Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

NORMAL DAN ABNORMAL DALAM PSIKOLOGI


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Klinis 2

Dosen Pengampu : Junaidi, M.Psi, psikolog

Disusun Oleh
Kelompok I :
1. Septianti khaerunnisa 1904030009
2. Shindu darma 1803022026
3. Ummi Rojattul Jannah 1904031014
KELAS B

BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO LAMPUNG
T.A. 1442/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmad dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang diberi judul
“Normal Dan Abnormal Dalam Psikologi” .
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi karena keterbatasan pengetahuan serta bahan referensi yang dapat
dijadikan acuan. Namun, berkat bantuan berbagai pihak, akhirnya makalah ini
dapat penulis selesaikan. Untuk itu, pada kesempatan kali ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang terkait dalam penyusunan
makalah, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak kekurangan apalagi pengetahuan. Penyusun juga masih belum
seberapa mengenal hal yang dibahas dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang positif sangat penulis harapkan agar makalah ini menjadi lebih
baik. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pembaca untuk saat ini dan dapat pula dijadikan pedoman pada masa yang akan
datang.

Metro, 12 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Istilah-Istilah Gangguan Kejiwaan............................................ 3
B. Pengertian Dan Salah Pengertian.............................................. 5
C. Sudut Pandang Perkembangan Kepribadian............................. 9
D. Sehat Mental.............................................................................. 11
E. Model Gangguan Psikologis..................................................... 15
F. Klasufikasi Gangguan Kejiwaan Menurut DSM, PPDGJ......... 17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................... 21
B. Saran.......................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dan tingkah lakunya memiliki banyak keunikan. Tingkah laku
yang muncul memberikan dampak bagi dirinyasendiri dan juga orang lain.
sebagian memberikan manfaat dan sebagian yang lain memberikan mudharat
(efek samping negatif). Setiap dari masing-masing tingkah laku yang muncul,
memiliki sebab yang berbeda-beda dan dikategorikan dalam dua kategori
besar, yakni tingkah laku normal dan abnormal. Banyak perilaku abnormal
yang berkembang di masyarakat. Perilaku abnormal adalah salah satu cabang
psikologi yang menyelidiki segala bentuk gangguan mental dan abnormalitas
jiwa (Kartini, 2000).
Perilaku abnormal adalah bagian dari kenyataan yang kita hadapi dalam
kehidupan ini. Baik disadari ataupun tidak, pperilaku banyak terjadi di sekitar
kita. Ia dapat berbentuk perilaku-perilaku yang jarang dilakukan, tidak sesuai
dengan norma menyebabkan stress pribadi, tidak diharapkan dan
disfungsiperilaku (davison, naele, dan kring, 2004). Sayangnya, masyarakat
masih kurang memahami perilaku abnormal tersebut, sehingga perilaku-
perilaku abnormal yang ada sering dipahami secara keliru.

B. Rumusan Masalah
1. Apa istilah istilah gangguan kejiwaan?
2. Bagaimana pengertian dan salah pengertian dalam psikologi klinis?
3. Bagaimana sudut pandang perkembangan kepribadian?
4. Apa makna sehat mental?
5. Apa model gangguan psikologis?
6. Bagaimana klasifikasi gangguan keiwaan menurut DSM, PPDGJ?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang istilah-istilah kejiwaan.
2. Mengetahui tentang pengertian dan salah pengertian dalam psikologi klinis.
3. Mengetahui tentang sudut pandang perkembangan kepribadian.
4. Mengetahui tentang sehat mental.
5. Mengetahui tentang model gangguan psikologis.
6. Mengetahui tentang klasifikasi gangguan keiwaan menurut DSM, PPDGJ.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istilah-Istilah Gangguan Kejiwaan


Gangguan kejiwaan merupakan suatu penyakit psikologis yang terjadi
dalam otak manusia yang tidak normal. Orang dengan penyakit
psikologis terlihat sehat dari luar namun dalam dirinya terdapat berbagai
tekanan dan membuat dirinya tidak dapat menjalani kesehariannya seperti
orang pada umumnya (Suhaimi, 2015).1 Istilah-istilah perilaku abnormal,
perilaku maladaptif, ganguan mental, psikopatologi, ganguan emosional,
penyakit jiwa, gangguan perilaku, penyakit mental, dan ketidakwarasan sering
dipakai secara bergantian untuk,secara umum-kasar, menunjukkan gejala yang
sama. Padahal, setiap istilah tersebut memiliki nuansa masing-masing, seperti
akan ditunjukan di bawah ini (coleman, butcher & carson, 1980).2
1. Perilaku abnormal (abnormal behavior)
Digunakan untuk menggambarkan tampilan kepribadian dalam (inner
personality) atau perilaku luar (outer behavior) atau keduanya. Yang
dimaksudkan dengan istilah ini adalah perilaku spesifik seperti fobia atau
pola gangguan seperti skizofrenia. Demikian juga dengan masalah kronik
atau yang berlangsung lama, seperti intoksikasi obat-obatan dengan simtom
yang akut atau temporer.
2. Perilaku maladaptif (maladaptive behavior)
Merupakan pemahaman perilaku abnormal yang bersifat konseptual, yang
memasukkan setiap perilaku yang memiliki konsekuensi yang tidak
diharapkan. Tidak hanya perilaku psikosis atau neurotis, melainkan juga
perilaku bisnis yang tidak etis, prasangka rasial, alienasi, dan apatis.

1
Silvia Aprilla, Dkk. Klasifikasi Penyakit Skizofrenia Dan Episode Depresi Pada
Gangguan Kejiwaan Dengan Menggunakan Metode Support Vector Machine (Svm), 2018, Vol. 2,
No. 11, hal. 5611-5612.
2
Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 14-16.

3
3. Gangguan mental (mental disorder)
Istilah ini digunakan untuk pola perilaku abnormal yang meliputi rentang
yang lebar dari yang ringan sampai yang berat.
4. Gangguan emosional (emotional disturbance)
Merupakan integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan
tekanan pribadi (distress personal). Istilah ini lebih sering digunakan untuk
perilaku maladaptif pada anak-anak.
5. Psikopatologi (psychopathology)
Diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi
abnormal, atau gangguan mental.
6. Sakit mental (mental illness)
Digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental. Namun penggunaannya
saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi otak
atau disorganisasi kepribadian yang berat.
7. Gangguan mental (mental disorder)
Semula digunakan untuk nama gangguan-gangguan yang berhubungan
dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama ini pun sering
digunakan sebagai istilah yang umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
8. Gangguan perilaku (behavior disorder)
Digunakan secara khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan
belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan maupun gagal
dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif.
9. Gila (insanity)
Merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu secara
mental tidak mampu untuk mengelola masalah-masalahnya atau melihat
konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Istilah ini menunjuk
pada gangguan mental yang serius. Terutama penggunaan istilah ini
bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang melakukan tindak
pidana dihukum atau tidak.

4
B. Pengertian Dan Salah Pengertian
1. Gangguan Kejiwaan dalam Pandangan Akademis
a. Menyimpang dari standar kultural atau sosial.
Ulman dan Krasner, seperti dikemukakan Coleman dkk., 1994
bertitik tolak dari pengertian abnormal sebagai cap yang diterapkan pada
perilaku yang menyimpang dari harapan-harapan sosial.
b. Ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Pandangan ini menyatakan bahwa perilaku abnormal adalah
perilaku yang maladaptif ketika individu berada dalam kondisi atau
situasi yang menuntutnya melakukan tindakan menyesuaikan diri dengan
baik. Mal = tidak, rusak; adaptation = sesuai, kesesuaian. Dalam hal ini,
apa yang disebut dengan situasi adalah situasi yang pada umumnya orang
tidak sukar untuk menyesuaikan diri, tetapi bagi penderita ternyata sulit.
Penyesuaian diri merupakan tuntutan dari lingkungan yang terus
menerus terhadap individu, baik lingkungan dalam diri yang
bersangkutan, maupun lingkungan luarnya. Yang disebut lingkungan
dalam diri adalah kebutuhan-kebutuhan kejiwaan dan kondisi kejiwaan
lainnya dalam diri individu, seperti impuls. Sedangkan di lingkungan luar
adalah situasi yang ada di lingkungan sekitarnya, misalnya tuntutan tugas
dan sosial maupun keadaan alam.
Mengenai penyesuaian diri ini M. Jakoda, seorang ahli kesehatan
mental, lebih menegaskan lagi dengan menyebutnya sebagai
“penyesuaian diri yang aktif”. Artinya, penyesuaian diri itu harus secara
tegas merupakan inisiatif individu yang bersangkutan, bukan sekedar
usaha untuk dapat “survive” dalam suatu situasi. Meskipun pada
umumnya penyesuaian diri ini lebih banyak dihubungkan dengan
lingkungan sosial, tetapi penyesuaian diri juga menyangkut lingkungan
hidup yang lain, seperti lingkungan alam, dan gagasan-gagasan.
c. Menyimpang secara statistik, violasi atau norma sosial.
Norma-norma numerik, yang didasarkan pada prosedur statistik,
dapat dijadikan landasan bagi pengelompokkan perilaku : ada yang

5
paling sering terjadi, rata-rata terjadi, dan sekali-sekali terjadi. Maka,
yang rata-rata itu menunjukkan orang-orang yang tergolong normal,
sedangkan yang sangat sering atau sangat jarang, termasuk ekstrim,
abnormal.
Terdapat beberapa kriteria dan pengertian lain dalam perilaku
abnormal, misalnya definisi berdasarkan hukum, kriteria personal, dan
kriteria profesional. Yang disebut dengan kriteria personal adalah kriteria
di mana seseorang merasa membutuhkan bantuan profesional di bidang
kesehatan mental, yaitu seseorang yang menderita gangguan psikologis.
Akurasinya ditentukan oleh beberapa ciri sebagai berikut :
1) Orang itu harus menyadari adanya petugas profesional kesehatan
mental yang dapat menolongnya.
2) Orang yang ketika membandingkan dirinya dengan orang lain di
lingkungannya, menemukan atau merasakan dirinya berada pada
kondisi yang lebih rendah, atau salah menilai dirinya sebagai seorang
yang tidak beda dari orang lain, sementara orang lain melihatnya.
3) Orang-orang yang merasakan dirinya berada dalam keadaan stress
(tertekan) yang menyakitkan, tetapi menolak mencari bantuan, baik
karena takut dinilai buruk oleh masyarakat dan takut disebut “gila”.
2. Pengertian Salah pada Kaum Awam
a. Keyakinan bahwa perilaku abnormal selalu merupakan perilaku yang
kacau (bizarre). Biasanya, hal ini disebabkan oleh tampilan-tampilan
media massa yang umumnya ingin menarik perhatian pembacanya. Di
sini, perilaku abnormal dianggap sebagai suatu kejadian yang ekstrim,
seperti pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, dan perilaku lain yang
tidak diterima dalam norma-norma perilaku di masyarakat. Sebaliknya,
banyak sekali abnormalitas yang tidak tampil atau bahkan justru
memberikan segi manfaat yang diharap masyarakat, misalnya :
1) Merokok dalam pandangan Islam hukumnya makruh, menunjukkan
perilaku merokok akan memberikan dampak negatif terhadap proses

6
memelihara diri, bisa jadi nanti akan menambah intensitasnya beralih
ke minuman alkohol.
2) Begitupun halnya terjadi pada gangguan mental. Pada awalnya tidak
kelihatan, namun lama-kelamaan muncul dalam tampilan perilaku,
seperti keisengan dan kenakalan pada remaja yang berkembang tiba-
tiba tampil sebagai kejahatan (kriminal).
3) Montesque seorang yang ahli pemerintahan berkebangsaan Perancis
mengalami paranoid, sensitif terhadap kekuasaan. Karena sakitnya, ia
terpikir kalau kekuasaan hanya dikuasai oleh seseorang atau kelompok
saja, bisa berbahaya menjadi diktator atau otoriter. Harus ada
pembagian kekuasaan, sehingga saat ini kita mengenal dalam
pemerintahan ada kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Dari
sakitnya itu, Montesque dapat memberikan manfaat. Begitu pula
dengan pelukis terkenal asal Belanda, Van Gogh. Tampaknya, dalam
kondisi normal, sakit itu dapat memberikan manfaat. Banyak landasan
pikiran keilmuan dan filsafat maupun sosial yang kita gunakan, yang
dilahirkan oleh pikiran orang-orang “ekstrim” yang pada saat tertentu
disebut abnormal.
b. Gagasan mengenai normal dan abnormal dipisahkan secara tajam,
sehingga gejala sakit dapat dibedakan dengan jelas dari gejala sehat. Kita
sebenarnya tidak mengetahui secara persis bahwa suatu perilaku itu
normal atau abnormal. Sebenarnya, kita hanya dapat membedakan secara
tidak jelas, misalnya “ini adaptif dengan taraf yang sedang atau cukup”.
Antara normal dan abnormal terdapat garis penghubung kontinuum.
Kontinuum artinya suatu situasi tidak dapat secara jelas dibedakan
dengan situasi sebelum atau berikutnya.
c. Pandangan bahwa gangguan mental merupakan stigma yang herediter.
Kalau ibunya skizofren, maka anaknya pasti skizofren; dan kalau
generasi sebelumnya tidak ada yang abnormal, maka sampai generasi
manapun tidak akan terjadi abnormalitas. Memang ada penelitian yang
mengindikasikan bahwa perilaku yang dimiliki orang tua akan

7
diwariskan kepada keturunannya; akan tetapi kalau seseorang berada
dalam kondisi terpelihara, tidak akan terkena gangguan. Bagaimanapun,
gangguan hanya terjadi kalau ada alasannya, ada pemicunya.
d. Pandangan bahwa genius adalah orang yang dekat dengan kegilaan.
Dapat dipahami bahwa seorang jenius memiliki kelebihan, misalnya
secara intelektual, dengan risiko kurang memperhatikan sisi kehidupan
lain dan terlalu berkonsentrasi pada bidang keahliannya, sehingga bisa
jadi bertingkah laku ekstrim dalam kehidupan sosialnya.
e. Pasien mental itu tidak dapat diobati dan berbahaya, tidak bisa
disembuhkan seumur hidup. Dengan demikian, upaya-upaya
penyembuhan terhadap perilaku abnormal dianggap sebagai usaha yang
sia-sia saja. Oleh karena itu, penderita gangguan kejiwaan tidak
disembuhkan, dan hanya dijaga agar tidak mengganggu orang lain.
f. Gangguan mental dianggap suatu kejadian yang sangat memalukan.
Sebagai contoh, pada suatu ketika ada seseorang yang bermaksud
konsultasi pada suatu praktek psikologi. Tetapi, ia memarkir mobilnya
jauh dari tempat konsultasi karena khawatir orang lain atau teman-
temannya mengetahui. Berkonsultasi psikologis itu dianggapnya sebagai
sesuatu yang sangat memalukan.
g. Ketakutan yang berlebihan pada seseorang bahwa gangguan mental tidak
dapat disembuhkan. Akibatnya, orang yang mengalami penderitaan yang
ringan tersebut merasa takut dalam segala situasi dan keadaannya makin
parah karena tidak berusaha menyembuhkan diri. Kekhawatiran, yang
dideritanya itu, sesungguhnya tidak selalu menunjukkan orang itu sakit
jiwa, tetapi merupakan reaksi yang sifatnya seketika dan sekaligus dapat
ditangani.3

3
https://www.academia.edu/30471003/Psikologi_Klinis_Normal_dan_Abnormal_dalam
_Psikologi_Fakultas_Program_Studi_Tatap_Muka_Kode_MK_Disusun_Oleh

8
C. Sudut Pandang Perkembangan Kepribadian
Coleman dan Broen, 1972, dalam Wiramihardja, 2007 telah
mengidentifikasikan tujuh ciri gangguan atau kekurangan, dengan dasar
pemikiran 7 ciri perkembangan kepribadian sebagai berikut :
1. Dari tergantung ke pengaturan diri (Dependence to self-direction). Seorang
anak yang baru lahir, sebagai contoh ekstrim, seluruh kebutuhannya tidak
dapat dipenuhi oleh usaha-usahanya sendiri melainkan perlu bantuan orang
lain. Ia tidak mandiri; tetapi kalau sudah dewasa maka ia dapat menentukan
sendiri arah tingkah laku dan kehidupannya.
2. Dari kesenangan ke realitas/pengendalian diri (pleasure to reality/self-
control). Seperti dikemukakan Freud, pada saat masih sangat kecil orang
hanya mementingkan kesenangan saja. Bahkan bisa ditambahkan,
kesenangan saat ini di sini. Tapi makin bertambah umurnya, orang harus
lebih mempertimbangkan realitas atau tuntutan-tuntutan kenyataan. Hal ini
juga menggambarkan bahwa seorang yang kekanak-kanakan, padahal telah
dewasa, akan lebih banyak berkhayal, berfantasi dari bertindak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya.
3. Tidak tahu ke tahu (ignorance to knowledge). Pada saat bayi, orang dapat
dikatakan tidak tahu apa-apa sama sekali. Tetapi sejalan dengan
pertambahan usia, pengetahuan dan pengalamannya bertambah, sehingga
bisa menjadi seorang segala tahu dan segala bisa. Pengetahuan itu
diperlakukan sebagai referensi untuk pemikiran (pendapat), sikap, dan
tingkah lakunya.
4. Tak mampu ke mampu (incompetence to competence). Dalam perjalanan
hidupnya, seseorang akan bertambah dalam kemampuan atau
kompetensinya, baik yang bersifat intelektual, emosional, sosial, dan
kompetensi lainnya. Dalam ranah intelektual, ia menjadi lebih banyak tahu
dan terampil untuk memecahkan permasalahan. Dalam ranah emosional,
seorang yang telah matang akan mampu untuk mengendalikan emosi,
perasaan, atau tingkah lakunya. Dalam ranah sosial, makin dewasa orang
akan makin sosiabel, makin pandai bergaul dengan berbagai macam pribadi

9
dan minat orang, makin memahami tuntutan sosial terhadap dirinya, tetapi
juga makin tahu lingkungan sosial mana yang pantas ia masuki dan mana
yang tidak.
5. Seksualitas yang kabur ke heteroseksualitas (diffuse sexuality to
heterosexuality). Pada awalnya terdapat kekaburan dan generalisasi dalam
seksualitas. Makin dewasa, anak makin tahu perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Pada tahap berikut adalah lebih memahami fungsi yang berbeda
dan bagaimana harus menyikapi dan memperlakukan perbedaan seksualitas
itu. Perkawinan juga merupakan tanda-tanda kedewasaan. Saat ini terdapat
berbagai peningkatan dalam wacana seksualitas ini, dalam apa yang disebut
dengan masalah gender dan kesamaan (equity) yang berdampak besar pada
hampir semua sisi kehidupan. Kearifan manusia makin teruji.
6. Amoral ke moral (immoral to moral). Makin muda manusia makin kurang
memperhatikan moralitas. Demikian, maka bayi yang baru lahir tidak
memiliki moral, amoral, karena ia menuntut untuk setiap hal yang
memberinya rasa senang, khususnya fisik, tidak peduli bagaimana cara
pemenuhannya, bahkan tidak peduli apakah keinginan itu wajar atau tidak.
Bahkan pada taraf keinginan pun moralitas dapat terlihat. Masalah buruk
dan baik, berdosa atau berpahala, muncul dalam orang dewasa, tidak dalam
alam pikiran dan kehidupan anak kecil atau bayi.
7. Berpusat pada diri sendiri ke kepada orang lain (self-centered to other-
centered). Hal ini terutama bersangkutan dengan kehidupan sosial, di mana
pada awalnya manusia lebih menjadikan kebutuhan diri sebagai patokan
pikiran, sikap, dan tindakannya. Berikutnya seolah-olah membagi rata
antara kebutuhan diri dan kebutuhan orang lain. Pada usia lebih lanjut,
umumnya orang mementingkan orang atau pihak lain. Misalnya seorang
pejabat negara, akan lebih mementingkan rakyatnya daripada dirinya
sendiri.

10
D. Sehat Mental
Sehat adalah aset aktifitas sehari-hari. Dengan kesehatan yang dimiliki
seseorang akan memungkinkan seseorang menjalankan kegiatan yang
peroduktif. Untuk memastikan bahwa seseorang memiliki mental yang sehat,
dibutuhkan stimulasi yang intensif berdasarkan pertahtian(care), kontrol
(control), dan stimulasi intelektual (intellectual stimulation)serta sentuhan
kehangatan afeksi (affection).4
Sehat mental secara umum dapat diartikan sebagai kondisi mental yang
tumbuh dan didasari motivasi yang kuat ingin meraih kualitas diri yang lebih
baik, baik dalam kehidupan keluarga, kehidupan kerja/profesi, maupun sisi
kehidupan lainnya.
Orang yang disebut memiliki mental tidak sehat ialah orang yang
meskipun secara potensial memiliki kemampuan, tetapi tidak punya keinginan
dan usaha untuk mengaktualisasikan potensinya itu secara optimal.
Sementara orang yang disebut sakit mental adalah orang yang secara
mental memiliki berbagai macam unsur yang saling bertentangan dan dengan
demikian, sering merusak atau menghambat, sehingga perilakunya tidak
menentu.
Beberapa definisi dan pengertian sehat mental dapat dikemukakan pada
kesempatan ini sebagai berikut :
1. World Federation for Mental Health, pada tahun 1948 dalam konvensinya
di London mengukakan bahwa sehat mental adalah suatu kondisi yang
optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dan aspek
emosional yang cukup mantap atau stabil, sehingga perilakunya tidak
mudah tergoncang oleh situasi yang berubah di lingkungannya, tidak
sekedar bebas atau tidak adanya gangguan kejiwaan, sepanjang tidak
mengganggu lingkungannya.
2. Karl Menninger, seorang psikiater, mendefinisikan sehat mental sebagai
penyesuaian manusia terhadap lingkungannya dan orang-orang lain dengan
keefektifan dan kebahagiaan yang optimal. Tidak sekedar efisiensi atau

4
Elly Yuliandari, Psikologi Klinis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2018), hal. 24-25.

11
sekedar kegembiraan atau ketaatan atas aturan permainan. Dalam mental
yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara watak, inteligensi yang
siap untuk digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan
disposisi yang bahagia.
3. HB. English, seorang psikolog, menyatakan sehat mental sebagai keadaan
yang secara relatif menetap di mana seseorang dapat menyesuaikan diri
dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan terpelihara, dan
berusaha untuk mencapai aktualisasi diri atau realisasi diri yang optimal.
Hal ini merupakan keadaan yang positif dan bukan sekedar tidak adanya
gangguan mental.
4. W.W. Boehm, seorang pekerja sosial menyatakan bahwa sehat mental
adalah kondisi dan taraf pemfungsian sosial yang diterima secara sosial dan
memberikan kebahagiaan secara pribadi.
5. Coleman dan Broen, Jr. Menyatakan ada enam sifat orang yang sehat
mental, sebagai berikut :
a. Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positif attitude toward self),
seperti menekankan pada penerimaan diri, identitas diri yang adekuat,
penghargaan yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangan orang
lain.
b. Persepsi atas realitas (perception of reality), yaitu suatu pandangan
realistik atas diri sendiri dan dunia, orang, serta benda-benda yang nyata
ada di lingkungannya.
c. Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian, bebas dari
ketidakmampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict), dan
toleransi yang baik terhadap stress.
d. Kompetensi, ialah adanya perkembangan kompetensi, baik fisik,
intelektual, emosional, dan sosial untuk menanggulangi masalah-masalah
kehidupan. Kompetensi mengandung pengetahuan, keterampilan, sikap,
dan perilaku yang sesuai dan memadai.

12
e. Otonomi, yakni keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri
yang adekuat, bersama-sama dengan kemandirian yang memadai
menyangkut pengaruh sosial.
f. Pertumbuhan atau aktualisasi diri, yakni menekankan pada
kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan
potensialitas, dan kepuasan sebagai pribadi.
6. Killander, pada tahun 1957 mengidentikkan orang yang mentalnya sehat
dengan apa yang disebutnya sebagai individu yang normal. Mereka adalah
orang-orang yang memperlihatkan memeiliki kematangan emosional,
kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan
memiliki filsafat atau pegangan hidup pada saat ia mengalami komplikasi
kehidupan sehari-hari sebagai gangguan.
Ciri-ciri individu yang memiliki sehat mental seperti dikatakan oleh
Killander itu tampaknya sederhana tetapi seringkali sukar terlihat dalam
kenyataannya sehari-hari. Untuk itu, perlu dikemukakan rincian pengertian
ciri-ciri tersebut sesuai dengan maksudnya, sebagai berikut:
a. Kematangan Emosional.
Terdapat tiga dasar emosi, yaitu cinta, takut, dan marah. Kita
mencintai hal yang membuat kita senang, takut kalau ada hal yang
mengancam rasa aman kita, dan marah kalau ada yang mengganggu atau
menghambat jalan dan usaha untuk mencapai apa yang kita inginkan.
Ketiga dasar emosi ini diturunkan dan bersifat universal.
Terdapat tiga ciri perilaku dan pemikiran pada orang yang
emosinya disebut matang, yaitu memiliki disiplin diri, determinasi diri,
dan kemandirian. Seorang yang memiliki disiplin diri dapat mengatur
hidup, hidup teratur, menaati hukum dan peraturan. Orang yang memiliki
determinasi diri akan dapat membuat keputusan sendiri dalam
memecahkan suatu masalah dan melakukan apa yang telah
diputuskannya. Ia tidak mudah menyerah dan akan mengnggap masalah
baru lebih sebagai tantangan daripada sebagai ancaman. Individu yang
mandiri akan berdiri di atas kaki sendiri. Ia tidak banyak

