Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

GANGGUAN KEPRIBADIAN
Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata
kuliah “Psikologi Umum”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Cece Rakhmat, M. Pd.
Dr. Setiawati, M. Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 11
Muhammad Idan Ramdhan (2105955)
Novita Zahraini (2102982)
Siti Zahra Syaufina (2100689)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Definisi Gangguan Psikologis” ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
senantiasa kami limpah curahkan kepada junjungan nabi besar kita, Nabi
Muhammad SAW. yang telah membimbing seluruh umat-Nya ke jalan yang
benar.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Psikologi Umum. Makalah ini pun bertujuan untuk menambah
wawasan mengenai gangguan psikologis bagi para pembaca dan juga bagi
penulis. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Prof. Cece Rakhmat,
M. Pd. dan Bu Setiawati, M. Pd., yang telah memberikan tugas ini kepada kami
sehingga wawasan dan pengetahuan bertambah luas sesuai dengan bidang yang
kami tekuni. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukkan kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyeelsaikan mkalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisan. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membagun dari semua
pihak.

Bandung, 3 Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan.........................................................................................2
BAB II DEFINISI GANGGUAN PSIKOLOGIS................................................3
A. Konsep Dasar Gangguan Psikologis...............................................................3
B. Gangguan Kecemasan dan Perilaku Disosiatif................................................6
C. Mengenal Gangguan Suasana Hati................................................................12
D. Skizofrenia dan Efeknya Bagi Penderita.......................................................15
E. Definisi dan Ciri-ciri Gangguan Kepribadian................................................19
F. Mengenal Gangguan Somatoform, Factitious, dan Gangguan Seksual.........25
BAB III ANALISIS PERILAKU........................................................................32
A. Contoh Kasus................................................................................................32
B. Analisis Kasus...............................................................................................32
BAB IV PENUTUP..............................................................................................29
A. Kesimpulan....................................................................................................29
B. Saran..............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................33

ii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2 Fobia Umum ………………………………………….…………...…. 8
Tabel 2.4 Gejala Positif, Negatif, dan Kognitif Skizofrenia …………………… 16
Tabel 2.5 Deskripsi Gangguan Kepribadian DSM-IV-TR …………..……….…19
Tabel 3.2 Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang DSM IV-TR…………..….. 33
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Biopsikososial ……………………………………………... 3
Gambar 2.3 Siklus Depresi …………………………………………………….. 15
Gambar 2.4 Disposisi Genetik Untuk Mengembangkan Skizofrenia …….…… 18
Gambar 2.5 Perbandingan Tingkat Kegiatan Otak di Amigdala dan Korteks
Prefrontal ………………………………………………………………………. 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikologi berasal dari kata Yunani yakni psychology yang terdiri dari kata
psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu atau pengetahuan.
Secara harfiah dapat dipahami bahwa psikologi adalah ilmu tentang jiwa. Kata
logos juga sering diartikan sebagai nalar dan logika. Meskipun istilah psyche atau
jiwa masih sulit untuk didefinisikan karena jiwa merupakan objek yang abstrak,
namun bentuknya sulit untuk dibedakan. Meskipun keberadaannya tidak dapat
disangkal (Adnan, 2018). Istilah psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
tingkah laku manusia, baik maupun buruk. Pengetahuan di bidang psikologi
biasanya digunakan untuk melihat dan melacak berbagai jenis kesehatan mental,
serta untuk memahami dan memecahkan masalah yang muncul terkait dengan
kesehatan mental.

Terdapat begitu banyak faktor-faktor yang dapat membuat kesehatan


mental seseorang terganggu hingga menyebabkan munculnya gangguan pada
psikologis seseorang. Gangguan tersebut mengakibatkan penurunan terhadap
fungsi sosial dan kinerja tiap orang yang mengalami gangguan tertentu. Biasanya
gangguan ini juga disebut dengan gangguan jiwa. Adapun pengertian gangguan
jiwa adalah pola perilaku yang ditunjukkan pada individu yang menyebabkan
distress, menurunkan kualitas kehidupan dan disfungsi. Hal tersebut
mencerminkan disfungsi psikologis, bukan sebagai akibat dari penyimpangan
sosial maupun konflik dengan masyarakat (Stuart, 2013).

Berdasarkan uraian di atas, kami akan membahas lebih lanjut lagi tentang
gangguan jiwa atau psikologis yang dapat menyerang tiap individu dalam
makalah ini. Dengan harapan bahwa setiap pihak yang membaca dapat
mengetahui lebih detail lagi tentang gangguan psikologis sehingga tiap individu

1
2

bisa melakukan tindakan pencegahan sebelum kemungkinan buruk tersebut


terjadi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah di atas, rumusan


masalah yang telah dirangkum dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana definisi dari gangguan psikologis?
2. Bagaimana gangguan kecemasan dan perilaku disruptif terjadi?
3. Bagaimana saja gangguan yang dapat menyerang suasana hati?
4. Bagaimana ciri-ciri gangguan skizofrenia dan efeknya bagi penderita?
5. Bagaimana gangguan kepribadian terjadi dan apa saja ciri-cirinya?
6. Bagaimana definisi gangguan somatoform, factitious dan gangguan seksual?

C. Tujuan Pembahasan

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, ada pun tujuan pembahasan


dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan pengertian gangguan psikologis.
2. Mendeskripsikan penyebab gangguan kecemasan dan perilaku disruptif.
3. Mendeskripsikan gangguan suasana hati.
4. Mendeskripsikan ciri-ciri gangguan skizofrenia dan efeknya bagi penderita.
5. Mendeskripsikan definisi dan gangguan cirri-ciri gangguan kepribadian.
6. Mensdeskripsikan definisi gangguan somatoform, factitious, dan gangguan
seksual.
BAB II
DEFINISI GANGGUAN PSIKOLOGIS

A. Konsep Dasar Gangguan Psikologis


Pengertian dari gangguan psikologis adalah pola pikir, emosi, dan perilaku
disfungsional yang berkelanjutan yang menyebabkan penderitaan yang signifikan,
dan dianggap menyimpang dalam budaya atau masyarakat orang tersebut. Seperti
halnya dalam ranah medis, gangguan psikologis memiliki pengaruh biologis
(alam) maupun lingkungan (pengasuhan). Pengaruh kausal ini tercermin dalam
model penyakit bio-psiko-sosial.

Model penyakit bio-psiko-sosial adalah cara memahami gangguan yang


mengasumsikan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis,
psikologis, dan sosial. Komponen biologis dari model bio-psiko-sosial mengacu
pada pengaruh gangguan yang berasal dari fungsi tubuh individu. Terutama
penting adalah karakteristik genetik yang membuat beberapa orang lebih rentan
terhadap gangguan daripada yang lain dan pengaruh neurotransmiter. Komponen
psikologis dari model bio-psiko-sosial mengacu pada pengaruh yang berasal dari
individu, seperti pola berpikir negatif dan respon stres. Komponen sosial dari
model bio-psiko-sosial mengacu pada pengaruh gangguan karena faktor sosial dan
budaya seperti status sosial ekonomi, tunawisma, pelecehan, dan diskriminasi.
Gambar 2.1 Model Biopsikososial

3
Psikolog telah mengembangkan kriteria yang membantu mereka
menentukan apakah perilaku harus dianggap sebagai gangguan psikologis dan
yang mana dari banyak gangguan yang ditunjukkan oleh perilaku tertentu.
Kriteria ini dituangkan dalam manual 1.000 halaman yang dikenal sebagai
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), sebuah dokumen
yang menyediakan bahasa umum dan kriteria standar untuk klasifikasi gangguan
mental. DSM digunakan oleh terapis, peneliti, perusahaan obat, perusahaan
asuransi kesehatan, dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat untuk menentukan
layanan apa yang diberikan secara tepat untuk merawat pasien dengan gejala
tertentu. Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM) digunakan
untuk mengklasifikasikan gangguan psikologis di Amerika Serikat.

3
5

Menurut sistem Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


(DSM) yang termasuk ke dalam kelompok Axis II adalah gangguan jangka
panjang yang cenderung tidak melumpuhkan. Gangguan kepribadian atau
Personality disorders merupakan bagian dari kelompok Axis II. Gangguan yang
ditandai dengan pola pikir, perasaan, atau hubungan yang tidak fleksibel dengan
orang lain yang menyebabkan masalah dalam situasi pribadi, sosial, dan
pekerjaan. Widiger mengatakan gangguan kepribadian cenderung muncul pada
akhir masa kanak-kanak atau remaja dan biasanya berlanjut sepanjang masa
dewasa.

Gangguan kepribadian dikategorikan menjadi 3 jenis perilaku, jenis


pertama ditandai dengan perilaku aneh dan eksentrik. Contoh gejala gangguan
kepribadian jenis pertama adalah Schizotypal, gejala ini ditandai dengan cara
berbicara atau berpakaian yang aneh atau eksentrik, keyakinan yang aneh seperti
kepercayaan pada pemikiran magis ESP atau telepati, kesulitan membentuk
hubungan dengan teman, menunjukan perilaku yang aneh dalam percakapan
seperti tidak menanggapi atau berbicara pada diri sendiri, cara berkomunikasi
yang rumit atau sulit diikuti (mungkin bentuk ringan dari skizofrenia). Paranoid,
gejala paranoid berhubungan dengan cara individu menilai seseorang. Gejala
paranoid ini ditandai dengan ketidakpercayaan pada orang lain, kecurigaan bahwa
orang memiliki motif jahat, selalu memiliki presepsi buruk terhadap orang lain,
rentan terhadap kemarahan tetapi sebaliknya secara emosional dingin, sering
cemburu, berhati-hati, tertutup, terlalu serius. Schizoid, ditandai dengan
introversion/introvert dan berusaha untuk menarik diri dari hubungan-hubungan
dengan lingkungannya, lebih suka menyendiri, tidak mempunyai ketertarikan
dengan orang lain, tidak mempunyai selera humor, terlalu asik dengan dunianya
sendiri, sering melamun, memiliki kemampuan bersosialisasi yang buruk, dan
sering dianggap sebagai penyendiri.

Kategori gangguan kepribadian selanjutnya ditandai dengan perilaku


dramatis atau tidak menentu. Gejala yang terjadi antara lain, antisocial memiliki
rasa moral yang rendah, memiliki masalah hukum seperti penipuan, kejahatan,
dan kekerasan, berperilaku impulsive dan aggressive, memiliki empati emosional
yang kecil atau tidak ada rasa penyesalan karena menyakiti orang lain, memiliki
6

sifat manipulatif, ceroboh, tidak berperasaan, dan berisiko tinggi dalam


penyalahgunaan zat, alkohol dan obat-obatan terlarang.

B. Gangguan Kecemasan dan Perilaku Disosiatif

Dalam kehidupan, kita sebagai suatu individu yang hidup di dunia pasti
pernah merasakan kecemasan, kegugupan atau bahkan kegelisahan yang sering
kali terjadi. Terkadang rasa cemas itu datang tiba-tiba dengan penyebab tertentu.
Kecemasan merupakan bentuk emosi manusia yang terkait dengan aktivasi sistem
saraf simpatik dan respons fisiologis serta perilaku yang dapat membantu kita
terlindungi dari suatu bahaya. Pada umumnya, merasa cemas merupakan suatu hal
yang normal di dalam kehidupan. Namun, terlalu banyak merasakan kecemasan
pun dapat melemahkan kondisi mental dan fisik kita dan setiap tahun, terdapat
jutaan orang menderita gangguan kecemasan yang seringkali ditandai dengan
adanya ketakutan irasional terhadap suatu objek atau pun situasi tertentu dalam
kehidupan sehari-hari (Kessler, Chiu, Demler, & Walters, 2005). Gangguan
kecemasan ini ada begitu banyak macamnya dan akan dijelaskan sebagai berikut.

