Anda di halaman 1dari 32

Penggunaan Psikoedukasi untuk Meningkatkan Regulasi

Diri Pengguna Narkoba Selama Rehabilitasi


Lokasi : Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Barat

Dosen Pengampu:

Rahayu Hardianti Utami, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh

Sisilia 20011160
Sukma Yosrinanda 20011163
Natasha Zahra 20011240
Nisha Alvines 20011244

DEPARTEMEN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2023
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
1.1 Gambaran Umum Kegiatan ...................................................................... 3
1.1.1 Latar Belakang .................................................................................. 3
1.1.2 Lokasi Kegiatan ................................................................................ 3
1.1.3 Deskripsi Instansi .............................................................................. 3
1.1.4 Bidang kerja ...................................................................................... 7
1.1.5 Job desk dan gambaran umum bidang .............................................. 8
BAB II ....................................................................................................................11
TINJAUAN KHUSUS ...........................................................................................11
2.1. Latar Belakang Masalah .............................................................................11
Gambaran Fenomena ......................................................................................11
Fokus masalah................................................................................................ 13
Tujuan intervensi ........................................................................................... 13
Manfaat Intervensi ......................................................................................... 13
2.2. Identifikasi Masalah/kebutuhan................................................................. 14
2.3. Tinjauan Teoritis ........................................................................................ 14
a. Narkotika ................................................................................................ 14
b. Rehabilitasi ............................................................................................. 16
c. Relaps ..................................................................................................... 21
d. Regulasi diri ........................................................................................... 25
e. Psikoedukasi ........................................................................................... 31
2.4. Analisis Masalah/kebutuhan (Tinjauan dengan minimal 5 jurnal terkait)
.......................................................... Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
2.5. Rancangan Program terkait hasil analisis Masalah/kebutuhan (Luaran
Kegiatan............................................ Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Gambaran Umum Kegiatan


1.1.1 Latar Belakang

Program magang merupakan kegiatan akademik aktif yang


diselenggarakan oleh instansi pendidikan dan diikuti oleh mahasiswa. Pada
jurusan psikologi universitas negeri padang, program magang ini diikuti
oleh mahasiswa semester 7 selama 10 minggu yang dimulai dengan agenda
pembekalan pada mahasiswa dan diakhiri dengan pembuatan laporan dan
modul rancangan intervensi. Tujuan dari program magang ini sendiri
bertujuan untuk mengambil pengalaman sebanyak banyaknya dalam dunia
kerja yang sesungguhnya, menerapkan ilmu-ilmu psikologi yang dipelajari
pada berbagai kasus yang ada di lingkup instansi. Adapun dalam penelitian
program magang ini bertujuan untuk mempermudah mahasiswa untuk
mencapai sasaran dalam penelitianya. Dengan begitu program magang
diharapkan menambah wawasan, pengetahuan, keterampilan dan etika
pergaulan pada lingkup kerja

1.1.2 Lokasi Kegiatan

Instansi : Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera


Barat (BNNP SUMBAR)

Alamat : Jl. Sutan Syahrir No.251 C, Rawang,


Kec.Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera
Barat 25121
Waktu pelaksanaan : 3 juli s/d 8 september 2023

1.1.3 Deskripsi Instansi

Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Barat merupakan


salah satu lembaga pemerintahan non kementrian yang berstruktur vertikal
ke provinsi dan kabupaten/kota. BNN berkedudukan di bawah dan
bertanggungjawab kepada presiden. BNN bergerak dalam upaya P4GN
(Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran gelap
psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif
untuk tembakau dan alkohol.

BNN Provinsi sumatera barat memiliki visi dan misi sebagai


berikut:

Visi

Menjadi lembaga non kementrian yang profesional dan mampu


menggerakkan seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara indonesia
dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif
lainnya di indonesia.

Misi

1. Menyusun kebijakan nasional P4GN


2. Melaksanakan operasional P4GN sesuai bidang tugas dan
kewenangannya.
3. Mengkoordinasikan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,
prekursor dan bahan adiktif lainnya di indonesia.
4. Memonitor dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan nasional
P4GN.
5. Menyusun laporan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN dan
diserahkan kepada presiden.

BNN Provinsi Sumatera Barat juga memiliki beberapa fungsi


diantaranya sebagai berikut:
1. Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang
selanjutnya disingkat dengan P4GN
2. Penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria dan
prosedur P4GN.
3. Penyusunan perencanaan, program dan anggaran BNN.
4. Penyusunan dan perumusan kebijakan teknis kebijakan,
pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan
kerjasama di bidang P4GN.
5. Pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan teknis P4GN di
bidang pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan,
rehabilitasi, hukum dan kerjasama
6. Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi
vertikal di lingkungan BNN.
7. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan kompenen
masyarakat dalam rangka penyusunan dan perumusan serta
pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN.
8. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di
lingkungan BNN
9. Pelaksanaan fasilitasi dan pengkoordinasian wadah peran serta
masyarakat
10. pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
11. pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang
narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya,
kecuali bahan adiktif untuk tembakau alkohol.
12. penggoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen
masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali
ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna
dan pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya
kecuali bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau
dan alkohol di tingkat pusat dan daerah.
13. pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika
serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif lainnya, kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan
oleh pemerintah dan masyarakat
14. peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan
pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya,
kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol berbasis komunitas
terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya.
15. pelaksanaan penyusunan, pengkajian dan perumusan peraturan
perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang
P4GN.
16. pelaksanaan kerjasama nasional, regional dan internasional di
bidang P4GN.
17. pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di
lingkungan BNN
18. pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah
terkait dan komponen masyarakat di bidang P4GN.
19. pelaksanaan penegakan disiplin, kode etik pegawai BNN dan kode
etik profesi penyidik BNN
20. Pelaksanaan pendataan dan informasi nasional penelitian dan
pengembangan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN
21. pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika dan prekursor serta
bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
alkohol
22. pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika dan
prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif
tembakau dan alkohol
23. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional
bidang P4GN.

GAMBAR STRUKTUR ORGANISASI BNNP SUMBAR

Berdasarkan gambar struktur di atas diketahui jenis struktur yang


digunakan dalam birokrasi BNNP SUMBAR adalah struktur organisasi lini
dan staf, dimana pelimpahan wewenang dalam organisasi ini berlangsung
secara vertikal dari seorang atasan yang mana dalam hal ini adalah kepala
BNNP SUMBAR bertangga hingga pimpinan di bawahannya. dalam
pelaksanaan tugasnya mengelola birokrasi tersebut kepala BNNP
SUMBAR mendapat bantuan dari para staf dibawahnya. ciri-ciri yang
paling menonjol dari struktur jenis ini adalah atasan dan bawahan tidak
seluruhnya berhubungan secara langsung, untuk struktur ini pada umumnya
perusahaan yang memiliki karyawan yang banyak dan merupakan
organisasi besar.

1.1.4 Bidang kerja

Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Barat dalam


strukturalnya memiliki 3 bidang dan 1 bagian yang terdiri atas: bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat atau P2M, bidang Rehabilitasi,
Bidang Pemberantasan & Intelijen, serta Bagian Umum. selama periode
magang 2023 BNNP SUMBAR ini berlangsung, kami disebarkan dan di
tempatkan dalam beberapa bidang dan bagian yakni pada bidang P2M,
REHABILITASI, KLINIK DAN PERENCANAAN(bagian umum).

1.1.5 Job desk dan gambaran umum bidang

a. Bagian umum
Bagian Umum terdiri atas :
1) Sub-bagian Perencanaan mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan penyusunan rencana program dan anggaran, pengelolaan data
informasi P4GN dan penyiapan bahan pelaksanaan dan pelaporan
BNNP
2) Sub-bagian Sarana Prasarana mempunyai tugas melakukan
pengelolaan sarana prasarana, dan urusan rumah tangga BNNP
3) Sub-bagian Administrasi mempunyai tugas melakukan urusan tata
persuratan, kepegawaian, keuangan, kearsipan, layanan hukum, kerja
sama, hubungan masyarakat, dan dokumentasi.

a. Bidang P2M

Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat terdiri atas:

