Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang mana berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul’’7 diagnosa keerawatan jiwa “ ini tepat pada waktunya.
Sekaligus saya menyampaikan rasa terimakasih untuk bapak atau ibu. selaku dosen mata kuliah
pendidikan kewarganegaraan yang telah membimbing untuk menyelesaikan tugas makalah ini
menjadi lebih baik.

Selain itu saya juga menyadari bahwa makalah saya ini masih dapat ditemukan banyak
kekurangan serta jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya mengharapkan kritikan dan saran
untu kemudian dapat saya revisi untuk menyempurnakan tulisan saya kedepannya, sebab saya
menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif.

saya berharap makalah yang sederhana ini dapat dimengerti, dipahami dan dapat diaplikasikan
dalam Asuhan keperawatan di dunia kerja oleh setiap pembaca, semoga isi dari makalah ini
dapat dimanfaatakan sebaik mungkin.

Pekanbaru, 25 JANUARI 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................

BAB 1 ( PENDAHULUAN )..............................................................................................

1.1 latar belakang ...........................................................................................


1.2 rumus masalah ..........................................................................................
1.3 tujuan pembahasaan...................................................................................
BAB II ( PEMBAHASAAN ).............................................................................................

2.1 defenisi (waham, resiko perilaku kekerasan,resiko bunuh diri,isolasi


social,halusinasi,defisit keperawatan diri, dan harga diri rendah),...................

2.2 etiologi........................................................................................................

2.3 fatopisiologi................................................................................................

2.4 tanda dan gejala..........................................................................................

2.5 pemeriksaan fisik........................................................................................

BAB III ( ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI PENYAKIT RADANG PANGGUL ).

BAB IV ( PENUTUP )........................................................................................................

3.1 kesimpulan ................................................................................................


3.2 saran ...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena ketidaknyamanan
atau rasa takut yang disertai suatu respons ( sumber seringkali tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu); suatu perasaan takut akan terjadi sesuatu yang disebabkan oleh
antisipasi bahaya. Ini merupakan sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan tentang
bahaya yang akan datang dan memperkuat individu mengambil tindakan menghadapi
ancaman. Ansietas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.
Keadaan emosi ini tidak dimiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut, yang
merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya.

Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan mempengaruhi


hasil secara bermakna; suatu keadaan di mana individu kurang dapat mengendalikan
kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan (NANDA, 2005)

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain ( Stuart
& Sundeen, 1995 ). Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya citra tubuh.

Citra tubuh adalah sekumpulan sikap yang didasari atau tidak disadari oleh individu
terhadap tubuhnya. Citra tubuh meliputi meliputi persepsi saat ini dan masa lampau. Citra
tubuh juga dapat diartikan sebagai sikap, persepsi, keyakinan, dan pengetahuan individu
secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi,
keterbatasan, makna dan objek yang kontak secara terus menerus (anting, make-up, kontak
lensa, pakaian, kursi roda) baik masa lampau maupun sekarang.
Gangguan Citra Tubuh adalah perubahan persepsi tentang tubuh yang diakibatkan oleh
perubahan ukuran, bentuk, sturktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang sering
kontak dengan tubuh.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah tentang Asuhan Keperawatan Masalah Psikososial :
makalah 7 diagnosa keerawatan jiwa adalah sebagai berikut:
1. Tujuan umum
Tujuan penulisan makalah ini agar mahasiswa mengetahui dan memahami konsep
tentang Asuhan Keperawatan Masalah Psikososial : makalah keperawatan jiwa,
sehingga mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan di dalam kehidupan sehari-
hari sebagai anggota masyarakat atau mahasiswa keperawatan.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1. Mengidentifikasi konsep dasar asuhan keperawatan pasien dengan masalah
psikososial dan gangguan kesehatan jiwa (waham, resiko perilaku
kekerasan,resiko bunuh diri,isolasi,social,halusinasi,deficit keperawatan diri, dan
harga diri rendah, ).
2. Melakukan pengkajian dengan masalah psikososial dan gangguan kesehatan jiwa
(7 diagnosa keperawatan).
3. Membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial dan
gangguan kesehatan jiwa (Kecemasan, Ketidakberdayaan Dan Gangguan Citra
Tubuh).
4. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial dan
gangguan kesehatan jiwa (7 diagnosa keperawatan).
5. Melakukan dokumentasi keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial
dan gangguan kesehatan jiwa (7 diagnosa keperawatan ).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. WAHAM
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan yang tetap
dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan control
Waham merupakan keyakinan seseorang berdasarkan penelitian realistis yang salah,
keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya
(Keliat, BA, 1998). Waham adalah kepercayaan yang salah terhadap objek dan tidak
konsisten dengan latar belakang intelektual dan budaya (Rawlins, 1993)
Waham (dellusi) adalah keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau
dibuktikan dengan realitas. Haber (1982) keyakinan individu tersebut tidak sesuai
dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya. Rawlin (1993) dan tidak
dapat digoyahkan atau diubah dengan alasan yang logis  (Cook and Fontain
1987)serta keyakinan tersebut diucapkan berulang -ulang.
B.     Etiologi
Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan konsep diri
: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga
diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, dan merasa gagal mencapai keinginan.Faktor predisposisi yang
mungkin mengakibatkan timbulnya waham adalah:
 Biologis:
Gangguan perkembangan dan fungsi otak / SSP yang menimbulkan:
a.       Hambatan perkembangan otak khususnya kortek prontal, temporal dan limbik.
b.      Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal, neonatus dan
kanak-kanak.
 PsikososialKeluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon psikologis dari klien. Sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
seperti penolakan dan kekerasan.
 Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham
seperti kemiskinan. Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan,
kerawanan) serta kehidupan yang terisolasi dan stress yang menumpuk.
Faktor prespitasi yang biasanya menimbulkan waham merupakan
karakteristik umum latar belakang termasuk riwayat penganiayaan fisik /
emosional, perlakuan kekerasan dari orang tua, tuntutan pendidikan yang
perfeksionis, tekanan, isolasi, permusuhan, perasaan tidak berguna ataupun
tidak berdaya.
C.      Proses Terjadinya Waham
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1.      Fase of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti denganself ideal sangat tinggi.
2.      Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
3.      Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan keyataan,
tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4.      Fase envinment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5.      Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya
klien sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial)
6.      Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan
dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai
yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain

D.    Jenis-jenis waham
Jenis-jenis waham antara lain,
1.      Waham Kebesaran
Penderita merasa dirinya orang besar, berpangkat tinggi, orang yang pandai sekali,
orang kaya.
2.      Waham Dikejar
Individu merasa dirinya senantiasa di kejar-kejar oleh orang lain atau kelompok orang
yang bermaksud berbuat jahat padanya.
3.      Waham Nihilistik
Keyakinan bahwa dunia ini sudah hancur atau dirinya sendiri sudah meninggal.
 4.      Waham Berdosa
Timbul perasaan bersalah yang luar biasa dan merasakan suatu dosa yang besar.
Penderita percaya sudah selayaknya ia di hukum berat.
5.      Waham Cemburu
Selalu cemburu pada orang lain.
6.      Waham Somatik atau Hipokondria
Keyakinan tentang berbagai penyakit yang berada dalam tubuhnya seperti ususnya
yang membusuk, otak yang mencair.
7.      Waham Pengaruh
Yaitu pikiran, emosi dan perbuatannya diawasi atau dipengaruhi oleh orang lain atau
kekuatan
8.      Waham Curiga
Individu merasa selalu disindir oleh orang-orang sekitarnya. Individu curiga terhadap
sekitarnya. Biasanya individu yang mempunyai waham ini mencari-cari hubungan
antara dirinya dengan orang lain di sekitarnya, yang bermaksud menyindirnya atau
menuduh hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya. Dalam bentuk yang lebih
ringan, kita kenal “Ideas of reference” yaitu ide atau perasaan bahwa peristiwa
tertentu dan perbuatan-perbuatan tertentu dari orang lain (senyuman, gerak-gerik
tangan, nyanyian dan sebagainya) mempunyai hubungan dengan dirinya.
9.       Waham Keagamaan
Waham yang keyakinan dan pembicaraan selalu tentang agama.
E.     Tanda dan gejala waham
1.    Kognitif :
   Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
  Tidak mampu mengambil keputusan
  Individu sangat percaya pada keyakinannya
  Sulit berfikir realita
2.    Afektif
 Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
 Afek tumpul
3.    Prilaku dan Hubungan Sosial
 Mengancam secara verbal
 Hipersensitif
 Curiga
 Depresi
 Ragu-ragu
 Aktifitas tidak tepat
 Streotif
 Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
4.    Fisik
 Muka pucat
 Sering menguap
 Higiene kurang
 BB menurun
F.      Prognosis dan komplikasi
Perjalanan penyakit gangguan waham menetap
1.      Kurang dari 25 % menjadi skizofrenia
2.      Kurang dari 10 % menjadi gangguan efektif
3.      50% sembuh untuk waktu yang lama
4.      20% hanya penurunan gejala
5.      30% tidak mengalami perubahan gejala
 Prognosis ke arah baik :
 Riwayat pekerjaan dan hubungan sosial yang baik
 Kemampuan penyesuaian yang tinggi
 Wanita
 Onset  sebelum 30 tahun
 Onset
 Onset tiba – tiba
 Lamanya
 Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
 Takut, sangat waspada
 Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
B. RESIKO PERILAKU KEKERASAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1998).
Menurut Patricia D. Barry (1998) Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang
merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan (Townsend, 1998).
Resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang melakukan tindakan
yang dapat mencederai orang lain dan lingkungan akibat ketidakmampuan
mengendalikan marah secara konstruktif (CMHN, 2006). Resiko perilaku kekerasan
atau agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol (Yosep, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa perilaku
kekerasan adalah ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan
hilangnya kontrol diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan
suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Sedangkan resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang
melakukan tindakan dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol.
 Rentang Respon Marah
Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif, seperti
rentang respon kemarahan di bawah ini (Yosep, 2007).
1. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan pada individu
dan tidak akan menimbulkan masalah.
2. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena
yang tidak realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam
keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak
mampu mengungkapkan perasaan dan terlihat pasif.
3. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien
tampak pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa
kurang mampu.
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilaku yang
tampak dapat berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai
kekerasan.
5. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.
 Proses Terjadinya Marah
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam, kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3
cara yaitu : 1) Mengungkapkan secara verbal, 2) Menekan, 3) Menantang. Dari
ketiga cara ini, cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain
adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan,
dan bila cara ini dipakai terus – menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan
pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi psikomatik
atau agresi dan ngamuk. 9 Secara skematis perawat penting sekali memahami
proses kemarahan
Kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau
eksternal. Stressor internal seperti penyakit hormonal, dendam, kesal sedangkan
stressor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda
berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan
mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu (Disruption &
Loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana seorang individu memaknai setiap
kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (Personal meaning).
 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi menurut (Stuart & Sundeen, 1995), berbagai pengalaman
yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin
terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami
oleh individu :
1. Psikologi, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat menyebabkan agresif atau amuk, masa kanak – kanak 11 yang
tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanki
penganiayaan dapat menyebabkan gangguan jiwa pada usia dewasa atau
remaja.
2. Biologis, respon biologis timbul karena kegiatan system syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epineprin, sehingga tekanan darah meningkat,
takhikardi, wajah merah, pupil melebar dan frekuensi pengeluaran urine
meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh
kaku dan reflek cepat. Hal ini disebabkan energi yang dikeluarkan saat marah
bertambah.
3. Perilaku, Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
4. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan
seolah – olah perilaku kekerasan diterima (permissive).
5. Aspek spiritual, kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi ungkapan
marah individu. Aspek tersebut mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal ini bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak
berdosa. Individu yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu meminta
kebutuhan dan bimbingan kepadanya.
 Stresor Prespitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal
dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa
terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama – sama
mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal maupun eksternal, contoh :
stessor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap
bermakna, hingga adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stressor
internal : merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai dan
ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut perawat – klien, maka
faktor yang menncetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni :
1) Klien : Kelemahan fisik, keputusan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
2) Lingkungan : Ribut, kehilangan orang/objek yang berharga, konflik interaksi sosial
(Yosep, 2007).
 Etiologi
Penyebab terjadinya marah menurut Stuart & Sundeen (1995) : yaitu harga diri
rendah merupakan keadaan perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan, gangguan ini dapat
situasional maupun kronik. Bila kondisi ini berlangsung terus tanpa kontrol,
maka akan dapat menimbulkan perilaku kekerasan.

C. RESIKO BUNUH DIRI

Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri
sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentukaktivitas bunuh
diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.
(Stuartdan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita, 2009).
Bunuh diri merupakan suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan,
individu secara sadar berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi
isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka, atau
menyakiti diri sendiri. (Clinton, 1995, hal. 262).