13
menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain, melainkan
lebih mendasarkan diri pada kemampuan-kemampuan dan kekuatannya
sendiri.
b. Kemampuan menerima realitas.
Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan, dan ambisi di satu
pihak, serta peluang dan kemampuan di pihak lainnya, adalah hal yang
biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan untuk menerima realitas
antara lain memperlihatkan perilaku mampu memecahkan masalah
dengan segera dan menerima tanggung jawab. Bahkan kalau
memungkinkan, ia mampu mengendalikan lingkungan dan kalau tidak
mungkin, tidak sukar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,
terbuka untuk pengalaman dan gagasan baru, membuat tujuan-tujuan
yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas
hasil usahanya tersebut. Selain itu, mereka juga tidak terlalu banyak
menggunakan mekanisme pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yang
tidak tepat ketika menghadapi masalah yang mengganggunya atau yang
tidak ia kehendaki. Penggunaan mekanisme pertahanan diri adalah
perilaku yang bersifat palivatif, ialah membangun situasi “seolah-olah”
menyelesaikan masalah, padahal tidak. Oleh karena itu, masalahnya tidak
akan hilang, melainkan justru berkembang.
c. Hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain.
Hal ini menyangkut hakekat dirinya sebagai makhluk sosial (homo
socius), yang tidak sekedar mau dan bersedia serta mampu bekerja sama
untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi daripada dikerjakan sendiri,
melainkan juga karena tidak dapat bertahan hidup sendiri. Manusia
adalah makhluk solider, bukan soliter.
Ciri normal secara sosial ini antara lain terlihat pada adanya
kemampuan dan kemauan untuk mempertimbangkan minat dan
keinginan orang lain dalam tindakan-tindakan sosialnya, mampu
menemukan dan memanfaatkan perbedaan pandangan dengan orang lain,

14
dan mempunyai tanggung jawab sosial serta merasa bertanggung jawab
terhadap nasib orang lain.
d. Memiliki filsafat atau pandangan hidup.
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat hidup adalah memiliki
pegangan hidup yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada
dalam jalan yang benar, terutama saat menghadapi atau berada dalam
situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hidup ini memiliki
dua muatan utama, yaitu makna hidup dan nilai hidup. Jadi, orang yang
sehat mental senantiasa dibimbing oleh makna dan nilai hidup yang
menjadi pegangannya. Ia tidak akan terbawa begitu saja oleh arus situasi
yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana
hatinya sendiri yang bersifat sesaat.

E. Model Gangguan Psikologis


1. Model Medis
Model ini sering juga disebut model penyakit atau model organik.
Menurut konseptualisasi model ini, perilaku abnormal bersangkutan dengan
kelemahan fisik (simptom patologis) dilihat sebagai akibat dari penyakit,
kekurangan, dan kelemahan biologis/kimiawi. Banyak psikiater
menggunakan model medis, meskipun model yang modern mulai lebih
melirik perspektif belajar. Inti dari model medis adalah adanya hubungan
antara suatu gejala dengan sebab tertentu. Misalnya paresis umum, ialah
infeksi sifilitik pada kortek serebral, sebagai penyebab sifilis dan penyakit
fisik tertentu yang disebabkan oleh kelemahan dan kerusakan psikologis
tertentu.
Model medis ini, sering juga disebut medical orientation, yakni
orientasi yang menyatakan bahwa gangguan kejiwaan mempunyai landasan
biologis, termasuk fisik, syaraf, dan organik. Orientasi ini didasarkan pada
salah satu pendekatan psikologi, yakni pendekatan biologis atau psikologi
biologis, yang dalam terapannya antara lain muncul dalam pemahaman yang
terutama menyangkut psikologi klinis, yaitu psikologi medis. Istilah

15
psikologi medis ini merupakan nama lain (dengan pendekatan khusus,
medis) untuk psikologi. Pertama kali istilah psikologi medis ini
dikemukakan pada tahun 1941 oleh Zilboorg dan Henry (Trull, 2005 dalam
Wiramihardja, 2007).
2. Model Psikodinamik
Pendekatan ini memberikan tekanan pada peranan dorongan-dorongan
dasar yang bersifat naluriah dan tidak disadari yang terdapat pada manusia
umumnya, seperti dan terutama dorongan seks, sebagai penyebab utama
terjadinya perilaku, termasuk perilaku yang menyimpang atau gangguan
jiwa. Dalam pandangan ini kesehatan mental dipandang sebagai kondisi
yang memungkinkan individual mampu untuk meredakan dan menyalurkan
dorongan-dorongan dasar ini dalam batas-batas yang diajukan atau diminta
masyarakat atau society dengan agama dan budayanya. Tingkah laku
abnormal dilihat sebagai hasil dari perkembangan yang salah atau
penggunaan defense mechanism yang berlebihan ketika individu
menanggulangi kecemasan (anxiety) yang dihayatinya.
3. Model Belajar
Model ini menekankan pada perilaku yang overt atau terbuka, serta
objektif. Tingkah laku ini dilihat sebagai upaya organisme untuk
menyesuaikan diri dengan rangsangan-rangsangan di lingkungan, yang
disebut stimulus. Abnormalitas dilihat sebagai adaptasi yang tidak efektif
atau menyimpang, sebagai hasil belajar atau respons-respons maladaptif dan
atau kegagalan untuk mempelajari apa atau kemampuan apa yang
dibutuhkannya; atau dapat dikatakan salah dalam mempelajari suatu yang
baik dan berhasil dalam mempelajari hal-hal yang tidak benar.
4. Model Sistem
Para teoretikus di bidang sistem menggunakan konsep-konsep ilmu
kealaman (terutama biologi), proses informasi (terutama “ilmu” komputer),
dan sosial (terutama antropologi) untuk mengkonseptualisasikan interaksi
manusia, baik adaptif maupun disfungsi, sebagai komponen dalam sistem
sosial. Jejaring sosial, seperti keluarga atau kelompok pertemanan dilihat

16
sebagai pola interaksi yang bergerak statis atau berulang untuk memelihara
keseimbangan (equilibrium) yang memaksimalkan perubahan jejaring untuk
bertahan. Setiap perubahan, baik dari dalam maupun luar jejaring, baik yang
bersifat konstruktif maupun destruktif, mengancam “homeostatic
equilibrium”. Jejaring berfungsi memantau mekanisme kemungkinan
terjadinya simpangan dari pola yang telah terbangun, melalui umpan balik.
Dihubungkan dengan sistem model, disfungsi psikologis terjadi dalam
dua bentuk berikut, (1) jika orang harus berpikir, merasa, atau bertingkah
laku dalam situasi psikologis dan fisik yang mengancam atau cara yang
menyakitkan agar sesuai dengan jejaring sosial, dan (2) jika orang berusaha
untuk mengubah peran atau interaksinya dalam jejaring sosialnya tanpa
kekuatan dan keterampilan yang memadai untuk menanggulangi kekuatan
inter jejaring sosial.
Sebagai contoh, seorang yang menderita gangguan skizofrenia,
menurut Bateson dkk. (1956), telah mengembangkan pola pikir dan perilaku
yang kacau karena keluarganya menciptakan sistem “double bind”, ialah
mempelajari dua pedoman yang bertentangan sekaligus pada waktu yang
sama.5

F. Klasufikasi Gangguan Kejiwaan Menurut DSM, PPDGJ


Dalam klasifikasi gangguan kejiwaan, gangguan fisik dan organis yang
biasa ditangani para dokter atau ahli medis ditampilkan dengan landasan
perbedaan yang kadang-kadang mendasar. Klasifikasi yang paling populer
digunakan orang adalah klasifikasi gangguan sebagaimana dikemukakan oleh
American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1952 yang pada tahun
1992 telah berhasil melahirkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders IV (DSM-IV), setelah mengalami tiga kali revisi sejak tahun 1979.
Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dalam hal ini WHO (World Health
Organization) juga melahirkan klasifikasi gangguan kejiwaan yang disebut

5
Sutardjo A Wiramihardja, Pengantar Psikologi Klinis (Edisi Revisi), (Bandung: Pt
Refika Aditama, 2007),

17
lnternational Classification Diagnostic of Mental Disorders yang saat ini telah
mencapai ICD-10.
Di Indonesia, pemerintah telah berhasil melahirkan klasifikasi gangguan
kejiwaan yang memuat gangguan kejiwaan khas lndonesia, yang disebut
PPDGJ atau Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa, yang saat ini
telah mencapai PPDGJ lll. Yang paling populer di Indonesia, adalah DSM dan
yang secara resmi digunakan adalah PPDGJ.
Dalam DSM-IV terdapat lima axis gangguan. Dari lima axis gangguan
tersebut terdapat dua axis yang penting bagi kalangan psikologi sebagai
berikut:
1. AXIS I : gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus perhatian
klinis.
a. Gangguan-gangguan yang biasanya didiagnosis pada masa bayi, anak,
atau remaja. Termasuk dalam aksis ini retardasi mental, gangguan
belajar, gangguan keterampilan motorik, gangguan komunikasi,
gangguan perkembangan pervasif, gangguan perhatian dan perilaku
disruptif, gangguan makan pada bayi dan anak-anak, gangguan tik, dan
gangguan eliminasi.
b. Delirium, dementia, amnesia, dan gangguan kognitif lain.
c. Gangguan mental yang menyangkut kondisi medis umum yang tidak
dapat diklasifikasikan pada jenis lain, seperti gangguan katatonik yang
berhubungan dengan kondisi medis umum, perubahan kepribadian yang
berhubungan dengan kondisi medis umum, gangguan mental NOS (No
Observed Specified) yang berhubungan dengan kondisi medis umum.
d. Gangguan yang berhubungan dengan obat dan napza, termasuk gangguan
penggunaan alkohol, gangguan yang dipicu oleh alkohol, gangguan
penggunaan amfetamin, gangguan yang dipicu oleh amfetamin,
gangguan yang dipengaruhi oleh kafein, gangguan penggunaan cannabis,
gangguan yang dipicu anxiolitic, hipnotic, dan sedatif.
e. Skizofrenia dan gangguan psikosis Iainnya, termasuk skizofrenia,
gangguan bentuk skizofrenia, gangguan skizo afektif, gangguan

18
delusional, gangguan psikotik singkat, shared psychotic disorder,
gangguan psikotik yang berhubungan dengan kondisi medis umum, NOS
gangguan psikotik.
f. Gangguan suasana hati (code currentstate of major depressive),
gangguan depresif, gangguan bipolar, gangguan suasana hati yang
berhubungan dengan kondisi medis umum, gangguan suasana hati NOS.
g.  Gangguan kecemasan,seperti gangguan panik, phobia, post traumatic
stress disorder, generalized anxiety disorders, obsessive compulsive
disorder, gangguan kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis
umum, NOS gangguan kecemasan.
h. Gangguan somatoforrn, seperti gangguan somatisasi, gangguan konversi
hipohondirasis, gangguan dismorfik badan, dan gangguan somatoform
NOS.
i. Gangguan disosiatif, seperti amnesia disosiatif, fuga disosiatif, gangguan
identitas disosiatif, gangguan depersonalisasi, dan gangguan disosiatif
NOS
j. Gangguan identitas gender dan seksual, antara lain disfungsi seksual
parafilas, gangguan identitas gender, dan gangguan seksual NOS.
k. Gangguan makan, seperti anorexia nervosa, bulimia nervosa, dan
gangguan makan NOS.
l. Gangguan tidur, seperti gangguan tidur primer, gangguan tidur yang
berhubungan dengan gangguan mental lain;
m. Gangguan pengendalian impuls yang tidak termasuk golongan lain,
seperti kleptomania, piromania, tuntutan berjudi yang tidak terkendali
(trikotilomania), dan gangguan pengendalian impulsif NOS.
n. Gangguan penyesuaian diri, seperti gangguan penyesuaian diri dengan
kecemasan atau suasana hati dipresi.
2. Axis II : gangguan kepribadian dan retardasi mental.
a. Gangguan kepribadian,seperti gangguan kepribadian paranoid, gangguan
kepribadian skizoid, gangguan kepribadian skizotipal, gangguan

19
kepribadian antisosial, gangguan kepribadian histirionik, gangggaun
kepribadian dependen, dan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif.
b. Kondisi lain yang bisa jadi berfokus pada perhatian klinis, seperti
gangguan gerakan yang dipengaruhi oleh medikasi, masalah relasional,
masalah relasi yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan
penyisihan.
c. Kode tambahan, seperti gangguan mental yang tidak spesifik, gangguan
yang tidak termasuk dalam Axis l dan Axis ll.
3. Axis III : Kondisi medis umum.
4. Axis IV : Problem-problem psikososial dan lingkungan.
5. Axis V : Penilaian fungsi secara global.
Pemerintah lndonesia, melalui Direktorat Kesehatan Jiwa, telah
mengeluarkan PPDGJ I sejak tahun 1973, dan tahun 2002 telah berhasil
menerbitkan PPDGJ lll berpedoman dan DSM IV R dan ICD -10. Pedoman
penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia (PPDGJ) pada
awalnya disusun berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada
PPDGJ III disusun berdasarkan ICD X. Secara singkat, klasifikasi PPDGJ III
meliputi :
F00-R09 : gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik).

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan kejiwaan merupakan suatu penyakit psikologis yang
terjadi dalam otak manusia yang tidak normal. Orang dengan penyakit
psikologis terlihat sehat dari luar. Istilah-istilah perilaku abnormal,
perilaku maladaptif, ganguan mental, psikopatologi, ganguan emosional,
penyakit jiwa, gangguan perilaku, penyakit mental, dan ketidakwarasan (gila)
sering dipakai secara bergantian untuk,secara umum-kasar, menunjukkan gejaa
yang sama.
Sehat mental secara umum dapat diartikan sebagai kondisi mental yang
tumbuh dan didasari motivasi yang kuat ingin meraih kualitas diri yang lebih
baik, baik dalam kehidupan keluarga, kehidupan kerja/profesi, maupun sisi
kehidupan lainnya. Orang yang disebut memiliki mental tidak sehat ialah orang
yang meskipun secara potensial memiliki kemampuan, tetapi tidak punya
keinginan dan usaha untuk mengaktualisasikan potensinya itu secara optimal.
Sementara orang yang disebut sakit mental adalah orang yang secara mental
memiliki berbagai macam unsur yang saling bertentangan dan dengan
demikian, sering merusak atau menghambat, sehingga perilakunya tidak
menentu.
Di Indonesia, pemerintah telah berhasil melahirkan klasifikasi gangguan
kejiwaan yang memuat gangguan kejiwaan khas lndonesia, yang disebut
PPDGJ atau Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa, yang saat ini
telah mencapai PPDGJ lll. Yang paling populer di Indonesia, adalah DSM dan
yang secara resmi digunakan adalah PPDGJ. Pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa di Indonesia (PPDGJ) pada awalnya disusun
berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada PPDGJ III disusun
berdasarkan ICD X.

21
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap agar pembaca dapat mengambil
sedikit hikmah dari kandungan yang ada didalamnya. Setiap karya pasti indah
namun setiap keindahan itu belum tentu yang terbaik. Maka penulis mohon maaf
apabila terdapat kekurangan dalam penulisan ataupun kandungan pokok bahasan.
Kritik dan saran akan kami terima, guna karya yang lebih baik kedepannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aprilla, Silvia, Dkk. 2018. Klasifikasi Penyakit Skizofrenia Dan Episode Depresi
Pada Gangguan Kejiwaan Dengan Menggunakan Metode Support
Vector Machine (Svm). 2(11): 5611-5612.
Supratiknya. 2001. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2007. Pengantar Psikologi Klinis (Edisi Revisi).
Bandung: Pt Refika Aditama.
Yuliandari, Elly. 2018. Psikologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
https://www.academia.edu/30471003/Psikologi_Klinis_Normal_dan_Abnormal_d
alam_Psikologi_Fakultas_Program_Studi_Tatap_Muka_Kode_MK_Disu
sun_Oleh

23

Anda mungkin juga menyukai