Anda di halaman 1dari 75

KATA PEMGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa, karena atas berkat
dan rahmatNya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang
diberikan dalam mata kuliah “Psikologi & Budaya Keperawatan” oleh dosen
pengampu Ns. Drova Manorek S.Kep, M.Kes. Kami berharap dalam penulisan
makalah ini dapat membantu sebagian mahasiswa dan mahasiswi kesehatan
yang membaca boleh dengan mudah mendapat informasi tentang penyakit
gagal jantungKami berharap makalah ini sudah tersusun secara benar, tentu
kami juga menyadari bahwa masih ada kesalahan dalam penulisan maupun
penjelasan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran agar dapat
menyempurnakan makalah ini kedepannya.Tidak lupa juga kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu kami dalam
proses pengerjaan makalah ini.

Manado, Oktober 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………….

Daftar Isi ………………………………………………………………………………

BAB 1 : PENDAHULUAN …………………………………………………………...

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………...


1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………….
1.3 Tujuan …………………………………………………………………………….

BAB 2 : PEMBAHASAN …………………………………………………………….

2.1 Konsep Diri ……………………………………………………………………….

2.2 Perilaku Pasien dengan Gangguan Konsep Diri …………………………….....

2.3 Rentan Respon Konsep Diri …………………………………………………….

2.4 Perilaku yang Berhubungan dengan Respon konsep Diri ……………………

2.5 Penilai Tressor terkait Respon Konsep Diri ……………………………………

2.6 Sumber dan Mekanisme Koping terkait Respon Konsep Diri ………………..

2.7 Mekanisme Koping ………………………………………………………………

2.8 Hakikat Konsep diri ……………………………………………………………..

2.9 Terbentuknya Konsep Diri……………………………………………………….

2.10 Proses Perkembangan Konsep Diri …………………………………………….

2.11 Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ……………………………………..

2.12 Batasan Penyesuaian Diri ………………………………………………………


2.13 Bentuk Penyesuain Diri …………………………………………………………

2.14 Reaksi Penyesuaian Diri ………………………………………………………...

2.15 Definisi Spiritualitas …………………………………………………………….

2.16 Keterkaitan Spiritualitas dengam Sehat Sakit ………………………………..

2.17 Aspek Kesehatan Spiritualitas …………………………………………………

2.18 Karakteristik Kesehatan Spiritualitas ………………………………………...

2.19 Konsep Spiritualitas …………………………………………………………….

2.20 Spiritualitas dan Keperawatan …………………………………………………

2.21 Elemen-Elemen dalam Spiritual ……………………………………………….

2.22 Kesehatan Spiritual …………………………………………………………….

2.23 Masalah Spiritual ……………………………………………………………….

2.24 Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan spiritualitas ……………………........

2.25 Istilah yang Terkait Spiritualitas ……………………………………………….

2.26 Asuhan Keperawatan …………………………………………………………...

2.27 Pengertiam Seksualitas …………………………………………………………

2.28 Fungsi Seksualitas ………………………………………………………………

2.29 Sikap Teehadap kesehatan Seksualitas ………………………………………...

2.30 Kehamilan dan Seksualitas ……………………………………………………..

2.31 Masalah yang Berhubungan dengan Seksualitas ……………………………..

2.32 Faktor-Faktor yang mempemgaruhi Seksualitas ……………………………..

2.33 Orientasi Seksual ………………………………………………………………..


2.34 Identitas, Role, Dan Ekspresi Gender ………………………………………….

2.35 Diagnos Keperawatan …………………………………………………………..

BAB 3 :PENUTUP ……………………………………………………………………

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………….

3.2 Saran ………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………

LAMPIRAN …………………………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makluk biopsikososial yang unik dan menerapkan
sistem terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan
oleh setiap individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan
tersebut disebut sehat. Sedangkan orang dikatakan sakit apabila gagal dalam
mempertahankan keseimbangan dirinya dan lingkungan. Kilen masuk rumah sakit
dan dirawat mengalami sters fisik dan mental baik dari diri sendiri, lingkungan,
maupun keluarga. Pada heirarki kebutuhan Maslow dinyatakan bahwa tingkat
yang paling tinggi dalam kebutuhan manusia adalah tercapainya aktualisasi diri.
Untuk mencapai aktualisasi diri diperlukan konsep diri yang sehat.
Perawat memandang klien sebagai makhluk bio-psiko-sosiokultural
dan spiritual yang berespon secara unik terhadap perubahan kesehatan atau pada
keadaan krisis. Perawat berupaya untuk membantu memenuhi kebutuhan spiritual
klien sebagai bagian dari kebutuhan menyeluruh klien, antara lain dengan
memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spiritual klien tersebut, walaupun perawat
dan klien mempunyai keyakinan spiritual atau keagamaan yang berbeda.
Penting sekali bagi seorang perawat memahami perbedaan antara
spiritual, keyakinan dan agama untuk menghindarkan salah pengertian yang akan
mempengaruhi pendekatan perawat dengan pasien. Spiritualitas merupakan suatu
konsep yang unik pada masing-masing individu. manusia adalah makhluk yang
mempunyai aspek spiritual yang akhir-akhir ini banyak perhatian dari masyarakat
yang disebut kecerdasan spiritual yang sangat menentukan kehagiaan hidup
seseorang.
Perawat memahami bahwa aspek ini adalah bagian dari pelayanan
yang komprehensif. Karena selama dalam perawatan, respon spiritual
kemungkian akan muncul pada pasien. Pasien yang sedang dirawat dirumah sakit
membutuhkan asuhan keperawatan yang holistik dimana perawat dituntut untuk
mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif bukan hanya pada
masalah secara fisik namun juga spiritualnya. Untuk itulah materi spiritual
diberikan kepada calon perawat guna meningkatkan pemahaman dan kemampuan
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan kebutuhan
spiritual.
Manusia adalah makhluk biopsikososial yang unik dan menerapkan
system terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk
mempertahankan keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan
oleh setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
keadaan ini disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit apabila
gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan lingkungannya. Sebagai
makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan, mereka harus
membina hubungan interpersonal positif. Psikososial adalah setiap perubahan
dalam kehidupan individu, baik yang bersifat psikologik maupun sosial yang
mempunyai pengaruh timbal balik. masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang
mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan
atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa
(Depkes,2011). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa salah satu upaya preventif
kesehatan jiwa yakni mencegah timbulnya dampak psikososial. Sementara itu,
menurut Undang-undang tersebut yang dimaksud dengan “masalah psikososial”
adalah masalah sosial yang mempunyai dampak negatif dan berpengaruh terhadap
munculnya gangguan jiwa atau masalah sosial.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Konsep diri ?
2. Ciri-ciri Perilaku pasien dengan gangguan konsep diri ?
3. Pengertian Rentang respon konsep diri ?
4. Jelaskan Perilaku yang berhubungan dengan respon konsep diri !
5. Bagaimana Penilai stressos terkait dengan respon konsep diri ?
6. Pengertian Sumber dan mekanisme koping terkait respon konsep diri ?
7. Pengertian Mekanisme koping ?
8. Hakikat konsep diri ?
9. Pengertian Terbentuknya konsep diri ?
10. Jelaskan Proses pekembangan konsep diri !
11. Factor yang mempengaruhi konsep diri ?
12. Jelaskan Batasan penyesuaian diri !
13. Jelaskan Bentuk penyesuaian diri !
14. Bagaimana Reaksi penyesuaian diri ?
15. Pengertian Definisi spiritualitas ?
16. Pengertian Ketertarikan spiritualitas dengan sehat sakit ?
17. Pengertian Aspek Kesehatan spiritualitas ?
18. Jelaskan Karakterisitik Kesehatan spiritualitas !
19. Pengertian Konsep spiritualitas ?
20. Jelaskan Spiritualitas dan keperawatan !
21. Jelaskan Elemen-elemen dan spiritual !
22. Pengertian Kesehatan spiritual ?
23. Jelaskan Masalah spiritual !
24. Factor yang mempengaruhi Kesehatan spiritualitas !
25. Istilah terkait spiritualitas !
26. Asuhan keperawatan !
27. Pengertian seksualitas ?
28. Jelaskan Fungsi seksualitas ?
29. Jelaskan Sikap terhadap Kesehatan seksualitas !
30. Pengertian Kehamilan dan seksualitas ?
31. Masalah yang berhubungan dengan seksualitas ?
32. Faktor-faktor yang mempengaruhi seksualitas !
33. Pengertian Orientasi seksual ?
34. Pengertian Idnntitas, role, dan ekspresi gender ?
35. Diagnose keperawatan !

Tujuan
BAB II

PEMBAHASAAN

2.1. Konsep Diri

Konsep diri merupakan semua ide, pikiran, kepercayaan dan penilian


yang diketahui individu tentang dirinya yang mempengaruhi individu dalam
berinteraksi dengan lingkungannya (Stuart, 2016). Konsep diri juga dapat
diartikan sebagai pandangan individu terhadap dirinya sendiri. Konsep diri
menggambarkan kondisi mental individu terhadap dirinya sendiri sehingga
individu berusaha untuk mempertahankan dan memperbaiki ini (Acocella, J.R
& Calhoun, 1990). Sedangkan menurut Mehrad (2016), konsep diri merupakan
pendapat, sikap, dan perasaan yang dipelajari dari diri sendiri dan dianggap
benar tentang dirinya. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu
bagaimana individu mengamati disirnya sendiri, bagaimana individu berfikir
tentang dirinya sendiri, bagaimana individu menilai dirinya sendiri, dan
bagaiamana individu berusaha dengan berbagai cara untuk menyempurnakan
dan mempertahan diri (Mehrad, 2016).

Menurut Stuart, (2016) Konsep diri memiliki beberapa komponen yang


saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Adapun komponen konsep
diri tersebut adalah :

1. Identitas Diri

Identitas diri adalah kesadaran diri yang diperoleh dari observasi


dan penilaian terhadap diri, sehingga individu menyadari bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Seseorang yang mempunyai
perasaan dentitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda
dngan orang lain, kemandirian timbul dari persaan berharga (respek
terhadap diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri. Menurut
Erikson, (1968) dalam Suliswati, (2005) identitas diri ini berkembang
sejak masa kanak – kanak beriringan dengan perkembangan konsep
diri. Berikut ciri – ciri individu dengan identitas diri positif :

a. Mengenal diri sebagai organisme yang utuh dan terpisah dari orang lain.

b. Mengakui jenis kelamin sendiri.

c. Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai satu kesatuan yang


selaras.

d. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat atau relevan.

e. Menyadari hubungan masa lalu, masa sekarang dan masa akan dating.

f. Mempunyai tujuan yang bernilai dan realistik.

2. Citra Diri/Body Image

Citra diri adalah sikap individu terhadap dirinya sendiri baik


yang disadari maupun yang tidak disadari, terkait dengan persepsi
masa lalu atau sekarang mengenai ukuran, bentuk, fungsi, penampilan
dan potensi tubuh. Citra diri ini terus berubah seiring dengan
pengalamn baru yang terjadi dalam hidupnya. Citra tubuh, penampilan
dan konsep diri yang positif berkaitan satu sama lainya. Individu yang
mampu menerima tubuhnya lebih mungkin memiliki harga diri yang
tinggi dari pada individu yang tidak suka tubuhnya.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi citra diri seseorang,
munculnya stressor yang dapat mengganggu integritas gambaran diri
seperti : efek pembedahan : amputasi, kegagalan fungsi tubuh : buta,
tuli, efek penyakit dan proses penuaan dan lain- lain.

3. Ideal diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana


seharusnya individu bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Ideal
diri akan mewujudkan cita – cita berdasarkan norma sosial yang ada di
masyarakat. Individu cenderung menetapkan tujuan sesuai dengan
kemampuan diri, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa
cemas. Ideal diri terbentuk semenjak kanak – kanak dan terus
berkembang sesuai dengan daur kehidupan individu itu sendiri.

Ideal diri ini penting untuk mempertahankan kesehatan dan


keseimbangan mental. Ada beberapa factor yang mempengaruhi ideal
diri individu yaitu :

a. Menetapkan ideal diri sesuai dengan kemampuan

b. Factor kultur dibandingkan dengan standar orang lain.

c. Hasrat melebihi orang lain

d. Hasrat untuk berhasil

e. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistik

f. Hasrat untuk menghindari kegagalan

g. Adanya perasaan cemas dan rendah diri

4. Peran Diri
Peran diri adalah serangkaian pola sikap, perilaku, nilai dan
tujuan yang diharapakan oleh masyarakat yang dikaitakan dengan
fungsi individu dalam kelompok social/ masyrakat. Setiap individu
akan berperan sesuai dengan fungsi dan posisi individu yang dapat
berubah sepanjang daur kehidupannya. Ada beberapa stressor yang
dapat mengganggu peran diri seperti konflik peran, peran yang tidak
jelas, peran yang tidak sesuai dan peran yang berlebihan.

5. Harga Diri

Harga diri adalah penilaian diri pribadi terhadap hasil yang


dicapai sesuai dengan ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri
dan orang lain, aspek utamanya adalah dicintai dan menerima
penghargaan dari orang lain. Harga diri yang tinggi merupakan hasil
dari peran diri yang memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan ideal diri
(Keliat, 2010).

2.2. Perilaku Pasien dengan Gangguan Konsep Diri

Perilaku yang adaptif :

1. Syok Psikologis
Merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat
terjadi pada saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan sebagai
reaksi terhadap ansietas. Mekanisme koping yang digunakan seperti
mengingkari, menolak dan proyeksi untuk mempertahankan diri.
2. Menarik diri
Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan, tetapi
karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara
emosional. Klien menjadi tergantung, pasif, tidak ada motivasi dan
keinginan untuk berperan dalam perawatannya.
3. Penerimaan atau pengakuan secara bertahap
Setelah klien sadar akan kenyataan, maka respon kehilangan atau
berduka muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi
dengan gambaran diri yang baru.

Perilaku yang maladaptive:


1. Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah.
2. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh.
3. Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri.
4. Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh.
5. Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang
hilang.
6. Mengungkapkan keputusasaan.
7. Mengungkapkan ketakutan ditolak.
8. Depersonalisasi.
9. Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh

2.3. Rentang Respon Konsep Diri

Respon konsep diri dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada lima
komponen konsep diri diatas, respon dapat berfluktuasi mulai dari rentang
respon adaptif sampai maladaptif.
1. Aktualisasi diri

Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
terhadap pencapaian kesuksesan yang nyata dan dapat diterima oleh
lingkungan.

2. Konsep diri positif

Dikatakan individu memiliki konsep diri positif apabila individu


menyadari hal – hal yang positif dan yang negative yang ada pada dirinya
sehingga individu mampu mencapai aktualisasi dirinya.

3. Harga diri rendah

Kondisi dimana individu cenderung menilai negative terhadap diri sendiri


dan merasa lebih rendah dari orang lain.

4. Kerancuan identitas

Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam mengintegrasikan


aspek – aspek identitas masa kanak – kanak kedalam kematangan aspek
psikososial kperibadian pada masa dewasa.

5. Depersonalisasi

Depersonalisasi adalah persaan yang tidak realistik terhadap diri sendiri


yang berhubungan dengan kecamasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan diri sendiri dengan orang lain.
2.4. Perilaku yang Berhubungan dengan Respon Konsep Diri

Konsep diri adalah landasan kepribadian yang berkaitan erat dengan ansietas
dan depresi, masalah dalam hubungan, bertindak dan perilaku merusak diri
sendiri. Individu yang memiliki kepribadian sehat akan mampu memahami diri
sendiri dan lingkungan secara akurat sehingga terciptanya rasa harmonis dan
kedamaian bathin. Adapun karakteristik kepribadian yang sehat itu adalah :

1. Memiliki citra tubuh positif dan tepat

2. Ideal diri yang realistik

3. Konsep diri positif

4. Harga diri yang tinggi

5. Penampilan peran yang memuaskan

6. Rasa identitas yang jelas

Sedangkan individu yang memiliki konsep diri negative maka akan


memberikan respon perilaku sesuai dengan factor penyebab dan factor
pencetus yang menyababkan adanya gangguan pada komponen konsep diri,
seperti :

1. Perilaku berhubungan dengan harga diri rendah :

Menurut Stuart & Sundeen, (1998) ada sepuluh respon perilaku individu
yang berhubungan dengan harga diri rendah yaitu :

a. Mengejek dan mengkritik diri sendiri

b. Merendahkan diri sendiri

c. Rasa bersalah terhadap diri sendiri

d. Manifestasi fisik
e. Menunda keputusan

f. Menarik diri dari realita

g. Gangguan berhubungan

h. Merusak diri

i. Melukai orang lain

j. Menolak tekanan

2. Perilaku yang berhubungan dengan kekacauan identitas terjadi karena kegagalan


mengintegrasikan berbagai identifikasi pada masa kanak – kanak secara selaras
dan harmonis. Perilaku yang berhubungan dengan indentias kabur adalah
hubungan interpersonal yang kacau atau masalah hubungan intim, biasanya
individu akan mengalami kesulitan untuk tampil sesuai dengan jenis kelaminnya.

3. Perilaku yang berhubungan dengan depersonalisasi

Stressor yang dialami individu menimbulkan respon kecemasan bahkan


kepanikan yang merupakan respon maladaptif sehingga individu menarik
diri dari realita. Individu merasa asing dengan diri sendiri, sulit
membedakan dirinya dengan orang lain dan lingkungan. Dalam keadaan
lanjut individu akan mengalami depresi dan dapa ditemukan pada
skizoprenia. Menurut Permatasari and Rosyidi (2020) individu yang
mengalami gangguan konsep diri akan menunjukan perilaku seperti :

a. Emosi yang tidak stabil

b. Hubungan interpersonal yang tidak baik

c. Perilaku impulsive dan cenderung merusak diri sendiri

d. Perasaan atau penilaian tentang diri yang tidak stabil


2.5. Penilai Stressor Terkait Respon Konsep Diri

Penilaian terhadap stresor merupakan penentuan arti dan pemahaman


terhadap pengaruh situasi yang penuh dengan stres bagi individu. Penilaian
terhadap stresor ini meliputi respons kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan
respons social. Masalah konsep diri dipengaruhi oleh stressor psikologis,
sosiologis, atau fisiologis, namun unsur penting adalah persepsi klien terhadap
stressor apakah stressor tersebut berupa ancaman bagi individu atau tidak
(Luyckx et al., 2016).

Stressor yang mempengaruhi harga diri rendah dan ideal diri adalah
penolakan dan kurang penghargaan dari orang tua dan orang yang berarti, pola
asuh yang tidak tepat, misalnya terlalu dilarang, dituntut, dituruti, persaingan
dengan saudara, kesalahan atau kegagalan yang berulang, cita – cita yang tidak
bisa dicapai, gagal bertanggung jawab terhadap diri sendiri (Stuart & Sundeen,
1998).

Harga diri rendah dapat terjadi karena kegagalan atau berduka


disfungsional dan individu mengalami gangguan ini mempunyai koping yang
maladaptive. Resiko yang dapat terjadi pada individu dengan gangguan harga
diri rendah adalah isolasi social, menarik diri karena ada perasaan malu kalau
kekurangannya diketahui orang lain (Stuart & Sundeen, 1998)

2.6. Sumber dan Mekanisme Koping Terkait Respon Konsep Diri

a. Sumber Koping

Sumber koping adalah hal– hal yang dapat membantu individu agar
dapat menghadapi stressor yang ada. Adapun sumber koping tersebut bisa
berasal dari asset ekonomi, keyakinan spiritual, sosisal support, dan keyakinan
yang positif (Stuart, 2016). Pada individu dengan gangguan konsep diri
(konsep diri negatif) dapat menggunakan berbagai mekanisme pertahan ego
untuk melindungi diri dari kekurangan yang dimiliki. Mekanisme pertahanan
ego adalah strategi psikologis yang dilakukan individu untuk melindungi
egonya, mekanisme ini muncul secara sadar ataupun tidak sadar ketika
individu berusaha untuk melindungi diri dari kecamasan yang dipicu oleh
adanya reaksi social yang tidak menyenangkan (Permatasari and Rosyidi,
2020).

2.7. Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam


menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dari situasi yang
mengancam baik secara okgnitif maupun secara perilaku. Mekanisme koping
pada gangguan konsep diri dibagi menjadi dua yaitu :

1. Koping Jangka Pendek

a. Aktivitas yang memberikan kesempatan lari sementara dari situasi


penyebab/ stressor. Misalnya pemakaian obat, olah raga berat, ikut
music rock.

b. Aktivitas yang memberikan kesempatan untuk mengganti identitas.


Misalnya ikut kelompok tertentu untuk mendapat identitas kelompok
tersebut.

c. Aktivitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara


terhadap konsep diri atau identitas diri yang kabur. Misalnya aktivitas
yang kompentitif, olah raga.

d. Aktivitas yang memberi arti kehidupan, misalnya penjelasan tentang


keisengan akan menurunya gairah dan tidak berarti pada diri sendiri
dan orang lain.
e. Koping jangka panjang

Koping jangka pendek bisa berlanjut menjadi koping jangka panjang.


Penyelesaian masalah yang positif akan menghasilkan ego identitas dan
keunikan individu. Sementara koping yang maladaptive akan membentuk
identitas negative, jelas bertentangan dengan nilai – nilai yang ada
dimasyarakat. Dalam hal ini individu kan mencoba untuk mendefinsiskan
diri dengan cara antisosial. Misalnya pada remaja bisa saja mengatakan
“saya lebih baik menjadi anak yang badung daripada tidak menjadi apa –
apa”. Individu yang mengalami gangguan konsep diri paa usia lanjut
menggunakan ego oriented reaction, yang digunakan adalah fantasi,
disosiasi, proyeksi, perpindahan, mengubah kemarahan terhadap diri dan
acting out. Dalam keadaan yang semakin berat dapat terjadi deviasi
perilaku dan kegagalan penyesesuaian seperti: psikosis, neurosis, obesitas,
anoreksia, nervosa, bunuh diri, criminal, persetubuhan dengan siapa saja
dan penganiayaan (Stuart, 2016).

2.8. Hakikat Konsep Diri

Calhaoun dan Acocella (1995) mendefinisikan konsep diri sebagai


gambaran mental diri seseorang . Hurlock (1979) mengatakan bahwa konsep diri
merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan
dari keyakinan fisik, psikologis, social, emosional aspiratif , dan prestasi yang
mereka capai. Burn (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap
diri sendiri sendiri secara keseluruhan yang mencangkup pendapatan nya terhadap
diri sendiri , pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain , dan
pendapatannya tentang hal – hal yang di capai . Definisi lain di kemukakan oleh
Rahmat, Konsep diri bukan hanya gambaran deskriptif , melainkan juga penilaian
individu mengenai dirinya sendiri.
Konsep diri adalah apa yang di pikirkan dan di rasakan tentang dirinya
sendiri. Ada dua konsep diri, yaitu konsep diri komponen kognitif dan konsep diri
komponen afektif . Komponen kognitif di sebut self image dan komponen aktif di
sebut self esteem. Komponen kognitif adalah pengetahuan individu tentang
dirinya mencangkup pengetahuan “siapa saya” yang akan memberikan gambaran
tentang diri saya . Gambaran ini disebut citra diri. Sementara itu , komponen
afektif merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang akan
membentuk bagaimana penerimaan terhadap diri dan harga diri individu.

Jadi , dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli dapat
disimpulkan bahwa konsep diri adalah apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh
seseorang mengenai dirinya sendiri.

2.9. Terbentuknya Konsep Diri

Konsep diri adalah sistem operasi yang menjalankan komputer mental


yang mempengaruhi kemampuan berfikir seseorang. Konsep diri ini setelah
terinstall, akan masuk di pikiran bawah sadar dan mempunyai bobot pengaruh
sebesar 88 % terhadap level kesadaran seseorang dalam suatu saat. Semakin baik
konsep diri, maka semakin mudah seseorang untuk berhasil. Demikian juga
sebaliknya.

Proses pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil. Masa
kritis pembentukan konsep diri adalah saat anak masuk di sekolah dasar. Kita
dapat melihat konsep diri seseorang dari sikap mereka. konsep diri yang jelek
akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba hal-hal baru,
tidak berani mencoba hal yang menantang, takut gagal, takut sukses, merasa diri
bodoh, rendah hati,merasa diri tidak berharga, merasa tidak layak untuk sukses,
pesimis dan banyak perilaku interior lainnya.
Sebaliknya, orang yang konsep dirinya baik akan selalu optimis, berani
mencoba hal-hal baru, berani sukses, berani gagal, percaya diri, antusias, merasa
diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berfikir positif dan
dapat menjadi seorang pemimpin yang handal.

2.10. Proses Perkembangan Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella (1995), ketika lahir manusia tidak memiliki
konsep diri, pengetahuan tentang diri sendiri, harapan terhadap diri sendiri, dan
penilaian pada diri sendiri.Artinya, individu tidak sadar dia adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari lingkungan.

Sensasi yang dirasakan oleh anak pada waktu masih bayi tidak disadari
sebagai suatu yang dihasilkan dari interaksi antara dua factor yang masingmasing
berdiri sendiri, yaitu lingkungan dan dirinya sendiri. Namun, keadaan ini tidak
berlangsung lama, secara berlahan-lahan individu akan dapat membedakan antara
“aku” dan “bukan aku”. Pada saat itu, individu mulai menyadari apa yang
dilakukan seiring dengan menguatnya pancaindra. Individu dapat membedakan
dan belajar tentang dunia yang bukan aku.Berdasarkan hal ini individu
membangun konsep diri.

Loncatan kemajuan yang sangat besar dalam perkembangan konsep diri


terjadi ketika individu mulai menggunakan bahasa, yakni sekitar umur satu
tahun. Seorang individu akan memperoleh informasi yang lebih banyak
tentang dirinya dengan memahami perkataan orang lain. Pada saat itulah
konsep diri, baik yang positif maupun negative mulai terbentuk. Hal yang
hamper sama dikemukakan oleh Bee (1981) yang mengatakan bahwa konsep
diri berkembang. Pada mulanya anak mengobservasi fungsi dirinya sendiri
seperti apa yang mereka lihat pada orang lain.

Willey mengatakan bahwa sumber pokok dari informasi untuk konsep diri
adalah interaksi dengan orang lain. Tokoh pertama yang mengatakan fakta ini
adalah C.H. Cooley yang memperkenalkan pengertian diri yang tampak
seperti cermin. Menurut Cooley kita menggunakan orang lain untuk
menunjukkan siapa diri kita. Kita membanyangkan bagaimana pandangan
mereka terhadap kita, penampilan, dan penilaian tersebut menjadi gambaran
diri kita.Gambaran diri kemudian berkembang dalam dua tahap. Pertama, kita
menginternalisasikan sikap orang lain terhadap diri kita. Kedua, kita
menginternalisasikan norma masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri adalah
ciptaan social dan hasil belajar dari interaksi dengan orang lain.

Sedikit berbeda dengan C.H. Cooley, Hurlock (1979) membagi konsep diri
berdasarkan perkembangannya menjadi konsep diri primer primer dan konsep
diri sekunder. Konsep diri primer adalah konsep diri yang terbentuk
berdasarkan pengalaman anak di rumah, berhubungan dengan anggota
keluarga yang lain seperti orang tua dan saudara. Konsep diri sekunder adalah
konsep diri yang terbentuk oleh lingkungan luar rumah, seperti teman sebaya
atau teman bermain.

Calhoun dan Acocella (1979), mengemukakan tentang sumber informasi


yang penting dalam pembentukan konsep diri antara lain: (1) orang tua,
dikarenakan orang tua adalah kontak social yang paling awal dan yang paling
kuat dialami oleh individu ; (2) teman sebaya, teman sebaya menempati
peringkat kedua karena selain individu membutuhkan cinta dari orang tua
juga membutuhkan penerimaan dari teman sebaya dan apa yang diungkapkan
pada dirinya akan menjadi penilain terhadap diri individu tersebut ; (3)
masyarakat, dalam masyarakat terdapat norma-norma yang akan membentuk
konsep diri pada individu, misalnya pemberian perlakuan yang berbeda pada
laki-laki dan perempuan akan membuat laki-laki dan perempuan berbeda
dalam berperilaku.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri tidak berkembang
dengan sendirinya, tetapi berkembang dengan adanya interaksi dengan
individu yang lain khususnya dengan lingkungan social.

2.11. Faktor Yang Mempengarui Konsep Diri

Menurut Pudjijogyanti (Yulius Beny Prawoto, 2010: 23-26)


mengemukakan beberapa factor yang mempengaruhi perkembangan konsep
diri sebagai berikut.

