angka
gangguan jiwa. Hal ini diperparah dengan biaya sekolah yang mahal, biaya
pengobatan tak terjangkau dan penggusuran yang kerap terjadi.
2.1.3 Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
Sejarah Keperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi pada
awal abad ke-19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental psikiatri mulai
berkembang pesat, tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah Sakit (Antai Otong,
1994). Hal ini terjadi sejalan dengan program deinstitusionalisasi.
Deinstitusionalisasi adalah suatu program pembebasan klien gangguan jiwa
kronik dari institusi rumah sakit dan mengembalikan mereka ke lingkungan
rehabilitas di masyarakat (Lefley, 1996). Angka kejadian gangguan jiwa dapat
diminimalkan dengan menggunakan cara-cara preventif seperti menemukan
kasus-kasus secara dini, diagnosa dini da intervensi krisis (Gerald Kaplan dikutip
oleh Antai Otong, 1994).
2.1.4 Trend Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri Globalisasi
Leininger (1973) mengemukakan 3 kunci utama dalam proses tersebut :
pengalaman dan pendidikan perawat, peran, dan fungsi perawat serta hubungan
perawat dengan profesi lain di komunitas. Reformasi dalam pekayanan kesehatan
ini te;ah menuntut perawat untuk merendefenisi perannya. Intervensi keperawatan
yang menekankan pada aspek pencegahan dan promosi kesehatan sudah saatnya

18
mengembangkan “community based care” (Lefley, 1996).
Kurangnya dukungan tenaga, biaya, dan fasilitas yang tersedia menantang
perawat mental psikiatri dan profesi lain untuk memaksimalkan sumber-sumber
yang tersedia dan mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam memenuhi
kebuuhan masyarakat (Antai Otong, 1994). Sehubungan dengan hal itu, adalah
penting untuk mengembangkan pendidikan keperawatan (Suhaemi, 1997),
terutama keperawatan mental psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa maupun
di komunitas paling rendah pada level universitas (Jintana, 2002).
2.1.5 Issue Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
1. Stuart Sundeen (1998) mengemukakan bahwa hasil riset Keperawatan
Jiwa masih sangat kurang.
2. Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena
pendidikan yang rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang bisa
diakui secara Internasional.
3. Perbedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman
sering kali tidak jelas dalam “Position Description,” job responsibility dan
system reward di dakam pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja
(Stuart Sudeen, 1998).
4. Di negara lain pun mempunyai kecenderungan yang sama, hasil penelitian
di Ireland menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai persepsi yang salah
tentang peran perawat psikiatri (Wells, 2000).

2.2 Konsep Dasar Keperawatan Jiwa


2.2.1 Definisi Kesehatan dan Keperawatan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu
mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun ada banyak
ahli mendefinisikan mengenai sehat jiwa diantaranya menurut:
1. WHO
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sejahtera secara fisik, sosial dan
mental yang lengkap dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan. Atau
dapat dikatakan bahwa individu dikatakan sehat jiwa apabila berada dalam
kondisi fisik, mental dan sosial yang terbebas dari gangguan (penyakit) atau tidak

19
dalam kondisi tertekan sehingga dapat mengendalikan stress yang timbul.
Sehingga memungkinkan individu untuk hidup produktif dan mampu melakukan
hubungan sosial yang memuaskan.
2. UU Kesehatan Jiwa No.03 Tahun 1966
- Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental yang sejahtera sehingga
memungkinkan seseorang berkembang secara optimal baik fisik, intelektual dan
emosional dan perkembangan tersebut berjalan secara selaras dengan keadaan
orang lain sehingga memungkinkan hidup harmonis dan produktif.
- Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada
ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan
dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-
psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa
( komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa )
melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah,
mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu,
keluarga, kelompok komunitas).
3. American Nurse Association
-Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang
menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri
sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan
kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada
- Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk
meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh
sebagai manusia
2.2.2 Prinsip Keperawatan Jiwa
2.2.2.1  Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan
bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai
kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri
dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai
aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubah dan
keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas

20
koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana
perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
2.2.2.2 Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam
dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam
berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping
yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan
dapat menghasilkan perubahan diri individu.
2.2.2.3  Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap
individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui
perawatan yang adekuat.
2.2.2.4  Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan
menggunakan diri sendiri secara terapeutik.
2.2.3 Ciri-Ciri Sehat Jiwa (Mental)
Berikut ini akan dijelaskan ciri sehat jiwa dari menurut beberapa ahli
diantaranya, menurut:
2.2.3.1. Yahoda
Yahoda mencirikan sehat jiwa sebagai berikut:
a. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri
b. Tumbuh, berkembang dan beraktualisasi
c.Menyadari adanya integrasi dan hubungan antara : masa lalu dan sekarang
memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan dan tidak bergantung pada
siapapun
d. Memiliki persepsi sesuai dengan kenyataan
e. Mampu menguasai lingkungan dan beradaptasi
2.2.3.2. WHO (World Health Organisation/Organisasi Kesehatan Dunia)
Pada tahun 1959 dalam sidang di Geneva, WHO telah berhasil
merumuskan kriteria sehat jiwa. WHO menyatakan bahwa, seseorang dikatakan

21
mempunyai sehat jiwa, jika
memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Individu mampu menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan,
meskipun kenyataan itu buruk baginya.
b. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
c. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
d. Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress), cemas dan depresi.
e. Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling
memuaskan.
f. Mampu menerima kekecewaan sebagai pelajaran yang akan datang
g. Mempunyai rasa kasih sayang.
Pada tahun 1984, WHO menambahkan dimensi agama sebagai salah satu
dari 4 pilar sehat jiwa yaitu: Kesehatan secara holistik yaitu sehat secara jasmani/
fisik (biologik); sehat secara kejiwaan (psikiatrik/ psikologik); sehat secara sosial;
dan sehat secara spiritual (kerohanian/ agama).Berdasarkan keempat dimensi
sehat tersebut,the American Psychiatric Associationmengadopsi menjadi
paradigma pendekatan biopsycho-socio-spiritual. Dimana dalam perkembangan
kepribadian seseorang mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama,
organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya.
2.2.3.3. MASLOW:
Maslow mengatakan individu yang sehat jiwa memiliki ciri sebagai berikut:
a. Persepsi Realitas yang akurat.
b. Menerima diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
c. Spontan.
d. Sederhana dan wajar.
4. Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sesesorang dikatakan
sehat jiwa
jika:
1. Nyaman terhadap diri sendiri
• Mampu mengatasi berbagai perasaan : rasa marah, rasa takut, cemas, iri, rasa
bersalah, rasa senang, cinta mencintai, dll.
• Mampu mengatasi kekecewaaan dalam kehidupan.

22
• Mempunyai Harga Diri yang wajar.
• Menilai diri secara nyata, tidak merendahkan dan tidak pula berlebihan.
• Merasa puas dengan kehidupan sehari-hari.
2. Nyaman berhubungan dengan orang lain.
• Mampu mencintai dan menerima cinta dari orang lain.
• Mempunyai hubungan pribadi yang tetap.
• Mampu mempercayai orang lain.
• Dapat menghargai pendapat orang yang berbeda.
• Merasa menjadi bagian dari kelompok.
• Tidak mengakali orang lain, dan tidak memberikan dirinya diakali orang lain.
3. Mampu memenuhi kebutuhan hidup
• Menetapkan tujuan hidup yang nyata untuk dirinya.
• Mampu mengambil kjeputusan.
• Menerima tanggung jawab.
• Merancang masa depan.
• Menerima ide / pengalaman hidup.
• Merasa puas dengan pekerjaannya.
2.2.4 .Falsafah Keperawatan Jiwa
Falsafah keperawatan adalah pandangan dasar tentamg hakikat manusia
dan esensi keperawatan yang menjadikan kerangka dasar dalam praktik
keperawatan.Falsafah Keperawatan bertujuan mengarahkan kegiatan keperawatan
yang dilakukan. Keperawatan memandang manusia sebagai mahluk holistic,
sehingga pendekatan pemberian asuhan keperawatan, dilakukan melalui
pendekatan humanistik, dalam arti perawat sangat menghargai dan menghormati
martabat manusia, memberi perhatian kepada klien serta menjunjung tinggi
keadilan bagi sesama manusia. Keperawatan bersifat universal dalam arti dalam
memberikan asuhan keperawatan, perawat tidak membedakan atas ras, jenis
kelamin, usia, warna kulit, etik, agama, aliran politik, dan status sosial ekonomi.
2.2.5 Konsep Dasar Kesehatan dan keperawatan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu
mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Kesehatan jiwa meliputi :

23
1)      Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri
2)      Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain
3)      Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari - hari.
2.2.6 . Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Kapan seseorangg dikatakan mengalamai gangguan jiwa Normal dan
Abnormal. Gejala gangguan jiwa merupakan interaksi dari berbagai penyebab
sebagai proses penyesuaian terhadap stressor. Gejala gangguan jiwa dpt berupa
gangguan pada :
1)      Kesadaran
2)      Ingatan
3)      Orientasi
4)      Efek dan emosi
5)      Psikomotor
6)      Intelegensi
7)      Kepribadian
8)      Penampilan
9)      Proses pikir, persepsi
10)  Pola hidup
2.2.7 Penyebab Terjadinya Gangguan Jiwa
Walaupun gejala utama terdapat pada unsur kejiwaan tapi penyebab
utamanya mugkin di badan (Somatogenik), di lingkungan sosial (Sosiogenik) atau
psike (Psikogenik) Penyebabnya tidak tunggal tapi beberapa penyebab yg terjadi
bersamaan dan saling mempengaruhi. Secara umum diketahui bahwa gangguan
jiwa disebabkan oleh adanya gangguan pada otak tapi tidak diketahui secara pasti
apa yang mencetuskannya. Stress diduga sebagai pencetus dari gangguan jiwa tapi
stress dapat juga merupakan hasil dari berkembangnya mental illness pada diri
seseorang. Reaksi tiap orang terhadap stress berbeda-beda. Beberapa
kemungkinan penyebab gangguan jiwa :
1)      Somatogenik
a)      Neuroanatomi
b)      Neurofiologi
c)      Neurokimia
d)     Tingkat perkembangan organik

24
e)      Faktor pre and perinatal
f)       Excessive secretion of the neurotransmitter nor epineprine
2)      Faktor Psikologik
a)      Interaksi ibu dan anak
b)      Peranan ayah
c)      Persaingan antar saudara kandung
d)     Hubungan dalam keluarga, pekerjaan dan masyarakat
e)      Kehilangan
f)       Kosep diri
g)      Pola adaptasi
h)      Tingkat perkembangan emosi
3)      Faktor Sosial Budaya
a)      Kestabilan keluarga
b)      Pola asuh anak
c)      Tingak ekonomi
d)     Perumahan
e)      Pengaruh rasial dan keagamaan, nilai-nilai
2.2.8 Fungsi Perawat Kesehatan Jiwa dalam Upaya Penanganan Masalah
Kesehatan  Jiwa
Fungsi perawat kesehatan jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan
secara langsung dan asuhan keperawatan secara tiak langsung. Fungsi ini dapat
dicapai dengan aktifitas perawat kesehatan jiwa yaitu :
 Memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik,
mental dan social sehingga dapat membentu penyembuhan pasien.
 Bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam
membantu mengatasi segera dan tiak itunda sehingga tidak terjai penumpukan
masalah.
 Sebagai model peran yaitu paerawat dalam memberikan bantuan kepada
pasien menggunakan dir sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang
ditampilkan oleh perawat.
 Memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan hal
yang penting. dalam hal ini perawat perlu memasukkan pengkajian biologis secara

25
menyeluruh dalam mengevaluasi pasien kelainan jiwa untuk meneteksi adanya
penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat.
 Member pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada pasien, keluarga dan
komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, cirri-ciri
sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, cirri-ciri gangguan jiwa, fungsi dan ugas
keluarga, dan upaya perawatan pasien gangguan jiwa.
 Sebagai perantara social yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak
pasien, keluarga dan masyarakat alam memfasilitasi pemecahan masalah pasien.
 Kolaborasi dengan tim lain. Perawat dalam membantu pasien mengadakan
kolaborasi dengan petugas lain yaitu dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat
(perawat komunitas), pekerja social, psikolog, dan lain-lain.
 Memimpin dan membantu tenaga perawatan dalam pelaksanaan
pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada management keperawatan
kesehatan jiwa. Sebagai pemimpin diharapkan dapat mengelola asuhan
keperawatan jiwa an membantu perawat yang menjadi bawahannya.
 Menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan
mental. Hal ini penting untuk diketahui perawat bahwa sumber-sumber di
masyarakat perlu iidentifikasi untuk digunakan sebagai factor penukung dalam
mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada di masyarakat.
2.2.8.1 Hak-hak Pasien Jiwa
o Hak untuk dihormati sebagai manusia
o Hak memperoleh privacy
o Hak untuk mempunyai kesempatan yg sama dan warga negara
lainnya dlm pelayanan kesehatan pendapatan, pendidikan pekerjaan perumahan,
transportasi dan hokum
o Hak untuk mendapatkan informasi, pendidikan dan training ttg
G.jiwa, pengobatan perawatan dan pelayanan yg tersedia
o Hak untuk bekerja atau berinteraksi dgn tenaga kesehatan,
khususnya dlm pengambilan keputusan sehubungan dgn tretment, perawatan dan
rehabilitasi
o Hak untuk complain
o Hak untuk mendapatkan advocacy

26
o Hak untuk menghubungi teman dan saudara
o Hak mendapatkan pelayanan yg mempertimbangkan budaya,
agama dan jenis kelamin
o Hak untuk hidup, bekerja dan berpartisipasi dlm masyarakat tanpa
diskriminasi
2.2.8.2 Peran Perawat Kesehatan Jiwa
1. Pengkajian yg mempertimbangkan budaya
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
3. Berperan serta dlm pengelolaan kasus
4. Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh
penyakit mental - penyuluhan dan konseling
5. Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang
mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan
6. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan

2.3.Model Konseptual Keperawatan Jiwa


  2.3.1 Model Konseptual
Model adalah contoh, menyerupai, merupakan pernyataan simbolik tentang
fenomena, menggambarkan teori dari skema konseptual melalui penggunaan
symbol dan diafragma, dan Konsep adalah suatu keyakinan yang kompleks
terhadap suatu obyek, benda, suatu peristiwa atau fenomena berdasarkan
pengalaman dan persepsi seseorang berupa ide, pandangan atau keyakinan. Model
konsepadalah rangkaian konstruksi yang sangat abstrak dan berkaitan yang
menjelaskan secara luas fenomena-fenomena, mengekspresikan asumsi dan
mencerminkan masalah. (Hidayat, 2006, hal.42)
Model konseptual merupakan kerangka kerja konseptual, sistem atau skema
yang menerangkan tentang serangkaian ide global tentang keterlibatan individu,
kelompok, situasi, atau kejadian terhadap suatu ilmu dan perkembangannya.
Model konseptual memberikan keteraturan untuk berfikir, mengobservasi dan
menginterpretasi apa yang dilihat, memberikan arah riset untuk mengidentifikasi
suatu pertanyaan untuk menanyakan tentang fenomena dan menunjukkan
pemecahan masalah (Christensen & Kenny, 2009, hal. 29).

27
2.3.2 Model Konseptual dalam Keperawatan
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang
situasi dan kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model
konseptual keperawatan memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat
mendapatkan informasi agar mereka peka terhadap apa yang terjadi pada suatu
saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan tahu apa yang harus perawat
kerjakan (Brockopp, 1999, dalam Hidayati, 2009).
Model konseptual keperawatan telah memperjelas kespesifikan area
fenomena ilmu keperawatan yang melibatkan empat konsep yaitu manusia sebagai
pribadi yang utuh dan unik. Konsep kedua adalah lingkungan yang bukan hanya
merupakan sumber awal masalah tetapi juga perupakan sumber pendukung bagi
individu. Kesehatan merupakan konsep ketiga dimana konsep ini menjelaskan
tentang kisaran sehat-sakit yang hanya dapat terputus ketika seseorang meninggal.
Konsep keempat adalah keperawatan sebagai komponen penting dalam perannya
sebagai faktor penentu pulihnya atau meningkatnya keseimbangan kehidupan
seseorang (klien) (Marriner-Tomey, 2004, dalam Nurrachmah, 2010)
Tujuan dari model konseptual keperawatan (Ali, 2001, hal. 98) :
a.    Menjaga konsisten asuhan keperawatan.
b.    Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan
keperawatan oleh tim keperawatan.
c.    Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.
d.   Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan.
e.    Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi
setiap anggota tim keperawatan.
Konseptualisasi keperawatan umumnya memandang manusia sebagai
mahluk biopsikososial yang berinteraksi dengan keluarga, masyarakat, dan
kelompok lain termasuk lingkungan fisiknya. Tetapi cara pandang dan fokus
penekanan pada skema konseptual dari setiap ilmuwan dapat berbeda satu sama
lain, seperti penenkanan pada sistem adaptif manusia, subsistem perilaku atau
aspek komplementer (Marriner-Tomey , 2004, dalam Nurrachmah, 2010).
2.3.3 Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966
Kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional
secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini selaras dengan orang lain.

28
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan
pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus
kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh
gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi
keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan
kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan,
mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien
(individu, keluarga, kelompok komunitas ).Keperawatan jiwa adalah proses
interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku
sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia
Prinsip keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu manusia,
lingkungan, kesehatan dan keperawatan(Sulistiawati dkk,  2005, hal. 5-6)
1)   Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan
bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai
kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri
dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai
aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubahdan
keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas
koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana
perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
2)   Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam
dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam
berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping
yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan
dapat menghasilkan perubahan diri individu.
3)   Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap
individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui

29
perawatan yang adekuat.
4)   Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan
menggunakan diri sendiri secara terapeutik. Metodologi dalam keperawatan jiwa
adalah menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal
dengan menyadari diri sendiri, lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan.
Kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Klien bertambah sadar akan diri
dan situasinya, sehingga lebih akurat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah
serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya. Perawat memberi stimulus
yang konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang
merupakan modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa bertujuan untuk mememberian asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien, merupakan proses
terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan
masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Carpenito, 1989
dikutip oleh Keliat,1991).
Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk
dipenuhi, serta diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat
dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisis, dan tidak
unik bagi individu klien. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik,
saling bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika
keadaan klien klien berubah. Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling
bergantung. Diagnosis keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data
pengkajian belum ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama
perawat dan klien. Umumnya, pada tahap awal peran perawat lebih besar dari
peran klien, namun pada proses sampai akhir diharapkan sebaliknya peran klien
lebih besar daripada perawat sehingga kemandirian klien dapat tercapai.
Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan
terpenuhi dan / atau masalah teratasi. (Keliat, 2006, hal.1-3)
c.    Prinsip-Prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa
Prinsip-prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa menurut (Yosep, 2010, hal.6)
1) Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi

30
keperawatan jiwa : yang kompeten).
2)   Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat
dengan klien).
3)   Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
4)   Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam
keperawatan jiwa).
5)   Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam
keperawatan jiwa).
6)    Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis
dalam keperawatan jiwa).
7)    Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya
dalam keperawatan jiwa).
8)    Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan
dalam keperawatan jiwa).
9)    Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika
dalam keperawatan jiwa).
10)  Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses
keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
11)  Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards
(aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar
professional).
2.3.4 Beberapa Model Konsep Keperawatan Jiwa
2.3.4.1 Model Psikoanalisa
a.    Konsep
Merupakan model yang pertama yang dikemukakan oleh Sigmun Freud
yang meyakini bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan
pada perkembangan pada anak. Setiap fase perkembangan mempunyai tugas
perkembangan yang harus di capai. Gejala yang nampak merupakan simbul dari
konflik.
b.    Proses terapi
1)   Memakan waktu yang lama
2)   Menggunakan tehnik asosiasi bebas dan analisa mimpi” menginterpretasikan

31
perilaku, menggunakan transferens untuk memperbaiki masa lalu
,mengidentifikasi area masalah.
c.    Peran pasien dan terapis
1)   Pasien : mengungkapkan semua pikiran dan mimpi
2)   Terapis:mengupayakan perkembangan transferens menginterpretasikan pikiran
dan mimpi pasien dalam kaitannya dengan konflik.
Kelebihan :
a)      Dasar teori yang kuat 
b)      Lebih fokus dalam mengetahui menghadapi masalah klien
c)      Dapat membuat klieen masalah apa yang selama ini tidak disadarinya
Kekurangan :
a)      Biaya yang banyak yang dikeluarkan oleh klien
b)      Memakan waktu yang lama
c)      Klien menjadi jenuh akibat waktu yang lama
d)     Dibutuhkan terapis yang benar benar sudah terlatih
2.3.4.2    Model Perilaku
a.    Konsep
Dikembangkan oleh H.J Esyenk, J.Wolpe dan B.F Skiner. Teori ini
menyakini bahwa perubahan perilaku akan merubah koognitif dan avektif.
b.    Proses terapi
1)   Desenlisasi / pengalihan
2)   Teknik relaksasi
3)   Asertif training
4)   Reforcemen/memberikan penghargaan
5)   Self regulation/mengamati perilaku klien : self standar ketrampilan,self observasi
, self evaluasi , self reforcemen.
c.    Peran pasien dan terapis
1)   Pasien :
a)    Mempraktikkan teknik perilaku yang digunakan untuk mengerjakan pekerjaan
rumah
b)   Penggalakan latihan
2)   Terapis :

32
a)    Mengajarkan kepada klien tentang pendekatan perilaku
b)   Membantu mengembangkan hirarki perilaku
c)    Menguatkan perilaku yang diinginkan
Kekurangan :
a)      Kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
b)      Hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati
Kelebihan :
a)      Tidak dianjurkan hukaman dalam proses terapi penyembuhan

2.3.4.3    Model Eksistensi
a.    Konsep
Teori mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku terjadi jika individu
putus hubungan dengan dirinya dan lingkungannya. Keasingan diri dan
lingkungan dapat terjadi karena hambatan pada diri individu. Individu merasa
putus asa,sedih,sepi,kurang kesadaran diri yang mencegah partisipasi dan
penghargaan pada hubungan dengan orang lain. Klien sudah kehilangan/tidak
mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada eksistensinya.
b.    Proses terapi
1)   Rational emotive therapy
Konfrontasi digunakan untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya. Klien
didorong menerima dirinya sebagai mana adanya bukan karena apa yang
dilakukan.
2)   Terapi logo
Terapi orientasi masa depan. Individu meneliti arti dari kehidupan , karena tanpa
arti berarti eksis. Tujuannya agara induvidu sadar akan tanggung jawabnya.
3)   Terapi realitas
Klien dibantu untuk menyadari target kehidupannya dan cara untuk mencapainya.
Klien didasarkan akan alternatif yang tersedia
c.    Peran pasien perawat
1)   Pasien : bertanggung jawab terhadap perilakunya dan berperan serta dalam suatu
pengalaman berarti untuk mempelajari tentang dirinya yang sebenarnya
2)   Terapis :

33
a)    Membantu pasien untuk mengenali diri
b)   Mengklarifikasi realita dari suatu situasi
c)    Mengenali pasien tentangperasaan tulus
d)   Memperluas kesadaran diri pasien
Kelebihan :
a)      Memiliki 3 proses terapi ( terapi rational emotive, terapi logo, terapi realitas )
Kekurangan :
a)      Susah menerima masukan dari orang lain
b)      Klien kehilangan atau tidak mungkin menemukan nilai nilai yang memberi arti
eksetensi
2.3.4.4 Model Interpersonal
a.    Konsep
Model ini diperkenalkan oleh Hary Stack Sullivan. Sebagai tambahan
Peplau mengembangkan teori interpersonal keperawatan. Teori ini menyakini
bahwa perilaku berkembang dari hubungan interpersonal.
Menurut Sulivan indivdu memadang orang lain sesuai dengan apa yang ada
pada dirinya , maksudnya kemampuan dalam memahami diri sendiri dan orang
lain yang menggunakan dasar hubungan antar manusia yang mencakup proses
intrepersonal perawat klien dan masalh kecemasan yang terjadi akibat sakit.
Dalam proses interpersonal perawat klien memiliki 4 tahap :
1)   Orientasi
Perawat klien melakukan kontrak awal untuk BHSP dan terjadi proses
pengumpulan data
2)   Identivikasi
Perawat memfasilitasi ekspresi perasaan klien dan melaksanakan askep
3)   Eksplorasi
Perawat memberi gambaran kondisi klien
4)   Resolusi
Perawat memandirikan klien
b.    Proses terapi
1)   Mengeksplorasi proses perkembangan
2)   Mengoreksi pengalaman interpersonal

34
3)   Reduksi 
4)   Mengembangkan hubungan saling percaya
c.    Peran pasien dengan terapis
1)   pasien : menceritakan ansietas dan perasaan
2)   terapis : menjalin hubungan akrab dengan pasien dengan menggunakan empati
dan menggunakan hubungan sebagai suatu pengalaman interpersonal korektif.
Kelebihan :
a)      Perawat memiliki wewenang untuk mengembangkan hubungan antara perawat
dan klin dimana perawat bertugas sebagai narasumber/SDM/konsultan/wali bagi
klien
b)      Klien mendapat keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhannya
Kekurangan :
a)      Kritik yang berlebihan akan mengembangkan sistem diri yang negatif
2.3.4.5 Model Medikal
a.    Konsep
Penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan SSP. Dicurigai
bahwa depresi dan skizoprenia dipengaruhi transmisi impuls neural serta
gangguan sinap yaitu masalh biokimia . faktor sosial dan lingkungan
diperhitungkan sebagai faktor pencetus.
b.    Proses terapi
1)   Pengobatan : jangka panjang , jangka pendek
2)   Terapi suportif
3)   Insight oriented terapi yaitu belajar metode mengatasi stressor
c.    Peran pasien dan terapis
1)   Pasien : pasien mempraktekkan regimen terapi dan melaporkan efek terapi
2)   Terapis :
a)    Mengguanakan kombinasi terapi somatik dan interpersonal
b)   Menegakkan diagnosa penyakit PPDGJ
c)    Menentukan pendekatan terapeutis
Kekurangan :
a)      Berfokus pada diagnosa penyakit sehingga pengobatan didasarkan pada

35
diagnosa itu
Kelebihan :
a)      Model medikal terus mengeksplorasi penyebab gangguan jiwa secara ilmiah
b)      Fungsi model medikal mengobati yang sakit dan proses pengobatan pada fisik
tidak menyalahkan perilaku kliennya

2.3.4.6 Model Komunikasi
a.    Konsep
Teori ini menyatakan bahwa gangguan perilaku terjadi apabila pesan tidak
dikomunikasikan dengan jelas. Bahasa dapat digunakan merusak makna, pesan
dapat pula tersampaikanmungkin tidak selaras.
Fase komunikasi ada 4 yaitu : pra interaksi , orientasi , kerja , terminasi.
b.    Proses terapi
1)   Memberi umpan balik dan klarifikasi masalah
2)   Memberi penguatan untuk komunikasi yang efektif
3)   Memberi alternatif kolektif untuk komunikasi yang tidak efektif
4)   Melakukan analisa proses interaksi
c.    Peran pasien terapis
1)   Pasien : memperhatikan pola komunikasi , bermain peran,bekerja untuk
mengklarifikasi komunikasinya sendiri , memvalidasi peran dari oarang lain.
2)   Terapis : menginterpretasikan pola komunikasi kepada pasien dan
mengajarklan prinsip komunikasi yang baik.
Kelebihan :
a)      Memberi alternatif korektif untuk komunikasi yang tidak efektif
b)      Mengubah persepsi klien sehingga mereka berupaya meningkatkan aktifitas
dalam pencegahan penyakit
Kekurangan :
a)      Klien kadang sulit menerima pesan yang diterima
2.3.4.7 Model Keperawatan
a.    Konsep
Teori ini mempunyai pandangan bahwa askep berfokus pada respon individu
terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial dengan model pendekatan

36
berdasarkan teori sistem , teori perkembangan , teori interaksi , pendekatan
holistik dan teori keperawatan. Fokus pada :
1)   Rentang sehat sakit
2)   Teori dasar keperawatan
3)   Tindakan keperawatan
4)   Hasil tindakan
b.    Proses terapi
1)   Proses keperawatan
2)   Terapi keperawatan : terapi modalitas
c.    Peran pasien dan terapis
1)   Pasien : mengemukakan masalah
2)   Terapis : memfasilitasi dan membantu menyelesaikan
Kelebihan :
a)      Pendekatan yang dilakukan dapat didasarkan pada bermacam-macam teori
Kekurangan :
a)      Hanya berfokus pada respon individu terhadap masalah kesehatan
2.3.4.8  Model Social
a.    Konsep
Menurut Caplain situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa . teori ini
mengemukakan pandangan sosial terhadap perilaku bahwa faktor sosial dan
lingkungan menciptakan stress yang menyebabkan ansietas yang menimbulkan
gejala perilaku menyimpang.
b.    Proses terapi
1)   Pencegahan primer
2)   Manipulasi lingkungan
3)   Intervensi krisis
c.    Peran pasien dan terapis
1)   Pasien : secara aktif menyampaikan masalahnya dan bekerjasama dengan
terapis untuk menyelesaikan masalahnya
2)   Terapis :
a)    Menggali sistem sosial pasien
b)   Membantu pasien menggali sumber yang tersedia

37
c)    Menciptakan sumber baru
Kelebihan :
a)      Perawat mampu menganalisa faktor utama yang menyebabkan klien
mengalami gangguan jiwa
b)      Klien dapat membina hubungan baik dengan perawat sehingga lebih mudah
dalam proses pemulihan
c)      Menggunakan sistem pendukung
        Kekurangan :
a)      Membutuhkan waktu yang lama
b)      Hanya berfokus pada respon individu terhadap masalah kesehatan
2.4 Konsep Penatalaksanaan Terapi Modalitas
2.4.1 Pengertian Terapi Modalitas
Terapi modalitas merupakan terapi utama dalam keperawatan jiwa.
Sebagai seorang terapis, perawat harus mampu mengubah perilaku maladaftif
pasien menjadi perilaku yang adaptif serta meningkatkan potensi yang dimiliki
pasien. Ada bermacam-macam terapi modalitas dalam keperawatan jiwa seperti
terapi individu, terapi keluarga, terapi bermain, terapi lingkungan dan terapi
aktifitas kelompok. Terapi modalitas dapat dilakukan secara individu maupun
kelompok atau dengan memodifikasi lingkungan dengan cara mengubah seluruh
lingkungan menjadi lingkungan yang terapeutik untuk klien, sehingga
memberikan kesempatan klien untuk belajar dan mengubah perilaku dengan
memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.
2.4.2 Jenis – jenis terapi modalitas
Ada beberapa jenis terapi modalitas dalam keperawatan jiwa seperti:
2.4.2.1 Terapi Individu
Adalah suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan
klien untuk mengubah perilaku klien. Diaman hubungan yang terjalin merupakan
hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan
sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini diharapkan terjadi
perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal
hubungan. Hubungan terstruktur dalam terapi individual ini, bertujuan agar klien
mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan
mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara

38
yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:
a. Tahapan Orientasi
Tahap orientasi dilakukan ketika perawat pertama kali berinteraksi dengan
klien.dilaksanakan pada tahap ini, tindakan yang pertama kali harus dilakukan
adalah membina hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya
antara perawat dan klien sangat penting terjalin, karena dengan terjalinnya
hubungan saling percaya, klien dapat diajak untuk mengekspresikan seluruh
permasalahannya dan ikut bekerja sama dalam menyelesaikan masalah yang
dialami, sepanjang berhubungan dengan perawat. Bila hubungan saling percaya
telah terbina dengan baik, tahapan berikutnya adalah klien bersama perawat
mendiskusikan apa yang menjadi penyebab timbulnya masalah yang terjadi pada
klien, jenis konflik yang terjadi, juga dampak dari masalah tersebut terhadap klien
Tahapan orientasi diakhiri dengan adanya kesepakatan antara perawat dan klien
tentang tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan perawat-klien dan bagaimana
kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Tahapan Kerja
Pada tahaap ini perawat memiliki peran yang sangat penting sebagai
seorang terapis dalam memberikan berbagi intervensi keperawatan. Keberhasilan
pada tahap ini ditandai dengan kemampuan perawat dalam mengali dan
mengeksplorasiklien untuk mengungkapkan permasalahan yang dialami. Pada
tahap ini juga sangat penting seorang terapis Pada tahap ini, klien dibantu untuk
dapat mengembangkan pemahaman tentang dirinya, dan apa yang terjadi dengan
dirinya. Selain itu klien didorong untuk berani mengubah perilaku dari perilaku
maladaptive menjadi perilaku adaptif.
c. Tahapan Terminasi
Tahap terminasi terjadi bila klen dan perawat menyepakati bahwa masalah
yang mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah terselesaikan dan klien
telah mempu mengubah perilaku dari maladaptif menjadi adaptif. Pertimbangan
lain untuk melakukan terminasi adalah apabila klien telah merasa lebih baik,
terjadi peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan, serta yang terpenting adalah
tujuan terapi telah tercapai.

39
2.4.2.2. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah suatu terapi yang dilakukan dengan cara
mengubah atau menata lingkungan agar tercipta perubahan perilaku pada klien
dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Proses terapi dilakukan
dengan mengubah seluruh lingkungan menjadi lingkungan yang terapeutik untuk
klien. Dengan lingkungan yang terapeutik akan memberikan kesempatan klien
untuk belajar dan mengubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik
dalam aktivitas dan interaksi. Penting sekali bagi seorang perawat untuk
memberikan kesempatan, dukungan, pengertian agar klien dapat berkembang
menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Dengan terapi lingkungan klein belajar
ketrampilan baru seperti mentaati aturan yang berlaku, selain itu klien belajar
untuk mewujudkan haarapan dari lingkungan sekitar yang telah disepakti
bersamaserta belajar untuk menghadapi dan meyelesaikan tekanan dari teman
(peer group), serta belajar berinteraksi dengan orang lain. Tujuan akhir dari terapi
lingkungan adalah r meningkatnya kemampuan klien dalam berkomunikasi dan
mengambil keputusan yang pada akhirnya harga diri klien meningkat. Selain itu
dengan terapi lingkungan diajarkan cara beradaptasi dengan lingkungan baru di
luar rumah sakit sepessrti lingkungan rumah, tempat kerja dan masyarakat.
2.4.2.3. Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model
medical di mana gangguan jiwa dipAndang sebagai penyakit. PAndangan model
ini berbeda dengan model konsep terapi yang lain yang, Karena model terapi ini
memAndang bahwa gangguan jiwa murni dissebabkan karena adanya gangguan
pada jiwa semata, tanpa mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis.
Proses terapi dilakukan dengan melakukan pengkajian spesifik dan
pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya
akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu. Beberapa jenis terapi somatic
gangguan jiwa seperti: pemberian obat (medikasi
psikofarmaka), intervensi nutrisi,electro convulsive therapy (ECT), foto terapi,
dan bedah otak. Beberapa terapi yang sampai sekarang tetap diterapkan dalam
pelayanan kesehatan jiwa meliputi medikasi psikoaktif dan ECT.
2.4.2.4. Terapi Kognitif

40
Prinsip terapi ini adalah memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses terapi dilakukan dengan
membantu menemukanstressos yang menjadi penyebab gangguan jiwa,
selanjutnya mengidentifikasi dan mengubah pola fikir dan keyakinan yang tidak
akurat menjadi akurat. Terapi kognitif berkeyakinan bahwa gangguan perilaku
terjadi akibat pola keyakinan dan berfikir klien yang tidak akurat. Untuk itu salah
satu prinsip terapi ini adalah modifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola
berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah membantu klien untuk
mengevaluasi kembali ide, nila yang diyakini serta harapan dan kemudian
dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.
Pemberian terapi kognitif bertujuan untuk :
a. Mengembangkan pola berfikir yang rasional.
Mengubah pola berfikir tak rasional yang sering mengakibatkan gangguan
perilaku menjadi pola berfikir rasional berdasarkan
b. fakta dan informasi yang actual.
Membiasakan diri selalu menggunakan cara berfikir realita dalam menanggapi
setiap
stimulus sehingga terhindar dari distorsi pikiran.
c. Membentuk perilaku baru dengan pesan internal. Perilaku dimodifikasi dengan
terlebih dahulu mengubah pola berfikir.
Bentuk intervensi dalam terapi kognitif meliputi mengajarkan untuk
mensubstitusi
pikiran klien, belajar penyelesaian masalah dan memodifikasi percakapan diri
negatif.
2.4.2.5. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota
keluarga dimana setiap anggota keluarga memiliki peran dan fungsi sebagai
terapis. Terapi ini bertujuan agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya dalam
merawat klien dengan gangguan jiwa. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini
adalah keluarga yang mengalami disfungsi; yaitu keluarga yang tidak mampu
melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi keluarga
semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi selanjutnya setiap anggota

41
keluarga mengidentifikasi penyebab masalah tersebut dan kontribusi setiap
anggota keluarga terhadap munculnya masalah.untuk kemudian mencari solusi
untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau
mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya. Proses terapi keluarga
terdiri dari tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2 (kerja), fase 3 (terminasi).
Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan hubungan saling percaya, isu-
isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi ditetapkan bersama. Kegiatan di fase
kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis
berusaha mengubah pola interaksi antar anggota keluarga, meningkatkan
kompetensi masing-masing anggota keluarga, dan mengeksplorasi batasan-
batasan dalam keluarga serta peraturan-peraturan yang selama ini ada. Terapi
keluarga diakhiri di fase terminasi di mana keluarga mampu memecahkan masalah
yang dialami dengan mengatasi berbagai isu yang timbul. Keluarga juga
diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang berkesinambungan.
2.4.2.6. Terapi Aktifitas Kelompok
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang diberikan kepada
sekelompok pasien dilakukan dengan cara berdiskusi antar sesama pasien dan
dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang
telah terlatih.
a. ManfaatTAK
Secara umum terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat:
1) Meningkatkan kemampuan menilai dan menguji kenyataan (reality testing)
melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
2) Meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien
3) Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hubungan antara reaksi emosional
diri sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi.
4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif
dan afektif. Secara khusus tujuan terapi aktifitas kelompok adalah
1. Meningkatkan identitas diripasien .
2. Menyalurkan emosipasien secara konstruktif.
3. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial yang akan membantu pasien didalam
kehidupan sehari-hari.

42
4. Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial,
kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan tentang
masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.
2 Jenis Terapi Aktifitas Kelompok
A. TAK: Stimulasi Persepsi
a) Definisi: Terapi aktivitas kelompok (TAK): Stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan akivitas sebagai stimulus yang terkait dengan pengalaman dan atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat
berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. Fokus terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang mengalami
kemunduran orientasi.Terapi ini sangat efektif untuk pasein yang mengalami
gangguan persepsi; halusinasi, menarik diri , gangguan orientasi realitas, kurang
inisiatif atau ide. Pasien yang mengikuti kegiatan terapi ini merupakan pasien
yang kooperatif, sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal.
b) Tujuan TAK stimulasi persepsi
Tujuan umum : pasien memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang
diakibatkan oleh paparan stimulus yang diterimanya
Tujuan khususnya:
 Pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat.
 Klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
c) Aktivitas dalam TAK terbagi dalam empat bagian
Mempersepsikan stimulus nyata sehari-hari yaitu:
1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi yang dilakukan adalah
menonton televisi, membaca majalah/koran/artikel dan melihat gambar.
2) Stimulus nyata dan respons yang dialami dalam kehidupan
Untuk TAK ini pasien yang mengikuti adalah pasien dengan halusinasi, dan
pasien menarik diri yang telah mengikuti TAKS, dan pasien dengan perilaku
kekerasan. Aktivitas ini dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu :
a. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mengenal kekerasan yang bisa
dilakukan materi terapi ini meliputi penyebab, tanda dan gejala, perilaku
kekerasan; akibat perilaku kekerasan.

43
b. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah perilaku kekerasan
melalui kegiatan fisik
c. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah perilaku kekerasan
melalui interaksi sosial asertif
d. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah perilaku kekerasan
melalui kepatuhan minum obat
e. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah perilaku kekerasan
melalui kegiatan ibadah.
3) Stimulus yang tidak nyata dan respons yang dialami dalam kehidupan Aktivitas
dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu:Terapi Aktivitas
Kelompok Stimulasi Persepsi : mengenal halusinasi
B. Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi
Tujuan umum dari terapi aktifitas kelompok sosialisasi adalah meningkatkan
kemampuan sosialisasi pada pasien dengan isolasi sosial. Sedangkan tujuan
khususnya
adalah:
a. Meningkatkan kemampuan komunikasi verbal pasien
b. Pasien dapat meningkatkan kemampuan komunikasi non verbal
c. Pasien dapat berlatih mematuhi peraturan
d. Pasien dapat meningkatkan interaksi dengan klien lain
e. Pasien dapat meningkatkan partisipasi dalam kelompok
f. Pasien dapat mengungkapkan pengalamannya yang menyenangkan
g. Pasien dapat menyatakan perasaan tentang terapi aktifitas kelompok sosialisasi
Kriteria pasien yang dapat mengikuti terapi aktifitas kelompok sosialisasi adalah
Pasien menarik diri yang cukup kooperatif
a. Klien yang sulit mengungkapkan perasaannya melalui komunikasi verbal
b. Klien dengan gangguan menarik diri yang telah dapat berinteraksi dengan orang
lain
c. Klien dengan kondisi fisik yang dalam keadaan sehat (tidak sedang mengidap
penyakit fisik tertentu seperti diare, thypoid dan lain-lain)
d. Klien halusinasi yang sudah dapat mengontrol halusinasinya
e. Klien dengan riwayat marah/amuk yang sudah tenang

44
3. Tahapan terapi aktifitas kelompok (TAK)
Terapi aktifitas kelompok terdiri dari 4 fase yaitu:
1. Fase Prakelompok
Fase ini dimulai dengan membuat tujuan terapi, menentukan leader, jumlah
anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan serta media yang digunakan.
Jumlah anggota pada terapi kelompok biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah
minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang da mengikuti terapi aktifitas
kelompok adalah: sudah terdiagnosa baik medis maupun keperawatan, tidak
terlalu gelisah, tidak agresif, serta tidak terdiagnosa dengan waham.
2. Fase Awal Kelompok
Fase ini ditAndai dengan timbulnya ansietas karena masuknya anggota kelompok,
dan peran baru. fase ini terbagi atas tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif.
a. Tahap orientasi
Pada fase ini anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing
masing, leader menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan
anggota.
b. Tahap konflik
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu memfasilitasi
ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu kelompok
mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang tidak
produktif
c. Tahap kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim
satu sama lain
3. Fase Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil dan
realistis. Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan
kemampuan yangbertambah disertai percaya diri dan kemandirian
4. Fase Terminasi
Fase ini ditAndai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan
secara individual pada kehidupan sehari-hari. Terminasi dapat bersifat
sementara(temporal) atau akhir

45
2.4.2.7. Terapi Perilaku
Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah bahwa perilaku timbul akibat
proses pembelajaran. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah:
a) Role model
b) Kondisioning operan
c) Desensitisasi sistematis
d) Pengendalian diri
e) Terapi aversi atau releks kondisi
Strategi teknik role model adalah mengubah perilaku dengan memberi
contoh perilaku adaptif untuk ditiru klien. Dengan teknik ini klien akan
mencontoh dan mampelajarisertameniru perilaku tersebut. Teknik ini biasanya
dikombinasikan dengan teknik konditioning operan dan
desensitisasi.Konditioning operan disebut juga penguatan positif pada teknik ini
seorang terapis memberi penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif
yang telah ditampilkan oleh klien. Dengan penghargaan dan umpan balik positif
diharapkan klien akan mempertahankan atau meningkatkannya.
Terapi perilaku yanga sangat cocok diterapkan pada klien fobia adalah
teknik desensitisasi sistematis yaitu teknik mengatasi kecemasan terhadap sesuatu
stimulus atau kondisi dengan cara bertahap. Dalam keadaan relaks, secara
bertahap klien diperkenalkan/dipaparkan terhadap stimulus atau situasi yang
menimbulkan kecemasan. Intensitas pemaparan stimulus makin meningkat seiring
dengan toleransi klien terhadap stimulus tersebut. Hasil akhir dari terapi ini adalah
klien berhasil mengatasi ketakutan atau kecemasannya akan stimulus tersebut.
Untuk mengatasi perilaku maladaptive, klien dapat dilatih dengan
menggunakan teknik pengendalian diri. Bentuk latihannya adalah berlatih
mengubah kata-kata negatif menjadi kata-kata positif. Apabila ini berhasil maka,
klien memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku sehingga terjadinya
penurunan tingkat distress klien.
Mengubah perilaku dapat juga dilakukan dengan memberi penguatan
negatif. Caranya adalah dengan memberi pengalaman ketidaknyamanan untuk
mengubah perilaku yang maladaptive. Bentuk ketidaknyamanan, dapat berupa
menghilangkan stimulus positif sebagai “punishment” terhadap perilaku

46
maladaptive tersebut. Dengan teknik ini klienbelajar untuk tidak mengulangi
perilaku demi menghindari konsekuensi negatif yang akan diterima akibat
perilaku negatif tersebut.
2.4.2.7 Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak
akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan
ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan,
status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk
mengatasi masalah anak. Prinsip terapi bermain meliputi membina hubungan yang
hangat dengan anak, merefleksikan perasaan anak yang terpancar melalui
permainan, mempercayai bahwa anak dapat menyelesaikan masalahnya, dan
kemudian menginterpretasikan perilaku anak tersebut.Terapi bermain
diindikasikan untuk anak yang mengalami depresi, ansietas, atau sebagai korban
penganiayaan (abuse). Terapi bermain juga dianjurkan untuk klien dewasa yang
mengalami stress pasca trauma, gangguan identitas disosiatif dan klien yang
mengalami penganiayaan.

47
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa ada 4 cakupan materi yang dibahas dalam
makalah ini : Perspektif Gangguan Jiwa, Trend dan Isue keperawatan jiwa,
Konsep dasar keperawatan jiwa/dasar kesehatan, Metode konseptual keperawatan
jiwa, dan Konsep penatalakasanaan terapi modalitas. Dimana perspektif gangguan
iwa diartikan secara klinis sebagai sindrom psikologis atau pola behavioral yang
terdapat pada seseorang individu dan diasosiasikan dengan distress atau disabilitas
yang terjadi karena tiga faktor yaitu, faktor biologic, psikologik, dan sosial-
budaya yang menyebabkan adanya trend dan issue dalam keperawatan jiwa.
Konsep dasar keperawatan jiwa adalah perasaan shat dan bahagia serta mampu
mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain, dan memiliki siap positif
terhadap orang lain sehingga menimbulkan metode konseptual keperawaatan jiwa
merupakan suatau cara memandang sistuasi dan kondisi pekerjaan yang
melibatkan perawat di dalamnya khususnya didalam ilmu keperawatan jiwa
melalui ilmu terapi modalitas dimana merupakan terapi dimana perawat mampu
mengubah perilaku maladaftif menjadi prilaku yang adaptif dan potensi yang
dimiliki pasien.
3.2 Saran
Bagi pendidikan, disarankan agar memberikan materi-materi dalam
pendidikan keperawatan terkait praktik klinik dan teori agar para mahasiswa
mampu melaksanakan asuhan keperawatan tertait dengan keperawatan jiwa.

48
DAFTAR PUSTAKA
Stuart Gail. 2007. Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Jakarta : EGC
Suliswati dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Yosep Iyus.2009. Keperawatan jiwa. Bandung : Refika aditama
Chirstensen,P.J. dan Kenne, J.W. 2009. Proses keperawatan aplikasi Model
Konseptual,Ed,4. Jakarta,EGC
Keliat,Budi Anna;Panjataitan;Helena.2005.Proses keperawatan kesehatan
jiwa.Ed.2. Jakarta : EGC
Keliat,B.A,dkk.2011. keperawatan kesehatan jiwa komunitas ( CHMN- Basic
Course) Jakarta : EGC

1
2

Anda mungkin juga menyukai