Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENGANTAR KEARAH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Islam

Dosen Pengampu: Dr. Aliyandi A. Lumbu, M.Kom.I.

Disusun Oleh
Kelompok 1:

1. Anisa Zulfa Wulandari 1904032006


2. Ummi Rojatul Jannah 1904031014

BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO LAMPUNG
T.A. 1443/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tanpa ridha dan petunjuk dari-Nya
mustahil makalah ini dapat diselesaikan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Politik Islam sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul ”Pengantar Kearah Pemikiran Politik Islam”.
Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat dan dapat di
jadikan sebagai pegangan dalam mempelajari materi tentang Pengantar Kearah
Pemikiran Politik Islam Juga merupakan harapan kami dengan hadirnya makalah
ini, akan mempermudah semua pihak dalam proses perkuliahan pada mata kuliah
Politik Islam.

Metro, 08 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Politik Islam................................................................ 2
B. Tipologi Pemikiran Politik Islam.............................................. 3
C. Beberapa Konsep dalam Pemikiran Politik Islam..................... 6
D. Hubungan Agama dan Negara.................................................. 8
E. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam........................................... 10
F. Partai Politik Islam di Indonesia............................................... 15
G. Oranisasi Masyarakat Islam Di Indonesia................................. 17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................... 20
B. Saran.......................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran politik tentang hubungan agama dan negara telah menjadi
persoalan yang paling banyak diminati oleh masyarakat muslim. Wacana
hubungan agama dan negara selalu menjadi hal yang menarik bagi para
pemikir politik Islam.
Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya beragama
Islam, keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial
semakin jelas dan signifikan, termasuk dalam menempatkan hubungan yang
memungkinkan antara Islam dan negara. Karena masalah ini seringkali menjadi
problem yang bersifat mendasar. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau
pemikiran tentang Islam dan negara ini sudah menjadi diskusi dan perdebatan
khusnya tentang pemikiran politik Islam.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas lebih detail mengenai
pengantar kearah pemikiran politik Islam. Makalah ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dan juga bisa dijadikan bahan acuan serta
pembelajaran bagi pembaca.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari politik Islam?
2. Apakah saja tipologi pemikiran politik Islam?
3. Bagaimana konsep dalam pemikiran politik Islam?
4. Bagaimana hubungan Agama dan Negara?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang definisi dari politik Islam.
2. Untuk mengetahui tentang tipologi pemikiran politik Islam.
3. Untuk mengetahui tentang konsep dalam pemikiran politik Islam.
4. Untuk mengetahui tentang hubungan Agama dan Negara.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Politik Islam


Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa politik Islam adalah
upaya untuk menjadikan “prinsip-prinsip dasar” (doktrin) Islam sebagai acuan
dalam membuat kebijakan politik, yaitu untuk kepentingan seluruh bangsa
tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan hidup.1
Politik Islam berkaitan dengan sebuah rangkaian doktrin Islam yang
bersifat universal dan Islam politik yang lebih bersifat profan karena dapat
berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Dalam kasus Indonesia
sebagaimana upaya mempertemukan antara keislaman dan keindonesiaan,
yaitu keislaman yang bersifat universal dan keindonesiaan yang bersifat lokal,
sintesa di antara keduanya kemudian menghasilkan format Islam yang khas
Indonesia tanpa kemudian menghilangkan ciri keuniversalitasan Islam.
Istilah politik Islam berarti siyasah shar’iyyah yang diartikan sebagai
ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan
syariat Islam. siyasah shar’iyyah diartikan sebagai pengelolaan masalah-
masalah umum bagi pemerintah Islam yang menjamin terciptanya
kemaslahatan dan terhindarnya kemudaratan dari masyarakat Islam, dan tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat Islam dan prinsip-prinsip umumnya,
meskipun tidak sejalan dengan pendapat para ulama mujtahid. 2 Definisi ini
dipertegas lagi oleh Abdurrahman Taj yang merumuskan siyasah shar’iyyah
sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi
permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya
yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun
pengaturan tersebut tidak ditegaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.

1
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam& Politik: Upaya Membingkai Peradaban, (Cirebon:
Pustaka Dinamika, 2018), Hal. 70.
2
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), Hal. 5.

2
Menurut Munawir Sjadzali definisi politik Islam yang dikemukakan oleh
para tokoh Islam terbagi menjadi beberapa bagian yaitu Islam substantif dan
Islam fundamental. Di mana aliran substantif mendefinisikan bahwa perlunya
nilai-nilai politik Islam diterapkan dalam sebuah negara, meskipun negara itu
berasaskan selain Islam. Sedangkan, aliran fundamental mendefinisikan politik
Islam dalam arti penerapan asas dan nilai-nilai Islam secara keseluruhan dalam
sebuah negara.3
Jadi kesimpulannya politik Islam adalah upaya untuk menjadikan
ketentuan kebijakan kenegaraan atau politik untuk kepentingan seluruh bangsa
berdasarkan syari’at Islam tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan
hidup.

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam


Banyak konstruk pemikiran yang melahirkan berbagai pandangan tentang
bagaimana kita, sebagai kaum muslimin menyikapi politik. Tentang bentuk
kenegaraan yang seperti apa yang harus dipakai oleh suatu negara. Dari
beberapa pemikiran para tokoh itu semua yang akhirnya mengarah pada
karakter dan tipologi politik Islam itu sendiri. Namun secara umum para
pemikir membaginya dalam tripologi. Dalam pandangan A. Djazuli, membagi
kerangka berpikir dunia Islam menjadi tiga tipe pertama, liberal (sekuler) yaitu
negara menolak hukum Islam secara penuh, kedua, fundamental (integralistik)
yaitu negara melaksanakan hukum Islam secara penuh, ketiga, moderat
(simbiotik) yaitu negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan
struktural (dalam sektor politik), tetapi menempatkannya sebagai kekuatan
kultural, atau mencari kompromi.4 Sedangkan menurut Din. Syamsuddin,
paradigma pemikiran politik Islam modern dibagi atas tradisionalis, modernis,
fundamentalis.5

3
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, (Jakarta:
UI-Press, 1993), hal. 1-2.
4
A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syari’ah, (Bogor: Prenada Media, 2003), hal. 39.
5
M. Din Syamsuddin, Islam Dan Politik: Era Orde Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 2001), hal. 116.

3
1. Tipologi Liberal
Secara harfiah istilah liberal berarti bebas, yang menghendaki adanya
kebebasan individu. Masyarakat liberal adalah representasi (perwakilan)
dari sebuah komunitas yang didalamnya setiap individu mempunyai
kebebasan untuk bertindak, dalam kebebasan untuk berbeda pendapat,
kebebasan untuk memeluk agama, dan berbagai bentuk kebebasan yang
berkaitan dengan terpenuhinya tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) dan
demokratisasi.
Paradigma liberal, sesuai dengan maknanya yang sederhana, adalah
bebas, merdeka dan tidak terikat. Apabila diletakkan dalam konteks
pemikiran, maka seorang yang memiliki tipikal berfikir liberal adalah
mereka yang bebas untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat serta
merdeka tanpa harus terikat pada segala bentuk pengetahuan dan otoritas
manapun. Model demikian biasanya menjunjung tinggi martabat pribadi
manusia dan kemerdekaannya. Manusia sebagaimana yang pernah menjadi
diktum (keputusan) awal renaissance (lahir kembali) adalah subyek otonom.
Subyek yang memiliki kesadaran berfikir, berbuat dan bertindak.6
Pola liberal ini menekankan pemisahan antara agama dan negara, yang
menyatakan bahwa Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan
dengan masalah politik atau kenegaraan. Islam hanyalah mengatur
hubungan antara manusia dan Tuhan. Para penganut tokoh ini beranggapan
bahwa agama itu bersifat universal sedangkan politik itu portikular
(individu), maka dari itu antara agama dan politik tidak bisa bersatu.
Kelompok yang memisahkan agama dan negara ini menekankan
agrumentasi bahwa tidak ada ayat yang secara tegas mewajibkan
pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan bahwa
pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang di wahyukan
Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau hanya rasul yang membawa
risalah agama saja, tidak termasuk printah membentuk negara.

6
Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta, 2004), hal.
89.

4
Tipologi seperti ini, tidak sejalan dengan Islam di Indonesia lebih baik
sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bahwa pancasila sebagai asas negara
bisa mengkordinir masyarakat Indonesia yang bersifat plural yang memiliki
kepercayaan terhadap agamanya masing-masing, di mana paham liberal
yang diajarkan oleh orang-orang barat tidak sesuai dengan agama-agama
atau kepercayaan masyarakat Indonesia. Dia memiliki asumsi bahwa
kehadiran agama di Indonesia dengan masyarakat yang majemuk tidak bisa
dielakkan dan tidak bisa lepas dari kepercayaan masyarakat yang
menimbulkan fanatisme bagi pengikutnya. Dan inilah yang memperjelas
bahwa tipologi liberal tidak sesuai dengan keyakinan serta asas pancasila.
2. Tipologi Fundamental
Secara harfiah istilah fundamental berarti mendasar, yang digunakan
untuk menunjuk sikap politik suatu kelompok yang ekstrim, fanatik dan
keras kepala. Golongan mengungkapkan bahwa Islam mencakup semua
aturan kehidupan, termasuk urusan politik atau kenegaraan. Argumen yang
diberikan oleh kelompok ini, bahwa nabi telah selesai dan telah memberikan
garis panduan yang jelas seperti ketika nabi berada di Madinah.
Tipologi fundamental yang memiliki akar sejarah bahwa dalam
sebuah negara itu harus sesuai dengan syariat Islam baik dalam segi politik,
ekonomi, hukum, kultur, hubungan sosial, dan sampai kepada ranah
birokrasi kenegaraan pun harus sesuai dengan nash (ayat) yang dituliskan
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini senada dengan pemahaman para
cendikiawan muslim Indonesia bahwa Islam fundamental ini bersifat
tekstual sehingga dalam mempraktekan Islam yang sesuai dengan kitab
sucinya tidak dipahami secara kontekstual atau diselaraskan dengan kondisi
politik saat ini yang sudah berkembang pesat.
3. Tipologi Moderat (Reformis dan Sintesis)
Pemikiran ini mengutarakan bahwa dalam Islam tidak ada aturan yang pasti
tentang masalah politik atau tata negara, namun ada prinsip atau asas yang
harus ditegakkan. Memang Rasulullah SAW bukan diutus sebagai
pemimpin politik, tetapi sebagai rasul. Perlu diketahui, konsep kerasulan

