Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

PSIKOLOGI ABNORMAL
GANGGUAN KEPRIBADIAN

Dosen Pengampu :Andy Chandra S.Psi,M.Psi,Psikolog

D
I
S
U
S
U
N

OLEH:

Nur Kasih (218600237)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Berkah, Rahmat,
Karuniadan Ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
untukmata kuliah Psikologi Abnormal dengan judul “Gangguan kepribadian ”.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalamanbagi para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
dapatdipraktekkan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam penulisan makalah ini, kami para penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang
dimilikipenulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pembaca sangat diharapkan, guna
perbaikandan pernyempurnaan hasil makalah ini. Tak lupa menyampaikan permohonan maaf
jikadalam penulisan makalah ini terdapat kekeliruan dan kekurangan. Demikian dan terima
kasih.

Jumat,05Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
1.2. Rumusan masalah..............................................................................................1
1.3. Tujuan................................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................................................3
2.1 Menggambarkan ciri umum gangguan kepribadian........................3-5
2.2 Tantangan dalam riset gangguan kepribadian.................................5-8
2.3 Gangguan kepribadian Klaster A.............................................................8
2.3.1 Gangguan kepribadian Paranoid................................................................8-10
2.3.2 Gangguan kepribadian Skizoid................................................................10-11
2.3.3 Gangguan kepribadian Skizotip..............................................................11-13
2.4 Gangguan kepribadian Klaster B..........................................................14
2.4.1 Gangguan kepribadian Histrionik............................................................14-15
2.4.2 Gangguan kepribadian Narsistik..............................................................15-17
2.4.3 Gangguan kepribadian Antisosial.............................................................17-19
2.4.4 Gangguan kepribadian Ambang...............................................................19-21
2.5 Gangguan kepribadian Klaster C...........................................................22
2.5.1 Gangguan kepribadian Menghindar.........................................................22-23
2.5.2 Gangguan kepribadian Dependen............................................................23-25
2.5.3 Gangguan kepribadian obsesif kompulsif...............................................26-28
2.6 Faktor Penyebab Umum Untuk Gangguan Kepribadian..................28
2.7 Perawatan Gangguan Kepribadian dan Hasilnya...............................29

2.7.1 Terapeutik untuk Gangguan kepribadian yang spesifik..............................29


2.7.2 Perawatan Terhadap gangguan Kepribadian Ambang............................30-31
2.7.3 Perawatan terhadap Gangguan kepribadian lain..........................................31
2.8 Masalah-masalah dengan penggolongan gangguan kepriadian..................31-33
2.9 Penyebab menurut perspektif teoritis..............................................................33
BAB 3 PENUTUP........................................................................................................................34
3.1 Kesimpulan......................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................35
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat kita dewasa, kebanyakan dari kita memiliki kepribadian yang selaras dengan
tuntutan masyarakat. Dengan kata lain, kita dengan mudah mematuhi sebagian besar harapan
masyarakat. Kita berangkat ke sekolah atau bekerja, kita menghormati kewajiban keuangan
kita, dan kita mengembangkan dan mencoba untuk mempertahankan hubungan. Kita juga
sadar siapakah diri kita. Sebaliknya, ada beberapa orang yang, walaupun mereka tidak selalu
menunjukkan simtom yang jelas dari sebagian besar gangguan yang dibahas dalam buku ini,
namun memiliki sifat-sifat tertentu yang sangat tidak fleksibel dan tidak sesuai, sehingga
mereka tidak dapat berfungsi secara efektif atau memenuhi tuntutan masyarakat mereka.
Dalam kasus seperti itu, kita bisa mengatakan bahwa orang tersebut memiliki gangguan
kepribadian (personality disorder).
Gangguan kepribadian DSM-5 dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Ini diturunkan
berdasarkan pada apa yang pada awalnya dianggap sebagai kesamaan penting dari gambaran
di antara gangguan dalam kelompok tertentu. Klaster A: Meliputi gangguan kepribadian
paranoid (paranoid), skizoid (schizoid), dan skizotip (schizotypical). Klaster B: Meliputi
gangguan kepribadian histrionic (histrionic), narsistik (narcissistic), antisosial (antisocial),
dan ambang (borderline). Klaster C: Meliputi gangguan kepribadian penghindaran (avoidant),
kebergantungan (dependent), dan obsesif kompulsif (obsessive-compulsive). Gangguan
kepribadian biasanya tidak berasal dari reaksi yang melemahkan terhadap stres yang dialami
sebelumnya, seperti gangguan stres pascatraumatik (PTSD) atau banyak kasus depresi berat.
Sebaliknya, gangguan ini sebagian besar berasal dari perkembangan bertahap pola
kepribadian dan perilaku yang tidak fleksibel dan terdistorsi yang menghasilkan cara-cara
berpikir tentang sesuatu, cara memersepsi, dan cara berhubungan dengan dunia yang
maladaptif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana ciri umum gangguan Kepribadian ?

2. Apa saja tantangan Dalam riset gangguan kepribadiam?

3. Apa saja yang termasuk kedalam gangguan kepribadian klaster A?

4. Apa saja yang termasuk kedalam gangguan kepribadian klaster B?

5. Apa saja yang termasuk kedalam gangguan kepribadian klaster C?

6. Bagaimana faktor penybab sosiokultural umum untuk gangguan Kepribadian?

7. Apa saja perawatan gangguan Kepribadian dan hasilnya?

1
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui Bagaimana ciri umum gangguan Kepribadian.

2. Untuk mengetahui tantangan Dalam riset gangguan kepribadiam.

3. Untuk mengetahui gangguan apa saja yang termasuk kedalam kelompok Kepribadian
klaster A.
4. Untuk mengetahui gangguan apa saja yang termasuk kedalam kelompo Kepribadian klaster B.
5. Untuk mengetahui gangguan apa saja yang termasuk kedalam kelompo Kepribadian klaster C.
6. Untuk mengetahuai faktor penybab sosiokultural umum untuk gangguan Kepribadian.
7. Untuk mengetahui bagaimanaperawatan gangguan Kepribadian dan hasilnya.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Menggambarkan Ciri Umum Gangguan Kepribadian

Pada saat kita dewasa, kebanyakan dari kita memiliki kepribadian yang selaras
dengan tuntutan masyarakat. Dengan kata lain, kita dengan mudah mematuhi sebagian besar
harapan masyarakat. Kita berangkat ke sekolah atau bekerja, kita menghormati kewajiban
keuangan kita, dan kita mengembangkan dan mencoba untuk mempertahankan hubungan.
Kita juga sadar siapakah diri kita.
Sebaliknya, ada beberapa orang yang, walaupun mereka tidak selalu menunjukkan simtom
yang jelas dari sebagian besar gangguan yang dibahas dalam buku ini, namun memiliki sifat-
sifat tertentu yang sangat tidak fleksibel dan tidak sesuai, sehingga mereka tidak dapat
berfungsi secara efektif atau memenuhi tuntutan masyarakat mereka. Dalam kasus seperti
itu, kita bisa mengatakan bahwa orang tersebut memiliki gangguan kepribadian (personality
disorder). Gambaran umum yang mencirikan sebagian besar gangguan kepribadian adalah
kesulitan interpersonal kronis, masalah dengan identitas seseorang atau rasa diri, dan
ketidakmampuan untuk berfungsi secara memadai di masyarakat (Livesley dan Jang, 2000).
Dalam kasus berikut, banyak ilustrasi karakter yang bervariasi dari seseorang dengan
gangguan kepribadian. Untuk gangguan kepribadian yang harus didiagnosis, pola perilaku
seseorang harus meresap (pervasive) dan tidak fleksibel (inflexible), serta stabil (stable) dan
durasi yang lama (long duration). Hal ini juga menyebabkan stress berat (distress) atau
gangguan fungsi (impairment functioning) yang signifikan secara klinis (clinically significant),
dan dimanifestasikan dalam, paling tidak, dua dari area ini: kognitif, afektif, fungsi
interpersonal, atau kontrol impuls. Dari sudut pandang klinis, orang dengan gangguan
kepribadian sering kali menyebabkan setidaknya banyak kesulitan dalam kehidupan orang lain
seperti yang mereka lakukan dalam kehidupan mereka sendiri. Orang lain cenderung
menemukan perilaku individu dengan gangguan kepribadian membingungkan, menjengkelkan,
tidak dapat ego diprediksi, dan, dalam berbagai tingkat, tidak dapat diterima.

Apapun pola sifat tertentu yang dikembangkan oleh individu tersebut (keras kepala,
permusuhan tersembunyi, kecurigaan, atau takut ditolak, misalnya), pola ini mewarnai reaksi
mereka terhadap setiap situasi baru dan menyebabkan pengulangan perilaku maladaptif yang
sama karena mereka tidak belajar dari kesalahan atau masalah sebelumnya. Misalnya, orang
yang memiliki kebergantungan tinggi, bisa menjalin hubungan dengan seseorang, seperti
pasangan, dengan tuntutan yang tidak henti-hentinya, dan luar biasa, seperti, jangan pernah
cenderung menemukan perilaku individu dengan gangguan kepribadian membingungkan,
menjengkelkan, tidak dapat ego diprediksi, dan, dalam berbagai tingkat, tidak dapat diterima.
Apapun pola sifat tertentu yang dikembangkan oleh individu ) tersebut (keras kepala,
permusuhan tersembunyi, kecurigaan, atau takut ditolak, misalnya), pola ini mewarnai reaksi
mereka terhadap setiap situasi baru dan menyebabkan pengulangan perilaku maladaptif yang
sama karena mereka tidak belajar dari kesalahan atau masalah sebelumnya. Misalnya, orang
yang memiliki kebergantungan tinggi, bisa menjalin hubungan dengan seseorang, seperti
pasangan, dengan tuntutan yang tidak henti-hentinya, dan luar biasa, seperti, jangan pernah
meninggalkannya sendirian. Setelah pasangan itu pergi, orang tersebut mungkin langsung
menjalin hubungan yang serupa juga, tanpa memilih pasangan baru dengan hati-hati.
Gangguan kepribadian biasanya tidak berasal dari reaksi yang melemahkan terhadap stres
yang dialami sebelumnya, seperti gangguan stres

3
pascatraumatik (PTSD) atau banyak kasus depresi berat. Sebaliknya, gangguan ini sebagian
besar berasal dari perkembangan bertahap pola kepribadian dan perilaku yang tidak fleksibel
dan terdistorsi yang menghasilkan cara-cara berpikir tentang sesuatu, cara memersepsi, dan
cara berhubungan dengan dunia yang maladaptif. Meskipun demikian, peristiwa yang penuh
stres pada awal kehidupan dapat membantu menentukan tahap pengembangan pola
kepribadian yang tidak fleksibel dan terdistorsi ini. Kategori gangguan kepribadian bersifat
luas, meliputi masalah perilaku yang sangat berbeda dalam bentuk dant tingkat
keparahannya. Dalam kasus yang lebih ringan, kita menemukan orang-orang yang pada
umumnya berfungsi secara memadai, tetapi yang akan dijelaskan oleh saudara, teman, atau
rekan mereka sebagai orang yang bermasalah, eksentrik, atau sulit untuk dipahami. Mereka
mungkin mengalami kesulitan dalam mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain
atau bergaul dengan mereka yang memiliki hubungan dekat.
Salah satu bentuk gangguan kepribadian yang parah (disebut gangguan kepribadian antisosial
[antisocial personality disorder]) menghasilkan tindakan "melawan" ekstrem dan sering tidak
etis terhadap masyarakat. Banyak individu semacam itu dipenjara, walaupun ada beberapa
yang mampu memanipulasi orang lain dan tidak tertangkap. Gangguan kepribadian DSM-5
dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Ini diturunkan berdasarkan pada apa yang pada
awalnya dianggap sebagai kesamaan penting dari gambaran di antara gangguan dalam
kelompok tertentu.

• Klaster A: Meliputi gangguan kepribadian paranoid (paranoid), skizoid


(schizoid), dan skizotip (schizotypical). Orang-orang dengan gangguan ini sering
tampak aneh atau eksentrik, dengan perilaku yang tidak biasa mulai dari
ketidakpercayaan dan kecurigaan terhadap pelepasan sosial.

• Klaster B: Meliputi gangguan kepribadian histrionic (histrionic), narsistik


(narcissistic), antisosial (antisocial), dan ambang (borderline). Individu dengan gangguan ini
memiliki kesamaan kecenderungan untuk menjadi dramatis, emosional, dan tidak menentu.

• Klaster C: Meliputi gangguan kepribadian penghindaran (avoidant),


kebergantungan (dependent), dan obsesif kompulsif (obsessivecompulsive).
Berbeda dengan dua kelompok lainnya, orang dengan gangguan ini sering
menunjukkan kecemasan dan ketakutan.

Gangguan kepribadian pertama kali muncul di DSM pada 1980 (di DSMIII).
Meskipun penggunaan klaster terus berlanjut sejak saat itu, penelitian telah menimbulkan
banyak pertanyaan tentang validitasnya. Memang, beberapa proposal yang dipertimbangkan
dengan hati-hati oleh tim kerja DSM-5 melibatkan penghapusan empat gangguan kepribadian
secara keseluruhan dan meninggalkan pengorganisasian klaster. Salah satu isu utama adalah
bahwa ada terlalu banyak fitur yang tumpang tindih pada kedua kategori dan kelompok
(Krueger dan Eaton 2010; Sheets dan Craighead, 2007: Widiger dan Mullins-Sweatt, 2005).
Meski demikian, karena klaster ini masih digunakan sebagai sebuah struktur
pengorganisasian di DSM-5, kami terus menyebutkannya di sini. Dalam beberapa tahun
terakhir, beberapa studi epidemiologi (epidemiological studies) telah menilai prevalensi
gangguan kepribadian. Beberapa penelitian dilakukan di Amerika Serikat dan lainnya
dilakukan di Eropa. Penelitian juga sering menggunakan wawancara asesmen yang berbeda.
Terlepas dari kekhawatiran ini, perkiraan prevalensi keseluruhan cenderung sangat mirip.
Perkiraan tersebut menunjukkan bahwa antara 10 dan 12 persen orang memenuhi kriteria
untuk setidaknya satu gangguan kepribadian ketika pada periode waktu tersebut yang
ditanyakan adalah tentang
perilaku seseorang selama 2 sampai 5 tahun terakhir (Lenzenweger, 2008; Torgersen,

4
2012). Dengan kata lain, kira- kira 1 dari 10 orang memiliki gangguan kepribadian yang
dapat didiagnosis. Saat kita mempertimbangkan kelompok DSM, kita menemukan bahwa
gangguan Klaster C paling umum terjadi, dengan prevalensi sekitar 7 persen. Gangguan
Klaster A adalah berikutnya, dengan prevalensi kira-kira sebesar 4 persen. Terakhir,
prevalensi gangguan Klaster B sedikit lebih rendah, di kisaran 3,5 sampai 4 persen
(Torgersen, 2012). Komorbiditas antarkelompok tinggi, untuk itu beberapa individu
memenuhi kriteria gangguan kepribadian di lebih dari satu klaster, sehingga persentase orang
di setiap klaster bertambah hingga lebih dari 10 sampai 12 persen. Dari awal masuk ke DSM
pada 1980 dan sampai ke DSM-IV- TR, gangguan kepribadian dikodekan pada sumbu
terpisah, Aksis II. Ini karena mereka dianggap cukup berbeda dari sindrom psikiatri standar
(yang diberi kode pada Aksis I) untuk menjamin klasifikasi terpisah. Namun, di DSM-5,
sistem multiaksial ditinggalkan. Gangguan kepribadian sekarang disertakan dengan sisa
gangguan yang kita diskusikan dalam buku ini. Gangguan kepribadian sering dikaitkan
dengan (atau komorbid dengan) gangguan kecemasan (Bab 5 dan 6), gangguan suasana hati
(Bab 7), masalah penggunaan zat (Bab 11), dan kesulitan serta gangguan seksual (Bab 12).
(Lihat, untuk contoh, L.A. Clark, 2005, 2007; Links dkk., 2012; Mattia dan Zimmerman,
2001). Satu ringkasan bukti memperkirakan bahwa sekitar tiga perempat orang yang
didiagnosis.

2.2 Tantangan Dalam Riset Gangguan Kepribadian

Sebelum kita membahas fitur klinis dan penyebab gangguan kepribadian, kita harus
mencatat bahwa beberapa aspek penting dalam melakukan penelitian dalam bidang ini telah
menghambat kemajuan relatif terhadap apa yang diketahui tentang banyak gangguan lainnya. Dua
kategori utama kesulitan tersebut dijelaskan secara singkat:

Kesulitan dalam Mendiagnosis Gangguan Kepribadian

banyaknya salah diagnosis mungkin terjadi di sini daripada kategori gangguan lainnya: Ada
beberapa alasan untuk ini. Satu masalah adalah bahwa kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian
tidak Perhatian khusus adalah, bahwa diagnosis gangguan kepribadian karena lebih begitu jelas
didefinisikan oleh kebanyakan kategori diagnostik lainnya, sehingga sering kali tidak tepat atau
mudah diikuti dalam praktik. Misalnya, mungkin sulit untuk mendiagnosis dengan andal apakah
seseorang memenuhi kriteria tertentu untuk gangguan kepribadian kebergantungan seperti "terlalu
berlebihan untuk mendapatkan pengasuhan dan dukungan dari orang lain" atau "mengalami kesulitan
dalam membuat keputusan sehari-hari tanpa nasihat dan kepastian yang berlebihan dari orang lain.
Karena kriteria gangguan kepribadian didefinisikan oleh karakteristik yang disimpulkan. atau pola
perilaku yang konsisten daripada dengan standar perilaku yang lebih objektif (seperti mengalami
serangan panik atau depresi yang berkepanjangan dan suasana hati tertekan yang terus-menerus),
klinisi harus melakukan penilaian lebih dalam membuat diagnosis daripada kasus untuk banyak
gangguan lainnya.

Dengan pengembangan wawancara semiterstruktur dan inventori (persediaan) laporan


pribadi untuk diagnosis gangguan kepribadian, beberapa aspek keandalan diagnostik meningkat
secara substansial. Namun, karena kesepakatan antara diagnosis yang dibuat berdasarkan pada
wawancara terstruktur yang berbeda atau inventori laporan sendiri sering kali agak rendah, masih ada
masalah substansial dengan reliabilitas dan validitas diagnosis ini (Clark dan Harrison, 2001:
Livesley, 2003; Trull dan Durrett, 2005). Ini berarti. misalnya, bahwa tiga peneliti berbeda
menggunakan tiga instrumen penilaian berbeda untuk dapat mengidentifikasi kelompok individu
dengan karakteristik yang sangat berbeda karena memiliki diagnosis tertentu seperti gangguan
kepribadian batas atau narsistik. Tentu saja, ini hampir memastikan bahwa hanya sedikit hasil
penelitian yang

5
diperoleh yang akan direplikasi oleh peneliti lain meskipun kelompok yang dipelajari oleh peneliti
yang berbeda memiliki label diagnostik yang sama (contoh, Clark dan Harrison, 2001). Mengingat
masalah dengan diagnosis yang tidak dapat diandalkan (contoh, Clark, 2007; Livesley, 2003; Trull
dan Durrett, 2005), banyak pekerjaan selama 20 tahun terakhir telah diarahkan untuk mengembangkan
cara yang lebih andal dan akurat dalam menilai gangguan kepribadian. Beberapa ahli teori telah
berusaha untuk mengatasi masalah yang ada dalam pendekatan kategoris terhadap gangguan
kepribadian (yang dianggap berbeda dan terpisah) dengan mengadopsi pendekatan dimensi. Ini
mengasumsikan bahwa kepribadian (dan gangguan kepribadian) lebih pada sebuah kontinum. Untuk
itu, upaya telah dilakukan untuk mengembangkan sistem penilaian dimensi untuk simtom dan sifat
yang terkait dengan gangguan kepribadian (contoh, Clark, 2007; Krueger dan Eaton, 2010; Trull dan
Durrett, 2005; Widiger dkk, 2009). Namun, klasifikasi dimensi kepribadian terpadu telah lambat
muncul, dan sejumlah peneliti telah mencoba untuk mengembangkan sebuah pendekatan yang akan
mengintegrasikan berbagai pendekatan yang ada (misalnya, Krueger, Eaton, Clark dkk., 2011a;
Markon dkk., 2005; Widiger dkk., 2009, 2012). Model yang mungkin paling berpengaruh adalah
model lima faktor. Ini didasarkan pada model lima faktor kepribadian normal yang disebutkan
sebelumnya untuk membantu peneliti memahami kesamaan dan perbedaan di antara berbagai
gangguan kepribadian dengan menilai bagaimana skor individu pada lima dasar ciri kepribadian
(misalnya, Clark, 2007; Widiger dan Trull, 2007; Widiger dkk., 2009, 2012). Untuk sepenuhnya
memperhitungkan berbagai cara bahwa orang berbeda, masing-masing dari kelima dasar ciri
kepribadian ini juga memiliki subkomponen atau aspek. Misalnya, sifat neurotisme terdiri atas enam
aspek: kegelisahan, permusuhan-marah, depresi, kesadaran diri. impulsif, dan kerentanan. Individu
berbeda yang memiliki semua level tinggi pada neurotisme, dapat sangat bervariasi pada aspek paling
menonjol; sebagai contoh, beberapa mungkin menunjukkan pikiran cemas dan depresi yang lebih
menonjol, orang lain mungkin menunjukkan lebih banyak kesadaran diri dan kerentanan, namun
orang lain lagi mungkin lebih pada marah-permusuhan dan impulsif. Sifat ekstraversi terdiri atas
enam aspek: kehangatan, ketekunan. ketegasan, aktivitas, pencarian kegembiraan, dan emosi positif.
(Semua aspek dari masing-masing lima dimensi sifat dasar dan bagaimana perbedaannya pada orang
dengan gangguan kepribadian yang berbeda dijelaskan pada Tabel 10.2).

Dengan menilai apakah seseorang memiliki skor rendah, tinggi, atau berada di antara masing-
masing dari 30 aspek ini. Mudah untuk melihat bagaimana sistem ini dapat menjelaskan berbagai pola
kepribadian yang berbeda-jauh lebih banyak daripada 10 gangguan kepribadian yang saat ini
diklasifikasikan dalam DSM. Dalam pendekatan dimensi, dimensi sifat kepribadian yang normal dapat
dipulihkan ke dalam domain yang sesuai yang mewakili ekstremitas yang lebih patologis dari dimensi
int afektivitas negatif (neurotisme); menarik diri (introversi ekstrem); antagonisme (sangat menentang);
dan disinhibisi (sangat rendah hati nurani). Dimensi kelima, psikotisme, tampaknya tidak menjadi
patologi ekstrem dari dimensi akhir kepribadian normal (keterbukaan)-melainkan, seperti yang akan
kita diskusikan nanti pada bab ini tentang gangguan kepribadian skizotip, ini mencerminkan ciri- ciri
yang mirip dengan simtom gangguan psikotik (misalnya, skizofrenia) (Watson dkk., 2008).
Dengan peringatan dan kewaspadaan, kita akan melihat ciri klinis dari gangguan kepribadian. Namun,
penting untuk diingat bahwa kita sebenarnya hanyalah menggambarkan prototipe untuk setiap
gangguan kepribadian. Pada kenyataannya, seperti yang diharapkan dari sudut pandang model lima
faktor gangguan kepribadian, sangat jarang seseorang sesuai dengan deskripsi "ideal" ini. Seperti pada
boks Mengkritisi DSM-5, situasi tetap tidak berubah di DSM-5.

6
Kesulitan dalam Mempelajari Penyebab Gangguan Kepribadian

Relatif sedikit yang diketahui tentang faktor penyebab yang terlibat dalam perkembangan
gangguan kepribadian yang paling banyak. Salah satu alasannya bahwa gangguan kepribadian mulai
mendapat perhatian yang konsisten dar para peneliti setelah masuk ke DSM pada 1980. Masalah lain
berasal dari tingkat komorbiditas yang tinggi di antara mereka. Sebagai contoh, dalam sebuah kajian
awal terhadap empat penelitian, Widiger dan rekan menemukan bahwa 85 persen pasien yang
memenuhi syarat untuk satu diagnosis gangguan kepribadian juga memenuhi syarat untuk setidaknya
beberapa gangguan lagi (Widiger dan Rogers, 1989; Widiger dkk., 1991). Sebuah penelitian terhadap
hampir 900 pasien rawat jalan psikiatri melaporkan bahwa 45 persen memenuhi syarat untuk
setidaknya satu diagnosis gangguan kepribadian dan, di antara mereka, 60 persennya memiliki lebih
dari satu gangguan dan 25 persen memiliki dua atau lebih (Zimmerman dkk., 2005). Bahkan dalam
sampel nonpasien, Zimmerman dan Coryell (1989) menemukan bahwa mereka yang memiliki satu
gangguan kepribadian, hampir 25 persen memiliki setidaknya satu hal lagi (lihat juga Mattia dan
Zimmerman, 2001; Trull dkk., 2012). Komorbiditas ini menambah sulitnya melepaskan faktor
penyebab kepribadian . Masalah lain dalam menarik kesimpulan tentang penyebab, terjadi karena
peneliti lebih percaya diri terhadap penelitian prospektif. Dalam studi prospektif, sekelompok orang
diamati sebelum gangguan muncul dan diikuti selama periode waktu tertentu untuk melihat individu
mana yang mengalami masalah dan faktor penyebab apa yang ada. Meskipun ini mulai berubah,
sampai saat ini, penelitian prospektif yang relatif kecil telah dilakukan untuk sebagian besar gangguan
kepribadian. Sebagai gantinya, sebagian besar penelitian telah dilakukan pada orang-orang yang
sudah memiliki kelainan; beberapa antaranya bergantung pada ingatan retrospektif terhadap kejadian
sebelumnya, dan beberapa di antaranya bergantung pada pengamatan fungsi biologis, kognitif,
emosional, dan interpersonal saat ini. Jadi, kesimpulan apapun tentang penyebab yang disarankan
harus dianggap tentatif.

Dari faktor biologis yang mungkin, telah disarankan bahwa temperamen bayi (suatu disposisi
bawaan untuk bereaksi secara efektif terhadap rangsangan lingkungan lihat Bab 3) dapat menjadi
predisposisi yang mereka miliki terhadap pengembangan ciri dan gangguan kepribadian tertentu
(contoh, L.A. Clark, 2005; Mervield dkk., 2005; Paris, 2012b). Beberapa dimensi temperamen yang
paling penting adalah emosionalitas negatif, persahabatan versus hambatan sosial atau rasa malu, dan
tingkat aktivitas. Salah satu cara berpikir tentang temperamen bahwa ia meletakkan dasar awal untuk
pengembangan kepribadian orang dewasa, namun ini bukanlah satu-satunya penentu kepribadian
orang dewasa.
Mengingat bahwa sebagian besar sifat temperamental dan kepribadian telah ditemukan dapat
diwariskan secara moderat (contoh, Bouchard dan Loehlin, 2001; Livesley, 2005), hal tersebut
tidaklah mengherankan bahwa ada bukti peningkatan kontribusi genetik terhadap gangguan
kepribadian tertentu (Kendler dkk, 2008, 2011; Livesley, 2005, 2008; Livesley dan Jang, 2008; South
dkk., 2012; Torgersen dkk., 2000). Namun, untuk setidaknya sebagian besar gangguan, kontribusi
genetik tampaknya dimediasi oleh kontribusi genetik terhadap dimensi sifat utama yang paling
menonjol pada setiap gangguan dan bukan pada gangguan itu sendiri (Kendler dkk, 2008; Livesley,
2005). Selain itu, beberapa kemajuan sedang dicapai dalam memahami substrat psikobiologis
setidaknya beberapa ciri yang menonjol dalam gangguan kepribadian (contoh. Depue, 2009; Depue
dan Lenzenweger, 2001, 2006; Livesley, 2008; Paris, 2005, 2007; Roussos dan Siever, 2012). Di
antara faktor psikologis, teoretikus psikodinamik awalnya mengaitkan kepentingan yang sangat besar.
dalam perkembangan gangguan karakter pada bayi yang mengalami kelebihan berat badan versus
ketidakcukupan terhadap pemuasan impuls dalam beberapa tahun pertama kehidupannya (Fonagy dan
Luyten, 2012). Baru-baru ini, pola kebiasaan berbasis pembelajaran dan gaya kognitif maladaptif
telah mendapatkan banyak perhatian karena dianggap sebagai faktor yang mungkin menjadi
penyebabnya (contoh, Beck dkk, 1990, 2004; Lobbestael dan Arntz, 2012). Banyak dari kebiasaan
maladaptif dan gaya kognitif yang telah dihipotesiskan

7
memainkan peran penting untuk gangguan tertentu, berasal dari hubungan kelekatan orangtua dan
anak yang terganggu daripada hanya berasal dari perbedaan 15 temperamen (contoh, L.S. Benjamin,
2005; Fraley dan Shaver, 2008; Meyer dan Pilkonis, 2005; Shiner, 2009). Psikopatologi orangtua dan
praktik pengasuhan yang tidak efektif juga telah terlibat dalam gangguan tertentu (contoh, Farrington,
2006; Paris, 2001, 2007). Banyak penelitian juga menunjukkan bahwa pelecehan emosional, fisik, dan
seksual dini mungkin merupakan faktor penting dalam sejumlah kasus untuk beberapa gangguan
kepribadian yang berbeda (Battle dkk.. 2004; Grover dkk., 2007). Berbagai jenis stres sosial,
perubahan sosial dan nilai budaya juga telah dikaitkan sebagai faktor penyebab sosiokultural (Paris,
2001). Pada akhirnya, tentu saja, tujuannya adalah untuk mencapai perspektif biopsikososial tentang
asal mula setiap gangguan kepribadian. Sampai sekarang, kita jauh dari mencapai tujuan itu.

2.3 Gangguan Kepribadian Klaster A

2.3.1 Gangguan Kepribadian Paranoid

Individu dengan gangguan kepribadian paranoid (paranoid personality disorder)


mencurigakan dan curiga terhadap orang lain, sering membaca makna tersembunyi menjadi
ucapan biasa. Mereka cenderung menganggap diri mereka tidak bersalah, malah
menyalahkan orang lain atas kesalahan dan kegagalan mereka sendiri-bahkan sampai pada
dugaan motif jahat pada orang lain. Orang- orang seperti itu secara kronis tegang dan
"waspada", terus-menerus mengharapkan tipu daya dan mencari petunjuk untuk memvalidasi
harapan mereka sembari mengabaikan semua bukti yang bertentangan. Mereka sering
disibukkan dengan keraguan tentang loyalitas teman dan karenanya enggan untuk bercerita
pada orang 16 lain. Mereka biasanya menanggung dendam, menolak untuk memaafkan
penghinaan dan perhatian yang dipersepsi, cepat bereaksi dengan kemarahan dan terkadang
berperilaku yang mencerminkan kekerasan (Bernstein dan Useda, 2007; Oltmanns dan
Okada, 2006). Semua ini menyebabkan mereka mengalami banyak kesulitan interpersonal.
Prevalensi gangguan kepribadian paranoid di masyarakat adalah sekitar 1 sampai 2 persen
dengan jumlah pria dan wanita sama (Torgersen, 2012).

Penting untuk diingat bahwa orang dengan kepribadian paranoid biasanya tidak gila.
Sebagian besar waktu mereka berada dalam hubungan yang jelas dengan kenyataan. Namun,
selama masa stres yang tinggi, mereka mungkin mengalami gejala psikotik sementara yang
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (APA, 2013). Orang dengan skizofrenia
berbagi beberapa simtom yang ditemukan pada kepribadian paranoid, namun mereka
memiliki masalah tambahan termasuk kehilangan yang lebih banyak kontak dengan
kenyataan, delusi, dan halusinasi.
Meskipun demikian, individu dengan gangguan kepribadian paranoid tampaknya turut
bertanggung jawab atas skizofrenia (Lenzenweger, 2009).

Faktor penyebab Sebagai suatu gangguan kepribadian ini tidak dipelajari dengan
baik. Salah satu alasannya bahwa orang-orang yang sangat curiga dan gangguan, kurang
percaya cenderung tidak ingin berpartisipasi dalam penelitian. Beberapa berpendapat
transmisi genetik parsial dapat menghubungkan gangguan ini dengan skizofrenia, namun hasil
yang memeriksa masalah ini tidak konsisten, dan jika ada hubungan yang signifikan,
hubungan tersebut tidaklah kuat (Kendler dkk., 2006; Miller, Useda., 2001). Meskipun
demikian, ada bukti pertanggungjawaban genetik sederhana terhadap gangguan kepribadian
paranoid itu sendiri (Kendler, Myers, dkk., 2007). Hal ini dapat terjadi melalui heritabilitas

8
antagonisme/penentangan tingkat tinggi dan neurotisme (permusuhan dan marah), yang
merupakan ciri utama gangguan kepribadian paranoid (Hopwood dan Thomas, 2012;
Widiger dkk., 2002). Faktor penyebab psikososial yang diduga berperan termasuk
pengabaian atau pelecehan orangtua dan paparan terhadap kekerasan oleh orang dewasa,
walaupun ada kaitan antara pengalaman buruk awal 17 dan gangguan kepribadian paranoid
dewasa yang jelas tidak spesifik untuk satu gangguan kepribadian saja, tetapi mungkin
berperan dalam gangguan lain juga (Battle dkk., 2004; Grover dkk., 2007; Natsuaki dkk.,
2009). Simtom gangguan kepribadian paranoid juga tampaknya meningkat setelah terjadi
cedera otak traumatis dan sering ditemukan pada pengguna kokain kronis (lihat Hopwood
dan Thomas, 2012). Dalam kasus di bawah ini, trauma kepala dan penyalahgunaan alkohol
sama- sama dianggap sebagai faktor penyebab.

• Kriteria untuk Gangguan Kepribadian Paranoid

A. Ketidakpercayaan dan kecurigaan terhadap orang lain, seperti motif mereka yang
ditafsirkan sebagai jahat, dimulai pada masa dewasa awal dan hadir. dalam berbagai konteks,
seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) dari berikut.

1. Mencurigai, tanpa dasar yang memadai, bahwa orang lain mengeksploitasi, menyakiti, atau
menipu dia.

2. Disibukkan dengan keraguan yang tidak benar tentang kesetiaan atau kepercayaan teman
atau rekan kerja.

3. Enggan untuk curhat pada orang lain, takut informasi itu akan digunakan secara jahat untuk
melawannya.

4. Membaca arti tersembunyi dengan merendahkan atau mengancam ke dalam komentar atau
peristiwa yang secara normal tidak berbahaya.

5. Terus-menerus menanggung dendam (yaitu, tidak memaafkan terhadap penghinaan, luka,


atau teguran).

6. Memersepsikan segala sesuatu merupakan serangan terhadap karakter atau reputasinya, meskipun
itu tidak jelas bagi orang lain dan cepat bereaksi dengan marah atau melakukan serangan balik.

7. Memiliki kecurigaan berulang, tanpa pembenaran, berkenaan dengan kesetiaan


pasangan atau pasangan seksual.

B. Tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan skizofrenia, gangguan bipolar, atau gangguan
depresi dengan fitur psikotik atau gangguan psikotik lainnya dan tidak disebabkan fisiologis dari
kondisi medis lainnya. 18 Catatan: Jika kriteria dipenuhi sebelum onset skizofrenia, tambahkan
"premorbid", yaitu, "gangguan kepribadian paranoid (premorbid)".

9
• Contoh Kasus: Pasien dengan Ganggguan Paranoid

Seorang pria berusia 46 tahun yang bekerja dalam pekerjaan kerah biru (buruh kasar), dirawat di
rumah sakit jiwa setelah dia melakukan percobaan bunuh diri. Pada masa remajanya, dia terlibat
dalam sebuah kecelakaan mobil dan dirawat di rumah sakit karena trauma kepala dan gegar otak. Dia
juga memiliki sejarah panjang dalam penyalahgunaan alkohol. Mereka yang mengenalnya
menggambarkan dirinya sebagai orang yang peka, sensitif, curiga, dan tidak percaya. Namun, ciri
paling menonjolnya adalah kekhawatiran tentang kesetiaan istrinya. Dia berulang kali menuduhnya
tidak setia dan "sering diinterogasi" olehnya tentang berbagai hal. Saat dia minum alkohol,
paranoidnya menjadi lebih jelas. (Diambil dari Birkeland, 2013.)

2.3.2 Gangguan Kepribadian Skizoid

Individu dengan gangguan kepribadian skizoid (schizoid personality disorder)


mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan sosial dan biasanya kurang tertarik untuk
melakukannya. Akibatnya, mereka cenderung tidak memiliki teman baik, dengan kemungkinan
pengecualian dari kerabat dekat. Orang-orang seperti itu tidak dapat mengungkapkan perasaan
mereka dan dilihat oleh orang lain sebagai orang yang dingin dan membatasi diri dengan orang lain.
Mereka sering kali memiliki keterampilan sosial yang rendah dan dapat diklasifikasikan sebagai
penyendiri atau introver, dengan kepentingan dan pekerjaan tersendiri, walaupun tidak semua
penyendiri atau introver memiliki gangguan kepribadian skizoid (Bernstein dkk., 2009; Miller, Useda,
dkk., 2001). Orang dengan gangguan ini cenderung tidak menikmati banyak aktivitas, termasuk
aktivitas seksual, dan jarang menikah. Secara umum, mereka tidak terlalu reaktif secara emosional,
jarang mengalami emosi positif atau negatif yang kuat, namun menunjukkan suasana hati 19 yang
umumnya apatis. Defisit ini berkontribusi pada penampilan mereka yang dingin dan menyendiri
(Miller, Useda, dkk., 2001; Mittal dkk., 2007). Prevalensi gangguan kepribadian skizoid, lebih sering
terjadi pada pria daripada wanita, sedikit di atas 1 persen Torgersen, 2012). Dalam hal model lima
faktor, orang dengan gangguan ( kepribadian skizoid menunjukkan tingkat introversi yang sangat
tinggi (terutama rendah pada kehangatan, keinginan bersosialisasi, dan emosi positif). Mereka juga
rendah pada keterbukaan terhadap perasaan (satu aspek keterbukaan terhadap pengalaman) dan pada
pencapaian prestasi (misalnya, Hopwood dan Thomas, 2012). Kasus Bill, misalnya

• Contoh Kasus: Analis Komputer yang Introver Bill

seorang analis komputer berusia 33 tahun yang sangat cerdas, namun cukup tertutup dan
dirujuk untuk evaluasi psikologis oleh dokternya, yang khawatir bahwa Bill
mungkin akan depresi dan tidak bahagia. Bill hampir tidak memiliki kontak dengan orang lain.
Dia tinggal sendirian di apartemennya, bekerja di sebuah kantor kecil sendirian, dan biasanya tidak
melihat ada orang di tempat kerja, kecuali atasannya, yang sesekali berkunjung untuk memberinya
pekerjaan baru dan menyelesaikan proyek-proyek yang telah selesai. Dia makan siang sendirian, dan
sekitar sekali seminggu, pada hari-hari cerah, pergi ke kebun binatang untuk istirahat makan
siangnya. Bill adalah penyendiri seumur hidup; sebagai seorang anak ia memiliki sedikit teman dan
selalu memilih kegiatan soliter dalam acara keluarga (dia adalah anak tertua dari lima bersaudara). Di
SMA dia tidak pernah berkencan dan di perguruan tinggi, serta hanya sekali keluar dengan wanita-
dan itu bersama sekelompok siswa setelah bertanding. Namun, dia aktif dalam olahraga dan bermain
sepak bola universitas di sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, ia
menghabiskan banyak waktu dengan teman yang relatif dekatkebanyakan untuk minum-minum.
Namun, teman ini sekarang tinggal di kota lain. Bill melaporkan dengan agak tidak mengerti bahwa
dia sulit berteman; dia tidak 20 pernah tahu harus berkata apa dalam percakapan. Pada beberapa
kesempatan, dia berpikir untuk

10
berteman dengan orang lain, tetapi tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat, jadi "percakapannya
langsung terhenti". Dia melaporkan bahwa dia telah berpikir untuk mengubah hidupnya dalam upaya
untuk menjadi lebih "positif", tetapi sepertinya itu tidak seimbang dengan kesulitan yang dialaminya.
Lebih mudah baginya untuk tidak melakukan usaha karena dia menjadi sangat malu ketika seseorang
mencoba berbicara dengannya. Dia paling bahagia saat sendiri. gangguan kepribadian skizoid belum
menjadi fokus perhatian banyak penelitian. Sekali lagi, ini tidak mengherankan karena orang-orang
dengan gangguan kepribadian skizoid bukanlah orang-orang yang mungkin kita harapkan untuk
menjadi sukarelawan dalam sebuah penelitian. Ciri kepribadian skizoid telah terbukti memiliki
heritabilitas yang cukup tinggi sekitar 55 persen (Kendler dkk., 2006). Konsisten dengan gagasan para
teoretikus awal, ada juga bukti bahwa simtom gangguan kepribadian skizoid mendahului penyakit
psikotik dalam beberapa kasus (Bolinskey dkk., 2015; Hopwood dan Thomas, 2012). Ada juga
beberapa hubungan antara kepribadian skizoid dan gangguan spektrum autisme.

• Kriteria untuk Gangguan Kepribadian Skizoid

A. Pola penarikan diri yang parah dari hubungan sosial dan rentang ekspresi emosi yang
terbatas dalam situasi interpersonal, dimulai pada awal masa dewasa dan hadir dalam berbagai
konteks, seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) dari berikut.

1. Tidak ada keinginan atau menikmati hubungan dekat, termasuk menjadi bagian dari
keluarga.

2. Hampir selalu memilih kegiatan soliter.

3. Memiliki sedikit, jika ada, minat untuk memiliki pengalaman seksual dengan orang lain.

4. Membawa kesenangan dalam sedikit kegiatan, jika ada.

5. Tidak memiliki teman dekat atau orang kepercayaan selain kerabat tingkat satu.

6. Terlihat acuh takacuh terhadap pujian atau kritik orang lain.

7. Menunjukkan kedinginan emosional memisahkan diri, atau efektivitas yang datar.

B. Tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan skizofrenia, gangguan bipolar, atau
gangguan depresi dengan keadaan psikotik, gangguan psikotik lain, atau kelainan spektrum
autisme dan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari kondisi medis lainnya. Catatan: Jika kriteria
terpenuhi sebelum timbulnya (onset) skizofrenia, tambahkan "premorbid", yaitu "gangguan
kepribadian skizoid (premorbid)".

2.3.3 Gangguan Kepribadian Skizotip

Seperti orang dengan gangguan kepribadian skizoid, individu dengan gangguan


kepribadian skizotip (schizotypal personality disorder) juga terlalu introver dan 22 memiliki defisit
persepsi sosial dan interpersonal. Selain itu, mereka memiliki distorsi kognitif dan persepsi, serta
keanehan dan eksentrisitas dalam komunikasi dan perilaku mereka (Kwapil dan Barrantes- Vidal,
2012; Raine, 2006). Meskipun kontak dengan kenyataan biasanya dipelihara, pemikiran yang sangat
personal dan bersandar pada takhayul adalah ciri khas orang-orang dengan kepribadian skizotip, dan
dalam tekanan ekstrem mereka mungkin mengalami simtom psikotik sementara (APA, 2013; Widiger
dan Frances, 1994).
Memang, mereka sering percaya bahwa mereka memiliki kekuatan magis dan mungkin

11
terlibat dalam ritual magis. Masalah kognitif perseptual lainnya mencakup gagasan referensi
(kepercayaan bahwa percakapan atau isyarat orang lain memiliki arti khusus atau signifikansi
pribadi), ucapan aneh, dan kepercayaan paranoid. Keanehan dalam berpikir, berbicara, dan perilaku
lainnya adalah karakteristik gangguan kepribadian skizotip yang paling stabil (McGlashan dkk.,
2005) dan serupa dengan yang sering ditemukan pada pasien skizofrenia. Sebenarnya, banyak peneliti
mengonseptualisasikan gangguan kepribadian skizotip sebagai bentuk skizofrenia yang dilemahkan
( Lenzenweger, 2019; Raine, 2006).
Menariknya, walupun beberapa aspek skizotip muncul terkait dengan model lima faktor kepribadian
normal (khususnya aspek introversi dan neurotisme), aspek lain yang terkait dengan distorsi kognitif
dan persepsi tidak cukup dijelaskan oleh model lima faktor kepribadian normal (Watson dkk., 2008).
Memang, simtom inti skizotip ini membentuk dasar satu-satunya sifat yang diusulkan yang tidak
memetakan secara rapi ke lima faktor kepribadian normal. Sifat patologis ini adalah psikotisme,
yang terdiri atas tiga aspek: keyakinan dan pengalaman yang tidak biasa, eksentrisitas, dan
disregulasi kognitif dan persepsi (Krueger, Eaton, Derringer dkk., 2011).

Tidak seperti gangguan kepribadian skizoid dan paranoid, telah ada sejumlah penelitian yang
signifikan mengenai gangguan kepribadian skizotip (Esterberg dkk., 2010). Sebenarnya, dalam usulan
awal untuk DSM-5, kepribadian skizotip adalah satu-satunya gangguan kategoris yang ditahan dari
Klaster A. Prevalensi gangguan ini pada populasi umum diperkirakan sekitar 1 23 persen, dengan
lebih banyak laki-laki yang terkena dampak daripada wanita (Torgersen, 2012). Gangguan
kepribadian skizotip memiliki heritabilitas moderat (Kwapil dan Barrantes-Vidal, 2012; Lin dkk.,
2006, 2007; Raine, 2006). Hubungan genetik dengan skizofrenia juga telah lama dicurigai. Padahal,
kelainan ini muncul menjadi bagian dari spektrum pertanggungjawaban untuk skizofrenia dan sering
terjadi pada beberapa kerabat tingkat pertama penderita skizofrenia (Kendler dan Gardner, 1997;
Kwapil dan Barrantes-Vidal, 2012; Raine, 2006; Tienari dkk., 2003). Hubungan biologis gangguan
kepribadian skizotip dengan skizofrenia luar biasa (Cannon dkk., 2008; Jang dkk., 2005; Siever dan
Davis, 2004; Yung dkk., 2004). Jumlah penelitian pada pasien, dan juga pada mahasiswa dengan
gangguan kepribadian skizotip (misalnya, Raine, 2006; Siever dkk., 1995), telah menunjukkan defisit
yang sama dalam kemampuan untuk melacak target bergerak secara visual yang ditemukan pada
skizofrenia. (Coccaro, 2001). Mereka juga menunjukkan banyak gangguan ringan lainnya dalam
fungsi kognitif (Voglmaier dkk., 2005), termasuk defisit dalam kemampuan mereka untuk
mempertahankan perhatian (Lees- Roitman dkk., 1997; Raine, 2006) dan defisit dalam memori kerja
(misalnya, kemampuan mengingat rentang angka), keduanya umum terjadi pada skizofrenia. Selain
itu, individu dengan gangguan kepribadian skizotip, seperti pasien skizofrenia, menunjukkan defisit
dalam kemampuan mereka untuk menghambat perhatian terhadap stimulus kedua yang dengan cepat
mengikuti presentasi stimulasi pertama. Misalnya, jika individu yang sehat mengalami rangsangan
pendengaran yang lemah sekitar 0,1 detik sebelum mereka mendengar suara keras (suara yang
menimbulkan respons mengejutkan), mereka menunjukkan respons mengejutkan yang lebih kecil
daripada yang seharusnya mereka lakukan jika mereka tidak mendengarnya. Stimulus pendengaran
lemah pertama (Cadenhead, Light, dkk., 2000; Cadenhead, Swerdlow, dkk., 2000). Efek
penghambatan normal ini berkurang pada penderita skizofrenia dan juga pada orang dengan gangguan
kepribadian skizotip. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat distruktibilitas dan kesulitan mereka
yang tinggi untuk tetap fokus (lihat juga Hazlett dkk., 2003; Raine, 2006). Terakhir, orang dengan
gangguan kepribadian 24 skizotip juga menunjukkan kelainan bahasa yang mungkin terkait dengan
kelainan pada pemrosesan pendengarannya (Dickey dkk., 2008).

12
Sehubungan dengan temuan tersebut, Anda mungkin tidak terlalu terkejut saat mengetahui
bahwa remaja yang memiliki gangguan kepribadian skizotip telah terbukti berisiko tinggi
mengembangkan skizofrenia dan spektrum skizofrenia pada masa dewasa (Asarnow, 2005; Cannon
dkk., 2008; Raine, 2006; Tyrka dkk., 1995). Namun demikian, juga telah diusulkan bahwa ada subtipe
kedua dari gangguan kepribadian skizotip yang tidak terkait secara genetik dengan skizofrenia.
Subtipe ini ditandai oleh defisit kognitif dan persepsi, serta dikaitkan dengan riwayat pelecehan masa
kanak-kanak dan trauma awal (Berenbaum dkk., 2008; Raine, 2006). Gangguan kepribadian skizotip
pada masa remaja telah dikaitkan dengan peningkatan paparan peristiwa kehidupan yang penuh
tekanan (Anglin dkk., 2008: Tessner dkk., 2011) dan status sosial ekonomi keluarga yang rendah
(Cohen dkk., 2008).

• Kriteria untuk Gangguan Kepribadian Skizotip

A. Pola defisit sosial dan interpersonal yang parah ditandai oleh ketidaknyamanan yang akut
dengan, dan kapasitas yang dikurangi untuk, keterkaitan yang erat dan juga oleh distorsi kognitif
atau persepsi dan eksentrisitas perilaku, yang dimulai pada awal masa dewasa dan hadir dalam
berbagai konteks, seperti ditunjukkan oleh lima (atau lebih) hal berikut.

1. Gagasan referensi (tidak termasuk delusi referensi).

2. Keyakinan atau pemikiran magis yang memengaruhi perilaku dan tidak sesuai dengan norma
subkultur (misalnya, takhayul, kepercayaan kemampuan meramal, telepati, atau "sixth
sense/indera keenam"; pada anak- anak dan remaja, fantasi atau keasyikan aneh).

3. Pengalaman perseptual yang tidak biasa, termasuk ilusi tubuh.

4. Pemikiran dan ucapan yang aneh (misalnya, tidak jelas, tidak aktif, metaforis, terlalu rumit, atau
stereotip).

5. Mencurigakan atau ide paranoid.

6. Pengaruh yang tidak tepat atau terbatas.

7. Perilaku atau penampilan yang ganjil, eksentrik, atau aneh.

8. Kurangnya teman dekat atau orang kepercayaan selain keluarga dekat tingkat pertama.

9. Kecemasan sosial yang berlebihan yang tidak berkurang dengan keakraban dan cenderung
dikaitkan dengan ketakutan paranoid daripada penilaian negatif tentang diri.

B. Tidak terjadi secara eksklusif selama masa skizofrenia, gangguan bipolar atau gangguan depresi
dengan fitur psikotik, kelainan psikotik lain, atau kelainan spektrum autisme.

13
2.4 Gangguan Kepribadian Klaster B

2.4.1 Gangguan Kepribadian Histrionik

Perilaku mencari perhatian dan emosionalitas yang berlebihan, merupakan karakteristik utama
individu dengan gangguan kepribadian histrionik. Seperti yang dapat Anda lihat dari kotak kriteria
DSM-5, orang-orang ini cenderung merasa tidak dihargai jika mereka bukan pusat perhatian;gaya
mereka yang hidup, dramatis, dan terlalu ekstraver sering memastikan bahwa mereka dapat menarik
perhatian orang lain untuk memperhatikannya. Akan tetapi, kualitas ini tidak mengarah pada
hubungan yang stabil dan memuaskan karena orang lain merasa lelah untuk memberikan tingkat
perhatian ini. Dalam mendorong stimulasi dan perhatian, penampilan dan perilaku mereka sering
terjadi secara cukup teatrikal dan emosional serta provokatif secara seksual (Freeman dkk., 2005).
Mereka mungkin mencoba untuk mengendalikan pasangan mereka melalui perilaku menggoda dan
manipulasi emosional, namun juga menunjukkan kebergantungan yang besar (contoh, Blagov 26 dkk.,
2007; Bornstein dan Malka, 2009; Rasmussen, 2005a). Pembicaraan mereka sering tidak jelas dan
impresionistik, dan biasanya dianggap mementingkan diri sendiri, sia- sia, dan terlalu memperhatikan
persetujuan orang lain, yang menganggap mereka terlalu reaktif, dangkal, dan tidak tulus.

• Kriteria untuk Gangguan Kepribadian Histrionik

Pola emosional dan pencarian perhatian yang berlebihan, dimulai pada awal masa dewasa dan hadir
dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau lebih) hal berikut.

1. Tidak nyaman dalam situasi ketika dia bukanlah pusat perhatian.

2. Interaksi dengan orang lain sering ditandai dengan perilaku seksual yang menggoda atau provokatif.

3. Menampilkan dengan cepat pergeseran dan ekspresi dangkal emosi.

4. Secara konsisten menggunakan tampilan fisik untuk menarik perhatian pada diri sendiri. Memiliki
gaya berbicara yang terlalu impresionistik dan kurang detail.

5. Menunjukkan dramatisasi diri, sandiwara, dan ekspresi emosi yang berlebihan.

6. Sugestif (yaitu, mudah dipengaruhi oleh orang lain atau keadaan).

7. Menganggap hubungan lebih intim dari yang sebenarnya.

Sangat sedikit penelitian sistematis yang telah dilakukan pada gangguan kepribadian
histrionik. mungkin sebagai akibat dari kesulitan yang dimiliki peneliti dalam

14
membedakannya dari gangguan kepribadian lainnya (Bornstein dan Malka, 2009) dan/atau karena
banyak yang tidak percaya bahwa ini adalah diagnosis yang valid (Blashfield dkk., 2012).
Mencerminkan hal ini, gangguan kepribadian histrionik adalah satu dari empat diagnosis yang
direkomendasikan untuk dilakukan dalam DSM-5. Gangguan kepribadian histrionik sangat komorbid
dengan gangguan kepribadian ambang, antisosial, 27 narsisistik, dan kebergantungan (Bakkevig dan
Karterud, 2010; Blagov dan Westen, 2008; Bornstein dan Malka, 2009). Ada beberapa bukti untuk
kaitan genetik dengan gangguan kepribadian antisosial, gagasannya adalah kemungkinan ada beberapa
kecenderungan mendasar yang lebih besar kemungkinannya termanifestasi pada wanita sebagai
gangguan kepribadian histrionik dan pada pria sebagai gangguan kepribadian antisosial (contoh, Cale
dan Lilienfeld, 2002a, 2002b). Saran dari beberapa kecenderungan genetik untuk mengembangkan
gangguan ini juga didukung oleh temuan bahwa gangguan kepribadian histrionik dapat ditandai
sebagai melibatkan versi ekstrem dari dua ciri kepribadian normal yang umum, ekstraversi dan, pada
tingkat yang lebih rendah, neurotisisme-dua ciri kepribadian normal yang diketahui memiliki basis
genetik parsial (Widiger dan Bornstein, 2001). Dalam hal model lima faktor (lihat kembali ke Tabel
10.2), tingkat ekstraversi pasien yang sangat tinggi dengan gangguan kepribadian histrionik mencakup
tingkat hasrat berkelompok (gregariousness), pencarian kegembiraan, dan emosi positif yang tinggi.
Tingkat neurotisme mereka yang tinggi terutama melibatkan aspek depresi dan kesadaran diri; mereka
juga tinggi pada keterbukaan terhadap fantasi (Widiger dkk., 2002).

2.4.2 Gangguan Kepribadian Narsistik

Individu dengan gangguan kepribadian narsistik (narcissistic personality disorder)


menunjukkan rasa kepentingan diri yang berlebihan, keasyikan untuk dikagumi, dan
kurangnya empati terhadap perasaan orang lain (Pincus dan Lukowitsky, 2010; Ronningstam, 2005,
2009, 2012). Sejumlah penelitian mendukung gagasan dua subtipe narsisme: narsisme grandiose
(narsisme berlebihan) dan narsisme vulnerable (narsisme rentan) (Cain dkk., 2008; Ronningstam,
2005, 2012). Penyajian narsisme grandiose yang disorot dalam kriteria DSM-5, diwujudkan oleh
sifat-sifat terkait dengan kemegahan, agresi, dan dominasi. Hal ini tercermin dalam
kecenderungan kuat untuk melebih-lebihkan kemampuan dan prestasi mereka sambil
meremehkan kemampuan dan prestasi orang lain. Kesadaran tentang kepemilikan terhadap
yang hak sering menjadi sumber keheranan orang lain, meskipun mereka sendiri tampaknya
menganggapnya 29 sebagai hal yang menakjubkan, harapan yang melimpah seperti apa yang
layak mereka dapatkan. Mereka berperilaku secara stereotip (misalnya, dengan
pengaturan diri yang konstan dan membual) untuk
mendapatkan pengakuan dan pengakuan yang mereka idamkan. Karena mereka percaya bahwa
mereka begitu istimewa, mereka sering berpikir bahwa mereka hanya dapat dipahami oleh
orangorang dengan status tinggi lainnya atau bahwa mereka harus berasosiasi hanya dengan
orang seperti itu. Terakhir, seperti yang diilustrasikan dalam kasus Alan pada awal bab ini,
perasaan akan hak mereka juga terkait dengan ketidaksediaan mereka untuk memaafkan
orang lain karena dianggap menghinanya, dan mereka mudah tersinggung (Exline dkk., 2004).
Keberadaan kerentanan narsisisme tidak begitu jelas tercermin dalam kriteria DSM, namun tetap
merupakan subtipe yang banyak diamati oleh para peneliti dan dokter. Orang narsisis vulnerable
memiliki rasa harga diri yang sangat rapuh dan tidak stabil, dan untuk individu yang arogan
dan merendahkan, ini hanyalah tampak muka saja, untuk rasa malu dan hipersensitivitas yang
kuat terhadap penolakan dan kritik (Cain dkk., 2008; Miller dkk., 2010; Pincus dan Lukowitsky,
2010; Ronningstam, 2005, 2012). Narsisis vulnerable bisa menjadi benar-benar terserap dan
disibukkan dengan fantasi prestasi yang luar biasa, namun pada saat bersamaan mengalami
rasa malu yang mendalam tentang ambisi mereka. Mereka mungkin
menghindari hubungan interpersonal karena takut ditolak atau dikritik.

15
Ada bukti yang meningkat bahwa presentasi narsisisme grandiose dan vulnerable terkait,
namun berbeda dalam hal-hal penting Dalam hal model lima faktor, kedua subtipe dikaitkan dengan
tingginya tingkat interpersonal antagonisme/penyesuaian rendah (yang mencakup sifat rendah hati,
arogansi, kemegahan, dan superioritas), altruisme rendah (mengharapkan perlakuan yang baik dan
mengeksploitasi orang lain), dan berpikiran keras (kurang berempati). Namun, orang dengan bentuk
narsisme yang lebih ke grandiose sangat rendah dalam aspek neurotisme tertentu dan tinggi dalam
ekstraversi. Bila narsisme lebih banyak menonjolkan kebesaran/keagungan, teman dekat dan kerabat
mungkin lebih tertekan tentang tingkah lakunya daripada narsisisnya sendiri. Satu studi 30
menyimpulkan, "Kerusakan terkuat yang terkait dengan gangguan kepribadian narsisistik adalah
kesusahan "rasa sakit dan penderitaan" bukan oleh narsisis, tetapi oleh orang-orang penting lainnya
yang dialami (Miller, 2007, hlm. 176). Namun, kasus ini sangat berbeda untuk narsisis vulnerable,
yang rentan, yang memiliki tingkat efektivitas/neurotisme negatif yang sangat tinggi (Cain dkk., 2008;
Miller dkk., 2010). Dengan demikian, pasangan menggambarkan pasien dengan kemegahan atau
kerentanan sebagai "suka memerintah, intoleran, argumentatif, tidak jujur, oportunistik, sombong,
arogan, dan menuntut, "tetapi, hanya yang tinggi pada kemegahan (grandiosity) yang digambarkan
sebagai "agresif, keras kepala, blak-blakan, tegas, dan tegas.. sementara kerentanan (vulnerability)
tinggi digambarkan sebagai "khawatir, emosional, defensif, cemas, pahit, tegang. dan mengeluh"
(Wink, 1991, hlm. 595). Hal terpenting, yaitu beberapa individu dengan gangguan kepribadian
narsistik dapat berfluktuasi antara kemegahan dan kerentanan (Pincus dan Lukowitsky, 2010;
Ronningstam, 2009.

Orang-orang dengan kepribadian narsistik juga memiliki sifat sentral lain mereka tidak mau
atau tidak dapat mengambil perspektif orang lain, untuk melihat hal-hal selain "melalui mata mereka
sendiri. Selain itu, jika mereka tidak menerima validasi atau bantuan yang mereka inginkan, mereka
cenderung bersikap kritis dan melakukan pembalasan (Rasmussen, 2005b). Memang, satu studi
terhadap siswa laki-laki dengan ciri narsisistik tingkat tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki
kecenderungan lebih besar terhadap pemaksaan seksual ketika mereka ditolak oleh target hasrat
seksual mereka daripada laki- laki dengan tingkat narsisistik yang lebih rendah. Mereka juga menilai
penggambaran pemerkosaan yang difilmkan lebih menguntungkan dan lebih menyenangkan, serta
membangkitkan secara seksual daripada jika dilakukan laki-laki dengan tingkat narsisistik rendah
(Bushman dkk., 2003). Dalam sampel komunitas, sedikit di bawah 1 persen orang memenuhi ambang
diagnostik untuk gangguan kepribadian narsisistik, dengan gangguan yang mungkin lebih umum pada
pria dibanding wanita (Torgersen, 2012). Perbedaan gender ini diharapkan, berdasarkan pada
perbedaan jenis kelamin yang diketahui 31 pada ciri kepribadian yang paling menonjol dalam
gangguan kepribadian narsisistik (Lynam dan Widiger, 2007).

Temuan utama bahwa bentuk narsisme grandiose dan vulnerable (yang berlebih- lebihan
dan rentan) dikaitkan dengan faktor penyebab yang berbeda. Narsisme grandiose umumnya tidak
terkait dengan penyalahgunaan, pengabaian, atau pengasuhan anak masa kecil. Memang, ada beberapa
bukti bahwa narsisisme mulainya dikaitkan dengan penilaian berlebih orangtua. Sebaliknya, narsisme
rentan telah dikaitkan dengan pelecehan emosional, fisik, dan seksual, serta gaya pengasuhan yang
ditandai sebagai gangguan, pengendalian, dan dingin (Horton dkk., 2006; Miller, 2011; Miller dan
Campbell, 2008; Otway dan Vignoles, 2006).

16
• Kriteria Untuk Gangguan Kepribadian Narsistik

Pola kemegahan yang meluas (Dalam fantasi atau perilaku), kebutuhan akan kekagu pasman,
dan kurangnya empati, dimulai pada awal masa dewasa dan hadir dalam berbagai konteks, seperti
yang ditunjukkan oleh lima (atau lebih) hal berikut.

1. Memiliki rasa mementingkan diri sendiri (misalnya, melebih-lebihkan prestasi dan bakat,
mengharapkan untuk dikenali sebagai superior tanpa pencapaian yang sepadan).

2. Apakah disibukkan dengan fantasi kesuksesan, kekuatan, kecemerlangan, keindahan, atau cinta
yang takterbatas.

3. Percaya bahwa dia "spesial" dan unik, serta hanya dapat dipahami oleh, atau harus dikaitkan
dengan, orang atau status khusus lainnya atau institusi lain).

4. Membutuhkan kekaguman secara berlebihan.

5. Memiliki rasa berhak (yaitu, ekspektasi yang tidak masuk akal tentang perlakuan baik yang
menguntungkan atau kepatuhan otomatis terhadap ekspektasinya).

6. Eksploitatif antarpribadi (misalnya memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri).

7. Kurang berempati: tidak mau mengenali atau mengenali dengan perasaan dan kebutuhan orang lain.

8. Sering iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri padanya.

9. Menunjukkan perilaku atau sikap arogan dan sombong.

2.4.3 Gangguan Kepribadian Antisosial

Ciri khas orang dengan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder-
ASPD) adalah kecenderungan mereka untuk terus-menerus mengabaikan dan melanggar hak orang
lain. Mereka lakukan ini melalui kombinasi perilaku menipu, agresif, dan antisosial. Orang-orang ini
memiliki pola perilaku tanpa henti dan tidak bertanggung jawab seumur hidup dengan tidak terlalu
memperhatikan keamanan-baik milik mereka sendiri maupun milik orang lain. Karakteristik semacam
itu membawa mereka ke dalam konflik berulang dengan masyarakat, dan proporsi yang tinggi
akhirnya dipenjara. Hanya individu berusia 18 atau lebih yang dapat didiagnosis dengan ASPD. Untuk
diagnosis yang harus dilakukan, orang tersebut pasti sudah menunjukkan simtom gangguan perilaku
sebelum usia 15 tahun (lihat Bab 15). Setelah usia 15 tahun, juga harus ada bukti seperti perilaku
melanggar hukum yang berulang, tipu daya, impulsif, agresivitas, atau tidak bertanggung jawab yang
konsisten dalam pekerjaan atau masalah keuangan.

17
Prevalensi gangguan kepribadian antisosial pada populasi umum sekitar 2 sampai 3 persen
(Glenn dkk.. 2013). Gangguan ini lebih sering terjadi pada pria sekitar 3 persen) dibandingkan pada
wanita (sekitar 1 persen), walaupun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelebihan dari laki- laki
bahkan lebih besar dan mendekati 5 sampai 1 (Hare dkk, 2012). Seperti yang mungkin Anda duga
telah melihat kriteria diagnostiknya, ASPD sangat umum dilakukan pada sampel penjara. Sekitar 47
persen pria yang dipenjara dan 21 persen wanita yang dipenjara memenuhi syarat untuk diagnosis
(lihat Glenn dkk., 2013). Istilah gangguan kepribadian antisosial sering digunakan secara bergantian
dengan psikopat. Namun, ini adalah sebuah kesalahan. Meskipun ada beberapa tumpang tindih antara
ASPD dan psikopat, itu bukan hal yang sama. Kriteria DSM saat ini untuk gangguan kepribadian
antisosial menempatkan penekanan pada perilaku yang dapat diamati. seperti berbohong, berkelahi,
atau gagal untuk menghormati kewajiban finansial. Sebaliknya, dalam membangun konstruk psikopat,
perhatian lebih kepada karakteristik kepribadian seperti pesona artifisial, kurangnya empati, dan
manipulatif.

Penelitian menunjukkan bahwa gen berperan dalam gangguan kepribadian antisosial dan
kriminalitas. Banyak penelitian telah membandingkan tingkat konkordansi antara kembar monozigot
dan dizigotik. Orang lain telah menggunakan metode adopsi, membandingkan tingkat perilaku
kriminal pada anak-anak penjahat yang diadopsi jauh dengan tingkat perilaku kriminal pada anak
angkat orangtua biasa (nonkriminal). Hasil kedua jenis penelitian menunjukkan heritabilitas moderat
untuk antisosial atau perilaku kriminal (Carey dan Goldman, 1997; Hare dkk., 2012; Sutker dan
Allain, 2001) dan 35 untuk ASPD (Waldman dan Rhee, 2006). Namun, apa yang diwarisi sangat tidak
jelas. Bisa jadi impulsif, tingkat kecemasan rendah, kecenderungan agresif, atau kombinasi antara
disposisi ini dan disposisi lainnya.

Kriteria untuk Gangguan Kepribadian Antisosial

A. Pola pervasif untuk mengabaikan dan melanggar hak orang lain, terjadi sejak usia 15 tahun,
seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) hal berikut.

1. Gagal mematuhi norma sosial sehubungan dengan perilaku yang sah, seperti yang ditunjukkan oleh
tindakan yang dilakukan berulang kali penangkapan. yang merupakan dasar

2. Ketidaktahuan, seperti yang ditunjukkan oleh pembohong berulang, penggunaan alias, atau
menipu orang lain untuk keuntungan atau kesenangan pribadi.

3. Impulsif atau gagal merencanakan ke depan.

4. Iritabilitas dan agresivitas, seperti yang ditunjukkan oleh perkelahian fisik berulang- ulang atau
penyerangan.

5. Sembarangan dan mengabaikan keselamatan diri sendiri atau orang lain.

6. Tidak bertanggung jawab secara konsisten, seperti yang ditunjukkan oleh kegagalan berulang
untuk mempertahankan perilaku kerja yang konsisten atau menghormati kewajiban keuangan.

7. Kurangnya penyesalan, seperti yang ditunjukkan oleh bersikap acuh takacuh dan merasionalisasi
tindakan yang telah menyakiti, menganiaya, atau mencuri dari yang lain.

18
B. Individu setidaknya berumur 18 tahun.

C. Ada bukti gangguan perilaku dengan onset sebelum usia 15 tahun.

D. Terjadinya perilaku antisosial tidak semata-mata selama menjalani skizofrenia atau gangguan
bipolar.

Banyak faktor lingkungan juga telah terlibat dalam pengembangan gangguan


kepribadian antisosial. Ini termasuk pendapatan keluarga rendah, kehidupan di dalam kota, miskin,
pengawasan buruk oleh orangtua, memiliki seorang ibu muda, dibesarkan dalam keluarga orangtua
tunggal, konflik antara orangtua, memiliki saudara kandung, penolakan, jumlah anggota keluarga yang
besar, dan juga disiplin terlalu keras dari orangtua (Farrington, 2006; Granic dan Patterson, 2006).
Faktor lingkungan nonshared (tidak dibagi) lainnya (nonshared karena tidak harus dialami oleh
semua anak dalam keluarga) yang penting adalah memiliki teman yang nakal, pelecehan fisik atau
seksual, dan berbagai pengalaman akademis atau sosial. Peneliti juga mencatat bahwa pengaruh
lingkungan ini berinteraksi dengan predisposisi genetik (interaksi genotip- lingkungan) untuk
menentukan individu mana yang menjadi penjahat atau berkepribadian antisosial (Carey dan Goldman,
1997; Hare dkk., 2012; Moffitt, 2005). Memang, ini pasti terjadi, mengingat peningkatan dramatis
dalam kejahatan yang telah terjadi di Amerika Serikat dan Inggris sejak 1960, serta tingkat
pembunuhan yang lebih tinggi sepuluh kali lipat di Amerika Serikat daripada di Inggris Raya (Rutter,
1996)- temuan seperti itu tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh faktor genetik saja, tetapi harus
melibatkan faktor penyebab psikososial atau sosiokultural. Salah satu penelitian yang sangat bagus
oleh Cadore dan rekan kerja (1995), menemukan bahwa anak adopsi anak-anak kandung biologis
dengan ASPD lebih cenderung mengembangkan kepribadian antisosial jika orangtua angkat
mereka mengekspos mereka ke lingkungan yang merugikan daripada jika mereka orangtua angkat
membukanya ke dalam lingkungan yang lebih normal. Lingkungan yang merugikan ditandai
oleh beberapa hal berikut: konflik perkawinan atau perceraian, masalah hukum, dan psikopatologi
orangtua. Temuan serupa dari interaksi gen-lingkungan juga ditemukan pada anak kembar yang
berisiko tinggi atau rendah terhadap gangguan perilaku (biasanya prekursor masa kecil ASPD);
dalam penelitian ini, faktor risiko lingkungan adalah penganiayaan fisik (Jaffee dkk., 2005).

2.4.4 Gangguan Kepribadian Ambang

Istilah kepribadian ambang (borderline personality) memil sejarah yang panjang dan agak
membingungkan (Hoole dkk., 2012). Awalnya digunakan untuk merujuk pada pasie yang sangat
menantang untuk ditangani dan yang dianggap memiliki kondisi yang berada di "ambang" antara
neurosis dan psikosis. Kemudian, kata itu digunakan untuk menggambarkan pasien yang memiliki
beberapa fitur skizofrenia (seperti pada Skizofrenia ambang). Namun, menjelang 1980, aspek 41 klinis
utama dari gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorderBPD) telah diklarifikasi
dengan cukup untuk memungkinkan masuknya DSM sebagai diagnosis yang berbeda. Ini adalah
bentuk patologi kepribadian yang paling populer. Meskipun kita mengakui bahwa nama gangguan itu
sendiri tidak terlalu informatif (istilah gangguan emosional yang tidak stabil/emotionally unstable
disorder, digunakan pada ICD-10), gangguan kepribadian ambang adalah kondisi klinis yang menarik.
Hal ini ditandai dengan penderitaan besar pada bagian pasien itu sendiri. Hal ini juga sering
disalahpahami dan distigmatisasi oleh profesional klinis.

Orang dengan gangguan kepribadian ambang (BPD) menunjukkan pola perilaku yang
ditandai dengan impulsif dan ketidakstabilan dalam hubungan interpersonal, citra diri, dan suasana
hati mereka. Karakteristik utama adalah ketidakstabilan afektif (affective instability). Ini menunjukkan
dirinya dalam respons emosional yang luar biasa intens terhadap pemicu lingkungan, dan
kembalinya yang lambat ke keadaan emosional awal.

19
Ketidakstabilan afektif juga ditandai dengan pergeseran drastis dan cepat dari satu emosi ke emosi
lainnya (Livesley 2008; Paris, 2007). Ini dikombinasikan dengan rasa diri atau citra diri yang sangat
tidak stabil (highly unstable self-image). Orang dengan BPD sering memiliki perasaan kekosongan
kronis dan mengalami kesulitan membentuk rasa siapa diri mereka sebenarnya. Mereka juga berjuang
untuk mengatasi konsep diri dan merasa sulit untuk menoleransi sendirian. Mengingat ketidakstabilan
afektif mereka dikombinasikan dengan citra diri yang tidak stabil, tidak mengherankan bila orang
dengan BPD memiliki hubungan interpersonal yang sangat tidak stabil. Hubungan ini cenderung
intens, tetapi penuh badai, biasanya melibatkan overidealizations (terlalu mengidolakan) teman atau
kekasih (atau bahkan terapis) yang kemudian berakhir dengan kekecewaan, dan kemarahan yang pahit
(Gunderson dkk., 1995; Lieb dkk., 2004). Satu masalahnya adalah mereka yang memiliki BPD sangat
takut ditinggalkan. Ini mungkin salah satu alasan mengapa mereka begitu terbiasa dengan tanda
penolakan dan cepat merasakan penolakan terhadap perilaku orang lain (Staebler., 2011). Penelitian
lebih lanjut menunjukkan bahwa orang dengan BPD sangat terampil (secara akurat) 42 mendeteksi
tanda-tanda kemarahan di wajah orang-orang, namun mereka juga cenderung salah menilai tampilan
wajah netral orang lain sebagai suatu kemarahan (Veague dan Hooley, 2014). Mungkin karena
ketakutan mereka terhadap penolakan, individu dengan BPD sering "menguji" hubungan dekat
mereka. Kegagalan orang lain dalam "ujian" tersebut kemudian segera menjadi bukti penolakan atau
pengabaian mereka. Penelitian mendukung hubungan kausal antara persepsi penolakan dengan
kemarahan takterkendali dan intens, pada orang dengan BPD (Berenson dkk., 2011).

Fitur penting lainnya dari BPD adalah impulsivitas yang dicirikan dengan respons cepat
terhadap pemicu dari lingkungan tanpa berpikir (atau peduli) tentang konsekuensi jangka panjang
(Paris, 2007). Tingkat impulsivitas tinggi individu ini dikombinasikan dengan ketidakstabilan afektif
ekstrem yang sering menyebabkan perilaku tidak menentu dan merusak diri sendiri seperti perilaku
seksual berisiko atau mengemud sembrono. Usaha bunuh diri juga biasa. Dalam sampel masyarakat,
hampir satu perempat orang yang didiagnosis BPD dilaporkan telah melakukan setidaknya satu
percobaan bunuh diri (Pagura dkk, 2010). Dalam sampel klinis, tingkatannya bahkan lebih tinggi
(sekitar 35 persen; lihat Asnaani dkk, 2007). Selain itu, walaupun upaya semacam itu kadang-kadang
dianggap manipulatif, namun perlu dipikirkan dengan serius karena sekitar 8 sampai 10 persen orang
dengan BPD akan mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri (Oldham, 2006 Skodol, Gunderson,
dkk., 2002). Mutilasi diri (seperti perilaku pemotongan berulang) adalah ciri khas kepribadian ambang
lainnya. Namun, seperti yang diilustrasikan dalam boks Mengkritisi DSM-5, banyak orang yang
terlibat dalam melukai diri tidak memiliki BPD.

• Studi Kasus Nona R: Gangguan Kepribadian Ambang

Nona R. berusia 19 tahun. Meskipun dia tidak memilik riwayat perawatan psikiatris yang
formal, dia melaporkan sejarah panjang tentang ketidakstabilan 43 suasana, gerak gerik bunuh diri,
dan pemotongan kulit. Dia juga memiliki banyak hubungan penuh badai, termasuk riwayat
penganiayaan fisik, serta tiga aborsi. Dia dirawat di rumah sakit untuk pertama kalinya setelah dia
mengancam akan bunuh diri menyusul pertarungan fisik dengan pacarnya dan menabrak mobil
keluarga. Pasien mengatakan bahwa dia baru saja pindah dari rumah keluarganya dan pergi untuk
tinggal dengan pacarnya. Setelah berkelahi dengan pacarnya yang meninggalkannya dengan bibir
berdarah dia merasa "tertekan". Dia kembali ke rumah dan mulal berkelahi dengan ibunya. Dia
kemudian mencuri mobil keluarga dan menabrak sebuah tiang. Ketika seorang tetangga
menemukannya, dia menyatakan bahwa dia akan bunuh diri. Ibunya kemudian membawanya ke
rumah sakit. Saat masuk, Nona R mengatakan bahwa dia "depresi" dan ingin bunuh diri. Dia
digambarkan sebagai orang pemarah, bertindak semaunya, manipulatif, dan "tertekan". Dia
didiagnosis dengan kepribadian ambang. Kehadiran sifat narsistik juga dicatat. (Dari Avery dkk.,
2012.)

20
Selain memiliki simtom perilaku afektif dan impulsif, sebanyak 75 persen penderita BPD
memiliki simtom kognitif. Ini termasuk episode yang relatif singkat atau sementara ketika mereka
tampaknya tidak berhubungan dengan kenyataan dan mengalami simtom psikotik, seperti halusinasi,
ide paranoid, atau simtom disosiatif parah (Lieb dkk., 2004; Skodol, Gunderson, dkk., 2002). Episode
psikotik singkat ini kemungkinan besar terjadi selama masa stres, meskipun juga hadir pada waktu lain
juga (Stiglmayr dkk., 2008). Mengingat banyak dan beragam simtom BPD, tidak mengherankan
bahwa gangguan kepribadian ini menghasilkan penurunan signifikan pada fungsi sosial, akademik,
dan pekerjaan (Bagge dkk., 2004; Grant dkk., 2008).

. Pada studi metodologis paling ketat sampai saat ini, ditemukan bahwa risiko diagnosis BPD
ditemukan empat kali lebih tinggi pada keluarga biologis pasien dengan BPD daripada di keluarga
orangorang yang tidak memiliki diagnosis BPD (Gunderson dkk, 2011). Tentu saja, kita harus ingat
bahwa hanya karena gangguan terjadi pada keluarga tidak selalu berarti bahwa ini pasti karena gen.
Namun, pada kasus BPD, kita punya banyak alasan 45 untuk percaya bahwa gen itu penting. Memang,
mereka mungkin menjelaskan 40 persen varian dalam gangguan ini (Amad dkk., 2014). Akan tetapi,
jangan menganggap ini berarti bahwa BPD, sebagai gangguan, diwariskan. Sebaliknya, apa yang
paling mungkin diwarisi adalah gen yang memberi kerentanan terhadap ciri kepribadian tertentu-sifat
seperti neurotisme atau impulsif yang merupakan aspek menonjol dari BPD (Hooley dkk., 2012; Paris,
2007). Sifat-sifat yang diwariskan ini juga tidak spesifik untuk BPD, namun juga berisiko terhadap
berbagai kondisi psikopatologis lainnya. Setelah Anda menghargai ini, menjadi lebih mudah untuk
memahami mengapa BPD sangat sering komorbid dengan gangguan lainnya. Ini juga membantu
menjelaskan mengapa kita melihat gangguan suasana hati dan kecemasan, gangguan kontrol impuls,
dan gangguan kepribadian lainnya pada anggota keluarga orang yang didiagnosis dengan BPD
(Zanarini dkk., 2009). Masalah lain adalah bahwa BPD adalah gangguan yang sangat rumit dan
heterogen secara klinis dan mungkin melibatkan sejumlah besar gen. Namun, alasan lain adalah
bahwa pengaruh faktor lingkungan sangat jarang diperhitungkan. Hal ini penting karena faktor
lingkungan dianggap diperhitungkan dalam proporsi terbesar (55 persen) varian pada sifat ambang
(borderline). Kita juga tahu bahwa gen memengaruhi sensitivitas terhadap stresor lingkungan (Caspi
dkk., 2010). Kemungkinan bahwa pengalaman dan pengaruh lingkungan lainnya berinteraksi dengan
gen untuk menentukan siapa yang akan mengembangkan masalah di kemudian hari. Dengan kata lain,
daripada mencari gen yang terkait dengan gangguan spesifik, mungkin sebaiknya kita cari gen yang
mungkin berperan dalam membuat kita lebih atau kurang rentan terhadap aspek positif dan negatif
lingkungan kita (Amad dkk., 2014).

Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa BPD dikaitkan dengan peningkatan aktivasi
amigdala dalam situasi yang merangsang emosi, serta dengan berkurangnya pengaturan prefrontal
(Leichsenring dkk., 2011). Namun, mengapa masalah dalam fungsi otak ini berkembang masih belum
diketahui meski masih spekulatif pada tahap ini, kami menyarankan agar faktor genetik dapat
berinteraksi dengan pengalaman masa kecil yang negatif untuk menciptakan masalah dalam sirkuit
saraf yang terlibat dalam mengatur suasana hati, pemikiran, dan perilaku. Ini membantu menjelaskan
mengapa begitu banyak area fungsi yang terkena dampak BPD dan mengapa orang dengan gangguan
ini mendapati emosinya sangat sulit dikendalikan.

2.5 Gangguan Kepribadian Klaster C

21
2.5.1 Gangguan Kepribadian Menghindar

Individu dengan gangguan kepribadian menghindar (avoidant personality disorder)


menunjukkan penghambatan dan introversi sosial yang ekstrem, yang menyebabkan pola hubungan
sosial terbatas dan keengganan masuk ke dalam interaksi sosial. Karena hipersensitivitas dan
ketakutan terhadap kritik dan ketidaksetujuan, mereka tidak mencari orang lain, namun mereka
menginginkan kasih sayang dan sering merasa kesepian dan bosan. Tidak seperti kepribadian
skizofrenia, orang dengan gangguan kepribadian menghindar tidak menikmati kesendirian mereka.
Individu dengan gangguan menghindar ini ingin berhubungan 48 dengan orang lain, namun
ketidakmampuan mereka untuk berhubungan dengan nyaman dengan orang lain menyebabkan mereka
cemas akut. Mereka sangat sadar diri dalam situasi sosial dan sangat kritis terhadap diri mereka
sendiri. Tidak mengherankan, gangguan kepribadian menghinbdar ini sering dikaitkan dengan depresi
(Grant, Hasin, dkk., 2005; Sanislow dkk., 2012).

Merasa tidak kompeten dan tidak memadai secara sosial adalah dua fitur yang paling umum
dan stabil dari gangguan kepribadian menghindar (McGlashan dkk., 2005). Selain itu, para peneliti
telah mendokumentasikan bahwa individu dengan gangguan ini juga menunjukkan lebih banyak rasa
malu secara umum dan penghindaran banyak situasi dan emosi baru (termasuk emosi positif), dan
menunjukkan defisit dalam kemampuan mereka untuk mengalami kesenangan juga (Taylor dkk.,
2004). Gangguan ini lebih sering didiagnosis pada wanita, dan memiliki prevalensi sekitar 2 sampai 3
persen. Dari segi klinis, gangguan kepribadian menghindar sangat mirip dengan gangguan kepribadian
skizoid. Kedua tipe orang tersebut terisolasi secara sosial. Perbedaan utamanya bahwa orang dengan
gangguan kepribadian skizoid memiliki sedikit keinginan untuk membentuk hubungan dekat. Orang-
orang seperti itu cenderung agak menyendiri, dingin, dan relatif acuh takacuh terhadap kritik (Millon
dan Martinez, 1995). Sebaliknya, orang dengan gangguan kepribadian menghindar menginginkan
kontak interpersonal, tetapi pemalu, tidak aman, dan hipersensitif terhadap kritik. Perbedaan yang jauh
lebih jelas adalah antara gangguan kepribadian menghindar dan fobia sosial umum (Bab 6). Sejumlah
penelitian telah menemukan adanya tumpang tindih yang substansial antara kedua gangguan ini, yang
menyebabkan beberapa peneliti menyimpulkan bahwa manifestasi gangguan kepribadian menghindar
mungkin hanyalah manifestasi fobia sosial umum yang sedikit lebih parah (Alpert dkk., 1997; Carter
dan Wu, 2010; Tillfors dkk., 2004) yang tidak menjamin diagnosis terpisah (Chambless dkk, 2008).
Hal ini sesuai dengan temuan bahwa ada kasus fobia sosial umum tanpa gangguan kepribadian
menghindar, namun sangat sedikit kasus gangguan kepribadian menghindar tanpa fobia sosial umum.
Tingkat disfungsi dan tekanan yang agak tinggi juga ditemukan pada individu dengan gangguan
kepribadian menghindar, termasuk perasaan 49 rendah diri yang lebih konsisten (Hummelen dkk.,
2007; Millon dan Martinez, 1995; Tillfors dkk., 2004).

kepribadian menghindar mungkin berasal dari temperamen "terhambat" yang membuat bayi
dan anak malu, serta terhambat dalam situasi baru dan ambigu. Sebuah studi kembar besar di
Norwegia telah menunjukkan bahwa ciri- ciri yang menonjol dalam gangguan kepribadian
menghindar menunjukkan pengaruh genetik yang sederhana, dan bahwa kerentanan genetik untuk
gangguan kepribadian menghindar setidaknya sebagian dibagi dengan fobia sosial (Reichborn-
Kjennerud, Czajkowski, Torgersen, dkk., 2007). Selain itu, ada juga bukti bahwa ketakutan untuk
dievaluasi secara negatif, yang menonjol dalam gangguan kepribadian menghindar, diwariskan secara
moderat (Stein dkk., 2002); introversi dan neurotisme juga meningkat (lihat kembali ke Tabel 10.2),
dan mereka juga diturunkan secara moderat. Temperamen terhambat yang berdasar secara genetika
dan biologis ini sering kali berfungsi sebagai diatesis yang menyebabkan gangguan kepribadian
menghindar pada beberapa anak yang mengalami pelecehan emosional, penolakan atau penghinaan
dari orangtua yang tidak terlalu menyayangi (Alden dkk., 2002; Bernstein yang

22
dan Travaglini, 1999, Kagan, 1997). Pelecehan dan penolakan semacam itu kemungkinan besar akan
mengarah pada pola keterikatan yang cemas dan menakutkan pada anak-anak terhambat secara
temperamental (Bartholomew dkk., 2001).

Kriteria untuk Gangguan Kepribadian Menghindar

Pola penghambatan sosial yang meluas, perasaan tidak mampu dan hipersensitivitas
terhadap evaluasi negatif, dimulai pada awal masa dewasa dan hadir dalam berbagai konteks, seperti
yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) dari berikut.

1. Menghindari kegiatan pekerjaan yang melibatkan kontak interpersonal yang signifikan karena
kekhawatiran akan kritik, ketidaksetujuan, atau penolakan.

2. Tidak mau terlibat dengan orang, kecuali pasti disukai.

3. Menunjukkan pengekangan dalam hubungan intim karena takut dipermalukan atau


ditertawakan.

4. Disibukkan dengan kritik atau penolakan dalam situasi sosial.

5. Dihambat dalam situasi interpersonal baru karena perasaan tidak mampu.

6. Pandangan diri sebagai orang yang tidak kompeten secara sosial, tidak menarik secara pribadi, atau
inferior terhadap orang lain.

7. Biasanya enggan mengambil risiko personal atau untuk masuk dalam aktivitas baru karena
mungkin akan mempermalukannya.

2.5.2 Gangguan Kepribadian Dependen

Individu dengan gangguan kepribadian dependen menunjukkan kebutuhan ekstrem untuk


dijaga, yang mengarah pada perilaku menempel dan patuh. Mereka j menunjukkan ketakutan akut
pada kemungkinan berpisah atau kadang-kadang jika harus sendirian karena mereka menganggap diri
mereka tidak waras (Bornstein dkk., 2015; Widiger dan Bornstein, 2001). Individu semacam itu
biasanya membangun kehidupan mereka di sekitar orang lain dan meletakkan kebutuhan dan
pandangan mereka sendiri di bawah, untuk menjaga keterlibatan orang-orang ini dengan mereka.
Dengan demikian, mereka mungkin sembarangan dalam pemilihan pasangan mereka. Mereka sering
gagal untuk marah secara tepat terhadap orang lain karena takut kehilangan dukungan mereka, yang
berarti bahwa orang-orang dengan kepribadian dependen mungkin tetap berada dalam hubungan yang
mengandung kekerasan atau pelecehan secara psikologis atau fisik. Mereka memiliki banyak
kesulitan untuk membuat keputusan sehari-hari yang sederhana sekalipun tanpa banyak saran dan
kepastian karena mereka kurang percaya diri dan merasa tidak berdaya bahkan ketika mereka benar-
benar mengembangkan keterampilan kerja atau kompetensi lain yang baik. Mereka mungkin berfungsi
dengan baik selama mereka tidak diharuskan untuk mandiri.

Estimasinya bahwa gangguan kepribadian bergantung terjadi sedikit di bawah 1 persen


populasi dan lebih sering terjadi pada wanita daripada pria (Bornstein dkk., 2015; Torgersen, 2012).
Perbedaan gender ini bukan karena bias seks dalam membuat diagnosis, namun lebih tinggi prevalensi
pada wanita dengan ciri kepribadian tertentu seperti neurotisisme dan kesesuaian, yang menonjol
dalam gangguan kepribadian dependen (Lynam dan Widiger, 2007). Gangguan kepribadian
dependen sering komorbid dengan

23
gangguan lainnya termasuk gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, gangguan makan, dan
gangguan simtom somatis. Komorbiditas juga tinggi antara gangguan kepribadian dependen 52 dan
gangguan kepribadian lainnya, terutama gangguan kepribadian skizoid, menghindar, ambang, dan
histrionik (Bornstein dkk., 2015).

Beberapa komorbiditas ini mungkin berasal dari tumpang tindih antara ciri gangguan
kepribadian dependen dan gangguan kepribadian ambang, histrionik, dan menghindar, namun
pada tingkat klinis, ada perbedaan utama juga (lihat kembali ke Tabel 10.2). Misalnya, kepribadian
ambang dan kepribadian dependen takut ditinggalkan. Namun, pada
kepribadian ambang, individu yang biasanya memiliki hubungan yang intens dan penuh badai,
bereaksi dengan perasaan hampa atau marah jika terjadi pengabaian, sedangkan kepribadian
dependen awalnya bereaksi dengan ketaatan dan perhatian, serta akhirnya dengan mencari
hubungan baru. Kepribadian histrionik dan dependen. keduanya memiliki kebutuhan yang kuat
untuk meyakinkan dan menyetujui, namun kepribadian histrionik jauh lebih suka berteman,
flamboyan, dan secara aktif menuntut perhatian, sedangkan kepribadian dependen lebih patuh
dan tidak menonjolkan diri. Juga sulit membedakan antara kepribadian dependen dan
menghindar. Sebagaimana dicatat, kepribadian yang dependen memiliki kesulitan untuk berpisah
dalam suatu hubungan karena mereka merasa tidak kompeten sendiri dan perlu diurus, sedangkan
kepribadian menghindar memiliki masalah dalam memulai hubungan karena mereka takut
penghinaan yang akan mereka alami jika mereka dikritik atau ditolak (Millon dan Martinez, 1995).
Meskipun demikian, kita harus ingat bahwa kepribadian menghindar terjadi
bersamaan dengan gangguan kepribadian dependen yang sering terjadi (Arntz
dkk., 2009; Bernstein dan Travaglini, 1999; Bornstein dkk., 2015). Hal ini sesuai dengan
pengamatan bahwa orang-orang dengan gangguan kepribadian menghindar tidak menghindari
semua orang secara mutlak dan bahwa karakteristik gangguan kepribadian dependen mereka
terfokus pada satu atau beberapa individu yang tidak mereka hindari (Alden dkk., 2002). Dalam hal
model lima faktor, gangguan kepribadian dependen dikaitkan dengan tingkat neurotisme dan
kesesuaian yang tinggi (Lowe dkk, 2009).

Perkiraannya bahwa antara 30 dan 60 persen varian dalam simtom gangguan kepribadian
dependen nungkin disebabkan faktor genetik 53 (Bornstein dkk., 2015; Gjerde dkk., 2012). Selain itu,
beberapa ciri kepribadian lainnya eperti neurotisme dan kesesuaian yang menonjol dalam angguan
kepribadian dependen juga memiliki komponen enetik (Widiger dan Bornstein, 2001). Ada
kemungkinan bahwa orang-orang dengan predisposisi kebergantungan dan kecemasan yang sebagian
didasarkan pada genetis ini mungkin sangat rentan terhadap efek buruk orangtua yang otoriter dan
terlalu protektif (tidak memperkenalkan otonomi dan individuasi pada anak mereka, melainkan
memperkuat perilaku kebergantungan). Ini mungkin menjadikan anak- anak percaya bahwa mereka
harus bergantung pada orang lain untuk kesejahteraan mereka sendiri dan tidak kompeten dengan
mereka sendiri (Widiger dan Bornstein, 2001). Teori kognitif menggambarkan skema maladaptif yang
mendasari individuindividu ini, seperti melibatkan keyakinan inti tentang kelemahan dan kompetensi
dan membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup, seperti "Saya benar-benar tidak berdaya" dan
"Saya dapat berfungsi hanya jika saya memiliki akses terhadap seseorang yang kompeten" (Beck dkk.,
1990. hlm. 60; Beck dkk., 2004). Penelitian terbaru mendukung hipotesis bahwa kepercayaan ini
mencirikan mereka yang memiliki gangguan kepribadian dependen (Arntz dkk., 2011).

Studi kasus: Isteri yang Tergantung

24
Sarah, seorang ibu 32 tahun dari dua anak dan paruh waktu sebagai akuntan pajak, datang ke
pusat krisis tengah malam setelah Michael, suaminya sejak setengah tahun sebelumnya, telah
menyiksanya secara fisik dan kemudian meninggalkan rumah. Meski dia tidak pernah melukai anak-
anak secara fisik, dia sering mengancam akan melakukannya saat dia sedang mabuk. Sarah terlihat
cemas akut dan khawatir tentang masa depan dan "perlu diberi tahu apa yang harus dilakukan". Dia
ingin suaminya kembali dan tampak agak tidak peduli dengan pola pelecehan fisik yang biasa
dilakukan suaminya. Saat itu, Michael adalah seorang penduduk yang menganggur dalam program
perawatan sehari di sebuah rumah singgah untuk penyalahgunaan obat terlarang. Dia hampir selalu
dalam suasana hati yang suram dan "siap meledak". 54 Meskipun Sarah memiliki pekerjaan dengan
gaji bagus. dia menyuarakan keprihatinan besar karena bisa berdiri sendiri. Dia menyadari bahwa
suatu hal bodoh untuk menjadi "bergantung" pada suaminya, yang ia disebut sebagai "pecundang."
(Dia telah memiliki hubungan yang sama dengan suami pertamanya, yang telah meninggalkan dirinya
dan anak tertua ketika dia berusia 18). Beberapa waktu yang lalu dalam beberapa bulan terakhir, Sarah
memutuskan untuk meninggalkan pernikahannya, tetapi tidak bisa melepaskan diri darinya. Dia
mengancam untuk pergi, tetapi ketika tiba saatnya untuk melakukannya, dia akan "membeku di pintu"
dengan mati rasa di tubuhnya dan perasaan tenggelam di perutnya dengan pikiran "tidak bersama
Michael."

Kriteria untuk Gangguan Kepribadian Dependen

Suatu kebutuhan yang meluas dan berlebihan untuk dijaga, yang mengarah pada perilaku
tunduk dan melekat, serta ketakutan akan pemisahan, dimulai pada Iawal masa dewasa dan hadir
dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau lebih) hal berikut.

1. Kesulitan membuat keputusan sehari-hari tanpa nasihat dan kepastian yang berlebihan dari orang
lain.

2. Membutuhkan orang lain untuk bertanggung jawab atas sebagian besar bidang utama hidupnya.

3. Memiliki kesulitan dalam mengungkapkan ketidaksepakatan dengan orang lain karena takut
kehilangan dukungan atau persetujuan. (Catatan: Jangan sertakan ketakutan akan retribusi yang
realistis.)

4. Memiliki kesulitan dalam memprakarsai proyek atau melakukan sesuatu dengan sendirinya
(karena kurang percaya diri pada penilaian atau kemampuan daripada kurangnya motivasi atau
energi).

5. Berusaha berlebihan untuk mendapatkan perawatan dan dukungan dari orang lain, sampai pada
relawan untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan.

6. Merasa tidak nyaman atau tidak berdaya saat sendirian karena ketakutan yang berlebihan karena
tidak mampu merawat dirinya sendiri.

7. Mendesak mencari hubungan lain sebagai sumber perawatan dan dukungan saat hubungan dekat
berakhir.

8. Tidak realistis, disibukkan dengan kekhawatiran ditinggalkan dan harus mengurus dirinya sendiri.

2.5.3 Gangguan Kepribadian Obsesif Kompulsif

25
Perfeksionisme dan perhatian berlebihan terhadap ketertiban dan kontrol, mencirikan individu
dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif (obsessivecompulsive personality disorder-OCPD).
Jangan memindahkan apapun di meja mereka yang rapi! Keasyikan mereka dengan mempertahankan
kontrol mental dan interpersonal terjadi sebagian dengan memperhatikan peraturan, ketertiban, dan
jadwal. Mereka sangat berhati-hati dalam melakukan apa yang mereka lakukan agar tidak melakukan
kesalahan. tetapi karena perincian yang mereka hadapi sering kali remeh, mereka menggunakan waktu
mereka dengan buruk dan sulit melihat gambaran yang lebih besar (Aycicegi Dinn dkk, 2009: Yovel
dkk., 2005). Perfeksionisme mereka juga sering disfungsional karena bisa mengakibatkan mereka
tidak pernah menyelesaikan proyek. Mereka juga cenderung mengabdikan diri untuk bekerja dengan
mengesampingkan Individu dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif sangat perfeksionis:
Mereka mengalami kesulitan mendelegasikan tugas dan mengalami masalah dalam menyelesaikan
proyek. Secara berlebihan mengabdikan diri untuk bekerja dan tidak fleksibel mengenai masalah
moral dan etika, mereka juga cenderung tidak bergairah dengan diri mereka sendiri dan orang lain.
aktivitas santai dan mungkin mengalami kesulitan untuk berlibur, bersantai, atau melakukan sesuatu
hanya untuk bersenang-senang (Widiger dan Frances, 1994). Bahkan hobi pun merupakan aktivitas
serius yang membutuhkan kesempurnaan. Pada tingkat interpersonal, orang dengan OCPD mengalami
kesulitan mendelegasikan tugas kepada orang lain ("Mereka tidak akan melakukannya dengan benar
dan persis sebagaimana yang saya inginkan"). Mereka 56 juga terlihat oleh orang lain sebagai orang
yang kaku, keras kepala, dan dingin. Penelitian menunjukkan bahwa kekakuan, keras kepala, dan
perfeksionisme, serta keengganan untuk mendelegasikan, adalah ciri OCPD yang paling umum dan
stabil (Ansell., 2008; Grilo dkk., 2004; McGlashan dkk., 2005; Samuel dan Widiger, 2011).