A) Generalized Anxiety Disorder (GAD)


Dalam perawatan primer, GAD termasuk ke dalam gangguan
kecemasan paling banyak yang paling sering terjadi dalam perawatan
primer dan gangguan psikiatri kedua setelah depresi (Wittchen, 2001).
Seseorang dengan penderita GAD akan merasakan kekhawatiran
berlebihan terhadap sesuatu, seperti uang, kesehatan, pekerjaan,
kehidupan keluarga dan hal-hal lain yang ada di hidupnya meskipun ia
mengerti bahwa kekhawatiran yang dialami terlalu dilebih-lebihkan
dan dapat menyebabkan perilaku disfungsi. Penderita GAD mengalami
beberapa gejala fisik, termasuk mudah tersulut emosi, mengalami
masalah tidur, sulit untuk berkonsentrasi, gemetar dan berkeringat.
Penderita tidak dapat menghindari kecemasan karena tidak tahu
penyebab dari ketakutan yang jelas. Tidak seperti gangguan kecemasan
lain, GAD lebih sering menyerang pria atau pun wanita dewasa
dibanding anak-anak. Sekitar 10 juta orang Amerika menderita GAD,
7

dan sekitar dua pertiganya adalah wanita (Kessler, Chiu, Demler, &
Walters, 2005; Robins & Regier, 1991).

B) Panic Disorder
Gangguan psikologis ini ditandai dengan adanya serangan panik
yang terjadi secara tiba-tiba dan menyebabkan perubahan perilaku
pada individu. Gejala yang menimpa penderita panic disorder meliputi
sesak nafas, tremor, pusing, mual dan ketakutan terhadap kejadian
menakutkan yang datang. Menurut Yaunin (2012) hal ini juga
dibarengi dengan perasaan serangan cemas mendadak dan terus
menerus disertai dengan perasaan takut akan datangnya ancaman atau
bahaya. Serangan panik ini biasanya berlangsung selama 20 menit,
namun mengalami fluktuasi dan akan mereda dalam waktu 10 menit.
Pada umumnya, penderita sering memusatkan perhatian mereka
terhadap ketakutan dan kecemasan sehingga mereka sangat sensitif
terhadap kemungkinan ancaman yang datang (MacLeod et. al, 2002).

C) Phobias
Fobia merupakan ketakutan spesifik terhadap suatu objek, situasi,
ataupun aktivitas tertentu. Azmarina (2015) mengatakan bahwa fobia
berbeda dngan rasa ketakutan biasa karena fobia merupakan ketakutan
yang ekstrem dan berada di luar tuntutan situasi dan pada dasarnya
yang menjadi alasan penyebab sering kali tidak rasional. Pada
umumnya, wanita lebih sering menderita fobia daripada laki-laki.
Mengalami rasa takut dapat berkisar dari ketidaknyamanan hingga
serangan panik yang parah. Kebanyakan orang belajar untuk hidup
dengan fobia mereka, tetapi bagi yang lain, rasa takut justru sangat
melemahkan dan bisa menjadi ekstrem untuk menghindari situasi yang
mengerikan. Misalnya, seseorang dengan arachnophobia (takut pada
laba-laba) menolak untuk memasuki suatu ruangan sampai ia harus
mengeceknya secara menyeluruh untuk memastikan tidak ada laba-
laba disana, atau menolak untuk berlibur di pedesaan karena
8

kemungkinan akan munculnya laba-laba. Orang dengan acrophobia


(takut dengan ketinggian) dapat mengarungi dunia dengan perahu layar
tanpa rasa takut, namun akan menolak untuk pergi ke balkon di lantai
5 gedung. DSM IV—TR membuat pengklasifikasian fobia menjadi 3
tipe yakni agorafobia, fobia sosial dan fobia spesifik. Agorafobia
terjadi ketika individu takut dengan keramaian dan tempat yang
terbuka. Penderita agorafobia cenderung takut terhadap kerumunan
dan tempat ramai. Tak hanya itu, mereka kerap kali merasa ketakutan
berada di ruang sempit dan merasa tidak nyaman berada di tempat luas
dan terbuka (Natal, 2021). Sedangkan fobia sosial diartikan sebagai
kecemasan terhadap situasi sosial, ditandai dengan rasa malu yang
ekstrem ketika bertemu orang lain atau merasakan ketidaknyamanan
jika berada di lingkungan sekitar (Hanifa & Santoso, 2016). Yang
terakhir yaotu fobia spesifik, merupakan ketakutan tidak masuk akal
terhadap objek maupun situasi tertentu yang dapat mengganggu fungsi
kehidupan sehari-hari yang dapat menimbulkan kecemasan dan
berhadapan dengan stimulus fobia tertentu (Azmarina, 2015).

Tabel 2.2 berikut akan menyajikan daftar fobia umum berdasarkan


diagnosa psikolog.
Tabel 2.2 Daftar Fobia Umum

Nama Deskripsi
Acrophobia Takut terhadap ketinggian
Agoraphobia Takut terhadap situasi dimana sulit untuk
melarikan diri
Arachnophobia Takut terhadap laba-laba
Astraphobia Takut terhadap petir dan kilat
Claustrophobia Takut terhadap ruang tertutup
Cynophobia Takut terhadap anjing
Mysophobia Takut terhadap kuman dan kotoran
Ophidiophobia Takut terhadap ular
Pteromerhanophobi Takut terbang
9

a
Social phobia Takut terhadap situasi sosial
Trypanophobia Takut disuntik
Zoophobia Takut pada binatang kecil

D) Obsessive Compulsive Disorders (OCD)


Gangguan psikologis ini menyebabkan penderitanya mengalami
pemikiran yang menakutkan dan menyulitkan terjadi secara terus-
menerus dan terlibat dalam obsesi (pemikiran berulang) atau kompulsi
(perilaku berulang). OCD mengakibatkan perubahan perilaku yang
signifikan. Penderita gejala ini bisa saja mencuci tangan lebih dari 20
kali, dengan tujuan untuk memastikan tangannya bersih dan hal itu
termasuk tindakan yang abnormal. Para penderita OCD mengetahui
bahwa hal yang dilakukannya tidak logis tetapi mereka tidak dapat
menghentikannya. Sebab ketika sudah melakukan kegiatan berulang
tersebut, terdapat kelegaan di dalam diri penderita sehingga perilaku
itu pun terus berulang lagi.

E) Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Orang-orang yang selamat dari cobaan seperti pertempuran,
penyiksaan, penyerangan seksual, pemenjaraan, perlakuan buruk,
bencana alam, atau kematian seseorang yang dekat dengan mereka
dapat mengembangkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Kecemasan dapat dimulai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
setelah kejadian tersebut. Orang dengan PTSD mengalami kecemasan
tingkat tinggi dengan keinginan kuat untuk mendapatkan kembali
trauma (kilas balik) dan menghindari mengingat peristiwa. Mereka
mungkin kehilangan minat pada apa yang mereka sukai sebelumnya,
mudah takut dan sulit untuk merasakan kasih sayang. Mereka juga
mungkin akan mengalami kecemasan, kemarahan, depresi, atau
insomnia. Gejala-gejala ini akan terlihat ketika penderita mendekati
tempat kejadian. Faktor risiko PTSD termasuk ke dalam tingkat
10

keparahan trauma, dukungan dari keluiarga dan masyarakat yang


kurang, dan stresor kehidupan tambahan (Brewin, Andrews, &
Valentine, 2000). Kebanyakan orang dengan gangguan PTSD juga
menderita gangguan mental lain, terutama depresi, gangguan
kecemasan lainnya, dan penyalahgunaan zat (Brady, Back, & Coffey,
2004).

Gangguan disosiatif adalah suatu kondisi yang melibatkan gangguan atau


kerusakan memori, kesadaran, dan identitas. Disosiasi digunakan sebagai
pertahanan terhadap trauma. Berikut ini meru[akan macam-macam gangguan
disosiatif.

A) Amnesia Disosiatif dan Fugue


Menurut van der Hart & Nijenhuis (2009) amnesia disosiatif
merupakan gangguan psikologis yang menyebabkan kehilangan
memori secara luas namun selektif, dan tidak ada penjelasan fisiologis
untuk melupakan. Amnesia biasanya disebabkan oleh trauma. Ini
adalah situasi yang menyebabkan rasa takut yang menyakitkan
sehingga seseorang "lupa" untuk melarikan diri. Trauma tersebut
termasuk bencana, kecelakaan, kekerasan fisik, pemerkosaan dan
tekanan serius lainnya (Cloninger & Dokucu, 2008). Orang dengan
amnesia disosiatif pada dasarnya memiliki kepribadian yang sama,
tetapi mereka mengingat tugas sehari-hari mereka seperti membaca,
menulis, dan memecahkan masalah, tetapi mereka cenderung
melupakan hal-hal dari kehidupan pribadi mereka, seperti nama, usia
dan pekerjaan mereka, serta tidak dapat mengenali keluarga dan teman
(van der Hart & Nijenhuis, 2009).

B) Gangguan Identitas Disosiatif


Gangguan Identitas Disosiatif adalah gangguan mental di mana dua
orang atau lebih dengan kepribadian yang berbeda hadir pada orang
yang sama dan memiliki gangguan memori yang ekstrim dalam
11

kaitannya dengan informasi pribadi tentang kepribadian lain (van der


Hart & Nijenhuis, 2009). Gangguan Identitas Disosiatif, sebelumnya
dikenal sebagai "Gangguan Kepribadian Ganda", masih digunakan
sampai sekarang. Gangguan ini kadang-kadang keliru disebut
skizofrenia. Dalam beberapa kasus gangguan identitas disosiatif,
mungkin ada lebih dari 10 kepribadian yang berbeda dalam satu
individu. Peralihan dari satu kepribadian ke kepribadian lainnya
biasanya terjadi secara tiba-tiba dan seringkali disebabkan oleh situasi
yang penuh tekanan (Gillig, 2009). Kepribadian tuan rumah paling
sering adalah kepribadian yang mengendalikan tubuh, dan kepribadian
yang berubah cenderung berbeda satu sama lain dalam hal usia, ras,
jenis kelamin, bahasa, tata krama, dan bahkan orientasi seksual (Kluft,
1996). Seorang pemalu dan introvert dapat mengembangkan
kepribadian yang berisik dan ekstrovert. Setiap kepribadian memiliki
memori dan hubungan sosial yang unik (Dawson, 1990). Wanita lebih
mungkin didiagnosis dengan gangguan identitas disosiatif daripada
pria, dan ketika didiagnosis, wanita cenderung memiliki lebih banyak
"kepribadian" (American Psychiatric Association, 2000).

Apakah kecenderungan genetik untuk takut memanifestasikan dirinya


sebagai gangguan tergantung pada faktor lingkungan. Orang-orang yang
dilecehkan di masa kanak-kanak lebih cenderung lebih cemas daripada orang-
orang masa kanak-kanak normal, bahkan dengan kecenderungan genetik yang
mirip dengan ketakutan akan kerentanan (Stein, Schork & Gelernter, 2008). Dan
gangguan kecemasan dan disosiatif yang paling serius seperti PTSD biasanya
disebabkan oleh pengalaman peristiwa stres yang hebat. Kecemasan juga
dipelajari melalui pengkondisian klasik dan operan. Korban perkosaan dapat
menjadi cemas saat mereka melewati tempat kejadian, seperti halnya tikus yang
ketakutan di dalam kandang merasakan ketakutan kronis terhadap lingkungan
laboratorium (yang merupakan stimulus kecemasan bersyarat), dan korban PTSD
dapat bereaksi terhadap ingatan. Atau kenangan tentang peristiwa yang membuat
stres. Pengkondisian klasik juga dapat disertai dengan generalisasi rangsangan.
12

Gigitan anjing dapat menyebabkan kecemasan umum pada semua anjing.


Serangan panik yang mengikuti momen memalukan di satu tempat bisa
digeneralisasi menjadi ketakutan di semua tempat umum. Reaksi orang terhadap
rasa takut seringkali tinggi. Perilaku menjadi kompulsif untuk menghilangkan rasa
sakit dari pikiran cemas. Demikian pula, menyerah atau menghindari rangsangan
kecemasan menciptakan rasa tenang dan lega dan meningkatkan perilaku fobia.
Berbeda dengan gangguan kecemasan, penyebab urutan disosiatif kurang
jelas. Tidak seperti kebanyakan tatanan psikologis, hanya ada sedikit bukti tentang
kecenderungan genetik; mereka tampaknya hampir seluruhnya ditentukan oleh
lingkungan. Trauma emosional yang parah selama masa kanak-kanak, seperti
pelecehan fisik atau seksual, ditambah dengan stresor yang kuat, biasanya disebut
sebagai penyebab yang mendasarinya (Alpher, 1992; Cardeña & Gleaves, 2007).
Kihlstrom, Glisky, dan Angiulo (1994) menyarankan bahwa orang-orang dengan
kepribadian yang membuat mereka berfantasi dan menjadi sangat terserap dalam
pengalaman pribadi mereka sendiri lebih rentan untuk mengembangkan gangguan
disosiatif di bawah tekanan. Gangguan disosiatif dalam banyak kasus dapat
berhasil diobati, biasanya dengan psikoterapi (Lilienfeld & Lynn, 2003).

C. Mengenal Gangguan Suasana Hati

Gangguan suasana hati (atau afektif) adalah gangguan mental di mana


suasana hati seseorang secara negatif mempengaruhi proses fisik, persepsi, sosial,
dan kognitif mereka. Gejala paling umum yang biasa dirasakan oleh orang-orang
dengan gangguan seperti ini adalah timbulnya suasana hati negatif, sering dikenal
sebagai kesedihan atau depresi. Gangguan suasana hati ini bisa menimpa semua
usia, rata-rata dari usia 32 tahun (Kessler, Berglund, Demler, Jin, & Walters,
2005). Culbertson (1997) mengatakan bahwa wanita lebih banyak mengalami
depresi daripada pria.

Depresi dapat menyebabkan efek cukup berpengaruh pada kehidupan


sosial penderita. Seseorang yang mengalami depresi akan kehilangan minat,
produktivitasnya menurun serta ia akan cenderung membatasi kontak sosial
dengan sekitar. Depresi ini bisa dialami ketika lelah dan mengalami terlalu banyak
kekecewaan. Tingkat depresi yang terlihat pada orang dengan gangguan suasana
13

hati sangat bervariasi. Orang yang telah mengalami depresi selama bertahun-
tahun, tampak normal dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, dan
merasa jarang atau tidak pernah bahagia, lebih mungkin didiagnosis dengan
gangguan suasana hati. Jika depresi ringan tetapi jangka panjang, ia didiagnosis
dengan distimia. Ini adalah kondisi yang ditandai dengan gejala depresi ringan
namun kronis yang berlangsung setidaknya selama dua tahun.

Fairchild dan Scoogin (2008) memberikan pendapat jika depresi berlanjut


dan menjadi parah, diagnosisnya mungkin merupakan gangguan depresi mayor.
Gangguan depresi mayor (depresi klinis) adalah gangguan mental yang ditandai
dengan depresi dan penurunan harga diri, biasanya hilangnya minat dan
kenikmatan dalam kegiatan yang menyenangkan. Orang dengan gangguan
depresif berat mengalami kesedihan mendalam, keputusasaan, dan kehilangan
minat dalam pengejaran yang pernah memberi mereka kegembiraan. Emosi
negatif ini sangat membatasi kemampuan individu untuk mempertahankan dan
mengembangkan fungsi dan minat mereka sehari-hari dalam hidup. Gangguan
depresi mayor lebih sering dialami oleh wanita dibandingkan pada pria (Kessler,
Chiu, Demler, & Walters, 2005; Kessler et al., 2003). Dalam beberapa kasus,
orang dengan depresi klinis dapat dipisahkan dari kenyataan dan didiagnosis
dengan episode depresi mayor dengan fitur psikotik. Dalam hal ini, depresi
termasuk delusi dan halusinasi.

Distimia dan gangguan depresif mayor ditandai dengan suasana hati


negatif yang tidak normal, sedangkan gangguan bipolar adalah gangguan mental
yang ditandai dengan kesedihan, keputusasaan, dan kembalinya suasana hati
"terlalu tinggi". Gangguan bipolar merupakan kondisi kronis seumur hidup yang
dapat dimulai pada masa kanak-kanak. Pola yang biasa melibatkan ayunan tinggi
ke rendah, tetapi dalam beberapa kasus, seseorang mungkin mengalami tinggi dan
rendah pada saat yang bersamaan. Sulit untuk menentukan apakah seseorang
memiliki gangguan bipolar karena komorbiditas umum dengan gangguan depresi
dan kecemasan. Gangguan bipolar lebih mungkin didiagnosis ketika pertama kali
diamati pada usia dini, ketika episode depresi sering terjadi, dan ketika gejala tiba-
tiba muncul (Bowden, 2001).
14

Gangguan suasana hati bisa diturunkan karena bersifat genetik (Berrettini,


2006; Merikangas et al., 2002). Dalam hal ini, neurotransmitter berfungsi
memainkan peran memainkan peran penting dalam gangguan suasana hati.
Serotonin, dopamin, dan norepinefrin dapat mempengaruhi suasana hati (Sher &
Mann, 2003), dan obat-obatan pun juga mempengaruhi tindakan bahan kimia ini
sering digunakan untuk mengobati gangguan suasana hati. Dalam beberapa kasus,
otak seseorang dengan gangguan mood mungkin secara struktural berbeda dari
otak seseorang tanpa gangguan mental. Videbech dan Ravnkilde (2004)
menemukan bahwa hipokampus orang depresi lebih kecil daripada orang sehat.
Ini mungkin hasil dari penurunan neurogenesis (proses menciptakan neuron baru)
pada orang dengan depresi (Warner Schmidt & Duman, 2006). Antidepresan
sebagian dapat meredakan depresi dengan meningkatkan neurogenesis (Duman &
Monteggia, 2006).

Namun, determinan psikologis dan sosial juga penting dalam


perkembangan gangguan mood dan depresi. Dalam hal sifat psikologis, keadaan
suasana hati sangat dipengaruhi oleh kognisi kita. Pikiran negatif tentang diri
sendiri dan hubungan seseorang dengan orang lain menciptakan suasana hati yang
negatif. Tujuan terapi kognitif untuk gangguan mood adalah mencoba membuat
persepsi orang lebih positif. Suasana hati yang negatif juga menyebabkan
perilaku negatif terhadap orang lain, misalnya, mengisolasi seseorang dapat
menyebabkan depresi lebih lanjut.

Gambar 2.3 berikut ini menjelaskan “Siklus Depresi". Anda dapat melihat
bagaimana mungkin menjadi sulit bagi orang untuk keluar dari "siklus depresi"
ini.
15

Gambar 2.3 Siklus Depresi

D. Skizofrenia dan Efeknya Bagi Penderita

Istilah skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti "pikiran


terbelah," pertama kali digunakan untuk menggambarkan gangguan psikologis
oleh Eugen Bleuler (1857-1939), seorang psikiater Swiss yang sedang
mempelajari pasien yang memiliki gangguan pikiran sangat parah. Skizofrenia
merupakan gangguan psikologis serius ditandai dengan delusi, halusinasi,
kehilangan kontak dengan kenyataan, afek yang tidak sesuai, bicara tidak teratur,
penarikan sosial, dan kemunduran perilaku adaptif. Gangguan ini merupakan yang
paling kronis dan melemahkan dari semua gangguan psikologis.

Gejala positif mengacu pada adanya perilaku atau pengalaman abnormal


(seperti halusinasi) yang tidak diamati pada orang normal, sedangkan gejala
negatif (seperti kurangnya afek dan ketidakmampuan untuk bersosialisasi dengan
orang lain) mengacu pada hilangnya atau kemunduran pikiran dan perilaku yang
khas dari fungsi normal. Terakhir, gejala kognitif adalwah perubahan proses
16

kognitif yang menyertai skizofrenia (Skrabalo, 2000; University of Minnesota,


2015). Orang dengan skizofrenia hampir selalu menderita halusinasi—sensasi
imajinasi yang terjadi tanpa adanya stimulus nyata atau yang merupakan distorsi
besar dari stimulus nyata. Halusinasi pendengaran adalah yang paling umum
dialami dan dilaporkan oleh sekitar tiga perempat pasien (Nicolson, Mayberg,
Pennell, & Nemeroff, 2006). Pasien skizofrenia sering mendengar suara imajiner
yang mengutuk mereka, mengomentari perilaku mereka, memerintahkan mereka
untuk melakukan sesuatu, atau memperingatkan mereka akan bahaya seperti yang
dijelaskan dalam National Institute of Mental Health. Halusinasi visual kurang
umum dan sering melibatkan melihat Tuhan atau iblis (De Sousa, 2007). Orang
dengan pengidap skizofrenia juga sering mengalami delusi, yaitu keyakinan salah
yang tidak umum dimiliki oleh orang lain dalam budaya seseorang, dan
dipertahankan meskipun mereka jelas tidak berhubungan dengan kenyataan.
Orang dengan delusi keagungan percaya bahwa mereka penting, terkenal, atau
berkuasa. Mereka sering menjadi yakin bahwa mereka adalah orang lain, seperti
presiden atau Tuhan, atau bahwa mereka memiliki bakat atau kemampuan khusus.
Beberapa mengklaim telah ditugaskan untuk misi rahasia khusus (Buchanan &
Carpenter, 2005). Orang dengan delusi penganiayaan percaya bahwa seseorang
atau kelompok berusaha untuk menyakiti mereka. Maher (2001) berpendapat
bahwa mereka mungkin berpikir bahwa terdapat orang yang dapat membaca
pikiran mereka dan mengendalikan pikiran mereka. Jika seseorang menderita
delusi penganiayaan, ada kemungkinan besar dia akan menjadi kekerasan, dan
kekerasan ini biasanya ditujukan pada anggota keluarga (Buchanan & Carpenter,
2005).
Tabel 2.4 Gejala Positif, Negatif, dan Kognitif Skizofrenia
Gejala Positif Gejala Negatif Gejala Kognitif
Halusinasi Penarikan sosial Kontrol eksekutif yang
buruk
Delusi Pengaruh datar dan Kesulitan untuk fokus
kurangnya kesenangan
dalam kehidupan sehari-
hari
17

