Oleh:
712020016
Pembimbing:
dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS
Referat berjudul
SLEEP DISORDERS IN LATE LIFE DEPRESSION
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik SeniorFakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang.
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah swt, zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Sleep Disorders in Late-Life Depression”sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik SeniorFakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah
Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikanterima kasih kepadadr.
Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan.Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah.Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ..………………………..….…………….... i
KATA PENGANTAR …………………..….……………………..………. ii
DAFTAR ISI ...…………………………………………………....………. iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………..……………………. 1
1.2 Batasan Masalah ………………………..………………… 2
1.3 Tujuan Penulisan …………………..……………………. 2
1.4 Manfaat ……...…...………………………………..……….. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologis Siklus Tidur…………..………………………… 3
4
2.2 Gangguan Tidur ……...................………………………..
4
2.2.1. Klasifikasi Gangguan Tidur ……...................…….. 9
9
2.3 Depresi Lansia … .....................................…………….......
10
2.3.1. Definisi… .....................................……………....... 12
14
2.3.2. Epidemiologi… .....................................…………….
14
2.3.3. Klasifikasi… .....................................……………..... 15
15
2.3.4. Etiologi… .....................................…………….......
15
2.3.5. Manifestasi… .....................................…………....... 16
16
2.4 Gangguan Tidur pada Depresi Lansia …………………….
17
2.4.1. Definisi… .....................................…………….......
2.4.2. Epidemiologi… .....................................…………….
20
2.4.3. Etiologi… .....................................……………....
21
2.4.4. Patofisiologi… .....................................……………...
iv
1
2
independen untuk ide bunuh diri pada orang dewasa dan kematian bunuh diri
pada orang tua.
3
4
yang dikenal dengan dua nama berbeda: orexin dan hypocretin. Sedangkan SCN
adalah jam internal otak, atau alat pacu jantung, dan mengatur input sirkadian ke
saklar tidur-bangun sebagai respons terhadap hormon seperti melatonin, dan oleh
siklus terang atau gelap.5,6,7
Siklus tidur terdiri dari 3 fase, yaitu: fase bangun, fase Non-Rapid Eye
Movement (NREM) dan fase REM. Fase NREM terbagi menjadi 4 tahap yaitu :
- Tahap 1 tidur NREM disebut “drowsy period”, awal tidur yang bila
terbangun kembali, individu sering merasa seperti tidak tidur
- Tahap 2 mulai menunjukkan adanya sleep spindle, merupakan periode
aktivitas dari interaksi thalamus-cortex.
- Tahap 3 dan 4, disebut slow wave sleep (SWS), merupakan tahapan tidur
dalam yang ditandai gelombang Delta.
Fase REM termasuk tidur ringan dan disebut juga paradoxical sleep.
Sedangkan untuk EEG fase REM tidak berbeda dengan fase bangun. Periode
tidur dalam semalam terdiri dari 5 episode aktivitas NREM-REM. Episode REM
pertama muncul sekitar 90 menit setelah tidur, yang disebut REM latency dan
berkurang pada individu dengan depresi, narkolepsi, dan sleep apnea.8
Pada orang dewasa yang lebih tua, secara subyektif dan obyektif, masalah
tidur terkait dengan peningkatan risiko jatuh, akibat gangguan keseimbangan
ambulasi, dan kesulitan visual. Kesulitan tidur kronis pada usia berapa pun dapat
menyebabkan defisit perhatian, respons, memori jangka pendek, dan tingkat
kinerja. Kontributor gangguan tidur pada orang dewasa yang lebih tua dapat
mencakup komorbiditas penyakit medis atau kejiwaan, obat-obatan, gangguan
ritme sirkadian, atau gangguan tidur-bangun tertentu.4
setidaknya 3 malam per minggu untuk pada minimal 3 bulan serta semua etiologi
yang memungkinkan (misalnya, Gangguan tidur primer, komorbiditas kondisi
medis atau kejiwaan) harus dipertimbangkan sebelum membuat diagnosis ini.4
2. Hipersomnia (F51.1)
Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :9
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya
serangan tidur/”sleep attacks”(tidak disebabkan oleh jumlah
tidur yang kurang), dan atau transisi yang memanjang dari saat
mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya (sleep drunkness).
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 pendek,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi dalam sosial dan pekerjaan
c. Tidak ada gejala tambahan “narcolepsy” (cataplexy, sleep
paralysis, hypnagogic hallucination) atau bukti klinis untuk
“sleep apnoe” (nocturnal breath cessation, typical intermittent
snoring sounds, etc)
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan
gejala rasa kantuk pada siang hari
7
B. Parasomnia
Parasomnia adalah peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama
tidur, misalnya pada kanak-kanak yangmana hal ini terkait pada
perkembangan anak, sedangkan pada orang dewasa terutama pengaruh
psikogenik.9
8
1. Somnabulisme (sleepwalking)
Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :
a. Gejala yang utama adalaha satu atau lebih episode bangun dari
tempat tidur, biasanya pada spertiga awal tidur malam, dan terus
berjalan-jalan (kesadaran berubah)
b. Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong
(blank, staring face) relatif tak memberikan respon terhadap
upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan atau untuk
berkomunikasi dengan penderita, dan hanya dapat
disadarkan/dibangunkan dari tidurnya dengan susah payah
c. Pada waktu sadar atau bangun (setelah satu episode atau besok
paginya), individu tidak ingat apa yang terjadi
d. Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode
tersebut, tidak ada gangguan aktivitas mental, walaupun dapat
dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam waktu
singkat.
e. Tidak adanya bukti gangguan mental organik
Somnabulisme harus dibedakan dari serangan epilepsy psikomotor
dan fugue disosiatif (F44.1)9
2. Teror Tidur (Night Terrors) (F51.4)
Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :
a. Gejala utama adalah satuatau lebih episode bangun dari tidur,
mulai dengan berteriak karena panic disertai anxietas yang hebat,
seluruh tubuh bergetar, dan hiperaktivitas otonomik seperti
jantung berdebar-debar, nafas cepat, pupil melebar, dan
berkeringat.
b. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1-10
menit dan biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur malam.
c. Secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain
untuk mempengaruhi keadaan terror tidur nya dan kemudian
9
2.3.2. Epidemiologi
Prevalensi depresi di dunia pada tahun 2017 tercatat 264 juta jiwa yang
mengalami depresi dengan perbandingan persentase perempuan lebih tinggi
11
2.3.3. Klasifikasi
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat) :
- afek depresif
- kehilangan minat dan kegembiraan, dan
12
2.3.4. Etiologi
Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut
berupa :
1. Factor Biologis
a. Factor genetis
14
Diduga gen dominan yang berperan pada depresi ini terikat pada
kromosom 11 gangguan diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang
dari orangtua mempunyai Riwayat depresi maka 27% anaknya akan
menderita gangguan tersebut. Sedangkan jika kedua orangtua menderita
depresi maka kemungkinan meningkat menjadi 50- 75%.
b. Gangguan pada Otak
Yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai salah satu penyebab
timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut adalah penyakit
cerebrovascular, yang mana gangguan ini dapat sebagai factor
predisposisi, presipitasi atau mempertahankan gejala- gejala gangguan
depresif pada usia lanjut.
c. Gangguan Neurotransmitter / Biogenik Amin
Istilah biogenik amin umunya digunakan untuk komponen katekolamin,
norepinefrin, epinefrin, dopamine dan serotonin. Sistem neuron
menggunakan biogenik amin relative kecil dalam sekelompok sel yang
berada di otak.
Biogenik amin dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai neurotransmitter.
Neurotransmitter yang banyak berperan pada depresi adalah norepinefrin
dan serotonin. Penurunan konsentrasi serotonin terjadi dalam otak
penderita depresi. Selain itu terjadi juga penurunan aktivitas
dopaminergik.
d. Perubahan Endokrin
Pada depresi ditemukan hiperativitas aksis system limbik hipotalamus
hipofisis adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain
itu juga ditemukan juga penurunan hormone lain seperti GH, LH, FSH,
dan testoteron.
e. Masalah Kesehatan
Penyakit dan kecacatan, nyeri yang hebat dan kronis, kemunduran kognitif
serta kerusakan bagian tubuh yang disebabkan karena pembedahan atau
15
2.3.5. Manifestasi
Pada Lansia, gejala depresi meliputi tidak hanya gejala utama yaitu: afek
depresif, anhedonia, dan anergi; ditambah juga gejala tambahan: konsentrasi dan
perhatiannya berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan
tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan
pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur
terganggu, nafsu makan berkurang. Namun juga keluhan lain yang lebih sering
muncul seperti: keluhan somatik (pusing sulit tidur, rasa nyeri, pandangan kabur,
konstipasi, perubahan berat badan), gangguan psikomotor (agitasi/ hiperaktivitas,
acuh, libido menurun, variasi diurnal suasana hati), psikologis (disforik, kognisi
negatif, irritabel, menarik diri). Sehingga pada Depresi Lansia gejala yang kerap
muncul berupa sindroma penurunan (depletion syndrome) seperti penarikan diri,
apatis, kekurangan energi atau kurang aktif.4,9
orang lanjut usia, terutama pada pasien Demensia Alzheimer. Perubahan yang
terjadi dapat berupa penurunan rapid-eye movement, dan slow-wave sleep, yang
menyebabkan terjaga sepanjang hari dan tidak bisa tidur di malam hari.21
Penderita depresi yang mengalami gangguan tidur memperlihatkan
gangguan ritmik sirkardian, sekresi kortisol meningkat malam hari, konsentrasi
melatonin darah menurun, kadar serotonin, noradrenergik, dopamine dan
asetilkolin rendah. Proyeksi neuron tersebut ke berbagai area di otak ini
mendasari keterlibatannya pada gangguan psikiatrik.2
2.4.2. Epidemiologi
Berdasarkanhasil survey CDC (Centers for Disease Control and
Prevention) diperkirakan 50 - 70 juta orang Amerika mengalami gangguan tidur.
Semakin bertambahnya usia seseorang kemungkinan mengalami gangguan tidur
5% pada usia 30 - 50 tahun dan 30% pada usia diatas 50 tahun. Di China 0.18
juta lanjut usia yang lebih dari 60 tahun atau sekitar 13.3%. Dari populasi
tersebut prevalensi gangguan tidur pada lanjut usia antara 6% sampai 40%.16
Berdasarkan WHO menyebutkan bahwa depresi dapat ditandai dengan
suasana hati tertekan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan
bersalah, gangguan makan atau tidur, dan berkurangnya energi serta konsentrasi
yang menurun. Diperkirakan bahwa 154 juta orang di seluruh dunia
mengalaminya.7,8
Depresi pada lansia akan berada pada peringkat teratas penyakit yang
di Negara berkembang termasuk Indonesia pada tahun 2020. Adanya depresi
pada lansia sebagai salah satu faktor emosional yang dapat menyebabkan
gangguan tidur. Adanya perbedaan pola tidur yang dialami oleh lansia yang
mengalami depresi dan cemas dengan lansia yang tidak mengalami depresi.
Prevalensi lansia depresi yang mengalami gangguan tidur sekitar 40%.17
2.4.4. Patofisiologi
Proyeksi neuron tersebut ke berbagai area di otak ini mendasari
keterlibatannya pada gangguan psikiatrik.18 Serotonin berfungsi sebagai pengatur
tidur, selera makan, dan libido.Neuron serotoninergik berproyeksi dari nucleus
rafe dorsalis batang otak ke korteks serebri, hypothalamus, thalamus, basalis
ganglia, septum dan hippocampus.
Sistem serotonin yang berproyeksi ke suprachiasmatic nucleus
hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian, seperti siklus tidur bangun,
suhu tubuh, dan fungsi HypothalamicPituitary-Adrenal (HPA) Axis. Ritmik
sirkardian dikacaukan oleh peningkatan keterjagaan nocturnal, disamping
peningkatan Corticotropin Releasing Hormon (CRH), somatostatin,
hiperkortisol, dan penurunan serotonin terlibat dalam proses ini.
Badan sel neuron noradrenergic terletak di Locus Cereolus (LC) batang
otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbic, basal ganglia,
hipotalamus, dan thalamus.Ia berperan dalam memulai dan mempertahankan
keterjagaan (proyeksi ke limbic dan korteks). Stressor akut dapat meningkatkan
19
aktivasi LC.Selama terjadi aktivasi fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan
maupun tidur menurun. Sedangkan stressor menetap dapat menurunkan kadar
norepinefrin di forebrain medial.Penurunan ini dapat menyebabkan anergia,
anhedonia, dan penurunan libido pada depresi.Sedangkan, sistem mesokorteks-
mesolimbik jaras dopaminergik berproyeksi ke region korteks orbitofrontal dan
prefrontal. Penurunannya pada sistem ini terkait gangguan kognitif, motorik, dan
hedonia sebagai gejala depresi.2
Untuk Neuron kolinergik yang mengandung asetilkolin, terdistribusi difus
di kortex serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem
monoamine. Abnormalitas kadar kolin yang merupakan precursor asetilkolin
terdapat di otak pasien depresi. Sedangkan GABA memiliki efek inhibisi
terhadap monoamine, terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbic,
dimana penurunan GABA tampak pada pasien depresi. Stressor kronik pun dapat
mengurangi kadar GABA.2
Gangguan tidur merupakan gambaran yang paling menonjol pada
gangguan depresi.Sebanyak 50-90% pasien dengan depresi mengeluhkan
gangguan tidur. Insomnia ini tidak hanya dikeluhkan secara subyektif, tetapi juga
secara obyektif, yaitu dengan menggunakan EEG tidur.2
Abnormalitas tidur REM membaik dengan membaiknya depresi. Penelitian
lain menyebutkan abnormalitas tidur REM dan SWS menetap meskipun telah
terjadi remisi atau tidak lagi menggunakan obat. Menetap atau adanya residu
gangguan tidur dikaitkan dengan tingginya risiko kekambuhan. Menetapnya
pengurangan SWS dikaitkan cepatnya atau seringnya terjadi rekuren depresi.2
2.4.5. Tatalaksana
Penelitian telah menemukan terapi perilaku itu mungkin, dalam banyak
kasus, lebih efektif daripada obat untuk insomnia. Di orang dewasa yang lebih
tua yang berisiko lebih besar untuk mengalami efek samping serius yang
berkaitan dengan farmakoterapi untuk insomnia dan yang sering berisiko lebih
20
3.1. Kesimpulan
1. Depresi adalah masalah kesehatan mental yang sering memberikan gejala
samar dan diperlakukan tidak memadai, sehingga karena ketidaktahuan,
sekitar 50% orang depresi tidak mencari bantuan medis. Sebanyak 20% lansia
yang tinggal sendirian di rumah memiliki gejala depresi, dan hanya ada 3-4%
dari mereka yang memenuhi kriteria untuk depresi.
2. Gangguan tidur merupakan gambaran paling menonjol pada gangguan
depresi. Sebanyak 50-90% pasien depresi mengeluhkan gangguan tidur.
DSM-5 mendefinisikan insomnia sebagai gangguan tidak puas dengan
kuantitas/ kualitas tidur, dan salah satu dari: sulit memulai tidur,
mempertahankan tidur, dan bangun terlalu pagi, yang menyebabkan tekanan/
penurunan fungsi setidaknya 3 malam per minggu, minimal 3 bulan.
3. Pada lansia, gangguan tidur terjadi akibat kelemahan ritme alat pacu jantung
sirkadian, berkurangnya sekresi melatonin endogen, dan melemahnya isyarat
lingkungan untuk sikronisasi sirkardian. Depresi Lansia juga berkomorbid
dengan gangguan tidur melalui berbagai neurotransmitter. Beberapa penyakit
medis seringkali berkomorbid dengan Depresi Lansia, yaitu: Penyakit
vaskular, jantung, neurologis, ginjal, hati, diabetes, nyeri, dan gangguan
hormon.
4. Terapi farmakologis dapat diberikan antidepresan (golongan SSRI) dan
antiinsomnia (zalepion, zolpidem). Agomelatin, merupakan terapi terbaru
antidepresan sekaligus agonis melatonergik untuk menyinkronkan kembali
gangguan ritmik sirkardian (gangguan tidur) pada depresi. Sedangkan terapi
norfarmakologis juga penting diperlukan yang meliputi Sleep Hygiene
Program, BBTI, CBT (CBT-I, CBT-D, CBT-I-D).
20
24
DAFTAR PUSTAKA
2. Kaplan, H.I.& Sadock, B.J., 1997. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2, edisi VII.
Jakarta, Binarupa Aksara. Pp : 194-201.
3. Amir N. Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. edisi kedu.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
29–34, 144–147 p.
7. Reiter RJ, Mayo JC, Tan DX, Sainz RM, Alatorre-Jimenez M, Qin L.
Melatonin as an antioxidant: under promises but over delivers. J Pineal Res.
2016;253–78.
22
26
11. Maramis MM. Depresi Pada Lanjut Usia. J Widya Med Surabaya.
2014;Vol.2 No.1(April):39–50.
14. Kementerian Kesehatan RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018.
2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
17. Luo J. Prevalence and risk factors of poor sleep quality among chinese
elderly in an urban community: Results from the Shanghai aging study,PLoS
ONE. 2013;8(11):1–7.
27
19. Michaels MS, Joiner TE. Insomnia and mental disorders Total sleep
time as a predictor of suicidal behaviour. 2017;732–8.