Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH OBAT ADRENERGIK

MATA KULIAH KIMIA MEDISINAL

Dosen pengampu: apt, Oktariani Pramiastuti, M.Sc.,

Oleh
Kelompok 2:
1. Lina Susianti E1021005
2. Siti Murtasiyah E1021006
3. Hasna Fauzia Akhsani E1021007

PROGRAM STUDI FARMASI S1 KELAS LINTAS JALUR


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, taufik dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Obat
Adrenergik “ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan
masukan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan dating,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat bermanfaat badi kami
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan demi perbaikan di masa depan.

Slawi, 7 Mei 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 3
2.1 Pengertian Adrenergik ............................................................................. 3
2.2 Klasifikasi Obat Simpatomimetik ........................................................... 3
2.3 Cara Kerja Adrenergik ............................................................................ 4
2.4 Reseptor Adrenergik ................................................................................ 4
2.5 Agonis Adrenergik .................................................................................. 7
2.6 Antagonis Adrenergik ............................................................................. 9
2.7 Contoh Obat Adrenergik .........................................................................10
BAB III PENUTUP .....................................................................................................15
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................16

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Klasifikasi obat simpatomimetik .............................................................. 4

Gambar 2 Metabolisme sequential dari norepinephrine dan ephineprine ................. 5

Gambar 3 Struktur kimia adrenergic agonis .............................................................. 8

Gambar 4 Struktur catechol .......................................................................................11

Gambar 5 Struktur norepinephrine dan ephineprine .................................................11

Gambar 6 Struktur klonidine .....................................................................................12

Gambar 7 Struktur amfetamine .................................................................................13

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Selektifitas reseptor untuk agonis adrenergic ............................................. 7

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu
kimia dan biologi yang digunakan untuk memahami mekanisme kerja obat. Sebagai
dasar adalah dengan menetapkan hubungan struktur kimia dengan aktivitas biologis
obat, serta melibatkan perilaku biodinamik melalui sifat fisik dan kereaktifan kimia
senyawa obat.
Sifat kimia fisika sebagai dasar aktivitas biologis obat dimana memegang
peranan penting dalam transport obat untuk mencapai reseptor. Hanya obat yang
mempunyai struktur dengan kekhasan tinggi saja yang dapat berinteraksi dengan
reseptor biologis.
Kimia medisinal sangat berkaitan dengan bidang farmakologi dimana
farmakologi mempelajari pengetahuan seluruh aspek mengenai obat seperti sifat
kimiawi dan fisikanya, farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi obat), serta farmakodinamik terutama interaksi obat dengan reseptor, cara
dan mekanisme kerja obat. Salah satu ilmu farmakologi yaitu mengenai Sistem
Saraf Otonom, sistem saraf terdiri dari dua system yaitu system saraf simpatis dan
system parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. System saraf simpatis
terlibat dalam aktifitas yang berhubungan dengan pengeluaran energi dari tubuh.
Meningkatnya aliran darah ke otot, sekresi epinefrin (meningkatnya denyut jantung
dan kadar gula dalam darah) dan piloereksi (tegaknya bulu roma pada mamalia)
karena kerja saraf simpatis selama periode peningkatan aktivitas. System saraf
parasimpatis mendukung aktifitas tubuh yang berkaitan dengan peningkatan
penyimpanan energi dalam tubuh. Memberikan efek salvias, sekresi kelenjar
pencernaan, peningkatan aliran darah ke system gastrointestinal dan mensekresi
asetilkolin.
Obat-obat yang mempengaruhi system saraf otonom dibagi dalam dua
subgroup sesuai dengan mekanisme kerjanya terhadap tipe neuron yang

1
dipengaruhi. Grup pertama, obat-obat kolinergik yang bekerja terhadap reseptor
yang diaktifkan oleh asetilkolin. Grup kedua obat-obat adrenergik yang bekerja
terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau epinefrin. Obat kolinergik dan
adrenergik bekerja dengan memacu dan menyekat neuron dalam system saraf
otonom.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu
1. Untuk mengetahui pengertian dan kerja obat adrenergik.
2. Untuk dapat mengklasifikasikan obat adrenergik dan mengetahui jenis reseptor
adrenergik.
3. Untuk mengetahui contoh obat adrenergik dan hubungan struktur dan aktivitas
biologisnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Adrenergik

Senyawa adrenergik adalah senyawa yang dapat menghasilkan efek serupa


dengan respons akibat rangsangan pada sistem saraf adrenergik. Obat-obat yang
merangsang sistem saraf simpatis disebut dengan adrenergik, agonis adrenergik
atau simpatomimetik karena obat-obat ini menyerupai neurotransmitter simpatis
(norepinefrin dan epinefrin). Obat-obat ini bekerja pada satu tempat atau lebih dari
reseptor adrenergik yang terdapat pada sel-sel otot polos, seperti pada jantung,
dinding bronkiolus, saluran GI, kandung kemih dan otot siliaris pada mata. Ada
empat reseptor adrenergic: alfa-1, alfa-2, beta-1 dan beta-2, yang menjadi perantara
respons utama.

2.2 Klasifikasi Obat Simpatomatik

Obat-obat simpatomimetik yang merangsang reseptor adrenergik


diklasifikasikan ke dalam 3 golongan berdasarkan efeknya pada sel-sel organ:

1. Simpatomimetik yang bekerja langsung, yang langsung merangsang reseptor


adrenergic (contoh epinefrin atau norepinefrin).
2. Simpatomimetik yang bekerja tidak langsung, yang merangsang pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf terminal (contoh, amfetamin).
3. Simpatomimetik yang bekerja campuran (baik langsung maupun tidak
langsung), yang merangsang reseptor adrenergic dan merangsang pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf terminal.

3
Gambar 1. Simpatomimetik yang (A) bekerja langsung, (B) bekerja tidak
langsung (C) bekerja campuran, Kunci: D: obat
simpatomimetik; NE: Norepinefrin

2.3 Kerja Obat Adrenergik


Jenis-jenis kerja obat adrenergik :
1. Perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa,
dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah
otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernafasan, peningkatan
kewaspadaan, aktifitas psikomotor, pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis
lemak dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon
hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach
2.4 Reseptor Adrenergik

Reseptor adrenergik dibagi pada dua kategori umum: α dan β. Yang masing-
masingnya telah dibagi lebih lanjut menjadi dua subtipe: α1 dan α2, β1 dan β2 dan β3.
Reseptor α telah dibagi lebih lanjut menggunakan teknik kloning molekul menjadi
α1A, α1B, α1D, α2A, α2B, α2C. reseptor ini dihubungkan ke protein-G reseptor
heterotrimerik dengan sub unit α, β, dan γ. Adrenoseptor yang berbeda
dihubungkan melalui protein-G yang spesifik, masing-masing dengan efektor yang

4
unik, tetapi masing-masing menggunakan guanosine trifosfat (GTP) sebagai
kofaktor. α1 berhubungan dengan Gq, yang mengaktifkan fosfolipase, α2
berhubungan dengan Gs, yang mengaktivasi adenilat siklase.

Gambar 2. Metabolisme sequential dari norepinefrin dan epinefrin.


Monoamin oksidase (MAO) dan katekol-O-metiltransferase
(COMT) memproduksi sebuah produk akhir yang sama, asam
vanililmandelik (VMA).
Simpatomimetik, menghasilkan efek farmakologiknya dengan mengaktifkan
baik direk atau indirek α adrenergic, β adrenergic atau reseptor dopaminergik yang
merupakan bagian dari reseptor pasangan protein G.

Semua obat yang mengandung struktur 3,4 dihidroksi benzene


(katekolamin) secara cepat ditidak aktifkan oleh enzim monoamine oksidase atau
katekol-O-methyltransferase (COMT). MAO adalah enzim yang terdapat pada hati,
ginjal dan saluran gastrointestinal yang mengkatalisa oksidasi deaminasi. COMT
dapat mengmetilasi sebuah grup hidroksi dari katekolamin. Hasilnya adalah
metabolit yang sudah termetilasi dan tidak aktif dihubungkan dengan asam
glukorinik dan ditemukan diginjal sebagai asam 3-metoksi-4-hidroksimendelik,
metanefrin (turunan dari epinefrin) dan normetanefrin (turunan dari norepinefrin).

5
1. Reseptor α1

Reseptor α1 adalah adrenoreseptor postsinaptik yang berlokasi di otot


polos seluruh tubuh, pada mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus, dan
sistem genitourinaria. Pengaktifan dari reseptor ini meningkatkan konsentrasi
ion kalsium intraseluler yang berakibat pada kontraksi otot. Sehingga, α1agonis
sering dihubungkan dengan midriasis (dilatasi pupil karena kontraksi dari otot
radial mata), bronkokonstriksi, vasokontriksi, kontraksi uterus, dan kontraksi
dari spinter di gastrointestinal dan traktus genitourinari. Stimulasi α1 juga
menginhibisi sekresi insulin dan lipolisis. Otot jantung juga memiliki reseptor
α1 yang mempunyai sedikit efek inotropik dan tidak ada efek kronotropik.
Selama infark otot jantung, peningkatan reseptor α1 bersama dengan agonis
diobservasi. Bagaimanapun, efek kardiovaskular yang paling penting dari
stimulasi α1 Reseptor α2 adalah vasokonstriksi, yang meningkatkan tahanan
perifer vaskular, afterload ventrikel kiri, dan tekanan darah arteri.

a. Reseptor α2

Berbeda dengan reseptor α1, reseptor α2 awalnya berlokasi di serat


terminal presinaptik. Aktifasi dari adrenoreseptor menginhibisi aktifitas
adenilat siklase. Ini menurunkan pemasukan daripada ion kalsium kedalam
terminal neuronal, yang membatasi penambahan eksositosis dari penyimpanan
vesikel yang mengandung norepinefrin. Sehingga, reseptor α2 menciptakan
loop negatif umpan balik yang menginhibisi pelepasan norepinefrin lebih lanjut
dari neuron. Sebagai tambahan, otot polos vaskular mengandung postsinaptik
α2 reseptor yang menciptakan vasokonstriksi. Lebih penting lagi, stimulasi dari
reseptor α2 postsinaptik di sistem saraf pusat menyebabkan sedasi dan
menurunkan aliran keluar dari simpatis, yang mengakibatkan vasodilatasi
perifer dan menurunkan tekanan darah.

2. Reseptor β1
Reseptor β1 yang paling penting berlokasi di membran postsinaptik ada
jantung. Stimulasi dari reseptor ini mengaktivasi adenilat siklase, yang
merubah adenosin trifosfat menjadi adenosin siklik monofosfatase dan

6
memulai kaskade kinase fosforilasi. Mulainya kaskade ini mempunyai efek
kronotopik positif (meningkatkan denyut jantung), dromotopik (meningkatkan
konduksi), dan inotropik (meningkatkan kontraktilitas).
3. Reseptor β2
Reseptor β2 berasal dari adrenoreseptor postganglionik yang berlokasi
pada otot polos dan sel kelenjar. Reseptor ini mempunyai cara kerja yang sama
dengan reseptor β1: aktivasi adenilat siklase. Selain persamaan ini, stimulasi β2
merelaksasi otot polos, mengakibatkan bronkodilator, vasodilasi, dan relaksasi
daripada uterus (tokolisis), kandung kemih dan usus. Glikogenolisis, lipolisis,
glukoneogenesis, dan pelepasan insulin distimulasi oleh aktivasi reseptor β2.
Agonis β2 juga mengaktifkan pompa kalium-natrium, yang merubah kalium
intraselular dan dapat membuat hipokalemi dan disritmia.
4. Reseptor β3
β3 reseptor ditemukan di kandung kemih dan dijaringan lemak otak.
Peranannya pada fisiologis kandung kemih belum diketahui, tetapi ada yang
berpendapat bahwa reseptor β3 ini berperan pada lipolisis dan termogenesis
pada lemak coklat.
2.5 Agonis Adrenergik
Agonis adrenergik berinteraksi dengan perubahan tertentu pada
adrenoseptor α dan β. Aktifitas yang tumpang tindih mempengaruhi perkiraan dari
efek klinis. Sebagai contohnya, epinefrin menstimulasi adrenoseptor α1-, α2-, β1-,
β2-.

Tabel 1. Selektifitas reseptor untuk agonis adrenergik

7
Keterangan: 10, tidak ada efek;+,efek agonis (ringan, sedang, ditandai),?, efek
tidak diketahui; DA1dan DA2, reseptor dopaminergik.
2
efek α1, efek dari epinefrin, norepinefrin, dan dopamine menjadi
lebih lama pada dosis lebih tinggi.
3
mode efek pertama dari efedrin adalah stimulasi tidak langsung.

Efek akhir keseluruhannya pada tekanan darah arteri bergantung pada


keseimbangan pada vasokonstriksi α1-, dan vasodilatasi β2-, dan pengaruh inotropik
β1-. Lebih lanjut, keseimbangan ini berubah pada dosis yang berbeda.

Gambar 3. Adregernik Agonis yang mempunyai struktur 3,4 dihidroksibenzen


yang diketahui sebagai katekolamin. Perubahan pada R1, R2 dan R3
mempengaruhi aktifitas dan selektifitas

Adrenergik agonis dapat dikategorikan dengan langsung atau tidak


langsung. Agonis langsung terikat dengan aktifitas neurotransmitter endogen.
Mekanisme dari aksi tidak langsung termasuk peningkatan pelepasan atau
penurunan pengambilan kembali daripada norepinefrin. Perbedaanantara mekanika
aksi langsung atau tidak langsung sebagian penting bagi pasien yang memiliki
penyimpanan noreponefrin endogon yang abnormal, yang sebagian dapat timbul
pada beberapa pengobatan anti hipertensi atau pada inhibitor monoamin oksidase.

8
Hipotensi intraoperasi pada pasien ini harus diterapi dengan agonis langsung, agar
responnya terhadap agonis tidak langsung dapat dirubah.
Hal lain yang dapat membedakan adrenergik agonis dari yang lainnya
adalah struktur kimiawinya. Adrenergik agonis memiliki struktur 3,4
dihidroksibenzen yang dikenal sebagai katekolamin. Obat-obatan ini biasanya kerja
pendek karena metabolismenya oleh monoamin oksidase dan katekol-O-
metiltransferase. Pasien yang mendapat inhibitor monoamin oksidase atau
antidepressan trisiklik dapat menunjukkan sebelumya respon yang berlebihan
terhadap katekolamin. Katekolamin yang timbul secara alami adalah epinefrin,
norepinefrin dan dopamine. Perubahan dari struktur rantai-samping (R1, R2, R3) dari
katekolamin yang timbul secara alami telah membawa kepada perubahandari
katekolamin sintetik (mis: isoprotetenol dan dobutamin), yang lebih mengarah
kepada reseptor yang lebih spesifik.
Adrenergik agonis biasanya digunakan pada anestesiologi dibahas secara
tersendiri dibawah. Perhatikan dosis yang direkomendasikan untuk infus
berkesinambungan ditunjukkan dengan µg/kg/min untuk beberapa agen dan µg.min
untuk yang lainnya. Pada kasus yang manapun, rekomendasi ini harus
dipertimbangkan sebagai protokol, yang mana respon individu dapat berbeda-beda.
2.6 Antagonis Adrenergik
Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang
menghambat perangasangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan
obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf adrenergik.
Antagonis adrenergik terikat tetapi tidak mengaktifkan adrenoreseptor.
Mereka beraksi dengan mencegah aktifitas agonis adrenergik. Seperti agonis,
antagonis dibedakan berdasarkan spektrum dari interaksi reseptor.
1. α BLOKER
Terbagi menjadi α bloker non selektif, α1 bloker selektif dan α2 bloker
selektif. α bloker non selektif terbagi lagi menjadi 3 kelompok: derivat
haloalkalamin, derivat imidazolin dan alkaloid ergot.
2. β BLOKER

9
Dikloroisoproterenol adalah β bloker yang pertama ditemukan tetapi
tidak digunakan karena obat ini juga merupakan agonis parsial yang kuat.
Propranolol, yang ditemukan kemudian menjadi prototipe golongan obat ini.
β bloker mempunyai bermacam tingkatan dari selektifitas untuk
reseptor β 2 1. Mereka yang lebih ke reseptor β1 mempunyai pengaruh yang
lebih sedikitpada bronkopulmonal dan reseptor vascular. Secara teoritis, β1
bloker yang selektif akan mempunyai kemampuan efek inhibisi yang lebih
sedikit terhadap reseptor β2. Sehingga obat ini lebih dipilih untuk pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronik tau penyakit perifer vaskular. Pasien
dengan penyakit perifer vaskular dapat secara potensial menurunkan aliran
darah jika reseptor β2, yang mendilatasi arteriol, diblok.
β-bloker juga diklasifikasikan oleh jumlah dari aktifitas intrinsik
simpatomimetik (ISA) yang dimiliki. Banyak dari β-bloker mempunyai
bebrapa peningkatan aktifitas agonis; walaupun merekatidak akan
memproduksi efek yang sama seperti agonis yang sepenuhnya, seperti
epinefrin. β-bloker dengan ISA tidak memiliki keuntungan seperti β-bloker
tanpa ISA dalam mengobat pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular.
β-bloker dapat diklasifikasikan lebihlanjut seperti yang dieliminasi pada
metabolisme hepatis (seperti atenolol dan metopronol), yang dikeskresikan
diginjal tidak mengalami perubahan (seperti atenolol), atau mereka yang
dihidrolisa pada pembuluh darah (seperti esmolol).
2.7 Contoh Obat Adrenergik
1. Katekolamin (Simpatomimetik langsung)
Katekolamin adalah senyawa yang mempunyai struktur katekol (suatu
struktur aromatik dengan dua gugus hidroksil) terhubung dengan suatu amina.
Katekolamin adalah struktur kimia dari suatu senyawa (baik endogen maupun
sintetik) yang dapat menghasilkan respon simpatomimetik. Contoh-contoh dari
katekolamin endogen adalah E, NE dan dopamine. Katekolamin sintetik adalah
isoproterenol dan dobutamin. Ada juga nonkatekolamin (contoh fenilefrin,
metaproterenol, dan albuterol) yang merangsang reseptor adrenergic.
Kebanyakan nonkatekolamin mempunyai masa kerja lebih panjang daripada

10
katekolamin endogen atau sintetik. Terminasi kerja katekolamin adalah
ambilan kembali ke dalam ujung saraf dan metabolisme oleh enzim COMT dan
MAO.

Gambar 4. Struktur Catechol, Phenylethylamine, Dopamine,


Norepinephrine, dan Epinephrine.

Hubungan struktur dan aktivitas katekolamin

11
Gambar 5. S truktur Norepinephrine, dan Epinephrine

Keterangan : 1. Inti katekol (gugus hidroksi fenolat)


2. Gugus amin
3. Gugus hidroksil alkohol
- Aktivasi α reseptor
Inti katekol dan gugus amin tidak tersubtitusi atau tersubtitusi dengan
subtituen yang tidak besar, seperti gugus metil
- Aktivasi β reseptor
a. Gugus hidroksi fenolat pada posisi meta
b. Gugus hidroksi alkohol berikatan reseptor
c. Gugus amin dengan subtituen yang besar
- Aktivitas agonis pada reseptor adrenergik
a. Struktur induk feniletilamin yang pada kondisi fisiologik terdapat
sebagai ion, feniletilamonium
b. Substituen 3,4-dihidroksi fenolat pd cincin
c. Substituen yg kecil (R’ = H, CH3 atau C2H5 dpt dimasukkan dlm atom
C α tanpa mempangaruhi aktivitas agonis
d. Atom N paling sedikit yg mempunyai satu atom hidrogen (R=H atau
gugus alkil)
2. Klonidin (Simpatomimetik langsung)

Gambar 6. Struktur Klonidin

Obat adrenergic alfa-2 selektif yang terutama dipakai untuk mengobati


hipertensi. Teori yang telah diterima mengenai obat-obat alfa-2 adalah obat-obat
ini mengatur pelepasan dari norepinefrin dengan menghambat pelepasannya.

12
Obat-obat alfa-2 juga diduga menghasilkan penekanan kardiovaskular dengan
merangsang reseptor alfa-2 pada SSP, sehingga terjadi penurunan tekanan darah.
Efek samping dan reaksi yang merugikan Efek samping sering timbul
jika dosis obat dinaikkan atau obat bersifat nonselektif. Efek samping yang
sering timbul pada obat-obat adrenergik adalah hipertensi, takikardi, palpitasi,
aritmia, tremor, pusing, kesulitan berkemih, mual dan muntah.
Hubungan struktur dan aktivitas klonidin.
Dilihat dari struktur klonidin, obat ini memiliki substituen lipofilik pada
posisi orto di cincin fenil. Pada cincin aromatiknya disubstitusi oleh atom
halogen yaitu klorida. Adanya gugus orto-klorida dapat memperbaiki aktivitas
dibandingkan gugus orto-metil pada α2-reseptor. Kehadiran gugus amino
membuat cincin imidazolin bagian dari gugus guanidine. Sesungguhnya, akibat
klonidin pKa basa dari gugus guanidine (pKa 13,6) turun menjadi pKa 8,0
karena gugus amino menyerang langsung cincin orto-diklorofenil. Pada pH
psikologi ini, klonidin ada dalam bentuk tak terionkan sehingga klonidin dapat
melewati SSP.
3. Amfetamin (Simpatomimetik tidak langsung)

Gambar 7. Struktur Amfetamin

Amfetamin adalah salah satu amin simpatomimetik yang paling kuat


dalam merangsang sistem saraf pusat, di samping mempunyai kerja perifer
dalam reseptor alfa dan beta melalui penglepasan NE endogen. Amfetamin
merangsang pusat napas di medulla oblongata dan mengurangi depresi sentral
yang ditimbulkan oleh berbagai obat. Efek ini disebabkan oleh perangsangan
pada korteks dan sistem aktivasi retikular, sebagai perangsangan SSP.
Senyawa ini memiliki nama kimia α-methylphenethylamine merupakan
suatu senyawa yang telah digunakan secara terapeutik untuk mengatasi obesitas,
attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan narkolepsi. Amfetamin
meningkatkan pelepasan katekolamin yang mengakibatkan jumlah

13
neurotransmiter golongan monoamine (dopamin, norepinefrin, dan serotonin)
dari saraf pra-sinapsis meningkat. Amfetamin memiliki banyak efek stimulan,
diantaranya meningkatkan aktivitas dan gairah hidup, menurunkan rasa lelah,
meningkatkan mood, meningkatkan konsentrasi, menekan nafsu makan, dan
menurunkan keinginan untuk tidur. Akan tetapi, dalam keadaan overdosis, efek-
efek tersebut menjadi berlebihan.
Secara klinis, efek amfetamin sangat mirip dengan kokain, tetapi
amfetamin memiliki waktu paruh lebih panjang dibandingkan dengan kokain
(waktu paruh amfetamin 10-15 jam) dan durasi yang memberikan efek
euforianya 4-8 kali lebih lama dibandingkan kokain. hal ini disebabkan oleh
stimulator-stimulator tersebut mengaktivasi “reserve powers” yang ada di dalam
tubuh manusia dan ketika efek yang ditimbulkan oleh amfetamin melemah,
tubuh memberikan “signal” bahaya tubuh membutuhkan senyawa-senyawa itu
lagi.
Hubungan struktur dan aktivitas amfetamin.
a. Tidak mempunyai gugus hidroksi fenolat pd posisi 3 dan 4. Hal ini dapat
meningkatkan absorpsi obat pada pemberian secara oral dan meningkatkan
penetrasi obat.
b. Tidak mempunyai gugus β-hidroksi alkohol, sehingga obat bersifat kurang
polar dan lebih mudah menembus sawar darah otak dan menunjukkan efek
rangsangan sistem saraf lebih besar.
c. Adanya gugus amina juga penting terutama untuk aktivitas α-adrenergik,
karena dalam entuk kationik dapat berinteraksi dengan gugus fosfat reseptor
yang bersifat anionik.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Adrenergic adalah zat-zat yang dapt menimbulkan (Sebagian) efek yang sama
dengan stimulasi susunan simpaticus (SS) dan melepaskan noradrenalin (NA)
di ujung- ujung sarafnya. Kerja obat adrenergic dapt dikelompokkan dalam 7
jenis: 1. Perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan
mukosa, dan terhadap kelenjar liur dan keringat, 2. Penghambatan perifer
terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka, 3.
Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi, 4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernafasan,
peningkatan kewaspadaan, aktifitas psikomotor, pengurangan nafsu makan, 5.
Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis
lemak dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, 6. Efek endokrin,
misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon hipofisis, 7. Efek
prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach.
2. Golongan obat adrenergic disebut juga obat simpatomimetik yang dibagi
menjadi 3 bagian yaitu yang bekerja langsung, yang langsung merangsang
reseptor adrenergic (contoh epinefrin atau norepinefrin), bekerja tidak
langsung, yang merangsang pelepasan norepinefrin dari ujung saraf terminal
(contoh, amfetamin), yang bekerja campuran (baik langsung maupun tidak
langsung), yang merangsang reseptor adrenergic dan merangsang pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf terminal. Reseptor adrenergik dibagi pada dua
kategori umum: reseptor α dan reseptor β.

15
3. Obat adrenergic yang juga dikenal sebagai aminsimpatomimetik mempunyai
struktur dasar beta – feniletilamin yang terdiri dari cincin benzen dan rantai
samping etilamin. Subtitusi dapat dilakukan pada cincin benzen maupun pada
atom C-alfa, atom C-beta dan gugus amino dari etilamin.

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. 1995. Farmakologi dan terapi, 4th ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Indijah, Sujatti Woro., dan Fajri Purnama. 2016. Farmakologi. Jakarta: Kemenkes RI.

Moffat, Anthony C., Osselton, dan Brian Widdo. 2004. Clarke’s Analysis of Drugs and
Poisons Third Edition. United State: Pharmaceutical Press.

Morgan G. Edward,Jr, MD. 2006. Clinical Anesthesiolgy, 4th ed. New York: The Mc
Graw-Hill.

Stoelting K. Robert, MD. 2006. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4 th


ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

16

Anda mungkin juga menyukai