Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak obat-obat yang dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP), tetapi yang
pemakaiannya disetujui secara medis terbatas, hanya pada pengobatan narkolepsi, gangguan
penurunan perhatian pada anak-anak, obesitas, dan pemulihan distress pernapasan. Kelompok
utama dari perangsang SSP adalah amfetamin dan kafein yang merangsang korteks serebri dari
otak; analeptik dan kafein yang berkerja pada otak dan medula untuk merangsang pernapasan.
Analeptika merupakan kelompok obat yang berfungsi untuk memulihkan kondisi tubuh;
umumnya merupakan obat-obat stimulansia. Dahulu, beberapa analeptik digunakan untuk
mengatasi intoksikasi berat akibat obat depresan umum, sekarang tindakan ini tersisih dengan
adanya tindakan konservatif berupa perawatan intensif yang hasilnya jauh lebih baik.
Sistem saraf pusat merupakan pusat pengendali pada tubuh manusia, namun pada usia
lanjut, terdapat penurunan fungsi kerjanya, berupa kelemahan daya ingat dan konsentrasi, lebih
lanjut dapat menyebabkan penyakit-penyakit diusia lanjut seperti demensia dan parkinson. Obatobatan nootropik atau

neurotropik

adalah

senyawa

yang

meningkatkan

kemampuan kognitif manusia (fungsi dan kapasitas otak). Obat ini digunakan
pada

gangguan

(insufisiensi)

cerebral

seperti

mudah

lupa,

kurang

konsentrasi dan vertigo. Dengan demikian kedua obat tersebut sama-sama


bekerja dan mengatasi gangguan pada sistem saraf pusat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi obat Psikoanaleptik dan Nootropik?
2. Bagaimana mekanisme keja obat Psikoanaleptik dan Nootropik?
3. Apa saja obat-obat golongan Psikoanaleptik dan Nootropik ?
4. Apa manfaat obat Psikoanaleptik dan Nootropik ?

C. Tujuan
1. Memaparkan definisi dan obat-obat golongan Psikoanaleptik dan Nootropik.
1

2. Menjelaskan mekanisme kerja obat Psikoanaleptik dan Nootropik.


3. Memaparkan manfaat obat Psikoanaleptik dan Nootropik.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PSIKOANALEPTIK
1. Definisi Obat Psikoanaleptik
Analeptika merupakan kelompok obat yang berfungsi untuk memulihkan kondisi tubuh;
umumnya merupakan obat-obat stimulansia. Analeptika bekerja sebagai stimulan pada sistem
saraf pusat (SSP). Pemacu SSP dapat meningkatkan aktifitas psikis. Senyawa ini dapat
menghilangkan rasa lelah dan penat, meningkatkan kemampuan berkonsentrasi. Senyawa ini
tidak boleh dipakai untuk mengobati depresi, obesitas, senilitas, debilitas atau kelesuan. Nilai
terapeutik senyawa ini masih dipersoalkan. Pemakai obat ini berisiko kurang tidur, cadangan
nergi tubuh terkuras, dan sesudah itu terjadi kelelahan absolut. Senyawa ini juga cepat
mengakibatkan toleransi dan ketergantungan.
2. Informasi dan mekanisme kerja
Stimulan Sistem Saraf Pusat (SSP) ini meningkatkan kadar neurotransmitter dalam sistem
tersebut. Agen ini menghasilkan stimulasi SSP dan pernapasan, dilatasi pupil, peningkatan
aktivitas motorik dan kewaspadaan mental, mengurangi keletihan, dan meningkatkan semangat.
2.1 Penggunaan secara umum
Agen ini digunakan pada pengobatan narkolepsi dan gangguan defisit perhatian
dengan hiperaktivitas pada anak-anak. Agens ini juga digunakan sebagai terapi
penunjang pembatasan kalori pada penanganan obesitas eksogen.
2.2 Kontra Indikasi

Pasien hipersensitivitas terhadap simpatomimetik amina. Agens ini tidak boleh


digunakan pada arteriosklerosis tingkat lanjut, penyakit kardiovaskular simtomatik,
hipertensi, hipertiroidisme, glaukoma, status agitasi atau hipereksitabilitas, pada
pasien dengan riwayat penyalahgunaan obat-obatan, selama atau dalam 14 hari terapi
inhibitor MAO, pada anak di bawah 3 tahun dan kehamilan.
2.3 Kewaspadaan
Agen ini digunakan dengan kewaspadaan pada laktasi; anak-anak psikotik;
gangguan Tourette; pasien anoreksia atau insomnia; pasien lansia; pasien lemah atau
pasien astenik; pasien dengan riwayat kecenderungan membunuh atau bunuh diri.
Penggunaan agens dalam waktu lama akan mengakibatkan ketergantungan fisik atau
psikologis.
2.4 Interaksi
Penggunaan selama atau dalam 14 hari setelah pemberian inhibitor MAO dapat
mengakibatkan krisis hipertensi, sakit kepala, hiperpireksia, hemoragi intrakranial,
bradikardia. Kebutuhan insulin dapat berubah jika berinteraksi dengan stimulan SSP.
Pembasa urin menurunkan ekskresi dan meningkatkan efek amfetamin; pengasam
urin meningkatkan ekskresi, menurunkan efek amfetamin tersebut. Jika berinteraksi
dengan fenotiazin, dapat menurunkan efek kedua obat tersebut.
3. Obat-obat Psikoanaleptik
3.1 AMFETAMIN
Amfetamin termasuk golongan simpatomimetik dan merupakan resemik bisopropilamin. Selain itu, beraksi juga di perifer pada adrenergic a dan b (Wibowo &
Gofir, 2001). Amfetamin juga merangsang pelepasan neurotransmitter, norepinefrin
dan dopamine, dari otak dan sistem saraf simpatis (terminal saraf tepi). Waktu paruh
amfetamin bervariasi dari 4-30 jam (Kee & Hayes, 1993). Amfetamin menunjukkan
efek neurologi dan klinik yang amat mirip dengan yang terjadi pada kokain.
3.1.1 Mekanisme kerja
Seperti halnya dengan kokain, efek amfetamin pada SSP dan SSP
(perifer) bersifat tidak langsung; artinya tergantung pada peningkatan kadar
transmitter pada ruang sinaps. Amfetamin memberikan efek ini karena
3

melepaskan

depot

intraselular

katekolamin.

Karena

amfetamin

juga

menghambat monoamine oksidae (MAO), kadar katekolamin yang tinggi mudah


dilepaskan ke dalam ruang sinaps. Meskipun ada perbedaan mekanisme kerja,
3.1.2

efek amfetamin pada tingkah laku sama dengan kokain.


Efek
Susunan saraf pusat: penyebab utama efek amfetamin karena pelepasan
dopamine bukan neropinefrin. Amfetamin memacu sumbu serebrospinalis
keseluruhan korteks, batang otak dan medula. Ini meningkatkan kesiagaan,
berkurangnya keletihan, menekan nafsu makan dan insomnia. Pada dosis
tinggi dapat terjadi kejang. Oleh karena itu, efek stimulan pada SSP,
amfetamin dan derivatnya digunakan dalam terapi depresi, hiperaktivitas pada

anak, narkolepsi pada pengatur nafsu makan.


Efek pusat: efek samping yang tidak diinginkan termasuk insomnia, lemah,
pusing, gemetar, dan refleks hiperaktif. Amfetamin juga dapat menyebabkan
konfusi, delirium, panik, dan tendensi bunuh diri terutama pada pasien sakit
mental. Amfetamin akan emnimbulkan ketergantungan psikis dan fisik,

toleransi dan efek dapat terjadi dalam beberapa minggu.


Susunan saraf simpatik: selain kerjanya pada SSP, amfetamin memengaruhi
system adrenergic, memacu reseptor secara tidak langsung melalui pelepasan

norepinefrin.
Efek kardiovaskular: selain efek SSP, amfetamin menyebabkan palpitasi,
aritmia jantung, hipertensi, sakit angina, kolaps pembuluh. Sakit kepala,
menggigil dan keringat mengucur dapat juga terjadi. Karena efek
kardiovaskularnya, amfetamin jangan diberikan kepada pasien dengan

penyakit kardiovaskular atau yang menerima MAOI.


Efek pada pencernaan: amfetamin bekerja dalam system pencernaan,
menyebabkan anoreksia, mual, muntah, kram perut, dan diare (Mycek et al.,

1995).
Dosis 10-30 mg meningkatkan keterjagaan, waspada, tidak merasa lelah,
percaya diri, inisiatif meningkat, mampu berkonsentrasi, kenaikan aktivitas

motorik dan bicara.


Penggunaan jangka panjang atau dosis besar diikuti dengan depresi mental
dan keletihan (Wibowo & Gofir, 2001).
4

3.1.3

Penggunaan dalam terapi


Faktor-faktor yang membatasi penggunaan amfetamin dalam terapi
termasuk ketergantungan psikologik dan fisiologik yang sama dengan kokain,
dan terjadinya toleransi sampai efek euforia dan anoreksia dengan penggunaan
kronis.
Sindrom kurang atensi: beberapa anak bersifat hiperkinetik dan kurang
mampu terlibat dalam suatu aktivitas untuk lebih dari hanya beberapa
menit. Amfetamin dan derivate amfetamin, metilfenidat, menghilangkan
beberapa masalah tingkah laku yang ada hubungannya dengan sindrom
ini, dan mengurangi hiperkinesia yang diperlihatkan anak-anak tersebut.
Atensinya diperpanjang menyebabkan mereka berfungsi lebih baik di

lingkungan sekolahnya.
Narkolepsi: metilfenidat digunakan untuk pengobatan narkolepsi, suatu
penyakit dengan keinginan tidur yang luar biasa.

3.1.4

Farmakokinetik
Amfetamin

diabsorbsi

sempurna

dalam

saluran

pencernaan,

dimetabolisme hati dan dikeluarkan dalam urin. Euforia yang disebabkan oleh
amfetamin berlangsung 4-6 jam atau 4-8 kali lebih lama dari efek kokain.
Amfetamin menimbulkan adiksi ketergantungan, toleransi, dan keinginan untuk
mendapatkan obat.
3.2 STRYCHNINE
Alkaloid dan flux vomica, biji tanaman Strychnos flux vomica di India.
3.2.1 Aksi Farmakalogik
a. Susunan Saraf Pusat:
Eksitasi pada semua bagian susunan saraf pusat
Menaikkan eksitabilitas neuronal dengan memblok mekanisme
inhibisinya.
Tidak spesifik stimulasi medulla oblongata, oleh karena itu tidak dapat
dipakai untuk memacu respirasi.
b. Kardiovaskular: Tensi berubah karena efek pada pusat vasomotor, termasuk
pada medulla spinalis
c. Gastrointestinal
Stimulasi, dipakai pada atonik konstipasi

Rasa pahit, menimbulkan stimulasi nafsu makan, stimulasi sekresi pada


lambung.
d. Mekanisme aksi
Mengganggu inhibisi pasca sinaptik pada otak dan medula spinalis.
Strychnine memblokir inhibisi rekuren pada sinapsis sel Renshawmotoneuron. Glycine adalah transmitter inhibitory postsynaptic yang
predominan untuk mono- neuron dan interneuron pada medulla spinalis.
Strychnine mampu memblokir selektif keduanya: inhibisi sinaptik yang
diikuti postsinaptik dan efek inhibisi glycine pada neuron spinal. Strychnine
beraksi sebagai antagonis kompetitif. Strychnine dan glycine beraksi pada
kompleks reseptor yang sama, walau di tempat yang lain (pada tetanus:
terjadi bloking inhibisi dengan tercegahnya pelepasan glycine dan inhibitory
interneuron). Pada senter yang lebih tinggi di SSP, strychnine juga
diperantarai oleh glycine untuk beraksi.
e. Absorpsi
Cepat diabsorpsi, metabolisme di hepar oleh mikrosom hati. Kasus keracunan
terjadi karena menelan rodentisida, tablet katartik dan tonikum. Dosis lethal
dewasa: 30 mg. Terapi dengan diazepam (10 mg).
f. Manfaat terapetik
Dipakai pada nonketotic hyperglycinemia (suatu penyakit metabolik dengan
tingginya kadar glycine pada otak dan likuor serebrospinalis) (Wibowo &
Gofir, 2001).
3.2.2

Ekskresi striknin
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera
meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih
tinggi daripada di jaringan lain. Striknin segera dimetabolisme terutama oleh
enzim mikrosom set halt dan diekskresikan melalui urin. Ekskresi lengkap
dalam waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal (Ganiswarna et al., 1995).

3.2.3

Efek striknin
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka
dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik
hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,
6

akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap
hiperekstensi (opistotonus). Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh.
Nafas terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang
ini terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya
perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan
penderita takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan
oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan nafas. Kombinasi
dan adanya gangguan nafas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan
asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin
akibat adanya peninggian kadar laktat dalam plasma.
Obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10
mg IV, sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensiasi
terhadap depresi postictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan
barbiturat atau depresan non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan
anesthesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan
yang hebat.
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan
membantu pernafasan. Intubasi endotrakeal berguna untuk memperbaiki
pernafasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform untuk mengurangi
derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih ada striknin
dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan larutan
KMnO4 0,5 atau campuran yodium tingtur dan air (1: 250) atau larutan asam
tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik
(Ganiswarna et al., 1995).
3.3 PICROTOXIN
Picrotoxin pikrotoksinin: pikrotin
Picrotoxin merupakan stimulan kuat pada SSP. Konvulsi klonik dan
inkoordinasi yang terjadi menyerupai akibat pentilentetrazol. Pada dosis yang lebih
besar, terjadi konvulsi tonik-klonik, fleksi dulu baru ekstensi. Disertai pula dengan
kenaikan tensi, salivasi, stimulasi vasomotor dan emesis. Stimulasi respirasi terjadi
pada dosis yang mendekati dosis konvulsi (Wibowo & Gofir, 2001). Picrotoxin
merupakan perangsang SSP yang kuat, dan bekerja pada semua bagian SSP
(Ganiswarna et al., 1995).
7

Picrotoxin didapat dari tanaman Anamirta cocculus, suatu tumbuhan menjalar


di Malabar dan India Timur yang dahulu digunakan untuk meracun ikan. Zat ini
merupakan bahan netral yang tidak mengandung nitrogen, mempunyai rumus empiris
C30H34O13. Dapat dipecah menjadi pikrotoksinin dan pikrotir.
3.4 PENTYLENTETRAZOL
Pentilentetrazol, (pentametilentetrazol), yang di Amerika Serikat dikenal
dengan nama dagang Metrazol dan di Eropa Kardlazol merupakan senyawa sintetik.
Senyawa sintetik. Mampu menstimulir semua aksis serebrospinal. Obat ini berguna
untuk screening antikonvulsan. Konvulsi yang terjadi fleksi-ekstensi. Pada dosis yang
lebih besar: clonic asynchronized.
Kejang oleh pentilentetrazol mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan
intensitas sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik epilepsi
petit mal pada manusia. Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi kejang
klonik yang asinkron (Ganiswarna et al., 1995).
Pentilentetrazol segera diabsorpsi dari berbagai tempat pemberian. Distribusi
merata ke semua jaringan dan cepat diinaktivasi dalam hati. Sebagian besar (75%) di
urin dalam bentuk tidak aktif (Ganiswarna et al., 1995).
3.4.1 Mekanisme aksi:
Tidak ada bloking pra-pasca sinapti
Menurunkan waktu pemulihan neuronal (berlawanan dengan trimethadion)
Metabolisme di liver, ekskresi 75 persen lewat urinPreparat: Metrazol, tablet
oral 0,1 gram, sol, elixir. (Wibowo & Gofir, 2001)
3.4.2

Manfaat terapetik:
Pemberian i.v.: aktivasi EEG untuk diagnostik epilepsi, sub convulsive dose
ditambah dengan stimulasi photic akan mengaktifkan fokus epileptogenik.
Diuji coba untuk kasus geriatni/senilitas (Wibowo & Gofir, 2001).

3.4.3

Sediaan
Pentilentetrazol merupakan kristal putih yang mudah larut dalam air,
diperdagangkan dalam bentuk tablet 100 mg, ampul 3 ini dan vial berisi larutan
10% (Ganiswarna et al., 1995).

3.5 DOXAPRAM, ETHAMIVAN, NIKETHAMIDE


Obat-obat ini akan memacu semua level aksis serebrospinal. Dapat
menimbulkan konvulsi tonik-tonik seperti pentilenetetrazol, menaikkan eksitasi,
memacu respirasi.
3.5.1 Doxapram dan nikethamide:
a. Farmakodinamik
Doksapram dan nikotamid merangsang semua tingkat sumbu serebrospina
sehingga mudah timbul kejang tonik klonik yang mirip kejang akibat
pentilentetrazol. Kedua obat ini bekerja dengan meningkatkan derajat
perangsangan, bukan dengan mengadakan blokade pada penghambatan sentral
(Ganiswarna et al., 1995).
b. Pernafasan.
Dosis kecil doksapram yang diberikan IV dapat merangsang nafas secara
selektif,

sehingga

terjadi

peningkatan

tidal

volume

karena

aktivasi

chemoreceptor karotis dan neuron pusat nafas. Dosis lebih besar pada kucing
merangsang neuron pernafasan maupun neuron lain yang terletak di medula
oblongata. Selektivitas niketamid lebih rendah daripada doksapram, juga pada
manusia. Lamanya perangsangan nafas sesudah pemberian IV tunggal hanya
berlangsung 5-10 menit. Efek yang singkat ini rupanya mencerminkan adanya
bolus effect yaitu sebagian besar obat mula-mula-mula didistribusikan ke SSP,
kemudian mengalami redistribusi ke organ lain. Hal ini pula yang menimbulkan
serangan kejang sesudah pemberian berulang, karena dosis yang menimbulkan
kejang umumnya tidak berbeda jauh dengan dosis yang diperlukan untuk
merangsang nafas (Ganiswarna et al., 1995).
c. Efek
Batas keamanan doksapram lebih besar dan efek sampingnya lebih sedikit
dibandingkan niketamid. Pada dosis subkonvulsi, kedua obat ini dapat
menimbulkan efek samping berupa hipertensi, ikardi, aritmia, batuk, bersin,
muntah, gatal, tremo, kaku otot, berkeringat, kemerahan di wajah dan
hyperpyrexia. Untuk mengatasi perangsangan SSP yang berlebihan atau
terjadinya kejang, dapat diberikan diazepam IV. Analeptik dengan dosis di
bawah dosis yang menimbulkan kejang, tidak efektif untuk mengatasi koma
yang dalam; bahkan depresi post ictal yang terjadi sesudah kejang akan
memperburuk keadaan koma (Ganiswarna et al., 1995).
9

3.5.2

Ethamivan
Seperti juga Nikethamid, tidak menyebabkan aktifasi carotid chemoreceptor,
tidak ada stimulasi selektif respirasi dan tidak menaikkan volume tidal.
a. Efek Samping:
Hipertensi, takhikardi, arithmia, batuk, sneezing, muntah, gatal, tremor,
rigiditas otot, berkeringat, flushing, hipepireksia.
Gejala stimulasi SSP ini diterapi dengan diazepam. Pemberian analeptik
pada koma tidak bermanfaat, karena dosisnya hams dosis konvulsif
akan tetapi depresi pasca konvulsinya justru akan memperdalam
komanya.
b. Manfaat terapetik:
Terbatas pada: Intoksikasi sedatif-hipnotik
Penyakit Paru obstruksi menahun (Wibowo & Gofir, 2001).

3.6 METHYLPHENIDATE
3.6.1 Farmakodinamik.
Metiltenidat merupakan derivat piperidin. Berbeda dengan analeptik
lainnya, metilfenidat merupakan perangsang SSP ringan yang efeknya lebih
menonjol terhadap aktivitas mental dibandingkan terhadap aktivitas motorik.
Namun pada dosis besar, metilfenidat dapat menimbulkan perangsangan SSP
secara umum baik pada manusia maupun pada hewan. Sifat farmakologinya
mirip amlelamin. Metilfenidat dapat disalahgunakan seperti halnya amfetamin
(Ganiswarna et al., 1995).
3.6.2

Farmakokinetik.
Metilfenidat mudah diabsorpsi melalui saluran cerna, kadar puncak
dalam plasma dapat dicapai dalam 2 jam. Waktu paruh plasma antara 1-2 jam
tetapi kadar dalam otak jauh melebihi kadar dalam plasma. Metabolitnya yang
80% berupa asam retalinat hasil deesterifikasi metilfenidat akan dikeluarkan
bersama urin (Ganiswarna et al., 1995).

3.6.3

Sediaan
Metilfenidat HCl, tersedia dalam bentuk tablet 5, 10 atau 20 mg. Dosis
dewasa biasanya 2-3 kali 10 mg sehari. Dosis anak dengan hiperkinetik, mulamula 025 mg/kgBB sehari. Bila belum efektif dosis dinaikkan dua kali lipat tiap
10

minggu sehingga tercapai dosis optimal 2 Mg/kgBB sehari. Obat ini diberikan
dalam dua porsi yang sama, sebelum makan pagi dan makan siang. Metilfenidat
juga tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat 20 mg dengan masa kerja
kurang lebih 8 jam. Dengan preparat ini frekuensi pemberian obat dapat
dikurangi (Ganiswarna et al., 1995).
3.6.4

Indikasi.
Metilfenidat telah dicoba secara ekstensif untuk pengobatan berbagai
depresi mental, pengobatan keracunan depresan SSP, atau untuk menghilangkan
rasa apatis akibat berbagai hal; tetapi efektivitasnya masih diragukan.
Metilfenidat dan dekstroamfetamin merupakan obat tambahan yang
penting pada sindrom hiperkinetik pada anak dan dewasa yang ditandai dengan
adanya Attention Deficit Disorder (ADD) yang dahulu disebut disfungsi otak
minimal. Sayangnya kedua obat ini, terutama dekstroamfetamin, dapat menekan
pertumbuhan badan pada penggunaan kronik. Efek samping metilfenidat yang
lain yaitu insomnia, mual, iritabel, nyeni abdomen, sakit kepala dan
meningkatnya denyut jantung. Efek samping ini bersifat sementara dan dapat
dikendalikan dengan menurunkan dosis obat. Metilfenidat yang diberikan secara
oral dapat menimbulkan gejala idiosinkrasi berupa episode halusinasi akut
(Ganiswarna et al., 1995).

3.6.5 Manfaat terapetik (Wibowo & Gofir, 2001):


Terapi sindrom hiperkinetik pada minimal brain disjunction, lebih baik
hasilnya daripada dengan amfetamin.
Untuk kasus narkolepsi (sendiri atau kombinasi dengan antidepresan
trisiklik).
3.6.5 Efek samping (Wibowo & Gofir, 2001):
Supresi pertumbuhan
Denyut nadi naik
Halusinasi (oleh karena idiosinkrasi.
3.7 PEMOLINE
Pemoline menyerupai methylphenidate pada SSP dengan efek minimal pada
kardiovaskular. Untuk minimal brain dysfunction: dosis sekali sehari oleh karena
11

waktu paronya panjang. Perbaikan klinis tercapai dalam 3-4 minggu (Wibowo &
Gofir, 2001).

3.8 XANTHINES
3.8.1 Sejarah dan Kimia
Derivat xantin terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid
yang terdapat dalam tumbuhan. Sejak dahulu ekstrak tumbuh-tumbuhan ini
digunakan sebagai minuman. Ketiganya merupakan derivat xantin yang
mengandung gugus metil. Xantin sendiri ialah dioksipurin yang mempunyai
struktur mirip dengan asam urat. Kafein ialah 1, 3, 7-trimetilxantin; teofilin ialah
1 ,3-dimetilxantin; dan teobromin ialah 3,7-dimetil-Xantin (Ganiswarna et al.,
1995).
3.8.2

Farmakodinamik
Teofilin, kafein dan teobromin mempunyai efek farmakologi yang sama
yang bermanfaat secara klinis. Obat-obat ini menyebabkan relaksasi otot polos,
terutama otot polos bronkus, merangsang SSP, otot jantung, dan meningkatkan
diuresis. Teobromin tidak bermanfaat secara klinis karena efek farmakologisnya
rendah (Ganiswarna et al., 1995).

3.8.3

Farmakokinetik
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh. melewati plasenta dan
masuk ke air susu ibu. Volume distribusi kafein dan teofilin ialah antara 400 dan
600 ml/kg; pada bayi prematur nilai ini lebih tinggi. Derajat ikatan protein
teofilin ternyata lebih besar daripada kafein. Dalam kadar terapi ikatan teofilin
dengan protein kira-kira 60% tetapi pada bayi baru lahir dan pada pasien sirosis
hati ikatan protein ini lebih rendah (40%).
Eliminasi metilxantin terutama melalui metabolisme dalam hati.
Sebagian besar diekskresikan bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau
metilxantin. Kurang dari 20% teofilin dan 5% kafein akan ditemukan di urin
dalam bentuk utuh. Waktu paruh plasma kafein antara 3-7 jam, nilai ini akan

12

menjadi 2 kali lipat pada Wanita hamil tua atau wanita yang menggunakan pil
kontrasepsi jangka panjang. Sedangkan waktu paruh plasma teofilin pada orang
dewasa 8-9 jam dan pada anak muda kira-kira 3,5 jam. Pada pendent sirosis hati
atau udem paru akut, kecepatan eliminasi sangat bervariasi dan berlangsung
lebih lambat, pernah dilaporkan lebih dari 60 jam. Pada bayi prematur,
kecepatan eliminasi teofilin dan kafein sangat menurun; waktu paruh kafein
rata-rata 50 jam, sedangkan teofilin pada berbagai penelitian berkisar antara 2036 jam (Ganiswarna et al., 1995).
Metilxantin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rektal atau
parenteral. Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorpsi secara
cepat dan lengkap. Absorpsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa jenis
sediaan lepas lambat. Absorpsi teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut,
misalnya teofilin Na glisinat atau teofilin kolin tidak lebih baik.
Sediaan teofilin parenteral atau rektal ternyata tetap menimbulkan
keluhan nyeri saluran cerna, mual dan muntah. Rupanya gejala ini berhubungan
dengan kadar teofilin dalam plasma. Keluhan saluran cerna yang disebabkan
oleh iritasi setempat dapat dihindarkan dengan pemberian obat bersama
makanan, tetapi akan terjadi penurunan absorpsi teofilin.
Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin bentuk cair atau tablet
tidak bersalut dapat menghasilkan kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam,
sedangkan kafein dalam waktu 1 jam.
Saat ini tersedia teofilin lepas lambat, yang dibuat sedemikian rupa agar
dosis teofilin dapat diberikan dengan interval 8, 12 atau 24 jam. Ternyata sediaan
ini bervariasi kecepatan maupun jumlah absorpsinya antar pasien; khususnya
akibat pengaruh adanya makanan dan waktu pemberian.
Pada umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorpsi teofilin tetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Dan penelitian didapatkan bahwa bioavailabilitas sediaan lepas lambat tertentu
menurun akibat pemberian bersama makanan sedang penelitian lain-lain
mendapatkan yang sebaliknya.
Absorpsi juga dapat menurun bila pasien dalam keadaan berbaring atau
tidur. Faktor-faktor ini yang menyebabkan kadar teofilin dalam darah sukar
bertahan dalam keadaan konstan sepanjang hari. Juga sulit mendapatkan kadar
13

konstan untuk pengobatan asma kronis. Larutan teofilin yang diberikan sebagai
enema diabsorpsi lebih lengkap dan cepat, sedangkan Sediaan supositoria
diabsorpsi lambat dan tidak menentu. Pemberian teofilin 1 M harus dihindarkan
karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
3.8.4

Intoksikasi
Pada manusia, kematian akibat keracunan kafein jarang terjadi. Gejala
yang biasanya paling mencolok pada penggunaan kafein dosis berlebihan ialah
muntah dan kejang. Kadar kafein dalam darah yang dapat menimbulkan
keracunan antara 80 mg/mm sampai lebih dari 1 mg/ml. Walaupun dosis letal
akut kafein pada orang dewasa antara 5-10 g, namun reaksi yang tidak
diinginkan telah terlihat pada penggunaan kafein 1 g (15 mg/kg 88) yang
menyebabkan kadar dalam plasma di atas 30 mg/ml.
Gejala permulaan berupa sukar tidur, gelisah dan eksitasi yang dapat
berkembang menjadi delirium ringan. Gangguan sensoris berupa tinitus dan
kilatan cahaya sering dijumpai. Otot rangka menjadi tegang dan gemetar, sering
pula ditemukan takikardi dan ekstrasistal; sedangkan pernafasan menjadi lebih
cepat.
Intoksikasi yang fatal lebih sering dijumpai pada penggunaan teofilin
dibanding dengan kafein. Keracunan teofilin biasanya terjadi pada pemberian
obat berulang secara oral maupun parenteral. Aminofilin IV harus disuntikan
perlahan-lahan. selama 20-40 menit untuk menghindari gejala keracunan akut,
misalnya sakit kepala, palpitasi, pusing, mual, hipotensi dan nyeri prekordial.
Suntikan 500mg IV yang cepat dapat menyebabkan kematian karena anemia
jantung. Gejala keracunan lain berupa takikardi, gelisah hebat, agitasi dan
muntah. Gejala ini biasanya berhubungan dengan kadar teofilin dalam plasma
yang melebihi 20 mg/ml.
Kejang lokal atau umum dapat pula terjadi, kadang-kadang tanpa
didahului gejala keracunan. Kejang ini biasanya terjadi bila kadar obat dalam
plasma melebihi 40 g/ml, namun demikian kejang dan kematian dapat pula
terjadi pada kadar 25 mg/ml. Kejang akibat keracunan metilxantin biasanya
dapat diatasi dengan diazepam, walaupun pada beberapa kasus serangan kejang
tidak dapat diatasi dengan diazepam IV, fenitoin dan fenobarbital. Bayi prematur
14

relatif lebih tahan terhadap keracunan teofilin; kadar obat dalam plasma sampai
80 mg/ml hanya menimbulkan gejala keracunan yang berupa takikardi
(Ganiswarna et al., 1995).
3.8.5

Sediaan
Xantin merupakan alkaloid yang bersifat basa lemah; biasanya diberikan
dalam bentuk garam rangkap. Untuk pemberian oral dapat diberikan dalam
bentuk basa bebas atau bentuk garam, sedangkan untuk pemberian parenteral
perlu sediaan dalam bentuk garam.
Kafein merupakan kristal putih yang awal dalam air dengan
perbandingan 1 : 46. Kafein-Na benzoat, dan kafein sitrat, berupa senyawa
putih, agak pahit, larut dalam air. Yang pertama tersedia dalam ampul 2 ini
mengandung 500 mg untuk suntikan IM, sedangkan kafein sitrat terdapat dalam
bentuk tablet 60 dan 120 mg untuk pemakaian oral.
Teofilin berbentuk kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air. Tablet
teofilin 100 dan 200 mg digunakan untuk pemberian oral. Aminofilin
merupakan garam teofilin untuk penggunaan IV, tersedia dalam ampul 10 ini
mengandung 250 mg dan ampul 20 ini mengandung 500 mg. Teofilin tersedia
juga sebagai suppositional yang mengandung 125,250 dan 500 mg santa sirup
dan elixir.
Pentoksifilin (1 (5.oksoheksil)-3,7 dimetilxantin) di Amerika Serikat
digunakan untuk klaudikasio intermiten pada penyakit pembuluh arteri yang
bersilat oklusif kronis. Pada uji klinik, pentoksifihin terbukti memperpanjang
jarak tempuh berjalan sebelum mulai timbul gejala klaudikasio; ditemukan juga
bukti langsung penambahan aliran darah pada kaki yang mengalami ischemia.
Perbaikan klinis ini terutama disebabkan oleh perbaikan fleksibilitas sel darah
merah yang semula subnormal, penurunan kadar fibrinogen dalam plasma dan
penurunan viskositas darah.
Respons klinik terhadap pemberian pentoksifilin secara kronis, tidak
berhubungan dengan perubahan resistensi perifer dan denyut Jantung; obat ini
juga tidak bertindak sebagai vasodilator. Jadi cara kerja obat ini belum jelas
benar. Hasil terapi yang menguntungkan baru terlihat 2 minggu sesudah
pengobatan. Dosis pentoksitilin yaitu 3 x 400 mg sehari per oral.

15

3.8.6

Minuman Xantin
Minuman xantin yang paling popular ialah kopi, teh, coklat, dan
minuman cola. Kopi dan teh mengandung kafein, sedangkan coklat
mengandung teobromin. Kadar kafein dalam daun teh (lebih kurang 2%) lebih
tinggi daripada kadarnya dalam biji kopi (0.7-2%). Satu botol minuman cola
berisi 35-55 mg kafein. Satu cangkir kopi rata-rata berisi 100-150 mg kafein,
mendekati dosis terapi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa popularitas minuman
xantin ditentukan oleh daya stimulasinya, sedangkan daya stimulasi ini berbeda
pada setiap individu. Anak lebih peka terhadap perangsangan xantin daripada
orang dewasa; maka sebaiknya anak jangan minum kopi atau teh. Pasien dengan
tukak peptik yang aktif dan hipertensi sebaiknya tidak minum minuman yang
mengandung kafein (Ganiswarna et al., 1995).

3.9 TEOFILIN
Pemberian iv. cepat dan aminofilin (500 mg) mengakibatkan kematian
mendadak oleh serangan jantung, karena presipitasi teofilin pada pH darah
mengakibatkan konsentrasinya naik.
Aminofilin harus diberikan dalam injeksi lambat, lebih dari 20-40 menit.
Gejala intoksikasi:
Toksik berat: nyeri kepala, palpitasi, dizziness, mual, hipotensi, nyeri pericardial.
Lain-lain: takikardia, restlessness berat, agitasi, emesis (pada konsentrasi plasma
lebih dari 20 g/ml).
Kejang lokal/general pada konsentrasi lebih dan 40 g/ml. Tapi ada kasus yang
kejang dan meninggal pada konsentrasi 25 g/ml. Terapi kejang: pemberian
diazepam/fenitoin/fenobarbital dan kalau perlu dengan usaha life saving yang lain.
Efek pada miokard/koroner: tidak jelas (Wibowo & Gofir, 2001).
3.9.1

Absorpsi
Teofilin mencapai konsentrasi maksimal dalam 2 jam, sedang kafein dalam 1
jam. Distribusi ke seluruh tubuh, volume distribusi kafein/teofilin 400-550
ml/kg. Teofilin 50 persen terikat plasma, kafein lebih besar lagi. Dalam cairan
serebrospinalis konsentrasi kafein lebih larut dalam lemak daripada teofilin.
Kafein : 3,5 jam
16

Teofilin : anak muda: 3,5 jam dewasa: 8-9 jam


Metabolisme teofilin di hepar.
3.9.2 Manfaat terapetik
Kafein: 3,5 jam: stimulasi SSP: pada intoksikasi barbiturat dan opioid, tapi
pemakaiannya sudah berkurang analgesia oleh karena efeknya pada mood.
Teofilin: untuk asma bronchial. Konsentrasi plasma: 5-8 g/ml. Pada konsentrasi
20 g/ml sering sudah toksik.
Dosis: 6 g/kg BB aminofilin (sesuai dengan 5 g/kg BB teofilin. Infus 20-40
menit, bila tidak ada respon, tambah 3 g/kg BB.
Teofilin dapat juga dipakai pada:
Chronic obstructive pulmonary disease (pulmonary hypertension, cor
pulmonale, right heart failure).
Apneu pada bayi preterm.
Konsentrasi 2-10 g/ml. Dosis 5-6 mg/kg BB.
Aminofilin (sesuai dengan 4-5 mg/kg theophylline).
Kafein:
Pada depresi sentral digunakan
kafein + aspirin : pada nyeri kepala
kafein + ergot : pada migren kafein menyebabkan konstriksi pembuluh
darah
substitut amfetamin dan methyiphenidate pada hyperkinetic behavior
pada anak.
Minuman mengandung xanthine:
Secangkir kopi mengandung sekitar 85 mg kafein.
Secangkir teh mengandung sekitar 50 mg kafein dari 1 mg teofilin.
Coca : 250 mg teobromin dan 5 mg kafein per cangkir.
Sebanyak 360 cc botol minuman cola mengandung sekitar 50 mg kafein.

Pertimbangan buat peminum kopi pada pasien yang mendapat fenitoin, juga
pasien dengan tukak lambung (peptic ulcer).

3.9.3

Perhatian
Secara umum obat golongan ini jarang digunakan pada kasus depresi sistem
saraf pusat.
Sebagian obat (misalnya amphetamine) sering disalahgunakan.