Derailment Apatis dan kehilangan Masalah memori kerja


motivasi
Perilaku yang sangat Perasaan waktu yang Kemampuan
tidak teratur terdistorsi memecahkan masalah
yang buruk
Pengaruh yang tidak Kurangnya aktivitas
pantas yang berorientasi pada
tujuan
Gangguan pergerakan Pembicaraan terbatas
Kebersihan dan
perawatan yang buruk

Gejala negatif skizofrenia termasuk penarikan sosial, kebersihan dan


perawatan yang buruk, kemampuan pemecahan masalah yang buruk, dan rasa
waktu yang terdistorsi (Skrabalo, 2000). Pasien sering menderita afek datar, yang
berarti bahwa mereka hampir tidak mengekspresikan respons emosional
(misalnya, mereka berbicara dengan nada monoton dan memiliki ekspresi wajah
yang kosong) meskipun mereka mungkin melaporkan perasaan emosi (Kring,
1999). Gejala negatif lainnya adalah kecenderungan ke arah bahasa yang tidak
koheren, misalnya, untuk mengulang ucapan orang lain. Beberapa penderita
skizofrenia mengalami gangguan motorik, mulai dari katatonia lengkap dan
ketidakpedulian yang nyata terhadap lingkungan mereka hingga aktivitas motorik
acak dan hiruk pikuk di mana mereka menjadi hiperaktif dan tidak koheren
(Kirkpatrick & Tek, 2005).
Studi dalam genetika molekuler belum mengidentifikasi gen tertentu yang
bertanggung jawab untuk skizofrenia, tetapi terbukti dari penelitian yang
menggunakan studi keluarga, kembar, dan adopsi bahwa genetika itu penting
(Walker & Tessner, 2008). Seperti yang Anda lihat pada Gambar 2.4 “Disposisi
Genetik untuk Mengembangkan Skizofrenia”, kemungkinan mengembangkan
skizofrenia meningkat secara dramatis jika kerabat dekat juga menderita penyakit
tersebut.
18

Gambar 2.4 Disposisi Genetik Untuk Mengembangkan Skizofrenia

Studi neuroimaging telah menemukan beberapa perbedaan dalam struktur


otak antara pasien skizofrenia dan normal. Pada beberapa orang dengan
skizofrenia, ventrikel serebral (ruang berisi cairan di otak) membesar (Suddath,
Christison, Torrey, Casanova, & Weinberger, 1990). Orang dengan skizofrenia
juga sering menunjukkan hilangnya keseluruhan neuron di korteks serebral, dan
beberapa menunjukkan aktivitas yang lebih sedikit di lobus frontal dan temporal,
yang merupakan area otak yang terlibat dalam bahasa, perhatian, dan memori. Hal
ini akan menjelaskan penurunan fungsi dalam bahasa dan proses berpikir yang
biasa dialami oleh pasien skizofrenia (Galderisi et al., 2008). Banyak peneliti
percaya bahwa skizofrenia sebagian disebabkan oleh kelebihan dopamin, dan teori
ini didukung oleh fakta bahwa sebagian besar obat yang berguna dalam mengobati
skizofrenia menghambat aktivitas dopamin di otak (Javitt & Laruelle, 2006).
Tingkat serotonin juga dapat berperan (Inayama et al., 1996). Tetapi bukti terbaru
menunjukkan bahwa peran neurotransmiter dalam skizofrenia lebih rumit
daripada yang pernah diyakini. Juga masih belum jelas apakah perbedaan yang
diamati dalam sistem neurotransmiter orang dengan skizofrenia menyebabkan
penyakit, atau apakah itu akibat dari penyakit itu sendiri atau pengobatannya
(Csernansky & Grace, 1998).
19

E. Definisi dan Ciri-ciri Gangguan Kepribadian

Gangguan kepribadian merupakan gangguan yang ditandai dengan pola


pikir, perasaan, atau hubungan yang tidak fleksibel dengan orang lain yang
menyebabkan masalah dalam situasi pribadi, sosial, dan pekerjaan. Seorang
dengan gangguan kepribadian umumnya mengalami kesulitan dalam berinteraksi
dengan orang lain dan memahami situasinya. Hal ini menyebabkan masalah dan
keterbatasan dalam membangun hubungan serta menjalankan aktivitas sehari-hari,
seperti pekerjaan, sekolah, dan aktivitas sosial. Gangguan kepribadian cenderung
muncul pada akhir masa kanak-kanak atau remaja dan biasanya berlanjut
sepanjang masa dewasa (Widiger, 2006). Faktor penyebab munculnya gangguan
kepribadian dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial seorang individu. Individu
yg tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sosialnya cenderung memiliki
ganguan kepribadian.
Ciri-ciri kepribadian yang membentuk gangguan kepribadian adalah hal
yang umum kita melihatnya pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita
setiap hari namun sifat-sifat tersebut dapat menjadi masalah ketika sifat tersebut
kaku, terlalu sering digunakan, atau mengganggu perilaku sehari-hari (Lynam &
Widiger, 2001). Ketidakmampuan seorang individu untuk memahami dan peka
terhadap motif kebutuhan orang-orang di sekitar mereka merupakan bentuk dari
gejala gangguan kepribadian. Individu dengan gangguan kepribadian cenderung
tidak sadar dan acuh tak acuh dengan gejala yg mereka alami, karena gejala
tersebut sudah menjadi kebiasaan mereka.
Gangguan kepribadian dijelaskan tabel 2.5 Mendeskripsikan gangguan
kepribadian DSM-IV-TR
Tabel 2.5
Kelompok Gangguan Karakteristik
Kepribadian
A. Aneh Schizotypal Keanehan dalam berpenampilan dan berprilaku,
dan mempunyai kebiasaan yg aneh ketika
Eksetrik berinteraksi seperti sering berbicara sendiri,
jarang menanggapi pembicaraan serta tutur kata
yg sulit untuk dimengerti (bentuk ringan dari
20

skizofenia), dan memiliki kepercayaan yg aneh


terhadap hal yg gaib
Paranoid Tidak bisa menaruh kepercayaan kepada orang
lain dikarenakan memiliki rasa curiga yg
berlebihan, mudah merasa malu dan hina, sulit
untuk membentuk hubungan dengan lingkungan
sekitar, sangat sensitif, sering merasa cemburu
dan terlalu serius dalam menanggapi suatu
keadaan
Schizoid Introvert yg ekstrim, tidak dapat mengungkapkan
perasaannya dan cenderung dipendam sendiri,
memiliki sifat yg dingin, tidak memiliki selera
humor, cenderung menghindari hubungan dengan
orang lain karena kemampuan bersosialisasi yg
buruk, takut untuk berbicara, dan sering dianggap
sebagai penyendiri
B.Dramatis Antisocial Tidak memiliki empati terhadap orang lain, tidak
dan Tidak berperasaan, agresif dan sering melakukan
Menentu kekerasan fisik, sering bertindak secara impulsif,
ceroboh, sering melanggar hukum di masyarakat
dan biasanya memiliki catatan kriminal
Borderline Suasana hati yg tidak stabil dan perubahan mood
yg tidak wajar, sering marah, tidak memiliki rasa
percaya diri, takut diabaikan oleh orang lain,
hubungan yg tidak stabil dengan pasangan, dan
sering mengancam untuk bunuh diri
Histrionic Selalu ingin menjadi pusat perhatian, terlalu
dramatis dalam menaggapi suatu keadaan,
melakukan segala cara untuk menarik perhatian
lawan jenisnya, terlalu bersemangat ketika
mendapat pujian sebaliknya bereaksi buruk
terhadap kritikan dan penolakan.
21

Narcissistic Memiliki sifat yg egois, suka mengatur, tidak


toleran, lebih mementingkan diri sendiri, selalu
memandang rendah orang lain, selalu ingin
merasa lebih dari orang dalam berbagai hal, tidak
memiliki rasa empati, bahkan berani untuk
mengeksploitasi orang lain demi mencapai
tujuannya
C. Cemas Aviodant Selalu merasa rendah diri, sering merasa cemas,
dan takut terhadap kritik orang lain, dan selalu
Terkekang menghindari hubungan karena takut ditolak
Dependent Selalu bergantung kepada orang lain, tidak bisa
mengambil keputusan sendiri, selalu
menganggap dirinya salah, merasa cemas bila
diabaikan, tidak nyaman ketika sendirian dan
kurang percaya diri
Obssesive Bebuat sesuatu selalu ingin sempurna atau
Compulsive perfeksionis, takut untuk berbuat salah, suka
Disorders mengatur dan kaku
(OCD)

Gangguan kepribadian itu sangat komorbid, artinya jika seorang individu


memiliki satu jenis gangguan kepribadian, maka kemungkinan dia memiliki
gangguan kepribadian yamg lain sangat besar. Jumlah orang dengan gangguan
kepribadian mencapai 15% dari populasi (Grant et al., 2004). Hal ini membuat
kesulitan para dokter untuk mendiagnosa berapa banyak seorang individu
mempunyai masalah gangguan kepribadian. (Oltmanns & Turkheimer, 2006).
Meskipun gangguan kepribadian sering dianggap sebagai gangguan yg
terpisah, gangguan kepribadian pada dasarnya adalah versi yang lebih ringan dari
gangguan Axis I yang lebih parah (Huang et al., 2009). Sebagai contoh, gangguan
kepribadian Obssesive Compulsive Disorders (OCD), Schizoid dan Scizotypal
ditandai dengan gejala yg mirip dengan Schizofrenia. Tumpang tindih klasifikasi
ini menyebabkan kebingungan dan beberapa ahli teori berpendapat bahwa
22

gangguan kepribadian harus dihilangkan dari DSM. Tapi dokter biasanya


membedakan gangguan Axis I dan Axis II, dengan demikian perbedaan ini
berguna untuk mereka (Krueger, 2005; Phillips, Yen, & Gunderson, 2003;
Verheul, 2005).
Terdapat dua gangguan kepribadian yg memiliki implikasi penting
terhadap perilaku, yaitu Borderline Personality Disorders karena sering dikaitkan
dengan bunuh diri dan Antisocial Personality Disorders karena selalu dikaitkan
dengan tindakan criminal.
1. Borderline Personality Disorders (BPD)
Borderline personality disorders (BPD) atau gangguan
kepribadian ambang adalah gangguan psikologis yang ditandai dengan
gangguan kepribadian yang berkepanjangan disertai dengan perubahan
suasana hati, hubungan pribadi yang tidak stabil, masalah identitas, dan
ancaman perilaku merusak diri sendiri. BPD didiagnosis secara luas
hingga 20% pasien, dan dapat terjadi hingga 2% dari populasi umum
(Hyman, 2002). Sekitar tiga perempat dari kasus yang didiagnosis BDP
adalah perempuan.
Orang dengan BPD mempunyai ketatakutan diabaikan dan
ditinggalkan oleh orang lain. Mereka sering menunjukkan
ketergantungan yang melekat pada orang lain dan terlibat dalam
manipulasi untuk mencoba mempertahankan hubungannya. Orang
dengan BPD sering melakukan tindakan impulsif dan tidak mampu
dalam mengelola stress yg dihadapinya. Dalam menghadapi stress,
orang dengan BPD cenderung melakukan kegiatan yg merusak dirinya
sendiri, seperti melakukan seks bebas, sering melakukan kekerasan
fisik, selalu melukai diri sendiri, penyalahgunaan obat-obatan terlarang,
narkoba dan sering mengancam untuk bunuh diri.
BPD dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Orang
dengan BPD memiliki ketidakseimbangan neurotransmitter di dalam
otak mereka (Zweig-Frank et al., 2006), ketidakseimbangan ini
dipengaruhi oleh faktor genetik (Minzenberg, Poole, & Vinogradov,
23

