Oleh
KELOMPOK 3
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga kami tim penyusun berhasil
menyelesaikan makalah sederhana ini. Shalawat dan salam marilah kita haturkan
kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat
nya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami menyusun makalah ini dengan “Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Ketidakberdayaan dan Keputusasaan“ Makalah ini disusun dengan
tujuan agar mahasiswa dapat membaca dan mempelajari tentang Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Ketidakberdayaan dan Keputusasaan.
Kami menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak. Makalah yang
kami susun ini tak luput dari kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh
karenanya, kami sebagai tim penyusun sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca.
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................i
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
A. kesimpulan ..........................................................................................................17
B. Saran....................................................................................................................17
Daftar Pustaka...............................................................................................................18
ii
BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara
klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan
menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia
(Keliat, 2011 ). Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami
peningkatan yang sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan
dunia jumlah penderita gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data dari
World Health Organisasi (WHO) dalam Yosep (2013) ada sekitar 450 juta
orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa. WHO menyatakan setidaknya
ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental, dan masalah
gangguan kesehatan jiwa yang ada di seluruh dunia sudah menjadi
masalah yang sangat serius.
Restrain dan seklusi merupakan terapi yang diberikan pada pasien
dengan tujuan merubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang
adaptif dengan melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik. Restrain
merupakan terapi dengan menggunakan alat- alat mekanik atau manual untuk
membatasi mobilitas klien. Alat tersebut meliputi penggunaan manset untuk
pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat. Retran harus dilakukan pada
kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi yang terahir jika perilaku klien
sudah tidak bias diatasi atau dikontrol dengan strategi perilaku maupun
modifikasi lingkungan. Restrain dan seklusi juga menyebakan trauma
psikologis, dimana restrain dan seklusi membuat pasien gangguan jiwa
mengambil langkah untuk bunuh diri (suicide) . Akibat selanjutnya dengan
adanya restrain dan seklusi adalah pasien menjadi cedera atau bahkan
meninggal dunia.
ECT, American Psychiatric Association (APA) menganggap tujuan
keperawatan adalah untuk mempersiapkan pasien sebelum terapi, mengurangi
kecemasan, memenuhi kebutuhan keamanan pasien, meminimalkan trauma
1
dampak fisik dan psikis selama terapi, dan mengoptimalkan pemenuhan
kebutuhan pasien pasca terapi. Stigma yang muncul dalam masyarakat terkait
tindakan ECT menuntut perawat mampu menentukan keputusan dan strategi
yang tepat. Selain kemampuan operasional prosedur standar yang harus
dikuasai seorang perawat, kemampuan pengambilan keputusan berdasarkan
aspek nilai dan moral menjadi hal yang penting sebagai bentuk upaya dalam
meningkatkan kualitas mutu pelayanan keperawatan (Godbold, 2013).
Pemberian electroconvulsive therapy (ECT) pada pasien dengan gangguan
jiwa menjadi dilema etik dalam penerapannya karena dilihat dari efek
samping yang dapat terjadi seperti gangguan pada memori (retrograde dan
anterograde amnesia) menjadi pertimbangan dalam pelaksanaannya. (Brown,
2014). Studi etik dalam perawatan kesehatan menekan pada pemecahan
dilema etik yang sering terjadi karena telah begitu banyak situasi yang
membingungkan secara moral muncul dalam perawatan kesehatan, namun
etik tidak boleh berkurang menjadi hanya suatu pertimbangan terhadap
masalah sulit. Etik keperawatan dihubungkan dengan hubungan antar
masyarakat dan dengan karakter serta sikap perawat terhadap orang lain.
Pengetahuan perawat diperoleh melalui keterlibatan pribadi dan emosional
dengan orang lain dengan ikut terlibat dalam masalah moral mereka,
(Abdullah, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Restrain ?
2. Apa saja Indikasi Restrain ?
3. Apa saja Prinsip Restrain ?
4. Apa saja hal-hal yang penting diperhatikan pada restraint ?
5. Bagaimana peran perawat ?
6. Apa pengertian ECT ?
7. Apa saja indikasi dan kontraindikasi ECT?
8. Bagaimana klien yang mendapat terapi ETC sebelum, selama dan
sesudah?
9. Bagaimana konsep psikofarmakoterapi?
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Restrain .
2. Untuk mengetahui Indikasi Restrain .
3. Untuk mengetahui Prinsip Restrain .
4. Untuk mengetahui hal-hal yang penting diperhatikan pada restraint .
5. Untuk mengetahui peran perawat .
6. Untuk mengetahui pengertian ECT .
7. Untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi ECT
8. Untuk mengetahui klien yang mendapat terapi ETC sebelum, selama dan
sesudah tindakan
9. Untuk mengetahui konsep psikofarmakoterapi
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Restrain
B. Indikasi Restrain
4
menyakiti dirinya.
c. Agresi fisik kepada orang lain.
d. Gejala kejiwaan yang parah.
C. Prinsip Restrain
Prinsip restrain menurut beberapa peneliti adalah sebagai berikut:
5
seklusi dalam bentuk apapun yang dikenakan sebagai sarana
pemaksaan, disiplin, kenyamanan atau pembalasan
Restrain dan seklusi hanya dapat diterapkan untuk menjamin
keselamatan fisik langsung dari pasien, tenaga kesehatan ataupun
oranglain disekitarnya.
D. Hal-hal yang penting diperhatikan pada restraint :
1. Pada kondisi gawat darurat, restraint/seklusi dapat dilakukan tanpa order
dokter
2. Sesegera mungkin ( < 1 jam ) setelah melakukan restraint/seklusi, perawat
melaporkan pada dokter untuk mendapatkan legalitas tindakan baik secara
verbal maupun tertulis
3. Intervensi restraint/seklusi dibatasi waktu : 4 jam untuk klien berusia >
18 th, 2 jam untuk usia 9-17 th, dan 1 jam untuk umur < 9 tahun
4. Evaluasi dilakukan 4 jam I untuk klien > 18 th, 2 jam I untuk anak-anak
dan usia 9-17 tahun
5. Waktu minimal reevaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia > 18 th
dan 4 jam untuk usia < 17 tahun
6. Selama restraint/seklusi klien diobservasi tiap 10-15 menit, focus
obsevasi : Restrain secara fisik merupakan suatu tindakan yang
membatasi pergerakan ruang bebas individu dengan menggunakan alat
seperti kursi dan meja, sabuk yang diikat pada kursi atau pengikatan yang
dilakukan diatas tempat tidur (Hantikainen, 1998 dalam Huizing, Hamers,
Gulpers, & Berger 2006). Tindakan tersebut dilakukan untuk
mengendalikan tindakan kekerasan yang timbul akibat perilaku
maladaptif dalam diri pasien, mengontrol pasien dengan gangguan mental
yang berat, mencegah cidera, dan mengurangi tindakan agitasi serta
perilaku yang agresif (Chien, Chan, Lam, Kam, 2005 dalam Moghadam,
Khoshknab, & Pazargadi 2014).
E. Peran Perawat
Dalam melakukan praktik keperawatan, seorang perawat harus
memiliki legalitas dalam melakukan perawatan. Legalitas ini diperlukan untuk
melindungi hak pasien dan hak perawat itu sendiri (Damayanti, 2013). Legal
6
merupakan suatu yang dianggap sah oleh hukum dan undang-undang. Perawat
secara langsung berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa
pelayanan dalam melakukan praktik keperawatan dan pada saat inilah sering
timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja maupun tidak
disengaja. Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, perawat bisa saja
melakukan kesalahan yang dapat merugikan klien sebagai penerima asuhan
keperawatan, bahkan bisa mengakibatkan kecacatan dan lebih parah lagi
mengakibatkan kematian, terutama bila pemberi asuhan keperawatan tidak
sesuai dengan standar praktek keperawatan. Dijelaskan bahwa tidak setiap
ethical malpractice merupakan juridical malpractice akan tetapi semua bentuk
juridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Hasyim, 2014).
restrain adalah apabila pasien mengalami agresi, agitasi, psikotik,
perilaku kekerasan terhadap orang dan lingkungan. Dalam beberapa literature
pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa indikasi dilakukan tindakan
restrain yaitu meliputi gangguan mental yang serius, perilaku psikotik,
pengendalian agitasi dan disorientasi, perilaku kekerasan pada benda-benda
disekitarnya atau pada lingkungan, agresi verbal atau ancaman menyakiti dan
atau secara aktual menyakiti dirinya, agresi fisik kepada orang lain, gejala
kejiwaan yang parah (Kontio et al, 2010; Bowers et al, 2011). Restrain sebagai
alternatif terakhir, jika benar-benar diperlukan untuk melindungi pasien atau
keselamatan orang lain, tindakan yang diberikan harus seaman mungkin, tidak
dapat tertangani dan dikendalikan dengan obat atau terapi psikososial,
menghormati martabat pasien, pasien harus diobservasi setiap 2 jam selama
restrain dan hal tersebut dimasukan ke dalam rencana keperawatan (Kontio et
al, 2010; Bowers et al, 2011). Tindakan restrain yang di design sebagai
intervensi keperawatan yang bertujuan untuk melindungi pasien dari
kemarahan pada dirinya sendiri atau orang lain ternyata memiliki dampak
negatif yang potensial baik bagi pasien maupun bagi petugas kesehatan
(Bowers, Alexander, Simpson, 2004 dalam Moghadam et al., 2014). American
Psychiatric Association juga menjabarkan tentang tujuan dilakukan tindakan
restrain, yaitu untuk mencegah bahaya terhadap diri dan orang lain,
menghindarkan gangguan serius dan kerusakan lingkungan, mempertahankan
7
penanganan sebagai bagian dari terapi perilaku, menurunkan stimulus, dan
menuruti pesanan klien sendiri.
F. Pengertian ECT
ECT merupakan terapi yang memiliki kerugian dan efek samping
selama proses atau setelah terapi, efek tersebut tentunya perlu mendapat
perhatian lebih. Selain memberikan efek kehilangan memori dan kekacauan
mental sementara, terapi ini juga memberikan efek kejang, muntah, dislokasi
sendi dan rahang, fraktur, dan nyeri kepala. Perawat professional bertanggung
jawab mencegah atau mengurangi resiko dan dampak terhadap terapi atau
pengobatan. Penerapan standar operasional tindakan tersebut telah tersedia
sebagai langkah menangani masalah tersebut, namun aspek yang paling
penting dalam menanggapi masalah tersebut adalah seberapa besar perilaku
caring atau kepedulian yang dimiliki seorang perawat.
Nilai humanisme dan moral adalah kunci utama dalam perilaku
caring perawat professional. Dalam keperawatan, humanisme merupakan
sikap dan pendekatan yang memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya
yang mempunyai kebutuhan lebih dari sekedar nomer tempat tidur atau
sebagai seorang dengan penyakit tertentu. Perawat yang menggunakan
pendekatan humanistik dalam prakteknya memperhitungkan semua yang
diketahuinya tentang pasien yang meliputi pikiran, perasaan, nilai-nilai,
pengalaman, kesukaan, perilaku dan bahasa tubuh (Alpers, 2013; Marchuk,
2014).
G. Indikasi Electroconvulsive therapy atau ECT antara lain:
Depresi berat yang mengancam nyawa pasien (dengan risiko tinggi untuk
bunuh diri dan/atau intake nutrisi dan cairan yang buruk)
Depresi yang resisten terhadap terapi (tidak berespon dengan terapi 2 obat
antidepresan dengan dosis dan durasi yang optimal) atau kondisi dimana
pilihan terapi terbatas karena efek samping obat yang berat
8
BPAD Episode manik yang gagal ditangani dengan farmakoterapi atau
dibatasi oleh efek samping yang berat
9
pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Penekanan pada pemeriksaan
riwayat penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit katup jantung,
hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit paru obstruktif kronis, refluks
gastroesofageal, dan riwayat anestesi sebelumnya. Riwayat lain yang perlu
digali adalah riwayat trauma atau operasi kepala, kejang, keluhan
neurologis fokal atau general, dan trauma/patologi muskuloskeletal.
c. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap, ureum, kreatinin, dan elektrolit. EKG 12 lead sebaiknya
dilakukan, terutama pada pasien berusia 60 tahun ke atas.
d. Obat-obatan
Obat-obat yang bisa membantu memperbaiki kondisi pasien agar lebih
aman ketika dilakukan ECT sebaiknya tetap diberikan, misalnya obat
antihipertensi, steroid, anti GERD, antiangina, dan antiaritmia. Namun
pemberiannya minimal 3 jam sebelum dilakukan ECT dengan jumlah air
untuk membantu menelan minimal.
