Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

SLEEP DISORDERS IN LATE-LIFE DEPRESSION


(GANGGUAN TIDUR PADA DEPRESI LANSIA)

Oleh:

Indah KurniaSari, S.Ked.

712020016

Pembimbing:
dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS
 

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA


RS. Dr. ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat berjudul
SLEEP DISORDERS IN LATE LIFE DEPRESSION

Dipersiapkan dan disusun oleh


Indah KurniaSari, S.Ked.
712020016

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik SeniorFakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang.

Palembang, Agustus 2021


Dosen Pembimbing

dr. Abdullah Sahab Sp.KJ, MARS

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt, zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk. 
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Sleep Disorders in Late-Life Depression”sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik SeniorFakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah
Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikanterima kasih kepadadr.
Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan.Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah.Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, Agustus 2021

Penulis
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ..………………………..….…………….... i
KATA PENGANTAR …………………..….……………………..………. ii
DAFTAR ISI ...…………………………………………………....………. iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………..……………………. 1
1.2 Batasan Masalah ………………………..………………… 2
1.3 Tujuan Penulisan …………………..……………………. 2
1.4 Manfaat ……...…...………………………………..……….. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologis Siklus Tidur…………..………………………… 3
4
2.2 Gangguan Tidur ……...................………………………..
4
2.2.1. Klasifikasi Gangguan Tidur ……...................…….. 9
9
2.3 Depresi Lansia … .....................................…………….......
10
2.3.1. Definisi… .....................................……………....... 12
14
2.3.2. Epidemiologi… .....................................…………….
14
2.3.3. Klasifikasi… .....................................……………..... 15
15
2.3.4. Etiologi… .....................................…………….......
15
2.3.5. Manifestasi… .....................................…………....... 16
16
2.4 Gangguan Tidur pada Depresi Lansia …………………….
17
2.4.1. Definisi… .....................................…………….......
2.4.2. Epidemiologi… .....................................…………….
20
2.4.3. Etiologi… .....................................……………....
21
2.4.4. Patofisiologi… .....................................……………...
iv

2.4.5. Tatalaksana… .....................................…………….....


BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan …………………………………………….......

DAFTAR PUSTAKA ………………………………..……………….…..


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Orang yang berusia lanjut akan menjadi sangat rentan untuk mengalami
depresi yang disebabkan oleh stres dalam menghadapi perubahan-perubahan
kehidupan. Perubahan kehidupan yang dimaksud antara lain adalah pensiun,
penyakit atau ketidakmampuan fisik, penempatan dalam panti werdha, kematian
pasangan dan kebutuhan untuk merawat pasangan yang kesehatannya menurun.1
Depresi masih belum terlalu diketahui oleh masyarakat awam dan
diperlakukan tidak memadai. Oleh karena ketidaktahuan dan prasangka, sekitar
50% orang yang depresi tidak mencari bantuan medis, sehingga mereka datang
dengan keluhan fisik yang sebenarnya merupakan efek dari gangguan psikiatris.1
Gangguan tidur merupakan gambaran yang paling terlihat pada gangguan
depresi.Didapatkan persentase yaitu 50-90% pasien dengan depresi mengeluhkan
gangguan tidur.3
Gangguan tidur disebabkan oleh beberapa faktor yaitu psikologis dan biologis,
penggunaan obat-obatan dan alkohol, lingkungan yang mengganggu serta
kebiasaan buruk, juga dapat menyebabkan gangguan tidur.Faktor psikologis
memegang peranan utama terhadap kecenderungan insomnia.Biasanya insomnia
disebabkan oleh stres, perubahan hormon, dan kelainan-kelainan kronis.Insomnia
yang terjadi dalam tiga malam atau lebih dalam seminggu dalam jangka waktu
sebulan termasuk insomnia kronis, salah satu penyebab insomnia kronis adalah
depresi. Psikososial yang dialami lansia dapat mengakibatkat kegelisahan yang
mendalam, penurunan kondisi fisik, kemarahan yang tak terkendali, bahkan
dapat mengakibatkan perasaan depresi. 3
Penderita dengan depresi umumnya mengeluhkan gangguan tidur seperti
bangunnya terlalu pagi dan sulit tidur lagi, bersamaan pula dengan sering
terbangun di malam hari.3 Insomnia, salah satunya gejala depresi paling umum
pada usia berapa pun dan terutama pada akhir hidup, merupakan faktor risiko

1
2

independen untuk ide bunuh diri pada orang dewasa dan kematian bunuh diri
pada orang tua.

1.2. Batasan Masalah


Referat ini membahas mengenai gangguan tidur yang dialami pada lansia yang
mengalami depresi.

1.3. Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui bagaimana gangguan tidur yang dialami oleh lansia yang
mengalami depresi terutama pada definisi, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi, serta penatalaksanaan.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang dan Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar.