5
beliau tidak sebatas menyampaikan pesan Allah (dakwah). Yang paling
berat adalah menjadi contoh dari suri-tauladan dalam melaksanakan Islam
sebagai cara hidup (way of life). Dalam masa yang singkat, beliau telah
berhasil membuat perubahan dan reformasi kesesuaian dimana budaya,
pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan gemilang. Semua
perubahan ini berlaku karena beliau telah membuat perancangan dan
program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau
berhijrah, membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial, membangun
ekonomi, politik, dan sosial umat Islam Madinah. Pengkaji-pengkaji politik
Islam setuju dengan pendapat Muhammad Hamidullah yang mengatakan
piagam Madinah yang dirumuskan oleh Rasulullah adalah satu
perlembagaan pertama di dunia karena dicipta di masa dunia diperintah
dengan sistem monarki tidak berperlembagaan dan tidak mengenal
kedaulatan undang-undang (supremacy of law).7

C. Beberapa Konsep dalam Pemikiran Politik Islam


Dalam perkembangan politik Islam, banyak pemikir Islam, yang
membahas tentang relevansi antara Islam dan politik, Islam dan demokrasi.
Fachry Ali memetakan antara kaitan Islam dengan demokrasi, dan Islam
dengan politik.
1. Islam dan Demokrasi
Hubungan islam dengan demokrasi yang menjadi tema kajian
cendikiawan muslim, dibahas dalam dua pendekatan: normatif dan empiris.
Pada dataran normatif mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari
sudut pandangan islam. Sementara dari dataran empiris, mereka
menganalisis implementasi demokrasi dalam praktek poliltik dan
ketatanegaraan.
Memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya
sangat aksiomatis (yang sudah jelas kebenarannya). Karena Islam

7
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003), hal. 257.

6
merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur
ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah
sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta
simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.
2. Islam dan Politik
Dalam kondisi kultur umat Islam sangatlah mempengaruhi kekuatan
politik. Di mana antara Islam dan politik sulit untuk dipisahkan kalaupun
dipisahkan, justru hal ini akan mematikan kedua variabel itu, meskipun
anggapan ini hanya terbatas pada negara-negara berkembang saja, namun
kenyataannya adalah negara-negara berkembang itu selalu mengaitkan
antara variabel agama dan politik. Sehingga pantas bila perkembangan
politik di Indonesia selalu dikaitkan dengan Islam. Hal ini, dikarenakan
negara-negara berkembang sulit untuk menerima suatu tatanan politik
dengan pendekatan rasional. Relevansi antara Islam dan politik ini, tidak
hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga negara-negara lain.
Mempersoalkan Islam dan politik tidak lepas dari wacana pemikiran
tentang hubungan agama dan negara. Dalam Islam sudah ada kesepakatan
bahwa sumber ajarannya adalah al-Qur’an, yang intinya memuat dua intisari
ajaran yaitu aqidah dan syariah. Keduanya mempunyai hubungan yang erat.
Tidak ada aqidah tanpa syariah, begitu juga sebaliknya. Aqidah yang
menghubungkan manusia dengan Allah, yang disebut ibadah. Sedangkan
syariah juga menghubungkan manusia dengan manusia, yang disebut
muamalah. Sedangkan hubungan antara yang memerintah dengan yang
diperintah disebut siyasah. Disinilah Islam dan politik berada.
Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam
tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya
al-Ghazali yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan
agama. Karena pegangan dari Nabi dan ucapan-ucapan yang ditingalkan
oleh orang-orang yang suci.8

8
Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al-Ghazali, ( Jakarta:
Bulan-Bintang, 1975 ), Hal. 120.

7
Nabi Muhammad sendiri ialah seorang politikus handal yang bisa
menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Bahkan di zaman Islam pertama dahulu,
masjid itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, tapi juga
mempunyai fungsi politik yang sangat penting. Bukan saja tempat praktik
politik seperti tempat musyawarah, ataupun tempat pembaiatan
pemimpin/kepala Negara, dan lainnya lagi, tetapi masjid juga dijadikan
tempat mempelajari teori-teori politik disamping ilmu agama dan lainnya.

D. Hubungan Agama dan Negara


Persoalan hubungan agama dan negara di masa modern merupakan salah
satu subjek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak
hampir seabad lalu hingga sekarang ini tetap belum terpecahkan secara tuntas.
Hal ini dapat dilihat perdebatan yang terus berkembang. Fenomena yang
mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara
dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu negara
diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersamasama dan untuk
mencapai cita-cita suatu masyarakat. Di sini otoritas politik memiliki
urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk institusi yang disebut
negara. Berdasarkan realitas tersebut, di antara kaum muslimin merasa perlu
untuk merumuskan konsep negara.
Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang
hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan
menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik, paradigma
simbiotik, dan paradigma sekularistik.
Paradigma pertama menyatakan bahwa hubungan antara agama dan
negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Asumsinya ditegakkan di atas
pemahaman bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang mempunyai
kelengkapan ajaran di semua segmen kehidupan manusia, termasuk di bidang
praktik kenegaraan. Karenanya, umat Islam berkewajiban untuk melaksanakan
sistem politik Islami sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
dan empat al-Khulafa' al-Rasyidin. Pandangan ini menghendaki agar negara