Obat-obat yang meningkatkan risiko bahaya ECT sebaiknya dihindari
untuk diberikan selama tindakan ECT, misalnya diuretik seperti
furosemide ,obat dengan efek hipoglikemia seperti glibenclamide ,
benzodiazepine long acting seperti diazepam dan clonazepam, lithium
karbonat, antikonvulsan, suplemen yang mengandung magnesium, dan
inhibitor asetilkolinesterase.
e. Ruangan ECT
Ruangan yang akan digunakan untuk ECT sebaiknya adalah ruangan
khusus untuk ECT yang nyaman dan cukup luas untuk mengakomodasi
semua personil ECT. Ruangan ECT harus mempunyai akses ke troli
emergensi, tabung oksigen, alat suction, telepon, dan lampu emergensi.
Ruangan juga memungkinkan bila sewaktu-waktu diperlukan tindakan
CPR.
f. Peralatan ECT
Semua ruangan ECT harus dilengkapi dengan peralatan berikut:
1. Alat ECT modern dengan fasilitas :
10
Arus yang konstan, output bi-directional brief pulse square wave
Alat ECT harus mempunyai memberikan daya listrik sebesar 1000
mC. Pada alat ECT dengan voltase 450 V, ini setara dengan daya
sebesar 104 Joules
Mampu menghantarkan berbagai parameter stimulus, termasuk
pulse dengan durasi singkat
Terhubung dengan monitor EEG dengan setidaknya 2 channel dan
printer kertas
Metode untuk mengukur impedansi sirkuit
Mekanisme keamanan pada tombol untuk ECT untuk mencegah
discharge secara tidak sengaja/kecelakaan
Perawatan rutin oleh tenaga terlatih untuk peralatan medis
2. Elektroda untuk disposable EEG
3. Elektroda untuk menghantarkan stimulus dengan diameter minimal 5
cm untuk mencegah terjadinya luka bakar
4. Larutan atau gel yang bisa menghantarkan arus listrik
5. Alat monitoring tanda vital dan fungsi kardiovaskular, termasuk pulse
oximetry
6. Sumber daya manusia: spesialis anestesi, psikiater yang melakukan
prosedur ECT, dan anggota pendukung seperti perawat dan asisten
perawat
7. Peralatan anestesi dan resusitasi[
g. Posisi pasien
Posisi pasien ketika akan dilakukan ECT adalah berbaring terlentang
dengan kepala berada pada sisi alat ECT. Pasien berbaring tanpa bantal
dan berpakaian longgar.
h. Procedural
1. Sebelum tindakan
Sebelum tindakan ECT, pasien diminta untuk berpuasa minimal 6 jam
untuk mencegah regurgitasi ketika kejang. Setelah pasien berbaring
sambungkan alat monitoring seperti cuff sphygmomanometer, lead
EKG dan EEG untuk monitoring. Semua aksesoris berbahan logam
11
yang ada pada pasien harus dilepaskan, termasuk gigi palsu. Sebaiknya
pasien tidak mendapatkan obat sebelum ECT selain obat yang
diperlukan untuk mengurangi risiko ECT (misalnya antihipertensi).
Setelah semua siap, maka dilakukan tindakan anestesi umum.
2. Sewaktu tindakan
ECT dilakukan dengan menempatkan elektroda bilateral di atas lobus
temporalis. Bila ada kekhawatiran akan terjadi konfusi post-iktal, maka
bisa digunakan elektroda unilateral pada hemisfer non-dominan.
Namun penempatan elektroda bilateral lebih efektif dibandingkan
penempatan unilateral.
Pasca stimulasi, akan timbul kejang tonik klonik dalam 5-10 detik.
Idealnya kejang selama 15-120 detik. Bila kejang terjadi lebih dari 120
detik, maka harus dilakukan intervensi untuk menghentikan kejang.
Selama kejang, harus dilakukan manuver untuk menjaga agar jalan
nafas pasien tetap terbuka. Gunakan oropharyngeal airway seperti
goedel maupun alat untuk mencegah pasien menggigit pada fase
kejang. Dilakukan monitoring tanda vital, EKG, dan EEG selama
kejang.
3. Setelah tindakan
Setelah tindakan, pindahkan pasien ke ruang pemulihan. Petugas
terlatih harus memonitor jalan nafas, denyut nadi, tekanan darah, tanda
adanya kejang tardive, saturasi oksigen, serta tingkat kesadaran dan
orientasi pasien.
i. Follow up
Follow up dilakukan dalam waktu 1x24 jam pasca tindakan untuk melihat
adanya efek samping pada pasien. Efek samping yang timbul pada pasien
umumnya akan menghilang sendiri dan tidak membutuhkan intervensi.
Pasien disarankan untuk mengurangi aktivitas fisik pasca tindakan ECT.
J. Psikofakmakoterapi
1. Pengertian
Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk klien dengan
gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang
12
bersifat Neuroleptik (bekerja pada sistem saraf). Pengobatan pada
gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi :
a. Teori biologis (somatik). Mencakup pemberian obat psikotik dan
Elektro Convulsi Therapi (ECT).
b. Psikoterapeutik
c. Terapi Modalitas
13
2) Lakukan minimal prinsip lima benar
3) Laksanakan program pemberian obat
Gunakan pendekatan tertentu
Pastikan bahwa obat telah terminum
Bubuhkan tanda tangan pada dokumentasi pemberian obat
sebagai aspek legal
4) Laksanakan program pengobatan berkelanjutan melalui program
rujukan
5) Menyesuaikan dengan terapi non farmakoterapi
6) Turut serta dalam penelitian tentang obat psikofarmaka
Setelah seorang perawat melaksanakan terapi psikofarmaka maka
tugas terakhir yang penting harus dilakukan adalah evaluasi. Dikatakan
reaksi obat efektif jika :
1) Emosional stabil
2) Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat
3) Halusinasi, agresi, delusi, menarik diri menurun
4) Perilaku mudah diarahkan
5) Proses berpikir kearah logika
6) Efek samping obat
7) Tanda-tanda vital
14
4) Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun
efek samping yang dapat dialami pasien.
5) Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat
dengan aman dan efektif
6) Program Rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien di
suatu tatanan perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
7) Partisipasi dalam penelitian klinis antar disiplin tentang uji coba
obat.
8) Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian
obat yang digunakan untuk mengobati pasien gangguan jiwa
9) Kewenangan untuk memberi resep
3. Jenis, Fungsi dan Efek samping Psikofarmaka
Menurut Rusdi Maslim, yang termasuk obat-obatan psikofarmaka adalah
golongan :
a. Anti Psikotik
Anti psikotik termasuk golongan Mayor Transquilizer atau Psikotropik
: Neuroleptika
Mekanisme kerja : menahan kerja reseptor Dopamin dalam otak (di
ganglia) pada sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal
Efek farmakologi : sebagai penenang, menurunkan aktifitas
motorik, mengurangi insomnia, sangat efektif mengatasi Delusi,
Halusinasi, Ilusi dan gangguan proses berpikir
Indikasi pemberian anti psikototik : pada semua jenis psikosa,
kadang untuk gangguan maniak dan paranoid.
Efek samping pada anti psikotik : efek samping pada sistem syaraf
b. Anti Depresi
Hipotesis : Sindroma depresi disebabkan oleh defisiensi salah satu atau
beberapa aminergic neurotransmitter seperti Noradrenalin, Serotonin,
Dopamin pada sinaps neuron di SSP, khususnya pada sistem Limbik.
Mekanisme kerja obat :
Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik neurotransmitter
Menghambat reuptake aminergik neurotransmitter
15
Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine
Oxidase) sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergik
neurotransmitter pada neuron SSP
Trisiklik
MAO Inhibitor
Aminitriptylin
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ECT sebagai terapi yang memiliki kerugian dan efek samping selama
proses atau setelah terapi, efek tersebut tentunya perlu mendapat perhatian
lebih. Selain memberikan efek kehilangan memori dan kekacauan mental
sementara, terapi ini juga memberikan efek kejang, muntah, dislokasi sendi
dan rahang, fraktur, dan nyeri kepala. Perawat professional bertanggung jawab
mencegah atau mengurangi resiko dan dampak terhadap terapi atau
pengobatan. Penerapan standar operasional tindakan tersebut telah tersedia
sebagai langkah menangani masalah tersebut, namun aspek yang paling
penting dalam menanggapi masalah tersebut adalah seberapa besar perilaku
caring atau kepedulian yang dimiliki seorang perawat.
B. Saran
Sebagai seorang perawat profesional, harus memiliki kemampuan
pengambilan keputusan dalam melakukan asuhan keperawatan berdasarkan
etik keperawatan dengan memperhatikan aspek nilai dan moral. Sehingga
perawat tidak mengabaikan nilai dan moral yang ada dalam kehidupan dan
keperawatan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T., Brown, T.L. (2011). Mental illness stigma and ethnocultural beliefs,
values, and norms: An integrative review. Clinical Psychology Review. 31:934-
948.
18