Bunuh diri dan percobaan bunuh diri atau membahayakan diri sendiri dengan sengaja (DSH =
deliberate self-harm), istilah yang terakhir ini, menjadi topik besar dalam psikiatri. Di dunia,
lebih dari 1000 bunuh diri terjadi tiap hari. Percobaan bunuh diri 10 kali lebih sering, sekarang
peracunan diri sendiri bertanggung jawab bagi 15% dari pasien medis yang masuk rumah sakit
dan pada pasien dibawah 40 tahun menjadi penyebab terbanyak.Bunuh diri cenderung terjadi
pada usia diatas 45 tahun, pria, tidak pandang kelas sosial disertai depresi besar dan telah
direncanakan. Percobaan bunuh diri cenderung dilakukan olehwanita muda dari kelas sosial
bawah, jarang disertai dengan depresi besar dan bersifat impulsive.

 Etiologi

Faktor PredisposisiLima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku


destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :

 Diagnosis PsikiatrikLebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya


dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah
gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
 Sifat KepribadianTiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
 Lingkungan PsikososialFaktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri,
diantaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan perceraian.
Kekuatan dukungan social sangat penting dalam menciptakan intervensi yang
terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab masalah, respons
seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
 Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting yang
dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

Faktor BiokimiaData menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepetiserotinin, adrenalin, dan dopamine.
Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui ekaman gelombang otakElectro Encephalo
Graph(EEG).

 Faktor Presipitasi

Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan olehstress berlebihan yang dialami oleh individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi
pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh
diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.

Perilaku KopingKlien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk melakukan
tindakan bunuh diri.

Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun budaya.
Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong klien
melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri.

D. ISOLASI SOCIAL
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang
lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Twondsend, 1998 dikutip Farida
Kusumawati dan Yudi Hartono, 2012).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin, 1993 dikutip Farida Kusumawati
dan Yudi Hartono, 2012).
Perilaku isolasi sosial menarik diri merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI,
2000).
 Penyebab
Menurut Budi Anna Keliat (2009), salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga
diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri
dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi diantaranya perkembangan
dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak percaya pada diri,
tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap orang lain,
tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai
berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan (Farida
Kusumawati dan Yudi Hartono, 2012).
 Rentang Respon Emosi.
Manusia adalah mahluk Sosial untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan mereka harus
membina hubungan interpersonal yang positif. Hubungan interpersonal yang sehat terjadi
jika individu yang terlibat saling merasakan kedekatan sementara identitas pribadi masih
tetap dipertahankan. Juga perlu untuk membina perasaan saling ketergantungan dan
kemandirian dalam suatu hubungan. Perilaku yang teramati pada respon Sosial
maladaptive mewakili supaya individu untuk mengatasi ansietas yang betrhubungan
dengan kesepian, rasa takut , kemarahan, malu, bersalah dan merasa tidak aman.
Seringkali respon yang terjadi meliputi manipulasi, narkisme dan impulsive.
a. Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat
diterima oleh norma-norma sosial budaya yang umum berlaku atau individu tersebut
masih dalam batas normal dalam menyelesaikan masalahnya. Respon ini meliputi:
1. Menyendiri (solitude)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah-langkah selanjutnya.
2. Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, dan
perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan
Merupakan suatu kondisi dalam hubungan interpersonal di mana individu mampu untuk
saling memberi dan menerima.
4. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.

b. Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang


menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya lingkungan. Respon maladaptif yang
paling sering ditemukan adalah:
1. Menarik diri
Merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan seseorang.

2.  Tergantung (dependent)
Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya
untuk berfungsi secara sukses.
3. Manipulatif
Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap
orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak bisa membina hubungan sosial secara
mendalam.
4. Impulsif
Individu impulsive tidak mampu membicarakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan.
5.  Narcisisme
Pada individu narcisisme terdapat harga diri yang rapuh secara terus-menerus, berusaha
mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosentris, pencemburu, marah jika orang
lain tidak mendukung.