8
menjalankan dwifungsi secara bersamaan, yaitu fungsi lembaga politik dan
keagamaan. Menurut paradigma ini, penyelenggaraan suatu pemerintahan tidak
berdasarkan kedaulatan rakyat melainkan merujuk kepada kedaulatan ilahi,
sebab penyandang kedaulatan paling hakiki adalah Tuhan. Pandangan ini
mengilhami gerakan fundamentalisme.
Paradigma kedua berpendirian bahwa agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, antara keduanya terjalin hubungan timbal-balik atau saling
memerlukan. Dalam kerangka ini, agama memerlukan negara, karena dengan
dukungan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan
agama, karena agama menyediakan seperangkat nilai dan etika untuk
menuntun perjalanan kehidupan bernegara. Paradigma ini berusaha keluar dari
belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan: integralistik dan sekularistik.
Selanjutnya, paradigma ini melahirkan gerakan modernisme dan
neomodernisme.
Paradigma ketiga merefleksikan pandangan sekularistik. Menurut
paradigma ini, agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda,
sehingga tidak dapat dikaitkan secara timbal-balik. Islam dimaknai menurut
pengertian Barat yang berpendapat bahwa wilayah agama sebatas mengatur
hubungan individu dan Tuhan. Sehingga mendasarkan agama kepada Islam
atau upaya untuk melakukan determinasi Islam terhadap bentuk tertentu dari
negara akan senantiasa disangkal. Secara garis besar ada dua spektrum
pemikiran politik Islam yang berbeda. Pada spektrum pertama, beranggapan
bahwa Islam harus menjadi dasar negara, bahwa syariah harus diterima
konstitusi negara, kedaulatan politik ada ditangan Tuhan, gagasan tentang
negara bangsa bertentangan dengan konsep ummah yang tidak mengenal batas-
batas politik kedaerahan. Pada spektrum lain, berpendapat bahwa istilah negara
tidak dapat ditemukan dalam al-Quran. Pendapat seperti ini juga mengakui
bahwa AlQur’an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis
mengenai aktivitas sosial dan politik umat Islam.Negara Islam tidak ada di

9
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tetapi nilai-nilai dan prinsipprinsip
bernegara terdapat dalam ajaran Islam.9

E. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam


Berbicara tentang pemikiran politik Islam di abad klasik dan
pertengahan (abad klasik merentang dari tahun 650-1250 M. dan abad
pertengahan 1250-1800 M.), berarti bicara soal teori dan konsep tentang politik
Islam yang digagas oleh para Ulama dan Pemikir Islam, antranya Ibnu Abi
Rabi`, al-Farabiy, al-Mawardiy, al-Ghazaliy, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun,
dan lain-lainnya. Berdasarkan kajian mendalam terhadap pemikiran-pemikiran
mereka tentang politik kenegaraan, terdapat beberapa prinsip dasar ( al-mabda
al-asasiy) bagi tegaknya sebuah negara atau pemerintahan dalam Islam. 10
Berikut ini disampaikan beberapa prinsip tersebut;
1. Amanah (al-mabdaal-amanah)
Amanah (amanat atau trust) berasal dari bahasa Arab, artinya adalah
adanya kepercayaan yang diberikan atau dititipkan, baik berupa materi
(fisik) yang dapat dilihat atau non fisik kepada seseorang disertai dengan
rasa aman sepanjang materi tersebut berada dengannya. Oleh karena
amanah merupakan titipan yang harus dijaga dengan baik, maka titipan
tersebut harus diserahkan kembali dengan utuh kepada orang yang
menitipkannya, sehingga setelah mengembalikan titipan tersebut, orang
yang bersangkutan disebut orang yang dipercaya (al-amin). Dengan
demikian, amanah adalah sikap sesorang yang dapat dipercaya karena ada
kejujuran dan tanggung jawab. Lawan kata amanah adalah khiyanat, yaitu;
sikap seseorang yang tidak dapat dipercaya karena tidak memiliki sikap
jujur dan tanggung jawab. Nabi Muhammad saw. dikenal sebagai orang
yang sangat amanah dikalangan masyarakatnya, makanya diberi gelar; al-
Amin.
9
Rahmat Panca Putera, Pemikiran Politik Islam Di Indonesia: Dari Formalistik Menuju Ke
Substantif, Vol. 03 No. 01, 2018, hal. 65-66.
10
Abdul Wahid Muhammad al-Far, al-Tsaqafah al-Islamiyah: Dirasah Ta`shiliyah
Limadhmun al-Risalah al-Islamiyah Fiy al-Dhau`i al-Qur`an wa al-Sunnah, ( Jiddah: Dar al-`Ilmi,
t.th. ), hal. 84 -147.