17

Perhatikan efek samping dan risiko ketergantungan (Wibowo & Gofir,


2001).
B. NOOTROPIK
1. Definisi Obat Nootropik
Obat Nootropik atau Neurotropik adalah senyawa yang meningkatkan
kemampuan kognitif manusia (fungsi dan kapasitas otak). Obat ini digunakan
pada

gangguan

(insufisiensi)

cerebral

seperti

mudah

lupa,

kurang

konsentrasi dan vertigo. Metkanisme kerja obat nootropik, yaitu :


Tidak

mempunyai

vasoaktivitas

yang

langsung,

yakni

tidak

menyebabkan vasodilatasi atau vasokonstriksi, tidak mempengaruhi


aliran darah serebral total (total CBF) dan tidak menyebabkan suatu
steal phenomenon.
Tidak menyebabkan perubahan pada aktivitas dasar EEG. Obat ini
tidak

mengubah

ritme

dasar

EEG,

tetapi

menurunkan

jumlah

gelombang-gelombang delta.
Melewati sawar darah otak (blood brain barrier) dalam keadaan normal
maupun patologik.
Mempunyai efek samping yang minimal tidak mempengaruhi sistem
kardiovaskuler maupun pernapasan.
2. Manfaat Nootropik
-

Mengendalikan kelainan kontraksi otot yang terjadi tanpa disadari


(mioklonus), misalnya cegukan, tremor dan kedutan.

Penyakit serebrovaskular dan insufisiensi sirkulasi serebral.

Mengatasi alkoholisme kronis dan kecanduan alkohol, seperti


predelirium, delirium, defisit intelektual akibat alkoholisme kronik,
terapi detoksifikasi.
18

Mengatasi

involusi

yang

terkait

dengan

usia

lanjut,

seperti

gangguan adaptasi, gangguan reaksi psikomotor, kemunduran


perilaku sosial, kemunduran daya pikir.
-

Membantu dalam terapi kognitif.

Membantu mengatasi gejala pasca trauma, misalnya sakit kepala,


vertigo, astenia, dan kegelisahan.

Bagian dari terapi infark serebral.

Mengatasi gangguan tingkah laku pada anak, misalnya gangguan


belajar, disleksia, hyperkinesia dan enuresis.

3. Obat-obatan Nootropik
NO

NAMA GENERIK

SEDIAAN
dragee : 100 / 200mg

1.

Pyritinol HCl

larutan 100ml;
Ampul 20mg
Caps.400/800/1200mg

2.

Piracetam

sirup 10%,
Ampul 1g/5ml

3.

3.1

Caps. 250 lg, 500 lg ,

Mecobalamin

Ampul 500 lg

PIRACETAM
Piracetam adalah kelompok obat nootropik. Obat ini berfungsi

mengobati kondisi mioklonus, gejala involusi pada lansia, mengatasi


alkoholisme

kronik

dan

kecanduan,

serta

membantu

dalam

memulihkan gejala pasca trauma. Obat ini memengaruhi otak dan


19

sistem saraf. Piracetam melindungi bagian otak yang bernama


korteks serebri agar tidak kekurangan oksigen. Korteks serebri
bertanggung jawab dalam proses berpikir, persepsi, daya ingat,
serta memiliki peran dalam fungsi motorik (gerakan), kemampuan
sosial, bahasa, dan penyelesaian masalah.
3.1.1 Farmakologi
Piracetam

(2-oxo-1

pyrolidine-acetamid)

merupakan

golongan nootropic agents yang berbentuk bubuk kristal putih


dan

tidak

berbau.

Piracetam

bekerja

dengan

cara

meningkatkan efektifitas dari fungsi telensefalon otak melalui


peningkatan fungsi neurotransmiter kolinergik. Telensefalon
inilah yang mengatur fungsi kognitif pada manusia (memori,
kesadaran, belajar dan lain).
Fungsi lain dari piracetam adalah menstimulasi glikolisis
oksidatif, meningkatkan konsumsi oksigen pada otak, serta
mempengaruhi

pengaturan

cerebrovaskular

dan

juga

mempunyai efek antitrombotik. Oleh karena itu piracetam


biasanya digunakan untuk pengobatan stroke, terutama
stroke

iskemik.

Piracetam

mempengaruhi

aktifitas

otak

melalui berbagai mekanisme yang berbeda antara lain:


-

Merangsang transmisi neuron di otak

Merangsang metabolisme otak

Memperbaiki mikrovaskular tanpa efek vasodilatasi

3.1.2 Farmakokinetik
Distribusi, Piracetam di distribusikan melewati sawar
otak dan terkonsentrasi pada bagian abu-abu dari korteks
cerebri dan cerebelum, nukleus caudatus, hipokampus, korpus
20

genikulatum

lateral,

dan

pleksus

koroideus.

Ekskresi,

Piracetam di ekskresi melalui urin dan feces, ekskresi melalui


urin mencapai 98% oleh karena itu diperlukan perhatian
khusus pada penderita dengan gangguan ginjal.

3.1.3 Indikasi
Gejala-gejala involusi yang berhubungan dengan usia
lanjut, seperti kemunduran daya pikir, astenia, gangguan
adaptasi dan reaksi psikomotorik yang terganggu.
Alkoholisme kronik dan adiksi seperti pre-delirium dan
delirium tremens serta gangguan fungsi dan kemunduran
intelegensia yang diakibatkan oleh alkoholisme kronik
(gangguan ingatan, konsentrasi pikiran, perhatian, dan
intelegensi).
Gejala pasca trauma : Disfungsi serebral sehubungan
dengan akibat pasca trauma (sakit kepala, vertigo,
agitasi, gangguan ingatan dan astenia.

3.1.4 Dosis
Dosis dan jangka waktu penggunaan piracetam akan
ditentukan oleh dokter sesuai dengan kondisi yang ingin
ditangani, tingkat keparahannya, dan kondisi kesehatan
pasien. Dosis akan direvisi oleh dokter dan disesuaikan
menurut perkembangan kondisi.
Dosis

umum

pemakaian

tablet

piracetam

untuk

mioklonus adalah 7,2 gram sampai dengan maksimum


24 gram per hari. Dosis lazim 1,2-4,8 g sehari dalam
dosis terbagi 2-3 kali.
21

Gejala psikoorganik sehubungan dengan usia lanjut

Dosis awal : 2,4 g sehari selama 6 minggu dalam dosis terbagi

Dosis pemeliharaan dianjurkan 1,2 g sehari dalam dosis terbagi


Gejala paska trauma
Dosis awal : 800 mg 3 x sehari. Bila sudah diperoleh efek
yang diinginkan, kurangi dosis secara bertahap sampai 400
mg 3 x sehari.
3.1.5 Lamanya pengobatan
Pada kasus akut, efek akan segera tampak, sedangkan
pada kasus lainnya, perbaikan terjadi pada minggu ketiga.
Untuk menigkatkan perbaikan maka sebaiknya pengobatan
dilanjutkan.
3.1.6 Efek Samping
Reaksi orang terhadap sebuah obat berbeda-beda.
Beberapa efek samping yang bisa terjadi, seperti merasa
gugup atau cemas, berat badan bertambah, dan mudah
mengantuk atau merasa lelah.
Dosis dewasa diatas 2,4 gr/hari dapat menyebabkan
tremor, insomnia, fatique, perasaan mengantuk, cemas,
irritabilitas, agitasi. Gangguan gastrointestinal seperti diare,
mual, muntah, gastralgia. Sakit kepala, dan vertigo. Mulut
kering, peningkatan libido, peningkatan berat badan, dan
reaksi hipersensitif terhadap kulit.
3.1.7 Kontra Indikasi

22

Pada penderita dengan kerusakan ginjal yang parah


(klirens kreatinin < 20 ml/menit)
Penderita yang hipersensitif terhadap obat ini
Penderita dengan kondisi insufisiensi ginjal, wanita hamil
dan menyusui
Bagi wanita hamil dan menyusui, serta pendiet sodium.
Penderita penyakit Huntingtons chorea, gangguan ginjal,
gangguan hati, masalah dengan penggumpalan darah,
dan yang pernah mengalami pendarahan pada otak.

3.2

PYRITINOL HCl
Obat ini diindikasikan untuk pasca trauma otak, perdarahan

otak, gejala degenerasi otak sehubungan gangguan metabolisme.


Pyrytinol meningkatkan pengambilan oksigen dan gula glukosa di
dalam otak, dan menyalurkan glukosa lebih mudah melewati sawar
darah otak. Fungsinya meningkatkan fungsi umum otak.
Pada penyelidikan ditemukan peningkatan aliran

darah

sebanyak 12% ke substansia grisea dan 4% ke substansia alba di


daerah-daerah yang mempunyai sirkulasi patologik. Peningkatan
aliran darah ini merupakan akibat sekunder dari peningkatan
metabolisme. Dengan pemberian obat ini, konsumsi glukosa oleh
otak dinormalkan kembali. Piritinol juga menurunkan permeabilitas
sawar darah otak terhadap fosfat, menurunkan kadar GABA dan
GABA-transaminase dan meningkatkan RNA residual dan RNA
Ribosomal. Aktivasi umum yang disebabkan obat ini diperkirakan
karena pengaruhnya terhadap membran fosfolipid eritrosit, di
tempat mana terjadi peningkatan pengaturan molekul-molekul pada
lapisan ganda fosfolipid.
23

3.3

MECOBALAMIN
Merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang

berperan dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling


aktif dibandingkan dengan homolog vitamin B12 lainnya dalam
tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat,
protein dan lemak.
Obat ini diindikasikan untuk terapi neuropati perifer, misalnya
masalah pada pengatur indera perasa, disebabkan saraf mengalami
tekanan, contohnya duduk terlampau lama.Mecobalamin atau
methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein
dan lemak. Mecobalamin bekerja sebagai koenzim dalam sintesa
metionin.

Mecobalamin

terlibat

dalam

sintesis

timidin

pada

deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA.


Pada penelitian lain ditemukan mecobalamin mempercepat
sintesis

Lesitin,

suatu

mielin.Mecobalamin
Bersama

Asam

komponen

diperlukan

Folat

dan

untuk

Vitamin

utama
kerja
B6.

dari

normal

selubung
sel

Mecobalamin

saraf.
bekerja

menurunkan kadar Homosistein dalam darah. Homosistein adalah


suatu senyawa dalam darah yang diperkirakan berperan dalam
penyakit jantung.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
24

Analeptika merupakan kelompok obat yang berfungsi untuk memulihkan kondisi tubuh;
umumnya merupakan obat-obat stimulansia. Analeptika bekerja sebagai stimulan pada sistem
saraf pusat (SSP). Pemacu SSP dapat meningkatkan aktifitas psikis. Senyawa ini dapat
menghilangkan rasa lelah dan penat, meningkatkan kemampuan berkonsentrasi. Senyawa ini
tidak boleh dipakai untuk mengobati depresi, obesitas, senilitas, debilitas atau kelesuan. Nilai
terapeutik senyawa ini masih dipersoalkan. Pemakai obat ini berisiko kurang tidur, cadangan
nergi tubuh terkuras, dan sesudah itu terjadi kelelahan absolut. Senyawa ini juga cepat
mengakibatkan toleransi dan ketergantungan.
Obat Nootropik atau Neurotropik adalah senyawa yang meningkatkan
kemampuan kognitif manusia (fungsi dan kapasitas otak). Obat ini digunakan
pada gangguan (insufisiensi) cerebral seperti mudah lupa, dan kurang
konsentrasi. Obat-obatan Nootropik antara lain piracetam, pyritinol dan
mecobalamin.

DAFTAR PUSTAKA
Ganiswarna, S.G., et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Gaya Baru : Jakarta.
25

Kee, J. L. & Hayes, E. R. 1996. Farmakologi (Pendekatan Proses Keperawatan). Buku


Kedokteran EGC: Jakarta.
Maycek, M.J., et al. 2001. Farmakologi :Ulasan Bergambar. Edisi 2. Widya Medika: Jakarta.
Thomsend, M.C. 2003. Buku Pedoman Obat dalam Keperawatan Psikiatri. Edisi 2. EGC :
Jakarta.
Wibowo, S. & Gofir, A. 2001. Farmakoterapi dalam Neurologi. Salemba Medika: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. CV. Agung
Seto: Jakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai