Anda di halaman 1dari 9

OBAT PERANGSANG SSP

Efek perangsangan susunan saral pusat (SSP) baik oleh obat yang berasal dari alam
atau sintetik dapat diperlihatkan pada hewan dan manusia. Beberapa obat memperlihatkan
efek perangsangan SSP yang nyata dalam dosis toksik sedangkan obat lain memperlihatkan
elek perangsangan SSP sebagai efek samping.
Obat ini dapat dibedakan menurut derajat efek perangsang SPP yang
ditimbulkannya, yaitu :
1.
Konvulsan, langsung memberikan efek konvulsi, termasuk striknin,
pikrotoksin, pentilentetrazol, bemegrid, niketamid, dan toksin tetanus.
2. Analpetik, menimbulkan ganggauan tidur, termasuk efedrin,
amfetamin, kokain, pipradol, dan kamfer.
3.
Psychic energizer, memberikan rasa segar, termasuk kafein dan
derifat xantin lain, imipramin, amitriptilin, dan derivatnya.
Pada umumnya melalui dua mekanisme yaitu (1 ) mengadakan blokade sistem
penghambatan; (2) meninggikan perangsangan sinaps. Dalam SSP dikenal sistem
penghambatan pascasinaps dan penghambatan prasinaps.
1.Striknin
Indikasi
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi
susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang bekerja secara sentral.
Striknin juga digunakan sebagai perangsang nafsu makan secara irasional berdasarkan
rasanya yang pahit.
Mekanisme Kerja
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter
penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak
sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di
SSP.
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat
konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas.
Efek Samping
Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang
langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang
simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan
perabaan. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini
efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut
konvulsi spinal. Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan

hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistem kardiovaskuler,


tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral
striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral
striknin.
Keracunan Strikinin
Striknin merupakan penyebab keracunan tidak sengaja pada anak. Perangsangan pada semua
bagian SSP. Gejala keracunan stiknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher.
Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Obat untuk mengatasi
keracunan strikinin ialah diazepam 10mg IV. Dapat pula diberikan obat golongan kuraiform
untuk mengurangi derajat kontraksi otot.
2. Toksin Tetanus
Hasil metabolisme Clostridium tetani ialah 3macam toksin : tetanospasmin yang bersifat
neurotoksik, non convulsive neurotoxin, dan tetanolisin yang bersifat kardiotoksik dan
menyebabkan hemolisis.Toksin tetanus umumnya diartikan sama dengan tetanospsasmin,
walaupun kedua jenis toksin lain ikut berperan dalam gambaran klinik penyakit tetanus.
3. Pikrotoksin
Diperoleh dari tanaman Anamirta cocculus yang dulunya digunakan untuk racun ikat. Obat
ini dapat terurai menjadi pikrotoksinin yang merupakan metabolit aktif fan pikrotin (tidak
aktif).
Mekanisme Kerja
Obat ini merupakan perangsang SSP yang kuat, merangsang semua bagian SSP dan dapat
menimbulkan kejang Pikrotoksin mengadakan blokade terhadap sistem penghambatan
prasinaps
4.Pentilentetrazol
Indikasi
Sebagai analeptik pentilentetrazol tidak sekuat pikrotoksin. Dahulu pentilentetrazol
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis epilepsi yaitu sebagai EEG activator.
Dengan dosis subkonvulsi yang disuntik lV terjadi aktivasi lokus epilepsi.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja utama pentilentetrazol ialah penghambatan sistem GABA-ergik dengan
demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya efek perang-sangan secara langsung
masih belum dapat disingkirkan.
Efek Samping
Pasien dengan stimulus frekuensi tingi EEG disertai suntiakan IV pentilentetrazol
mengakibatkan suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, dyspnea, paresthesia, dan nyeri otot.
Hanya suara serak terjadi secara signifikan lebih sering dengan stimulasi tinggi dibandingkan
dengan stimulasi rendah.

Pada kelompok-stimulasi tinggi, perubahan suara / suara serak, batuk, sakit tenggorokan,
nyeri spesifik, dyspnea, paresthesia, dispepsia, muntah, dan infeksi yang meningkat secara
signifikan dari baseline.
Dosis
Pentilentetrazol merupakan Kristal putih yang mudah larut dalam air, diperdagangkan dalam
bentuk tablet 100 mg, ampul 3 mL dan vial berisi larutan 10%.
5. Doksapram dan Niketamid
Indikasi
Kedua obat ini secara selektif merangsang pusat pernapasan pada penderita yang mengalami
depresi pernapasan.
Mekanisme Kerja
Merangsang semua tingkat sumbu serebrospinal sehingga mudah timbul kejang tonik klonik.
Kedua obat ini bekerja dengan meningkatkan derajat perangsangan, bukan dengan
mengadakan blokade pada penghambat sentral.
Efek Samping
Pada dosis subkonvulsi, kedua obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa hipertensi,
takikardi, aritmia, batuk, bersin, muntah, gatal, tremor, kaku otot, berkeringat, kemerahan di
wajah dan hiperpireksia, Untuk mengatasi perangsangan SSP yang berlebihan atau terjadinya
kejang, dapat diberikan diazepam lV.
Kelemahannya karena:
1.
Efek perangsangnya berlangsung singkat saja (5-10menit). Karena
itu pemberiannya harus berulang kali. Efek singkat disebabkan oleh
adanya bolus effect ke organ lain.
2. Batas keamanan obat ini sempit sehingga dosis untuk
menimbulkan perangsangan pusat napas tidak banyak berbeda
dengan dosis yang menimbulkan kejang.
Batas keamanan doksapram lebih luas dan efek sampingnya lebih
sedikit dibandingniketamid.
Dosis
Niketamid 1- 3 ml untuk perangsanan pernafasan. Doksapram 0,5- 1,5 mg
/ kgbb secara iv.

6.Metilfenidat

Indikasi
Bagian dari pengobatan komprehensif untuk attention-deficit hyperactivity disorders
(ADHD)
Mekanisme Kerja
Metilfenidat merupakan derivat piperidin. Berbeda dengan analeptik lainnya, metilfenidat
merupakan perangsang SSP ringan yang efeknya lebih menonjol terhadap aktivitas mental
dibandingkan terhadap aktivitas motorik. Namun pada dosis besar, metilfenidat dapat
menimbulkan perangsangan SSP secara umum baik pada manusia maupun pada hewan. Sifat
farmakologinya mirip amfetamin. Metilfenidat dapat disalahgunakan seperti halnya
amfetamin.
Efek Samping
Sakit perut, nausea, muntah, mulut kering, takikardi, palpitasi, aitmia, perubahan tekanan
darah, insomnia, gugup, anorexia, sakit kepala, mengantuk, pusing, gangguan dalam
pergerakan, atralgia, ruam kulit, pruritus, alopesia. Jarang terjadi : arteritis cerebral, angina,
hiperaktivitas, konvulsi, psikosis, tics termasuk sindroma Tourette, Neuroleptic Malignant
Syndrome, toleransi dan ketergantungan, retardasi pertumbuhan, menurunkan berat badan,
kelainan darah termasuk leukopenia dan trombositopenia, keram otot, gangguan penglihatan,
eksfoliatif, dermatitis, eritema multiform.
Dosis
Anak-anak diatas 6 tahun, dosis awal 5 mg, 1-2 kali sehari, naikan dosis jika perlu dengan
interval tiap minggunya sebnyak 5-10 mg per hari hingga maksimum 60 mg per hari dalam
dosis terbagi. Hentikan pemakaian jika tidak ada respon setelah 1 bulan, dan juga hentikan
secara periodik untuk menilai kondisi anak (Biasanya pada akhirnya dihentikan selama atau
setelah pubertas), untuk anak di bawah umur 6 tahun tidak direkomendasikan.
Dosis malam : Jika efek berkurang pada malam hari, pemberian 1 kali dosis pada sesaat
sebelum tidur dapat dilakukan.
Interaksi Obat
Adrenergik neuron blocker : metilfenidat memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi
Antidepresan : risiko hipertensi krisis jika deksamfetamin, dopamin, dopeksamin, efedrin,
isomethepthan, metilfenidat,
fenilefrin, fenilpropanolamin,
pseudoefedrin atau
simpatomimetik diberikan bersama.;Moklobemid : metilfenidat dapat menghambat
metabolisme SSRI dan trisiklik

Antiepilepsi : metilfenidat meningkatkan kadar feitoin dalam plasma ; metilfenidat dapat


meningkatkan kadar primidon dalam plasma.
Antikoagulan : metilfenidat dapat meningkatkan efek anti koagulan kumarin
Barbiturat : metilfenidat dapat meningkatkan kadar fenobarbital dalam plasma.
Klonidin : dilaporkan efek samping serius karena penggunaan bersama metilfenidat.
8. Xantin
Derivat xantin terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid yang terdapat dalam
tumbuhan. Sejak dahulu ekstrak tumbuh-tumbuhan ini digunakan sebagai minuman. Kafein
terdapat dalam kopi yang didapat dari biji Colfea arabica. Teh, dari daun Ihea srnensis,
mengandung kalein dan teofilin. Cocoa, yang didapat dari biji Theobroma cacao mengandung
kafein dan teobromin. Ketiganya merupakan derivat xantin yang mengandung gugus metil.
Xantin sendiri ialah dioksipurin yang mempunyai struktur mirip dengan asam urat. Kafein
ialah 1, 3, 7-trimetilxantin; teofilin lalah 1,3-dimetilxantin; dan teobromin ialah 3,7dimetilxanlin.
Teofilin
Indikasi
Teofilin, suatu metilxahtin, masih sering digunakan untuk farmakoterapi asma di beberapa
negara. Di negara berkembang, adanya glukokortikoid lnhalasi, agonis.reseptor -adrenergik,
dan obat-obat yang memodifikasileukotrien telah menghilangkan penggunaan teofilin secara
signifikan, dan telah dipuruskan sebagai pengobatan lini-ketiga atau lini-keempat pada
pengobatan yang asmanya sulit dikontrol.

Mekanisme Kerja
Teofilin menghambat nukleotida fosfodiesrerase siklik (PDE), sehingga menghambat
hidrolisis AMP siklik dan GMP siklik menjadi 5'-AMP dan 5'-GMP Penghambatan PDE
menyebabkan akumulas iAMP siklik dan GMP siklik, sehingga meningkatkan transduksi
sinyal melalui jalur ini. Toflin dan metiixantin sejenis tidak selektif terhadap penghambatan
PDE. Produksi nukleotida siklik diatur oleh interaksi ligan-reseptor endogen yang
menyebabkan aktivasi adenilat siklase dan guanilil siklase. Oleh karena itu inhibitor PDE
dapat dianggap sebagai obat yang meningkatkan aktivitas autakoid endogen, hormon, dan
neurotransmiter yang memberikan sinyal melalui nukleotida siklik. Teofilin juga merupakan
antagonis kompetitif pada reseptor adenosin. Adenosin dapat bertindak sebagai autakoid dan
transmiter dengan kerja biologis yang sangat banyak. Relevansi utama terhadap asma adalah
pengamatan bahwa adenosin dapat menyebabkan brokokonstriksi pada pasien asma dan
secara imunologis berpotensi menginduksi pelepasan mediator dari sel mast paru-paru. Oleh
karena itu, penghambatan kerja adenosin juga harus dipertimbangkan unruk menjelaskan

mekanisme kerja teofilin. Teofilin juga mempunyai bagian kerja antiinfamasinya terhadap
kemampuannya untuk mengaktivasi deasetilase histon dalam nuldeus. Menurut teori,
deasetilasi histon dapat mengurangi transkripsi beberapa gen proinflamatori dan memperkuat
efek kortikosteroid.
Efek Samping
Efek merugikan pada SSP meliputi sakit kepala, ansietas, gelisah, agitasi, insomnia, pening,
dan seizure. Reaksi ini lebih sering terjadi pada anak-anak daripada dewasa dan juga lebih
sering terjadi setelah pemberian intravena yang cepat atau pasien dengan konsentrasi serum
teofilin yang berlebih. Reaksi serius dapat terjadi tanpa didahului gejala ringan. Pengurangan
dosis dapat menghilangkan efek samping SSP, tetapi jika berlanjut atau menjadi berat, teofilin
harus dihentikan.
Urtikaria dapat terjadi akibat hipersensitivitas terhadap garam etilendiamin dalam aminofilin.
Reaksi alergi mungkin tidak terlihat selama 12-24 jam setelah pengobatan dimulai. Teofilin
menurunkan resitensi perifer, meningkatkan curah jantung, dan menyebabkan efek vagus
pusat. Palpitasi, bradikardi sinus, ekstrasistol, hipotensi, takikardi ventrikular, kontraksi
ventrikular prematur (premature uentricular contraction, PVC) dan henti jantung pernah
dilaporkan. Walaupun efek kardiovaskular umumnya ringan dan sementara, reaksi yang
serius, seperti aritmia ventrikular, dapat terjadi tanpa peringatan. Pasien harus dipantau
dengan hati-hati. Pada pasien overdosis teofilin akut kemungkinan besar mengalami
hipotensi, hipokalemia, dan atau asidosis metabolik daripada pasien yang mendapat
overmedikasi kronis. Pasien yang menderita overmedikasi kronis dapat mengalami seizure
dan aritmia serius dengan konsentrasi serum 28-70 g/mL. Aritmia jantung meliputi fibrilasi
atrium atau futer atrium, takikardi atrium multifokal, takikardia sinus, takikardia
supraventrikular dan kontraksi ventrikular prematur dengan ketidakstabilan hemodinamik.
Dosis
Teofilin sekarang kurang berperan karena manfaatnya sedikit, jendela terapeutiknya sempit,
dan memerlukan pemantauan kadar obat. Asma pada malam hari dapat diperbaiki dengan
sediaan teofilin lepas-lambat, tetapi intervensi lain seperti glukokortikoid inhalasi atau
salmeterol kemungkinan lebih efektif.
Pengobatan dimulai dengan pemberian teofilin 12-16 mg/kg/hari (dihitung sebagai basa
bebas) sampai maksimum 400 mg/hari selama sedikitnya 3 hari. Anak-anak berusia <1 tahun
memerlukan dosis yang lebih kecil dosis dalam miligram per kilogram per hari mungkin
dihitung sebagai 0,2 x (usia dalam minggu). Permulaan dengan dosis rendah ini
meminimalkan efek samping awal berupa mual, muntah, gelisah, dan insomnia yang sering
berkurang dengan terapi kontinu dan akhirnya mengeliminasi kemungkinan kelebihan
konsentrasi plasma 20 l /mL pada pasien berusia >1 tahun yang tidak mempunyai gangguan
fungsi hati atau jantung. Selanjutnya, dosis ditingkatkan dalam 2 tahap berturut-turut menjadi
16-20, dan selanjutnya 18 dan 22 mg/kg/hari (sampai maksimal 800 mg/hari) tergantung pada
usia dan respons klinis pasien dan memungkinkan penyesuaian dosis sedikitnya dalam 3 hari.
Konsentrasi plasma teofilin ditentukan sebelum penyesuaian dosis selanjutnya dibuat.
Walaupun sediaan teofilin lepas diperpanjang biasanya memungkinkan dosis dua kali sehari,
variasi laju dan tingkat absorpsi sediaan tersebut memerlukan kalibrasi regimen individual
untuk setiap pasien dan sediaan.
Interaksi Obat

Alopurinol : alopurinol dapat meningkatkan kadar teofilin dalam plasma


Anastetik umum : meningkatkan risiko kejang jika teofilin diberikan bersama ketamin ;
meningkatkan resiko aritmia jika teofilin diberikan bersama halotan
Ansiolitik dan hipnotik : teofilin dapat mengurangi efek benzodiazepin
Antagonis kalsium : antagonis kalsium dapat meningkatkan kadar teofilin dalam plasma,
(meningkatkan efek) ; diltiazem meningkatkan kadar teofilin dalam plasma; verepamil
meningkatkan kadar teofilin dalam plasma (meningkatkan efek)
Antagonis leukotrien : zairlukas dapat meningkatkan kadar teofilin dalam plasma, teofilin
dapat menurunkan kadar zafirlukas dalam plasma.
Antiaritmia : teofilin memberikan afek antagonis terhadapa efek anti aritmia adenosin ;
meksiletin dan propafenon meningkatkan kadar teoiflin dalam plasma.
Antibakteri : azitromizin dan isoniazid meningkatkan kadar teofilin dalam plasma;
klaritomisin menghambat metabolisme teofilin (meningkatkan kadar dalam plasma) ;
metabolisme teofilin dihambat oleh eritromisin (meningkatkan kadar dalam plasma) jika
eritromisin diberkan per oral, juga menurunkan kadar eritromisin dalam plasma ;
siprofloksasin dan norfloksasin meningkatkan kadar teofilin dalam plasma ; rifampisin
mempercepat metabolisme teofilin (menurunkan kadar dalam plasma); dapat meningkatkan
risiko kejang jika teofilin diberikan bersama kuinolon.
Antidepresan : fluvoksamin eningkatkan kadar teofilin dalam plasma (penggunaan bersama
sebaiknya selalu dihindari, tetapi jika memungkinkan berikan setengah dosis teofilin dan
pantau kadar teofilin dalam plasma)
Antiepilepsi : metabolisme teofilin dipercepat oleh karbamazepin dan primidon (mengurangi
efek) ; jika teofilin diberikan bersama fenitoin dapat meningkatkan kadar keduanya dalam
plasma.
Antijamur : flukonazoldan ketokonazol dapat meningkatkan kadar teofilin dalam plasma
Antitukak : metabolisme teofilin dihambat oleh simetidin (meningkatkan kadar dalam
plasma)
Antivirus : metabolisme teofilin dipercepat oleh ritonavir (menurunkan kadarnya dalam
plasma)
Barbiturat : barbiturat meningkatkan metabolisme teofilin.
Disulfram : metabolisme teofilin dihambat oleh disulfram(meningkatkan risiko toksisitas)
Diuretik : meningkatkan risiko hipokalemia jika teofilin diberikan bersama asetazolid,
diuretik kuat atau tiazid dan diuretik sejenis.
Doksapram : meningkatkan stimulasi SSP jika teofilin diberikan bersama doksapram.
Estrogen : estrogen menurunkan eksresi teofilin (meningkatkan kadar dalam plasma).
Interferon : metabolisme teofilin dihambat oleh interferon alfa (meningkatkan kadar dalam
plasma)
Kortikosteroid : meningkatkan risiko hipokalemia jika diberikan bersama kortikosteroid.
Litium : teofilin meningkatkan risiko esresi Litium (menurunkan kadar dalam plasma)
Pentoksifilin (okspentifilin) : pentoksifilin (okspentifilin) meningkatkan kadar teofilin dalam
plasma.
Simpatomimetik : hindari penggunaan bersama dengan efedrin pada anak-anak.
Simpatomimetik, Beta2 : meningkatkan risiko hipokalemia jika teofilin digunakan bersama
simpatomimetik beta2 dosis tinggi.
Sitotoksik : metotreksat dapat meningkatkan kadar teofilin dalam plasma.
Sulfinpirazon : sulfinpirazon menurunkan kadar teofilin dalam plasma.
Tembakau : rokok tembakau meningkatkan metabolisme teofilin ( menurunkan kadar dalam
plasma)
Vaksin : vaksin influenza dapat meningkatakan kadar teofilin dalam plasma.

Kafein
Indikasi
menghilangkan rasa kantuk, menimbulkan daya pikir yang cepat, perangsang pusat
pernafasan dan fasomotor, untuk merangsang pernafasan pada apnea bayi prematur
Mekanisme Kerja
Kafein sedikit meningkatkan pelepasan Norepinefrin dan Dopamin dan meningkatkan
aktivitas neuron di banyak daerah otak. Kafein diabsorpsi dari saluran cerna, didistribusikan
dengan cepat ke seluruh jaringan, dan mudah melintasi sawar plasenta. Banyak efek kafein
dipercaya terjadi melalui antagonisme kompetitif pada reseptor adenosin. Adenosin adalah
neuromodulator yang memengaruhi sejumlah fungsi di SSP. Efek sedatif ringan yang terjadi
ketika adenosin mengaktifkan subtipe reseptor adenosin tertentu dapat diantagonis oleh
kafein.

Efek Samping
Toleransi terhadap efek stimulan kafein terjadi dengan cepat. Karena itu, suatu sindrom
putus-kafein ringan telah dibuktikan dalam penelitian terkontrol dengan hanya menghentikan
konsumsi kopi satu sampai dua cangkir per hari secara tiba-tiba. Reaksi putus kafein terdiri
atas perasaan lelah dan sedasi. Pada dosis lebih tinggi, dilaporkan terjadi sakit kepala dan
mual selama reaksi putus-kafein, muntah jarang terjadi. Meskipun sindrom putus-kafein
dapat terlihat, hanya sedikit pemakai kafein yang melaporkan kehilangan kendali atas asupan
kafein atau sangat kesulitan mengurangi atau menghentikan kafein jika diinginkan.Gejala
yang biasanya paling mencolok pada penggunaan kafein dosis berlebihan ialah muntah dan
kejang. Walaupun dosis letal akut kafein pada orang dewasa antara 5-10 g, namun reaksi yang
tidak diinginkan telah terlihat pada penggunaan kafein 1 g (15 mg/kgBB) yang menyebabkan
kadar dalam plasma di atas 30 g/ml. Gejala permulaan berupa sukar tidur, gelisah dan
eksitasi yang dapat berkembang menjadi delirium ringan. Gangguan sensoris berupa tinitus
dan kilatan cahaya sering dijumpai. Otot rangka menjadi tegang dan gemetar, sering pula
ditemukan takikardi dan ekstrasistol,sedangkan pernapasan menjadi lebih cepat.
Dosis
apnea pada bayi : 2.5-5 mg/kgBB/hr, keracunan obat depresan : 0.5-1 gr kafein Na-Benzoat
(Intramuskuler).
Interaksi Obat
Kafein jarang sekali digunakan untuk pengobatan keracunan obat depresan SSP. Kalau
digunakan biasanya diberikan 0,5 g kafein Na benzoat.Kombinasi tetap kafein dengan
analgetik misalnya aspirin digunakan untuk pengobatan berbagai sakit kepala. Hanya sedikit
data yang dapat memperkuat indikasi ini. Kalein juga digunakan dalam kombinasi dengan
alkaloid ergot untuk pengobatan migren, perbaikan ini didasarkan atas kemampuan
metilxantin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral.
Efek Pada Organ
1.Rangsangan pada SSP/ pusat napas
2.Relaksasi otot polos
3.Dilatasi Koroner
4.Aktivitas otot rangka
5.Diuresi

Teofilin
+
+++
+++
+
+++

Teobromin
+
+
+
+
++

Kafein
+++
+
+
+++
+

DAFTAR PUSTAKA

Syarif, Amir. dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI.
Goodman and Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta : Sagung Seto
Kee,

Joyce., Evelyn R.H. 1994 Farmakologi: Pendekatan


Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Proses

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta :
Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai