Anda di halaman 1dari 10

TUGAS UAS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Uas Mata Kuliah : Resolusi Konflik

DOSEN PEMBIMBING : Fadhil Hardianyah M.Pd.

DISUSUN OLEH :

Intan Wulandari

(1904030004)

KELAS A

BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO

LAMPUNG

TAHUN 2021 M / 1442 H


BAB

PEMBAHASAN

A. Jelaskan Kriteria Konflik Fungsional Dan Disfungsional, Dan Pola Interaksi Apa Yang
Tepat Dalam Penyelesaiannya Bagi Masing-Masing Konflik Tersebut ?

Jawab :

1. konflik fungsional

Konflik Fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok.


Konflik fungsional bersifat konstruktif dan membantu dalam meningkatkan kinerja
organisasi. Konflik ini mendorong orang untuk bekerja lebih keras, bekerja sama dan
lebih kreatif. Konflik kini berdampak positif atau dapat memberi manfaat atau
keuntungan bagi organisasi yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah konflik yang
terjadi antara bagian staff akademik dengan bagian staff pengajar. Konflik tersebut bisa
terjadi karena perberdaan cara pandang para anggota bagian tersebut. Staff akademik
hanya mengatur penjadwalan pengajar sesuai dengan mata kuliahnya. Tanpa
menghiraukan berapa lama pengajar tersebut mengajar dalam satu hari. Sedangkan staff
pengajar hanya dapat menerima jadwal yang sudah dibuat oleh staff akademik. Mungkin
sebagian pengajar mengeluh karena begitu padatnya jadwal yang telah dibuat. Maka
staff pengajar melakukan komplen kepada staff akademik. Hal ini menyebakan staff
akademik harus bekerja dua kali untuk mengatur ulang jadwal yang telah dibuat.

Pola interaksi yang tepat untuk mengatasi konflik fungsional adalah : interaksi
konflik Kompromi atau Negosiasi, yaitu Masing-masing pihak memberikan dan
menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta
meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak. Lalu
dapat juga melakukan interaksi konflik dengan menciptakan kolaborasi, yaitu dengan
menyusun strategi konflik untuk tujuan pendekatan, menghadapi lawan konfliknya
dengan ramah, mengajak lawan konflik untuk berunding, dan juga dapat mengemukakan
data fakta dan informasi, lalu dapat mengemukakan persamaan dengan menjauhkan
perbedaan, bertanggung jawab apabila lawan konflik mengalami kerugian, serta
melakukan inisiatif untuk dapat menyelesaikan masalah nya segera.

2. konflik disfungsional

Konflik Disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.


Konflik disfungsional bersifat destruktif dan dapat menurunkan kinerja organisasi.
Konflik disfungsional dapat diartikan setiap konfrontasi atau interaksi diantara kelompok
yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi. Contoh
konflik ini adalah dua orang karyawan yang tidak bisa bekerja sama karena permusuhan
pribadi, anggota komite yang tidak dapat menyetujui tujuan yang ditetapkan organisasi.
Batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak
tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak
fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional diwaktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah
suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap
kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan
kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut
dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan
individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.

Sedangkan pola interaksi yang tepat untuk mengatasi konflik disfungsional adalah
dengan cara Kompetisi, yaitu menggunakan satu metode tertentu jika anda memiliki lebih
banyak informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak
ingin mengkompromikan sesuatu Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa
jadi merupakan metode yang penting dengan tujuan untuk alasan-alasan keamanan. Lalu
dapat juga menggunakan interaksi konflik dengan tujuan mengalahkan lawan, karena
untuk menentukan strategi kemenangan konflik, melakukan agresi, berbohong, dan
menyalahkan, dan menolak bertanggung jawab.
B. Jelaskan Menurut Anda Langkah Yang Tepat Dalam Rangka Resolusi Konflik Dengan
Kategori Konflik Vertikal !

Jawab :

Konflik vertical menurut Hardie Wirawan, adalah yang terjadi antar tingkat kelas atau
antar atasan dan bawahan. Atau lebuh mudahnya lagi yaitu konflik yang terjadi antara
golongan yang berbeda, antara golongan rendah dengan golongan yang lebih tinggi. Lalu
menurut Johns Drei’, konflik vertical yaitu konflik yang terjadi antara bawahan yang memiliki
kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Konflik demikian terjadi antara tingkatan-
tingkatan pada sebuah hirarki otoritas suatu organisasi. Sedangkan menurut Novi susan,
konflik vertical yaitu konflik yang terjadi antara bawahan yang memiliki kedudukan yang
tidak sama dalam organisasi, misalnya antara bawahan dan atasan.

Konflik vertikal, merupakan konflik yang terjadi antara komponen masyarakat di dalam
satu struktur yang mempunyai tingkatan dan hierarki. Konflik vertikal yaitu konflik yang
terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam suatu organisasi.
Misalnya, antara atasan dan bawahan. Konflik vertikal pada dasarnya adalah sebuah konflik
antara individu atau lembaga yang memiliki perbedaan status, baik sosial maupun politik.
Artinya, dalam berkonflik, terdapat pihak yang lebih kuat secara status dan ada pula pihak
yang lebih lemah. Perbedaan kekuatan ini kerap menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam
resolusi konflik yang terjadi. Seringkali, satu pihak diuntungkan sedangkan pihak lainnya
dirugikan. Umumnya, konflik vertikal terjadi karena adanya ketidakpatuhan terhadap
peraturan yang berlaku. Disini, salah satu pihak aktif melawan regulasi yang ada sedangkan
pihak lainnya berupaya untuk menegakkan regulasi tersebut. Selain itu, konflik vertikal juga
dapat disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kepemimpinan yang sedang berjalan. Disini,
satu pihak berusaha untuk mengubah pola kekuatan dan menggantikan kekuasaan, sementara
pihak lainnya berusaha untuk menjaga status.

Langkah yang tepat untuk mengatasi konflik vertikal adalah :

1. Saling toleransi

2. Menjunjung kesetaraan dan menghargai sesama


3. Tidak membeda-bedakan kelas sosial

4. Menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, kesatuan, dan persaudaraan.

Sedangkan langkah yang tepat dalam rangka resolusi konflik dengan kategori Konflik
Vertikal adalah dengan menggunakan :

1. Kompromi, yaitu Masing-masing pihak memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu
yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan semua
pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.

2. Kolaborasi ( kerja sama ), bersikap kooperatif maupun asertif berusaha untuk mencapai
kepuasan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan jalan bekerja melalui perbedaan-
perbedaan yang ada mencari dan memecahkan masalah hingga setiap indivindu atau
kelompok mencapai keuntungan masing-masing sesuai dengan harapannya.

3. Mengakomodasi, yaitu bersikap pasif dan ramah pada lawan konflik, memperhatikan
lawan konflik sepenuhnya, menyerah pada solusi yang diminta oleh lawan konflik, dan
yang terakhir adalah memenuhi keinginan lawan konflik.

C. Carilah Satu Kasus Melalui Media Online Yang Menurut Anda Menerapkan Lebih
Dari Satu Intervensi Pihak Ketiga Dalam Penyelesaiannya Dan Jelaskan Pada Poin
Mana Yang Merupakan Intervensi Pihak Ketiga !

Jawab :

Mesuji sebenarnya ada dua wilayah, yaitu Mesuji yang masuk wilayah Kabupaten
Mesuji, provinsi Lampung dan Mesuji yang masuk Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)
provinsi Sumatera Selatan. Mesuji di dua wilayah berbeda itu sama-sama memiliki
perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar. Perkebunan besar itu awalnya adalah hutan
belantara. Di dua Mesuji itu juga sama-sama terjadi konflik tanah yang merenggut nyawa.
Perusahaan yang mengelola kebun sawit di Mesuji yang ada di provinsi Lampung maupun
yang ada di provinsi Sumatera Selatan juga sama-sama didukung oleh Pengamanan Swakarsa
(Pam Swakarsa) dan aparat keamanan (Brimob). Keberadaan Pam Swakarsa dan Brimob di
areal perkebunan tak lepas dari upaya perusahaan sawit untuk mengamankan perusahaan.
Maklum saja, sejak era reformasi bergulir, konflik pertanahan makin sering terjadi di
Lampung. Sejak era reformasi bergulir (1999) warga mulai berani menuntut hak atas tanah
yang mereka klaim selama ini dirampas negara. Konflik tanah yang semula terjadi antara
negara dengan masyarakat adat kemudian berubah menjadi konflik antara perusahaan dengan
masyarakat adat. Masyarakat adat merasa memiliki hutan yang selama ini diklaim sebagai
milik negara pun beramai-ramai menuntut haknya kembali. Hal itu menjadi persoalan besar
karena negara melalui Departemen Kehutanan para era Orde Baru dan awal reformasi sudah
memberikan konsesi pengelolaan hutan kepada beberapa perusahaan melalui sistem hak
pengelolaan hutan (HPH) dan hak guna usaha (HGU).

Persoalan bertambah rumit ketika warga pendatang di luar masyarakat adat juga masuk
hutan untuk membuka lahan pertanian. Banyak warga pendatang yang masuk hutan pada awal
Orde Baru (tahun 1960-an—tahun 1970-an). Selain membuka kebun, mereka juga mendirikan
rumah dan bangunan permanen maupun semi permanen. Mereka membuka hutan karena
membeli lahan dari warga masyarakat adat. Hutan yang sudah menjadi perkampungan itu ada
statusnya sudah menjadi desa definitif. Itu karena desa di dalam hutan tersebut sudah dicatat
oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional sebagai
kawasan enclave (kawasan yang sudah dikeluarkan statusnya dari hutan dan dianggap sebagai
desa yang sah). Ada juga perkampungan yang belum atau tidak termasuk kawasan enclave.
Penduduk desa yang tidak termasuk kawasan enclave sering disebut sebagai perambah. Di
kawasan perkampungan non-enclave inilah sering terjadi konflik tanah antara penduduk
dengan perusahaan yang diberi HPH atau HGU. Hutan yang sudah menjadi perkampungan itu
ada statusnya sudah menjadi desa definitif. Itu karena desa di dalam hutan tersebut sudah
dicatat oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional
sebagai kawasan enclave (kawasan yang sudah dikeluarkan statusnya dari hutan dan dianggap
sebagai desa yang sah). Ada juga perkampungan yang belum atau tidak termasuk kawasan
enclave. Penduduk desa yang tidak termasuk kawasan enclave sering disebut sebagai
perambah. Di kawasan perkampungan non-enclave inilah sering terjadi konflik tanah antara
penduduk dengan perusahaan yang diberi HPH atau HGU. Di Lampung, konflik berdarah
yang sering terjadi adalah di daerah Kabupaten Mesuji (sebelum 2010 masuk Kabupaten
Tulang bawang).
Di Mesuji saja (Mesuji yang ada di provinsi Lampung maupun Mesuji yang ada di
provinsi Sumatera Selatan), berdasarkan data Komnas HAM, setidaknya ada tiga peristiwa
konflik tanah berskala besar. Delapan orang tewas dalam konflik tersebut, yaitu 7 tewas di
Mesuji Sumatera Selatan dan satu orang tewas di Mesuji Lampung.

1. pertama, konflik antara PT Sumber Wangi Alam (SWA) dengan warga di Sungai Sodong,
Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Peristiwa terjadi 21 April 2011.
Ada pembunuhan, yakni 2 warga disembelih oleh Pam Swakarsa bentukan perusahaan.
Pembunuhan terhadap warga ini membuat warga marah dan menyerang PT SWA yang
menyebabkan 5 orang tewas. Kelima korban tewas itu 2 orang Pam Swakarsa dan 3 orang
karyawan perusahaan.

2. Kasus antara PT Silva Inhutani dengan warga di register 45 di Kabupaten Mesuji, Provinsi
Lampung, terjadi sejak tahun 2009. PT Silva mendapatkan penambahan lahan Hak Guna
Usaha (HGU). Nah, penambahan HGU itu melebar hingga ke wilayah pemukiman warga
sekitar. HGU ini menjadi sumber konflik karena warga yang sudah tinggal bertahun-tahun
di wilayah pemukiman diusir. Rumah-rumah warga dirobohkan.

3. Kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga di register 45,
Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung, pada 10 November 2011. PT BSMI ini memang
letaknya berdekatan dengan PT Silva Inhutani. Ada penembakan terhadap warga yang
dilakukan Brimob dan Marinir, 1 warga tewas dan 6 warga menderita luka tembak.

Maka sejak akhir 2011 Kabupaten Mesuji menjadi komoditas untuk di eksploitasi, baik
melalui pemberitaan di media, berbondong-bondongnya sejumlah pejabat publik dan tokoh
masyarakat dari berbagai institusi (DPD RI, Komisi II, III dan IV DPR RI, DPRD Lampung,
Komnas HAM, Lembaga Adat, dan LSM). Bahkan Presiden RI turut membentuk Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin langsung oleh wakil Menteri Hukum dan
HAM, datang ke Mesuji dengan misi mencari fakta, menggali informasi dan turut mencoba
membantu menyelesaikan konflik ini.

Dari kasus diatas intervensi pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan
melalui proses administrasi yaitu konflik melalui pihak ke tiga yang dilakukan oleh lembaga
negara yang diberi hak untuk menyelesaikan masalah perselisihan atau konflik bidang
tertentu. Yang dalam hal ini adalah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), bertugas menggali
informasi dan mencari fakta kasus konflik ini. Dan proses intervensi pihak ke tiga selanjutnya
untuk menyelesaikan masalah ini adalah resolusi perselisihan alternatif yaitu resolusi konflik
yang bukan pihak ke tiga dan bukan perngadilan dan proses administrasi yang
diselenggarakan oleh lembaga eksekutif. Dalam kasus ini adalah (DPD RI. Komisi II, III, dan
IV DPR RI. DPRD Lampung. Komnas HAM. Lembaga Adat dan LSM serta Presiden juga
ikut andil dalam kasus konflik di Mesuji ini.

D. Jelaskan Manajemen Konflik Menurut Anda, Dan Bagaimanan Anda Melakukan


Manajemen Konflik Jika Terjadi Konflik Antara Anda Dengan Orangtua !

Jawab :

Wirawan, mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat atau
pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik
agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Selanjutnya Robbins, menjelaskan manajemen
konflik sebagai proses pengkoordinasian dengan menggunakan tehnik-tehnik resolusi dan
stimulasi untuk meraih tingkatan konflik yang diinginkan sehingga diperoleh solusi tepat atas
konflik tersebut “stimulating and creating it as well as diminishing or channeling it".
Sementara itu Moore, mengatakan bahwa manajemen konflik atau lazim disebut mengelola
konflik adalah kecenderungan seseorang dalam menata atau mengatur pertentangan dalam
wujud sikap dan perilaku. Sebab masalah yang lahir dari pertentangan merupakan sesuatu
yang menghambat, merintangi, atau mempersulit seseorang mencapai maksud dan tujuan
tertentu.

Jadi, manajemen konflik menurut saya adalah sebuah proses mengelola konflik dengan
cara mengkoordinasikan, menggunakan teknik–teknik dan stimulasi resolusi, serta menyusun
sebuah strategi untuk memperoleh solusi penyelesaian konflik yang diinginkan.

Jika terjadi sebuah konflik antara saya dengan kedua orangtua saya cara
memanajemennya yaitu dengan melakukan pendekatan-pendekatan untuk menyelesaikan
konflik dan menggunakan salah satu atau beberapa strategi pemecahan masalah untuk
mengatasi konfliknya. Misal, cara pendekatannya yaitu dengan mencari tau apa pentingnya
informasi itu sehingga dapat menyebabkan konflik. Lalu pendekatan yang lain yaitu kami
(saya dan kedua orang tua saya) harus memiliki kesediaan waktu untuk menyelesaikan
konflik tersebut. Dan untuk Strategi pemecahan masalahnya, saya pribadi lebih sering
melakukan strategi menghindar, kompromi/negosiasi dan memecahkan masalah. Contohnya :
untuk yang strategi menghindar apa bila saya menginginkan sesuatu, lagi bad mood atau lagi
jengkel yang berujung konflik dengan orang tua saya, biasanya saya menghindar lalu pergi
sebentar. Pergi ke kamar, atau main ketempat temen, atau diem terus tiap kali ketemu.
Berharap untuk dapat melupakan masalah yang sedang terjadi, dan menggap masalah ini
selesai walaupun tidak ada penyelesaian yang jelas. Sedangkan untuk yang
kompromi/negosiasi terjadi apabila kami (saya dan kedua orang tua saya) sedang ada sebuah
konflik lalu kami bermusyawarah bagaimana baiknya dan menguntungkan kedua belah pihak
tanpa merugikan pihak yang satunya, saling kompromi yang mungkin akan menjadi sebuah
kesepakatan bersama. Lalu untuk yang memecahkan masalah terjadi apabila konfliknya
biasanya sudah pada lefel berat dan tidak ada jalan lain selain memecahkan masalahnya itu.
Berharap setelah proses pemecahan masalahnya selesai kedua belah pihak bisa kembali baik
lagi, bisa saling mendukung dan saling menghargai keputusan yang sudah dibuat.
DAFTAR PUSTAKA

Amp-kompas-com. Diakses pada 2 juni 2021 pukul 10.00 wib.

Dwiervianirokayahuty.blogspot.com. diakses pada tanggal 1 juni 2021 pukul 22.30 wib.

Jaka Ferdian, Komang. 2017. Model Resolusi Konflik Kawasan Register 45 Mesuji Lampung
Berbasis Hutan Tanaman Rakyat. Politika : Vol. 8 No. 1

Novi, Susan. Manajemen Konflik Social. ( Yogyakarta : UII Press).

Winardi. Pengantar Sosiologi Konflik. ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada).

Wirawan. Konflik dan Konflik Manajemen. ( Jakarta : Pustaka Agung Harapan ).

Anda mungkin juga menyukai