1. Peranan citra fisik


Tanggapan mengenai keadaan fisik seseorang biasanya
didasari oleh adanya keadaan fisik yang dianggap ideal oleh orang
tersebut atau pandangan masyarakat umum. Seseorang akan berusaha
untuk menacapai standard di mana ia dapat dikatakan mempunyai
keadaan fisik ideal agar mendapat tanggapan positif dari orang lain.
Kegagalan atau keberhasilan mencapai standar keadaan fisik ideal
sangat mempengaruhi pembentukan citra fisik seseorang.

2. Peranan jenis kelamin

Peranan jenis kelamin salah satunya ditentukan oleh perbedaan


biologis antara laki-laki dan perempuan.Masih banyak masyarakat
yang menganggap peranan perempuan hanya sebatas urusan
keluarga.Hal ini menyebabkan perempuan masih menemui kendala
dalam mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Sementara di sisi lain, laki-lak mempunyai kesempatan yang lebih
besar untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.

3. Peranan perilaku orang tua

Lingkungan pertama dan utama yang mempengaruhi perilaku


seseorang adalah lingkungan keluarga. Dengan kata lain, keluarga
merupakan tempat pertama dalam pembentukan konsep diri seseorang.
Salah satu hal yang terkait dengan peranan orang tua dalam
pembentukan konsep diri adalah cara orang tua dalam memenuhi
kebutuhan fisik dan psikologis anak.

4. Peranan factor social

Interaksi seseorang dengan orang lain dan lingkungan


sekitarnya merupakan salah satu hal yang membentuk konsep diri
orang tersebut. Struktur, peran, dan status social seseorang menjadi
landasan bagi orang lain dalam memandang orang tersebut.

Pendapat tentang factor-faktor eksternal yang mempengaruhi


perkembangan konsep diri juga dikemukakan oleh Amarllia Puspasari
(2007, 43-45) sebagai berikut.

1. Pengaruh keterbatasan ekonomi

Lingkungan dengan keterbatasan ekonomi akan menghasilkan


permasalahan perkembangan yang berkaitan dengan pertumbuhan
aktualisasi diri. Dengan kata lain, kesulitan ekonomi pada seseorang
akan menghasilkan konsep diri yang rendah.

2. Pengaruh kelas social

Pengaruh kelas social dapat digambarkan secara sederhana


pada kelompok minoritas yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan akibat rendahnya pendidikan atau tidak ada
kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut dapat
menimbulkan perasaan tertinggal dari peradaban yang ada.Kemudian
mereka cenderung berperilaku melindungi diri dalam
mempertahankan haknya.

Berperilaku melindungi diri dalam mempertahankan haknya.

3. Pengaruh usia

Pada beberapa individu, konsep diri dapat meningkay atau


menurun sesuai kondisi atau pengalaman dari individu itu sendiri.Pada
anak yang usianya terbilang muda, konsep diri yang dimiliki terhadp
hubungan dengan orang tuanya tergolong positif terutama pada tipe
hubungan yang berisi unsur protektif antara orang tua dengan
anaknya. Pada usia ini, peran orang tua masih cukup berat masuk ke
dalam diri anak.

Sedangkan anak dengan usia yang lebih dewasa memiliki deskripsi


diri yang akan berbeda antara hubungan dirinya dengan orang tuanya
sehingga tingkat intervensi orang tua terhadap anak menjadi terbatas.

Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa factor-


faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep
diri seseorang dibedakan menjadi factor internal yang berasal dari
dalam diri dan factor eksternal yang berasal dari luar diri. Factor yang
berasal dari dalam diri meliputi citra fisik, jenis kelamin, peranan
orang tua dan factor social. Sedangkan factor yang berasal dari luar
diri meliputi keterbatasan ekonomi, kelas social, dan usia.

2.12. Batasan Penyesuaian Diri

Menurut Mustafa Fahmi, penyesuaian adalah “Suatu proses dinamik terus


menerusyang bertujuan untuk mengubah kelakuan guna mendapatkan hubungan yang
lebih serasi antara diri dan lingkungan” (Fahmi, 1977:24).W.A. Gerungan dalam
bukuPsikologi Sosial-nya, menjelaskan :Menyesuaikan diri itu kami artikan dalam
artinya yang luas, dan dapat berarti: mengubah diri sesuai dengan lingkungan, tetapi
juga: mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Penyesuaian diri
dalam artinya yang pertamadisebut juga penyesuaian diri yang autoplastis (auto =
sendiri, plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua juga disebut
penyesuaian diri yang aloplastis (alo = yang lain). Jadi, penyesuaian diri ada artinya
yang “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada artinya yang
“aktif”, dimana kita memengaruhi lingkungan (Gerungan, 1987:55).

Sementara itu, James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella memberikan definisi
yang lebih plastis mengenai penyesuaian diri ini. Dikatakan, “Penyesuaian dapat
didefinisikan sebagai interaksi Anda yang kontinu dengan diri Anda sendiri, dengan
orang lain, dan dengan dunia Anda” (Calhoun dan Acocella, 1990:13). Menurut
pandangan mereka, ketiga faktor itu secara konstan mempengaruhi Anda.Diri Anda
sendiri – yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada Anda: tubuh Anda,
perilaku Anda, dan pemikiran serta perasaan Andan- adalah sesuatu yang Anda
hadapi setiap detik Anda.Adapun orang lain, menurut Calhoun dan Acocella, jelas
bahwa mereka berpengaruh besar pada kita, sebagaimana kita juga berpengarh besar
terhadap mereka. Sama juga, dunia kita – penglihatan dan penciuman serta suara
yang mengelilingi kita saat kita menyelesaikan urusan kita – memengaruhi kita, dan
kita memengaruhi mereka.

Dari penjelasan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri itu
intinya adalah “Kemampuan untuk membuat hubungan yang memuaskan antara
orang dan lingkungan”.Lingkungan di sini adalah semua pengaruh terhadap seorang
individu. Yang dapat mempengaruhi kegiatannya untuk mencapai ketenangan jiwa
dan raga dalam kehidupan. Lingkungan tersebut terdiri dari tiga aspek, yaitu :

1. Lingkungan Alamiah adalah alam luar dan semua yang melingkungi


individu yang vital dan alami, seperti pakaian, tempat tinggal, makanan, dan
sebagainya.

2. Lingkungan Sosial dan KebudayaanAdalah masyarakat di mana


individu itu hidup, termasuk anggota-anggotanya, adat kebiasaannya, dan
peraturan yang mengatur hubungan masing-masing individu antara satu sama
lain.

3. Diri (the self)Tempat individu harus mampu berhubungandengannya


dan seyogianya mempelajari: bagaimana cara mengaturnya, menguasainya,
dan mengendalikan keinginan serta tuntutannya apabila tuntutandan keinginan
tersebut tidak patut atau tidak masuk akal.

2.13. Bentuk Penyesuaian Diri


Bentuk-bentuk penyesuaian diri ada dua kelompoknya :

1. Yang Adaptive.

Sering dikenal dengan istilah adaptasi. Bentuk penyesuaian diri ini


lebih bersifat badani. Artinya perubahan-perubahan dalam proses-proses
badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan Misalnya
berkeringat adalah usaha tubuh untuk “mendinginkan” tubuh dari suhu
yang panas atau dirasakan terlalu panas. Di tempat-tempat yang dingin kita
sebaliknya harus berpakaian tebal agar tubuh menjadi “hangat”.
Berkeringat ataupun berpakaian tebal adalah juga bentuk penyesuaian
terhadap lingkungan. Kalau pada contoh-contoh di atas penyesuaian diikuti
oleh adanya perubahan pada proses-proses badani yang berakibat tidak
baik, maka penyesuaian ini dapat pula terjadi tanpa kepentingan tubuh
secara langsung. Ini dapat digambarkan dengan contoh berikut : Seorang
yang mau mendirikan rumah di pinggir pantai harus membuat dinding dan
atap rumah ynag kuat, agar tidak roboh oleh angin pantai. Dengan
demikian rumah yang didirikan itu sesuai dengan keadaan
lingkungannya.Contoh ini sebenarnya merupakan penyesuaian yang tidak
langsung.

2. Yang adjustive.

Suatu bentuk penyesuaian yang lain, dimana tersangkut kehidupan


psikis kita, biasanya disebut sebagai bentuk penyesuaian yang adjustive.
Misalnya bila kita harus pergi ke tetangga atau teman yang tengah berduka
cita karena kematian salah seorang anggota keluarganya, maka mungkin
sekali wajah kita dapat diatur sedemikian rupa sehingga menampilkan
suatu wajah duka, sebagai tanda ikut menyesuaikan terhadap suasana sedih
dalam keluarga tersebut. Mungkin kita benar-benar ikut bersedih hati,
tetapi mungkin juga oleh kemampuan kita membawakan diri, kita tampil
sebagai orang yang benar sedih sekalipun keadaan sebenarnya tidak
demikian, malah mungkin sebaliknya. Karena tersangkutnya kehidupan
psikis dalam penyesuaian yang adjustive ini, maka dengan sendirinya
penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah-laku manusia. Sebagaimana
kita ketahui , tingkah laku manusia sebagian besar besar dilatarbelakangi
oleh al-hal psikis ini. Terkecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk
gerakan-gerakan yang sudah menajdi kebiasaan atau gerakan-gerakan
refleks. Maka penyesuaian ini adalah penyesuaian diri tingkah laku
terhadap lingkungan dimana di dalam lingkungan ini terdapat aturan-
aturan atau norma-norma. Dan singkatnya menjadi : penyesuaian terhadap
norma-norma.

2.14. Reaksi Penyesuaian Diri

Reaksi-reaksi penyesuaian diri , dalam menghadapi marah, kecewa,


atau tidak puas. Beberapa kekecewaan mungkin mengahsilkan reaksi-
reaksi penyesuaian yang lunak, reaksi-reaksi lain yang mungkin ekstrim
dan emosiaonal. Intensitas penyesuaian tertentu pada umumnya tergantung
pada faktor tipe kegiatan kekecewaan dan pengalaman sebelumnya dari
orang yang kecewa. Rekasi orang-orang yang berupaya menanggulangi
kekecewaan adalah ;

1. Rasionalisme (rasionalization)

Ini terjadi bila seorang individu berupaya memberi penjelasan yang


menyenangkan (rasional), terhadap tindakannya. Misalnya, Ibu
memukul anaknya, si Ibu memberikan alasan bahwa hal itu
dilakukannya untuk mendidiknya/supaya anak di waktu yang akan
datang bisa bertingkah laku lebih baik.

2. Kompensasi (Compensation)

Usaha untuk menutupi kelemahan di salah satu bidang dengan


membuat prestasi yang tinggi dibidang lain. Dengan demikian, ia
terhindar dari ejekan atau rasa rendah diri. Misalnya, seorang gadis
yang kurang cantik, tidak berhasil menarik perhatian orang, tetepai ia
belajar tekun sekali sehingga walaupun ia gagal menarik perhatian
orang dengan kecantikannya, ia tetap memperoleh kepuasan karena
orang mengagumi kepandaiannya.

3. Negativisme (negativisme)

Negativisme adalah suatu reaksi yang dinyatakan sebagai


perlawanan bawah sadar pada orang-orang atau objek lain.

4. Kepasrahan (Resignation)

Kepasrahan adalah istilah psikologi yang umumnya merujuk


pada suatu tipe kekecewaan mendalam yang sangat kuat, yang ada
kalanya dialami oleh individuindividu. Kondisinya dapat dinyatakan
sebagai keadaan menyerah, menarik diri dan keterlibatan seseorang
dengan suatu keadaan khusus. Misalnya, seornag siswa yang harus
menyelesaikan tugas, yang harus sudah selesai dalam waktu 1 hari,
kemudian mengalami kendala dan kesukaran, sehingga siswa ini
menyerah dan tidak menyelesaikan tugasnya.
5. Pelarian (flight)
Pelarian yakni melarikan diri dari situasi khusus yang
menyebabkan kekecewaan atau kegelisahan, berupa mengambil
suatu pekerjaan baru sebagai sarana untuk melarikan diri dari
pekerjaan yang sekarang, lari dari rumah, bahkan meminum
obat-obatan yang melebihi dosis.

2.15. Defenisi Spiritualitas

a) Dewit-Weaver (dalam Mc Ewen, 2004) mendefinisikan spiritualitas


sebagai bagaian dari dalam diri individu (core of individuals) yang tidak
terlihat (unseen, invisible) yang berkontribusi terhadap keunikan serta
dapat menyatu dengan nilai – nilai transendental (suatu kekuatan yang
maha tinggi/high power dengan Tuhan/God) yang memberikan makna,
tujuan, dan keterhubungan.

b) Spiritualitas juga didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk


membuat dan mencari makna melalui rasa keterhubungan pada dimensi
yang melebihi diri sendiri (Reed, dalam McEwen, 2004).

c) Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan sang


pencipta (Achir Yani, 2000).

d) Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda
bahasa latin "Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja
“Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya, untuk hidup
adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit.
Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang
bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik
atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri
dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan
bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan
seseorang. (dalam Tamami, 2011:19).

2.16. Keterkaitan spiritualitas dengan sehat sakit

Agama merupakan petunjuk prilaku karena di dalam agama terdapat


ajaran baik dan larangan yang dapat berdampak pada kehidupan dan kesehatan
seseorang, contohnya minuman beralkohol sesuatu yang dilarang agama dan
akan berdampak pada kesehatan bila dikonsumsi manusia. Agama sebagai
sumber dukungan bagi seseorang yang mengalami kelemahan dalam keadaan
sakit untuk membangkitkan semangat untuk sehat, atau juga dapat
mempertahankan kesehatan untuk mencapai kesejahteraan. Sebagai contoh,
orang sakit dapat memperoleh kekuatan dengan menyerahkan diri atau
memohon pertolongan dari Tuhannya.

2.17.Aspek kesehatan spiritualitas

Burkhard (1993) dalam buku Aspek Spiritual Dalam Keperawatan,


berpendapat bahwa spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:

1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau


ketidakpastian dalam kehidupan,

2. Cara dalam menemukan suatu arti dan tujuan hidup,

3. Memiliki kemampuan dalam menyadari kekuatan dalam untuk


menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,
4. Mempunyai perasaan terikat dengan diri sendiri dan dengan Pencipta.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta
kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai,
menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Carson, 1989).

2.18. Karakteristik kesehatan spiritualitas

Menurut Hamid (2009) terdapat empat karakterisitik dari spiritual


yakni:

1. Hubungan diri sendiri Seseorang yang memiliki spiritual yang baik


mengetahui siapa dirinya, apa yang bisa dilakukannya, mempunyai
sikap percaya pada diri sendiri, mempunyai ketenangan pikiran, percaya
pada masa depan dan harmoni dengan diri sendiri.

2. Hubungan dengan alam harmonis Kita dapat menilai tingkat spiritual


seseorang dengan melihat hubungannya dengan alam. Sesorang akan
mengetahui tentang iklim, margasatwa, pohon, tanaman, cara
berkomunikasi dengan alam, cara melindungi alam dan cara
mengabadikan alam apabila memiliki spiritual yang baik.

3. Hubungan dengan orang lain harmonis Menciptakan hubungan


harmonis dengan orang lain adalah karakteristik pada seseorang yang
memiliki spirtual yang baik. Berbagi waktu pengetahuan dan sumber
secara timbal balik dengan orang lain, mengasuh anak, mengasuh orang
tua, mengasuh orang sakit, mengunjungi orang lain dan melayat ke
rumah orang yang meninggal untuk meyakini kehidupan dan kematian
adalah cara seseorang yang baik secara spiritual untuk menciptakan
hubungan harmonis dengan orang lain. 4. Hubungan dengan ketuhanan
Melaksanakan kegiatan sembahyang dan berdoa dengan perlengkapan
keagamaan, serta bersatu dengan alam adalah cara berhubungan dengan
Tuhan pada seseorang memiliki spiritual yang baik

2.19. Konsep Spritualitas

Spiritualitas merupakan hal yang abstrak sekaligus subjektif, dengan beberapa


asumsi. Hal tersebut memiliki keterkaitan dari sesuatu di luar diri kita dan
menghubungkan sesuatu di dalam diri kita sendiri, dan orang-orang menafsirkan dan
mengalami spiritualitas mereka dengan cara yang berbeda melalui praktik agama
tertentu atau di luar sistem agama yang terorganisir atau dengan campuran tradisi
agama dan budaya serta filosofis yang berbeda (Paul Victor & Treschuk, 2020).
Spiritualitas juga mewakili nilai kunci fundamental bagi kemanusiaan, termasuk
perawat dan pasien. Ini dapat memberikan kontribusi positif bagi kesehatan dan
kesejahteraan pasien, keluarga dan komunitas dalam menangani penyakit dan
penyakit dan membantu mereka dalam memahami terapi yang diusulkan (Murgia et
al., 2020). Setiap individu mempunyai pemahaman tersendiri terkait dengan arti
spiritualitas hal tersebut dikarenan masingmasing individu telah memiliki cara dan
sudut pandang yang berbeda mengenai hal tersebut. Perbedaan tersebut lebih
dipengaruhi oleh budaya, perkembangan jaman atau kondisi lingkungan, pengalaman
hidup seseorang, serta persepsi terkait makna hidup. Pengaruh tersebut nantinya
dapat mengubah pandangan individu mengenai konsep spiritulitas dalam dirinya
sesuai dengan pemahaman yang ia miliki dan keyakinan yang ia pegang teguh,
seperti di masa pandemik COVID-19 (Rias et al., 2020). Dilihat dari pentingnya
implementasi spritualitas dalam keperawatan, namun masih ada beberapa
pertanyaannya yang ada seperti: apa sebenarnya spiritualitas itu?. Hal tersebut perlu
adanya pemahaman terhadap defenisi spritualitas yang bersifat universal karena
setiap manusia mengalaminya, tetapi itu mencakup begitu banyak faktor dan meresap
begitu banyak kehidupan, sehingga setiap pengalaman adalah individu yang unik
terkait penilainya terdapat spritualitas, maka banyak terdapat definisi yang
dipaparkan yang kami rangkum dalam table 1 dibawah ini untuk mempermudah
memahaminya.

2.20. Spritualitas dan Keperawatan

Spirituality berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau
udara.spirit memberikan hidup,menjiwai seseorang. Spirit memberikan arti penting
ke hal apa saja yang sekiranya menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan
seseorang( Dombeck,1995).

Spirituality adalah suatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan,


pengalaman hidup kepercayaan dan nilai kehidupan. Spiritualitas mampu
menghadirkan cinta, kepercayaan, dan harapan, melihat arti dari kehidupan dan
memelihara hubungan dengan sesama. (Perry Potter, 2003).

Spiritual adalah konsep yang unik pada masing-masing individu (Farran et al,
1989). Masing-masing individu memiliki definisi yang berbeda mengenai spiritual,
hal ini dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup dan ide-ide
mereka sendiri tentang hidup. Menurut Emblen, 1992 spiritual sangat sulit untuk
didefinisikan. Kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan spiritual termasuk
makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan dan eksistensi. Spiritual
menghubungkan antara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), interpersonal
(hubungan antara diri sendiri dan orang lain), dan transpersonal (hubungan antara diri
sendiri dengan tuhan/kekuatan gaib)
Spiritual adalah suatu kepercayaan dalam hubungan antar manusia dengan
beberapa kekuatan diatasnya, kreatif, kemuliaan atau sumber energi serta spiritual
juga merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan pengembangan dari nilai-nilai
dan sistem kepercayaan seseorang yang mana akan terjadi konflik bila
pemahamannya dibatasi. (Hanafi, djuariah. 2005)

Spirituality atau kepercayaan spiritual adalah kepercayaan dengan sebuah


kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan pencipta, sesuatu yang bersifat Tuhan, atau
sumber energi yang tidak terbatas. Contoh, seseorang percaya pada Tuhan, Allah,
Kekuatan tertinggi. Spirituality memiliki beberapa aspek antara lain :

a. Hubungan yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam hidup

b. Menemukan arti dan tujuan dalam hidup.

c. Menyadari dan mampu untuk menarik sumber-sumber dan kekuatan dari


dalam diri.
d. Mempunyai perasaan hubungan kedekatan dengan diri sendiri dan Tuhan
atau Allah. (Cozier Barbara, 2000).
Kesehatan spiritual atau kesejahteraan adalah” rasa keharmonisan saling
kedekatan antara diri dengan orang lain, alam, dan dengan kehidupan yang tertinggi
“(Hungelmann et al,1985).

Spiritual dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan hubungan
mereka dengan orang lain. Banyak orang dewasa mengalami pertumbuhan spiritual
ketika memasuki hubungan yang langgeng. Kemampuan untuk mengasihi orang lain
dan diri sendiri secara bermakna adalah bukti dari kesehatan spiritual.

Kesehatan jiwa ( spiritual ) menurut ilmu kedokteran saat ini adalah suatu
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yan
optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan orang lain
( suliswati,Hj.tji anita,2004).
2.21. Elemen-Elemen dalam Spiritual

1. Kebutuhan Spritual
4 hal yang mendasari kebutuhan spiritual adalah :

1. Pencarian arti

2. Perasaan untuk memaafkan / pengampunan

3. Kebutuhan akan cinta (Keinginan untuk mendapatkan kasih


sayang : keluarga dan teman)
4. Kebutuhan akan harapan (Fish and Shelly, 1978; Peterson and
Nelson, 1987; Schoenbeck, 1994).

Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan (Rnetzky’s, 1979).


Dimensi ini termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian; kebutuhan
akan harapan dan keyakinan hidup, dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri,
dan Tuhan. Sullender (1998) mengidentifikasi 5 dasar kebutuhan spiritual manusia :
1. arti dan tujuan hidup 2. perasaan misteri 3. pengabdian 4. rasa percaya 5. harapan
di waktu kesusahan.

Spiritual saat ini dihubungkan dengan pencarian akan arti dan refleksi dari
bagian kepercayaan pada paham duniawi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: haruskah
perawat yang tidak religius, atau yang tidak memiliki spiritual, menolong seseorang
yang membutuhkan spiritual (Walter, 1997). Pada dasarnya apakah mereka mampu?
Pada studi keperawatan dengan orang-orang yang memiliki fase terminal, ditemukan
bahwa perawat merasa tidak harus memiliki pengalaman dan keahlian untuk
memberikan dukungan secara spiritual.
Sebuah pembelajaran insiden kritis dari respon perawat terhadap kebutuhan
spiritual dari klien memberikan sebuah pengertian yang mendalam terhadap perawat
akan kebutuhan spiritual klien serta peran perawat sebagai pemberi layanan secara
spiritual. Kebutuhan akan harapan merupakan kepentingan utama terhadap seseorang
yang dihadapi oleh penyakit dan ancaman potensial terhadap gaya hidup dan
kehidupan.

2. Kesadaran Spritual
1. Kesadaran spiritual akan timbul saat seseorang dihadapkan pada
kebutuhan spiritual dan pencarian identitas, saat mempertahankan nilai-
nilai dan keyakinan atau kepercayaan.
2. Tiga tingkat kesadaran menurut Wilber:

a. Tingkat Existensial

Pada level ini Wilber menggunakan istilah yang berasal dari


filsuf-filsuf eksistensial, yaitu penyatuan diri dengan orang lain (uniting
the self and others). Para filsuf eksistensialis mengakui bahwa makhluk
di bumi memiliki ikatan otentik antara total individu dengan
lingkungannya. Mereka meyakini bahwa individu hanya eksis ketika
berada dalam relasi dengan orang-orang lain, dan bahwa kehilangan
kesadaran berarti memutuskan hubungan antara diri dengan orang-orang
lain.

Di sisi lain, meningkatkan kesadaran berarti melibatkan diri


dalam hubungan mendalam dengan orang-orang lain, yang hasilnya
akan memperkaya kesadaran internal (inner awareness) seseorang.

Menurut Wilber, peningkatan kesadaran ke tingkat eksistensial


dapat dicapai secara sederhana dengan duduk di tempat yang sepi
(tenang), menghentikan semua konsep mental tentang diri sendiri, dan
merasakan eksistensi dasar seseorang. Untuk menguatkan identitas
seseorang agar lebih permanen pada level ini, biasanya diperlukan
bentuk-bentuk terapi eksistensial semacam meditasi, hatha yoga, terapi
Gestalt, psikolog dan humanistic.

b. Tingkat Transpersonal Bands


Pada level ini individu mulai menyadari dan mengakui bentuk-
bentuk pengetahuan yang tidak bersifat dualistis (antara subjek dan
objek pengetahuan tidak terpisah). Individu mulai merealisasi dan
mengalami apa yang disebut sebagai reliansi/keyakinan eksklusif dalam
pengalaman. Wilber mengikuti konsep Jung dalam menggambarkan
elemen-elemen yang ada dalam tingkat transpersonal ini. Jung
menggunakan istilah synchronicity, yaitu suatu kejadian yang penuh
makna antara gejala psikis dan fisik. Bila dua kejadian, yang satu
bersifat psikis dan yang lain bersifat fisik, terjadi dalam waktu yang
sama, ini berarti terjadi synchronicity.

Aspek psikis dalam fenomena ini dapat termanifestasi dalam


suatu bentuk mimpi, ide, atau intuisi, yang kemudian menjadi kenyataan
secara fisik. Sebagai contoh, ketika seseorang memikirkan orang lain,
menit berikutnya ia menerima telepon dari orang yang baru saja
dipikirkan. Contoh lain, seseorang bermimpi tentang pesawat jatuh dan
ketika ia membaca koran pada pagi harinya ternyata mimpinya itu
benar-benar terjadi semalam. Gejala synchronicity muncul bila secara
fisik individu dalam keadaan kurang sadar, misalnya bermimpi atau
merenung. Pengetahuan sinkronistik ini meningkatkan kemampuan
dalam pengambilan keputusan, yaitu dengan meningkatkan kepekaan
intuitif, yang diberdayakan setelah semua data empiris dijajaki secara
objektif. Pada tingkat kesadaran ini individu mengalami perasaan
transendensi, mengalami sebagai saksi supra-individual. Artinya
individu mampu mengamati aliran dari sesuatu, tanpa menyela,
mengomentari, atau memanipulasi alur peristiwa.

c. Level of Mind

Berikut adalah tingkat kesadaran paling tinggi dalam Spectrum


of Consciousness dari Wilber. Dalam menggambarkan Level of Mind,
Wilber menyatakan bahwa “Diri” orang yang mengalami kesadaran
sebenarnya bukanlah real self (“Diri” sesungguhnya) dari orang
tersebut. Bagaimanapun cara seseorang melihat, berpikir, dan merasakan
dirinya, “Diri” merupakan sesuatu yang kompleks. Ide, konsep, pikiran,
emosi, dan objek mental semuanya secara konstan menyambil energi
kita, yang menyebabkan adanya suatu tabir antara diri kita dengan
realitas.

Pada tingkat ini, individu menyingkap tabir tersebut, sehingga


memungkinkan dia mengalami realitas secara langsung. Ini disebut
pengetahuan yang tidak dualistis (nondual knowing). Krishnamurti
menggambarkan kesadaran seperti ini sebagai kesadaran intensif tanpa
pilihan, tidak terkontaminasi oleh pikiran-pikiran, simbolsimbol, atau
dualitas; suatu kesadaran tentang apa (what is).

2.22. Kesehatan Spiritual


 Dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara, nilai hidup :
 Dengan berjalannya kehidupan, spiritual seseorang dan
kesadarn arti spiritual akan lebih meningkat, tujuan dari
nilai-nilai kehidupan akan lebih nyata.

Kesehatan spiritual atau kesejahteraan adalah “rasa keharmonisan


saling kedekatan antara diri dengan orang lain, alam, dan dengan kehidupan
yang tertinggi” (Hungelmann et al, 1985). Rasa keharmonisan ini dicapai
ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, dan system
keyakinan mereka dengan hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan
dengan orang lain. Pada saat terjadi stress, penyakit, penyembuhan, atau
kehilangan, seseorang mungkin berbalik ke cara-cara lama dalam merespons
atau menyesuaikan dengan situasi. Sering kali gaya koping ini terdapat dalam
keyakinan atau nilai dasar orang tersebut. Keyakinan ini sering berakar dalam
spiritualitas orang tersebut. Sepanjang hidup seorang individu mungkin
tumbuh lebih spiritual, menjadi lebih menyadari tentang makna, tujuan, dan
nilai hidup.

Spiritualitas dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan


hubungan mereka dengan orang lain. Banyak orang dewasa mengalami
pertumbuhan spiritual ketika memasuki hubungan yang langgeng.

Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri sendiri secara


bermakna adalah bukti dari kesehatan spiritualitas. Menetapkan hubungan
dengan yang maha agung, kehidupan, atau nilai adalah salah satu cara
mengembangkan spiritualitas. Kesehatan spiritualitas yang sehat adalah
sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan tentang diri dan hal
tersebut sering didasarkan pada hubungan yang langgeng dengan yang Maha
Agung. Penyakit dan kehilangan dapat mengancam dan menantang proses
perkembangan spiritual.Kesehatan spiritual tercapai ketika seseorang
menemukan keseimbangan antara nilai hidup, tujuan hidup, sistem keyakinan,
dan hubungan seseorang dengan diri sendiri atau orang lain.

2.23. MASALAH SPIRITUAL


Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang,
kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah penyembuhan atau pada
perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. Selama penyakit atau
misalnya individu sering menjadi kurang mampu untuk merawat dir mereka
dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan da dukungan. Distress
spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang
apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan seseorang
merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. Individu mungkin
mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan
hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dar makna hidup.

1. Depresi atau rasa tertekan


Depresi atau rasa tertekan adalah sebuah 'penyakit' baru, tapi ini
bukanlah penyakit, karena penyakit selalu berasal bagian dari tubuh fisik
kita, ini sesuatu yang lain. Dan orang yang paham psikologi semakin
meningkat, meningkat pesat karena depresi manusia makin meningkat.
Dan psikolog atau orang seperti itu, mereka tidak meraih sesuatu untuk
mengobati mereka, hanya berkata: "Gunakan obat ini!" Apa ini: 'Gunakan
cara ini ?

Depresi bukanlah sesuatu dari dunia materi, bukan, ini adalah sesuatu
dalam hidup kita yang merupakan bagian dari bentuk spiritual dan inilah
salah satu keresahan spiritual sehingga kalian tidak bisa melakukan
pengobatan dengan obat material! Tapi mereka psikiater juga tidak pernah
tahu tentang ini, dan mereka berkata: "pakailah obat ini! Bawa ini, untuk
membuat syarafmu tenang…" lakukanlah…

Alasan pertama yang membawa masalah-masalah besar itu


adalah dari para pemuda yang tidak percaya kepada apapun. Mereka tidak
percaya agama. Hal itu menjadikan mereka bagaikan masuk kedalam
sebuah sumur dalam tanpa dasar dan jatuh ke dalam tempat gelap
sehingga mereka tidak tahu mana tangan kiri dan tangan kanan mereka
sendiri. Itulah yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, kami berusaha
melalui asosiasi kecil dan rendah hati ini, pertemuan yang begitu rendah
hati, untuk membuat manusia percaya bahwa: Jika kau tidak melakukan
sesuatu yang membuat Tuhan-mu ridho, maka kau tidak bisa meraih
kesenangan! Jika kau tidak berusaha menjadikan Tuhan-mu senang, maka
tidak akan ada kesenangan bagimu bersama semua aspek material yang
kalian miliki!

Sejak tahun 2005, perawat diseluruh dunia telah diamanatkan oleh


organisasi professional keperawatan untuk menerapkan nilai spiritual
untuk intervensi ke dalam praktik pelayanan keperawatan (Jasemi et al.,
2017; Papathanasiou et al., 2013). Selain itu, terdapat persepsi bahwa
gagal dalam mengimplementasikan spiritualitas dalam asuhan
keperawatan atau dengan kata lain adalah tidak memperhatikan
kebutuhan spiritual pasien merupakan hal yang tidak etis. Namun,
terdapat banyak perawat telah mengungkapkan kesulitan dalam
memahami defenisi sekaligus pengimplementasian spiritualitas serta
menilai tolak ukur keberhasilan dalam pengimplemntasiannya (Kalkim
et al., 2018; Taylor et al., 2017). Selain itu, spiritualitas dapat
berkontribusi untuk meningkatkan pendekatan keperawatan holistik,
dan mengembangkan individu dalam menghadapi suatu permasalahan.
Spiritualitas secara harfiah memiliki arti 'jiwa, keberanian, kekuatan,
nafas, kekuatan hidup dan tidak hanya memotivasi orang tetapi juga
mempengaruhi kehidupan, kesehatan, dan perilaku (Dhamani, 2014).

Intervensi yang diimplemnetasikan oleh perawat sebagai perawatan


spiritual, pada dasarnya merupakan elemen dari perawatan dasar
(misalnya, menunjukkan rasa hormat) dianggap sebagai perawatan
spiritual; demikian pula, perawatan yang merupakan perawatan
psikososial (misalnya, mendengarkan) juga disamakan dengan
perawatan spiritual. Hal tersebut terjadi karena, bersama dengan
kekhawatiran tentang apa itu spiritualitas, mengaburkan penelitian yang
menyelidiki apa yang diberikan perawat perawatan spiritual (Taylor et
al., 2017). Kebutuhan spiritualitas pasien sering ditemui oleh perawat
dalam menjalankan perannya untuk memberikan asuahn keperawatan.
Hal ini perawat menjadi contoh peran spiritual bagi klienya. Perawat
memiliki landasan yang kuat tentang keyakianan spiritual yang
memenuhi kebutuhanya untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup.

Filosofi keperawatan pada dasarnya didasarkan pada etos perawatan


holistik. Namun, aspek perawatan spiritual seringkali diabaikan.
Terdapat masalah yang jelas terkait tentang bagaimana spiritualitas saat
ini didekati dan sejauh mana mahasiswa maupun perawat merasa
kompeten dalam menilai dan memberikan perawatan spiritual dalam
praktik. Sejalan dengan tinjauan pustaka yang telah di telaah dari tahun
1993 sampai 2017 di paparkan bahwa dari tema yang diidentifikasi
dalam tinjauan pustaka, terdapat kesenjangan praktik perlu dicatat
dalam pendidikan perawat. Adapun hal tersebut adalah kurangnya
integrasi Pendidikan dan Instansi layanan kesehatan; kurangnya
pemahaman fenomenologis; kurangnya dukungan dan kendala
lingkungan dan struktur kurikulum yang belum siap. Mengembangkan
kompetensi untuk menghadapi masalah spiritual dalam pendidikan
keperawatan masih menjadi tantangan. Masalah kejelasan konseptual
keperawatan harus ditangani untuk mempersiapkan perawat untuk
memberikan asuhan yang benar-benar holistik, termasuk masalah
spiritual. Persiapan yang memadai, dukungan lingkungan untuk
pendidik dan siswa keperawatan, dan representasi eksplisit spiritualitas
dalam kurikulum keperawatan akan memfasilitasi hal ini. Penekanan
pada dasar filosofis asuhan keperawatan diperlukan untuk
menyeimbangkan kembali pendidikan keperawatan yang ada untuk
merangkul perawatan kebutuhan spiritual sebagai bagian dari asuhan
holistic (Ali et al., 2018).

Menariknya, berdasarkan studi Murgia et al., (2020), memaparkan


bahwa spiritualitas merupakan proses yang dinamis dan memiliki
berbagai atribut. Budaya dimensi, agama dan tradisi spiritual,
keragaman etnis dan pengaruh sejarah dan konteks sosial
merepresentasikan kondisi kemasyarakatan dan sejarah yang telah di
yakini oleh masyarakat dalam pemikiran hal tesebut. Hal itu
mempengaruhi munculnya spiritualitas sebagai sebuah konsep.
Atecedents, conseqences, attributes merupakan kosep yang berfungsi
untuk menginformasikan serta memperkuat satu sama lain untuk
mempengaruhi nilai spiritual individu. Spiritualitas adalah konsep
penting untuk disiplin keperawatan dengan konsekuensi yang besar
untuk merawat pasien dan untuk organisasi kerja. Adapun kerangka
konseptual yang merepresentasikan konsep spiritualitas ditunjukkan
pada gambar 1. Attibutes. Menjadi bagian dari makhluk hidup secara
individual atau lebih besar adalah keseluruhan dan keseimbangan
antara tubuh, pikiran dan jiwa, hubungannya dengan dan dalam
harmoni total dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan Tuhan dan
dengan alam. Agama yang beragam terlibat dalam banyak bentuk
spiritualitas yang berbeda, menjadikannya lebih onsep yang berlaku
untuk perawat berurusan dengan masyarakat luas. Dalam kepercayaan
Hindu, spiritualitas adalah gerak dan transformasi diri, dalam
hubungannya dengan masyarakat di dalamnya yang mana yang hidup
dan bekerja. Spiritualitas adalah sarana untuk mencari kesadaran akan
ketuhanan dalam praktik sehari-hari dengan penyebut umum antara
Manusia dan Tuhan, antara keilahian dan realitas tertinggi. Hal tersebut
berguna untuk menjelaskan pengalaman sakral yang melampaui
pengalaman religius dan memastikannya yang tidak percaya pada satu
Tuhan hanya mengalami hubungan dengan mistik. Nilai atau
memahami arti dari kehidupan adalah elemen penting dalam hubungan
spiritual dan dapat mencakup cinta, harmoni, integritas, kasih sayang,
harapan, kepercayaan dan kebijaksanaan. Pengakuan dari efek terapi
positif pasien nilai-nilai dan keyakinan semakin kuat saat pasien dan
keluarga mereka meminta penghormatan atas keyakinan dan nilai-nilai
mereka di lingkungan perawatan kesehatan dengan frekuensi yang
meningkat (Murgia et al., 2020).
Gambar 1. Kerangka konsptual spiritualitas dan keperawatan (Murgia et al., 2020)

2.24. Faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritualitas

Menurut Taylor et al (1997) dalam buku Aspek Spiritual Dalam


Keperawatan, ada beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi
spiritualitas seseorang, yaitu: 1. Tahap perkembangan : berdasarkan hasil
penelitian terhadap anak – anak dengan empat agama yang berbeda
ditemukan bahwa mereka memiliki konsep spiritualitas yang berbeda
menurut usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian anak 2. Keluarga : peran
orang tua sangat penting dalam perkembangan spiritualitas seorang anak
karena orang tua sebagai role model. Keluarga juga sebagai orang terdekat di
lingkungan dan pengalaman pertama anak dalam mengerti dan
menyimpulkan kehidupan di dunia, maka pada umumnya pengalaman
pertama anak selalu berhubungan dengan orang tua ataupun saudaranya 3.
Latar belakang etnik budaya : sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh
latar belakang etnik dan sosial budaya. Hal yang perlu diperhatikan adalah
apapun tradisi agama atau system keagamaan yang dianut individu, tetap saja
pengalaman spiritual tiap individu berbeda dan mengandung hal unik. 4.
Pengalaman hidup sebelumnya: Pengalaman hidup baik positif maupun
negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Selain itu juga
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian
atau pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap
sebagai suatu ujian. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang
memerlukan kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk
memenuhinya. 5. Krisis dan perubahan : krisis dan perubahan dapat
memperkuat kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika
individu dihadapkan dengan hal sulit. Apabila klien mengalami krisis, maka
keyakinan spiritual dan keinginan untuk melakukan kegiatan spiritual
menjadi lebih tinggi. 6. Terpisah dari ikatan spiritual : individu yang biasa
melakukan kegiatan spiritual ataupun tidak dapat berkumpul dengan orang
terdekat biasanya akan mengalami terjadinya perubahan fungsi spiritual.

2.25. Istilah terkait spiritualitas

Identifikasi konsep yang dimiliki beberapa koneksi ke konsep minat, tetapi


tidak selalu memiliki atribut yang sama. Agama adalah istilah pertama yang muncul
dalam literatur yang ditinjau dan kadang-kadang dipertukarkan dengan spiritualitas.
Mereka memiliki definisi yang berbeda, meskipun keduanya melibatkan fokus pada
apa yang dianggap sakral bagi setiap individu. Istilah sebagai religiusitas, mistisisme
dan sakral sering digunakan untuk mengungkapkan hal yang sama atau proses serupa
dalam spritualitas (Murgia et al., 2020).

Antecedents. Dimensi budaya, tradisi agama dan spiritual, keragaman agama dan
etnis masyarakat kita, pengaruh konteks sejarah dan budaya atau dengan kata lain
adalah apakah kondisi sosial dan sejarah mempengaruhi munculnya spiritualitas
sebagai fenomena yang ada. Hal ini seperti budaya patriarki dalam memutuskan
sesuatu terutama dalam keputusan pengunaan medis, seperti penggunaan KB pada
Perempuan ataupun vaksianasi pada anak. Pengalaman spiritual sangat bervariasi
antara berbagai agama dan individu; bagaimanapun juga, meskipun praktik formal
dan informal mungkin mendahului spiritualitas, mungkin tindakan yang dilakukan
dalam kehidupanlah yang mendukung individu dalam menumbuhkan atribut
spiritualitas. Di antara tindakan ini, meditasi muncul menjadi elemen penting dari
praktik informal di antara berbagai budaya. Latihan yoga merupakan salah satu
elemen lain dari latihan spiritual di mana individu terlibat dengannya tubuh dan
nafas, hati dan jiwa, pikiran dan intelektualitas. Ini adalah bentuk komunikasi
dengan diri sendiri, dengan orang lain atau dengan makhluk yang lebih tinggi dan
dapat mencakup refleksi dan meditasi. Ini bisa dipraktekkan secara pribadi dan
atau di publik, individu, kolektif, atau kelompok dalam suatu komunitas (Murgia et
al., 2020)..
Consequences. Spiritualitas untuk keperawatan memiliki kaitan erat dengan
konsep perawatan holistik yang mempertimbangkan aspek individu dan kebutuhan
yang mereka hasilkan, termasuk yang sosial dan spiritual. Mengenali dan
menangani kebutuhan spiritual sangatlah penting, terutama dalam lingkungan
multikultural, karena penyembuhan dan perawatan ditujukan pada individu secara
keseluruhan untuk mendukung dan meningkatkan kesehatan tidak hanya pada
tingkat fisik dan mental tetapi juga pada tingkat spiritual dan kemasyarakatan.
Kesehatan dan kesejahteraan, konsep kesejahteraan meliputi fisik, emosional,
sosial, dimensi fungsional dan spiritual, menegaskan bahwa masingmasing elemen
ini saling berhubungan dan mempengaruhi lain-lain. Spiritualitas juga merupakan
bagian penting dari perawatan kesejahteraan orang sakit karena itu menyangkut
integritas atau keutuhan seseorang. Individu yang memiliki ekspresi spiritual yang
lebih baik dapat menemukan lebih banyak kepuasan dalam hidup daripada mereka
yang tidak, sebagai mereka mungkin memiliki perasaan sejahtera yang melampaui
keadaan fisik karena menjadi tua atau menderita dari penyakit terminal.
Kenyamanan sebagai kondisi akhir kesejahteraan dan hasil yang diakui dari
spiritualitas adalah ketenangan pikiran dan apa adanya terkait dengan konsep
harmoni. Konsekuensinya termasuk komunikasi, dialog terapeutik dan kepuasan
karena membantu orang lain juga membawa rasa harga diri, refleksi diri dan
pemenuhan pribadi, dan menumbuhkan rasa bersyukur yang akhirnya
meningkatkan nilai spritualits seseorang. Disisi lain, spiritualitas dapat secara
efektif mendorong koneksi atau memperbaiki disfungsional hubungan kerja, oleh
karena itu, di mana dalam lingkungan perawatan kesehatan, proses ke relasional
dan untuk terhubung, atribut kunci yang muncul adalah mendukung, mengenali
dan mendorong staf, dan membangun hubungan dan mendemonstrasikan kasih
sayang. Spiritualitas terkait dengan banyak konsep kesehatan dan kesejahteraan
seperti spiritualitas dan gender, dan spiritualitas dan penuaan serta kualitas hidup
dan etika, kesadaran akan sakral, dan kesadaran dan kesadaran diri. Dalam
kepedulian, kepercayaan diri menyiratkan kesadaran diri, tidak menghakimi dan
konsisten serta mampu mengidentifikasi kebutuhan pasien. Ini juga mencakup
keterampilan budaya dan agama keperawatan menuju peningkatan pluralitas
keragaman etnis, agama dan spiritual dan pemenuhan diri (Murgia et al., 2020).

2.26. Asuhan Keperawatan

Peran holistik perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas pasien


merupakan bagian dari peran dan fungsi perawat dalam implementasi asuhan
keperawatan. Oleh karena itu diperlukan suatu metode ilmiah dalam
menyelesaikan masalah keperawatan melalui implementasi yang sitematis
berdasarkan pendekatan proses keperawatan seperti pengkajian data, penetapan
diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Berikut ini akan diuraikan
mengenai proses keperawatan pada aspek spiritual (Berman et al., 2010; Potter &
Perry, 2005; Potter et al., 2009).
Pengkajian

Ketepatan waktu pengkajian merupakan suatu hal yang krusial untuk selauruh
aspek holistik pada pasien. Pengkajian aspek spiritualitas memerlukan hubungan
interpersonal yang baik anatra perawat dengan pasien maupun keluarga sebagai
support system. Adapun pengkajian yang perlu dilakukan meliputi:

1. Pengkajian data subjektif

Praktik pengkajian nilai spritualitas meliputi beberapa contoh pertanyaan yang


harus digali dengan mendalam, seperti; (a) konsep terkait nilai ketuhanan; (b)
sumber kekuatan dan harapan; (c) praktik agama dan ritual; dan (d) hubungan
antara keyakinan spiritual dengan kondisi kesehatan.

2. Pengkajian data objektif

Pengkajian data objektif di implementasikan dengan langkah pengkajian


klinik yang terdiri dari pengkajian sikap maupun afek, perilaku, verbalisasi,
hubungan interpersonal dan lingkungan. Dalam menilai afek dan sikap,
perawat bisa mengobservasi terkait kesepian, deperesi, atau anxiety, koping
tidak efektif. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pengkajian kuesioner
Depression Anxiety Scale-21 items (Lovibond & Lovibond, 1995), dan
loneliness quessionare (Mayers et al., 2002). Sedangkan terkait aspke
perilaku, perawat dapat menggali kegiatan keagamaan atau spritualitas yang
dilakukan oleh pasien seperti membaca kitab suci, dan berdoa atau bahkan
melakukan kegiatan yang bersifat sakral terkait dengan kepercayaan masing-
masing. Pengkajian lainnya yaitu vervalisasi yang dapat dilakukan dengan
pasien selalu menyebut nama Tuhan, berdoa atau bahkan membicarakan
kegiatan spritualitas yang tela dilaksanakan ataupun pasien mengungkapkan
rasa ketakutan akan kematian atau sakit yang dialaminya dalah cobaan dari
Tuhan. Aspek Hubungan interpersonal juga menjadi hal yang perlu
diklarifikasi dalam pengkajian seperti bagaimanakah hubungan pasien dengan
keluarga, temen sahabat melaui interaksi dari kunjungan yang ada, atau
bahkan apakah terjalin hubungan interpersonal yang dilakukan pasien dengan
pemuka agama yang dianut. Terakhir, dari segi aspek lingkungan dengan
mengobservasi terkait ada atau tidaknya kitab suci atau perlengkapan ibadah
lainnya.

3. Diagnosa Keperawatan.

Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan nilai spiritualitas menurut North


American Nursing
Diagnosis Association adalah distres spiritual. Distres spiritual merupakan
salah satu kerusakan dalam kemampuan untuk mengintegrasikan arti dan
tujuan hidup individu dihubungkan dengan diri, orang lain, lingkungan atau
kekuatan yang lebih besar dari dirinya dengan kata lain Tuhan dan alam
semesta (Carpenito-Moyet, 2006). Berikut merupakan rangkuman masalh
yang dapat terkait dengan diagnosa keperawatan terkait spritualitas
diantaranya adalah kecemasaan, keputusasaan, ketidakberdayaan, kesedihan,
tekanan / resiko spiritual (Carr, 2010; Clarke, 2013; Koenig, 2008). Telaah
teori memaparkan bahwa ketika meninjau masalah terkait kesehatan spiritual
dengan mengintegrasikan informasi kedalam rumusan diagnosa keperwatan,
maka seorang perawat seyogjanya mempertimbangkan status kesehatan klien
dengan perspektif holistik termasuk nilai spiritual sebagi satu kesatuan
diagnosis keperawatan (Clarke, 2013; Potter et al., 2009).

4. Perencanaan.

Setelah diagnosa keperawatan dan faktor-faktor yang berhubungan


teridentifikasi, maka tahap selanjutnya perawat memiliki peran untuk
menyusun kriteria hasil dan rencana intervensi. Adapun tujuan perencanaan
asuhan keperawatan pada individu yang mengalami distres spiritual
difokuskan pada tanda gejala yang dialami, apabila terdapat anxiety maka
akan dilakukan perencanaan intervensi spiritual seperti bicang atau konsultasi
dengan tenaga kesehatan maupun ahli rohani yang telah disediakan oleh
rumah sakit dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Perencaanaan
keperawatan ditujuankan untuk menetapkan rencana secara individual dengan
mempertimbangkan riwayat pasien, dan tanda-tanda disfungsi serta data
objektif yang relevan (Berman et al., 2010). Perencanaan pada individu
dengan distres spiritual dirancang untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas
dengan perencanaan sebagai berikut: (1) mendorong individu dengan
memenuhi kewajiban agamanya, seperti memberikan lefleat terkait spritualitas
kesehatan dan beberapa cara untuk meningkatkan nilai spritualitas individu
dalam menghadapi penyakitnya (Gardner et al., 2020; Matthews, 2010); (2)
mendorong dan memotivasi individu untuk mempertahankan atau membina
hubungan personal dengan Maha Pencipta ketika sedang menghadapi penyakit
yang sedang dialami, seperti contoh memfasilitasi untuk berkonsultasi dengan
tenaga medis atau tenaga rohaniawan yang disediakan oleh pihak rumah sakit
(Machrom & Nailil, 2018); (3) meningkatkan perasaan penuh harapan
(Taraghi et al., 2017), dan (4) memberikan sumber spiritual seperti contohnya
kegiatan yoga (Kishan, 2020) atau musik rohani (Matsunobu, 2018).

5. Implementasi.

Perawat menerapkan rencana intervensi berdasarkan atau memodifikasi sesuai


dengan keadaan pasien. Tinjauan dari (McCloskey & Bulechek, 2006) dalam
Nursing Interventions Classification (NIC), intervensi keperawatan dari
diagnosa distres spiritual salah satunya ialah dengan mengimplementasikan
support spiritual. Menariknya, support spiritual ialah bagaimana cara untuk
membantu pasien untuk merasakan keseimbangan dalam berhubungan dengan
kekuatan Maha Besar atau kepercayaan yang dianut. Berikut merupakan
beberapa aktivitas dalam meningkatkan nilai spritualits meliputi:

(1) pasien mengisi buka ekspresi pasien terhadap kesendirian dan


ketidakberdayaan;

(2) pasien membaca artikel atau berita tentang spiritual, sesuai pilihan
pasien yang disediakan oleh tenaga perawat;

(3) Beri semangat untuk menggunakan sumber-sumber spiritual, seperti


music (Matsunobu, 2018) atau yoga (Kishan, 2020);

(4) melakukan tidndakan fasilitasi terhadap pasien dalam meditasi, berdo'a


dan ritual keagamaan lainnya;

(5) Mendengar perasaan pasien serta berekspersi empati dengan perasaan


pasien yang ditunjukan;

(6) Meyakinkan pasien bahwa perawat dan caregiver atau keluarga akan
dapat mendukung pasien ketika sedang menghadapi masalah terutama
masalah kesehatan; dan

(7) Membantu pasien untuk berekspresi dengan mengungkapkan


perasaannya dengan cara yang baik, seperti menagis dalam kegiatan
spritualitasnya, apabila marah dapat melakukan tarik nafas dalam (McKay
& Rogers, 2009) ataupun yoga (Kishan, 2020).

6. Evaluasi

Dalam mengetahui kemapuan pasien untuk mencapai kriteria hasil yang


ditetapkan pada fase perencanaan, maka seyogyanya perawat sangat perlu
dalam mengumpulkan data yang sesuai dengan capaian tujuan asuhan
keperawatanyang telah ditetapkan. Tujuan asuhan keperawatan tercapai
apabila secara umum pasien:
(1) mampu mengekspresikan rasa damai dan positif dalam menghadapi
penyakitnya;

(2) Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan rohaniawan,


perawat, maupun keluarga; dan

(3) menunjukkan afek positif, kecemasan berkurang atau dengan kata lain
tanda tanda objektif dan subjektif dalam keadaan yang baik.

2.27. Pengertian Seksualitas

Pengertian sex menurut definisi kerja WHO (2002) mengacu pada sifat-sifat
biologis dimana mendefinisikan manusia sebagai perempuan ataupun laki-laki,
sedangkan menurut Sumbulah, 2008 mendefinisakn sex sebagai pensifatan biologis
dan permanen yang melekat pada kelamin tertentu dalam bentuk laki laki dan
perempuan yang tidak dapat dipertukarkan. Maksud tidak dapat dipertukarkan yaitu
jika laki laki merubah atau bertukar seks dengan jenis kelamin perempuan, maka
tetap tidak bisa merubah tugas reproduksi sebagaimana perempuan, dikarenakan
perubahan itu tidak bisa merubah isi panggul laki laki dimana isi panggul wanita
ada Uterus (Rahim), ovarium dan Tuba Falopii yang merupakan penghasil ovum
(sel telur), begitu juga sebaliknya. Perempuan yang merubah atau bertukar seks
dengan jenis kelamin laki laki tidak akan bisa membuahi karena tidak memiliki isi
panggul laki laki sebagai organ reproduksi yaitu skrotum, epidedemis dan lainnya
yang berperan dalam menghasilkan spermatozoa (Sumbulah, 2008). Sedangkan
seksualitas menurut definisi kerja WHO (2002) adalah suatu aspek inti manusia
sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas, peran gender, orientasi seksual,
erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi (Demartoto, 2010).

Seksualitas adalah komponen penting dalam identitas individu, dimana seksualitas


membantu membentuk respon fisik, social, emosional dan intelektual individu
(Reeder & Martin, 2011). Seksualitas memiliki dua aspek penting yang saling
berkaitan yaitu aspek fisik atau biologi dan aspek psikologis atau emosi. Jika kedua
aspek ini hadir dengan seimbang maka akan tercipta seksualitas yang sehat.
Seksualitas yang sehat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat
mengekspresikan diri, perasaan, pikiran, melalui hubungan yang intim pada orang
lain. Psikologis atau emosi yang tidak baik, seperti marah, sedih, tidak suka atau
rasa terpaksa yang ditujukan kepada pasangan akan membuat hubungan seks terasa
hambar, tidak menyenangkan bahkan menyakitkan. Keadaan fisik seperti hamil,
menyusui, menapous atau penyakit tertentu juga menghambat hubungan seks yang
nyaman, meskipun individu tersebut sedang sangat menginginkannya (Widiyantoro
& Sarwono, 2002).

Selain aspek fisik dan psikologis, juga terdapat aspek sosial kultural yang
juga berperan sangat mendasar dalam mempengaruhi persepsi akan seksualitas dan
bagaimana mengkontruksikan dan menafsirkan fantasi serta pandangan-pandangan
seksualnya (Hidayana dkk., 2004). Aspek sosial dan nilai-nilai budaya serta agama
yang ditanam sejak dini oleh lingkungan terdekat akan membawa dampak kuat
bagi perkembangan psikologi atau emosi dalam kontak seksualitas. Dampak postif
sosial kultural terhadap seksualitas dapat tercapainya keadaan emosi yang stabil,
sedangkan dampak negatif menjadikan individu tidak percaya diri, timbul perasaan
tidak puas, frustasi, stres, tidak bisa menghargai diri sendiri, kurang tenang dan
kurang bahagia (Widiyantoro & Sarwono, 2002).

Pembicaraa seputar seksualitas dilingkungan sosial dan agama masih dianggap


tabu sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan kehidupan seks
dimasamasa berikutnya. Contohnya, perempuan dewasa sering mengalami
kesulitan dalam menyampaikan ketidakpuasan dan harapan dalam hubungan
seksualnya, dimana hal ini terjadi dikarenakan adanya penanaman akan pemikiran
bahwa membicarakan seks adalah tabu dan tidak pantas. Timbulnya pemikiran
tersebut membangun persepsi bahwa seksualitas bukan sesuatu yang dapat
dinikmati, melainkan sekedar kewajiban seorang perempuan terhadap pasangannya
(Widiyantoro & Sarwono, 2002).

Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia.


Lingkupanseksualitas suatu yang lebih luas dari pada hanya sekedar kata seks yang
merupakan kegiatanhubungan fisik seksual. Kondisi Seksualitas yang sehat juga
menunjukkan gambaran kualitaskehidupan manusia, terkait dengan perasaan paling
dalam, akrab dan intim yang berasal darilubuk hati yang paling dalam, dapat berupa
pengalaman, penerimaan dan ekspresi dirimanusia.Seks adalah perbedaan badani
atau biologis perempuan dan laki-laki, yangseringdisebut jenis kelamin yaitu penis
untuk laki-laki dan vagina untukperempuan.

Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi


biologis, sosial, perilaku dankultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan
dengan organ reproduksi dan alatkelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan
dan memfungsikan secara optimal organreproduksi dan dorongan seksual (BKKBN,
2006).

Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan


bagaimanamenjalankanfungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran atau jenis
(BKKBN, 2006).Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul
dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam
membentukpandangan tentang seksualitasyang akhirnya membentuk perilaku seks
(BKKBN, 2006)

Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu


perilaku yangmuncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual (BKKBN,
2006).
2.28. Fungsi Seksualitas

a. Kesuburan Pada beberapa kebudayaan, seorang wanita muda mungkin merasakan


adanya keinginan yang kuat untuk membuktikan kesuburannya bahkan walaupun ia
sebenarnya belum menginginkan anak pada tahap kehidupannya saat itu. Ini adalah
macam masyarakat yang secara tradisional wanita hanya dianggap layak dinikahi
apabila ia sanggup membuktikan kesuburannya.

b. Kenikmatan Mungkin pendorong primer atau mendasar perilaku seksual adalah


kenikmatan atau kesenangan yang dirasakan yaitu suatu kombinasi kenikmatan
sensual dan kenikmatan khas seksual yang berkaitan dengan orgasme.

c. Mempererat ikatan dan meningkatkan keintiman pasangan Dalam suatu pertalian


seksual yang ekslusif, pasangan melakukan secara bersamasama hal-hal yang tidak
ingin mereka lakukan dengan orang lain. Ini adalah esensi dari keintiman seksual.
Efektivitas seks dalam memperkuat keintiman tersebut berakar dari risiko psikologis
yang terlibat; secara khusus, resiko ditolak, ditertawakan, mendapati bahwa dirinya
tidak menarik, atau kehilangan kendali dapat memadamkan gairah pasangan.

d. Menegaskan maskulinitas atau feminitas Sepanjang hidup kita, terutama pada saat-
saat identitas gender terancam karena sebab lain (mis.; saat menghadapi perasaan
tidak diperlukan atau efek penuaan), kita mungkin menggunakan seksualitas untuk
tujuan ini.

e. Meningkatkan harga diri Merasa secara seksual bagi orang lain, atau berhasil
dalam upaya seksual, secara umum dapat meningkatkan harga diri.

f. Mencapai kekuasaan atau dominasi dalam hubungan Kekuasaan (power)


seksualitas cenderung dianggap sebagai salah satu aspek maskulinitas, dengan pria,
baik karena alasan sosial maupun fisik, biasanya berada dalam posisi dominan.
Namun, seks dapat digunakan untuk mengendalikan hubungan baik oleh pria dan
wanita dan karenanya sering merupakan aspek penting dalam dinamika hubungan.
Kekuasaan tersebut mungkin dilakukan dengan mengendalikan akses ke interaksi
seksual, menentukan bentuk pertalian seksual yang dilakukan, dan apakah proses
menimbulkan efek positif pada harga diri pasangan. Sementara dapat terus menjadi
faktor dalam suatu hubungan yang sudh berjalan, hal ini juga merupakan aspek yang
penting dan menarik dalam perilaku awal masa “berpacaran”.

g. Mengungkapkan permusuhan Aspek penting dalam masalah “dominasi” pada


interaksi seksual pria- wanita adalah pemakaian seksualitas untuk mengungkapkan
permusuhan. Hal ini paling relevan dalam masalah perkosaan dan penyerangan
seksual. Banyak kasus penyerangan atau pemaksaan seksual dapat dipandang sebagai
perluasan dari dominasi atau kekuasaan, biasanya oleh pria terhadap wanita. Juga
terdapat keadaan- keadaan dengan penyerangan seksual dapat dipahami sebagai suatu
ungkapan kemarahan, baik terhadap wanita itu sendiriatau terhadap wanita itu
sebagai pengganti wanita lain.

h. Mengurangi ansietas atau ketegangan Menurunnya gairah yang biasanya terjadi


setelah orgasme dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi ansietas atau
ketegangan.

i. Pengambilan resiko Interaksi seksual menimbulkan berbagai risiko, berkisar dari


yang relatif ringan, misalnya ketahuan, sampai serius misalnya hamil atau infeksi
menular seksual. Adanya resiko tersebut menjadi semakin bermakna dan
mengganggu dengan terjadinya epidemi HIV dan AIDS. Bagi sebagian besar orang,
kesadaran adanya resiko akan memadamkan respon seksual sehingga mereka mudah
menghindari resiko tersebut. Namun, bagi beberapa individu, gairah yang berkaitan
dengan persepsi resiko malah meningkatkan respons seksual. Untuk individu yang
seperti ini, resiko seksual menjadi salah satu bentuk kesenangan yang dicari.

j. Keuntungan materi Prostitusi adalah bentuk yang jelas dari aktivitas seksual untuk
memperoleh keuntungan dan hal ini sering merupakan akibat dari kemiskinan.
Pernikahan, sampai masa ini masih sering dilandasi oleh keinginan untuk
memperoleh satu bentuk perlindungan dan bukan semata mata ikatan emosional
komitmen untuk hidup Bersama.

2.29. Sikap Terhadap Kesehatan Seksualitas


Kesehatan seksual adalah kemampuan seseorang mencapai kesejahteraan fisik,
mentaldan sosial yang terkait dengan seksualitas, hal ini tercermin dari ekspresi yang
bebas namun bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan sosialnya misalnya
dalam menjagahubungan dengan teman atau pacar dalam batasan yang diperbolehkan
oleh norma dalammasyarakat atau agama. Bukan hanya tidak adanya kecacatan,
penyakit atau gangguanlainnya. Kondisi ini hanya bisa dicapai bila hak seksual
individu perempuan dan laki-lakidiakui dan dihormati (BKKBN, 2006).
C. Respon Seksual
Siklus respon seksual normal terdiri dari empat tahap yang terjadi
berturutturut.³Normal´ pada umumnya mengacu pada panjang siklus
masingmasing fase, dan hasil bercinta yang memuaskan.Empat tahapan siklus
respon seksual:

1. Kegembiraan

2. Plateau

3. Orgasme

4. Resolusi

Keempat fase yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, meskipun waktu
dan panjangdurasi dari masing-masing bervariasi antara kedua jenis kelamin.
Selain itu, intensitas darimasing-masing fase dapat bervariasi antara setiap orang,
dan antara laki-laki dan perempuan.
1. Fase kegembiraan adalah tahap pertama, yang dapat berlangsung dari
beberapa menitsampai beberapa jam. Beberapa karakteristik dari fase
kegembiraan meliputi:
a) Peningkatan ketegangan otot

b) Peningkatan denyut jantung

c) Perubahan warna kulit

d) Aliran darah ke daerah genital

e) Mulainya pelumasan Vagina

f) Testis membengkak dan skrotum mengencang

2. Fase plateau adalah fase yang meluas ke ambang orgasme. Beberapa


perubahan yangterjadi dalam fase ini meliputi :
a) Fase kegembiraan meningkat

b) Peningkatan pembengkakan dan perubahan warna vagina

c) Klitoris menjadi sangat sensitive

d) Testis naik ke dalam skrotum

e) Adanya peningkatan dalam tingkat pernapasan, denyut jantung, dan


tekanan darah
f) Meningkatnya ketegangan otot dan terjadi kejang otot

3. Fase orgasme adalah puncak dari siklus respons seksual, dan merupakan
faseterpendek, hanya berlangsung beberapa detik.
Fase ini memiliki karakteristik seperti berikut:

a) Kontraksi otot tak sadar

b) Memuncaknya denyut jantung, tekanan darah,


dan tingkat pernapasan
c) Pada wanita, kontraksi otot vagina menguat dan kontraksi rahim
berirama
d) Pada pria, kontraksi otot panggul berirama dengan bantuan kekuatan
ejakulasi
e) Perubahan warna kulit ekstrem dapat terjadi di seluruh tubuh

4. Tahap terakhir, yang disebut fase resolusi, adalah ketika tubuh secara
perlahankembali ke tingkat fisiologis normal.

Fase resolusi ditandai dengan relaksasi,keintiman,dan seringkali


kelelahan. Sering kali perempuan tidak memerlukan faseresolusi sebelum
kembali ke aktivitas seksual dan kemudian orgasme, sedangkan laki-laki
memerlukan waktu pemulihan sebelum orgasme selanjutnya. Seiring
pertambahan usia lakilaki, panjang dari fase refraktori akan sering meningkat.

Disfungsi seksual yang paling umum pada pria adalah ejakulasi dini.
Masalahini terjadi ketika ada pemendekkan fase kegembiraan dan fase
plateau. Dalam rangkauntuk mencegah ejakulasi dini, seorang pria harus
belajar bagaimana memperlambatfase kegembiraan dan fase plateau, yang
dapat dicapai hanya dengan teknik yang benar dan latihan.

2.30. Kehamilan Dan Seksualitas


Perubahan kehidupan seksual dapat terjadi karena perubahan-perubahan yang
terjadisecara fisik dan mental, khususnya pada istri dan pasangan itu umumnya.
Kondisi yanglemah dari istri seperti karena mual-mual atau muntah, nafsu makan
yang menurun akanmembuatnya lemah dan keinginan seksualnya menurun.
Kadang-kadang walau suamimengajak, istri sering menolak. Hanya bila suami
merasa senang dengan kehamilan itu, diadapat mengatasinya dengan baik.

Pada wanita yang tidak mengalami muntah atau mual yang serius, maka
aktivitasseksual tidak akan terganggu. Bahkan cukup banyak dari mereka yang
justru meningkatkeinginan seksual serta frekuensi hubungan seksnya karena
merasa bahagia telah hamil.Suami-istri senang bersama-sama dan ingin
menikmatinya dalam kontak seksual yang sering.Pada 3 bulan kedua, sekitar 80
persen wanita akan meningkat dorongan seksnya. Selain itu,mual atau muntah
sudah hilang. Kesehatan umumnya akan meningkat. Perasaan senangkarena
hamil. Pada sebagian faktor lain ialah terjadinya pembesaran payudara yang
membuatdaya tariknya meningkat. Suami akan merasa lebih bergairah melihat
istrinya yang payudaranya bertambah besar serta bahagia karena istri telah hamil.
Kedua faktor itumembuat suami juga meningkat keinginan seksnya, sehingga
pada sebagian besar pasangankontak seksual akan jauh lebih sering pada periode
ini.

Pada 3 bulan ketiga, beban kehamilan itu sudah memberati si Ibu. Banyak
wanitayang jadi susah makan. Juga banyak keringat yang membuatnya tidak
bersih, sehingga dayatariknya pun menurun. Selain itu pada kehamilan yang
mulai tua, akan timbul peningkatancairan tubuh. Hampir semua badan letih atau
bengkak. Air ditahan dalam badan. Akibatnya,cairan vagina juga bertambah. Ada
terasa licin yang mengganggu sehingga kontak seksualmenjadi kurang
memuaskan.

Pada pasangan-pasangan yang saling mencintai akan senang akan kehamilan


itu, pertambahan cairan vagina tak akan mengganggu. Tetapi pada orang-orang
yang sangatmendambakan kenikmatan seksual, apalagi bila ada konflik
suamiistri, maka kondisi itudapat menjadi biang keladi kekurang puasan sampai
pada hubungan seks luar nikah. Bila percekcokan atau hubungan diluar nikah
sampai terjadi, maka perlu dicari penyebabnya.Apakah pribadi suami yang
mengakibatkan pertambahan cairan vagina sebagai gara-gara atauada konflik
diantara merek.

Pada sebagian wanita hamil berat, maka kontak seksual dirasakan ancaman
terhadapkehamilan. Bila rahim dengan bayi telah mulai menurun kearah vagina,
maka penis suamidapat membentur daerah rahim. Stimulasi yang berat ke leher
rahim akan membuat seluruhrahim bergerak seolah-seolah mau melahirkan.
Bahkan ada yang bisa gugur. Timbul kontraksi rahim yang kuat. Kadang ada
darah, ancaman keguguran menjadi kekhawatiran.Karenanya sebagaian wanita
menolak melakukan hubungan seksual pada akhir-akhir kehamilan.

Pada kondisi dimana keguguran sering terjadi, maka sepantasnyalah


hubungan seksdilakukan dengan berhati-hati. Bila keguguran telah sering terjadi
dan kehamilan belum pernah berlangsung selamat, maka sebaiknya 3 bulan
pertama dilarang atau berhentimelakukan hubungan seks.

Sesudah 3 bulan pertama lewat, hubungan seks dapat dicoba kembali dengan
sangathati-hati sehingga penis diharapkan tidak membentur daerah rahim. Namun
bila terasa sakitatau keluar darah, maka sebaiknya senggama dihentikan.
Demikian juga pada akhir-akhir kehamilan. Benturan yang terlalu keras dari penis
terutama ke daerah rahim, akan membuatkontraksi rahim sangat kuat seperti akan
melahirkan. Ini membuat si Ibu ketakutan dankesakitan. Dalam keadaan demikian
hubungan seks harus dilakukan hati-hati dan jangansampai didorong kuat-kuat.
Dengan demikian penis tidak terlalu jauh masuk ke dalam namundiharapkan
keduanya masih bisa mencapai kepuasan.

Tetapi sering justru cara dan sifat suami yang sulit. Ada suami yang sudah
terbiasakuat-kuat dengan harapan istri akan lebih puas padahal justru bahaya jadi
mengancam. Kemungkinan juga karena keduanya sudah terangsang tinggi, maka
secara otomatisdan tanpa sadar mendorong sekuat-kuatnya. Akibatnya timbul
benturan penis dengan leher rahim. Inipun akan mengancam keguguran.

2.31. Masalah Yang Berhubungan Dengan Seksualitas


Adapun penyebab dari masalah seksualitas adalah antara lain:

1. Ketidaktahuan mengenai Seks

Lebih dari 70% wanita di Indonesia tidak mengetahui dimana letak


klitorisnya sendiri.Sebuah hal yang sebenarnya sangat penting tetapi tidak
diketahui oleh banyak orang.Masalah ketidaktahuan terhadap seks sudah
betulbetul merakyat. Ini berpangkal darikurangnya pendidikan seks yang
sebagian besar dari antara masyarakat tidak memperolehnya pada waktu
remaja. Tidak jarang, pengetahuan seks itu hanyalah sebatas informasi, bukan
pendidikan. Itu terjadi karena mereka tidak mendapatkan pendidikan seks di
sekolah ataulembaga formal lainnya.

Akibatnya, keingintahuan soal seks didapatkannya dari berbagai media.


Untuk ituorang tua hendaknya memberikan pendidikan soal sekskepada
anakanaknya sejak dini. Salahsatunya dengan memisahkan anakanaknya tidur
dalam satu kamar setelah berusia sepuluhtahun, sekalipun sama-sama
perempuan atau laki-laki. Demikian halnya denganmenghindarkan anak-
anaknya mandi bersama keluarga atau juga temantemannya.

Orang tua harus menjawab jujur ketika anaknya bertanya soal seks.
Jawaban-jawaban yangdiberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai
dengan usia si anak. Karena itulah, orangtua dituntut membekali dirinya
dengan pengetahuan-pengetahuan tentang seks. Terlebih lagi, perubahan fisik
dan emosi anak akan terjadi pada usia 13 ± 15 tahun pada pria dan 12 ±
14tahun pada wanita. Saat itulah yang dinamakan masa pubertas yaitu masa
peralihan dari masaanakanak menjadi remaja. Pada saat itu pula, mereka
mulai tertarik kepada lawan jenisnya.

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak serta penuh


keingintahuan dan petualangan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi
kehidupan mereka kelak.Sayangnya, banyak di antara mereka tidak
menyadari beberapa pengalaman yang tampaknyamenyenangkan justru dapat
menjerumuskan. Rasa ingin tahu para remaja kadang-kadangkurang disertai
pertimbangan rasional akan akibat lanjut dari suatu perbuatan. Itu pun
terjadiakibat kurangnya kontrol orang tua dan minimnya pendidikan seks dari
sekolah atau lembagaformal lainnya.

2. Kelelahan

Rasa lelah adalah momok yang paling menghantui pasangan pada jaman
ini dalammelakukan hubungan seks. Apalagi dengan meningkatnya tuntutan
hidup, sang wanita harusikut bekerja di luar rumah demi mencukupi
kebutuhan seharihari. Pada waktu suami istri pulang dari kerja, mereka akan
merasa lelah. Dan pasangan yang sedang lelah jarangmerasakan bahwa
hubungan seks menarik minat. Akhirnya mereka memilih untuk
tidur.Kelelahan bisa menyebabkan bertambahnya usaha yang diperlukan
untuk memuaskankebutuhan lawan jenis dan merupakan beban yang
membuat kesal yang akhirnya bisamemadamkan gairah seks.

3. Konflik
Sebagian pasangan memainkan pola konflik merusak yang berwujud
sebagai perangterbuka atau tidak mau berbicara sama sekali satu sama lain.
Konflik menjadi kendalahubungan emosional mereka. Bahkan ini bisa
menggeser proses foreplay. Pasangan dapatmempertajam perselisihan mereka
dengan menghindari seks atau mengeluarkan ungkapan negatif atau
membandingkan dengan orang lain, yang sangat melukai perasaan
pasangannya.Kemarahan dan kecemasan yang tidak terpecahkan bisa
menyebabkan sejumlah masalahseksual antara lain masalah ereksi, hilang
gairah atau sengaja menahan diri untuk tidak bercinta. Perbedaan antara satu
orang dan lainnya biasanya tidak baik dan tidak juga buruk.Jadi haruslah
dipandang hanya sebagai perbedaan. Kemarahan, ketegangan atau
perasaankesal akan selalu menghambat gairah seks.

4. Kebosanan

Seperti halnya menggosok gigi atau menyetel alarm jam, seks bisa
dianggap seperti “kerja malam”. Hubungan seks yang rutin sebelum tidur
sering menjadi berlebihan sampai kesuatu titik yang membosankan. Yang
mendasari rasa bosan itu adalah kemarahan yangdisadari atau tidak disadari
karena harapan anda tidak terpenuhi. Masalah ini diderita olehkebanyakan
pasangan yang sudah hidup bersama bertahun-tahun. Sebagian pasangan
yangsudah hidup bersama untuk jangka waktu yang lama merasa kehilangan
getaran kenikmatanyang datang ketika melakukan hubungan seks dengan
pasangan yang baru. Orang demikianmelihat rayuan penguat ego,
dibandingkan bila bersenggama dengan mitra baru.
2.32. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Seksualitas

Penelitian mengenai seksualitas pada remaja cukup banyak dilakukan


diantaranya penelitian mengenai factor factor yang berhubungan dengan perilaku
seksual remaja dimana menyebutkan bahwa laki laki memiliki perilaku seksual
beresiko lebih tingi dibandingkan perempuan, perilaku seksual beresiko juga
dialami oleh remaja yang memiliki intensitas paparan informasi seksual lebih tinggi
dan memiliki sikap negatif (Mahmudah et al., 2016). Perilaku seksual beresiko
adalah kegiatan seksual yang meningkatkan terjadinya peluang menyebarkan
infeksi menular seksual atau kehamilan (Sankoh, 2014). Perilaku seksual beresiko
diantaranya adalah bergonta ganti pasangan seksual, memulai aktivitas seksual di
usai muda, berhubungan seksual dengan pasangan yang pernah menggunakan
narkoba suntik, memiliki pasangan yang melakukan perilakuka seksual beresiko
dan lainnya (Pandor et al., 2015).

Paparan informasi seksual yang diterima remaja memiliki hubungan dengan


kejadian perilaku seksual beresiko. Remaja yang selalu mendapatkan informasi
dengan membaca, meihat dan menonton film porno akan memotivasi dan
merangsang remaja untuk meniru atau memperaktikannya. Jika hal ini terjadi terus
menerus sangat mungkin remaja terdorong melakukan hubungan seksual dini (luar
ikatan pernikahan) (Sunaryo, 2004). Sikap negatif remaja mengenai seksualitas
memiliki hubungan dengan prilaku seksual beresiko hal ini terjadi dikarenakan
sikap yang merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau objek melihat
seksulitas sebagai hal biasa dan bisa dilakukan dengan siapa saja serta berganti
ganti pasangan (Mahmudah et al., 2016)
2.33. Orientasi Seksual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online mendefinisikan orientasi


adalah pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan,
sedangkan seksual adalah jenis kelamin dan perkara persetubuhan antara laki-laki
dan perempuan. American Psychiatric Association (APA), 2011 mendefinisikan
orientasi seksual adalah ketertarikan, romantic, emosional atau seksual seseorang
kepada orang lain. Orientasi seksual di bagi tiga jenis, yaitu heteroseksual,
homoseksual dan biseksual.

1. Heteroseksual adalah ketertarikan individu pada jenis kelamin berbeda.

2. Homoseksual adalah individu yang tertarik dengan kesamaan jenis kelamin,


sebagai contoh adalah lesbian dan Gay. Lesbian adalah perempuan memilih
untuk mengikatkan dirinya secara personal (psikis, fisik dan emosional)
dengan sesama perempuan, sedangkan Gay adalah laki laku yang memiliki
ketertarikan dengan laki-laki.

3. Biseksual adalah individu yang bisa tertarik dengan jenis kelamin sama
ataupun berbeda dalam waktu bersamaan.

Selain ketiga orientasi seksual diatas terdapat juga orientasi seksual


transgender dan transseksual. Transgender adalah seseorang yang menggunakan
atribut atribut gender berlainan dengan seks (konsepsinya) secara social oleh
masayarakat, sebagai contoh adalah waria/bencong, sedangkan transeksual adalah
seseorang yang merasa memiliki kesalahan jenis kelamin. Missal seseorang yang
memiliki jenis kelamin perempuan (vagina) sejak lahir, tetapi setelah tumbuh dan
berkembang jiwa dan psikologisnya merasa dirinya adalah laki laki dan kemudian
melakukan perubahan organ seksualnya dengan cara operasi (Yudiyanto, 2016).
Orientasi seksual yang di anggap lazim dan “normal” di dalam masyarakat adalah
heteroseksual, sedangkan homoseksual dimasyarakat dianggap sebagai
penyimpangan orientasi seksual (Wardhani, 2012).

Orientasi seksual terbentuk karena adanya interaksi kompleks antara falktor


lingkungan, kognitif dan biologis dimana kesemuanya terbentuk sejak masih kecil.
Orientasi seksual bisa mengalami penyimpangan dikarenakan adanya
perkembangan fisik, psikologi, keluarga (pola asuh) dan lingkungan (pornografi,
nerkoba) yang tidak optimal dimana mendorong dalam menguatkan identitas
negatif selain itu adanya pengalaman kekerasan seksual masa kanak kanak juga
menentukan orientasi seksual individu (American Psychiatric Association, 2011 &
Wardhani, 2012)

2.34. Identitas, Role, dan Ekspresi Gender

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online identitas adalah ciri
ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri seseorang. Sedangkan identitas
gender adalah kesadaran seseorang mengenai gendernya. Gender menurut
Meissner, 2005 dalam Nurohim, 2018 adalah pengalaman internal diri mengenai
gender dan menjadi bagian dari identitas diri seseorang. Identitas gender terbagi
kedalam dua bagian, yaitu identitas gender inti dan identitas peran gender. Identitas
gender inti adalah perasaan mejadi laki-laki atau perempuan yang terbentuk sejak
usia dini (2 tahun) berdasarkan kepada aspek biologis (laki laki dan perempuan).
Sedangkan identitas peran gender adalah perasaan individu akan gendernya baik
maskulin maupun feminine yang dipengaruhi oleh faktor sosiologis, biologis dan
psikologis (Nurohim, 2018).

Contoh variasi identitas dan peran gender yang dimiliki di Indonesia berada
pada suku bugis dimana ada lima identitas gender yang dimiliki yaitu Makkunrai,
Orowane, Calabai, Calalai dan Bissu, adapun peran gender dari Makkunrai adalah
perempuan murni (tulen), orowane adalah laki laki murni (tulen), calabai adalah
laki laki yang memiliki sifat dan prilaku ke wanitaan (feminine), calalai adalah
perempuan yang memiliki prilaku dan sifat kelaki lakian (maskulin) dan bissu
adalah gabungan antara laki laki dan perempuan. Pemilihan identitas dan peran ini
ditentukan oleh diri sendiri berdasarkan pengalaman pada hidup yang dialaminya
(Nurohim, 2018).

Adanya variasi identitas dan peran yang ada di suku bugis didalam
masyarakat umum merupakan satu hal yang tidak wajar, karena persepsi di
masyarakat pada umumnya hanya ada dua ekspresi gender yaitu maskulin dan
feminine. Ideology gender yang ada dimasyarakat telah dibangun sehingga persepsi
social secara umum ini membuat pelabelan gender hanya ada laki-laki dan
perempuan, dimana seorang laki laki memiliki kekuatan pada fisiknya, rasional
perkasa dan jantan. Sedangkan perempuan dikenal keibuan, emosional, cantik dan
lemah lembut (Fakih, 2013 dalam (Nurohim, 2018).

Ketidaksesuaian antara identitas gender (yaitu perasaan psikologis


seseorang tentang gendernya) dengan jenis kelamin yang ditetapkannya saat lahir
(biasanya berdasarkan alat kelamin luar) disebut dengan gangguan identitas gender
atau Gender Identity Disorder (GID). GID menurut DSM-5 (Diagnostic And
Statistical Manual Of Mental Disorder) APA (American Psychiatric Association)
istilahnya diperbaharui menjadi disforia gender (Gender Dysphoria) atau GD hal
ini dikarenakan GD bukanlah kelainan mental atau sakit jiwa melainkan keragaman
dalam bentuk gender (Davy & Toze, 2018).
Gender Dysphoria (GD) dialami oleh transgender dimana adanya tekanan
psikologis yang dihasilkan dari ketidaksesuaian antara jenis kelamin yang
dtetapkan saat lahir dengan identitas gendernya. Biasanya GD muncul ketika masa
kanak-kanak sampai dengan masa setelah pubertas. Identitas gender berbeda
dengan ekspresi gender, identitas gender mengacu kepada perasaan psikologi
seseorang tentang gender mereka, sedangkan ekspresi gender mengacu kepada
tampilan individu dimata dunia. misalkan penggunaan baju gaun menggambarkan
ekspresi gender “feminine” sedangkan menggunakan jas sebagai ekspresi gender “
maskulin” (Davy & Toze, 2018).

2.35. Diagnose Keperawatan

Masalah keperawatan yang bisa diangkat dari identiasa, role dan ekspresi gender
adalah

1. Gangguan identitas diri

2. Gangguan citra diri

3. Harga diri rendah situasional

4. Resiko penyebaran infeksi (infeksi menular seksual)


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Istilah psikososial sendiri menyinggung relasi
sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis. Psikososial meliputi, konsep diri,
kesehatan spiritual, konsep seksualitas. Konsep diri diartikan sebagai pandangan dan
perasaan seseorang tentang dirinya. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran
deskriptif, tetapi juga penilaian seseorang tentang dirinya. Jadi konsep diri meliputi
apa yang seseorang pikirkan dan apa yang seseorang rasakan tentang dirinya.
Kesehatan spiritual adalah kondisi yang dalam pandangan sufistik disebut sebagai
terbebasnya jiwa dari berbagai penyakit. Kondisi spiritual yang sehat terlihat dari
hadirnya ikhlas. Konsep seksualitas merupakan komponen identitas personal individu
yang tidak terpisahkan dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan
individu. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologis, psikologi personal, dan
lingkungan.

Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal,
emosional, intelektual, sosial dan spiritual (Beck, Willian dan Rawlin, 1986). Konsep
diri adalah semua perasaan, kepercayaan, dan nilai yang diketahui individu tentang
dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep
diri berkembang secara bertahap saat bayi melalui mengenal dan membedakan
dirinya dengan orang lain.
Spiritual merupakan kompleks yang unik pada tiap individu dan tergantung
pada budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ideide tentang
kehidupan seseorang (Potter & Perry, 1999). Keterkaitan Spiritual, Kesehatan dan
Sakit sangat berkaitan erat, Keyakinan spiritual sangat penting karena dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku selfcare klien.

Perkembangan spiritual pada manusia terjadi beberapa tahap,


diantaranya:Bayi dan todler (1-3 tahun), Prasekolah, Usia sekolah, Dewasa, dan Usia
pertengahan. Masalah Kebutuhan Spiritual yang muncul kita mengenalnya dengan
Distress Spiritual, dimana suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami
atau beresiko mengalami gangguan dalam kepercyaan atau sistem nilai yg
memberikannya kekuatan, harapan dan arti kehidupan.

Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang
konsep psikologis, meliputi konsep diri, kesehatan spiritual, konsep
seksualitas. Sehingga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update
ilmu pengetahuan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Penatalaksanaan yang asuhan keperawatan yang efektif dan efisien
pada pasien dengan menekankan konsep psikososial.
3. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui konsep psikologis,
meliputi konsep diri, kesehatan spiritual, konsep seksualitas sehingga dapat
menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai