Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PENYAKIT DHF

DOSEN PENGAMPU : ISMAIL FAHMI M.kep Ners. Sp. Kep MB

Kelompok V
1. BADRIA RAHADATUL AISY
2. IVANA DWI REGITA
3. SHINTA HABIBAH
4. TRI ESSI WAHYUNI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita, sehingga kami tim penyusun berhasil menyelesaikan makalah
sederhana ini.
Shalawat dan salam marilah kita haturkan kepada junjungan besar kita, Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat nya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun dengan tujuan agar mahasiswa dapat membaca dan  mempelajari
tentang PENYAKIT DHF
Kami menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak. Makalah yang kami susun ini
tak luput dari kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, kami sebagai tim
penyusun sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Jambi, Agustus 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................i


Daftar Isi..........................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang......................................................................................................1
B. Rumusan masalah.................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................2

Bab II Pembahsan
1. Definisi DHF.......................................................................................................3
2. Etiologi DHF .......................................................................................................3
3. Epidemiologi DHF.............................................................................................. 3
4. Patofisiologi DHF ................................................................................................6
5. Patologi DHF .......................................................................................................7
6. Patogenesis DHF .................................................................................................8
7. Manifestasi klinis DHF ........................................................................................8
8. Pencegahan DHF .................................................................................................9
9. Penatalaksanaan dhf ..........................................................................................10

Bab III Penutup


A. Kesimpulan .........................................................................................................12
B. Saran....................................................................................................................13

Daftar Pustaka...............................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus
Flavivirus, dan family Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus
Aedes, terutama Aedes aegypti (infodatin, 2016). Penyakit DBD dapat muncul sepanjang
tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya penyakit ini berkaitan
dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes RI, 2016).
Menurut data WHO (2014) penyakit DBD pertama kali dilaporkan di Asia Tenggara
pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar ke berbagai Negara. Sebelum tahun
1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit
endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD. Jumlah
kasus di Amerika, Asia Tenggara,dan Pasifik Barat telah melewati 1,2 juta kasus di tahun
2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat sebanyak
2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan DBD berat. Perkembangan
kasusu DBD ditingkat global semangkin meningkat, seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) yakni dari 980 kasus hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612
kasus dihampir 60 negara tahun 2000-2009 (WHO, 2014).
Menurut Soedarto (2012) Indonesia adalah daerah edemis DBD dan mengalami
epidemic sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan banyaknya genangan air bersih
dan menjadi sarang nyamuk, mobilitas penduduk yang tinggi dan cepatnya transportasi antar
daerah, menyebabkan sering terjadinya DBD. Indonesia termasuk dalam salah satu Negara
yang edemik DBD dengan jumlah penderitanya yang terus-menerus bertambah dan
penyebarannya semakin luas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi DHF ?
2. Apa etiologi DHF ?
3. Apa epidemiologi DHF ?

1
4. Apa patofisiologi DHF ?
5. Apa patologi DHF ?
6. Apa patogenesis DHF ?
7. Apa manifestasi klinis DHF ?
8. Apa pencegahan DHF ?
9. Apa penatalaksanaan dhf ?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui definisi DHF.
2. Dapat mengetahui etiologi DHF.
3. Dapat mengetahui epidemiologi DHF .
4. Dapat mengetahui patofisiologi DHF.
5. Dapat mengetahui patologi DHF.
6. Dapat mengetahui patogenesis DHF.
7. Dapat mengetahui manifestasi klinis DHF.
8. Dapat mengetahui pencegahan DHF.
9. Dapat mengetahui penatalaksanaan DHF.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi DHF
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa
ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Resti, 2014).
DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk
lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara
efidemik. (PADILA, 2012)

B. Etiologi DHF
1. Virus Dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab ib=ni termasuk ke dalam arbovirus
(arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4
dari keempat tipe virus tersebut di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya
secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavorivirus ini berdeameter 40
nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik
yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK(Babby Homsster Kidney) maupun
sel-sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus.
2. Vektor
Virus dengue serotype 1,2,3, dan 4 yang ditularkan melalui vector yaitu nyamuk
sedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesisiensis dan beberapa spesies lain
yang merupakan vector yang kurang berperan. Infeksi dengan salah satu serotype yang
menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype bersangkutan tetapi tidak ada
perlidungan terhadap serotype jenis lainnya. (Arief Mansjoer & Suprohaita;2000;420)

C. Epidemiologi DHF
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang
paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan
atau dengue shock syndrome (DSS),  ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah

3
virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD
meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negaranegara baru dan,
dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian
besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan
Karibia. 
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika
Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar
50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000
kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia,
tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan
nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak  90% di
antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi
KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah
penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun
berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna
dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang
dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009
sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%.
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus
Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae.
polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu
juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan
serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan
virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang
berasal dari penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di
dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam
tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun.
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp.
berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi infeksi

4
tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada faktor
lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Vector
capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro,
frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya
inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit
manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak),
3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih
aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular
virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan
atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat
penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding yang
kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan
gizi. Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan
penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan
tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng
mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro,
maka akan merusak sistem imun.
Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan
lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh
manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat melalui
variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan, dan lain lain.  Sumber
lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan  [requirement] oleh
tubuh untuk berbagai fungsi biologis: [pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas,
pemeliharaan kesehatan, dan lain lain].
Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi
mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum berpengaruh pada
fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot
bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu  membentuk tulang, otot & organ lain, pada tahap tumbuh
kembang; fungsi  immunitas yaitu melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan
jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi
menghadapi keadaan darurat.

5
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15
tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada
kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45
tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue),
host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya
nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan
dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap
hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.

D. Patofisiologi DHF
Virus dengue masuk dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes daan infeksi pertama
kali mungkin memberi gejala sebagai Dengue Fever (DF). Reaksi tubuh merupakan reaksi
yang biasa terlihat sebagai akibat dari proses viremia seperti demam, nyeri otot dan atau
sendi, sakit kepala, dengan/tanpa rash dan limfa denopati.
Sedangkan DBD biasanya timbul apabila seseorang telah terinfeksi dengan virus
dengue pertama kali, mendaapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Reinfeksi ini akan
menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi komplek
antibodi (komplek virus anti bodi) yang tinggi.
Terdapat komplek antigen antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan aktivitas
sistem komplemen yang berakibat dilepaskannya mediator anafilatiksin C 3a dan C 5a, dua
peptida yang berdaya melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat yang menyebabkan
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah (plasma-leakage), dan menghilangnya plasma
melalui endotel dinding itu, renjatan yang tidak diatasi secara adekuat akan menimbulkan
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan berakhir kematian.
Depresi sumsum tulang mengakibatkan trombosit kehilangan fungsi agfegaasi dan
mengalami metamorfosis, sehingga dimusnahkan oleh sistem RE dengan akibat terjadi
trombositopenia hebat dan pendarahan.
Terjadinya aktivasi faktor hegemon (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya
pembekuan intra vaskuler yang meluas. Dalam proses aktivitasi ini maka plasminogen akan
berubah menjadi plasmin yang berperan pada pembentukan anafilatoksin dan penghancuran
fibrin menjadi Fibrin Degradation Prodect (FDP).

6
E. Patologi DHF
Pada autopsi, semua pasien yang telah mati karena DHF menunjukkan suatu tingkatan
hemoragi ; berdasarkan frekuensi, hemoragi ditemukan pada kulit dan jaringan subkutan,
pada mukosa saluran gastrointestinal, dan pada jantung serta hati. Hemoragi gastrointestinal
mungkin hebat, tetapi tetapi hemoragi subaraknoid atau serebral jarang terjadi. Efusi serosa
dengan kandungan protein tinggi (kebanyakan albumim) umumnya terdapat pada rongga
pleural dan abdomen, tetapi jarang terjadi pada rongga pericardial.
Mikroskopi cahaya terhadap pembuluh darah tidak menunjukkan adanya perubahan
bermakna pada dinding vaskular. Kapiler dan venula pada sistem organ terkena dapat
menunjukkan perdarahan ekstravaskular oleh diapedisis dan hemoragi perivascular, dengan
infiltrasi perivaskular oleh limfosit dan sel-sel mononuklear. Adanya morfologis dari
pembentukan bekuan intravaskular di pembuluh darah kecil telah ditemukan pada pasien
dengan perdarahan berat.
Pada kebanyakan kasus fatal, jaringan limfosit menunjukkan peningkatan aktivitas
sistem limfosit-B, dengan proliferasi aktif sel-sel plasma dan sel-sel limfoblastoid, dan pusat
germinal aktif. Terdapat bukti yang menunjukkan terjadinya proliferasi imunoblas besar dan
pergantian limfosit yang sangat besar. Pergantian limfosit ini dimanifestasikan oleh reduksi
pulps splenik putih, limfositolisis, dan fagositosis limfositik nyata.
Pada hati, terdapat nekrosis fokal dari sel-sel hepar, pembengkakan, adanya badan
Councilman dan nekrosis hialin dari sel-sel Kupffer. Proliferasi leukosit monoklulear, dan
(jarang terjadi) leukosit polimorfonukleun, terjadi pada sinusoid dan kadang-kadang pada
area portal. Lesi di hepar secara khas menyerupai 72-96 jam setelah infeksi dengan virus
demam kuning, bila sel parenkim yang rusak terbatas.
Pada autopsi, antigen virus dengue telah ditemukan terutama dihepar, limpa, timus,
nodus limfa, dan sel-sel paru. Virus juga telah diisolasi pada autopsi dari sumsum tulang,
otak, jantung, ginjal,hati, paru, nodus limfa, dan slauran gastrointestinal.
Pemeriksaan patologis terhadap sumsum tulang, ginjal, dan kulit telah dilakukan pada
pasien yang mengalami DHF non-fatal. Pada sumsum tulang, tampak depresi semua sel-sel
hematopoeitik, yang secara cepat membaik dengan penurunan demam. Studi pada ginjal telah
menunjukkan tipe glomerulonefritis kompleks-imun yang ringan, yang akan membaik setelah
kira-kira 3 minggu dengan tidak ada perubahan residual. Biopsi terhadap ruam kulit telah
menunjukkan edema perivaskular dari mikrovaskuler termial papila dermal dan infiltrasi

7
limfosit dan monosit. Fagosit mononuklear pembawa antigen telah ditemukan pada sekitar
edema ini. Deposisi komplemen serum, immunoglobulin dan fibrinogen pada dinding
pembuluh darah juga telah ditemukan.

F. Patogenesis DHF
Ada dua perubahan patofisiologi utama terjadi pada DHF/DSS. Pertama adalah
peningkatan permeabilitas vascular yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen
vascular. Keadaan ini mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan sangat membahayakan.
Perubahan kedua adalah gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vascular,
trombositopenia, dan koagulopati.
Temuan konstan pada DHF/DSS adalah aktivasi sistem komplemen, dengan depresi
besar kadar C3 dan C5. Mediator yang meningkatkan permeabilitas vascular dan mekanisme
pasti fenomena perdarahan yang timbul pada infeksi dengue belum teridentidikasi sehingga,
diperlukan studi lebih lanjut. Kompleks imun telah ditemukan pada DHF tetapi peran mereka
belum jelas.
Defek trombosit terjadi baik kualitatif dan kuantitatif, yaitu beberapa trombosit yang
bersirkulasi selama fase akut DHF mungkin kelelahan (tidak mampu berfungsi normal).
Karenanya, meskipun pasien dengan jumlah trombosit lebih besar dari 100.000 per mm3
mungkin masih mengalami masa perdarahan yang panjang.
Mekanisme yang dapatmenunjang terjadinya DHF/DSS adalah peningkatan replica
virus dalam makrofag oleh anti bodi heterotipik. Pada infeksi sekunder dengan virus dari
serotype yang berbeda dari yang menyebabkan infeksi primer, antibody reaktif-silang yang
gagal untuk menetralkan virus dapat meningkatkan jumlah monosit terinfeksi saat kompleks
antibodi-virus dengue masuk kedalam sel ini. Hal ini selanjutnya dapat mengakibatkan
aktivasi reaktif-silang CD4+ dan CD8+ limfosit sitotoksik. Pelepasan cepat sitokin yang
disebabkan oleh aktivasi sel T dan oleh lisis monosit terinfeksi dimedia oleh limfosit
sitotoksik yang dapat mengakibatkan rembesan plasma dan perdarahan yang terjadi pada
DHF.

G. Manifestasi Klinis DHF


Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi
antara 13 – 15 hari, rata- rata 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami:
a. Deman akut atau suhu meningkat tiba – tiba (selama 2 – 7 hari)
b. Sering di sertai menggigil.

8
c. Perdaran pada kulit (petekie, ekimosis, hematoma) serta perdarahan lain seperti epitaksis,
hematemesis, hematuria, dan melena.
d. Keluhan pada saluran pernafasan (batuk, pilek, sakit waktu menelan)
e. Keluhan pada saluran cerna (mual, muntah, tak nafsu makan, diare, konstipasi)
f. Keluhan sistem tubuh yang lainnya (nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal – pegal pada seluruh tubuh, kemerahan
pada kulit, kemerahan pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi dan fotopobia,
otot – otot sekitar mata sakit bila di sentuh.
g. Hepatomegali, splenomegali.

H. Pencegahan DHF
Untuk mencegah penyakit DBD , nyamuk penularnya (Aedes aegypti) harus
diberantas sebab vaksin untuk mencegahnya belum ada. Cara yang tepat dalam pencegahan
penyakit DBD adalah dengan pengendalian vector, yaitu nyamuk aedes aegypti. Cara yang
tepat untuk memberantas nyamuk.  aedes aegypti adalah memberantas jentik-
jentiknya di tempat berkembang biaknya.
Cara ini dikenal dengan pemberantasan sarang nyamuk DBD (PSN-DBD).  Oleh
karena tempat-tempat berkembang biaknya terdapat di rumah-rumah dan tempat-tempat
umum maka setiap keluarga harus melaksanakan PSN-DBD secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali.
Cara Pencegahan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Kimia
Dengan cara pemberian abatisasi (abate), pengasapan dan fogging.
2. Fisik
Dalam sekurang-kurangya seminggu sekali, maka cegahlah dengan cara 3 M plus:
a) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan
air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air
lemari es, dan lain-lain.
b) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum,
kendi, toren air, dan sebagainya.
c) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi
untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
d) Plus, adalah segala bentuk kegiatan pencegahan, seperti:

9
 Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit
dibersihkan.
 Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk.
 Menggunakan kelambu saat tidur.
 Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk.
 Menanam tanaman pengusir nyamuk.
 Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah.
 Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi
tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain.

I. Penatalaksanaan DHF
Pengderita DHF memerlukan perawatan yang serius dan bisa berakibat fatal atau
kematian jika terlambat diatasi. Oleh karena itu seharusnya penderita dirawat di rumah sakit
(terutama penderita DHF derajat II, II, IV). Penderita sebaiknya dipisagkan dari pasien
penyakit lain dan diruang yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan penderita
dengan DHF menurut Christantie (1995) adalah sebagai berikut :
a. Tirah baring atau istirahat baring
b. Diet makan lunak
c. Minum banyak (2-2,5 liter/ 24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirop dan beri
penderita oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita
DHF.
d. Pemberian cairan interval (biasanya ringer laktat, NaCl daali) ringer Laktat merupakan
cairan interval yang paling sering digunakan mengandung Na+ 130 mEq/liter Cl 109
mEq/liter dan Ca++ 3mEq/liter.
e. Monitor tanda – tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien
memburuk, observasi ketat tiap jam.
f. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
g. Pemberian obat antiseptic sebaiknya dari golongan aseteminofen, eukinin atau dipiron
(kolaborasi dengan dokter). Juga pemberian kompres dingin.
h. Monitor tanda – tanda pendarahan lebih lanjut.
i. Pemberian antibiotic bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder (kolaborasi dengan dokter)
j. Monitor tanda – tanda dini renjatan meliputi keadaan umum, perubahantanda – tanda
vital, hasil – hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk,

10
k. Bila timbul kejang dapat diberikan diazepam (kolaborasi dengan dokter)
Penderita yang mengalami renjatan (DSS) dan penurunan kesadaran biasanya dirawat
di unit perawatan intensif. Pada penderita DSS, cairan diberikan dengan diguyur dan bila tak
Nampak perbaikan, penderita perlu mendapatkan plasma atau ekspander plasma atau dextran
antara 15 – 20 ml/kg BB. Disamping itu penderita mungkin perlu mendapatkan Na-
bikarbonas untuk mengatasi asidosis metabolic.
Pemberian cairan intervena baik berupa plasma maupun elektrolit (untuk menjaga
keseimbangan volume intravascular) dipertahankan 12 -48 jam setelah renjatan teratasi.
Transfuse darah diberikan penderita yang mengalami pendarahan yang  membahayakan
seperti hementemesis, mellena serta penderitaa yang menunjukan penurunan kadar HB, HT
pada pemeriksaan berkala (curiga adanya pendarahan intraabdominal). Indikasi pemberiak
transfuse pada penderita DHF yaitu jika ada pendarahan yang jelas secara klinis, dan
abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolol.
Tujuan pemberian trasnfusi antara lain untuk mempertahankan jumlah sirkulasi darah,
mempertahankan kemampuan pengangkutan oksigen oleh darah. Pada penatalaksanaan
penderita dengan DHF diperlukan tindakan – tindakan perawatan invasive seperti
pemasangan infuse, pengambilan darah vena dan arteri, kompres dingin, uji turniket dan
pemasangan Naso Gastric Tube (NGT) atau Sonde lambung jika perlu

11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa
ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Resti, 2014).
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi
antara 13 – 15 hari, rata- rata 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami:
a. Deman akut atau suhu meningkat tiba – tiba (selama 2 – 7 hari)
b. Sering di sertai menggigil.
c. Perdaran pada kulit (petekie, ekimosis, hematoma) serta perdarahan lain seperti epitaksis,
hematemesis, hematuria, dan melena.
d. Keluhan pada saluran pernafasan (batuk, pilek, sakit waktu menelan)
e. Keluhan pada saluran cerna (mual, muntah, tak nafsu makan, diare, konstipasi)
f. Keluhan sistem tubuh yang lainnya (nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal – pegal pada seluruh tubuh, kemerahan
pada kulit, kemerahan pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi dan fotopobia,
otot – otot sekitar mata sakit bila di sentuh.
g. Hepatomegali, splenomegali.
Cara Pencegahan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Kimia
Dengan cara pemberian abatisasi (abate), pengasapan dan fogging.
2. Fisik
Dalam sekurang-kurangya seminggu sekali, maka cegahlah dengan cara 3 M plus:
3. Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan
air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air
lemari es, dan lain-lain.
4. Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum,
kendi, toren air, dan sebagainya.

12
5. Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi
untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
6. Plusadalah segala bentuk kegiatan pencegahan, seperti:
1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit
dibersihkan.
2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk.
3) Menggunakan kelambu saat tidur.
4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk.
5) Menanam tanaman pengusir nyamuk.
6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah.
7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi
tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain.

B. Saran
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dengan makalah ini dapat
menambah pengetahuan serta lebih bisa memahami tentang pokok bahasan makalah ini bagi
para pembacanya dan khususnya bagi mahasiswa yang telah menyusun makalah ini. Semoga
makalh ini dapat bermanfaan bagi semua.

13
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta. WHO. Demam
Berdarah Dengue Edisi 2. EGC.

http://www.depkes.go.id/article/view/1602900002/controlling-dhf-with-psn-3m-plus.html.
Diakses 23 April 2018.

Judith, M. W., & Nancy, R. A. (2012). Diagnosa Keperawatan Nanda NIC NOC. Jakarta:


EGC.

Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. EGC. Jakarta.

Suwarsono H. 1997. Berbagai cara pemberantasan jentik Ae. Aegypti. Jakarta : Cermin


Dunia Kedokteran

14

Anda mungkin juga menyukai