1.4. Manfaat Penulisan


Menambah wawasan dan pemahaman mengenai gangguan tidur yang
dialami oleh lansia yang mengalami depresi terutama pada definisi, etiologi,
epidemiologi, patofisiologi, etiologi, serta penatalaksanaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologis Siklus Tidur


Kebutuhan tidur seseorang bervariasi, antara 4-6 jam sehari. Kebutuhan ini
sangat relatif tergantung pada umur, status mental, status fisik, dan status sosial
individu. Makin muda usia,makin banyak kebutuhan akan tidur. Pada bayi
membutuhkan tidur sekitar 16 jam. Sedangkan pada orang dewasa berkisar antara
4-8 jam sehari. Peningkatan kebutuhan tidur terjadi pada kerja fisik, latihan,
penyakit, kehamilan, stres mental, dan peningkatan aktivitas mental.2
Pada manusia, siklus tidur-bangun dikendalikan oleh jam endogen yang
beroperasi selama periode 24 jam, disebut ritme sirkadian. Ritme ini
disinkronkan dengan isyarat waktu eksternal ("zeitgebers") seperti siklus
teranggelap, yang berfungsi sebagai isyarat waktu eksternal utama manusia. Alat
pacu jantung sirkadian, terletak di nukleus suprachiasmatic, diketahui merosot
seiring bertambahnya usia, yang mungkin menghasilkan ritme yang lebih lemah,
lebih teratur. Sekresi malam hari dari melatonin endogen dan melemahnya
isyarat lingkungan diketahui memainkan peran penting dalam siklus tidur-
bangun.3,5
Adapun rangkaian sirkuit lain di hipotalamus yang mengatur tidur dan bangun
secara tidak teratur, seperti sakelar "ON" dikenal sebagai wake promoter dan
dilokalisasi dalam tuberomammillary nucleus (TMN) dari hipotalamus; serta
sakelar "OFF" dikenal sebagai promotor tidur dan terlokalisasi dalam
ventrolateral preoptik nukleus (VLPO) hipotalamus. Dua neurotransmiter utama
mengatur sakelar tidur / bangun: histamin dari TMN dan GABA
(GammaAminoButyric Acid) dari VLPO. Dua set neuron lain terlibat sebagai
pengatur saklar tidur / bangun: neuron yang mengandung neuron lateral
hipotalamus (LAT) dan neuron yang peka terhadap melatonin dari
suprachiasmatic nucleus (SCN). Hipotalamus lateral berfungsi untuk
menstabilkan dan meningkatkan keterjagaan melalui neurotransmitter peptida

3
4

yang dikenal dengan dua nama berbeda: orexin dan hypocretin. Sedangkan SCN
adalah jam internal otak, atau alat pacu jantung, dan mengatur input sirkadian ke
saklar tidur-bangun sebagai respons terhadap hormon seperti melatonin, dan oleh
siklus terang atau gelap.5,6,7
Siklus tidur terdiri dari 3 fase, yaitu: fase bangun, fase Non-Rapid Eye
Movement (NREM) dan fase REM. Fase NREM terbagi menjadi 4 tahap yaitu :
- Tahap 1 tidur NREM disebut “drowsy period”, awal tidur yang bila
terbangun kembali, individu sering merasa seperti tidak tidur
- Tahap 2 mulai menunjukkan adanya sleep spindle, merupakan periode
aktivitas dari interaksi thalamus-cortex.
- Tahap 3 dan 4, disebut slow wave sleep (SWS), merupakan tahapan tidur
dalam yang ditandai gelombang Delta.
Fase REM termasuk tidur ringan dan disebut juga paradoxical sleep.
Sedangkan untuk EEG fase REM tidak berbeda dengan fase bangun. Periode
tidur dalam semalam terdiri dari 5 episode aktivitas NREM-REM. Episode REM
pertama muncul sekitar 90 menit setelah tidur, yang disebut REM latency dan
berkurang pada individu dengan depresi, narkolepsi, dan sleep apnea.8
Pada orang dewasa yang lebih tua, secara subyektif dan obyektif, masalah
tidur terkait dengan peningkatan risiko jatuh, akibat gangguan keseimbangan
ambulasi, dan kesulitan visual. Kesulitan tidur kronis pada usia berapa pun dapat
menyebabkan defisit perhatian, respons, memori jangka pendek, dan tingkat
kinerja. Kontributor gangguan tidur pada orang dewasa yang lebih tua dapat
mencakup komorbiditas penyakit medis atau kejiwaan, obat-obatan, gangguan
ritme sirkadian, atau gangguan tidur-bangun tertentu.4

2.2. Gangguan Tidur


Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5 (DSM-5)
mendefinisikan sebagai gangguan dengan keluhan utama tidak puas dengan
kuantitas atau kualitas tidur, setidaknya terkait salah satu dari kesulitan memulai
tidur, mempertahankan tidur, dan bangun terlalu pagi. Gejalanya harus
menyebabkan tekanan yang signifikan atau penurunan fungsi dan harus terjadi
5

setidaknya 3 malam per minggu untuk pada minimal 3 bulan serta semua etiologi
yang memungkinkan (misalnya, Gangguan tidur primer, komorbiditas kondisi
medis atau kejiwaan) harus dipertimbangkan sebelum membuat diagnosis ini.4

2.2.1. Klasifikasi Gangguan Tidur


Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesi III ( PPDGJ III) dan DSM-5 Gangguan tidur terbagi menjadi 2 yaitu
Dyssomnia dan Parasomnia.
A. Dyssomnia
Dyssomnia adalah kondisi psikogenik primer dimana gangguan
utamanya adalah jumlah, kualitas atau waktu tidur yang disebabkan oleh
hal-hal emosional, misalnya insomnia, hypersomnia, gangguan jadwal
tidur jaga.9
Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala
dari gangguan lainnya, baik mental atau fisik.Walaupun gangguan tidur
yang spesifik terlihat secara klinis berdiri sendiri, sejumlah factor
psikiatrik dan atau fisik yang terkait memberikan kontribusi pada
kejadiannya. Secara umum adalah lebih baik membuat diagnosis
gangguan tidur yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang
relevan untuk menjelaskan secara adekuat psikopatologi dan atau
patofisiologinya.9
1. Insomnia (F51.0)
Hal tersebut dibawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti :9
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan
tidur atau kualitas tidur yang buruk
b. Ganggaun terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama
minimal satu bulan
6

