AGONIS ADRENERGIK
NPM : 112170026
Konsulen :
2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
AGONIS ADRENERGIK
Disusun Oleh :
DYAH AYU LESTARI
NPM. 112170026
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT bahwa penulis telah
menyelesaikan tugas referat agonis adrenergik ini.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dosen, sehingga kendala-kendala
yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
dr. Aris Sunaryo, Sp.An, M.Kes selaku ketua SMF anestesi dan pembimbing
yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami
termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
Kepada semua pihak yang ikut berperan dalam hal ini kami ucapkan banyak
terima kasih.
Dalam Penulisan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan referat ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai, Aamiin.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa
terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu
kedokteran senyawa tersebut disebut obat. Karena itu dikatakan farmakologi
merupakan seni menimbang ( the art of weighing ). Tanpa pengetahuan
farmakologi yang baik, seorang dokter dapat merupakan sumber bencana bagi
pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan
yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang
terlalu menggangu. Selain itu, pengetahuan mengenai efek samping obat
memampukan dokter mengenal tanda dan gejala yang disebabkan obat. Hampir
tidak ada gejala dari demam, gatal sampai syok anafilaktik, yang tidak terjadi
dengan obat. Jadi obat selain bermanfaat dalam pengobatan penyakit, juga
merupakan penyebab penyakit. Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5
% pasien masuk rumah sakit akibat obat. Rasio fatalitas kasus akibat obat dirumah
sakit bervariasi antara 2 12%. Efek samping obat meningkat sejalan dengan
jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya pengetahuan obat
bagi seorang dokter maupun apoteker tidak dapat diragukan.
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah,
mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi
tertentu misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka
selama pembedahan. Salah satu bagian dalam ilmu farmakologi yaitu obat otonom
yakni obat adrenergic atau simpatomimetika yaitu zat zat yang dapat
menimbulkan ( sebagian ) efek yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus (
SS ) dan melepaskan noradrenalin ( NA ) di ujung ujung sarafnya. SS berfungsi
meningkatkan penggunaan zat oleh tubuh dan menyiapkannya untuk proses
disimilasi. Organisme disiapkan agar dengan cepat dapat menghasilkan banyak
energy, yaitu siap untuk suatu reaksi fight, fright, or flight ( berkelahi, merasa
takut, atau melarikan diri ). Oleh karena itu, adrenergika memiliki daya yang
bertujuan mencapai keadaan waspada tersebut.
5
1.2 Tujuan Penulisan
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
c) Senyawa adrenomimetik, dapat mengaktifkan dan -reseptor.
d) Tiramin dan efedrin, dapat mengganti norepinefrin dai mobile pool I
sitoplasma, menghasilkan efek simpatomimetik.
e) Pirogalol, katekol dan 4-metiltropolon, dapat menghambat enzim
katekol-o-metiltransferase (COMT).
3. Sistem saraf menghasilkan 2 tipe respons, yaitu:
a) Respon -adrenergik, secara umum dapat menimbulkan rangsangan atau
vasokonstriksi otot polos, tetapi kemungkinan juga menimbulkan
respons penghambatan, seperti relaksasi otot polos usus.
b) Respon -adrenergik, secara umum dapat menimbulkan respons
penghambatan, seperti relaksasi otot polos dan vasodilatasi otoy rangka,
tetapi kemungkinan juga menimbulkan rangsangan, seperti
meningkatkan konstraksi dan kecepatan jantung.
8
Hilangnya gugus ini menyebabkan menurunnya aktivitas -adrenergik,
tetapi tidak mempengaruhi aktivitas -adrenergik.
b. Gugus hidroksi alkohol dalam bentuk isomer (-) dapat mengikat
reseptor secara serasi melalui ikatan hidrogen atau kekuatan
elektrostatik. Atom C- seri feniletilamin yang dapat membentuk
karbokation juga menunjang interaksi obat reseptor.
c. Adanya gugus amino juga penting terutama untuk aktivitas -
adrenergik, karena dalam bentuk kationik dapat berinteraksi dengan
gugus fosfat reseptor yang bersifat anionik. Penggantian gugus amino
dengan gugus OCH3 akan menghilangkan aktivitas adrenergik.
d. Adanya substituen gugus alkil yang besar pada atom N akan
meningkatkan afinitas senyawa terhadap -reseptor dan menurunkan
afinitasnya terhadap -reseptor.
e. Peran R-stereoselektivitas terlihat lebih besar pada -reseptor. -agonis
dan -antagonis mempunyai struktur mirip seperti yang terlihat pada
struktur isoproterenol, tipe perangsang -adrenergik, dan propanolol,
tipe pemblok adrenergik.