10
Sikap amanah merupakan perintah ajaran Islam, di dalam surat al-
Nisa, ayat 58 ditegaskan yang artinya; sesungguhnya Allah memerintahkan
kamu agar menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyah (1263-1329 M.) ketika menjelaskan ayat
58 surat al-Nisa ini menyatakan bahwa Allah memerintahkan kepada para
pemimpin dalam berbagai tingkatannya dari atas sampai bawah, agar
menyampaikan (merealisasikan) amanah yang telah dipercayakan oleh
rakyat kepada mereka, baik itu berupa hak, kewajiban, harta kekayaan,
bantuan, dan sebagainya. Dalam merealisasikan amanah kepada rakyat
menurut Ibnu Taimiyah ada dua kategori; Pertama; Saat pengangkatan para
pejabat negara, dan Kedua; Saat melakukan pengelolaan kekayaan negara
untuk menjaga dan melindungi harta kekayaan negara tersebut, bersama
dengan hak milik rakyat. Oleh karena itu, jabatan atau pangkat pada saatnya
akan dikembalikan kepada yang memberikan jabatan jika masa jabatannya
sudah habis.
Amanah (trust) dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan
bernegara harus menjadi dasar dalam berbagai aktivitas, dan kebijakan,
terutama ketika menyangkut hubungan antara sesama anggota masyarakat
dengan pemerintah, rakyat, pejabat, lembaga tinggi negara, partai politik,
dan organisasi kemasyarakatan. Hukum dan undang-undang yang telah
ditetapkan oleh badan perundangundangan adalah merupakan amanah yang
harus direalisasikan (dilaksanakan) oleh pemerintah dalam setiap
tingkatannya, dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling bawah. Oleh
karena itu, para pengemban amanah (pemerintah) akan dimintai
pertanggung jawabannya nanti, baik di hadapan rakyat atau di hadapan
Allah di akhirat kelak. Dengan demikian, amanah sebagai prinsip dasar
dalam kehidupan bukan saja dilaksanakan dalam konteks kehidupan
perpolitikan saja, tetapi juga dilaksanakan dalam konteks kehidupan
keseharian, sehingga amanah dapat mewarnai tata pergaulan dalam
bermasyarakat dan bernegara.
2. Musyawarah (al-mabdaal-Syura)

11
Musyawarah (al-syura atau consultation) sinonim dengan istilah
sidang, urun rembug atau konsultasi tentang bagaimana menyelesaikan
masalah yang melibatkan orang banyak. Dalam konteks ini, al-Qur`an
menempatkan musyawarah (syura) sebagai dasar dalam mencari
penyelesaian masalah yang menyangkut kehidupan orang banyak, seperti
urusan politik, ekonomi, pendidikan, kemasyarakatan dan sebagainya. Oleh
karena itu, alQur`an mengarahkan Nabi Muhammad saw. untuk selalu
melakukan musyawarah dengan para Sahabatnya dalam menyikapi berbagai
masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Di tempat lain, al-
Qur`an menyebut orang-orang beriman sebagai orang-orang yang
menyikapi urusan-urusan mereka dengan musyawarah antara sesama
mereka. Dengan demikian, musyawarah merupakan perintah ajaran agama
yang harus direalisasikan dalam rangka membangun kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara. Berdasarkan realitas kehidupan di masyarakat,
musyawarah berarti partisipasi masyarakat atau individu dalam menentukan
dan mengatur diri mereka berdasarkan kesepakatan -kesepakatan bersama. 11
Dalam realitas kehidupan di masyarakat, musyawarah dapat ditemui
beberapa padanannya, antaranya; rapat, sidang, urun rembug, pertemuan
(meeting), konfrensi, dan sebagainya, meskipun istilah-istilah ini secara
khusus ada penekanannya masingmasing, tetapi secara substansi bahwa
semuanya adalah sama, yaitu adanya pembicaraan-pembicaraan mengenai
berbagai masalah yang memerlukan keputusan bersama.
Pelaksanaan musyawarah harus didasarkan pada keyakinan bahwa
masalah-masalah penting yang menyangkut kehidupan orang banyak harus
diputuskan bersama secara kolektif dengan mekanisme yang disepakati
bersama. Bagi umat Islam di dalam melaksanakan musyawarah pastinya
terikat dengan ajaran agama yang membimbingnya, agar hasil keputusan
musyawarah mencerminkan keputusan yang bijaksana dan berbobot
(berkualitas), maka musyawarah harus diwarnai dengan etika, moral, dan

11
Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Politic al Science An Islamic Prespective,
(Bandung: Pustaka, 2001), hal. 109.

12
akhlak yang mulia, serta harus berada pada kondisi yang bebas dari berbagai
tekanan, harus transparan, jujur ( amanah ), bertanggung jawab, serta
adanya kesamaan tujuan yang mengacu pada wujudnya kebaikan bersama
(maslahah ammah), dan tidak menonjolkan egoisme golongan atau
kepentingan-kepentingan kelompok, atau kepentingan pribadi.
3. Persamaan (al-mabdaal-musawa)
Konsep persamaan (al-musawa atau egalitarian) merupakan salah
satu prinsip yang sangat penting dalam merekonstruksi kehidupan
masyarakat dan negara, di mana sistemsistem politik modern dan
kontemporer mendasarkan pada prinsip ini, meskipun dalam penerapannya
berbeda. Persamaan artinya bahwa setiap individu dalam masyarakat adalah
sama, sama di hadapan undang-undang, di dalam hak, kewajiban,
kemerdekaan dan tanggung jawab. Oleh karena itu tidak ada perbedaan
dalam hal ini semua hanya karena perbedaan suku, keturunan, bahasa,
warna kulit, keyakinan (akidah), pejabat tinggi atau rendah, semuanya
sama. Dalam arti lain, bahwa persamaan setiap individu dalam masyarakat
adalah persamaan di hadapan hukum dan undang-undang, bukan persamaan
di dalam status atau kedudukan. Persamaan di hadapan hukum dan undang-
undang dimaksudkan agar setiap individu dapat tunduk, patuh, menghargai
hukum dan undang-undang dalam rangka terealisasinya kebebasan dan
memperoleh hak-hak asasi.
Prinsip persamaan di dalam Islam telah mengakar kokoh, karena Islam
memang mengajarkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Prinsip persamaan yang diajarkan Islam inilah yang menjadikan seseorang
memiliki sikap yakin diri (confident) dan sikap tawadhu`, yaitu sikap yang
tidak menunjuk-nunjuk prestasi, tidak sombong, tidak egoistik, tidak
feodalistik. Implikasi dari semua ini seseorang dapat menerima dan
mengapresiasi orang lain, tidak memandang rendah atau memandang kecil
orang lain. Jika kondisi ini tercipta dalam kehidupan masyarakat, maka akan
wujud kehidupan yang nyaman karena diwarnai oleh sikap kebersamaan
dan gotong royong, transparan dan penuh kesadaran.

13
4. Keadilan (al-mabdaal-`adalah)
Adil (al-`dalah) adalah menetapkan sesuatu secara proporsional dan
objektif, atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Islam memerintahkan
umatnya agar menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar dalam bersikap dan
memperlakukan orang lain, karena realitasnya keadilan berimplikasi pada
terciptanya keamanan dan ketentraman hidup. Dalam konteks ini Allah
berfirman dalam surat al-Nisa, ayat 58, yang artinya; jika kamu memutuskan
suatu ketetapan hukum di antara manusia, putuskanlah dengan adil.
Berdasarkan pernyataan Al-Qur`an, ayat 58, surat al-Nisa ini dapat
dipahami bahwa keadilan (adil) merupakan landasan pokok dalam
pelaksanaan supremasi hukum, sebagaimana juga amanah menjadi dasar
dalam pergaulan dan interaksi yang baik antara sesama anggota masyarakat
dan dalam aktivitas berpolitik. Sikap adil dan amanah, keduanya
merupakan bagian dari akhlak (moral Islam) yang berimplikasi pada
keberhasilan melahirkan masyarakat yang transparan, dan alQur`an
menuntut setiap muslim agar memiliki standar moral (akhlak) yang tinggi
sehingga bersedia untuk menjadi saksi walau pun kepada dirinya sendiri.12
5. Kemajmukan
Majemuk atau pluralisme adalah paham yang mempertahankan
keaneka -ragaman perbedaan dalam masyarakat (plural society), baik dari
dimensi agama, etnik, budaya, kecendrungan, bahasa, dan sebagainya.41 Di
dalam sejarah peradaban Islam awal fenomena pluralitas ini sudah wujud
semenjak permulaan Islam berkembang, yaitu ketika Nabi Muhammad saw.
bersama dengan para Sahabat-sahabatnya membangun masyarakat Madinah
(Yatsrib).
Keanekaragaman sosial budaya, agama, etnik, dan sebagainya berhasil
dipersatukan oleh Nabi Muhammad saw. menjadi satu masyarakat
(ummatun wahidatun min dunin nas), yaitu masyarakat Madinah. Persatuan
ini diikat oleh satu ikatan watsiqah (agreement) atas dasar kesepakatan

12
Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Politic al Science An Islamic Prespective,
(Bandung: Pustaka, 2001), hal. 107.

14
bersama. Watsiqah atau agreement ini kemudian dikenal dengan sebutan
Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah (Constitution of Medina).
Pluralitas merupakan realitas kehidupan dan fenomena alami (natural)
bagi kehidupan manusia di bumi ini, dan ini perlu dijaga untuk tujuan
terciptanya keharmonian hidup, keamanan, saling mengenal dengan baik,
sehingga terhindar dari konflik. Perlu diperhatikan bahwa pluralisme hanya
akan menjadi kenyataan dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa kalau
lahir dalam kondisi sosial politik yang menerinanya dengan sepenuh hati
sebagai fenomena alami, adanya saling pengertian di antara sesama anggota
masyarakat, saling memebutuhkan antara satu dengan yang lain melalui
kerja sama untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan,
kesejahteraan, stabilitas politik, dan sebagainya, jika terjadi perbedaan, baik
dalam pandangan, pemikiran atau pun sikap tidak diekspresikan dengan
kekerasan, tetapi dicarikan sosulinya melalui musyawarah untuk
mendapatkan kesepakatan bersama dan untuk kemaslahatan bersama.

F. Partai Politik Islam di Indonesia


Adapun indikasi yang melatarbelakangi dan syarat-syarat berdirinya
partai Islam adalah: Pertama, umat Islam yang jumlahnya besar di Indonesia ini
wajib memiliki wadah politik untuk menyalurkan aspirasi dan orientasi
politiknya. Diyakini bahwa masih banyak umat Islam yang memandang
berpolitik itu bagian dari ibadah, dan mereka hanya mau menyalurkan ke partai
politik Islam. Kedua, harus ada kesadaran kolektif umat Islam bahwa dakwah
yang efektif itu melalui jalur struktur atau politik, dengan tidak meninggalkan
jalur kultural. Kalau umat Islam telah memegang kunci atau memiliki
kekuasaan, maka dengan mudah untuk melakukan dakwah amar makruf nahi
munkar melalui undang-undang resmi negara, peraturan pemerintah, peraturan
daerah (Perda) dan bentuk peraturan lainnya yang bersifat mengikat
masyarakat. Ketiga, harus ada perubahan nalar kolektif umat Islam, yang
semula memandang politik itu urusan duniawi menjadi urusan ukhrawi juga,
maka menjatuhkan pilihan dalam setiap pemilu itu wilayah ibadah. Keempat,

15
bentuk partai politik Islam harus tetap terbuka, karena Islam itu Rahmatan
lil’alamien, hanya saja harus dapat menawarkan program-program yang
langsung dinikmati oleh masyarakat. Kelima, partai politik Islam harus
mencantumkan ideologinya Islam, dengan penampilan dan pemaknaan yang
baru. Keenam, pemimpin partai harus memenuhi kriteria sebagai pemimpin
Islam, yakni kriteria internal, sidiq, amanah, tabligh dan fathanah. Dalam
bahasa hadis, seorang pemimpin itu harus dhabid (cerdas) dan ghairu syadz
(tidak cacat moral).13
Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan politik. Islam
sudah terlibat aktif dan berkontribusi sejak era kemerdekaan hingga sekarang.
Sejak Indonesia merdeka hingga kini, kontribusi Islam dalam panggung politik
juga tidak bisa diabaikan. Berkembangnya partai Islam di Indonesia setidaknya
didasarkan pada beberapa alasan, seperti realitas sosial bahwa Islam
berkembang dalam sebuah negara yang memiliki basis agama yang kuat.
Selain itu, Islam juga menyediakan visi dan ideologi yang memungkinkan
untuk ditransformasikan dalam kehidupan berpolitik dan berbangsa. Islam
kompatibel dengan nilai demokrasi. Islam mendukung hak asasi manusia,
kesetaraan dan egalitarianisme, dan lain-lain. Partai Islam dalam pemilu tahun
1955, meraih kursi cukup besar dalam parlemen serta berperan dalam
membentuk pemerintahan. Demikian pula, dalam era Orde Baru, PPP sebagai
partai yang mewakili aspirasi umat Islam mampu meraih urutan kedua. Pada
era reformasi, partai Islam tetap memainkan peran penting. Pada pemilu 9
April 2014, berdasarkan hasil hitung resmi KPU, perolehan suara partai politik
islam dan berbasis massa Islam cukup signifikan. PKB meraih suara terbesar,
yakni 9,04 persen. Disusul PAN sebesar 7,59 persen, PKS sebanyak 6,79
persen, PPP mendulang suara 6,53 persen, dan PBB sebesar 1,46 persen. Ini
setidaknya menunjukkan partai Islam ataupun berbasis umat Islam masih
memperoleh kepercayaan pemilih. Namun di sisi lain, pencapaian suara dalam
Pemilu 2014 itu mengindikasikan belum optimalnya partai Islam.

13
Sudarno Shobron, Prospek Partai Islam Ideologis di Indonesia, Jurnal Studi Islam, Vol.
14. No. 1. 2013, hal. 17.

16
G. Oranisasi Masyarakat Islam Di Indonesia
1. Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang telah dikenal jauh
sebelum Indonesia merdeka. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 H,
bertepatan dengan tanggal 18 November tahun 1912 M di Yogyakarta.
Ideologi Muhammadiyah dapat terlihat dari matan keyakinan dan cita-cita
hidup Muhammadiyah berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Sunnah. Kedua
sumber ini merupakan landasan organisasi Muhammadiyah.14
Muhammadiyah memang tidak berpartisipasi dalam bidang politik secara
langsung tetapi pengurus-pengurus Muhammadiyah berpolitik secara tidak
langsung dengan menjalankan apa yang mereka sebut dengan high politics.
Keinginan untuk berpolitik secara praktis mulai muncul saat runtuhnya Orde
Baru dan digantikan oleh Orde Reformasi. Pada tahun 1998
Muhammadiyah menginginkan agar aspirasi warga Muhammadiyah dapat
tersalurkan dengan membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal
23 Agustus 1998.
2. Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam yang menganut
paham Ahlu Sunnah Wa al-Jama‟ah sebagai pola kehidupan beragama
(menurut AD/ART NU bab II Pasal 3). NU menganut Islam Sunni, yakni
paham yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia. Tujuan dari
NU adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham empat mazhab dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, untuk mewujudkan
tujuan NU, pergerakan NU terbagi kedalam beberap bidang, di antaranya
bidang agama, sosial, pendidikan, ekonomi dan politik.

14
Riezam Muhammad, Muhammadiyah Prakarsa Besar Kyai Dahlan, (Yogyakarta: Badan
Penerbit UAD, 2014), hal.5.

17
Di bidang politik, NU telah memainkan peran penting semenjak awal
terbentuknya. Para ulama NU gagah melawan kolonialisme seperti fatwa
yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy‟ari kewajiban jihad melawan
Belanda. Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden juga
merupakan salah satu kontribusi NU terhadap bangsa di bidang politik.15
3. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia atau yang dikenal dengan istilah MUI terdiri
dari tiga suku kata, Majelis yakni wadah atau perkumpulan, Ulama memiliki
makna orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau mengetahui akibat
sesuatu. Majelis Ulama Indonesia adalah wadah musyawarah para ulama,
zu‟ama dan cendekiawan muslim yang kehadirannya bermamfaat untuk
mengayomi dan menjaga umat. Selain itu, MUI juga sebagai wadah
silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah,
dan ukhuwah insaniyah, demi mencapai dan mewujudkan kehidupan
masyarakat yang harmonis, aman, damai dan sejahtera dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjalankan fungsi dan tujuan diatas,
MUI melakukan upaya pendekatan yang proaktif, responsif dan preventif
terhadap berbagai persoalanpersoalan itu sedini mungkin dapat diatasi,
untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat
khususnya umat Islam.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan ataumusyawarah para ulama, cendekiawan dan zu‟ama yang
datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi 26 orang ulama
yang mewakili 26 provinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan
unsure dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah,
Sarekat Islam, Perti, Al-Washliyah, Mathla‟ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI,
dan Al-Ittihadiyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

15
Yon Machmudi, Sejarah dan Profil Ormas-Ormas Islam di Indonesia, (Depok: PTTI UI,
2013), hal.93.

18
BAB III
PENUTUP

19
A. Kesimpulan

Politik Islam adalah upaya untuk menjadikan ketentuan kebijakan


kenegaraan atau politik untuk kepentingan seluruh bangsa berdasarkan syari’at
Islam tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan hidup.
Banyak konstruk pemikiran yang melahirkan berbagai pandangan tentang
bagaimana kita, sebagai kaum muslimin menyikapi politik. Tentang bentuk
kenegaraan yang seperti apa yang harus dipakai oleh suatu negara. Dari
beberapa pemikiran para tokoh itu semua yang akhirnya mengarah pada
karakter dan tipologi politik Islam itu sendiri. Namun secara umum para
pemikir membaginya dalam tripologi. Dalam pandangan A. Djazuli, membagi
kerangka berpikir dunia Islam menjadi tiga tipe pertama, liberal (sekuler) yaitu
negara menolak hukum Islam secara penuh, kedua, fundamental (integralistik)
yaitu negara melaksanakan hukum Islam secara penuh, ketiga, moderat
(simbiotik) yaitu negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan
struktural (dalam sektor politik), tetapi menempatkannya sebagai kekuatan
kultural, atau mencari kompromi.
Dalam perkembangan politik Islam, banyak pemikir Islam, yang
membahas tentang relevansi antara Islam dan politik, Islam dan demokrasi.
Hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis (yang sudah
jelas kebenarannya). Karena Islam merupakan agama dan risalah yang
mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia.
Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja
antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai
positif. Sedangkan Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam
tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-
Ghazali yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama.
Persoalan hubungan agama dan negara di masa modern merupakan salah
satu subjek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak
hampir seabad lalu hingga sekarang ini tetap belum terpecahkan secara tuntas.
Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang

20
hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan
menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik, paradigma
simbiotik, dan paradigma sekularistik.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap agar pembaca dapat
mengambil sedikit hikmah dari kandungan yang ada didalamnya. Setiap karya
pasti indah namun setiap keindahan itu belum tentu yang terbaik. Maka penulis
mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan ataupun kandungan
pokok bahasan. Kritik dan saran akan kami terima, guna karya yang lebih baik
kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam


Rambu-Rambu Syari’ah. Bogor: Prenada Media.

21
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 2018. Islam& Politik: Upaya Membingkai Peradaban.
Cirebon: Pustaka Dinamika.
Machmudi, Yon. 2013. Sejarah dan Profil Ormas-Ormas Islam di Indonesia.
Depok: PTTI UI.
Moten, Abdul Rasyid. 2001. Ilmu Politik Islam, terj. Politic al Science An Islamic
Prespective, Bandung: Pustaka.
Muhammad, Riezam. 2014. Muhammadiyah Prakarsa Besar Kyai Dahlan.
Yogyakarta: Badan Penerbit UAD.
Putera, Rahmat Panca. 2018. Pemikiran Politik Islam Di Indonesia: Dari
Formalistik Menuju Ke Substantif. 03(01), 65-66.
Sani, Abdul. 2003. Lintasan Sejarah Perkembangan Modern Dalam Islam.
Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Santoso, Listiono. 2004. Teologi Politik Gus Dur. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Jogjakarta.
Shobron, Sudarno. 2013. Prospek Partai Islam Ideologis di Indonesia, Jurnal
Studi Islam, 14(1), 17.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, Dan
Pemikiran. Jakarta: UI-Press.
Syamsuddin, M. Din. 2001. Islam Dan Politik: Era Orde Baru. Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu.

22

Anda mungkin juga menyukai