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan


peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan
sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau
obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.9
Semua komorbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan
terapi sendiri.Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk
menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi
individual.Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria diatas (seperti
pada “transient insomnia”) tidak di diagnosis disini, dapat dimasukkan
dalam Reaksi stress Akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2).9

2. Hipersomnia (F51.1)
Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :9
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya
serangan tidur/”sleep attacks”(tidak disebabkan oleh jumlah
tidur yang kurang), dan atau transisi yang memanjang dari saat
mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya (sleep drunkness).
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 pendek,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi dalam sosial dan pekerjaan
c. Tidak ada gejala tambahan “narcolepsy” (cataplexy, sleep
paralysis, hypnagogic hallucination) atau bukti klinis untuk
“sleep apnoe” (nocturnal breath cessation, typical intermittent
snoring sounds, etc)
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan
gejala rasa kantuk pada siang hari
7

Bila hypersomnia hanya hanya merupakan salah satu gejala dari


gangguan jiwa lain, misalnya gangguan afektif, maka diagnosisnya
harus sesuai dengan gangguan yang mendasarinya. Diagnosis
hypersomnia psikogenik harus ditambahkan bila hypersomnia
merupakan keluhan yang dominan dari penderita dengan gangguan jiwa
lainnya.9

3. Gangguan Jadwal Tidur Jaga (F51.2)


Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a. Pola tidur jaga dari individu tidak seirama (out of synchrony)
dengan pola tidur jaga yang normal bagi masyarakat setempat
b. Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan hypersomnia pada
waktu kebanyakan orang jaga, yang dialami hampir setiap hari
untuk sedikitnya 1 bulan atau berulang dngan kurun waktu yang
lebih pendek.
c. Ketidakpuasan dalam kuantitas, kualitas, dan waktu tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
Adanya gejala gangguan jiwa lain, seperti anxietas, depresi,
hipomania, tidak menutup kemungkinan diagnosis gangguan jadwal
tidur jaga non-organik, yang penting adanya dominasi gambaran klinis
gangguan ini pada penderita. Apabila gejala gangguan jiwa lain cukup
jelas dan menetap harus dibuat diagnosis gangguan jiwa yang spesifik
secara terpisah.9

B. Parasomnia
Parasomnia adalah peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama
tidur, misalnya pada kanak-kanak yangmana hal ini terkait pada
perkembangan anak, sedangkan pada orang dewasa terutama pengaruh
psikogenik.9
8

1. Somnabulisme (sleepwalking)
Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :
a. Gejala yang utama adalaha satu atau lebih episode bangun dari
tempat tidur, biasanya pada spertiga awal tidur malam, dan terus
berjalan-jalan (kesadaran berubah)
b. Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong
(blank, staring face) relatif tak memberikan respon terhadap
upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan atau untuk
berkomunikasi dengan penderita, dan hanya dapat
disadarkan/dibangunkan dari tidurnya dengan susah payah
c. Pada waktu sadar atau bangun (setelah satu episode atau besok
paginya), individu tidak ingat apa yang terjadi
d. Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode
tersebut, tidak ada gangguan aktivitas mental, walaupun dapat
dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam waktu
singkat.
e. Tidak adanya bukti gangguan mental organik
Somnabulisme harus dibedakan dari serangan epilepsy psikomotor
dan fugue disosiatif (F44.1)9
2. Teror Tidur (Night Terrors) (F51.4)
Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :
a. Gejala utama adalah satuatau lebih episode bangun dari tidur,
mulai dengan berteriak karena panic disertai anxietas yang hebat,
seluruh tubuh bergetar, dan hiperaktivitas otonomik seperti
jantung berdebar-debar, nafas cepat, pupil melebar, dan
berkeringat.
b. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1-10
menit dan biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur malam.
c. Secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain
untuk mempengaruhi keadaan terror tidur nya dan kemudian
9

dalam beberapa menit setelah bangun biasanya terjadi


disorientasi dan gerakan-gerakan berulang
d. Ingatan terhadap kejadian, kalaupun ada, sangat minimal
(biasanya terbatas pada satu atau dua bayangan-bayangan yang
terpilah-pilah)
e. Tidak adanya bukti gangguan mental organik
Terror tidur harus dibedakan dari mimpi buruk (F51.5) yang
biasanya terjadi setiap saat dalam tidur, mudah dibangunkan, dan
teringat jelas dengan kejadiannya.9

3. Mimpi Buruk (Nightmare) (F51.5)


Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :9
a. Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan
mimpi yang menakutkan yang dapat diingat kembali dengan
rinci dan jelas (vivid) biasanya perihal ancaman kelangsungan
hidup, keamanan, atau harga diri. Terbangunnya dapat terjadi
kapan saja selama periode tidur, tetapi yang khas adalah pada
paruh kedua masa tidur
b. Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera
sadar penuh dan mampu mengenali lingkungannya
c. Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu
menyebabkan penderitaan cukup berat bagi individu
Sangat penting untuk membedakan mimpi buruk dari terror tidur,
dengan memperhatikan gambaran klinis yang khas untuk masing-
masing gangguan.9

2.3. Depresi Lansia


2.3.1. Definisi
Depresi adalah suatu sindrom yang ditandai sejumlah gejala klinik yang
manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. 2 Depresi Lansia
10

adalah bukan sekedar perasaan sedih.Depresi mengenai seluruh diri individu


termasuk perasaan, pikiran dan kesehatan fisik. Depresi Lansia sulit diketahui,
dapat tampak sebagai bagian gejala penyakit medis lain. Umumnya keluarga dan
caregiver melihat gejala depresi sebagai bagian normal dari proses penuaan dan
sebagai akibat kehilangan dalam kehidupan yang dialami oleh semua manusia.10
Menurut WHO , Lanjut usia dikelompokkan menjadi :
1. Usia pertengahan ( Middle age) : kelompok usia 45-59 tahun
2. Lanjut Usia (Ederly) : antara 60 dan 74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) antara 75 dan 90 tahun
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth
Edition (DSM-V), seseorang dikatakan depresi jika setidaknya selama dua
minggu mengalami minimal lima dari sembilan kriteria berikut, yaitu :9
- adanya perasaan depresi yang muncul di sebagian besar waktu, bahkan hampir
setiap hari
- adanya penurunan minat dan kesenangan di hampir sebagian besar kegiatan
dan hampir setiap hari
- adanya perubahan berat badan atau nafsu makan yang signifikan
- adanya perubahan tidur: menjadi insomnia atau hypersomnia
- adanya perubahan aktivitas
- merasa kelelahan dan kehilangan energi
- munculnya perasaan bersalah atau tidak berharga yang berlebihan dan
sebenarnya tidak pantas muncul
- mengalami penurunan konsentrasi
- memiliki pikiran berulang tentang kematian (tidak hanya takut mati), adanya
keinginan bunuh diri berulang tanpa rencana spesifik, usaha bunuh diri, atau
rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri9

2.3.2. Epidemiologi
Prevalensi depresi di dunia pada tahun 2017 tercatat 264 juta jiwa yang
mengalami depresi dengan perbandingan persentase perempuan lebih tinggi
11

dengan persentase 4,1% dibandingkan dengan persentase laki-laki yaitu sebesar


2,7%.11Depresi dapat terjadi pada usia berapapun tetapi biasanya mulai terjadi
depresi pada usia remaja, dewasa dan lansia. Usia remaja dan dewasa
prevalensinya lebih rendah dibandingkan dengan lansia. Prevalensi depresi
tertinggi terjadi pada usia 55-70 tahun dan lebih tinggi pada wanita yaitu 7,5%
dibandingkan dengan pria 5,5%. Selain itu, kasus depresi banyak terjadi pada
negara berkembang dengan tingkat pendapatan ekomoni yang rendah. Dalam
waktu 10 tahun terakhir dari tahun 2005 sampai 2015 prevalensi orang yang
mengalami depresi didunia telah meningkat sebanyak 18,4%. Depresi berada
pada posisi ke-4 sebagai penyakit yang mengancam masyarakat di dunia.
Diperkirakan pada tahun 2020 depresi akan menduduki peringkat kedua setelah
penyakit jantung.12
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2018) diketahui prevalensi
depresi pada penduduk Indonesia usia ≥15 tahun sebesar 6,1%. Hanya 9% dari
penderita depresi yang mendapatkan pengobatan, selebihnya (91%) tidak
mendapatkan pengobatan.Selain itu, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia mengalami peningkatan. Hal
ini diketahui dari hasil Riset Kesehatan Dasar (2013), sekitar 6% prevalensi
gangguan mental emosional dengan menunjukkan gejala kecemasan dan depresi,
ternyata 14,3% diantaranya atau sekitar 57.000 orang pernah atau sedang
dipasung. Sedangkan pada hasil Riset Kesehatan Dasar (2018), prevalensi
gangguan emosional mengalami peningkatan menjadi 9,8%. Dengan prevalensi
tertinggi gangguan mental emosional di Sulawesi Tengah (19,8%). Sedangkan
Jambi (3,6%) sebagai propinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional
terendah.13

2.3.3. Klasifikasi
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat) :
- afek depresif
- kehilangan minat dan kegembiraan, dan
12

- berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah


(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
A. Depresi Ringan (F32.0)
- sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut diatas
- ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
- tidak ada boleh gejala yang berat diantaranaya
- lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekrjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukan

B. Depresi Sedang (F32.1)


- sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode ringan ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya
4) dari gejala lainnya
- lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
- menghadapi kesultan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumaht
- ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
- tidak ada boleh gejala yang berat diantaranaya
- lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekrjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukan

C. Episode Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik (F32.2)


- Semua 3 gejala utama depresi harus ada
13

- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di


antaranya harus berintensitas berat
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas
D. Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3)
- Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 diatas
- Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupir.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai
serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

2.3.4. Etiologi
Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut
berupa :
1. Factor Biologis
a. Factor genetis
14

Diduga gen dominan yang berperan pada depresi ini terikat pada
kromosom 11 gangguan diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang
dari orangtua mempunyai Riwayat depresi maka 27% anaknya akan
menderita gangguan tersebut. Sedangkan jika kedua orangtua menderita
depresi maka kemungkinan meningkat menjadi 50- 75%.
b. Gangguan pada Otak
Yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai salah satu penyebab
timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut adalah penyakit
cerebrovascular, yang mana gangguan ini dapat sebagai factor
predisposisi, presipitasi atau mempertahankan gejala- gejala gangguan
depresif pada usia lanjut.
c. Gangguan Neurotransmitter / Biogenik Amin
Istilah biogenik amin umunya digunakan untuk komponen katekolamin,
norepinefrin, epinefrin, dopamine dan serotonin. Sistem neuron
menggunakan biogenik amin relative kecil dalam sekelompok sel yang
berada di otak.
Biogenik amin dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai neurotransmitter.
Neurotransmitter yang banyak berperan pada depresi adalah norepinefrin
dan serotonin. Penurunan konsentrasi serotonin terjadi dalam otak
penderita depresi. Selain itu terjadi juga penurunan aktivitas
dopaminergik.
d. Perubahan Endokrin
Pada depresi ditemukan hiperativitas aksis system limbik hipotalamus
hipofisis adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain
itu juga ditemukan juga penurunan hormone lain seperti GH, LH, FSH,
dan testoteron.
e. Masalah Kesehatan
Penyakit dan kecacatan, nyeri yang hebat dan kronis, kemunduran kognitif
serta kerusakan bagian tubuh yang disebabkan karena pembedahan atau
15

penyakit dapat menyebabkan individu lanjut usia jatuh ke dalam kondisi


depresi.
Kondisi medis yang dapat menyebabkan depresi :
1. Infeksi virus
2. Gangguan endokrin tertentu ( missal gangguan thyroid, Cushing’s
syndrome, insufisiensi kelenjar adrenal, hiperparathyroidisme)
3. Keganasan
4. Penyakit cerebrovascular ( stroke, dementia vascular, tumor system
saraf pusat, penyakit Alzheimer, systemic lupus erythematosus)
5. Penyakit Parkinson
6. Infark Myocard
7. Gangguan metabolik ( defisiensi vitamin B12 atau asam folat ,
malnutrisi)
2. Faktor psikologis
a. Teori Perilaku
Dari konsep teori perilaku terjadinya gangguan depresif pada individu usia
lanjut oleh karena orang – orang usia lanjut cukup banyak mengalami
peristiwa- peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau yang cukup
berat sehingga terjadinya gangguan depresif tersebut sebagai respons
perilaku terhadap stressor- stressor kehidupan yang dialaminya tersebut.
b. Teori Psikodinamis
Berdasarkan teori psikodinamis, terjadinya gangguan depresif pada orang
usia lanjut, oleh karena pada orang usia lanjut sering terjadi
ketidaksanggupan untuk menyelesaikan pencarian pemulihan sekunder
dari peristiwa- peristiwa kehilangan yang tak terelakkan oleh individu
tersebut.
c. Teori Kognitif
Salah satu teori psikologis tentang terjadinya gangguan depresif adalah
terjadinya distorsi kognitif. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana
16

interpretasi seseorang terhadap peristiwa- peristiwa kehidupan yang


dialaminya.
Terjadinya distorsi kognitif pada orang usia lanjut oleh karena pada
individu usia lanjut tersebut memiliki harapan- harapan yang tidak realistis
dan membuat generalisasi yang berlebih-lebihan terhadap peristiwa
kehidupan tertentu yang tidak menyenangkan individu tersebut.

2.3.5. Manifestasi
Pada Lansia, gejala depresi meliputi tidak hanya gejala utama yaitu: afek
depresif, anhedonia, dan anergi; ditambah juga gejala tambahan: konsentrasi dan
perhatiannya berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan
tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan
pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur
terganggu, nafsu makan berkurang. Namun juga keluhan lain yang lebih sering
muncul seperti: keluhan somatik (pusing sulit tidur, rasa nyeri, pandangan kabur,
konstipasi, perubahan berat badan), gangguan psikomotor (agitasi/ hiperaktivitas,
acuh, libido menurun, variasi diurnal suasana hati), psikologis (disforik, kognisi
negatif, irritabel, menarik diri). Sehingga pada Depresi Lansia gejala yang kerap
muncul berupa sindroma penurunan (depletion syndrome) seperti penarikan diri,
apatis, kekurangan energi atau kurang aktif.4,9

2.4. Gangguan Tidur pada Depresi Lansia


2.4.1. Definisi
Penuaan dikaitkan dengan penurunan kualitas tidur, dan tersebar luas di
antara orang dewasa lanjut usia. Sebanyak 40% orang lanjut usia melaporkan
masalah tidur, dan sebanyak 50-90% pasien dengan depresi mengeluhkan adanya
gangguan tidur. Keluhan tidur yang sering dikemukakan adalah sulitnya masuk
tidur, seringnya terbangun di malam hari, dan terbangun dini hari. Kualitas tidur
yang buruk pada lanjut usia dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan
kognitif dan demensia.2,3,19,20Perubahan irama sirkardian terjadi pada banyak
17

orang lanjut usia, terutama pada pasien Demensia Alzheimer. Perubahan yang
terjadi dapat berupa penurunan rapid-eye movement, dan slow-wave sleep, yang
menyebabkan terjaga sepanjang hari dan tidak bisa tidur di malam hari.21
Penderita depresi yang mengalami gangguan tidur memperlihatkan
gangguan ritmik sirkardian, sekresi kortisol meningkat malam hari, konsentrasi
melatonin darah menurun, kadar serotonin, noradrenergik, dopamine dan
asetilkolin rendah. Proyeksi neuron tersebut ke berbagai area di otak ini
mendasari keterlibatannya pada gangguan psikiatrik.2

2.4.2. Epidemiologi
Berdasarkanhasil survey CDC (Centers for Disease Control and
Prevention) diperkirakan 50 - 70  juta orang Amerika mengalami gangguan tidur.
Semakin bertambahnya usia seseorang kemungkinan mengalami gangguan tidur
5% pada usia 30 - 50 tahun dan 30% pada usia diatas 50 tahun. Di China 0.18
juta lanjut usia yang lebih dari 60 tahun atau sekitar 13.3%. Dari populasi
tersebut prevalensi gangguan tidur pada lanjut usia antara 6% sampai 40%.16
Berdasarkan WHO menyebutkan bahwa depresi dapat ditandai dengan
suasana hati tertekan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan
bersalah, gangguan makan atau tidur, dan berkurangnya energi serta konsentrasi
yang menurun. Diperkirakan bahwa 154 juta orang di seluruh dunia
mengalaminya.7,8
Depresi pada lansia akan berada pada peringkat teratas penyakit yang
di Negara berkembang termasuk Indonesia pada tahun 2020. Adanya depresi
pada lansia sebagai salah satu faktor emosional yang dapat menyebabkan
gangguan tidur. Adanya perbedaan pola tidur yang dialami oleh lansia yang
mengalami depresi dan cemas dengan lansia yang tidak mengalami depresi.
Prevalensi lansia depresi yang mengalami gangguan tidur sekitar 40%.17

2.4.3. Etiologi Gangguan Tidur pada Depresi Lansia


18

Penderita depresi yang mengalami gangguan tidur memperlihatkan


gangguan ritmik sirkardian, sekresi kortisol meningkat malam hari, konsentrasi
melatonin darah menurun, kadar serotonin, noradrenergic, dopamine dan
asetilkolin rendah.2
Adapun beberapa penyebab gangguan tidur pada lansia meliputi: penyakit
Fisik/Medis {radang sendi, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), CHF
(Congestive Heart Failure), BPH (Benign Prostat Hyperplasia), gangguan
neurologis}; gangguan kejiwaan/ psikiatri (65% depresi berat, 61% gangguan
panik, dan 44% gangguan kecemasan); obat-obatan (β-blocker, bronkodilator,
kortikosteroid, dekongestan, dan diuretik, juga obat-obatan kardiovaskular,
neurologis, psikiatrik, dan gastrointestinal lainnya); serta aktivitas imun (sitokin
seperti IL-2, Interferon α2, dan factor nekrosis tumor, Natural Killer (NK) pada
depresi), selanjutnya berimplikasi pada beratnya insomnia.2

2.4.4. Patofisiologi
Proyeksi neuron tersebut ke berbagai area di otak ini mendasari
keterlibatannya pada gangguan psikiatrik.18 Serotonin berfungsi sebagai pengatur
tidur, selera makan, dan libido.Neuron serotoninergik berproyeksi dari nucleus
rafe dorsalis batang otak ke korteks serebri, hypothalamus, thalamus, basalis
ganglia, septum dan hippocampus.
Sistem serotonin yang berproyeksi ke suprachiasmatic nucleus
hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian, seperti siklus tidur bangun,
suhu tubuh, dan fungsi HypothalamicPituitary-Adrenal (HPA) Axis. Ritmik
sirkardian dikacaukan oleh peningkatan keterjagaan nocturnal, disamping
peningkatan Corticotropin Releasing Hormon (CRH), somatostatin,
hiperkortisol, dan penurunan serotonin terlibat dalam proses ini.
Badan sel neuron noradrenergic terletak di Locus Cereolus (LC) batang
otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbic, basal ganglia,
hipotalamus, dan thalamus.Ia berperan dalam memulai dan mempertahankan
keterjagaan (proyeksi ke limbic dan korteks). Stressor akut dapat meningkatkan
19

aktivasi LC.Selama terjadi aktivasi fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan
maupun tidur menurun. Sedangkan stressor menetap dapat menurunkan kadar
norepinefrin di forebrain medial.Penurunan ini dapat menyebabkan anergia,
anhedonia, dan penurunan libido pada depresi.Sedangkan, sistem mesokorteks-
mesolimbik jaras dopaminergik berproyeksi ke region korteks orbitofrontal dan
prefrontal. Penurunannya pada sistem ini terkait gangguan kognitif, motorik, dan
hedonia sebagai gejala depresi.2
Untuk Neuron kolinergik yang mengandung asetilkolin, terdistribusi difus
di kortex serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem
monoamine. Abnormalitas kadar kolin yang merupakan precursor asetilkolin
terdapat di otak pasien depresi. Sedangkan GABA memiliki efek inhibisi
terhadap monoamine, terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbic,
dimana penurunan GABA tampak pada pasien depresi. Stressor kronik pun dapat
mengurangi kadar GABA.2
Gangguan tidur merupakan gambaran yang paling menonjol pada
gangguan depresi.Sebanyak 50-90% pasien dengan depresi mengeluhkan
gangguan tidur. Insomnia ini tidak hanya dikeluhkan secara subyektif, tetapi juga
secara obyektif, yaitu dengan menggunakan EEG tidur.2
Abnormalitas tidur REM membaik dengan membaiknya depresi. Penelitian
lain menyebutkan abnormalitas tidur REM dan SWS menetap meskipun telah
terjadi remisi atau tidak lagi menggunakan obat. Menetap atau adanya residu
gangguan tidur dikaitkan dengan tingginya risiko kekambuhan. Menetapnya
pengurangan SWS dikaitkan cepatnya atau seringnya terjadi rekuren depresi.2

2.4.5. Tatalaksana
Penelitian telah menemukan terapi perilaku itu mungkin, dalam banyak
kasus, lebih efektif daripada obat untuk insomnia. Di orang dewasa yang lebih
tua yang berisiko lebih besar untuk mengalami efek samping serius yang
berkaitan dengan farmakoterapi untuk insomnia dan yang sering berisiko lebih
20

besar untuk mengalami polifarmasi, pendekatan nonfarmakologis harus menjadi


yang pertama pilihan pengobatan dipertimbangkan.20
Untuk penatalaksanaan secara umum adalah kombinasi dengan intervensi
farmakologis dan nonfarmakologis.Intervensi farmakologis dapat diberikan
mulai antidepressant (golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor/ SSRI,
modulator reseptor benzodiazepine, agonis reseptor melatonin, dan inhibitor
reseptor orexin). Agomelatin, antidepresan baru, yang bekerja sebagai agonis
melatonergik dan antagonis pada reseptor 5HT2C dapat menyinkronkan kembali
gangguan ritmik sirkardian sehingga bermanfaat pada depresi.20
Untuk Depresi Lansia, Antidepresan golongan SSRI dapat ditoleransi
dengan baik, namun jangan diberhentikan langsung, harus di-tappering down,
karena dapat terjadi mual dan diare serta efek samping seksual. Pada dosis tinggi
terjadi hiponatremia (SIADH/ Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
Secretion). Fluoxetin bukan obat pilihan untuk lansia karena waktu paruh yang
panjang hingga 4-6 hari, metabolitnya 9 hari serta potensi interaksi obat, juga
menginduksi ansietas, gangguan tidur dan agitasi, serta efek samping
antikolinergiknya. Meskipun benzodiazepin umumnya diresepkan untuk
insomnia di orang dewasa yang lebih tua, ada risiko signifikan yang terkait
dengan kelas obat ini, terutama pada orang dewasa yang lebih tua, termasuk yaitu
peningkatan risiko jatuh, gangguan kognitif, dan kecelakaan berkendara.20
Pengobatan Non-Farmakologis meliputi penerapan perilaku yang efektif
(seperti CBT, BBTI, Sleep Hygiene Program dan Manipulasi lingkungan/ sosial.
Untuk masalah gangguan tidur, menurut rekomendasi The Consensus Statement
(NIH, 1990) dicanangkan Sleep Hygiene Programs4,19,20
1. Pembiasaan waktu tidur dan bangun
2. Menggunakan kamar tidur khusus untuk tidur
3. Jam makan yang teratur
4. Menurunkan intake cairan di malam hari
5. Menghindari alkohol,kafein, dan nikotin
6. Melakukan ritual sebelum tidur
21

7. Meminimalkan cahaya dan kebisingan di waktu tidur dan sepanjang malam.


8. Termasuk menghindari beberapa jenis obat seperti diuretik, antidepresan
(SSRI, SNRI) yang agar tidak dikonsumsi malam hari.
Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) untuk insomnia telah terbukti
memiliki kemanjuran jangka pendek dan jangka panjang pada orang dewasa
yang lebih muda dan lebih tua. Pendekatan ini menggabungkan kontrol stimulus
dan atau pembatasan tidur dengan restrukturisasi kognitif, kebersihan tidur yang
baik (satu set pedoman untuk kebisaaan tidur-bangun yang sehat), dan relaksasi.
Program dari CBT biasanya terdiri dari 6-10 sesi mingguan yang dikelola oleh
khusus dokter terlatih.19,20
Brief Behavoural Therapy for Insomnia (BBTI) memiliki fokus perilaku
eksklusif; komponen inti adalah kontrol stimulus dan pembatasan tidur. Beberapa
uji acak dilakukan dan menunjukkan BBTI efektif pada orang dewasa yang lebih
tua.4Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia (CBTI) berasal dari prinsip
terapi Cognitive Behavioural Therapy for Depression (CBT-D) yang sudah
mapan. CBT-D adalah pengobatan yang efektif untuk dewasa lebih tua untuk
mengurangi keparahan depresi.Meskipun demikian, CBT-D tidak termasuk
intervensi CBT-I yang hanya mengatasi komorbiditas insomnia. Aktivasi
perilaku, atau penjadwalan aktivitas, adalah intervensi pertama yang dimasukkan
dalam program CBT-D. Aktivasi perilaku dapat disinkronkan dengan strategi
CBT-I seperti kontrol stimulus, pembatasan tidur dan kebersihan tidur untuk
meningkatkan efek terapeutik.19Pembingkaian atau restrukturisasi kognitif adalah
intervensi inti dalam program CBT-I dan CBT-D.
Program standar CBT-I secara khusus menargetkan keyakinan
disfungsional tentang tidur, daripada menangani kognisi aneh dan suasana hati
yang tertekan.Dalam CBT hibrida untuk program insomnia dan depresi/
Cognitive Behavioural Therapy for Insomnia and Depression (CBT-I-D),
restrukturisasi kognitif dapat diperluas untuk mengatasi kedua keyakinan
disfungsional tentang tidur dan pikiran otomatis negatif yang memicu depresi
22

komorbiditas. Namun bukti terbaru yang menjanjikan menunjukkan bahwa CBT-


I memiliki dampak positif pada insomnia dan keparahan depresi.19,20
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
1. Depresi adalah masalah kesehatan mental yang sering memberikan gejala
samar dan diperlakukan tidak memadai, sehingga karena ketidaktahuan,
sekitar 50% orang depresi tidak mencari bantuan medis. Sebanyak 20% lansia
yang tinggal sendirian di rumah memiliki gejala depresi, dan hanya ada 3-4%
dari mereka yang memenuhi kriteria untuk depresi.
2. Gangguan tidur merupakan gambaran paling menonjol pada gangguan
depresi. Sebanyak 50-90% pasien depresi mengeluhkan gangguan tidur.
DSM-5 mendefinisikan insomnia sebagai gangguan tidak puas dengan
kuantitas/ kualitas tidur, dan salah satu dari: sulit memulai tidur,
mempertahankan tidur, dan bangun terlalu pagi, yang menyebabkan tekanan/
penurunan fungsi setidaknya 3 malam per minggu, minimal 3 bulan.
3. Pada lansia, gangguan tidur terjadi akibat kelemahan ritme alat pacu jantung
sirkadian, berkurangnya sekresi melatonin endogen, dan melemahnya isyarat
lingkungan untuk sikronisasi sirkardian. Depresi Lansia juga berkomorbid
dengan gangguan tidur melalui berbagai neurotransmitter. Beberapa penyakit
medis seringkali berkomorbid dengan Depresi Lansia, yaitu: Penyakit
vaskular, jantung, neurologis, ginjal, hati, diabetes, nyeri, dan gangguan
hormon.
4. Terapi farmakologis dapat diberikan antidepresan (golongan SSRI) dan
antiinsomnia (zalepion, zolpidem). Agomelatin, merupakan terapi terbaru
antidepresan sekaligus agonis melatonergik untuk menyinkronkan kembali
gangguan ritmik sirkardian (gangguan tidur) pada depresi. Sedangkan terapi
norfarmakologis juga penting diperlukan yang meliputi Sleep Hygiene
Program, BBTI, CBT (CBT-I, CBT-D, CBT-I-D).

20
24
DAFTAR PUSTAKA

1. Alibasic E, Ramic E, Bajraktarevic A, Karic E, BaticMujanovic O, Ramic I, et


al. Geriatric Depression in Family Medicine. Mater Socio Medica.
2018;30(1):26.

2. Kaplan, H.I.& Sadock, B.J., 1997. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2, edisi VII.
Jakarta, Binarupa Aksara. Pp : 194-201.
3. Amir N. Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. edisi kedu.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
29–34, 144–147 p.

4. Dehghanmenhr S, Shadadi H, Mansouri A, Arbabisarjou A. Effect of oral


saffron capsules on sleep quality in patients with diabetes at Zabol-Iran. Bali
Med J. 2017;6(3):595-600.

5. Sadock BJ et al. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry.


tenth edit. New York: Wolters Kluwer; 2017.

6. Xie Z, Chen F, Li WA, Geng X, Li C, Meng X, et al. A review of sleep


disorders and melatonin. Neurol Res [Internet]. 2017;39(6):559–65. Available
from: http://dx.doi.org/10.1080/01616412.2017.1315864

7. Reiter RJ, Mayo JC, Tan DX, Sainz RM, Alatorre-Jimenez M, Qin L.
Melatonin as an antioxidant: under promises but over delivers. J Pineal Res.
2016;253–78.

8. Stahl SM, Dunitz M. Psychopharmacology of Antipsychotics. UK:


Cambridge Univercity Press; 2013.

22
26

9. Higgins, Edmund S. MSG. The Neuroscience of Clinical Psychiatry : The


Pathophysiology of Behaviour and Mental Illness. USA: Lippincott Williams
& Wilkins; 2007. 141–152 p.

10. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-


III dan DSM-V. 2013. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.

11. Maramis MM. Depresi Pada Lanjut Usia. J Widya Med Surabaya.
2014;Vol.2 No.1(April):39–50.

12. Ritchie H, Roser M. Our World in data : Mental health. 2017.


Published on April 2018. https://ourworldindata.org/mental-health

13. World Health Organization. Depression Other Common Mental


Disorders: Global Health Estimate. 2017. Pusat Data Kesehatan Dunia,
Geneva.

14. Kementerian Kesehatan RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018.
2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

15. Chigogora S, Zaninotto P, Kivimaki M, Steptoe A, Batty GD. Insulin-


like growth factor 1 and risk of depression in older people : the English
Longitudinal Study of Ageing. Nat Publ Gr. 2016;6(July):1–7.

16. Casey DA. Depression in Older Adults : A Treatable Medical


Condition Depression Antidepressants Electroconvulsive therapy. Prim Care
Clin Off Pract. 2017;1–12.

17. Luo J. Prevalence and risk factors of poor sleep quality among chinese
elderly in an urban community: Results from the Shanghai aging study,PLoS
ONE. 2013;8(11):1–7.
27

18. Raharja, E.A. Hubungan antara tingkat depresi dengan kejadian


insomnia pada lanjut usia di Karang Werdha Semeru Jaya
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Skripsi. 2013;1-115.

19. Michaels MS, Joiner TE. Insomnia and mental disorders Total sleep
time as a predictor of suicidal behaviour. 2017;732–8.

20. Sadler P, Mclaren S, Klein B, Jenkins M. Advancing cognitive


behaviour therapy for older adults with comorbid insomnia and depression.
Cogn Behav Ther. 2017;6073(August):1–16.

21. Angkawidjaja, Sutjipto. Sleep Disorders in Late-Life Depression :


Jurnal Psikiatri Surabaya. 2020 ; 9(1):1-6.

Anda mungkin juga menyukai