2008). Dari faktor lingkungan, orang dengan BPD memiliki hubungan


awal dengan orang tua yang tidak baik (Lobbestael & Arntz, 2009).
 Defisit Afektif dan Kognitif dalam Borderline
Personality Disorders
Posner et al. (2003) membuat hipotesis mengenai kesulitan
orang yang memiliki BPD dalam menjalin hubungan dengan orang lain
disebabkan oleh ketidakseimbangan pada jalur emosi cepat dan lambat
di otak. Ketidakseimbangan ini terjadi ketika jalur cepat emosi melalui
amigdala terlalu aktif dan jalur lambat kognitif-emosional melalui
korteks prefrontal tidak cukup aktif pada penderita BPD. Amigdala
merupakan bagian dalam anatomi otak yang berhubungan dengan
proses emosi sedangkan korteks prefrontal merupakan bagian anatomi
otak yang berfungsi dalam pembentukan kepribadian.
Penelitian yang dilakukan Posner ini melibatkan sekitar 16
orang dengan BPD dan 14 orang yg tidak memiliki BPD. Seluruh
partisipan mengerjakan tes dalam mesin Magnetic Resonance Imaging
(fMRI). Dalam tes tersebut, pasien dituntut untuk membaca kata-kata
emosional yang positif dan negatif, kemudian mereka harus menekan
tombol secepat mungkin ketika muncul kata dalam font yang normal
dan tidak menekan tombol ketika kata tersebut muncul dalam font yang
miring.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pasien yang tidak
memiliki BPD mengerjakan tesnya dengan baik, sedangkan pasien
dengan BPD melakukan banyak kesalahan dalam pengerjaan tesnya.
Kesalahan ini terutama terjadi pada kata-kata emosional yang negatif.
Gambar 2.5 menunjukan perbandingan tingkat kegiatan otak di
amigdala (gambar kiri) dan korteks prefrontal (gambar kanan)
24

Gambar 2.5

Dalam perbandingan respon emosi, pasien dengan BPD


menunjukan respon afektif yang relatif besar pada bagian amigdala
ketika mereka menanggapi emosi negatif dan menunjukan aktivitas
kognitif yang kurang di korteks prefrontal pada kondisi yang sama.
Penelitian ini menunjukan bahwa reaksi afektif yg berlebihan dan
kurangnya reaksi kognitif terhadap rangsangan emosi dapat
menyebabkan ketidakstabilan emosi dan perilaku pada pasien penderita
BPD.
2. Antisocial Personality Disorders (APD)
Gangguan kepribadian antisosial (APD) adalah pola
pelanggaran hak orang lain yang meluas yang dimulai pada masa
kanak-kanak atau remaja awal dan berlanjut hingga dewasa. Gangguan
kepribadian antisosial ditandai dengan tindakan mengabaikan hak-hak
orang lain dan kecenderungan untuk melanggar hak-hak itu tanpa rasa
bersalah. Gangguan antisosial didiagnosis pada laki-laki dewasa
dibandingkan perempuan. Untuk didiagnosis APD, orang tersebut harus
berusia 18 tahun atau lebih dan memiliki riwayat gangguan perilaku
25

sebelum usia 15 tahun. Orang yang memiliki gangguan kepribadian


antisosial biasa disebut sebagai sosiopat atau psikopat.
Orang dengan BPD tidak memiliki rasa empati terhadap orang
lain. Mereka sering melakukan kekerasan terhadap manusia dan hewan
tanpa alasan yang jelas, bertindak secara impulsif, sering berbohong,
sering memiliki masalah penyalahgunaan obat dan alkohol yang
menyebabkan orang dengan gangguang kepribadian antisosial biasanya
berakhir di dalam penjara. Intensitas gejala antisosial cenderung
memuncak pada usia 20-an dan dapat menurun seiring berjalannya
waktu.
Faktor biologis dan lingkungan mempengaruhi perkembangan
gangguan antisosial (Rhee & Waldman, 2002). Faktor biologis yg
mempengaruhi gangguan kepribadian termasuk aktivitas otonom
rendah selama stress, ketidakseimbangan biokimia, kelainan
hemisphere sebelah kanan dan berkurangnya materi abu-abu di lobus
frontal (Lyons-Ruth et al., 2007; Raine, Lencz, Bihrle, LaCasse, &
Colletti, 2000). Faktor lingkungan yang mempengaruhi gangguan
kepribadian antisosial berasal dari gaya pengasuhan orang tua yang
kasar, seperti penerapan kedisiplinan yang keras dan tidak konsisten
serta modeling yg tidak tepat (Huesmann & Kirwil, 2007).

F. Mengenal Gangguan Somatoform, Factitious, dan Gangguan Seksual


Gangguan mood, kecemasan dan kepribadian merupakan gangguan
psikologis paling umum yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di
sekitar kita, namun ada berbagai gangguan yang bisa saja mempengaruhi orang
lain. Kompleksitas gejala dan klasifikasi ini membantu memperjelas betapa
sulitnya mendiagnosis dan mengobati gangguan psikologis secara akurat dan
konsisten.
1) Somatoform dan Factitious Disorder
Gangguan somatoform dan gangguan buatan (factitious) terjadi dalam
kasus di mana gangguan psikologis terkait dengan pengalaman atau ekspresi
26

gejala fisik. Terdapat perbedaan mencolok diantara keduanya, yakni gangguan


somatoform gejala fisiknya bersifat nyata sedangkan gangguan buatan tidak.
Salah satu kasus di mana masalah psikologis menciptakan gangguan fisik
yang nyata adalah pada gangguan somatoform yang dikenal dengan gangguan
somatisasi (juga disebut sindrom Briquet atau sindrom Brissaud-Marie).
Gangguan somatisasi adalah gangguan psikologis di mana seseorang mengalami
banyak penyakit fisik yang berlangsung lama tetapi tampaknya tidak berhubungan
dan tidak memiliki penyebab fisik yang dapat diidentifikasi. Seseorang dengan
gangguan somatisasi mungkin merasakan nyeri sendi, muntah, mual, kelemahan
otot, serta disfungsi seksual. Gejala yang ditimbulkan oleh gangguan somatisasi
merupakan gejala yang nyata dan menyebabkan individu yang mengidapnya
mengalami penderitaan yang disebabkan oleh faktor psikologis dan akan sering
terjadi apabila individu sedang berada dalam masa stress. Gangguan ini lebih
sering menyerang wanita daripada pria.
Gangguan buatan (factitious) merupakan gangguan psikologis dimana
individu bertindak seolah-olah ia memiliki penyakit fisik ataupun psikologis.
Pengidap gangguan buatan gejala fisik palsu sebagian besar karena mereka
menikmati perhatian dan pengobatan yang mereka terima di rumah sakit. Mereka
mungkin berbohong tentang gejala, mengubah tes diagnostik seperti sampel urin
untuk meniru penyakit, atau bahkan melukai diri mereka sendiri untuk
menimbulkan lebih banyak gejala. Dalam bentuk yang lebih parah dari gangguan
buatan yang dikenal sebagai sindrom Münchausen, pasien memiliki pola seumur
hidup dari serangkaian rawat inap berturut-turut untuk gejala palsu. Gangguan
buatan dibedakan dari gangguan terkait lainnya yang dikenal sebagai berpura-
pura, yang juga melibatkan pembuatan gejala gangguan mental atau fisik, tetapi di
mana motivasi untuk melakukannya adalah untuk mendapatkan imbalan finansial,
untuk menghindari sekolah, pekerjaan, atau dinas militer, untuk mendapatkan
obat, atau untuk menghindari suatu tuntutan.

2) Sexual Disorders
27

Gangguan seksual mengacu pada berbagai masalah dalam melakukan atau


menikmati seks. Ini termasuk gangguan yang berkaitan dengan fungsi seksual,
identitas gender, dan preferensi seksual.
A. Disorders of Sexual Function
Disfungsi seksual merupakan gangguan yang dapat menyerang wanita
maupun pria. Ditandai dengan terjadinya siklus respons seksual fisik yang tidak
memadai untuk reproduksi ataupun tidak dapat merasakan kenikmatan seksual.
Gangguan seksual mempengaruhi 43% wanita dan 31% pria (Laumann, Paik, &
Rosen, 1999). Sulit sekali mendeteksi gangguan seksual ini karena dalam banyak
kasus disfungsi terjadi pada tingkat pasangan dibandingkan dengan tingkat
individu.
a) Gangguan hasrat seksual hipoaktif, diartikan sebagai disfungsi yang
memiliki hasrat seksual rendah atau bahkan tidak sama sekali. Donahey dan
Carroll (1993) menyatakan disfungsi seksual ini komorbid dengan gangguan
psikologis lain seperti masalah gangguan suasana hati ataupun masalah
gairah seksual.

b) Gangguan keengganan seksual, ditandai dengan penghindaran perilaku


seksual karena adanya rasa jijik maupun keengganan untuk ontak dengan
kelamin. Seperti yang dikatakan oleh Kingsberg dan Janata (2003) penyebab
keengganan ini dapat berasal fobia terhadap pengalaman seksual awal atau
pelecehan seksual, salah mengartikan emosi negatif tentang seksualitas yang
sebenarnya disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau disfungsi ereksi.

c) Gangguan gairah seksual wanita, ditandai dengan gejala ketika wanita sulit
terangsang secara seksual secara terus-menerus. Gangguan ini mungkin
komorbid dengan gangguan orgasme atau gangguan suasana hati.

d) Gangguan ereksi pria, merupakan disfungsi yang mengacu pada kesulitan


pria dalam mencapai atau mempertahankan ereksi untuk menyelesaikan
aktivitas seksual. Pada umumnya ketika pria sudah berumur 40 hingga 70
tahun, paling mudah mengalami gangguan ini karena sebagian dari mereka
28

mengeluhkan masalah yang sama. Penyebab disfungsi ereksi ini akibat faktor
biologis, termasuk penyakit dan penggunaan obat-obatan, alkohol dan
semacamnya.

e) Ejakulasi dini, merupakan gangguan seksual paling umum yang biasa


dialami oleh pria. Kasus ini terjadi sebelum penis dimasukkan ke dalam
vagina dan dokter mengidentifikasi responnya ke dalam prematur. Waldinger
(2003) mengatakan pria didiagnosis mengalami ejakulasi dini dalam satu
menit setelah pemasangan berlangsung.

f) Gangguan orgasme wanita, dipicu karena wanita sulit mendapatkan


orgasme. Dalam kasus ini, wanita menikmati seks dan foreplay dan
menunjukkan tanda gairah seksual namun tidak dapat mencapai klimaks.

g) Dispareunia dan vaginismus, merupakan gangguan seksual yang


menyebabkan nyeri pada wanita. Pada kasus dispareumia, wanita sering
merasakan kesakitan saat melakukan hubungan intim dikarenakan kurangnya
pelumas. Sementara vaginismus terjadi ketika wanita kesulitan untuk
menerima penetrasi hingga menyebabkan rasa sakit yang timbul. Dalam
kebanyakan kasus, masalah ini bersifat biologis dan dapat diobati dengan
hormon, krim, atau pembedahan.

Disfungsi seksual memiliki berbagai penyebab dan masalah utamanya


adalah biologis. Gangguan tersebut dapat diobati dengan terapi atau pun
penggunaan obat-obatan sesuai saran dokter atau orang ahli. Menurut Beitchman
dkk. (1992) masalah lain muncul akibat didikan represif orang tua kepada
anaknya terhadap kegiatan seksual. Dalam beberapa kasus, masalah seks mungkin
disebabkan oleh fakta bahwa orang yang melakukan seks mungkin memiliki
orientasi seksual yang berbeda. Adapun permasalahan lain yang dapat
menyebabkan disfungsi seksual seperti komunikasi yang buruk antara pasangan,
kurangnya keterampilan seksual dan (khususnya untuk pria) kinerja kecemasan.
29

Sebagian besar gangguan seksual bersifat sementara dan akan hilang (tanpa, atau
jika perlu dengan bantuan terapi).
B. Gender Identity Disorder
Identitas gender mengacu pada identifikasi jenis kelamin. Kebanyakan
anak akan mengembangkan keterikatan yang sesuai dengan jenis kelamin mereka
sendiri. Namun, dalam beberapa kasus, anak-anak atau remaja sering menganggap
bahwa mereka memiliki jenis kelamin yang salah. Gangguan identitas gender
(GID atau transeksualisme) didiagnosis atau dikaitkan dengan keinginan kuat
untuk menjadi jenis kelamin lain, ketidaknyamanan yang terus-menerus dengan
jenis kelamin yang dimiliki, dan keyakinan bahwa seseorang dilahirkan dengan
jenis kelamin yang salah, disertai dengan disfungsi dan kesusahan yang
signifikan. Menurut Bower (2001) GID biasanya muncul pada masa remaja atau
dewasa dan dapat meningkat seiring berjalannya waktu. Penyebab dari gangguan
ini masih belum diketahui, meskipun tampaknya ada keterkaitan antara jumlah
testoteron dan hormon lain dalam rahim (Kraemer dkk., 2009). Meskipun
klasifikasi GID sebagai gangguan psikologis masih menjadi pertentangan karena
orang yang mengidap gangguan ini tidak menganggap perasaan dan perilaku
lintas gender mereka sebagai gangguan dan tidak merasa tertekan atau
disfungsional. Terdapat banyak kebudayaan yang menentang perilaku lintas
gender sehingga menimbulkan masalah cukup serius bagi orang-orang yang dekat
dengan pengidap GID.
C. Paraphilias
Merupakan gangguan yang melibatkan individu memiliki dorongan atau
fantasi seksual yang terjadi secara berulang dan bersifat kuat. Menurut Gerald
(dalam Maria, 2016) paraphilia adalah semacam gangguan seksual terhadap objek
yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Gangguan ini
terjadi selama 6 bulan secara intens dan menyebabkan penderitanya mengalami
gangguan biologis dan sosial. Adapun jenis-jenis paraphilia akan dijelaskan
sebagai berikut.
a) Eksibiosnisme, adalah gangguan seksual yang ditandai dengan dorongan
untuk menunjukkan bagian genital kepada orang lain (APA, 2013). Terdapat
perbedaan perilaku eksibionis yang ditunjukkan oleh wanita atau pria.
30

Menurut Hugh Jones, Gough, dan Littlewood (2005) pria cenderung


memperlihatkan alat kelamin selain dengan tujuan untuk membuat kaget
korban, hal itu dilakukan untuk menunjukan kejantanannya. Sementara
kebanyakan perempuan tidak hanya menunjukkan alat genitalnya, tetapi juga
menunjukkan bagian tubuh lain yang bisa mengundang dorongan seksual
seperti bokong, paha dan payudara dengan tujuan agar mendapatkan
perhatian dan memunculkan perasaan berharga pada diri perempuan (Rozi &
Mubina, 2016).

b) Frotteurisme, merupakan gangguan yang mengacu pada aktivitas kontak


berorientasi seksual dengan bagian tubuh seseorang yang tidak dicurigai.
Sarlito (dalam Mawardi, 2017) menjelaskan bentuk kelainan seksual ini
seperti menggesekkan alat kelamin kepada salah satu bagian tubuh orang lain
di tempat umum sehingga orang tersebut bisa mendapatkan kepuasan seksual.

c) Fetishisme, istilah ini berasal dari kata fetish yang berarti memuja (Srinarti,
2009). Orang dengan pengidap gangguan seksual ini pada umumnya memiliki
ketertarikan terhadap objek atau situasi tertentu yang dapat mendatangkan
gairah seksual sehingga mereka bisa merasakan ejakulasi dini dengan
menggunakan benda-benda seperti pakaian dalam, kaos kaki dan lain
sebagainya (Mawardi, 2017).

d) Masokisme, adalah kondisi dimana individu mengalami kepuasan atau


mendapat gairah seksual jika dipukuli, diikat, dibelenggu, atau yang
menyebabkan penderitaan dengan cara lain. Gangguan ini bisa digambarkan
dengan bentuk kepuasan seksual dengan diterimanya kekerasan seksual
(Fauzi & Fatmawati, 2020).

e) Sadisme, adalah gejala seksual yang ditandai dengan adanya kepuasan dari
mendapatkan atau memberi kesakitan, penderitaan dan hukuman kepada
orang lain. Menurut Fauzi & Fatmawati (2020) sadisme diartikan sebagai
31

bentuk penyimpangan seksual dengan memperoleh kepuasan dari penyiksaan


yang diberikan terhadap pasangan.

f) Pedofilia, digambarkan sebagai gangguan psikologis yang biasa terjadi


pada orang dewasa atau remaja dan ditandai dengan adanya dorongan seksual
terhadap anak prapuber dengan usia 13 tahun ke bawah (Hidayati, 2014).
Gangguan seksual ini merupakan suatu bentuk kekerasan karena
menggunakan anak kecil sebagai pendorong gairah atau aktivitas seksual
yang mana melanggar peraturan dari pemerintah dan norma yang berlaku.

g) Voyeurisme, adalah gangguan kepuaan seksual yang didapatkan ketika


seseorang secara diam-diam melihat tubuh orang lain dengan keadaan
telanjang atau melihat pasangan sedang melakukan kegiaatn seksual (Maria,
2016). Gangguan seksual ini biasanya terjadi pada laki-laki daripada wanita.
BAB III
ANALISIS PERILAKU

A. Contoh Kasus

Amara adalah seorang perempuan berusia 25 tahun yang sudah lima kali
berganti-ganti agama, pekerjaan, teman dan kerap kali bingung dengan orientasi
seksualnya. Ia selalu berpindah-pindah kamar dan memilih kamar sempit dan
kumuh sebab ia merasakan kehangatan dan kenyamanan jika berada di tempat
tersebut. Sering sekali Amara merasakan perubahan perasaan yang tidak menentu,
seperti selalu sedih, kemudian menangis lalu marah-marah. Tampaknya Amara
sulit mengontrol emosi dalam dirinya sendiri. Ia pun tidak bisa atau sulit
menentukan pilihan dan keputusan dalam kehidupan sehari-hari, seperti contoh
jika ada pertemuan keluarga, ia bimbang antara ingin ikut atau tidak. Saat ia
memutuskan untuk datang, ia selalu terlambat. Namun, bila tidak datang maka ia
akan menyesali keputusannya. Dengan demikian, Amara dilanda kebimbangan
yang esktrem sehinga ia sering bertanya-tanya terhadap keinginan hidupnya
sendiri. Amara tidak dekat dengan saudara kandungnya bahkan jarang sekali
menjalin komunikasi dengan mereka, merasa bahwa kedua orang tuanya pilih
kasih dan ia seperti dianaktirikan, sering sekali membenci diri sendiri, benci pada
Tuhan, dan orang tuanya.

B. Analisis Kasus

Menurut DSM IV – TR, Amara didiagnosa mengalami borderline


personality disorder atau gangguan kepribadian ambang, karena ada hubungan
interpersonal yang tidak stabil di dalam dirinya. Seperti yang tertera dalam
pedoman Diagnostic of Mental Disorder IV-Text Revised (DSM IV-TR),
gangguan kepribadian ambang ini ditandai dengan penderita yang memiliki
ketidakstabilan interpersonal, citra diri dan emosi impulsivitas yang signifikan
dimulai pada awal masa dewasa dan bermanifestsi dalam berbagai wujud.
(Kusumawardhani, 2007). Seperti yang tercantum dalam tabel 3.2 berikut.

32
33

Tabel 3.2
NO. Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang DSM IV-TR
1. Usaha yang tidak beraturan untuk menghindari penolakan yang nyata
atau imajiner. Catatan: tidak termasuk bunuh diri dan perilaku
menyakiti diri seperti pada poin nomor 5.
2. Sebuah pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan terus menerus
yang ditandai dengan pertukaran antara idealisasi dan devaluasi yang
ekstrem.
3. Gangguan identitas, ketidakstabilan gambaran diri atau perusaan diri
yang nyata dan terus-menerus.
4. Impulsivitas pada setidaknya dua area yang mempunyai efek potensial
dalam perusakan diri (contoh: belanja, seks, penyalahgunaan zat,
berkendaraan ceroboh, makan dan minum berlebihan). Catatan: tidak
termasuk bunuh diri dan perilaku menyakiti diri seperti pada poin
nomor 5.
5. Perilaku, isyarat, atau ancaman bunuh diri yang sering atau perilaku
melukai diri.
6. Adek yang tidak stabil yang ditandai dengan mood yang reaktif (contoh:
episode disforia yang sering, iritabel atau kecemasan yang berlangsung
beberapa jam dan jarang lebih dari 2 hari).
7. Perasaan kosong yang kronis.
8. Marah yang tidak sesuai, sering atau kesulitan dalam mengendalikan
amarah (contoh: sering menunjukkan perangai, marah yang konstan,
sering berkelahi).
9. Ide paranoid yang berhubungan dengan stress yang berlangsung
sementara atau gejala disosiatif yang parah.

Gangguan kepribadian ambang dapat memunculkan perasaan tidak nyata seperti


dalam kasus skizofrenia atau gangguan stress pasca trauma. Gangguan ini sering
kali terjadi pada suatu individu disertai dengan depresi, gangguan bipolar,
gangguan cemas, gangguan makan dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, seperti
yang terjadi dalam kasus Amara. Beberapa penyebabnya karena gabungan faktor
genetik (temperamen), psikologis (pengalaman saat masa anak-anak) dan sosial
(pengaruh lingkungan). Gangguan kepribadian ambang muncul pada masa dewasa
muda, tetapi tindakan mencederai diri dapat terjadi saat masa pubertas. Hal ini
terjadi bahwa mekanisme mengatasi rasa takut yang terjadi pada Amara menjadi
kacau sehingga menghasilkan output yang tidak menguntungkan karena adanya
emosi berlebihan dan hipersensitivitas. Amara mengalami episode depresi karena
manajemen stress tidak terkelola dengan baik (Dwi Karlina, 2018).
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Gangguan psikologis adalah pola pikir, emosi, dan perilaku disfungsional


yang berkelanjutan yang menyebabkan penderitaan yang signifikan, dan
dianggap menyimpang dalam budaya atau masyarakat orang tersebut.
Seperti halnya dalam ranah medis, gangguan psikologis memiliki
pengaruh biologis (alam) maupun lingkungan (pengasuhan). Pengaruh
kausal ini tercermin dalam model penyakit bio-psiko-sosial.
2. Komponen psikologis dari model bio-psiko-sosial mengacu pada pengaruh
yang berasal dari individu, seperti pola berpikir negatif dan respon stres.
3. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) merupakan
sebuah dokumen yang menyediakan bahasa umum dan kriteria standar
untuk klasifikasi gangguan mental.
4. Menurut sistem Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM) yang termasuk ke dalam kelompok Axis II adalah gangguan jangka
panjang yang cenderung tidak melumpuhkan. Gangguan kepribadian atau
Personality disorders merupakan bagian dari kelompok Axis II.
5. Kecemasan merupakan bentuk emosi manusia yang terkait dengan aktivasi
sistem saraf simpatik dan respons fisiologis serta perilaku yang dapat
membantu kita terlindungi dari suatu bahaya.
6. Terdapat 4 macam gangguan kecemasan, diantaranya Generalized Anxiety
Disorder (GAD), Panic Disorders, Phobias, Obsessive Compulsive
Disorders (OCD) dan Post Traumatic Stress Disorders (PTSD)
7. Depresi dapat menyebabkan efek cukup berpengaruh pada kehidupan
sosial penderita. Seseorang yang mengalami depresi akan kehilangan
minat, produktivitasnya menurun serta ia akan cenderung membatasi
kontak sosial dengan sekitar.

29
30

8. Gangguan depresi mayor (depresi klinis) adalah gangguan mental yang


ditandai dengan depresi dan penurunan harga diri, biasanya hilangnya
minat dan kenikmatan dalam kegiatan yang menyenangkan.
9. Skizofrenia adalah gangguan psikologis serius yang ditandai dengan
delusi, halusinasi, kehilangan kontak dengan kenyataan, afek yang tidak
sesuai, bicara tidak teratur, penarikan sosial, dan kemunduran perilaku
adaptif.
10. Gangguan kepribadian merupakan gangguan yang ditandai dengan pola
pikir, perasaan, atau hubungan yang tidak fleksibel dengan orang lain yang
menyebabkan masalah dalam situasi pribadi, sosial, dan pekerjaan.
11. Ciri-ciri kepribadian yang membentuk gangguan kepribadian adalah hal
yang umum kita melihatnya pada orang-orang yang berinteraksi dengan
kita setiap hari namun sifat-sifat tersebut dapat menjadi masalah ketika
sifat tersebut kaku, terlalu sering digunakan, atau mengganggu perilaku
sehari-hari.
12. Dalam DSM-IV terdapat sepuluh gangguan kepribadian yg dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu kelompok pertama ditandai dengan perilaku aneh dan
eksentrik meliputi Schizoid, Paranoid dan Schizotypal, kelompok kedua
ditandai dengan perilaku dramatis dan tidak menentu meliputi Antisocial
Personality Disorders, Borderline Personality Disorders, Histrionik dan
Narcissistik¸ kelompok ketiga ditandai dengan perilaku cemas dan
terkekang meliputi Avoidant, Dependent, dan Obsessive Compulsive
Disorders (OCD).
13. Meskipun gangguan kepribadian sering dianggap sebagai gangguan yg
terpisah, gangguan kepribadian pada dasarnya adalah versi yang lebih
ringan dari gangguan Axis I yang lebih parah (Huang et al., 2009).
14. Borderline personality disorders (BPD) atau gangguan kepribadian
ambang adalah gangguan psikologis yang ditandai dengan gangguan
kepribadian yang berkepanjangan disertai dengan perubahan suasana hati,
hubungan pribadi yang tidak stabil, masalah identitas, dan ancaman
perilaku merusak diri sendiri.
31

15. Gangguan kepribadian antisosial ditandai dengan tindakan mengabaikan


hak-hak orang lain dan kecenderungan untuk melanggar hak-hak itu tanpa
rasa bersalah.
16. Gangguan somatisasi adalah gangguan psikologis di mana seseorang
mengalami banyak penyakit fisik yang berlangsung lama tetapi tampaknya
tidak berhubungan dan tidak memiliki penyebab fisik yang dapat
diidentifikasi.
17. Gangguan buatan (factitious) merupakan gangguan psikologis dimana
individu bertindak seolah-olah ia memiliki penyakit fisik ataupun
psikologis. Pengidap gangguan buatan gejala fisik palsu sebagian besar
karena mereka menikmati perhatian dan pengobatan yang mereka terima
di rumah sakit.
18. Disfungsi seksual merupakan gangguan yang dapat menyerang wanita
maupun pria. Ditandai dengan terjadinya siklus respons seksual fisik yang
tidak memadai untuk reproduksi ataupun tidak dapat merasakan
kenikmatan seksual.
19. Gangguan identitas gender (GID atau transeksualisme) didiagnosis atau
dikaitkan dengan keinginan kuat untuk menjadi jenis kelamin lain,
ketidaknyamanan yang terus-menerus dengan jenis kelamin yang dimiliki,
dan keyakinan bahwa seseorang dilahirkan dengan jenis kelamin yang
salah, disertai dengan disfungsi dan kesusahan yang signifikan.
20. Meskipun klasifikasi GID sebagai gangguan psikologis masih menjadi
pertentangan karena orang yang mengidap gangguan ini tidak menganggap
perasaan dan perilaku lintas gender mereka sebagai gangguan dan tidak
merasa tertekan atau disfungsional.
21. Paraphilia adalah semacam gangguan seksual terhadap objek yang tidak
wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya.

B. Saran

Dengan dibuatnya makalah berjudul “Gangguan Psikologis” ini


diharapkan semua pihak, termasuk penulis dan pembaca, dapat lebih memahami
dan mendalami materi tentang berbagai gangguan psikologis dan mengambil
32

hikmah serta manfaat dari makalah ini. Selain itu, tentunya makalah ini kami
harapkan membantu memudahkan pembelajaran dan pengajaran pada mata kuliah
Psikologi Umum, dan bisa membuat teman-teman sesama mahasiswa, ataupun
masyarakat umum yang membacanya untuk lebih tertarik menggali tentang
gangguan psikologis dengan lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA

Alpher, V. S. (1992). Introject and identity: Structural-interpersonal analysis and


psychological assessment of multiple personality disorder. Journal of
Personality Assessment. 58(2), 347–367.
doi:10.1207/s15327752jpa5802_12.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: American Psychiatric
Press.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of
mental disorder (5th edition). Washington, DC: American Psychiatric Press.
Azmarina, R. (2015). Desensitisasi Sistematik Dengan Dzikir Tasbih Untuk
Menurunkan Simtom Kecemasan Pada Gangguan Fobia Spesifik.
Humanitas, 12(2), 90–104. https://doi.org/10.26555/humanitas.v12i2.3836
Beitchman, J. H., Zucker, K. J., Hood, J. E., & DaCosta, G. A. (1992). A review
of the long-term effects of child sexual abuse. Child Abuse & Neglect, 16(1),
101–118.
Berrettini, W. (2006). Genetics of bipolar and unipolar disorders. In D. J. Stein, D.
J. Kupfer, & A. F. Schatzberg (Eds.), Textbook of mood disorders.
Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Bowden, C. L. (2001). Strategies to reduce misdiagnosis of bipolar depression.
Psychiatric Services, 52(1), 51–55.
Bower, H. (2001). The gender identity disorder in the DSM-IV classification: A
critical evaluation. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry, 35(1),
1–8.
Brady, K. T., Back, S. E., & Coffey, S. F. (2004). Substance abuse and
posttraumatic stress disorder. Current Directions in Psychological Science,
13(5), 206–209.
Brewin, C., Andrews, B., & Valentine, J. (2000). Meta-analysis of risk factors for
posttraumatic stress disorder in trauma-exposed adults. Journal of
Consulting and Clinical Psychology, 68(5), 748–766. doi:10.1037//0022-
006X.68.5.748

33
34

Buchanan, R. W., & Carpenter, W. T. (2005). Concept of schizophrenia. In B. J.


Sadock & V. A. Sadock (Eds.), Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook
of psychiatry. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Cloninger, C., & Dokucu, M. (2008). Somatoform and dissociative disorders. In
S. H. Fatemi & P. J. Clayton (Eds.), The medical basis of psychiatry (3rd ed.,
pp. 181–194). Totowa, NJ: Humana Press. doi:10.1007/978-1-59745-252-
6_11
Csernansky, J. G., & Grace, A. A. (1998). New models of the pathophysiology of
schizophrenia: Editors’ introduction. Schizophrenia Bulletin, 24(2), 185–187.
Culbertson, F. M. (1997). Depression and gender: An international review.
American Psychologist, 52, 25–31.
Dawson, P. L. (1990). Understanding and cooperation among alter and host
personalities. American Journal of Occupational Therapy, 44(11), 994–997.
De Sousa, A. (2007). Types and contents of hallucinations in schizophrenia.
Journal of Pakistan Psychiatric Society, 4(1), 29.
Donahey, K. M., & Carroll, R. A. (1993). Gender differences in factors associated
with hypoactive sexual desire. Journal of Sex & Marital Therapy, 19(1), 25–
40.
Duman, R. S., & Monteggia, L. M. (2006). A neurotrophic model for stress-
related mood disorders. Biological Psychiatry, 59, 1116–1127.
Dwi Karlina. (2018). Case Report: Borderline Personality Disorder in a Young
Woman. Majalah Kedokteran UKI, XXXIV(4).
Fairchild, K., & Scogin, F. (2008). Assessment and treatment of depression. In K.
Laidlow & B. Knight (Eds.), Handbook of emotional disorders in later life:
Assessment and treatment. New York, NY: Oxford University Press.
Fauzi, I., & Fatmawati, M. U. (2020). Sadomasokisme di Indonesia Persepektif
HAM dan Hukum Pidana. TAWAZUN : Journal of Sharia Economic Law,
3(2), 171. https://doi.org/10.21043/tawazun.v3i2.8273
Galderisi, S., Quarantelli, M., Volper, U., Mucci, A., Cassano, G. B., Invernizzi,
G.,…Maj, M. (2008). Patterns of structural MRI abnormalities in deficit and
nondeficit schizophrenia. Schizophrenia Bulletin, 34, 393–401
Gillig, P. M. (2009). Dissociative identity disorder: A controversial diagnosis.
35

Psychiatry, 6(3), 24–29.