Meskipun namanya terdengar serupa, orang dengan OCPD tidak memiliki obsesi atau ritual
kompulsif yang sebenarnya seperti halnya dengan gangguan obsesif kompulsif (OCD; lihat Bab 6).
Memang, hanya sekitar 20 persen pasien dengan OCD yang memiliki diagnosis komorbid OCPD. Ini
tidak berbeda nyata dengan tingkat OCPD pada pasien dengan gangguan panik (Albert dkk., 2004).
Menariknya, di antara 20 sampai 61 persen orang dengan anoreksia nervosa memiliki diagnosis
komorbid OCPD (Samuels dan Costa, 2012). Ini masuk akal, mengingat perfeksionisme dan kekakuan
merupakan ciri utama kedua kondisi tersebut. Ada juga komorbiditas yang signifikan antara OCPD
dan tersangka yang biasa, yaitu gangguan suasana hati dan kecemasan (Reichborn-Kjennerud dan
Knudsen, 2015). Dalam sampel masyarakat, titik prevalensi OCPD sekitar 2 persen. Gangguan ini
dianggap sedikit lebih umum pada pria daripada wanita (Torgersen, 2012). Beberapa fitur OCPD
tumpang tindih dengan beberapa ciri gangguan kepribadian narsistik, antisosial, dan skizofrenia,
meski ada juga fitur yang membedakan. Misalnya, individu dengan narsistik dan ASPD dapat berbagi
kurangnya kemurahan hati terhadap orang lain yang menjadi ciri OCPD. Namun, mereka cenderung
bersedia untuk memanjakan diri, sedangkan orang- orang dengan OCPD sama-sama tidak mau
bermurah hati dengan diri mereka sendiri. Selain itu, baik kepribadian skizoid maupun obsesif
kompulsif mungkin memiliki sejumlah formalitas dan keterpisahan sosial, namun hanya kepribadian
skizoid yang tidak memiliki kapasitas untuk hubungan dekat. Orang dengan OCPD mengalami
kesulitan dalam hubungan interpersonal karena pengabdian yang berlebihan untuk bekerja dan
kesulitan besar mengekspresikan emosi.

Para teoretikus yang mengambil pendekatan dimensi lima faktor untuk memahami OCPD
mencatat bahwa individu-individu ini memiliki tingkat kesadaran yang terlalu tinggi (Samuel dan
Widiger, 2011). Hal ini menyebabkan pengabdian ekstrem dalam bekerja,

26
perfeksionisme, dan berlebihan mengendalikan perilaku. Mereka juga tinggi pada sisi ketegasan (segi
ekstraversi) dan rendah pada kepatuhan (segi kesesuaian). Pendekatan dimensi biologis berpengaruh
lainnya-yaitu Cloninger (1987) memiliki tiga dimensi kepribadian utama: pencarian baru,
kebergantungan hadiah, dan penghindaran bahaya. Individu dengan kepribadian obsesif kompulsif
memiliki tingkat pencarian baru yang rendah (yaitu, mereka menghindari perubahan) dan
kebergantungan terhadap hadiah (yaitu, mereka bekerja secara berlebihan dengan mengorbankan
pencarian yang menyenangkan), namun tingkat penghindaran bahaya yang tinggi (yaitu, mereka
merespons engan kuat terhadap rangsangan yang tidak menyenangkan an mencoba menghindarinya).
Penelitian juga menunjukkan ahwa karakter OCPD menunjukkan pengaruh genetik ang sederhana
(Calvo dkk., 2009; Reichborn-Kjennerud, zajkowski, Neale dkk., 2007).

Studi kasus: Petugas Operator Kereta Api yang Perfeksionis

Alan tampaknya cocok untuk pekerjaannya sebagai petugas operator kereta api. Dia teliti,
perfeksionis, dan memperhatikan detailnya. Namun, dia tidak dekat dengan rekan kerjanya, dan
mereka melaporkan mengira dia "tidak bekerja". Dia akan sangat kecewa jika beragam aktivitas
kecilnya dalam rutinitas kesehariannya terganggu. Misalnya, dia akan menjadi tegang dan mudah
tersinggung jika rekan kerja tidak mengikuti jadwal dan rencana yang disusun dengan tepat. Alan juga
mengalami kesulitan saat rekan kerjanya menyarankan cara lain untuk menyelesaikan tugas terkait
pekerjaan. Dia tidak dapat mengakui bahwa mungkin ada cara lain yang sama baiknya untuk
melakukan sesuatu, dan dia dengan cepat memberhentikan semua saran dan gagasan dari rekan-rekan
dan rekan kerjanya. Singkatnya, Alan mendapat sedikit kesenangan dari kehidupan dan selalu
khawatir tentang masalah kecil. Rutinitasnya yang kaku tidak mungkin dipelihara, dan dia sering
mengalami sakit kepala tegang atau sakit perut saat dia tidak dapat mempertahankan rencana
rumitnya secara teratur. Dokternya, mencatat frekuensi keluhan fisik dan pendekatan perfeksionis
terhadap kehidupannya, merujuknya untuk melakukan evaluasi psikologis. Psikoterapi
direkomendasikan, tetapi dia tidak menindaklanjuti rekomendasi perawatan karena dia merasa tidak
mampu meluangkan waktu karena harus bekerja.

Kriteria untuk Gangguan Obsesif Komplusif

Pola kesibukan yang meluas dengan ketertiban, perfeksionisme, dan pengendalian mental dan
interpersonal, dengan mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi, dimulai pada awal masa
dewasa dan hadir dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) dari
berikut.

1. Disibukkan dengan perincian, peraturan, daftar, pesanan, organisasi, atau jadwal, sampai pada
kondisi, titik utama aktivitas menjadi hilang.

2. Menunjukkan perfeksionisme yang mengganggu penyelesaian tugas (misalnya, tidak dapat


menyelesaikan proyek karena standarnya sendiri terlalu ketat dan tidak terpenuhi).

3. Terlalu dikhususkan untuk bekerja dan produktivitas, sehingga tidak memperhitungkan kegiatan
santai dan pertemanan (tidak diperhitungkan dengan kebutuhan ekonomi yang jelas)

4. Terlalu teliti, cermat, dan tidak fleksibel mengenai masalah moralitas, etika, atau nilai (tidak
dipertanggungjawabkan oleh identifikasi budaya atau agama)

5. Tidak mampu membuang benda-benda yang sudah usang atau tidak berharga bahkan ketika mereka
tidak memiliki nilai sentimental.

27
6. Enggan untuk mendelegasikan tugas atau bekerja dengan orang lain, kecuali mereka tunduk
pada cara mereka melakukan sesuatu dengan tepat.

7. Mengadopsi gaya belanja kikir terhadap diri sendiri dan orang lain; uang dipandang sebagai
sesuatu yang harus ditimbun untuk menghadapi bencana masa depan.

8. Menunjukkan kekakuan dan keras kepala.

2.6 Faktor Penyebab Sosiokultural Umum Untuk Gangguan Kepribadian

Faktor sosiokultural yang berkontribusi terhadap gangguan kepribadian tidak dipahami


dengan baik. Seperti bentuk psikopatologi lainnya, kejadian dan ciri khas gangguan kepribadian agak
berbeda dengan waktu dan tempat, walaupun tidak sebanyak dugaan (Allik, 2005; Rigozzi dkk..
2009). Memang, ada sedikit perbedaan lintas budaya, tetapi tidak demikian halnya dengan satu
budaya. Hal ini mungkin terkait dengan temuan bahwa semua budaya (baik Barat maupun non-
Barat,termasuk Afrika dan Asia) memiliki lima ciri kepribadian dasar yang sama yang telah dibahas
sebelumnya, dan pola variasi yang menyertai juga tampak universal (lihat Allik, 2005, untuk tinjauan
ulang).Beberapa peneliti percaya bahwa gangguan kepribadian tertentu telah meningkat di
masyarakat Amerika dalam beberapa tahun terakhir (contoh. Paris,2001). Jika klaim ini benar, kita
dapat mengharapkan peningkatan yang terkait dengan perubahan dalam prioritas dan aktivitas umum
budaya kita Apakah penekanan kita pada kepuasan impuls. solusi instan, dan manfaat bebas dari rasa
sakit, mengarahkan lebih banyak orang untuk mengembangkan gaya hidup yang berpusat pada diri
sendiri seperti yang kita lihat pada bentuk gangguan kepribadian yang lebih ekstrem? Misalnya. ada
beberapa bukti bahwa gangguan kepribadian narsisistik lebih sering terjadi pada budaya Barat,
tempat ambisi dan kesuksesan pribadi didorong dan diperkuat (misalnya, Widiger dan Bornstein,
2001). Ada juga beberapa bukti bahwa kepribadian histrionik mungkin diharapkan (dan memang)
kurang umum dalam budaya Asia, yaitu ketika merayu secara seksual, serta menarik perhatian orang
lain untuk dirinya sendiri, tidak disukai, sebaliknya, ini mungkin lebih tinggi dalam budaya Hispanik,
di mana kecenderungan semacam itu biasa dan mudah ditoleransi (contoh, Bornstein dkk.. 2015).
Satu studi di Amerika Serikat telah menemukan tingkat gangguan histrionik yang lebih tinggi pada
wanita keturunan Afrika-Amerika dibandingkan wanita Kaukasia (Grant. Hasin, dkk,2004). Sekali
lagi di Amerika Serikat, tingkat BPD lebih tinggi pada orang Amerika Hispanik daripada di Afrika
Amerika dan Kaukasia, namun tingkat gangguan kepribadian skizotip lebih tinggi pada warga
keturunan Amerika-Afrika daripada pada orang Kaukasia (Chavira dkk., 2003) Telah disarankan juga
bahwa peningkatan yang diketahui selama 70 tahun sejak Perang Dunia II dalam disregulasi
emosional (misalnya, depresi, perilaku merugikan diri sendiri, dan bunuh diri) dan perilaku impulsif
(penyalahgunaan zat dan perilaku kriminal) mungkin terkait dengan peningkatan prevalensi ambang
dan ASPD selama periode waktu yang sama. Ini bisa berasal dari meningkatnya kerusakan struktur
sosial nasional (Paris, 2001, 2007) dan mungkin berbeda antarbudaya bergantung pada kerusakan
serupa yang terjadi.

2.7 Perawatan Gangguan Kepribadian dan Hasilnya

28
Mendiskusikan tantangan yang terkait dengan perawatan terhadap gangguan kepribadian dan
merangkum pendekatan yang digunakan. Gangguan kepribadian pada umumnya sangat sulit
ditangani, sebagian karena menurut definisi, relatif bertahan lama, pola tidak fleksibel dari perilaku
dan pengalaman batin. Selain itu, banyak tujuan perawatan yang berbeda dapat dirumuskan, dan ada
pula yang lebih sulit untuk dicapai daripada yang lain. Tujuan mungkin mencakup mengurangi
tekanan subjektif, mengubah perilaku disfungsional yang spesifik dan mengubah keseluruhan pola
perilaku atau keseluruhan struktur kepribadian.Dalam banyak kasus, orang dengan gangguan
kepribadian hanya melakukan perawatan atas desakan orang lain, dan mereka sering kali tidak
percaya bahwa mereka perlu untuk berubah. Selain itu, mereka yang berasal dari Klaster A aneh
kesulitan umum dalam membentuk dan memelihara hubungan baik, termasuk dengan terapis. Bagi
mereka dari menentu/dramatis, pola Klasterdalam hubungan mereka yang lain dibawa ke situasi
khapi. Alih-alih menangani masalah mereka di tingkat verbal, mereka mungkin menjadi marah pada
terapis dan menciptakan konflik selama sesi. Penyelesaian perawatan yang tidak lengkap adalah
masalah khusus dalam penanganan gangguan kepribadian; satu ulasan melaporkan bahwa rata- rata
37 persen pasien dengan gangguan kepribadian, putus terapi secara prematur (McMurran dkk., 2010).

2.7.1 Adaptasi teknik terapeutik untuk gangguan kepribadian spesifik

Menurut perspektif psikologi terutama psikologi kognitif bahwa memori atau ingat
Teknik terapeutik harus sering dimodifikasi. Misalnya, mengenali bahwa psikoterapi individu
tradisional cenderung mendorong kebergantungan pada orang- orang yang sudah terlalu
bergantung (seperti pada orang dependen, histrionik, danBPD), sering kali bermanfaat untuk
mengembangkan strategi perawatan yang secara khusus ditujukan untuk mengubah sifat-sifat
ini. Pasien dari Klaster C yang cemas/ takut, seperti orang-orang dengan kepribadian
dependen dan menghindar, mungkin juga sangat peka terhadap setiap kritik yang mungkin
mereka rasakan dari terapis, jadi terapis harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa
mereka tidak melakukan dengan cara ini Bagi orang dengan gangguan kepribadian yang
parah, terapi mungkin lebih efektif dalam situasi ketika perilaku janggal bisa dibatasi.
Misalnya, banyak pasien dengan BPD dirawat di rumah sakit, untuk alasan keamanan, karena
perilaku bunuh diri mereka yang sering. Namun, sebagian program rawat inap semakin
meningkat dan digunakan rawat inap yang tidak (Azim, 2001). Dalam program ini, pasien
tinggal di rumah hari kerja. Beberapa penelitian yang dilakukan di Belanda lebih efektif
daripada perawatan rawat jalan untuk gangguan kepribadian Klaster B dan Klaster C (Bartak
dkk., 2010, 2011). Pendekatan kognitif juga semakin banyak digunakan.

Terapi kognitif untuk gangguan kepribadian mengasumsikan bahwa perasaan dan


perilaku disfungsional yang terkait dengan gangguan kepribadian sebagian besar merupakan
hasil dari skema (gaya berpikir) yang cenderung menghasilkan penilaian bias yang konsisten,
serta kecenderungan untuk membuat kesalahan kognitif (contoh, Beck dkk., 2003; Cottraux
dan Blackburn, 2001; Leahy dan McGinn, 2012; Pretzer dan Beck, 2005). Mengubah skema
disfungsional yang mendasarinya sulit, namun merupakan jantung terapi kognitif untuk
gangguan kepribadian.
Pendekatan kognitif menggunakan teknik seperti memonitor pikiran otomatis, menantang
logika yang salah, dan menetapkan tugas perilaku dalam upaya untuk menantang kepercayaan
disfungsional pasien. Tabel 10.3 memberikan contoh beberapa kepercayaan utama yang
terkait dengan gangguan kepribadian yang berbeda.

2.7.2 Perawatan terhadap gangguan kepribadian ambang

29
Dari semua gangguan kepribadian, kebanyakan perhatian klinis dan penelitian telah diberikan
pada perawatan terhadap BPD. Hal ini disebabkan oleh tingkat keparahan gangguan ini dan tingginya
risiko bunuh diri yang terkait dengannya. Perawatan psikologis dianggap penting. Medikasi juga
digunakan, meskipun paling tepat dalam waktu yang terbatas dan sebagai tambahan pendekatan
perawatan psikologis (Bateman dkk, 2015).

Terapi perilaku dialektik (dialectical behavior therapy-DBT), yang dikembangkan oleh


Marsha Linehan, adalah jenis terapi kognitif dan perilaku unik yang disesuaikan secara khusus untuk
BPD (Linehan, 1993; Lynch dan Cuper, 2012; Neacsiu dan Linehan, 2014).
Linehan yang, seperti yang dijelaskan dalam boks Dunia Sekitar Kita, pernah berjuang dengan BPD
sendiri) percaya bahwa ketidakmampuan pasien untuk menoleransi keadaan kuat dari pengaruh
negative sangat penting bagi gangguan ini. Salah satu tujuan utama perawatan adalah mendorong
pasien untuk menerima pengaruh negatif ini tanpa terlibat dalam perilaku merusak diri sendiri atau
maladaptif lainnya.

Terapi perilaku dialektik (DBT) tampaknya merupakan perawatan yang manjur untuk BPD
(Binks dkk., 2006; Neacsiu dan Linehan, 2014). Namun, masih belum cukup uji coba terkontrol
secara acak untuk mengatakan apakah ini bekerja dengan baik pada pria seperti pada wanita, dan
apakah obat ini bekerja dengan baik pada pasien minoritas (Lynch dan Cuper, 2012). Pasien yang
menerima DBT menunjukkan pengurangan perilaku merusak diri sendiri dan bunuh diri serta tingkat
kemarahan (Linehan dkk., 2006; Lynch dkk., 2007). Bukti juga menunjukkan bahwa keuntungan ini
berkelanjutan (Zanarini dkk., 2005). Sebagai hasil dari banyak upaya Linehan untuk membantu dokter
mempelajari metodenya, DBT semakin tersedia bagi pasien. Versi perawatan yang lebih singkat juga
sedang dikembangkan (lihat Neacsiu dan Linehan, 2014; Stanley dkk., 2007).

Perawatan psikososial lain untuk BPD melibatkan varian psikoterapi psikodinamik. Kernberg
(1985, 1996) dan rekan-rekannya (Koenigsberg dkk., 2000; lihat juga Clarkin dkk., 2004) telah
mengembangkan bentuk psikoterapi psikodinamik yang jauh lebih direktif daripada tipikal perawatan
psikodinamik.Pendekatan ini disebut psikoterapi yang berfokus pada transferensi (Yeomans dkk.,
2013). Tujuan utama dilihat sebagai penguatan ego lemah individu-individu ini, dengan fokus khusus
pada mekanisme pertahanan primitif utama mereka untuk membelah. Hal ini membawa mereka pada
pemikiran hitam-putih, semua atau tidak ada, dan juga perubahan yang cepat dalam reaksi mereka
terhadap diri mereka sendiri dan orang lain (termasuk terapis) sebagai "semua baik" atau "semuanya
buruk". Salah satu tujuannya adalah untuk membantu pasien melihat nuansa abu-abu di antara
ekstrem ini dan mengintegrasikan pandangan positif dan negative tentang diri mereka dan orang lain
ke dalam pandangan yang lebih bernuansa.

Bateman dan Fonagy (2010) telah mengembangkan pendekatan terapeutik baru yang disebut
mentalisasi. Ini menggunakan hubungan terapeutik untuk membantu pasien mengembangkan
keterampilan yang mereka butuhkan untuk secara akurat memahami perasaan dan emosi mereka
sendiri, serta perasaan dan emosi orang lain. Percobaan terkontrol acak dari terapi berbasis
mentalisasi telah mengungkapkannya sebagai perawatan yang manjur bagi BPD. Apalagi banyak
perbaikan klinis yang tampaknya dipertahankan bahkan setelah berlanjut 8 tahun(Bateman dan
Fonagy, 2008). Meskipun DBT masih merupakan perawatan yang sangat populer, namun hal tersebut
mendorong orang dengan BPD sekarang untuk memilih perawatan lain yang tersedia bagi mereka.

30
Obat-obatan sering digunakan dalam perawatan BPD. Memang, banyak pasien dengan BPD
menggunakan beberapa obat. Namun, ada sedikit bukti yang mendukung penggunaannya (Bateman
dkk, 2015). Obat antidepresan (paling sering dari kategori serotonin selective reuptake inhibitors
[SSRI]) banyak digunakan, walaupun tidak ada bukti kuat bahwa obat ini efektif. Obat tersebut paling
tepat bila pasien mengalami gangguan suasana hati komorbid (Silk dan Feurino, 2012). Beberapa
medikasi antipsikotik generasi kedua (seperti aripiprazole dan olanzapine) dan stabilisator suasana hati
(seperti topiramate, valproate, dan lamotrigine) dapat sedikit mengurangi simtom selama jangka
pendek. Namun, sama seperti semua obat-obatan, risiko dan manfaatnya perlu dipertimbangkan dengan
hati- hati.

2.7.3 Perawatan terhadap gangguan kepribadian lainnya

Perawatan terhadap gangguan kepribadian Klaster A dan Klaster B lainnya, sejauh


ini, tidak sama menjanjikannya dengan beberapa kemajuan terbaru yang telah dilakukan dalam
perawatannya terhadap BPD. Pada gangguan kepribadian skizotip, obat antipsikotik dosis rendah
(termasuk antipsikotik atipikal yang lebih baru, misalnya Keshavan dkk., 2004; dkk, 2007; Raine,
2006) Kebaikan sederhana. Antidepresan dari kategoriasiskan mungkin juga berguna. Namun, belum
ada perawatan yang berhasil mengobati kebanyakan orang dengan gangguan ni(Koenigsberg dkk.,
2002, 2007; Markovitz, 2001, 2004; Silk dan Feurino, 2012). Selain studi yang tidak terkontrol atau
kasus tunggal, tidak ada penelitian yang terkontrol dan sistematis yang ada, baik dengan pengobatan
maupun psikoterapi untuk menangani orang dengan gangguan paranoid, skizoid, narsisistik, atau
histrionik (Beck dkk., 2003; Crits-Christoph dan Barber, 2007). Salah satu alasannya adalah bahwa
orang- orang ini (karena sifat patologi kepribadian mereka) jarang mencari perawatan.Meskipun tidak
banyak diteliti, perawatan beberapa gangguan Klaster C, seperti gangguan kepribadian dependen dan
menghindar, tampaknya agak lebih menjanjikan. Winston dan rekan (1994) menemukan peningkatan
yang signifikan pada pasien dengan gangguan Klaster C menggunakan bentuk psikoterapi jangka
pendek yang aktif dan konfrontatif (lihat juga Pretzer dan Beck, 1996). Beberapa penelitian perawatan
dengan perilaku kognitif yang ketika digunakan pada orang dengan gangguan kepribadian
menghindar, dilaporkan menghasilkan keuntungan yang signifikan (lihat Crits-Christoph dan Barber,
2007).

Sebuah metaanalisis baru-baru ini juga menyimpulkan bahwa terapi kognitif dan
terapi psikodinamik menghasilkan keuntungan perawatan yang signifikan dan bertahan (Simon,
2009). Studi lain di Belanda menemukan bahwa perawatan rawat inap jangka pendek untuk gangguan
kepribadian Klaster C bahkan lebih efektif daripada terapi rawat inap atau rawat jalan jangka panjang
(Bartak dkk., 2011). Antidepresan dari kategori inhibitor oksidase monoamin (monoamine oxidase
inhibitor- MAOI) dan SSRI kadang juga bisa membantu dalam perawatan terhadap gangguan
kepribadian menghindar, seperti pada fobia .

2.8 Masalah –masalah dengan Penggolongan Gangguan Kepribadian

1. Reliabilitas dan Validitas yang Tidak Dipastikan

Sistem DSM saat ini dibuat untuk mengatasi ambiguitas dalam kriteria diagnostik dari
gangguan kepribadian dengan memberikan kriteria deskriptif yang lebih jelas dalam membedakan
gangguan tertentu.Meskipun demikian, reliabilitas dan validitas dari definisi yang digunakan dalum
DSM-IV tetap perlu diteliti. Masalah dalam Membedakan Gangguan pada Aksis I dengan Aksis II
sejumlah peninjau mempertanyakan apakah gangguan kepribadian Aksis II dapat secara reliabel
dibedakan dari sindrom klinis Aksis seperti gangguan kecemasan atau gangguan mood (Farmer, 2000;
Livesley dkk., 1994). Sebagai contoh, klinisi mungkin mendapat kesulitan untuk membedakan antara

31
gangguan obsesif kompulsif dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif Sindrom klinis diyakini
berubah-ubah dari waktu ke waktu, sementara gangguan kepribadian umumnya lebih merupakan pola
gangguan yang abadi. Meski demikian, bukti menunjukkan bahwa ciri gangguan kepribadian dapat
berbeda dari waktu ke waktu sesuai dengan berubahnya situasi. Di sisi lain, sejumlah sindrom klinis
Aksis I (distimia, misalnya) sedikit banyak bertahan dalam jangka waktu yang lama.

2. Tumpang Tindih Antara Gangguan

Terdapat pula tumpang tindih yang besar di antara gangguan kepribadian (Westen
Shedler,1999) Tumpang tindih tersebut mengurangi kejelasan atau kemurnian konseptual DSM dengan
meningkatkan jumlah kasus yang tampaknya cocok untuk dua atau lebih kategori diagnosis (Livesley,
1985). Meski sejumlah gangguan kepribadian memiliki perbedaan yang jelas, banyak yang tampak
memiliki trait umum yang sama, seperti masalah dalam hubungan romantik Daley, Burge, & Hammen,
2000). Tambahan lagi, orang yang sama dapat memiliki mait yang mengindikasikan gangguan
kepribadian dependen (ketidakmampuan membuat keputusan atau melakukan aktivitas secara mandiri)
dan juga gangguan kepribadian menghindar (kecemasan sosial yang dengan ekstrem dan sensitivitas
yang tinggi terhadap kritik). Umumnya, sekitar dua dari tiga orang gangguan kepribadian memenuhi
kriteria diagnostik untuk lebih dari satu tipe (Widiger, 1991). Tumpang tindih yang besar tersebut
menunjukkan bahwa gangguan kepribadian yang termasuk dalam sistem mungkin tidak cukup berbeda
antara satu dan yang yang & Schedler, 1999). Jadi, sejumlah gangguan yang disebut bisa jadi hanya
menggambarkan aspek berbeda dari satu gangguan, bukan kategori diagnostik yang berbeda.

3. Kesulitan dalam Membedakan antara variasi dalam Perilaku Normal dan variasi dalam
Perilaku Abnormal

Masalah lain yang terkait dengan diagnosis gangguan keprbadian bahwa gangguan torsebut
melibatkan trait yang, dalam derajat yang lebih rendah, menggambarkan perilaku dari kebanyakan
individu normal. Merasa curiga tidak berarti Anda memiliki gangguan kepribadian paranoid.
kecenderungan untuk melebih-lebihkan arti penting dari diri sendiri tidak berati Anda Anda dapat
menghindari interaksi sosial karena rakut akan dipermalukan ditolak tanpa memiliki gangguan
kepribadian menghindar, dan Anda dapat menjadi sangat rinci dalam bekerja tanpa memiliki
gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, Karena atribut yang menjelaskan gangguan ini umumnya
akan trait kepribadian, klinisi sebaiknya banya menerapian diagnostik saar pola tersebut begitu
pervasif sehingga mengacaukan fungsi individual atau menyebabkan distress personal yan signifikan.
Namun sulit untuk diketahui di mana harus memberi bacas antara variasi normal dalam gangguan
perilaku dan kepribadian Kita terus-menerus kekurangan data yang dapat mengarahkan kita secara
lebih tepat dalan menentukan duduk di mana trait menjadi cukup tidak fleksibel atau maladaptif untuk
membenarkan diagnosis gangguan kepribadian (Widiger & Costa, 199A).

4. Bias Seksis

Konstruksi dari gangguan kepribadian tertentu kemungkinan memiki dasar eksis.


Misalnya, kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian melabel perilaku stereotip feminim
patologis dengan frekuensi yang lebih besar daripada kasus perilaku stereotip maskulin.
Mungkin saja untuk memperlihatkan bahwa trait maskulinitas yang berlebihan berhubungan dengan
distress yang signifikan atau hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan pada sejumlah laki-laki
tertentu: Laki-laki yang sangat marhuli sering terlibat dalam perkelahian dan mengalami kesulitan
bekeria untuk atasan Perempuan Meskipun demikian, tidak ada gangguan kepribadian yang
berkorespondensi dengan stereotip "laki-laki Jantan” (Nevid, Rathus,& Greene, 2005).

32
Klinisi juga bisa menjadi bias dalam persetujuan untuk menganggap perempuan memiliki
gangguan kepribadian histrionik dan laki-laki memiliki gangguan kepribadian antisosial, bahkan saat
tidak ada perbedaan dalam simtomatologi mereka (Garb, 1997). Klinisi kemungkinan juga memiliki
bias gender saat mendiagnosis gangguan kepribadian ambang. Dalam suatu penelitian, peneliti
menampilkan contoh kasus hipotetis pada 311 sampel psikolog, pekerja sosial, dan psikiater (Becker
& Lamb, 1994). Setengah dari sampel disajikan kasus yang diidentifikasi sebagai perempuan,
setengah lagi membaca kasus yang identik, tetapi diidentifikasi sebagai laki- laki. Klinisi lebih sering
mendiagnosis kasus yang diidentifikasi perempuan sebagai memiliki gangguan kepribadian ambang.

5. Merancu Antara Label dengan Penjelasan

Jelas bahwa kita sebaiknya tidak merancu antara label diagnostik dengan penjelasan, namun
pada praktiknya perbedaan yang ada kadang tidak jelas Bila kita merancu antara label dengan
penjelasan, kita dapat jatuh ke dalam jebakan penalaran yang sirkular.

2.9 Penyebab menurut perspektif teoritis

Perspektif Psikodinamika

Teori Freudian memandang bahwa banyaknya abnormalitas yang muncul diakibatkan karena
Oedipus complex. Freud meyakini bahwa anak-anak normalnya dapat mengatasi Oedipus complex
dengan mengabaikan inses pada orangtua yang bededa gender dan mengidentifikasi diri dengan orang
tua dari gender yang sama. Hasilnya adalah mereka menyerap prinsip moral orangtua yang bergender
sama dalam bentuk struktur kepribadian yang disebut superego. Selain itu juga freud memandang
bahwa ketidakhadiran sosok ayah dan orangtua yang antisosial juga merupakan faktor yang
menyebabkan penyimpangan pada proses perkembangan, menghalangi anak untuk memiliki moral
guna mencegah perilaku anti sosial, perasaan bersalah, menyesal,atau perilaku menyakiti orang lain.
Pada perkembangan moral freud berfokus pada laki-laki, sehingga menuai kritikan karena gagal
menjelaskan perkembangan moral perempuan.Hans Kohut, salah satu pakar psikodinamika modern
yang banyak berfokus pada perkembangan kepribadian narsistik.
Kohut meyakini bahwa kepribadian narsistik dengan meningkatan rasa self importance yang palsu
untuk menutupi perasaan tidak adekuat yang mendalam. Self esteem para narsistik seperti kebutuhan
yang harus terus menerus diisi ulang, Curahan perhatian dan pujian terus menerus mencegah
penderitaan harus terus didapatkan oleh kepribadian narsistik untuk mencegah penderitaan karena
ketidakaman. Prasaan grandiose (merasa diri hebat) membantu orang dengan kepribadian narsistik
membantu mereka untuk menutupi person tidak berharga yang mendasar. Kegagalan dan kekecewaan
akan mendorong kepribadian narsistik pada lembah depresi. kepribadian narsistik bisa sangat marah
dan tersinggung pada mereka yang mereka anggap gagal melindungi mereka dari kekecewaan atau
yang menggurangi curahan keyakinan, pujian, dan pemujaan terhadap mereka. Mereka menutupi
perasaan malu dan marah dengan memasang wajah yang tenang tidak peduli.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Orang dengan gangguan kepribadian memiliki sifat tidak fleksibel dan maladaptif yang
meluas dan stabil. Cara mereka untuk memahami, berpikir, dan bersikap berkompromi dengan
kemampuan mereka untuk berfungsi secara efektif dan berhubungan dengan orang lain dan
lingkungan. Mereka mengalami kesulitan interpersonal kronis, masalah dengan identitas atau
kesadaran diri, dan tidak dapat berfungsi secara adaptif.Gangguan kepribadian Klaster A adalah
gangguan kepribadian paranoid, skizoid, dan skizotip. Individu dengan gangguan Klaster A tampak
aneh atau eksentrik. Klaster B mencakup gangguan kepribadian histeris, narsistik, antisosial, dan
ambang; individu dengan gangguan ini berbagi kecenderungan untuk menjadi dramatis, emosional,
dan tidak menentu. Sedikit yang diketahui tentang penyebab gangguan kepribadian histrionik dan
narsisistik. Gangguan di Klaster C adalah gangguan kepribadian menghindar, dependen, dan obsesif
kompulsif.
Orang dengan gangguan ini menunjukkan ketakutan atau ketegangan, seperti pada gangguan
kecemasan.

Gangguan kepribadian pada umumnya sulit diberi perawatan karena,menurut definisinya,


mereka mencerminkan gaya berpikir dan pola perilaku yang bertahan lama dan pervasif. Banyak orang
dengan gangguan kepribadian tidak percaya bahwa mereka memerlukan perawatan. Terapi juga
diperumit oleh kenyataan bahwa gangguan kepribadian biasanya melibatkan masalah dengan hubungan
interpersonal. Masalah ini dibawa ke dalam hubungan terapeutik juga. Perawatan kognitif untuk
gangguan kepribadian bertujuan untuk menargetkan inti disfungsional keyakinan yang dianggap
sebagai sentral bagaimana orang melihat dunia dan berperilaku di dalamnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Nevid, J.S., dkk., Psikologi Abnormal Edisi Ke-5, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.

Maslim, Rusdi, Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2013.

Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. 2015. Sinopsis Ilmu Perilaku Psikiatri Kaplan &
Sadock/Psikiatri Klinis.Edisi Kesebelas. Wolters Kluwer, Philadelphia

Hooley Jill M, James N. Butcher, Matthew K. Nock, Susan Mineka. 2018.PSIKOLOGI


ABNORMAL (Edisi 17). Salemba Humanika

35

Anda mungkin juga menyukai