3. Molekul senyawa adrenomimetik bersifat lentur dan dapat membentuk
konformasi cis dan trans. Penelitian dengan analog dopamin menunjukkan
bahwa bentuk konformasi trans yang memanjang berinteraksi lebih baik
dengan reseptor dan -adrenergik dibanding bentuk konformasi cis yang
tertutup.
4. Hubungan struktur dan aktivitas senyawa -agonis didapatkan bahwa :
a. Pemasukan gugus metil pada atom C- rangka feniletilamin akan
meningkatkan selektivitas terhadap.
b. Penghilangan gugus 4-OH dari cincin aromatik, secara drastis
meningkatkan selektivitas terhadap 1-reseptor.
c. Penghilangan gugus 3-OH dari cincin aromatik, pada banyak kasus dapat
meningkatkan selektivitas terhadap
9
d. Semua turunan imidazolin menunjukkan selektivitas yang lebih baik
terhadap 2 reseptor dan aktivitasnya akan lebih besar bila ada substituen
pada posisi 2 dan 6 cincin aromatik.
5. Obat adrenergik, yang juga sebagai amin simpatomimetik, mempunyai
struktur dasar -feniletilamin, yang terdiri dari inti aromatis berupa cincin
benzen dan bagian alifatis berupa etilamin. Substitusi dapat dilakukan pada
cincin benzen maupun pada atom C-, atom C-, dan gugus amino dari
etilamin.
1. Substitusi pada cincin benzen dan pada atom C-.
a) Amin simpatomimetik dengan substitusi gugus OH pada posisi 3
dan 4 cincin benzen disebut katekolamin (o-dihidroksibenzen
disebut katekol). Sebstitusi pada gugus OH yang polar pada cincin
benzen atau pada atom C- mengurangi kelarutan obat dalam lemak
dan memberikan aktivitas untuk bekerja langsung pada reseptor
adrenergik di perifer. Karena itu, obat adrenergik yang tidak
mempunyai gugus OH pada cincin benzen maupun pada atom C-
(misalnya amfetamin, metamfetamin) mudah menembus sawar
darah otak sehingga menimbulkan efek sentral yang kuat.
Disamping itu, obat-obat ini kehilangan aktivitas perifernya yang
langsung, sehingga kerjanya praktis hanya secara tidak langsung.
b) Katekolamin dengan gugus OH pada C- (misalnya epinefrin,
norepinefrin dan isoprenalin) sukar sekali masuk SSP sehingga efek
sentralnya minimal. Obat-obat ini bekerja secara langsung dan
menimbulkan efek perifer yang maksimal.
c) Amin simpatomimetik dengan 2 gugus OH, pada posisi 3 dan 4
(misalnya dopamin dan dobutamin) atau pada posisi 3 dan C-
(misalnya fenilefrin, metaramirol) juga sukar masuk SSP.
d) Obat dengan 1 gugus OH, pada C- (misalnya efedrin,
fenilpropanolamin) atau pada cincin benzen (misalnya
hidroksiamfetamin) mempunyai efek sentral yang lebih lemah
10
daripada efek sentral amfetamin (hidroksiamfetamin hampir tidak
mempunyai efek sentral).
e) Gugus OH pada posisi 3 dan 5 bersama gugus OH pada C- dan
substitusi yang besar pada gugus amino memberikan selektivitas
reseptor 2.
f) Katekolamin tidak efektif pada pemberian oral dan masa kerjanya
singkat karena merupakan substrat enzim COMT (katekol-O-
metiltransferase) yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati;
enzim ini mengubahnya menjadi derivat 3-metoksi yang tidak aktif.
g) Tidak ada atau hanya satu substitusi OH pada cincin benzen, atau
gugus OH pada posisi 3 dan 5 meningkatkan efektivitas oral dan
memperpanjang masa kerja obat, misalnya efedrin dan terbutalin.
2. Substitusi pada atom C-.
a) Menghambat oksidasi amin simpatomimetik oleh enzim monoamin
oksidase (MAO) menjadi mandelat yang tidak aktif.
b) Meningkatkan efektivitas oral dan memperpanjang masa kerja amin
simpatomimetik yang tidak mempunyai substitusi 3-OH pada inti
benzen (misalnya efedrin, amfetamin), tetapi tdak memperpanjang
masa kerja amin simpatomimetik yang mempunyai substitusi 3-OH
(misalnya etil-norepinefrin).
3. Substitusi pada gugus amino.
a) Makin besar gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas ,
seperti terlihat pada Isoprenalin > epinefrin > norepinefrin.
b) Makin kecil gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas ,
dengan gugusmetil memberikan aktivitas yang paling kuat,
sehingga urutan aktivitas : epinefrin >> norepinefrin > isoprenalin.
4. Isomeri optik.
a) Substitusi yang bersifat levorotatory pada atom C- disertai
aktivitas perifer yang lebih kuat. Dengan demikian, L-epinefrin dan
L-norepinefrin mempunyai efek perifer > 10 kali lebih kuat
daripada isomer dekstonya. Substitusi yang bersifat dextrorotatory
11
pada atom C- menyebabkan efek sentral yang lebih kuat, misalnya
d-amfetamin mempunyai efek sentral lebih kuat daripada L-
amfetamin.
Obat adrenergik terbagi menjadi dua, kerja langsung dan kerja tidak
langsung. Obat adrenergik kerja langsung bekerja secara langsung pada reseptor
adrenergik di membran sel efektor. Jadi, efek suatu obat adrenergik dapat diduga
bila duketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat tersebut. Obat
adrenergik kerja tidak langsung menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan
NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergik.
Reseptor adrenergik dibagi pada dua kategori umum: dan . Yang
masing-masingnya telah dibagi lebih lanjut menjadi dua subtipe: 1 dan 2, 1
dan 2 dan 3. Reseptor telah dibagi lebih lanjut menggunakan teknik
kloning molekul menjadi 1A, 1B, 1D, 2A, 2B, 2C. reseptor ini
dihubungkan ke protein-G reseptor heterotrimerik dengan sub unit , , dan .
12
Adrenoseptor yang berbeda dihubungkan melalui protein-G yang spesifik,
masing-masing dengan efektor yang unik, tetapi masing-masing menggunakan
guanosine trifosfat (GTP) sebagai kofaktor. 1 berhubungan dengan Gq, yang
mengaktifkan fosfolipase, 2 berhubungan dengan Gs, yang mengaktivasi
adenilat siklase.
13
pada hati, ginjal dan saluran gastrointestinal yang mengkatalisa oksidasi
deaminasi. COMT dapat mengmetilasi sebuah grup hidroksi dari katekolamin.
Hasilnya adalah metabolit yang sudah termetilasi dan tidak aktif dihubungkan
dengan asam glukorinik danditemukan diginjal sebagai asam 3-metoksi-4-
hidroksimendelik, metanefrin (turunan dari epinefrin) dan normetanefrin
(turunan dari norepinefrin).
14
vaskular mengandung postsinaptik 2 reseptor yang menciptakan
vasokonstriksi. Lebih penting lagi, stimulasi dari reseptor 2 postsinaptik
di sistem saraf pusat menyebabkan sedasi dan menurunkan aliran keluar
dari simpatis, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer dan menurunkan
tekanan darah.
C. Reseptor 1
Reseptor 1 yang paling penting berlokasi di membran postsinaptik
ada jantung. Stimulasi dari reseptor ini mengaktivasi adenilat siklase, yang
merubah adenosin trifosfat menjadi adenosin siklik monofosfatase dan
memulai kaskade kinase fosforilasi. Mulainya kaskade ini mempunyai efek
kronotopik positif (meningkatkan denyut jantung), dromotopik
(meningkatkan konduksi), dan inotropik (meningkatkan kontraktilitas).
15
D. Reseptor 2
Reseptor 2 berasal dari adrenoreseptor postganglionik yang
berlokasi pada otot polos dan sel kelenjar. Reseptor ini mempunyai cara
kerja yang sama dengan reseptor 1: aktivasi adenilat siklase. Selain
persamaan ini, stimulasi 2 merelaksasi otot polos, mengakibatkan
bronkodilator, vasodilasi, dan relaksasi daripada uterus (tokolisis),
kandung kemih dan usus. Glikogenolisis, lipolisis, glukoneogenesis, dan
pelepasan insulin distimulasi oleh aktivasi reseptor 2. Agonis 2 juga
mengaktifkan pompa kalium-natrium, yang merubah kalium intraselular
dan dapat membuat hipokalemi dan disritmia.
E. Reseptor 3
3 reseptor ditemukan di kandung kemih dan dijaringan lemak otak.
Peranannya pada fisiologis kandung kemih belum diketahui, tetapi ada
yang berpendapat bahwa reseptor 3 ini berperan pada lipolisis dan
termogenesis pada lemak coklat.
16
Ket : 0, tidak ada efek; +, efek agonis (ringan, sedang, ditandai), ?, efek
tidak diketahui; DA1dan DA2, reseptor dopaminergik. Efek 1, efek dari
epinefrin, norepinefrin, dan dopamine menjadi lebih lama pada dosis lebih
tinggi. Mode efek pertama dari efedrin adalah stimulasi tidak langsung.
17
Hal lain yang dapat membedakan adrenergik agonis dari yang lainnya
adalah struktur kimiawinya. Adrenergik agonis memiliki struktur 3,4
dihidroksibenzen yang dikenal sebagai katekolamin. Obat-obatan ini biasanya
kerja pendek karena metabolismenya oleh monoamin oksidase dan katekol-O-
metiltransferase. Pasien yang mendapat inhibitor monoamin oksidase atau
antidepressan trisiklik dapat menunjukkan sebelumya respon yang berlebihan
terhadap katekolamin. Katekolamin yang timbul secara alami adalah epinefrin,
norepinefrin dan dopamine. Perubahan dari struktur rantai-samping (R1,R2,R3)
dari katekolamin yang timbul secara alami telah membawa kepada
perubahandari katekolamin sintetik (mis: isoprotetenol dan dobutamin), yang
lebih mengarah kepada reseptor yang lebih spesifik.
Adrenergik agonis biasanya digunakan pada anestesiologi dibahas
secara tersendiri dibawah. Perhatikan dosis yang direkomendasikan untuk infus
berkesinambungan ditunjukkan dengan g/kg/min untuk beberapa agen dan
g.min untuk yang lainnya. Pada kasus yang manapun, rekomendasi ini harus
dipertimbangkan sebagai protokol, yang mana respon individu dapat berbeda-
beda.
2.5.1 EPINEFRIN
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini
dihasilkan juga oleh anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-
arang dan lemak. Adrenalin memiliki semua khasiat adrenergis alfa dan
beta, tetapi efek betanya relative lebih kuat ( stimulasi jantung dan
bronchodilatasi ).
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek
mirip stimulasi saraf adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena
neurotransmitter pada saraf adrenergic adalah NE. Efek yang
paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.
18
a. Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor 1 di otot jantung, sel
pacu jantung dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek
inotropik dan kronotropik positif epinefrin pada jantung.
Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi
lambat sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel
otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate
pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik
dalam ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga menyebabkan
perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate
lebih cepat. Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang
jaringan konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (
AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang terjadi akibat
penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin
memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai
bagian jantung lainnya. Epinefrin memperkuat kontraksi dan
mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung
dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu
sistolik tanpa mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah
jantung bertambah tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen
sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja
dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis
epinefrin yang berlebih disamping menyebabkan tekanan darah
naik sangat tinggi juga menimbulkan kontraksi ventrikel
premature diikuti takikardia ventrikel dan akhirnya fibrilasi
ventrikel.
b. Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol
kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga
dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal
mengalami konstriksi karena dalam organ organ tersebut
reseptor dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami
dilatasi oleh epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor 2
19
yang mempunyai afinitas lebih besar pada epinefrin
dibandingkan dengan reseptor . Epinefrin dosis tinggi
bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi
reseptor di pembuluh darah menyebabkan peningkatan
resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan darah.
Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor
yang kurang sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin
terhadap reseptor 2 masih ada pada kadar yang rendah ini. Dan
menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian epinefrin
secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu
penghambat reseptor , maka pemberian epinefrin hanya
menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.
Gejala ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan
tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum
penurunan tekanan darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat
stimulsai jantung oleh epinefrin. Pada manusia pemberian
epinefrin dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan
tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak,
tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak. Epinefrin
dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah,
meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan
mengurangi aliran darah ginjal sebanyak 40%. Ekskresi Na, K
dan Cl berkurang volume urin mungkin bertambah, berkurang
atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru
meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi pembuluh
darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi
sistemik akibat konstriksi vena vena besar juga berperan
penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru.
Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian
karena adema paru.
20
c. Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama
dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor 2. efek
bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot
polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester kolin,
pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi
lambat dan lain lain. Disini epinefrin bekerja sebagai
antagonis fisiologik. Pada asma, epinefrin juga menghambat
penglepasan mediator inflamasi dari sel sel mast melalui
reseptor 2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti
mukosa melalui reseptor 1.
d. Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel
hati dan otot rangka melalui reseptor 2, glikogen diubah
menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati
mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak,
sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas
asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan penghambatan
sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor 2 yang
menghambat, terhadap aktivasi reseptor 2 yang menstimulasi
sekresi insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui reseptor
pada sel pancreas. Selain itu epinefrin mengurangi ambilan
glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada
sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung pada otot rangka.
Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam
darah dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot
rangka. Epinefrin melalui aktivasi reseptor meningkatkan
aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga
mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam
darah meningkat. Efek kalorigenik epinefrin terlihat sebagai
peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada
pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh
21
peningkatan katabolisme lemak, yang menyediakan lebih
banyak substrat untuk oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses proses tubuh
penting dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ),
frekuensi ditingkatkan ( chronotrop positif ), sering kali
ritmenya di ubah.
2. Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
3. Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada
konstriksi seperti pada asma atau akibat obat.
4. Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2
dengan ca 25%, berdasarkan stimulasi pembakaran
glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi insulin di
hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.
2. Farmakokinetik
a. Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis
terapi karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan
MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada
penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi local,
dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi
yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada
pemberian local secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada
saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila
digunakan dosis besar.
b. Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah.
Degradasi epinefrin terutama terjadi dalam hati terutama yang
banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan
lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar epinefrin
mengalami biotransformasi, mula mula oleh COMT dan
MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan atau konyugasi,
22
menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-hidroksimandelat, 3-
metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi
glukuronat dan sulfat. Metabolit metabolit ini bersama
epinefrin yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang
normal, jumlah epinefrin yang utuh dalam urin hanya sedikit.
Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin dan
NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
3. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung
yang aktif sekali pada keadaan darurat, seperti kolaps, shock
anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini sangat efektif pada
serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral
diuraikan oleh getah lambung.
4. Kontraindikasi
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat -
bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada
reseptor 1 pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang
berat dan perdarahan otak.
5. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti
gelisah, nyeri kepala berdenyut, tremor, dan palpitasi. Gejala
gejala ini mereda dengan cepat setelah istrahat. Pasien hipertiroid
dan hipertensi lebih peka terhadap efek efek tersebut maupun
terhadap efek pada system kardiovaskular. Pada pasien
psikoneuretik epinefrin memperberat gejala gejalanya.
23
2.5.2 NOREPINEFRIN
Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N.
neurohormon ini khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor
dengan efek fasokontriksi dan naiknya tensi. Efek betanya hanya ringan
kecuali kerja jantungnya ( 1 ). Bentuk-dekstronya, seperti epinefrin,
tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena efek sampingnya
bersifat lebih ringan dan lebih jarang terjadi, maka norepinefrin lebih
disukai penggunaannya pada shok dan sebagainya. Atau sebagai obat
tambahan pada injeksi anastetika lokal.
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor , tetapi efeknya masih
sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan epinefrin. NE
mempunyai efek 1 pada jantung yang sebanding dengan
epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek 2. Infus NE
pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolic,
tekanan sistolik, dan biasnya juga tekanan nadi. Resistensi
perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal, hati dan
juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi glomerulus menurun
hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang. Reflex vagal
memperlambat denyut jantung, mengatasi efek langsung NE
yang mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian jantung
akibat perlambatan denyut jantung ini, disertai venokonstriksi
dan peningkatan kerja jantung akibat efek langsung NE pada
pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah
sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah atau bahkan
berkurang. Aliran darah koroner meningkat, mungkin karena
dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat persarafan otonom
tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat
peningkatan kerja jantung dan karena peningkatan tekanan
darah. Berlainan dengan epinefrin, NE dalam dosis kecil tidak
24
menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan tekanan darah,
karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap
reseptor 2 pada pembuluh darah otot rangka. Efek metabolic
NE mirip epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang lebih
besar.
2. Indikasi
Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan
pada injeksi pada anastetika local.
3. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat
obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat
timbul aritmia. Juga dikontraindikasikan pada wanita hamil
karena menimbulkan kontraksi uterus hamil.
4. Efek Samping
Efek samping NE serupa dengan efek samping epinefrin,
tetapi NE menimbulkan peningkatan tekanan darah yang lebih
tinggi. Efek samping yang paling umum berupa rasa kuatir,
sukar bernafas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri
kepala selintas. Dosis berlebih atau dosis biasa pada pasien yang
hiper-reaktif ( misalnya pasien hipertiroid ) menyebabkan
hipertensi berat dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri
dada, pucat, berkeringat banyak, dan muntah.
2.5.3 PENILEFRIN
1. Pertimbangan klinis
Penilefrin adalah nonkatekolamin dengan predominan oleh
aktifitas agonis 1(dosis tinggi dapat menstimulasi reseptor 2 dan
). Efek utama dari penilefrin adalah vasokonstriksi dengan penaikan
secara perlahan pada tahanan resisten perifer dan tekanan darah
arteri. Reflek takikardi dapat menurunkan kardiak output.
Peningkatan aliran darah koroner disebabkan oleh efek langsung dari
25
vasokonstriksi penilefrin pada arteri koroner yang dikendalikan oleh
rangsangan vasodilatasi karena pelepasan dari faktor faktor
metabolik.
Secarta klinis penilefrin mempunyai efek yang sama dengan
norepinefrin tetapi kurang potent dan lebih lama serat efek yang
minimal pada SSP. Penyuntikan secara intra vena dengan cepat pada
pasien dengan penyakit arteri coroner mengakibatkan peningkatan
pada tekanan pembuluh darah sistemik yang diiringi dengan
penurunan curah jantung.
2.5.4 AGONIS 2
1. Pertimbangan klinis
Metildopa, sebuah obat prototipikal, sebuah analog dari
levodopa. Metildopa memasuki jalur sintesis norepinefrin dan
dirubah ke -metilnorepinefrin dan -metilepinefrin. Transmitter
yang salah ini mengaktifkan -adrenoreseptor, terutama reseptor
pusat 2. Sebagai hasilnya, pelepasan norepinefrin dan tonus
simpatik tidak ada. Penurunan pada tahanan vaskular perifer
bertanggung jawab terhadap penurunan tekanan darah arteri (efek
puncak kurang dari 4 jam). Aliran darah ginjal dipertahankan atau
26
meningkat. Karena metildopa bergantung kepada metabolit untuk
dapat efektif, maka telah digantikan dengan aktifitas 2, walaupun
masih direkomendasikan dalam mengatasi tekanan darah tinggi
dalam kehamilan.
Klonidine adalah agonis 2 yang sekarang secara umum
digunakan untuk anti hipertensi (menurunkan tahanan resisten
sistemik) dan efek kronotropik negatif. Belakangan ini, klonidine dan
agonis 2 ditemukan mempunyai efek sedatif. Penelitian telah
memeriksa efek anestesi pada pemberian klonidin (3-5 g/kg),
intramuscular (2 g/kg), intravena (1-3 g/kg), transdermal (0,1-0,3
mg dilepaskan perhari), intrataekal (75-150 g), dan epidural (1-2
g). secara umum, klonidin tampaknya dapat menurunkan kebutuhan
anestesi dan anlagesik (menurunkan MAC) dan membuat sedasi dan
ansiolisis. Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan meningkatkan
kestabilan sirkulasi selama operasi dengan mengurangi level
katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk blok saraf perifer,
klonidin memperlama durasi dari blok. Efek langsung pada medula
spinalisdapat terjadi melalui reseptor postsinaptik 2 yang terdapat
pada kornu dorsalis. Kemungkinan keuntungan yang lain termasuk
menurunkan menggigil peska operasi, inhibisi dari opioid-
menginduksi kekakuan otot, melemahkan symptom gejala putus obat
opioid, dan perawatan dari beberapa sindrom penyakit kronik. Efek
samping termasuk bradikardi, hipotensi, sedasi, depresi pernafasan,
dan mulut kering.
27
Tabel 2. Efek dari agonis adrenergik pada sistem organ
28
2. Dosis dan Sediaan
Klonidin tersedia dalam bentuk oral, transdermal, atau sediaan
parenteral (lihat bagian Pertimbangan Klinis pada agonis 2 untuk
dosisnya). Sediaan parenteral disepakati hanya untuk epidural atau
intrataekal digunakan sebagai obat tambahan untuk analgesi/anestesi
regional. Bagaimanapun, ini digunakan secara luas di Eropa pada bolus
intravena dengan dosis 50 g untuk mengatur tekanan darah atau nadi.
Mempunyai onset masa kerja yang lambat.
2.5.5 EFEDRIN
1. Pertimbangan Klinis
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat pada tumbuhan jenis efedra.
Efeknya seperti efek epinefrin, bedanya adalah bahwa efedrin efektif pada
pemberian oral, masa kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih
kuat. Efedrin merupakan non katekolamin sintetik kerja indirek yang
menstimulasi reseptor dan adrenergik. Efek farmakologis dari obat ini
secara tidak langsung menyebabkan lepasnya norepinefrin endogen (kerja
indirek), tetapi obat ini juga mempunyai efek langsung pada reseptor
adrenergik (kerja direk). Efek kardiovaskular dari efedrin sama seperti
epinefrin: meningkatkan tekanan darah, laju nadi dan curah jantung. Seperti
biasanya, efedrin juga digunakan sebagai bronkodilator. Ada perbedaan
penting, bagaimanapun juga: efedrin mempunyai masa kerja yang lama
karena efedrin adalah nonkatekolamin, tidak begitu kuat, mempunyai efek
langsung dan tidak langsung, dan menstimulasi sistem saraf pusat
(meningkatkan konsentrasi alveoli minimum). Efek tidak langsung agonis
lainnya dari efedrin dapat terjadi karena stimulasi pusat, pelepasan
norepinefrin postsinaps perifer, atau inhibisi dari pengambilan kembali
norepinefrin.
Efedrin biasa digunakan sebagai vasopressor selama anestesi. Sebagai
contoh, pemberiannya harus dilihat sebagai ukuran sementara selama
penyebab hipotensi masih ditentukan dan ditangani. Tidak seperti efek
langsung agonis 1, epinefrin tidak menurunkan aliran darah uteri. Ini
membuatnya sebagai vasopressor pilihan pada banyak penggunaan obstetri.
29
Efedrin juga dilaporkan memiliki efek antiemetik, terutama yang
berhubungan dengan hipotensi karena spinal anestesi. Premedikasi dengan
klonidin melawan efek dari efedrin. Efedrin, tidak seperti epinefrin, tidak
menyebabkan hiperglikemi. Midirasis terjadi sejalan dengan pemberian
efedrin, dan stimulasi SSP terjadi, walaupun kurang bila dibandingkan
dengan yang dihasilkan oleh amfetamin.
30
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Farmakologi Universitas Indonesia.: Farmakologi dan terapi, 4th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,2011:Bab V, VI.
Ganiswara, Sulistia G(Ed), 2010, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4. Fakultas Kedokteran UI.
Jakarta.
Morgan G. Edward,Jr, MD; Clinical Anesthesiolgy; 4th ed. New york: The Mc Graw-Hill,
2009: chapter 12.
31