Grant, B., Hasin, D., Stinson, F., Dawson, D., Chou, S., Ruan, W., & Pickering,
R. P. (2004). Prevalence, correlates, and disability of personality disorders in
the United States: Results from the national epidemiologic survey on alcohol
and related conditions. Journal of Clinical Psychiatry, 65(7), 948–958.
Hanifa, R., & Santoso, M. B. (2016). Cognitive Restructuring Dan Deep
Breathing Untuk. Psikologi Universitas Padjadjaran, 0042.
Hidayati, N. (2014). Perlindungan Anak terhadap Kejahatan Kekerasan Seksual
( Pedofilia ). Jurnal Pengembangan Humaniora, 14(1), 68–73.
http://jurnal.polines.ac.id/jurnal/index.php/ragam/article/view/496/421.
Huang, Y., Kotov, R., de Girolamo, G., Preti, A., Angermeyer, M., Benjet, C.,…
Kessler, R. C. (2009). DSM-IV personality disorders in the WHO World
Mental Health Surveys. British Journal of Psychiatry, 195(1), 46–53.
doi:10.1192/bjp.bp.108.058552
Hugh-Jones, S., Gough, B., Littlewood, A. (2005). Sexualities exhibitionism as
‘sexuality and individuality’: A critique of psycho-medical discourse from
the perspectives of woman who exhibit. Sexualities Journal, 8(3), 259-281.
Hyman, S. E. (2002). A new beginning for research on borderline personality
disorder. Biological Psychiatry, 51(12), 933–935.
Javitt, D. C., & Laruelle, M. (2006). Neurochemical theories. In J. A. Lieberman,
T. S. Stroup, & D. O. Perkins (Eds.), Textbook of schizophrenia (pp. 85–
116). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Inayama, Y., Yoneda, H., Sakai, T., Ishida, T., Nonomura, Y., Kono, Y.,…Asaba,
H. (1996). Positive association between a DNA sequence variant in the
serotonin 2A receptor gene and schizophrenia. American Journal of Medical
Genetics, 67(1), 103–105.
Kessler, R. C., Berglund, P. A., Demler, O., Jin, R., & Walters, E. E. (2005).
Lifetime prevalence and age-of-onset distributions of DSM-IV disorders in
the National Comorbidity Survey Replication (NCS-R). Archives of General
Psychiatry, 62(6), 593–602.
Kessler, R. C., Chiu, W. T., Demler, O., & Walters, E. E. (2005). Prevalence,
severity, and comorbidity of 12-month DSM-IV disorders in the National
36

Comorbidity Survey Replication. Archives of General Psychiatry, 62(6),


617–627.
Kihlstrom, J. F., Glisky, M. L., & Angiulo, M. J. (1994). Dissociative tendencies
and dissociative disorders. Journal of Abnormal Psychology, 103, 117–124.
Kingsberg, S. A., & Janata, J. W. (2003). The sexual aversions. In S. B. Levine,
C. B. Risen, & S. E. Althof (Eds.), Handbook of clinical sexuality for mental
health professionals (pp. 153–165). New York, NY: Brunner-Routledge.
Kirkpatrick, B., & Tek, C. (2005). Schizophrenia: Clinical features and
psychological disorder concepts. In B. J. Sadock & S. V. Sadock (Eds.),
Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (pp. 1416–1435).
Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Kluft, R. P. (1996). The diagnosis and treatment of dissociative identity disorder.
In The Hatherleigh guide to psychiatric disorders (1st ed., Vol. 1, pp. 49–
96). New York, NY: Hatherleigh Press.
Kraemer, B., Noll, T., Delsignore, A., Milos, G., Schnyder, U., & Hepp, U.
(2009). Finger length ratio (2D:4D) in adults with gender identity disorder.
Archives of Sexual Behavior, 38(3), 359–363.
Kring, A. M. (1999). Emotion in schizophrenia: Old mystery, new understanding.
Current Directions in Psychological Science, 8, 160–163.
Krueger, R. F. (2005). Continuity of Axes I and II: Towards a unified model of
personality, personality disorders, and clinical disorders. Journal of
Personality Disorders, 19, 233–261.
Kusumawardhani, A. (2007). Neurobiologi gangguan kepribadian ambang :
pendekatan biologis perilaku impulsif dan agresif. Majalah Kedokteran
Indonesia, 57(April), 123–128.
Laumann, E. O., Paik, A., Rosen, R. (1999). Sexual dysfunction in the United
States. Journal of the American Medical Association, 281(6), 537–544.
Lilienfeld, S. O., & Lynn, S. J. (2003). Dissociative identity disorder: Multiple
personalities, multiple controversies. In S. O. Lilienfeld, S. J. Lynn, & J. M.
Lohr (Eds.), Science and pseudoscience in clinical psychology (pp. 109–
142). New York, NY: Guilford Press.
Lobbestael, J., & Arntz, A. (2009). Emotional, cognitive and physiological
37

correlates of abuse-related stress in borderline and antisocial personality


disorder. Behaviour Research and Therapy, 48(2), 116–124.
doi:10.1016/j.brat.2009.09.015
Lynam, D., & Widiger, T. (2001). Using the five-factor model to represent the
DSM-IV personality disorders: An expert consensus approach. Journal of
Abnormal Psychology, 110(3), 401–412.
Lyons-Ruth, K., Holmes, B. M., Sasvari-Szekely, M., Ronai, Z., Nemoda, Z., &
Pauls, D. (2007). Serotonin transporter polymorphism and borderline or
antisocial traits among low-income young adults. Psychiatric Genetics, 17,
339–343.
MacLeod, C., Rutherford, E., Campbell, L., Ebsworthy, G., & Holker, L. (2002).
Selective attention and emotional vulnerability: Assessing the causal basis of
their association through the experimental manipulation of attentional bias.
Journal of Abnormal Psychology, 111(1), 107–123.
Maher, B. A. (2001). Delusions. In P. B. Sutker & H. E. Adams (Eds.),
Comprehensive handbook of psychological disorder (3rd ed., pp. 309–370).
New York, NY: Kluwer Academic/Plenum.
Maria, C. (2016). Paraphilia Dan Gender. Academia Accelerating the Worlds
Research, 1–30.
Mawardi. (2017). Penyimpangan Seksual dalam Hubungan Suami Istri Perspektif
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Qiyas, 2(2), 145–159.
Merikangas, K., Chakravarti, A., Moldin, S., Araj, H., Blangero, J., Burmeister,
M,…Takahashi, A. S. (2002). Future of genetics of mood disorders research.
Biological Psychiatry, 52(6), 457–477.
Minzenberg, M. J., Poole, J. H., & Vinogradov, S. (2008). A neurocognitive
model of borderline personality disorder: Effects of childhood sexual abuse
and relationship to adult social attachment disturbance. Development and
Psychological disorder. 20(1), 341–368. doi:10.1017/ S0954579408000163
Natal, Y. V. (2021). Terapi Kognitif Perilaku untuk Menurunkan Tingkat
Kecemasan pada Klien dengan Gangguan Agorafobia. PSYCHE: Jurnal
Psikologi, 3(1), 53–63. https://doi.org/10.36269/psyche.v3i1.304
38

Nicolson, S. E., Mayberg, H. S., Pennell, P. B., & Nemeroff, C. B. (2006).


Persistent auditory hallucinations that are unresponsive to antipsychotic
drugs. The American Journal of Psychiatry, 163, 1153–1159.
doi:10.1176/appi.ajp.163.7.1153
Oltmanns, T. F., & Turkheimer, E. (2006). Perceptions of self and others
regarding pathological personality traits. In R. F. Krueger & J. L. Tackett
(Eds.), Personality and psychopathology (pp. 71–111). New York, NY:
Guilford Press.
Posner, M., Rothbart, M., Vizueta, N., Thomas, K., Levy, K., Fossella, J.,…
Kernberg, O. (2003). An approach to the psychobiology of personality
disorders. Development and Psychopathology, 15(4), 1093–1106.
doi:10.1017/S0954579403000506
Raine, A., Lencz, T., Bihrle, S., LaCasse, L., & Colletti, P. (2000). Reduced
prefrontal gray matter volume and reduced autonomic activity in antisocial
personality disorder. Archive of General Psychiatry, 57, 119–127.
Rhee, S. H., & Waldman, I. D. (2002). Genetic and environmental influences on
anti-social behavior: A meta-analysis of twin and adoptions studies.
Psychological Bulletin, 128(3), 490–529.
Robins, L., & Regier, D. A. (1991). Psychiatric disorders in America: The
Epidemiologic Catchment Area Study. New York, NY: Free Press.
Rozi, F., & Mubina, N. (2016). Gambaran Perilaku Eksibionis Pada Perempuan
Dalam Komunitas Nude Photography Di Jakarta. Psychopedia Jurnal
Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang, 1(2), 1–15.
https://repository.unsri.ac.id/34619/
Saleh, Adnan Achiruddin. (2018). Pengantar Psikologi. Makassar: Penerbit
Aksara Timur.
Sher, L., & Mann, J. J. (2003). Psychiatric pathophysiology: Mood disorders. In
A. Tasman, J. Kay, & J. A. Lieberman (Eds.), Psychiatry. New York, NY:
John Wiley & Sons.
Skrabalo, A. (2000). Negative symptoms in schizophrenia(s): The conceptual
basis. Harvard Brain, 7, 7–10.
Srinarti, Dominic. (2009). Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya
39

Populer. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.


Stein, M., Schork, N., & Gelernter, J. (2008). Gene-by-environment (serotonin
transporter and childhood maltreatment) interaction for anxiety sensitivity,
an intermediate phenotype for anxiety disorders. Neuropsychopharmacology,
33(2), 312–319. doi:10.1038/sj.npp.1301422
Stuart, G.W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 10thEd.
Canada: Evolve.
Suddath, R. L., Christison, G. W., Torrey, E. F., Casanova, M. F., & Weinberger,
D. R. (1990). Anatomical abnormalities in the brains of monozygotic twins
discordant for schizophrenia. New England Journal of Medicine, 322(12),
789–794.
van der Hart, O., & Nijenhuis, E. R. S. (2009). Dissociative disorders. In P. H.
Blaney & T. M. Millon (Eds.), Oxford textbook of psychological disorder
(2nd ed., pp. 452–481). New York, NY: Oxford University Press.
Videbech, P., & Ravnkilde, B. (2004). Hippocampal volume and depression: A
meta-analysis of MRI studies. American Journal of Psychiatry, 161, 1957–
1966.
Waldinger, M. D. (2003). Rapid ejaculation. In S. B. Levine, C. B. Risen, & S. E.
Althof (Eds.), Handbook of clinical sexuality for mental health professionals
(pp. 257–274). New York, NY: Brunner-Routledge.
Walker, E., & Tessner, K. (2008). Schizophrenia. Perspectives on Psychological
Science, 3(1), 30–37.
Warner-Schmidt, J. L., & Duman, R. S. (2006). Hippocampal neurogenesis:
Opposing effects of stress and antidepressant treatment. Hippocampus, 16,
239–249.
Widiger, T.A. (2006). Understanding personality disorders. In S. K. Huprich
(Ed.), Rorschach assessment to the personality disorders. The LEA series in
personality and clinical psychology (pp. 3–25). Mahwah, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates.
Wittchen, H. (2001). Generalized Anxiety Disorder: Nature and Course. 62(suppl
11), 15–19.
Yaunin, Y. (2012). Gangguan panik dengan agorafobia. Majalah Kedokteran
40

Andalas, 36(2), 234-243.


Zweig-Frank, H., Paris, J., Kin, N. M. N. Y., Schwartz, G., Steiger, H., & Nair, N.
P. V. (2006). Childhood sexual abuse in relation to neurobiological
challenge tests in patients with borderline personality disorder and normal
controls. Psychiatry Research, 141(3), 337–341.

Anda mungkin juga menyukai