Anda di halaman 1dari 4

NAMA : ERLINDA NUR RAHMA AZHAR

NIM : 62020050115
MATA KULIAH : UU & Etika Kesehatan

Pakai Obat Apotek, Warga Pontianak Barat Nyaris Buta

PONTIANAK, SP – Akibat membeli obat tanpa resep dokter di sebuah apotek, mata Ibnu Utomo
(65), warga Pontianak Barat nyaris buta. Kornea matanya dinyatakan rusak, akibat menggunakan
obat tersebut. Dia merasa dirugikan oleh pihak apotek Kimia Farma di Jalan H Rais A Rahman,
Pontianak Barat.

Ibnu menceritakan, awal mula dirinya membeli obat tetes mata bermerek Cendro Xitrol sekitar
tiga hari yang lalu, tepatnya Selasa (21/2). Awalnya, matanya sebelah kiri perih karena terkena
sabun mandi. Kemudian, dia membasuh bagian matanya dengan air. Namun, rasa perih tak
kunjung hilang.

Selanjutnya kata Ibnu, untuk mengobati rasa perih matanya tersebut, lantas dirinya meneteskan
obat mata biasa, merek Insto. Hasilnya juga tak memberi efek. Dari situlah dia berinisiatif
mencari obat tetes mata di apotek tersebut. Setelah dibeli, Ibnu pun langsung meneteskan obat
mata yang dibelinya seharga Rp 75 ribu tersebut.

Bukannya menjadi baik, obat bermerek Cendro Xitrol yang dibelinya di apotik tersebut, malah
menambah parah sakit matanya. "Setelah saya pakai, mata saya bukan malah membaik, tapi
malah terasa panas. Mata saya sebelah kiri sekarang menjadi buram,” ujarnya.

Ibnu datang ke Puskesmas, Rabu (22/2). Dia memperlihatkan obat mata yang dibelinya dari
apotek ke dokter mata yang memeriksanya, dr Yuli. Dokter menjelaskan, obat yang dibelinya di
apotek itu, tak boleh diperjualbelikan tanpa resep dokter. Selain itu, Ibnu juga telah
memeriksakan matanya ke dr Sihabudin yang berpraktik di Jalan Prof Hamka. Hasil diagnosa dr
Sihabudin, kornea mata Ibnu sebelah kiri mengalami kerusakan.

Ibnu tak menyangka jika petugas apotek melakukan pemberian obat dengan ceroboh. "Saya
merasa sebagai korban. Saya minta pihak apotek bertanggung jawab atas apa yang saya alami
ini. Kemarin saya ke apotek itu, tapi malah saya di oper sana oper sini," katanya.

Ia juga berharap, pihak Apotik Kimia Farma tidak menempatkan orang sembarangan di apotik.
“Jangan main-main," ujarnya.

Sementara itu, Apoteker Penanggungjawab Kimia Farma di Jalan H Rais Arahman, Kukuh
mengklaim telah melaksanakan standar operasional pelayanan bagi konsumen.
"Memang bapak ini ada datang ke apotek kami, dengan mengeluhkan sakit mata. Sebelum dia
membeli obat, kita sudah menyarankan agar periksakan dulu ke dokter. Namun bapak ini
mengatakan sibuk dan tak punya waktu. Lalu, bapak ini meminta obat dalam," kata Kukuh
kepada Suara Pemred, Kamis (23/2).

Menurutnya, obat tetes mata bermerek Cendro Xitrol yang diberikan kepada Ibnu, sejatinya
memang obat mata, dan lazim digunakan oleh penderita sakit mata. Menyoal permintaan
pertanggung jawaban yang diinginkan Ibnu, Kukuh mengatakan, pertanggungjawaban tetap bisa
saja diberikan. Namun, tentu harus sesuai mekanismenya.

"Kita harus kroscek dahulu, ke dokter yang menangani bapak ini, apakah benar apa yang
dialaminya memang murni akibat dari penggunaan obat tersebut. Dan kita juga harus tahu jelas,"
katanya. (abd/bls/lis)

Pendapat :

Seharunya apoteker atau ttk lebih teliti dan lebih tegas dalam menolak melayani obat keras pada
pasien tanpa resep dokter, dan kurangnya pelayanan KIE pada pasien menyebabkan pasien salah
dalam menggunakan obat. seharusnya apoteker lebih tegas dalam menolak melayani agar tidak
terjadi kesalahan penggunaan obat terhadap pasien yang menyebabkan kerusakan kornea mata.

Regulasi UU :

Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (“PP
Farmasi”) mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau
penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. Yang dimaksud dengan sediaan Farmasi adalah obat,
bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Jadi, PP Farmasi ini lebih mengatur kepada
pekerjaan dan tenaga kefarmasian yang akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan
dengan sediaan farmasi, termasuk obat.

Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 919/Menkes/Per/X/1993


Tahun 1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep (“Permenkes 919/1993”)
mengatur secara khusus tentang obat yang tidak perlu menggunakan resep dokter.

Mengenai apa yang dimaksud dengan obat keras, berdasarkan Pedoman Penggunaan Obat Bebas
Dan Bebas Terbatas yang disusun oleh Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, obat keras adalah obat yang
hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah
huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Seperti Cendo xitrol tadi yang
menyebabkan kerusakan pada kornea mata.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, PP Farmasi mengatur bahwa dalam melakukan


Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat
keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ini berarti bahwa obat keras tidak bisa dibeli tanpa adanya resep dokter. Hal ini juga dapat dilihat
dariKeputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/1986 Tahun
1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G (“Kepmenkes 2396/1986”). Dalam peraturan
ini dapat dilihat bahwa obat keras hanya dapat diberikan dengan resep dokter, yaitu dalam Pasal
2 Kepmenkes 2396/1986:

(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus dicantumkan
secara jelas tanda khusus untuk obat keras.
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan
mencantumkan kalimat "Harus dengan resep dokter" yang ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.
(3) Tanda khusus dapat tidak dicantumkan pada blister, strip, aluminium/selofan, vial, ampul,
tube atau bentuk wadah lain, apabila wadah tersebut dikemas dalam bungkus luar.

Hukuman & Sangsi :

Pada Undang – Undang Obat Keras ( St. No. 419 Tgl. 22 Desember 1949 ) Pasal 12 tertulis
bahwa pelaku pelangaran pemberian oabat akan di kenakan hukuman dan sangsi sebagai berikut:

(1) Hukuman penjara setinggi-tingginya 6 bulan atau denda uang setinggi- tingginya 5.000
gulden dikenakan kepada :
a. Mereka yang melanggar peraturan-peraturan larangan yang dimaksudkan dalam
Pasal 3, 4 dan 5.
b. Pedagang kecil yang diakui yang berdagang berlawanan dengan Ayat-ayat khusus
yang ditentukan pada surat izinnya atau bertentangan dengan peraturan umum
yang dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 5.
c. Pedagang Besar yang diakui yang berdagang bertentangan dengan syarat-syarat
yang dimaksud kan dalam Pasl 7 Ayat 4.
d. Mereka yang berdagang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pada Pasal 8
Ayat 1.
e. Merka yang berdagang bertentangan dengan Peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh Sec.V.St. sesuai dengan Pasal 8 Ayat 2.
f. Mereka yang tidak mentaati ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 Ayat 7; Pasal 7
Ayat 6 atau Pasal 9 Ayat 1 dan 3.
(2) Obat-obat keras dengan mana atau terhadap mana dilakukan pelanggaran dapat
dinyatakan disita.
(3) Jika tindakan-tindakan yang dapat dihukum dijalankan oleh seorang Pedagang kecil atau
Pedagang Besar yang diakui maka sebagai tambahan perdagangan dalam obat keras dapat
dilarang untuk jangka waktu setinggi- tinggnya 2 tahun.
(4) Tindakan-tindakan yang dapat dihukum dalam Pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.

Referensi :

1. www.suarapemredkalbar.com pakai obat apotek, warga Pontianak nyaris buta


2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/1986
Tahun 1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G
3. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
4. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Undang – Undang
Obat Keras ( St. No. 419 Tgl. 22 Desember 1949 ).

Anda mungkin juga menyukai