Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH

KEPERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG AJAL

Dosen : Melisa Frisila, S. Kep, M.Kep.


Dosen : Kristin Rosela, SST. M.Kes

Di Susun Oleh:
RAMA
2018.C.10a.0981

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya Makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu, walaupun ada
beberapa halangan yang mengganggu proses pembuatan makalah ini, namun penulis
dapat mengatasinya tentu atas campur tangan Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis berharap makalah ini akan berguna bagi para mahasiswa terutama yang
berada di STIKes Eka Harap materi tentang”Makalah keperawatan Paliatif dan
Menjelang Ajal " sehingga diharapkan dengan makalah ini mahasiswa maupun
pembaca lainnya untuk mendapatkan tambahan pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, penulis
berharap adanya kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan makalah ini pada
masa yang akan datang. Akhir kata dari penulis berterimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini sehingga menjadi
bermanfaat bagi kita semua.

Palangka Raya, 19 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................................


Daftar Isi ........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................
1.3 Tujuan ...........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perspektif Keperawatan ...............................................................................
2.2 Konsep Perawatan Paliatif............................................................................
2.3 Etik dalam Perawatan Paliatif ......................................................................
2.4 Kebijakan Nasional Terkait Perawatan Paliatif ...........................................
2.5 Teknik Menyampaikan Berita Buruk...........................................................
2.6 Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif ............................................
2.7 Patofisiologi Penyakit Menular ...................................................................
2.8 Patofisiologi Penyakit Terminal………………………………...…………
2.9 Pengakajian Fisik dan Fisiologis .................................................................
2.10 Tinjauan Agama Tentang Keperawatan Paliatif..........................................
2.11 Tinjauan Sosial dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif............................
2.12 Asuhan KEperawatan Pada Pasien Terminal Ilnes (Paliative Care) ..........
2.13ManajemenNyeri........................................................................................
2.14Berbagai Terapi Komplementer .................................................................
BAB 3 PENUTUP
3.1Kesimpulan...................................................................................................
3.2Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian tidak bisa dihindari dan semua orang cepat atau lambat pasti akan
menemuinya. Bagi sebagian orang, kematian adalah hal yang menakutkan. Mereka
tidak mau memikirkan, apalagi membicarakannya. Sebagian orang lain
menganggap kematian adalah hal yang biasa, sebagai awal kehidupan baru di
akhirat. Karena setiap orang akan mati, setiap orang juga akan melalui proses
sekarat. Ada yang cepat ada juga yang lambat, menyakitkan dan menyengsarakan
di sinilah perawatan paliatif diperlukan.
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi
penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit
melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri
serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health
Organization (WHO), 2016)
Pelayanan perawatan paliatif memerlukan keterampilan dalam mengelola
komplikasi penyakit dan pengobatan, mengelola rasa sakit dan gejala lain,
memberikan perawatan psikososial bagi pasien dan keluarga, dan merawat saat
sekarat dan berduka (Matzo & Sherman, 2015).
Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau sudah
tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan kualitas
hidup (WHO,2016).
Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala;
dukungan psikososial, emosional, dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman
dengan perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah sakit atau tempat lain sesuai
pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan penyakit,
bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan pendekatan tim multidisiplin untuk
mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga mereka (Canadian Cancer Society,
2016).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Itu Perspektif Keperawatan ?
2. Apa Itu Perawatan Paliatif ?
3. Apa Itu Etik Dalam Perawatan Paliatif ?
4. Apa Itu Kebijakan Nasional Terkait Perawatan Paliatif ?
5. Apa Itu Teknik Menyampaikan Berita Buruk ?
6. Apa Itu Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif ?
7. Apa Itu Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronik ?
8. Apa Itu Patofisiologi Penyakit Terminal ?
9. Apa Itu Pengkajian Fisik Dan Fisiologis ?
10. Apa Itu Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif ?
11. Apa Itu Tinjauan Social Dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif ?
12. Apa Itu Asuhan Keprawatan Pada Pasien Terminal Illness ( Paliative Care ) ?
13. Apa Itu Manajemen Nyeri ?
14. Apa Itu Berbagai Terapi Komplementer ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memahami tentang Keperawatan Paliatif
Dan Menjelang Ajal.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tentang Perspektif Keperawatan
2. Mengetahui tentang Apa Itu Perawatan Paliatif
3. Mengetahui tentang Etik Dalam Perawatan Paliatif
4. Mengetahui tentang Kebijakan Nasional Terkait Perawatan Paliatif
5. Mengetahui tentang Teknik Menyampaikan Berita Buruk
6. Mengetahui tentang Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif
7. Mengetahui tentang Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronik
8. Mengetahui tentang Patofisiologi Penyakit Terminal
9. Mengetahui tentang Pengkajian Fisik Dan Fisiologis
10. Mengetahui tentang Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif
11. Mengetahui tentang Tinjauan Social Dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif
12. Mengetahui tentang Asuhan Keprawatan Pada Pasien Terminal Illness (
Paliative Care )
13. Mengetahui tentang Manajemen Nyeri
14. Mengetahui tentang Berbagai Terapi Komplementer

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Perspektif Keperawatan dan Paliatif Care

Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang suatu


hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara – cara
tertentu. Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan
dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara
rasional.Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja
konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif
manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu
(Sumaatmadja dan Winardit. 1999).
Perspektif Keperawatan Perspektif dapat diartikan sebagai cara pandang
seseorang terhadap sesuatu. Jadi perspekif merupakan penilaian seseorang
mengenai suatu fenomena yang terjadi. Keperawatan adalah: upaya pemberian
pelayanan/asuhan yang bersifat humanistic dan professional, holistic berdasarkan ilmu
dan kiat, standart pelayanan dengan berpegang teguh kepada kode etik yang melandasi
perawat professional secara mandiri atau melalui upaya kolaborasi.
2.2 Konsep Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif berasal dari kata palliate (bahasa inggris) berarti
meringankan, dan “Palliare” (bahsa latin yang berarti “menyelubungi”), merupakan
jenis pelayanan kesehatan yang berfokus untuk meringankan gejala klien, bukan berarti
kesembuhan. Perawatan paliatif care adalah penedekatan yang bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, mealaui pencegahan dan membantu
meringankan penderitaan, identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan
nyeri dan masalah lain baik fisik, psikososial dan spiritual (WHO 2011).
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban
penderita kanker terutama yang tidak mungkin desembuhkan tetapi juga pada penderita
yang mempunyai harapan untuk sembuh bersama-sama dengan tindakan kuratif
(Menghilangkan nyeri dan keluhan lain serta perbaikan dalam bidang
psikologis, sosial dan spiritual). (Depkes Pedoman Kanker Terpadu Paripurna
1997).
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban
penderita, terutama yang tak mungkin disembuhkan. Tindakan kuratif yang
dimaksud antara lain menghilangkan nyeri dan keluhan lain, serta mengupayakan
perbaikan dalm aspekpsikologis, sosial dan spiritual. Paliatif care (Perawatan paliatif)
adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga mereka
dalam menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa,
melalui penceghan-pencegahan sempurna dan pengobatan rasa sakit masalah lain,
fisik, psikososial, spirirtual (kemenkes RI Nomor 812, 2007).
2.2.2 Tujuan perawatan paliatif
Tujuan dari perawatan palliative adalah untuk mengurangi penderitaan pasien,
memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support
kepadakeluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum
meninggal diasudah siap secara psikologis dan spiritual, tidak stres meng hadapi
penyakit yang dideritanya.
Perawatan paliatif meliputi :
1.Menyediakan bantuan dari rasa sakit dan gejala menyedihkan lainnya
2.Mengintegrasikan aspek-aspek psikologis dan spiritual perawatan pasien
3.Tidak mempercepat atau memperlambat kematian
4.Meredakan nyeri dan gejala fisik lain yang mengganggu
5. Meredakan nyeri dan gejala fisik lain yang mengganggu
6. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga menghadapi penyakit
pasien dan kehilangan mereka
2.2.3 Prinsip Perawatan Paliatif
Menghormati atau menghargai martabat dan harga diri dari pasien dan keluarga
pasien, Dukungan untuk caregiver, Palliateve care merupakan accses yang competent
dan compassionet, Mengembangkan professional dan social support untuk pediatric
palliative care, Melanjutkan serta mengembangkan pediatrik palliative care melalui
penelitian dan pendidikan (Ferrell, & Coyle, 2007: 52)
Perawatan paliatif berpijak pada pola dasar berikut ini :
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang
normal
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis, sosial dan spiritual.
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya
6. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga.
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya
8. Menghindari tindakan yang sia-sia
2.2.4 Hak-hak Penderita
1. Tahu status kesehatannya
2. Ikut serta merencanakan perawtan
3. Dapat informasi tindakan invasif
4. Pelayanan tanpa diskriminasi
5. Dirahasiakan oenyakitnya
6. Dapat bekerja dan dapat produktif
7. Berkeluarga
8. Perlindungan asuransi
9. Pendidikan yang layak
2.2.5 Dimensi kualitas hidup
Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan
Harvey Scipper (1999) adalah :
1. Penaganan permasalah kondisi fisik (gejala dan nyeri)
2. Kemampuan fungsional dalam beraktifitas
3. Kesejahteraan keluarga
4. Kesejahteraan emosional
5. Spiritual
6. Fungsi sosial
7. Kepuasan pada layanan terapi (termasuk pendanaan)
8. Orientasi masa depan (rencana dan harapan)
9. Seksualitas (termasuk “body image”)
10. Fungsi okupasi

2.2.6 Model/Tempat Perawatan Paliatif Care


1. Rumah sakit, (Hospice hospital care), Poliklinik, Rawat singkat, Rawat Inap
2. Rumah (Hospice home care)
3. Hospis (Hospice care)
4. Praktek bersama , Tim/ kelompok perawatan paliatif
2.2.7 Peran Fungsi Perawat pada Asuhan Keperawatan Paliatif
1. Pelaksana perawat : pemberi asuhan keperawatam, penddikan kesehatan,
koordinator, advokasi, kolaborator, fasilitator, modifikasi lingkungan.
2. Pengelola : manajer kasus, konsultan, koordinasi
3. Penddik : Di pendidikan / dipelayanan
4. Peneliti
2.2.8 Prinsip Asuhan Perawatan Paliatif
1. Melakukan pengkajian dengan cermat, mendengarkan keluhan dengan
sungguh-sungguh
2. Menetapkan diagnosa / masalah keperawatan dengan tepat
3. Merencanakan asuhan keperawatan
4. Melaksanakan tindakan / asuhan keperawatan
5. Mengevaluasi perkembangan pasien secara cermat
2.2.9 Paliatif Care Plan
Melibatkan seorang partnerhip antara pasien, keluarga, orang tua, teman sebaya
dan petugas kesehatan yang profesional. Support fisik, emosional, psikososial dan
spiritual khususnya, melibatkan pasien pada self care, pasien memerlukan atau
membutuhkan gambaran dan kondisi (kondisi penyakit terminalnya) secara
bertahap, tepat dan sesuai, Menyediakan diagnostic atau kebutuhan intervensi
terapeutik guna memperhatikan/memikirkan konteks tujuan dan pengaharapan dari
pasien dan keluarga (Doyle, Hanks and Macdonald, 2003: 42)
2.3 Etik dalam perawatan paliatif
2.3.1 Pengertian
Etik adalah kesepakatan tentang praktik moral, keyakinan, sistem nilai standar
perilaku individu dan kelompok tentang penilaian terhadap apa yang benar dan apa yang
salah, mana yang baik dan buruk.
2.3.1 Kajian Etik Tentang Perawatan Paliatif
1. Prinsip Dasar dari Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang keperawatan mulai dari medis,
perawatan, psikologis social, budaya dan spiritual, sehingga secara praktis, prinsip dasar
keperawatan paliatif dapat dipersamakan dengan Prinsip dasar keperawatan paliatif.
a) Prinsip Otonomi
Prinsip ontonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri
b) Non maleficienci ( tidak merugikan )
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/ cedera fisik dan psikologis pada klien.
c) Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai yang diperlihatkan oleh
pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan
untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti
d) Beneficience (berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan
e) Justice ( keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusian.
f) Kerahasiaan ( confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang pasien harus
dijaga privasinya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan pasien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan pasien.
g) Akuntabilitas
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti
pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk nilai orang lain. Akuntabilitas
merupakan standar yang pasti tindakan seorang professional dapat nilai dalam situasi
yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
2.4 Kebijakan Nasional Terkait perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan
penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial
dan spiritual (sumber referensi WHO, 2002).
Kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan
pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup,
harapan, dan niatnya. Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah
Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999), adalah :
1)Gejala fisik
2) Kemampuan fungsional (aktivitas)
3) Kesejahteraan keluarga
4) Spiritual
5) Fungsi sosial
6) Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan)
7) Orientasi masa depan
8) Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri
9) Fungsi dalam bekerja
Palliative home care adalah pelayanan perawatan paliatif yang dilakukan di rumah
pasien, oleh tenaga paliatif dan atau keluarga atas bimbingan/ pengawasan tenaga paliatif.
Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak
dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah
sakit Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat memberikan
pelayaan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di rumah
pasien sendiri.
Sarana (fasilitas) kesehatan adalah tempat yang menyediakan layanan kesehatan
secara medis bagi masyarakat.Kompeten adalah keadaan kesehatan mental pasien
sedemikian rupa sehingga mampu menerima dan memahami informasi yang diperlukan
dan mampu membuat keputusan secara rasional berdasarkan informasi tersebut.
2.4.2 Tujuan dan Sarana kebijakan Perawatan Paliatif
1. Tujuan
Tujuan umum: Sebagai payung hukum dan arahan bagi perawatan paliatif di
Indonesia
Tujuan khusus:
a) Terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang berlaku di
seluruh Indonesia
b) Tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan/juklak perawatan paliatif.
c) Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
d) Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.
2.4.3 Sasaran kebijakan pelayanan paliatif
a) Seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang
memerlukan perawatan paliatif di mana pun pasien berada di seluruh Indonesia
b) Pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya dan
tenaga terkait lainnya.
c) Institusi-institusi terkait, misalnya:
a. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
b. Rumah Sakit pemerintah dan swasta
c. Puskesmas
d. Rumah perawatan/hospis
e. Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain.
2.4.4 Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif
a. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :
-Penatalaksanaan nyeri.
-Penatalaksanaan keluhan fisik lain.
-Asuhan keperawatan
-Dukungan psikologis
-Dukungan sosial
-Dukungan kultural dan spiritual
-Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).
b. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan/rawat
rumah.
2.5 Teknik Menyampaikan berita buruk
2.5.1 Definisi Berita Buruk
Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang
menciptakan pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk
tersebut dapat menimbulkan perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman
terhadap kesehatan mental dan fisik pasien, atau resiko mengganggu atau
mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright dkk, 2013).
Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala
informasi yang secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang
tentang masa depannya. Sedangkan menurut Aitini & Aleotti (2006) Kabar
buruk adalah pengalaman tidak nyaman untuk pemberi dan penerima berita .
2.5.2 Tujuan penyampaian berita buruk
1.Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun membuat stress
Selama karirnya, seorang dokter akan mengalami keadaan dimana ia harus
menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau keluarganya. Penyampaian berita
buruk akan menjadi sangat menegangkan ketika seorang dokter kurang berpengalaman,
sedang menghadapi pasien yang masih muda, dan ketika prospek keberhasilan
pengobatan minim (Baile dkk, 2000).
2. Pasien menginginkan kebenaran Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang
berharap diberi tahu ketika ia menderita kanker dan 85% berharap mendapat informasi
mengenai perkiraan umur mereka (Baile dkk, 2000).
3. Prinsip hukum dan etik Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien,
dan hukum telah menciptakan kewajiban etika dan hukum yang jelas untuk memberikan
informasi sebanyak yang pasien inginkan tentang penyakit mereka dan pengobatannya.
Dokter tidak mungkin menahan informasi medis bahkan jika mereka tahu itu akan
memiliki efek negatif pada pasien (Baile dkk, 2000).
4. Hasil pemeriksaan klinis
Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah pemahaman pasien
akan informasi, kepuasan perawatan, tingkat harapan, dan psikologi pasien. Banyak
pasien mengharapkan informasi yang akurat untuk membantu mereka menentukan
pilihan (Baile dkk, 2000). Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan
khusus atau kepribadian pasien yang berbeda-beda. Contohnya, penyakit yang
dipengaruhi oleh faktor psikososial. Keadaan lainnya adalah pasien yang berpenyakit
kronis, menderita cacat, dan pada pasien kanker. Permasalahan yang sebenarnya muncul
ketika kita harus menyampaikan prognosis penyakit dan berapa lama pasien itu dapat
bertahan hidup (Sukardi dkk, 2007).
5. Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis
Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan kecacatan yang berat,
sebaiknya dokter memberitahukan kenyataan atau fakta yang ada. Terutama cara adaptasi
yang cepat dan tepat terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit kronis seharusnya
menerima kenyataan agar mereka lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan
keadaannya. Kecemasan dan rasa takut yang berlebihan tidak saja ditimbulkan dari
penyakit yang diderita, tetapi juga dari tekanan masyarakat yang sering memberikan
simbol tertentu pada penyakitnya (Sukardi dkk, 2007).
Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi
masalah. Hal ini dapat melampaui kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter
seharusnya sadar akan segala kemungkinan dan siap membantu serta menolong
pasiennya. Khususnya bila informasi yang disampaikan dapat meningkatkan. Jika semua
stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi masalah. Hal ini dapat melampaui
kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter seharusnya sadar akan segala
kemungkinan dan siap membantu serta menolong pasiennya. Khususnya bila informasi
yang disampaikan dapat meningkatkan kecemasan, menghilangkan harapan,
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri, atau timbulya gejala psikopatologik lain.
Dalam menentukan suatu penyakit yang kronis dan kecacatan, informasi harus diberikan
secara perlahan. Pemberian informasi dapat dimulai dari awal dugaan penyakit sampai
diagnosis akhir ditegakkan.Adanya keinginan pasien untuk mengetahui penyakitnya
merupakankesempatan baik bagi dokter untuk menyampaikan keadaan yang mungkin
terjadi dan risikonya di kemudian hari (Sukardi dkk, 2007).
6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor
Ganas Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi dengan cara
yang tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat dan seolah-olah kematiannya
sudah dekat. Kanker sebagai suatu penyakit yang fatal membuat dan mendorong keadaan
kurangnya perhatian untuk mendapatkan pengobatan. Ketakutan masyarakat terhadap
penyakit kanker memberikan beban tersendiri pada penderitaan pasien, disamping dari
akibat proses kanker itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan,
tim dokter harus benar-benar sudah yakin (Sukardi dkk, 2007). Pengobatan kanker
biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasilnya sering diragukan.
Tercipta kesan bahwa penyakit ini lebih buruk dari penyakit infark jantung yang
prognosis kematiannya lebih jelek. Namun, karena pengobatan infark jantung lebih jelas,
seolah-olah penyakit itu lebih baik. Pada penyakit kanker pemberian informasi kepada
pasien semestinya meliputi dua hal, yaitu dokter bersikap jujur dan hormat terhadap
pasiennya. Dokter harus dapat menumbuhkan rasa percaya kepada pasien/keluarganya
dengan baik sehingga memudahkan dalam memberikan terapi, baik itu radioterapi
maupun sitostatika (Sukardi dkk, 2007).
2.5.3 Kesulitan Dalam Menyampaikan Berita Buruk
Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan
dalam menyampaikan berita buruk.Berdasarkan American Medical Association's first
code of medical ethics pada tahun 1847 dikatakan bahwa kehidupan orang sakit dapat
dipersingkat tidak hanya oleh tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan perilaku seorang
dokter. Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita buruk:
1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk
2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
4. Tidak memiliki pengalaman pribadi
5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau Keluarga
6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
8. Tantangan tiap individu
9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan tidak memiliki
jawaban atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.
2.5.4 Jenis-Jenis Berita Buruk
Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak
disampaikan kepada pasien. Berikut contoh-contohnya:
1. Kegagalan operasi
2. Vonis kanker.
3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik
4. Terminal Ilness
5. Tidak bisa mempunyai anak.
6. Kematian, dan lain-lain.
2.6 Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif
2.6.1 Definisi Komunikasi
Definisi Komunikasi Istilah ‘komunikasi’ (communication) berasal dari Bahasa
Latin ‘communicatus’ yang artinya berbagi atau menjadi milik bersama. Dengan
demikian komunikasi menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan berbagi untuk
mencapai kebersamaan. Secara harfiah, komunikasi berasal dari Bahasa Latin:
“Communis” yang berarti keadaan yang biasa, membagi. Dengan kata lain, komunikasi
adalah suatu proses di dalam upaya membangun saling pengertian. Jadi kominukasi
dapat diartikan suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem
lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku. (Riswandi, 2009).

Proses komunikasi merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia sebagai


makhluk sosial. Setiap proses komunikasi diawali dengan adanya stimulus yang masuk
pada diri individu yang ditangkap melalui panca indera. Stimulus diolah di otak dengan
pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki individu. (Wiryanto, 2004)
Sosiologi menjelaskan komunikasi sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan
oleh seseorang terhadap informasi, sikap, dan perilaku orang lain yang berbentuk
pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, atau sikap, perilaku dan perasaan-perasaan,
sehingga seseorang membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap dan perilaku
tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah dialami. (Mungin, 2008)

Komunikasi merupakan suatu proses karena melalui komunikasi seseorang


menyampaikan dan mendapatkan respon. Komunikasi dalam hal ini mempunyai dua
tujuan, yaitu : mempengaruhi orang lain dan untuk mendapatkan informasi. Akan
tetapi, komunikasi dapat digambarkan sebagai komunikasi yang memiliki kegunaan
atau berguna (berbagi informasi, pemikiran, perasaan) dan komunikasi yang tidak
memiliki kegunaan atau tidak berguna (menghambat/ blok penyampaian informasi atau
perasaan). Keterampilan berkomunikasi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh
seseorang untuk membangun suatu hubungan, baik itu hubungan yang kompleks
maupun hubungan yang sederhana melalui sapaan atau hanya sekedar senyuman. Pesan
verbal dan non verbal yang dimiliki oleh seseorang menggambarkan secara utuh
dirinya, perasaannya dan apa yang ia sukai dan tidak sukai. Melalui komunikasi
seorang individu dapat bertahan hidup, membangun hubungan dan merasakan
kebahagiaan. (Pendi, 2009)

2.6.2 Komunikasi pada pasien dengan penyakit kronis

Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit berlangsung


lama sampai bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan sering kambuh.
(Purwaningsih dan Karbina, 2009)
Ketidakmampuan/ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa segala
tindakannya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana individu kurang
dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatAn yang baru dirasakan.
(Purwaningsih dan Karbina, 2009).

Berdasarkan pengertian diatas kelompok menyimpulkan bahwa penyakit kronik


yang dialami oleh seorang pasien dengan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
seorang klien mengalami ketidakmampuan contohnya saja kurang dapat
mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan. Contoh : penyakit
diabetes militus, penyakit cord pulmonal deases, penyakit arthritis.

Tiap fase yang di alami oleh psien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda pul. Dalam berkomonikasi
perwat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga mudah
bagi perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien.

1) Fase Denial ( pengikraran )


Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok. Tidak percaya
atau menolak kenyataan bahwa kehlangn itu terjadi dengan mengatakan “ Tidak, saya
tidak percaya bahwa itu terjadi “. Bagi individu atau keluarga yang mengalami
penyakit kronis, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang
terjadi pada fase pengikraran adalah letih,lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau harus berbuat apa.
Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dlam waktu beberapa menit sampai beberapa
tahun.
Teknik komunikasi yang di gunakan :
a. Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang kontruktif dalam
menghadapi kehilangan dan kematian
b. Selalu berada di dekat klien
c. Pertahankan kontak mata

2) Fase anger ( marah )


Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering di proyeksikan
kepada orang yang ada di sekitarnya, orang –orang tertentu atau di tunjukkan pada
dirinya sendiri. Tidak jarang dia menunjukkan prilaku agresif, bicara kasar, menolak
pengobatan, dan menuduh perawat ataupun dokter tidak becus. Respon fisik yang sering
terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
menggepai.
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
a. Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya, hearing..
hearing.. dan hearing..dan menggunakan teknik respek
3) Fase bargening ( tawar menawar )
Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan tuhan.
Respon ini sering di nyataka dengan kata kata “ kalau saja kejadian ini bisa di tunda,
maka saya akan selalu berdoa “ . apabila proses berduka ini di alami keluarga, maka
pernyataan seperti ini sering di jumpai “ kalau saja yang sakit bukan anak saya
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
a) Memberi kesempatan kepada pasien untuk menawar dan menanyakan kepada
pasien apa yang di ingnkan
3)Fase depression
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau
berbicara, kadang kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut atau
dengan ungkapAn yang menyatakan keputus asaan, perasaan tidak berharga. Gejala
fisik yang sering di perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan
libugo menurun
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
a) Jangan mencoba menenangkan klien dan biarkan klien dan keluarga
mengekspresikan kesedihannya.

3) Fase acceptance ( penerimaan )


Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase menerima ini
biasanya di nyatakan dengan kata kata ini “ apa yang dapat saya lakukan agar saya
cepat sembuh?” Apabila individu dapat memulai fase fase tersebut dan masuk pada
fase damai atau penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan
mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetep berada
pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika mengalami
kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Teknik komunikasi yang di gunakan perawat adalah:
a) Meluangkan waktu untuk klien dan sediakan waktu untuk mendiskusikan
perasaan keluarga terhadap kematian pasien
2.6.3 Komunikasi pada pasien yang tidak sadar

Komunikasi dengan pasien tidak sadar merupakan suatu komunikasi dengan


menggunakan teknik komunikasi khusus/teurapetik dikarenakan fungsi sensorik dan
motorik pasien mengalami penurunan sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat
diterima klien dan klien tidak dapat merespons kembali stimulus tersebut.
Pasien yang tidak sadar atau yang sering kita sebut dengan koma, dengan
gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat dan
dapat membahayakan kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi
utamanya mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan oleh
beragam penyebab, yaitu baik primer intrakranial ataupun ekstrakranial, yang
mengakibatkan kerusakan struktural atau metabolik di tingkat korteks serebri, batang
otak keduanya.
Ada karakteristik komunikasi yang berbeda pada klien tidak sadar ini, kita tidak
menemukan feed back (umpan balik), salah satu elemen komunikasi. Ini dikarenakan
klien tidak dapat merespon kembali apa yang telah kita komunikasikan sebab pasien
sendiri tidak sadar. Nyatanya dilapangan atau di banyak rumah sakit pasien yang tidak
sadar ini atau pasien koma di ruangan-ruangan tertentu seperti Intensif Care Unit
(ICU), Intensif Cardio Care Unit (ICCU) dan lain sebagainya, sering mengabaikan
komunikasi terapeutik dengan pasien ketika mau melakukan sesuatu tindakan atau
bahkan suatu intervensi.
Hal ini yang menjadi banyak perdebatan sebagaian kalangan ada yang
berpendapat dia adalah pasien tidak sadar mengapa kita harus berbicara, sedangkan
sebagian lagi berpendapat walau dia tidak sadar dia juga masih memiliki rasa atau
masih mengatahui apa yang kita perbuat, maka kita harus berkomunikasi walau
sebagian orang beranggapan janggal. Maka dari itu kita sebagai perawat diajarkan
komunikasi terapeutik untuk menghargai perasaan pasien serta berperilaku baik
terhadap pasien sekalipun dia berada dalam keadaan yang tidak sadar atau sedang koma
1. Fungsi Komunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Komunikasi dengan klien dalam proses keperawatan
memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Mengendalikan Perilaku
Pada klien yang tidak sadar, karakteristik pasien ini adalah tidak memiliki
respon dan klien tidak ada prilaku, jadi komunikasi dengan pasien ini tidak berfungsi
sebagai pengendali prilaku. Secara tepatnya pasien hanya memiliki satu prilaku yaitu
pasien hanya berbaring, imobilitas dan tidak melakukan suatu gerakan yang berarti.
Walaupun dengan berbaring ini pasien tetap memiliki prilaku negatif yaitu tidak bisa
mandiri.

b. Perkembangan Motivasi
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama mempertahankan kesadaran,
tetapi klien masih dapat merasakan rangsangan pada pendengarannya. Perawat dapat
menggunakan kesempatan ini untuk berkomunikasi yang berfungsi untuk
pengembangan motivasi pada klien. Motivasi adalah pendorong pada setiap klien,
kekuatan dari diri klien untuk menjadi lebih maju dari keadaan yang sedang ia alami.
Fungsi ini akan terlihat pada akhir, karena kemajuan pasien tidak lepas dari motivasi
kita sebagai perawat, perawat yang selalu ada di dekatnya selama 24 jam.
Mengkomunikasikan motivasi tidak lain halnya dengan pasien yang sadar, karena klien
masih dapat mendengar apa yang dikatakan oleh perawat.
c. Pengungkapan Emosional
Pada pasien tidak sadar, pengungkapan emosional klien tidak ada, sebaliknya
perawat dapat melakukannya terhadap klien. Perawat dapat berinteraksi dengan klien.
Perawat dapat mengungkapan kegembiraan, kepuasan terhadap peningkatan yang
terjadi dan semua hal positif yang dapat perawat katakan pada klien. Pada setiap fase
kita dituntut untuk tidak bersikap negatif terhadap klien, karena itu akan berpengaruh
secara tidak langsung/langsung terhadap klien. Sebaliknya perawat tidak akan
mendapatkan pengungkapan positif maupun negatif dari klien. Perawat juga tidak
boleh mengungkapkan kekecewaan atau kesan negatif terhadap klien. Pasien ini
berkarakteristik tidak sadar, perawat tidak dapat menyimpulkan situasi yang sedang
terjadi, apa yang dirasakan pada klien pada saat itu. Kita dapat menyimpulkan apa yang
dirasakan klien terhadap apa yang selama ini kita komunikasikan pada klien bila klien
telah sadar kembali dan mengingat memori tentang apa yang telah kita lakukan
terhadapnya.

d. Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada proses keperawatan
yang akan kita lakukan. Setiap prosedur tindakan keperawatan harus dikomunikasikan
untuk menginformasikan pada klien karena itu merupakan hak klien. Klien memiliki
hak penuh untuk menerima dan menolak terhadap tindakan yang akan kita berikan.
Pada pasien tidak sadar ini, kita dapat meminta persetujuan terhadap keluarga, dan
selanjutnya pada klien sendiri. Pasien berhak mengetahui apa saja yang akan perawat
lakukan pada klien. Perawat dapat memberitahu maksud tujuan dari tindakan tersebut,
dan apa yang akan terjadi jika kita tidak melakukan tindakan tersebut kepadanya.

Hampir dari semua interaksi komunikasi dalam proses keperawatan


menjalankan satu atau lebih dari ke empat fungsi di atas. Dengan kata lain, tujuan
perawat berkomunikasi dengan klien yaitu untuk menjalankan fungsi tersebut. Dengan
pasien tidak sadar sekalipun, komunikasi penting adanya. Walau, fungsi yang
dijalankan hanya salah satu dari fungsi di atas. Untuk dipertegas, walau seorang pasien
tidak sadar sekali pun, ia merupakan seorang pasien yang memiliki hak-hak sebagai
pasien yang harus tetap kita penuhi.

Perawat itu adalah manusia pilihan Tuhan, yang telah terpilih untuk membantu
sesama, memiliki rasa bahwa kita sesama saudara yang harus saling membantu.
Perawat akan membantu siapapun walaupun ia seorang yang tidak sadar sekalipun.
Dengan tetap memperhatikan hak-haknya sebagai klien.

Komunikasi yang dilakukan perawat bertujuan untuk membentuk hubungan


saling percaya, empati, perhatian, autonomi dan mutualitas. Pada komunikasi dengan
pasien tidak sadar kita tetap melakukan komunikasi untuk meningkatkan dimensi ini
sebagai hubungan membantu dalam komunikasi terapeutik.

1. Cara Berkomunikasi Dengan Pasien Tak Sadar


Menurut Pastakyu (2010), Cara berkomunikasi dengan klien dalam proses
keperawatan adalah berkomunikasi terapeutik. Pada klien tidak sadar perawat juga
menggunakan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan
klien. Dalam berkomunikasi kita dapat menggunakan teknik-teknik terapeutik,
walaupun pada pasien tidak sadar ini kita tidak menggunakan keseluruhan teknik.
Teknik terapeutik, perawat tetap dapat terapkan. Adapun teknik yang dapat terapkan,
meliputi:
a. Menjelaskan
Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang akan perawat
lakukan terhadap klien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan
kepada klien. Dengan menjelaskan pesan secara spesifik, kemungkinan untuk dipahami
menjadi lebih besar oleh klien.
b. Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau konsep kunci
dari pesan yang dikirimkan. Perawat memfokuskan informasi yang akan diberikan
pada klien untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam komunikasi.
d. Memberikan Informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah memberikan
informasi. Dalam interaksi berkomunikasi dengan klien, perawat dapat memberi
informasi kepada klien. Informasi itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan
maupun kemajuan dari status kesehatannya, karena dengan keterbukaan yang
dilakukan oleh perawat dapat menumbuhkan kepercayaan klien dan pendorongnya
untuk menjadi lebih baik.
e. Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketengan pada pasien tidak sadar, perawat dapat menujukkan
dengan kesabaran dalam merawat klien. Ketenagan yang perawat berikan dapat
membantu atau mendorong klien menjadi lebih baik. Ketenagan perawat dapat
ditunjukan kepada klien yang tidak sadar dengan komunikasi non verbal. Komunikasi
non verbal dapat berupa sentuhan yang hangat. Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa
kata-kata, merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan
pasan kepada orang lain. Sentuhan adalah bagian yang penting dari hubungan antara
perawat dan klien.
Pada dasarnya komunikasi yang akan dilakukan pada pasien tidak sadar adalah
komunikasi satu arah. Komunikasi yang hanya dilakukan oleh salah seorang sebagai
pengirim dan diterima oleh penerima dengan adanya saluran untuk komunikasi serta
tanpa feed back pada penerima yang dikarenakan karakteristik dari penerima sendiri,
yaitu pada point ini pasien tidak sadar. Untuk komunikasi yang efektif dengan kasus
seperti ini, keefektifan komunikasi lebih diutamakan kepada perawat sendiri, karena
perawat lah yang melakukan komunikasi satu arah tersebut.
3.6.4 Prinsip-Prinsip Berkomunikasi Dengan Pasien Yang Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Pada saat berkomunikasi dengan klien yang tidak
sadar, hal-hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:
a. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada keyakinan
bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang mengalami penurunan
penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak sadar. Klien yang tidak sadar seringkali
dapat mendengar suara dari lingkungan walaupun klien tidak mampu meresponnya
sama sekali.
b. Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan
mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi ucapan
yang perawat sampaikan dekat klien.
c. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien.Sentuhan diyakini dapat menjadi salah
satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada klien dengan penurunan kesadaran.
d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu klien
fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.

2.6 Prinsip-prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif


2.6.1 Definisi Komunikasi
Istilah ‘komunikasi’ (communication) berasal dari Bahasa Latin ‘communicatus’
yang artinya berbagi atau menjadi milik bersama. Komunikasi adalah suatu proses di
dalam upaya membangun saling pengertian. Komunikasi merupakan suatu proses
karena melalui komunikasi seseorang menyampaikan dan mendapatkan respon
2.6.2 Definisi Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik
fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health Organization (WHO) 2016).
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga
dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah, dan
menghilangkan penderitaan.
2.6.3 Komunikasi pada pasien dengan penyakit kronis
Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit berlangsung
lama sampai bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan sering kambuh
(Purwaningsih dan Karbina, 2009). Ketidakmampuan/ketidakberdayaan merupakan
persepsi individu bahwa segala tindakannya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu
keadaan dimana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatann
yang baru dirasakan. (Purwaningsih dan Karbina, 2009). Berdasarkan pengertian diatas
kelompok menyimpulkan bahwa penyakit kronik yang dialami oleh seorang pasien
dengan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan seorang klien mengalami
ketidakmampuan contohnya saja kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau
kegiatan yang baru dirasakan. Contoh : penyakit diabetes militus, penyakit
cord pulmonal deases, penyakit arthritis.
Tiap fase yang di alami oleh psien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda pun. Dalam berkomonikasi
perwat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga mudah
bagi perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien.
1. Fase Denial ( pengikraran )
Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok. Tidak percaya
atau menolak kenyataan bahwa kehlangn itu terjadi dengan mengatakan “ Tidak, saya
tidak percaya bahwa itu terjadi “. Bagi individu atau keluarga yang mengalami
penyakit kronis, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang
terjadi pada fase pengikraran adalah letih,lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau harus berbuat apa.
Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa
tahun.
Teknik komunikasi yang di gunakan :
a. Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang
b. kontruktif dalam menghadapi kehilangan dan kematian
c. Selalu berada di dekat klien
d. Pertahankan kontak mata
2. Fase anger ( marah )
Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering di
proyeksikan kepada orang yang ada disekitarnya, orang – orang tertentu atau di
tunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia menunjukkan prilaku agresif, bicara
kasar, menolak pengobatan, dan menuduh perawat ataupun dokter tidak becus. Respon
fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah
tidur, tangan menggepai.
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah : Memberikan kesempatan pada pasien
untuk mengekspresikan perasaannya, hearing.. hearing.. dan hearing..dan
menggunakan teknik respek
3. Fase bargening ( tawar menawar )
Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan tuhan.
Respon ini sering di nyataka dengan kata kata “ kalau saja kejadian ini bisa di tunda,
maka saya akan selalu berdoa “ . apabila proses berduka ini di alami keluarga, maka
pernyataan seperti ini sering di jumpai “ kalau saja yang sakit bukan anak saya. Teknik
komunikasi yang di gunakan adalah: Memberi kesempatan kepada pasien untuk
menawar dan menanyakan kepada pasien apa yang di ingnkan
4. Fase depression
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau
berbicara, kadang kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut atau
dengan ungkapAn yang menyatakan keputus asaan, perasaan tidak berharga. Gejala
fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan
libugo menurun. Teknik komunikasi yang di gunakan adalah : Jangan mencoba
menenangkan klien dan biarkan klien dan keluarga mengekspresikan kesedihannya.
5. Fase acceptance ( penerimaan )
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase menerima ini
biasanya di nyatakan dengan kata kata ini “ apa yang dapat saya lakukan agar saya
cepat sembuh?” Apabila individu dapat memulai fase fase tersebut dan masuk pada
fase damai atau penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan
mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetep berada
pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika mengalami
kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase penerimaan.Teknik komunikasi yang di
gunakan perawat adalah : Meluangkan waktu untuk klien dan sediakan waktu untuk
mendiskusikan perasaan keluarga terhadap kematian pasien
2.6.4 Komunikasi pada pasien yang tidak sadar
Komunikasi dengan pasien tidak sadar merupakan suatu komunikasi dengan
menggunakan teknik komunikasi khusus/teurapetik dikarenakan fungsi sensorik dan
motorik pasien mengalami penurunan sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat
diterima klien dan klien tidak dapat merespons kembali stimulus tersebut. Pasien yang
tidak sadar atau yang sering kita sebut dengan koma, dengan gangguan kesadaran
merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat dan dapat membahayakan
kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya
mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan oleh
beragam penyebab, yaitu baik primer intrakranial ataupun ekstrakranial, yang
mengakibatkan kerusakan struktural atau metabolik di tingkat korteks serebri, batang
otak keduanya. Ada karakteristik komunikasi yang berbeda pada klien tidak sadar ini,
kita tidak menemukan feed back (umpan balik), salah satu elemen komunikasi. Ini
dikarenakan klien tidak dapat merespon kembali apa yang telah kita komunikasikan
sebab pasien sendiri tidak sadar. Nyatanya dilapangan atau di banyak rumah sakit
pasien yang tidak sadar ini atau pasien koma di ruangan-ruangan tertentu seperti
Intensif Care Unit (ICU), Intensif Cardio Care Unit (ICCU) dan lain sebagainya, sering
mengabaikan komunikasi terapeutik dengan pasien ketika mau melakukan sesuatu
tindakan atau bahkan suatu intervensi. Hal ini yang menjadi banyak perdebatan
sebagaian kalangan ada yang berpendapat dia adalah pasien tidak sadar mengapa kita
harus berbicara, sedangkan sebagian lagi berpendapat walau dia tidak sadar dia juga
masih memiliki rasa atau masih mengatahui apa yang kita perbuat, maka kita harus
berkomunikasi walau sebagian orang beranggapan janggal. Maka dari itu kita sebagai
perawat diajarkan komunikasi terapeutik untuk menghargai perasaan pasien serta
berperilaku baik terhadap pasien sekalipun dia berada dalam keadaan yang tidak sadar
atau sedang koma.
2.6.5 Fungsi Komunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Komunikasi dengan klien dalam proses keperawatan
memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Mengendalikan Perilaku
Pada klien yang tidak sadar, karakteristik pasien ini adalah tidak memiliki respon
dan klien tidak ada prilaku, jadi komunikasi dengan pasien ini tidak berfungsi
sebagai pengendali prilaku. Secara tepatnya pasien hanya memiliki satu prilaku
yaitu pasien hanya berbaring, imobilitas dan tidak melakukan suatu gerakan yang
berarti. Walaupun dengan berbaring ini pasien tetap memiliki prilaku negatif yaitu
tidak bisa mandiri.
b. Perkembangan Motivasi
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama mempertahankan kesadaran, tetapi
klien masih dapat merasakan rangsangan pada pendengarannya. Perawat dapat
menggunakan kesempatan ini untuk berkomunikasi yang berfungsi untuk
pengembangan motivasi pada klien. Motivasi adalah pendorong pada setiap klien,
kekuatan dari diri klien untuk menjadi lebih maju dari keadaan yang sedang ia alami.
Fungsi ini akan terlihat pada akhir, karena kemajuan pasien tidak lepas dari motivasi
kita sebagai perawat, perawat yang selalu ada di dekatnya selama 24 jam.
Mengkomunikasikan motivasi tidak lain halnya dengan pasien yang sadar, karena
klien masih dapat mendengar apa yang dikatakan oleh perawat.
c. Pengungkapan Emosional
Pada pasien tidak sadar, pengungkapan emosional klien tidak ada, sebaliknya
perawat dapat melakukannya terhadap klien. Perawat dapat berinteraksi dengan
klien. Perawat dapat mengungkapan kegembiraan, kepuasan terhadap peningkatan
yang terjadi dan semua hal positif yang dapat perawat katakan pada klien.
d. Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada proses keperawatan yang
akan kita lakukan. Setiap prosedur tindakan keperawatan harus dikomunikasikan
untuk menginformasikan pada klien karena itu merupakan hak klien. Klien memiliki
hak penuh untuk menerima dan menolak terhadap tindakan yang akan kita berikan.
2.6.6 Prinsip-Prinsip Berkomunikasi Dengan Pasien Yang Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Pada saat berkomunikasi dengan klien yang tidak
sadar, hal-hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:
a. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada keyakinan
bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang mengalami penurunan
penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak sadar. Klien yang tidak sadar
seringkali dapat mendengar suara dari lingkungan walaupun klien tidak mampu
meresponnya sama sekali.
b. Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan
mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi
ucapan yang perawat sampaikan dekat klien.
c. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien. Sentuhan diyakini dapat menjadi
salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada klien dengan penurunan
kesadaran.
d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu klien
fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan
2.7 Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronis
2.7.1 Definisi Penyakit Kronis
Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau
bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan. Orang
yang menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan
cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness karena berbagai
macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit kronis (Sarafino,
2006). Rasa sakit yang diderita akan mengganggu aktivitasnya sehari-hari, tujuan
dalam hidup, dan kualitas tidurnya (Affleck et al. dalam Sarafino, 2006).
2.7.2 Etiologi Penyakit Kronis
Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat sosial ekonomi,
dan budaya. Penyakit kronis cenderung menyebabkan kerusakan yang bersifat
permanen yang memperlihatkan adanya penurunan atau menghilangnya suatu
kemampuan untuk menjalankan berbagai fungsi, terutama muskuloskletal dan organ-
organ pengindraan. Ada banyak faktor yang menyebabkan penyakit kronis dapat
menjadi masalah kesehatan yang banyak ditemukan hampir di seluruh negara, di
antaranya kemajuan dalam bidang kedokteran modern yang telah mengarah pada
menurunnya angka kematian dari penyakit infeksi dan kondisi serius lainnya, nutrisi
yang membaik dan peraturan yang mengatur keselamatan di tempat kerja yang telah
memungkinkan orang hidup lebih lama, dan gaya hidup yang berkaitan dengan
masyarakat modern yang telah meningkatkan insiden penyakit kronis (Smeltzer &
Bare, 2010).
2.7.3 Fase Penyakit Kronis
Menurut Smeltzer & Bare (2010), ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu
sebagai berikut.
a. Fase pra-trajectory adalah risiko terhadap penyakit kronis karena faktor-faktor
genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit
kronis.
b. Fase trajectory adalah adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. Fase
ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan sering dilakukan pemeriksaan
diagnostik.
c. Fase stabil adalah tahap yang terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit
terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari-hari tertangani dalam keterbatasan
penyakit.
d. Fase tidak stabil adalah periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap
terkontrol atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
e. Fase akut adalah fase yang ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak
dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk
penanganannya.
f. Fase krisis merupakan fase yang ditandai dengan situasi kritis atau mengancam
jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan.
g. Fase pulih adalah keadaan pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam
batasan yang dibebani oleh penyakit kronis.
h. Fase penurunan adalah kejadian yang terjadi ketika perjalanan penyakit
berkembang disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam
mengatasi gejala-gejala.
i. Fase kematian adalah tahap terakhir yang ditandai dengan penurunan bertahap
atau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.
2.7.4 Kategori Penyakit Kronis
Menurut Christensen et al. (2006) ada beberapa kategori penyakit kronis, yaitu
seperti di bawah ini.
a. Lived with illnesses. Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi dan
mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan biasanya tidak mengalami
kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah
diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi.
b. Mortal illnesses. Pada kategori ini secara jelas kehidupan individu terancam dan
individu yang menderita penyakit ini hanya bisa merasakan gejala-gejala
penyakit dan ancaman kematian. Penyakit dalam kategori ini adalah kanker dan
penyakit kardiovaskuler.
c. At risk illnesses. Kategori penyakit ini sangat berbeda dari dua kategori
sebelumnya. Pada kategori ini tidak ditekankan pada penyakitnya, tetapi pada
risiko penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah hipertensi
dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas.
2.7.5 Tanda dan Gejala
Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti, memiliki
faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan kerusakan
fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan secara sempurna (Smeltzer
& Bare, 2010). Tanda-tanda lain penyakit kronis adalah batuk dan demam yang
berlangsung lama, sakit pada bagian tubuh yang berbeda, diare berkepanjangan,
kesulitan dalam buang air kecil, dan warna kulit abnormal (Heru, 2007).
2.1.6 Pencegahan
Sekarang ini pencegahan penyakit diartikan secara luas. Dalam pencegahan penyakit
dikenal pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Djauzi, 2009). Pencegahan primer
merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau
mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini
dapat berupa pencegahan umum (melalui pendidikan kesehatan dan kebersihan
lingkungan) dan pencegahan khusus (ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai
risiko dengan melakukan imunisasi). Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk
menghambat progresivitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan yang dapat dilakukan melalui deteksi dini dan pengobatan secara
cepat dan tepat. Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan
dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan
dengan memaksimalkan fungsi organ yang mengalami kecacatan (Budiarto &
Anggreni, 2007).
2.7.7 Penatalaksanaan
Kondisi kronis mempunyai ciri khas dan masalah penatalaksanaan yang berbeda.
Sebagai contoh, banyak penyakit kronis berhubungan dengan gejala seperti nyeri dan
keletihan. Penyakit kronis yang parah dan lanjut dapat menyebabkan kecacatan sampai
tingkat tertentu, yang selanjutnya membatasi partisipasi individu dalam beraktivitas.
Banyak penyakit kronis yang harus mendapatkan penatalaksanaan teratur untuk
menjaganya tetap terkontrol, seperti penyakit gagal ginjal kronis (Smeltzer & Bare,
2008).
2.8 Patofisiologi Penyakit Terminal
2.8.1 Pengertian Penyakit Terminal
Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak
dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. Penyakit pada stadium lanjut, penyakit
utama tidak dapat diobati, bersifat progresif, pengobatan hanya bersifat paliatif
(mengurangi gejala dan keluhan, memperbaiki kualitas hidup).
2.8.2 Kriteria Penyakit Terminal
Beberapa kriteria dalam penyakit terminal adalah sebagai berikut.
1. Penyakit tidak dapat disembuhkan
2. Mengarah pada kematian
3. Diagnosa medis sudah jelas
4. Tidak ada obat untuk menyembuhkan
5. Prognosis jelek
6. Bersifat progresif
2.8.4 Perbedaan Anak Dengan Dewasa Dalam Mengartikan Kematian
1. Jangan berfikir kognitif dewasa dengan anak tentang arti kematian
2. Anak tidak memiliki kematangan emosional dalam mempersepsikan tentang arti
kematian
3. Mekanisme koping pada anak belum terbentuk
4. Anak di ajak berdiskusi mengenai / tentang tuhan,surga, dan benda-benda yang
tidak terlihat
2.8.5 Kebutuhan Anak Yang Terminal
1. Komunikasi,
Dalam hal ini anak sangat perlu di ajak unuk berkomunikasi atau berbicara
dengan yang lain terutama oleh kedua orang tua
2. Memberitahu kepada anak bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi penyakit
tersebut
3. Berdiskusi dengan siblings (saudara kandung) agar saudara kandung mau ikut
berpartisipasi dalam perawatan atau untuk merawat
4. Social support meningkatkan koping
2.8.9 Menjelaskan Kematian Pada Anak
1. Kebanyakan seorang psikolog percaya bahwa dengan berkata jujur merupakan
strategi yang terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak
2. Respon anak terhadap pertanyaan mengenai kematian merupakan dasar tingkat
kematangan anak dalam mengartikan kematian
3. Pada anak pra sekolah, anak mengartikan kematian sebagai : kematian adalah
sudah tidak ada nafas, dada dan perut datar, tidak bergerak lagi,dan tidak bisa
berjalan seperti layaknya orang yang dapat berjalan seperti orang sebelum mati /
meninggal
4. Kebanyakan anak-anak (anak yang menderita penyakit terminal) membutuhkan
keberanaian, bahwa ia di cintai dan tidak akan merasa di tinggalkan
5. Tanpa memandang umur, sebagai orang tua seharusnya sensitife dan simpati,
mendukunng apa yang anak rasakan
2.8.10 Masalah – Masalah Pada Pasien Penyakit Terminal
1. Masalah fisik
− Nyeri
− Perubahan kulit
− Distensi
− Konstipasi
− Alopesia
− Kelemahan otot
2. Masalah psikologi
− Ketergantungan tinggi
− Kehilangan kontrol
− Kehilangan produktifitas
− Hambatan dalam berkomunikasi
3. Masalah sosial
− Menarik Diri
− Isolasi sosial
4. Masalah spiritual
− Kehilangan harapan
− Perencanaan saat ajal tiba
2.9 Pengkajian Fisik dan Fisiologis Dalam Perawatan Paliatif
2.9.1 Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari kepala sampai kaki dengan melihat segala
kelainan dan ketidaknormalan yang ada pada tubuh pasien adapun tehnik yang
digunakan dalam melakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut ini :
− Pengkajian Identitas Klien : Nama, Umur, No Reg, Ruang, Agama,
Pekerjaan, Alamat, Suku Bangsa, Pendidikan, MRS, DX Medis
− Keluhan Utama : Saat MRS keluhan yang dirasakan oleh klien, sehingga
menjadi alasan klien dibawa kerumah sakit
− Saat pengkajian : Klien mengatakan keluhan yang dirasakan oleh klien
− Riwayat Penyakit Sekarang :
Kronologis dari penyakit yang diderita saat ini hingga dibawa kerumah
sakit secara kelngkap dengan menggunakan rumus PQRST
− Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit apa saja yang pernah dialami oleh klien, baik yang ada
hubungannya dengan penyakit yang diderita sekarang atau yang tidak ada
hubungannya dengan penyakit yang diderita saat ini, riwayat operasi atau
riwayat alergi.
− Riwayat Kesehatan Keluarga : Apakah ada kluarga yang menderita
penyakit yang sama?.
− Riwayat Psikososial
− Persepsi Klien Terhadap Masalah
Apakah pasien mengatakan bahwa penyakitnya ini merupakan masalah
yang mengkhawatirkan, ekspresi wajah terlihat lemah dan badannya
terlihat lemas.
− Pola Kesehatan Sehari-hari Selama Di Rumah dan RS
a. Pola Nutrisi dan Metabolisme
 Di Rumah : apakah klien makan dan minum sesuai dengan
kebutuhan tubuh?
 Di Rumah Sakit : bagaimana pola nutrisi makan dan minum klien
saat sakit
b. Kebiasaan Devekasi Sehari-hari
 Di Rumah : jumlah, warna, bau, disertai darah ataupun
nanah
 Di Rumah Sakit : klien dibantu untuk toileting atau tidak
c. Kebiasaan Miksi
 Di Rumah : warna, bau, adakah kesulitan BAK
 Di Rumah Sakit : klien BAK dengan alat bantu atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
 Dirumah Klien : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan
tidur
 Di Rumah Sakit : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan
tidur
e. Pola Aktivitas
 Di rumah : klien beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan orang
lain apakah memiliki kebiasaan olah raga
 Di rumah sakit : apakah klien mendapatkan bantuan dari orang
lein ketika akan melakukan aktivitas
f. Pola Reproduksi dan Seksual
a) Usia, anak, riwayat penggunaan kontrasepsi
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : apakah klien lemah, terpasang infus atau tidak
Keadaan sakit : klien sering mengeluh lemas, sakit, tidak nyaman, dll.

Tekanan darah : mengalami penurunan

Nadi : mengalami penurunan

Respirasi : 12-24 x/menit

Bising Usus : 6-12 x/menit


Suhu : 37,5-38,5˚C
Tinggi badan :-
Berat badan : naik atau menurun
b. Review of System (ROS)
a) Kepala : Posisi kepala, bentuk kepala, warna rambut, distribusi rambut,
apakah terlihat bayangan pembuluh darah, apakah terdapat luka, tumor,
edema, ketombe, dan bau.
 Mata : apakah terdapat vesikel, tidak ada masa, nyeri tekan, dan
penurunan penglihatan, konjungtiva anemis.
 Hidung : apakah terdapat sekret, dan lesi
b) Integumen : bagaimana warna, tekstur kering, turgor kulit, apakah terdapat
tanda sianosis, akral dingin atau hangat, ada atau tidak tanda inflamasi pada
kuku
c) Status Neurologis
− Tingkat kesadaran
− Tanda – tanda perangsangan otak
− Uji saraf kranial
− Funsi Motorik
− Fungsi Sensorik
− Refleks Pantologis
2.9.3 Pengkajian Psikologis
Respon Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit ada lima tahap reaksi
emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu :
a. Pengingkaran (denial ) Pada tahap pertama pasien menunjukkan
karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan
mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap
sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran
dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran dapat
berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang
diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium,
atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten.
Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan,
pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang
sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah
menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani).
b. Kemarahan (anger ) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi,
maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara
karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan
mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan.
Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua
tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut,
tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah,
mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan
keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan
(Hudak & Gallo).
c. Sikap tawar menawar (bargaining ) Setelah marah-marah berlalu, pasien
akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai
timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan,
meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi
akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji
lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah
dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif.
Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru.
Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan,
bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis
berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan
masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi
tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty).
e. Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien
beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan
bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena
penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada
orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya
tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan
(Hudak & Gallo). Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan
stres yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau
sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol
dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi
dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
2.10 Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif
Agama merupakan sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. (Kamus Besar Bahasa
Indonesia).
2.10.1 Peran agama dalam pealiative care
1. Sebagai spiritual nourishment dan pencegahan penyakit. (Hawari)
2. Sebagai mekanisme koping dan factor yg berkontribusi dalm pemulihan pasien.
(Narayasamy)
3. Sbg sumber penyembuhan (healing) bagi pasien terminal. (Mok, Wong dan Wong)
2.10.2 Perspektif masing-masing agama mengenai ajal dan musibah
1. Islam
Tiga manfaat musibah (sakit) merupakan sebagai penghapus dosa, sebagai ujian
kesabaran, tangga untuk mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Allah SWT.
2. Kristen
Makna penderitaan merupakan sebagai karunia, merupakan bagian dari orang
Kristen, suatu yang bahagia, memiliki maksud tujuan tertentu, bersifat sementara &
diakhiri dengan berkat.
3. Budha
Makna kematian untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya,
bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi atau ilmu kedokteran
yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama yaitu di dalam
kubur atau menjadi segenggam debu.
4. Hindu
Kematian adalah hal yang sangat penting yang menentukan arti kehidupan
seseorang, jadi harus selalu mengingat Tuhan menjelang ajal sehingga mampu
menghantarkan ke tempat yang indah dalam spiritual.
2.11 Tinjauan Sosial dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif

Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala


sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan atau kultur
dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam
segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga
kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka
mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan
keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan. Pengaruh
kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat,
karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu
masyarakat. Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia
dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (
behaviour cause) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour cause). Perilaku itu
sendiri terbentuk dari tiga factor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yang terwujud


dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya
2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana
kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat. Contoh lain, sosial budaya
mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat terhadap
tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan
sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan
tumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat
mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib sebagai penyembuh
ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare berarti
pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa social budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu individu
maupun kelompok. Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat
dimasyarakat beragam dan sudah melekat dalam kehidupan
bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa kepercayaan gaib.
Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan tersebut
adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan
kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda hasil
karya manusia.
2.11.1 Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah


perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila
faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan
masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut
sulit untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah
kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya
suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif
bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang mengancam kehidupan.

2.11.2 Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan

Pada Penyakit Paliatif Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan.


Jumlah penderitanya pun tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke
dukun alias pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, malah bertambah parah. Banyak
penderita yang baru berobat ke dokter setelah menderita kanker payudara stadium
tinggi. Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian masyarakat
Indonesia beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun Ponari dengan batu
saktinya sebagai media penyembuhan dengan cara di celupkan ke air. Kabar tentang
kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan jumlah pasien yang berobat
kerumah Ponari dari hari kehari semakin meningkat. Tindakan masyarakat yang
datang ke Dukun Ponari itu tidak terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat
kita terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang
dimiliki Ponari itu merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan
dimasyarakat sebagai bagian dari kearifan lokal. Pemahaman masyarakat terhadap
hal-hal yang dipercayai secara turun-temurun merupakan bagian dari kearifan lokal
yang sulit untuk dilepaskan. Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap
pengobatan melalui dukun seperti diatas sangat dipercayai oleh masyarakat. Peranan
budaya dan kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan tingkat ekonomi

2.12 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terminal Ilnes (Paliatif Care)

Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan
meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan dan
dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup semakin
bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif
seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses
pengobatan dan perawatan yang panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan
dicapai stadium terminal yang ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak
berdayaan, dan akhirnya kematian.

Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan
terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi
kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk
berhadapan dengan ancaman kematian.

Ditengah keputusasaan, sering kali terdengar ”Kami sudah melakukan segalanya


yang bisa dilakukan........”. Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi
medis masih dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih
luas kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis
tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium
lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya
dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau palliative care. Dalam
perawatan paliatif maka peran perawat adalah memberikan Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terminal untuk membantu pasien menjalani sisa hidupnya dalam keadaan seoptimal
mungkin.

2.12.1 Konsep Materi

a) Pengertian
1. Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.
2. Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan
mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan
merupakan suatu kehilangan.
b) Tahap-tahap Menjelang Ajal
Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang ajal
(dying) dalam 5 tahap, yaitu:
1. Menolak/Denial
Pada fase ini , pasien/klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi, dan
menunjukkan reaksi menolak.
2. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal
yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
3. Menawar/bargaining
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan
kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
4. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien
yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga tentang
kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat
membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana
yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga
terdekat, menulis surat wasiat.
c) Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu: Kematian yang pasti
dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat dari fase akut ke
kronik.Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada
kondisi penyakit yang kronik. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh
belum pasti, biasanya terjadi pada pasien dengan operasi radikal karena adanya
kanker. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu.
Terjadi pada pasien dengan sakit kronik dan telah berjalan lama.
d) Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian
Kehilangan Tonus Otot, ditandai:
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi, dsbg.
d. Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
Gangguan Sensoria.
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.
e) Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal
1) Pupil mata melebar.
2) Tidak mampu untuk bergerak.
3) Kehilangan reflek.
4) Nadi cepat dan kecil.
5) Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
6) Tekanan darah sangat rendah.
7) Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
f) Tanda-tanda Meninggal secara klinis
Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-
perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical
Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu:
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.
g) Macam Tingkat Kesadaran/Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap
Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type:
a. Closed Awareness/Tidak Mengerti
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini
sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,
kapan sembuh, kapan pulang, dsbg.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.
Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam
merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal
tersebut.
h) Bantuan yang dapat Diberikan
Bantuan Emosional
1) Pada Fase Denial
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
2) Pada Fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal yang
normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih baik
bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya,
memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan
asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
3) Pada Fase Menawar
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong pasien
untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak
masuk akal.
4) Pada Fase Depresi
Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu
duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
5) Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-
temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu
dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk
menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
1. Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan unjtuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dsbg.
2. Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan
tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan Intra
Vena dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena kondisi system sirkulasi
sudah menurun.
3. Membebaskan Jalan Nafas
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi klien
yang tida sadar, posisi yang baik adalah posisi sim dengan dipasang drainase dari
mulut dan pemberian oksigen.
4. Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti:
turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan
secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh klien,
karena tonus otot sudah menurun.
5. Nutrisi
Klien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan annti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi tonus otot
yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji reflek menelan klien
sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra
Vena/Invus.
6. Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi.
Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau dipasang
duk yang diganjti setiap saat atau dilakukan kateterisasi. Harus dijaga kebersihan
pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep.
7. Perubahan Sensori
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya
menolak/menghadapkan kepala kearah lampu/tempat terang. Klien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus bicara
dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial
Klien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi
kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat melakukan:
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan klien
dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota
keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan teman-
teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan klien untuk membersihkan diri dan
merapikan diri.
d. Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang
lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu membacanya.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual
• Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana
klien selanjutnya menjelang kematian.
• Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual.
• Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.
2.12.2 Asuhan Keperawatan
Tanda-tanda Kematian
1. Dini:
• Pernafasan terhenti , penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi)
• Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
• Kulit pucat
• Tonus otot menghilang dan relaksasi
• Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian
• Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang dengan
penyiraman air)
2. Lanjut (Tanda pasti kematian)
• Lebam mayat (livor mortis)
• Kaku mayat (rigor mortis)
• Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
• Pembusukan (dekomposisi)
• Adiposera (lilin mayat)
• Mumifikasi
Gejala dan masalah yang sering dijumpai pada berbagai sistem organ
Sistem Gastrointestinal : Anorexia, konstipasi, mulut kering dan bau, kandidiasis dan
sariawan mulut.
Sistem Genitourinaria : Inkontinensia urin
Sistem Integumen : Kulit kering/pecah-pecah, dekubitus
Sistem Neurologis : Kejang
Perubahan Status Mental : Kecemasan, halusinasi, depresi
1. Pengkajian
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan
damai.
Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
kedalam empat fase, yaitu :
1. Fase Prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit.
2. Fase Akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
3. Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya.
4. Fase Terminal, dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi
pasti terjadi.
Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik,
psikologis, maupun social-spiritual. Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi
terminal antara lain :
Problem Oksigenisasi ; respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne
stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental; agitasi-gelisah, tekanan darah
menurun, hypoksia, akumulasi secret, nadi ireguler.
Problem Eliminasi; Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,
kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia
fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit(mis Ca Colon),
retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi
penyakit mis trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan
atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.
Problem Nutrisi dan Cairan; asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
Problem suhu; ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
Problem Sensori ; Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat
mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun,
kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun.
penglihatan kabur,pendengaran berkurang, sensasi menurun.
Problem nyeri ; ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra
vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.
Problem Kulit dan Mobilitas ; seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah
pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
Masalah Psikologis ; klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak
respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang
control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi / barrier komunikasi.
Perubahan Sosial-Spiritual ; klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian
sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya
dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan
perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan
sepanjang hidup
Faktor-Faktor yang perlu dikaji
1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai masalah
pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien, klien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi kematian.
Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal
karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien
dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus
peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-
tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal, karena
pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin
berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan
keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa mengenali
tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan dukungan social bisa
dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani klien.
4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,
bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
juga harus mengetahui disaat- saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran
tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
Konsep dan Prinsip Etika, Norma, Budaya dalam Pengkajian Pasien Terminal
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural/budaya yang
mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi
kematian/menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien
terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus
dihindari.
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat
harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual.
Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi
kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.
2. Diagnosa Keperawatan
I. Ansietas/ ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan
situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan
kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
II. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi,
penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
III. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres (
tempat perawatan )
IV. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
3. Intervensi
Diagnosa I
1. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
• Berikan kepastian dan kenyamanan.
• Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti, jangan menghindari pertanyaan.
• Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobtannya.
• Identifikasi dan dukung mekaniosme koping efektif Klien yang cemas mempunbyai
penyempitan lapang persepsi denagn penurunan kemampuan untuk belajar. Ansietas
cendrung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran peningkatan
ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik.
2. Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau
sedang Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat
dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat
atauparah tidak menyerap pelajaran.
3. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan
untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
4. Berika klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif Menghargai
klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping positif yang akan datang.
Diagnosa II
1. Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari
kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat Pengetahuan
bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa kematian sedang
menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak berdayaan, marah dan
kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan jujur
dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi dan
respon mereka terhdap situasi tersebut.
2. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang
memberikan keberhasilan pada masa lalu Stategi koping fositif membantu
penerimaan dan pemecahan masalah.
3. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang positif
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi.
4. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat
dimulai sampai kematian yang akan terjadi di terima.
5. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidak
nyamanan dan dukungan Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling
menghargai tindakan keperawatan berikut :
a. Membantu berdandan
b. Mendukung fungsi kemandirian
c. Memberikan obat nyeri saat diperlukandan
d. meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 )
Diagnosa III
1. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan
pengertian yang empati Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian
dan peduli dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran.
2. Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan,
ketakutan dan kekawatiran. Saling berbagi memungkinkan perawat untuk
mengintifikasi ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk
mengatasinya.
3. Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU
Informasi ini dapat membantu mengurangi ansietas yang berkaitan dengan ketidak
takutan.
4. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan
berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien.
5. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga
berkelanjutan.
6. Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
Keluarga denagan masalah-masalh seperti kebutuhan financial , koping yang tidak
berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan untuk
membantu mempertahankankan fungsi keluarga
Diagnosa IV
1. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek atau ritual
keagamaan atau spiritual yang diinginkan bila yang memberi kesemptan pada klien
untuk melakukannya Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi pada do,a atau praktek
spiritual lainnya , praktek ini dapat memberikan arti dan tujuan dan dapat menjadi
sumber kenyamanan dan kekuatan.
2. Ekspesikan pengertrian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan
praktik religius atau spiritual klien Menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu
mengurangi kesulitan klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.
3. Berikan prifasi dan ketenangan untuk ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat
dilaksanakan Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan
refresi dan perenungan.
4. Bila anda menginginkan tawarkan untuk berdo,a bersama klien lainnya atau
membaca buku ke agamaan Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau
keyakinan yang sama dengan klien dapat membantu klien memenuhi kebutuhan
spritualnya.
5. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau rohaniwan rumah sakit
untuk mengatur kunjungan. Jelaskan ketidak setiaan pelayanan ( kapel dan injil RS )
Tindakan ini dapat membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan
mempraktikkan ritual yang penting ( Carson 1989 )
4. Evaluasi
1. Klien merasa nyaman dan mengekpresikan perasaannya pada perawat.
2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan.
3. Klien selalu ingat kepada Allah dan selalu bertawakkal.
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Allah SWT akan kembali
kepadanya.
2.13 Manajemen Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor
nyeri(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan,
nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan.
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf,otot, dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul
dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan,iskemia dan inflamasi. Pemahaman dan pemberian
arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan
juga faktor sosial budaya Respon fisiologis terhadap nyeri
1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
a) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
b) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas,Mendengkur)
c) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
d) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
tangan)Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas
menghilangkan nyeri) Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat
bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau
menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien
dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam
mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini
sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
b) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga
akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri
dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap
nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap
individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan
sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya
dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.
Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola
perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya
membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga
dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami
episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah
kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang Faktor yang
mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri
yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo
laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang
harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika
ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi
nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan Intensitas Nyeri Intensitas
nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh
dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007)
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul
Penilaian Nyeri Berdasarkan PQRST
P : Provokatif / Paliatif
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri…? Apakah karena terkena ruda
paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas
2.14 Berbagai Terapi Komplementer
Ungkapan palliative berasal dari bahasa latin yaitu “pallium” yang artinya
adalah menutupi atau menyembuhkan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi
atau menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan kenyamanan ketika tujuan
penatalaksanaan tidak mungkin disembuhkan (Mukkaden, 2011). Perawatan paliatif
merupakan pendekatan untuk meningkatkan kulitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang menganham jiwa dengan cara meringankan penderitaan
terhadap rasasakit dan memberikan dukungan fisik psikososial dan spiritual &ang
dimulai sejak ditegakkannya diagnosa hingga akhir kehidupan pasien (World Health
Organization, 2016).
Macleod et al (2012) mengatakan bahwa keperawatan paliatif
adalah pendekatan yang sesuai untuk menghadapi permasalahan kematian pada pasien
ini. Keperawatan paliatif menawarkan peningkatan kualitas hidup pasien dan keluarga
dalam menghadapi penyakit yang mengancam kehidupan dari pertama didiagnosis
sampai proses berduka akibat kematian melalui pendekatan psiko,sosio, kultural, dan
spiritual. Perawatan paliatif merupakan perawatan yang dicapai dengan efektif dengan
mengelola rasa sakit dan hal lainnya yang membuat tidak nyaman seperti kelelahan,
dispnea, mual, muntah, gelisah, sembelit, anoreksia, depresi, kebingungan, serta
psikologis dan perawatan spiritual dari awal di diagnosis. Perawatan paliatif
tidak berfokus untuk menunda kematian tetapi berusaha untuk membuat keputusan
yang dapat memaksimalkan kualitas hidup mereka (Palliative Care Australia, 2014).
2.14.1 Tujuan Keperawatan Paliatif
Tujuan akhir dari perawatan paliatif adalah mencegah dan
mengurangi penderitaan serta memberikan bantuan untuk memperoleh kualitas
kehidupan terbaik bagi pasien dan keluarga tanpa memperhatikan stadium atau
kebutuhan terapi lainnyya, dengan demikian perawatan palitif dapat diberikan
secara bersamaan dengan perawatan yang memperpanjang kehidupan atau sebagai
fokus keperawatan (Camp Bell, 2009).
2.14.2 Konsep Terapi Komplementer
Menurut Kamus besar bahasa Indonesia KBBI terapi adalah usaha untuk
memulihkan kesehatan orang yang sedang sakitt pengobatan penyakit, perawatan
penyakit. Komplementer adalah bersifat melengkapi, bersifat menyempurnakan.
Pengobatan komplementer dilakukan dengan tujuan melengkapi pengobatan medis
konvensional dan bersifat rasional yang tidak bertentangan dengan nilai dan hukum
kesehatan di Indonesia. Standar praktek pengobatan komplementer telah diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Menurut WHO (World Health
Organization), pengobatan komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang
bukan berasal dari negara yang bersangkutan, sehingga untuk Indonesia jamu
misalnya, bukan termasuk pengobatan komplementer tetapi merupakan pengobatan
tradisional. Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari
Zaman dahulu digunakan danditurunkan secara turun-temurun pada suatu negara.
Terapi komplementer adalah sebuah kelompok dari macam-macam sistem pengobatan
dan perawatan kesehatan, praktik dan produk yang secara umum tidak menjadi bagian
dari pengobatan konvensional (Widya Tuti, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Ferrell, B.R. & Coyle, N. (2010). Oxford Textbook of palliative nursing 3nd ed. New
York : Oxford University Press Nugroho, Agung.(2011). Perawatan Paliatif Pasien
Hiv/ Aids.
Menkes RI. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
812/Menkes/Sk/Vii/2007. Tentang Kebijakan Perawatan Paliatif Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Di akses pada 21 Maret 2018 dari
Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC Pendi.
2009.“tahap-tahap menyampaiakn berita buruk” di akses pada 28 Maret 2018 dari
http://leksbook.blogspot.co.id/2014/03/tahap-tahap-saat-meyampaikanberita_12.html.
“menyampaikan berita buruk” di akses pada 28 Maret 2018 dari
https://www.scribd.com/document/111664613/Menyampaikan-berita-buruk.
Hasanah, S. N. & Widowati, L. (2016). Jamu pada pasien tumor / kanker sebagai terapi
komplementer. Jurnal Kefarmasian Indonesia.
Irawan, E., Rahayuwati, L., & Yani, D. I. (2017). Hubungan penggunaan terapi modern
dan komplementer terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara. JKP.

Anda mungkin juga menyukai