Respon adaptif Respon maladaftif

• Menyendiri
• Otonomi
• Kerjasama
• Saling tergantung
• Merasa sendiri
• Menarik diri
• Tergantung
• Manipulatif
• Impulsif
 Manifestasi Perilaku.
Menurut Budi Anna Kelia (2009), tanda dan gejala ditemui seperti:
• Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
• Menghindar dari orang lain (menyendiri).
• Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien
lain/perawat.
• Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
• Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.
• Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap.
• Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
• Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit
(rambut botak karena terapi).
• Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri).
• Gangguan hubungan sosial (menarik diri).
• Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
• Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
E. DEFISIT KEPERAWATAN DIRI
Pewatan diri adalah salah satu kemampuan manusia dalam memenuhi
kebutuhannya sehari-hari guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien bisa dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri sendiri (Depkes, 2000
dalam Direja, 2011).
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Poter. Perry, 2005 dalam Direja, 2011).
Tarwoto dan Wartonah (2000, dalam Direja, 2011) menjelaskan kurang perawatan diri
adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk
dirinya. Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan, 2013)
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan seseorang untuk melakukan
aktifitas perawatan diri seperti mandi, berhias/berdandan, makan dan toileting. Defisit
perwatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan dalam kemampuan
untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri.
Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor,
bau badan, bau napas dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien
dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, 2015).
1. Rentang Respon
Menurut Dermawan (2013), adapun rentang respon defisit perawatan diri sebagai
berikut : Adaptif dan Maladaptif:
a. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk
berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor kadang –
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
c. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stressor.
 Proses Terjadinya Masalah Defisit Perawatan Diri Menurut Depkes (2000, dalam
Dermawan, 2013), penyebab defisit perawatan diri adalah :
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
4) Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013), faktor-faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah:
1) Body image Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun,
pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4) Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien menderita diabetes
melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu
dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7) Kondisi fisik atau psikis Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat
diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
 Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan (2013)
Jenis-jenis defisit perawatan diri terdiri dari: Harga Diri Rendah Faktor Presipitasi -
Kurang penurunan motivasi - Kerusakan kognisi atau perceptual
- Lelah/lemah yang dialami individu Kemampuan melakukan aktivitas menurun
Faktor Predisposisi - Perkembangan : keluarga terlalu memanjakan klien - Biologis :
penyakit kronis - Kemampuan realitas menurun : ketidakpedulian dirinya - Sosial :
kurang dukungan dan latihan Data Subyektif - Pasien mersa lemah - Malas untuk
beraktivitas
- Merasa tidak berdaya Data Obyektif - Rambut kotor, acak-acakan
- Badan dan pakaian kotor dan bau - Mulut dan gigi bau - Kulit kusam dan kotor
- Kuku panjang dan tidak terawat Defisit Perawatan Diri Koping individu tidak
efektif Menarik diri, merasa tidak berguna, rasa bersalah Ketidakpedulian merawat
diri Menghindari interaksi stress dengan orang lain kesepian Koping individu tidak
efektif Isolasi sosial
a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan Kurang perawatan diri (mandi) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi / kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias Kurang perawatan diri
(mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas
berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : makan Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan
kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.

 Tanda dan Gejala Defisit Perawatan Diri


Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013) tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri adalah :
a. Fisik 1) Badan bau, pakaian kotor.
2) Rambut dan kulit kotor.
3) Kuku panjang dan kotor.
4) Gigi kotor disertai mulut bau.
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif.
2) Menarik diri, isolasi diri.
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang.
2) Kegiataan kurang.
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
4) Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu mandiri. Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri
adalah : a. Data subyektif
1) Pasien merasa lemah.
2) Malas untuk beraktivitas.
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak-acakan.
2) Bdan dan pakaian kotor dan bau.
3) Mulut dan gigi bau. 4) Kulit kusam dan kotor.
5) Kuku panjang dan tidak terawat.
d. Kurang perawatan diri : toileting Kurang perawatan diri (toileting) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan.

 Dampak Defisit Perawatan Diri


Menurut Dermawan (2013) dampak yang sering timbul pada masalah personal
hygiene ialah :
a. Dampak fisik Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi
adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada
mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene
adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman , kebutuhan dicintai dan mencinti,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

F. HALUSINASI
Perubahan sensori halusinasi adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
perubahan terhadap stimulus yang datang yang menimbulkan kesan menurunkan,
melebih-lebihkan bahkan mengartikan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan realitas
keadaan yang sebenarnya. Halusinasi yaitu pengalaman panca indra tanpa ada
rangsangan atau stimulus (Hawari, 2006). Halusinasi merupakan hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar).
Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal
tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak
terjadi dalam realitas.Halusinasi dapat melibatkan pancaindra dan sensasi
tubuh.Halusinasi dapat mengancam dan menakutkan bagi klien walaupun klien lebih
jarang melaporkan halusinasi sebagai pengalaman yang menyenangkan (Videbeck,
2008).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan
sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan atau penghiduan,.Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damaiyanti & Iskandar, 2012). Dari beberapa pengertian halusinasi diatas dapat
disimpulkan bahwa halusinasi adalah suatu persepsi klien terhadap stimulus dari luar
tanpa adanya obyek yang nyata.
Halusinasi dapat berupa penglihatan yaitu melihat seseorang ataupun sesuatu serta
sebuah kejadian yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, halusinasi juga dapat berupa 7
pendengaran berupa suara dari orang yang mungkin dikenal atau tidak dikenal yang
meminta klien melakukan sesuatu baik secara sadar ataupun tidak.
 Rentang respon neurobiologik
Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon yang berhubungan
dengan fungsi neurobiologik. Perilaku yang dapat diamati dan mungkin menunjukkan
adanya halusinasi, respon yang terjadi dapat berada dalam rentang adaptif sampai
maladaptive
a. Respon adaptif
1) Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat diterima akal.
2) Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa secara cermat
dan tepat sesuai perhitungan.
3) Emosi konsisten berupa kemantapan perasaan jiwa sesuai dengan peristiwa yang pernah
dialami.
4) Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu
tersebut diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan dengan
moral.
5) Hubungan sosial dapat diketahui melalui hubungan seseorang dengan orang lain dalam
pergaulan ditengah-tengah masyarakat (Stuart, 2007).
b. Respon transisi
1) Distorsi pikiran berupa kegagalan dalam mengabstrakan dan mengambil kesimpulan.
2) Ilusi merupakan persepsi atau respon yang salah terhadap stimulus sensori.
3) Menarik diriyaitu perilaku menghindar dari orang lain baik dalam berkomunikasi
ataupun berhubungan sosial dengan orang-orang disekitarnya.
4) Reaksi Emosi berupa emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.
5) Perilaku tidak biasa berupa perilaku aneh yang tidak enak dipandang, membingungkan,
kesukaran mengolah dan tidak kenal orang lain. (Stuart, 2007).
c. Respon maladaptif
1) Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang salah yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita
sosial.
2) Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah terhadap
rangsangan.
3) Sulit berespon berupa ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk mengalami
kesenangan, kebahagiaan, keakraban dan kedekatan.
4) Perilaku disorganisasi berupa ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang
ditimbulkan.
5) Isolasi sosial merupakan suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang
lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam. (Stuart, 2007).
 Jenis – jenis halusinasi
Jenis – jenis halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Halusinasi pendengaran Yaitu mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas
ataupun yang jelas, dimana terkadang suara – suara tersebut seperti mengajak berbicara
klien dan kadang memerintahkan klien untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan Stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambar atau
bayangan yang rumit dan kompleks.Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidung Membau – bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses,
parfum, atau bau yang lainnya.Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke,
kejang, atau demensia.
d. Halusinasi pengecapan Merasa mengecap seperti darah, urine, feses, atau yang lainnya.
e. Halusinasi perabaan Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan
tanpa stimulus yang jelas.
f. Halusinansi cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernaan makanan atau pembentukan urine.
g. Halusinasi kinestetika Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
(Kusumawati & Hartono, 2010).
 Fase – fase terjadinya halusinasi
Terjadinya Halusinasi dimulai dari beberapa fase.Hal ini dipengaruhi oleh intensitas
keparahan dan respon individu dalam menanggapi adanya rangsangan dari luar.Menurut
(Stuart, 2007) tahapan halusinasi ada empat tahap. Semakin berat tahap yang diderita klien,
maka akan semakin berat klien mengalami ansietas. Berikut ini merupakan tingkat
intensitas halusinasi yang dibagi dalam empat fase.
a. Fase I : Comforting : Ansietas tingkat sedang, secara umum halusinasi bersifat
menyenangkan. 1) Karakteristik: Orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi
seperti ansietas, kesepian, merasa bersalah, dan takut serta mencoba untuk memusatkan
pada penenangan pikiran untuk mengurani ansietas, individu mengetahui bahwa pikiran
dan sensori yang dialaminya tersebut dapat dikendalikan jika ansietasnya bisa diatasi
(Nonpsikotik).
2) Perilaku klien: a) Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
b) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
c) Gerakan mata yang cepat.
d) Respons verbal yang lamban.
e) Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
b. Fase II : Complementing : Ansietas tingkat berat, Secara umum halusinasi bersifat
menjijikan.
1) Karakteristik : Pengalaman sensori yang bersifat menjijikan dan menakutkan. Orang
yang berhalusinasi mulai merasa kehilangan kendali dan mungkin berusaha untuk
menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, individu mungkin merasa malu
karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain (Nonpsikotik).
2) Perilaku klien
a) Peningkatan syaraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya, peningkatan nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
b) Penyempitan kemampuan konsentrasi.
c) Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara halusinasi dengan realitas.
c. Fase III : Controling : Ansietas tingkat berat, pengalaman sensori menjadi penguasa.
1) Karakteristik : Orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman
halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya.Isi halusinasi dapat berupa
permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut
berakhir (Psikotik).
2) Perilaku klien
a) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada
menolaknya. b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
c) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
d) Gejala fisik dari ansietas berat, seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan untuk
mengikuti petunjuk.
d. Fase IV : Conquering panic : Ansietas tingkat panic, Secara umum halusinasi menjadi
lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.
1) Karakteristik: Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti
perintah. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada
intervensi terapeutik (Psikotik).
2) Perilaku klien
a) Perilaku menyerang seperti panik.
b) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
c) Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri, atau
katatonik.
d) Tidak mampu berespons terhadap petunjuk yang kompleks.
 Etiologi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut :
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam
perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan
dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien.Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup
klien.
3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.
 Faktor Prespitasi Secara umum
klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang
bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.Penilaian
individu terhadap stresor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006).Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah:
1) Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima
oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology termasuk :
a) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengurangi
ansietas, hanya mempunyai sedikit energy untuk aktivitas hidup sehari-hari.
b) Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi.
c) Menarik diri.
G. HARGA DIRI RENDAH
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berharga, tidak berarti,
rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri
(Keliat, 2011).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal dalam mencapai keinginan (Direja, 2011) Harga diri rendah merupakan keadaan
dimana individu mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan dirinya (Fitria,
2012).
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana individu
mengalami gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan kemampuan yang
dimiliki, yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri akibat evaluasi negatif yang
berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa gagal dalam mencapai keinginan.
- Respon adaptif terhadap konsep diri meliputi:
a. Aktualisasi diri Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima individu dapat
mengapresiasikan kemampuan yang dimilikinya
b. Konsep diri positif Apabila individu mempunyai pengalaman positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dari dirinya.
- Individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahannya secara jujur dalam
menilai suatu masalah individu berfikir secara positif dan realistis. Sedangkan respon
maladaptif dari konsep diri meliputi:
a. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negatif dan
merasa lebih rendah dari orang lain.
b. Kekacauan identitas Suatu kegagalan individu mengintegrasikan berbagai
identifikasi masa kanak-kanak kendala kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.
c. Depersonalisasi Perasaan yang tidak realitas dan asing terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan sdirinya
dengan orang lain.
- Faktor Predisposisi Harga Diri Rendah
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang.
Menurut Kemenkes RI (2012) faktor predisposisi ini dapat dibagi sebagai berikut:
a. Faktor Biologis Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma kepala.
Poltekkes Kemenkes Padang
b. Faktor psikologis Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan
adanya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan
harapan orang tua yang tidak realisitis, kegagalan berulang, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, penilaian negatif pasien
terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang tidak
realisitis, dan pengaruh penilaian internal individu.
c. Faktor sosial budaya Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari
lingkungan terhadap pasien yang mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi
rendah, riwayat penolakan lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak, dan tingkat
pendidikan rendah.
- Faktor Presipitasi Harga Diri Rendah
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian
tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang
menurun. Secara umum gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara
situasional atau kronik. Secara situsional misalnya karena trauma yang muncul tiba-
tiba, sedangkan yang kronik biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum
dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan memingkat saat dirawat (yosep,
2009) Menurut Kemenkes RI (2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:
1) Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa yang
mengancam kehidupan
2) Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi
a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian Poltekkes Kemenkes Padang
c) Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat dan
keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh; perubahan
ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang berhubungan
dengan tumbuh kembang normal; prosedur medis dan keperawatan.
- Proses Terjadinya Harga Diri Rendah
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak terselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu
tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang prilaku klien sebelumnya
bahkan kecendrungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong
individu menjadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan
peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan
fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak
memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus
menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis.
- Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah
Tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai dari ungkapan pasien yang
menunjukkan penilaian tentang dirinya dan didukung dengan data hasil wawancara
dan observasi (Kemenkes, RI)
a. Data subjektif Pasien mengungkapkan tentang:
1) Hal negatif diri sendiri atau orang lain
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimis
4) Penolakan terhadap kemampuan diri
b. Data objektif
1) Penurunan produktifitas
2) Tidak berani menatap lawan bicara
3) Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4) Bicara lambat dengan nada suara rendah Manifestasi yang bisa muncul pada klien
gangguan jiwa dengan harga diri rendah menurut Fitria (2009) adalah:
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) selera makan kurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah Poltekkes Kemenkes Padang
- Mekanisme Koping Harga Diri Rendah
Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015)
adalah:
a. Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-
obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman,
politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes
popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan obat).
b. Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
- Penatalaksanaan Keperawatan Harga Diri Rendah
Strategi pelaksanaan tindakan dan komunikasi (SP/SK) merupakan suatu metoda
bimbingan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yang berdasarkan kebutuhan
pasien dan mengacu pada standar dengan mengimplementasikan komunikasi yang
efektif. Penatalaksanaan harga diri rendah tindakan keperawatan pada pasien
menurut Suhron (2017) diantaranya:
1. Tujuan keperawatan: pasien mampu:
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
d. Menetapkan atau memilih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
e. Merencanakan kegiatan yang telah dilatih Poltekkes Kemenkes Padang
2. Tindakan keperawatan a. Membina hubungan saling percaya dengan cara:
1) Ucapkan setiap kali berinteraksi dengan pasien
2) Perkenalkan diri dengan pasien
3) Tanyakan perasaan dan keluhan saat ini
4) Buat kontrak asuhan
5) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi
6) Tunjukkan sikap empati terhadap klien
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan b. Mengidentifikasi
kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien:
1) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien (buat
daftar kegiatan)
2) Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian yang negatif
setiap kali bertemu dengan pasien
c. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
1) Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih dari daftar
kegiatan) : buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
2) Bantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap kemampuan diri
yang diungkapkan pasien
d. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan kegiatan yang
dilakukan
1) Diskusikan kegiatan yang dipilih untuk dilatih saat pertemuan.
2) Bantu pasien memberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan.
e. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
1) Latih kegiatan yang dipilih (alat atau cara melakukannnya).
2) Bantu pasien memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kali perhari.
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang diperlihatkan pasien.
4) Bantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya menyusun rencana
kegiatan.
5) Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah dilatihkan. 6) Beri pujian
atas kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari
7) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan setiap aktivitas.
8) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan keluarga.
9) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah pelaksanaan
kegiatan.
BAB III

SIMPULAN

Penelitian ini mengunakan CBT sederhana dan singkat tergambar pada 2 responden (33%)
penelitian ini dapat melalui teknik restrukturisasi sampai teknik modeling, selain itu mereka
juga menunjukan kemajuan dalam melakukan tindakan menyela halusinasi yang
dicontohkan peneliti dan dilakukan secara mandiri oleh responden. Empat responden (67%)
tidak dapat diajak melakukan intervensi CBT dikarenakan setiap responden sudah merasa
nyaman dengan halusinasinya, merasa halusinasinya sebagai ancaman buat dirinya maupun
orang lain, kesulitan dalam mengubah perilaku, dan kesulitan emosional dari masing-masing
responden.
SARAN
BAGI PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA
Perlu dilakukan promosi kesehatan untuk keluarga berupa cara mengontrol
halusinasi,isolasi social,harga diri rendah ,resiko kekerasan,resiko bunuh diri,waham,deficit
perawatan diri.
agar keluarga dapat membantu dalam proses mengurangi halusinasi yang didengar oleh
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Akema, B, K. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta: EGC.
Azizah, M, L. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyen Publishing Badan PPSDM.2012.
Modul pelatihan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia Dermawan,

2013. Keperawatan Jiwa, Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Pustaka Biru Direja, Ade Herman Surya. 2011.

Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika

Carman, Linda Copel. 2007, Kesehatan Jiwa & Psikiatri : Pedoman Klinis Perawat, Jakarta :
EGC

Gail W, Stuart. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC.

Mustofa, Ali. 2010. Asuhan Keperawatan Psikiatri Berbasis Klinik. Mataram

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. cetakan kedua (edisi revisi). Bandung: PT Refrika
Aditama

http://nersnova.blogspot.com/2012/02/asuhan-keperawatan-jiwa-dengan-resiko.html diunduh
pada tanggal 09 November 2012 pukul 14.50 WIB

Anda mungkin juga menyukai