1. Seksi Pencegahan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan


pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana
kerja tahunan P4GN, informasi dan advokasi P4GN pembinaan
teknis dan supervisi P4GN kepada BNN Kota, dan evaluasi dan
pelaporan P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah provinsi
2. Seksi Pemberdayaan masyarakat mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana
strategis dan rencana kerja tahunan P4GN, informasi dan advokasi
P4GN pembinaan teknis dan supervisi P4GN kepada BNN Kota,
dan evaluasi dan pelaporan P4GN di bidang pencegahan dalam
wilayah provinsi.
c. Bidang Rehabilitasi

Bidang Rehabilitasi terdiri atas :

1. Seksi Penguatan Lembaga Rehabilitasi mempunyai tugas


melakukan penyiapan bahan pelaksanaan koordinasi penyusunan
rencana strategis dan rencana kerja tahunan P4GN, asesmen bagi
penyalahguna dan/atau pecandu narkotika, peningkatan kemampuan
lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat, pembinaan teknis dan supervisi
P4GN kepada BNN Kota, dan evaluasi dan pelaporan P4GN dalam
wilayah Provinsi.
2. Seksi Pasca Rehabilitasi mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan
rencana kerja tahunan P4GN, peningkatan kemampuan layanan
pascarehabilitasi dan pendampingan, penyatuan kembali ke dalam
masyarakat dan perawatan lanjut, pembinaan teknis dan supervisi
P4GN kepada BNN Kota, dan evaluasi dan pelaporan P4GN dalam
wilayah Provinsi.
d. Bidang Pemberantasan

Bidang Pemberantasan terdiri atas:

1. Seksi Intelijen mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan


pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana
kerja tahunan P4GN, pembangunan dan pemanfaatan intelijen
teknologi dan kegiatan intelijen taktis, operasional dan produk
dalam rangka P4GN, pembinaan teknis dan supervisi P4GN kepada
BNN Kota, dan evaluasi dan pelaporan P4GN dalam wilayah
Provinsi.
2. Seksi Penyidikan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan
pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana
kerja tahunan P4GN, administrasi penyelidikan dan penyidikan
terhadap tindak pidana narkotika, penyidikan tindak pidana
pencucian uang yang berasal dari tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika, pengawasan distribusi prekursor sampai pada
pengguna akhir, pembinaan teknis dan supervisi P4GN kepada BNN
Kota, dan evaluasi dan pelaporan P4GN dalam wilayah Provinsi.
3. Seksi Pengawasan Tahanan dan Barang Bukti
(Wastahti) mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan
pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana
kerja tahunan P4GN, pengawasan tahanan dan barang bukti,
pembinaan teknis dan supervisi P4GN kepada BNN Kota, dan
evaluasi dan pelaporan P4GN dalam wilayah Provinsi.
BAB II

TINJAUAN KHUSUS

2.1. Latar Belakang Masalah

Gambaran Fenomena

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (2014) angka kekambuhan


narkoba di Indonesia mencapai 90%, dimana 9 dari 10 pecandu yang menjalani
program rehabilitasi kembali mengkonsumsi narkoba. Pada tahun 2015
menurut Direktur Pasca Rehabilitasi Deputi Bidang Rehabilitasi BNN
menyatakan bahwa tingkat kekambuhan (relapse) mantan pecandu narkoba di
Indonesia tinggi. Berdasarkan dari data BNN (2019) juga dikatakan bahwa
pada tahun 2019 ditemukan sebanyak 80% penyalahgunaan narkoba
merupakan residivis dengan angka mendekati 9.000 pelaku. Sementara itu dari
tahun 2017 hingga tahun 2019, masih terdapat kenaikan angka drug relapse di
indonesia sebesar 0,03% dari tahun sebelumnya lebih dari 6.000 pecandu yang
ikut menjalani rehabilitasi per tahunnya, sekitar 40 persennya akhirnya kembali
lagi menjadi pecandu (drug relapse) dikarenakan setelah menjalani rehabilitasi
mengalami frustasi, depresi dan rendah diri terkait kemampuan mantan pelaku
merasakan seusai menjalani rehabilitasi. Berdasarkan data BNN (2019) drug
relapse diakibatkan sebanyak 59% diakibatkan oleh lingkungan “sanksi
sosial” yang begitu ketara seperti masyarakat tidak mau menerima mantan
pecandu narkoba, mencari kerja susah, dan tidak ada kegiatan dan 22% oleh
sugesti untuk menggunakan narkoba.

Berdasarkan informasi yang dimuat dari bnn.go.id terdapat enam


tahapan perubahan perilaku yang dialami oleh pecandu narkoba. Tahapan
perubahan perilaku tersebut merupakan model Transtheorical yang
dikembangkan oleh James O O, Proschaska dan Carlo Di ClementeM di tahun
1997, berdasarkan penilaian dari kesiapan individu untuk melakukan perilaku
yang baru. Siklus dari enam tahapan tersebut yakni: Prekontemplasi:,
Kontemplasi, Persiapan, Aksi, maintenance, Relapse.
Regulasi diri sangat penting dimiliki oleh individu terutama kepada
individu yang menggunakan narkoba dalam mengatasi permasalahan diatas.
Berger (2011) menyatakan bahwa regulasi diri yakni pengaturan diri yang
dilakukan oleh individu, penyesuaian emosi, serta tindakan situasional
berdasarkan kesesuaian dengan standar dan norma sosial yang sudah
ditetapkan. Berdasarkan pendapat dari Berger (2011) juga menyatakan bahwa
terdapat tiga aspek dari regulasi diri yakni pengaturan diri berupa kemampuan
dalam membuat aturan, menetapkan ketentuan untuk diri sendiri sehingga
mampu menyeleksi dan memanfaatkan lingkungan agar terhindar dari masalah,
selanjutnya penyesuaian diri, yakni proses dalam mengelola perasaan terutama
kepada perasaan berlebih seperti rasa marah, senang, kecewa dan gembira
sehingga terhindar dari memori yang berlebihan, dan aspek yang terakhir yakni
tindakan situasional berdasarkan standar atau norma untuk evaluasi diri sesuai
dengan norma yang berlaku.

Yayasan Karunia Insani merupakan salah satu yayasan di Kota Padang


yang bekerja sama dengan BNNP Sumatera Barat dalam menanggulangi
pemberantasan narkoba di bidang rehabilitasi. Berdasarkan survei yang
dilakukan oleh peneliti menggunakan skala regulasi diri didapati hasil 22 dari
25 klien pengguna narkoba memiliki tingkat regulasi diri yang sedang dan
tinggi. Sebanyak 14 klien memiliki regulasi diri yang berada pada tingkatan
sedang, lalu 8 klien memiliki regulasi diri yang berada pada tingkatan tinggi.
Peneliti mendapati informasi dari pihak staf Yayasan Karunia Insani bahwa
terdapat program untuk meningkatkan regulasi diri yang diterapkan kepada
klien melalui metode konseling dan penulisan jurnal pribadi. Penulisan jurnal
pribadi dilakukan dengan membiasakan klien untuk menulis setiap kegiatan
yang mereka lakukan setiap hari yang bertujuan untuk meningkatkan regulasi
diri yang mereka miliki.

Berdasarkan informasi diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat


kekambuhan atau relapse yang dialami oleh individu pengguna narkoba di
Indonesia berada pada tingkatan tinggi. Yayasan Karunia Insani sebagai
yayasan yang menanggulangi permasalahan penggunaan narkoba di Kota
Padang memiliki 25 klien dengan 14 orang memiliki tingkatan regulasi diri
yang sedang dan sebanyak 8 orang memiliki tingkatan regulasi yang tinggi.
Dalam menanggulangi fase relapse rehabilitasi mantan pengguna narkoba,
yayasan ini telah melakukan serangkaian program rehabilitasi salahsatunya
dengan self regulation skill. Banyaknya klien dengan regulasi diri yang berada
pada tingkatan sedang walaupun sudah diberikan program sebelumnya,
membuat peneliti tertarik untuk lebih meningkatkan regulasi diri klien menjadi
lebih baik dengan program yang akan dilakukan nantinya. Program yang
peneliti gunakan yakni psikoedukasi sehingga judul penelitian yang peneliti
ajukan berjudul “Penggunaan Psikoedukasi untuk Meningkatkan Regulasi Diri
Pengguna Narkoba Selama Rehabilitasi”

Fokus masalah

Fokus masalah pada laporan ini adalah rendahnya regulasi diri yang
dimiliki oleh individu pengguna narkoba saat menjalani rehabilitasi yang
dapat menyebabkan relapse.

Tujuan intervensi

Intervensi ini memiliki tujuan untuk mengetahui efektivitas intervensi


psikoedukasi dalam meningkatkan regulasi diri individu penyalahguna
narkoba yang sudah menjalani rehabilitasi dan berada dalam tingkatan
kontemplasi-aksi untuk mencegah terjadinya relapse.

Manfaat Intervensi

1) Manfaat Teoritis
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat dijadikan referensi bagi
penelitian selanjutnya terkait permasalahan relaps yang dihadapi oleh
individu pengguna narkoba selama rehabilitasi.
2) Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu individu yang sedang
berjuang dalam menyembuhkan diri dari penggunaan narkoba selama
masa rehabilitasi terutama bagi klien di Yayasan Karunia Insani sehingga
dapat terhindar dari relaps.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu lembaga ataupun staff


terkait seperti staf BNNP Sumbar ataupun staf Yayasan Karunia Insani
dsb, dalam menghadapi permasalahan relaps yang dihadapi oleh individu
pengguna narkoba.

2.2. Identifikasi Masalah/kebutuhan

Yayasan Karunia Insani merupakan salah satu yayasan di Kota


Padang yang bekerja sama dengan BNNP Sumatera Barat dalam
menanggulangi pemberantasan narkoba di bidang rehabilitasi. Berdasarkan
survei yang dilakukan oleh peneliti menggunakan skala regulasi diri
didapati hasil 22 dari 25 klien pengguna narkoba memiliki tingkat regulasi
diri yang sedang dan tinggi. Sebanyak 14 klien memiliki regulasi diri yang
berada pada tingkatan sedang, lalu 8 klien memiliki regulasi diri yang
berada pada tingkatan tinggi. Peneliti mendapati informasi dari pihak staf
Yayasan Karunia Insani bahwa terdapat program untuk meningkatkan
regulasi diri yang diterapkan kepada klien melalui metode konseling dan
penulisan jurnal pribadi. Penulisan jurnal pribadi dilakukan dengan
membiasakan klien untuk menulis setiap kegiatan yang mereka lakukan
setiap hari yang bertujuan untuk meningkatkan regulasi diri yang mereka
miliki.

2.3. Tinjauan Teoritis

a. Narkotika

1. Pengertian
Narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris narcose atau
narcois yang berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika berasal
dari bahasa Yunani yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-
apa. Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika Pasal 1 angka 1 adalah: “Narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.”
2. Dampak penggunaan narkotika
Penggunaan narkotika memiliki dampak yang dapat dialami oleh
pemakainya yaitu;
a) Depressant yaitu mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau
kegiatan susunan saraf pusat, sehingga dipergunakan untuk
menenangkan syaraf seseorang agar dapat tidur atau istirahat.
b) Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan saraf pusat,
sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik
seseorang.
c) Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak riil
atau khayalan-khayalan yang menyenangkan.
3. Jenis dan golongan narkotika
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, narkotika
digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
a) Narkotika golongan I yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Seperti : Heroin, kokain, daun kokain, opium, ganja,
jicing, katinon, MDMDA/ecstasy,dan lebih dari 65 macam jenis
lainnya.
b) Narkotika golongan II yaitu narkotika yang berguna untuk
pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh : morfin, petidin, fentanil, metadon.
c) Narkotika golongan III yaitu narkotika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan untuk ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh : codein, buprenofin, etilmorfina, kodeina,
nikokodina, polkodina, propiram.
Zat-zat narkotika yang semulanya ditujukan untuk kepentingan
pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga banyaknya jenis-jenis narkotika yang diolah
sedemikian rupa seperti yang ada saat ini yaitu : Narkotika zat berasal
dari tanaman atau bukan tanaman.
1) Tanaman
a) Candu/morfin, zat ini punya pengaruh untuk merangsang sistem
saraf parasimpatis, dimana dalam dunia kedokteran dipakai
sebagai pembunuh rasa sakit yang kuat.
b) Kokain, jika digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan psikotik atau gila dalam jangka panjang
c) Marijuana/Ganja, untuk pemakaian yang lama akan menjadikan
pemakai menjadi linglung.
d) Heroin/putaw, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi dengan
dosis yang berlebihan, karena dapat menyebabkan kematian
seketika
2) Bukan tanaman yaitu narkotika sintetis atau buatan.

Narkotika sintetis adalah sejenis narkotika yang dihasilkan dengan


melalui proses kimia yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu
kependekan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat adiktif
lainnya, yaitu: obat penenang, stimulant, hallucinogen,
alkohol. .

b. Rehabilitasi

1. pengertian
Rehabilitasi, menurut pasal 1 angka 23 KUHAP adalah : “Hak
seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang
bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Menurut Soeparman
rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya
hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat
memasuki area ini. Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien
gangguan penggunaan NAPZA baik dalam jangka waktu pendek
maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar siap
kembali ke masyarakat dan membantu klien mempertahankan kondisi
bebas NAPZA (abstinensia) dan memulihkan fungsi fisik, psikologis
dan sosial (Aryani, 2018). Berdasarkan Undang undang RI Nomor: 35
tahun 2009 tentang Narkotika, pada pasal 54 menyatakan bahwa
Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Napza wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
2. jenis rehabilitasi
Adapun jenis-jenis rehabilitasi atau istilah rehabilitasi dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdiri dari 2
(dua) yaitu:
a) Rehabilitasi medis yaitu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika,
sesuai Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Rehabilitasi medis pecandu narkotika sendiri
dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan yaitu Rumah Sakit yang diselenggarakan baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat.
b) Rehabilitasi sosial yaitu proses kegiatan pemulihan secara terpadu
baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat, sesuai Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Bekas pecandu narkotika disini
dapat dimaksudkan dengan orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan
baik secara fisik maupun psikis.

Dalam proses pemulihan seorang adiksi NAPZA mengalami banyak


perubahan yang dapat dinilai dari motivasinya. Menurut Prochaska,
Reading & Evers (Glanz et al., 2015) perubahan perilaku sebagai proses
yang terungkap dari waktu ke waktu, dengan kemajuan melalui serangkain
dari 6 tahapan didalamnya. Tahapan pada stage of change theory yaitu
(Glanz et al., 2015):

a) Precontemplation, Pada tahap ini pasien sama sekali belum


menyadari adanya perubahan dalam dirinya akibat menggunakan
napza. Pasien tidak memiliki minat untuk berubah meskipun
keluarga atau orang-orang dekat dengannya telah mengingatkannya
bahwa telah terjadi “masalah” akibat tingkah lakunya. Pada tahap
precontemplation ini individu tidak memiliki motivasi dan kesiapan
untuk mengikuti program perubahan perilaku kesehatan dan
cenderung menghindari membaca, berbicara, ataupun berpikir
mengenai resiko dari perilakunya.
b) Contemplation, Tahap kontemplasi, pasien mulai mengakui telah
terjadi kesulitan akibat napza (seperti keluhan fisik) tetapi menolak
suatu komitmen untuk berubah. Individu penyalahguna narkotika
pada tahap kontemplasi ini mulai mempertimbangkan berbagai
kemungkinan-kemungkinan untuk berubah, namun ada perasaan
ragu-ragu, bimbang dan ambivalensi. Pada tahap ini individu juga
belum siap untuk mengambil tindakan secepat mungkin.
c) Preparation, Dalam tahap ini individu sudah mengambil langkah
yang signifikan menuju perubahan perilaku kesehatannya
dibandingkan dengan tahapan-tahapan sebelumnya. Pasien telah
memahami dan mengakui adanya “problem dalam keluarga”, sudah
dapat mengambil keputusan untuk menetapkan mau berubah, untuk
memulai upaya penyembuhan namun masih belum mau berubah
kalau belum merasa betul-betul mantap.
d) Aksi, Individu pada tahap aksi secara aktif mengambil langkah-
langkah untuk berubah tetapi belum mencapai suatu kondisi stabil.
Pasien berhasil menunjukkan beberapa perubahan perilaku yang
berkait dengan napza misalnya bersedia mengikuti terapi dan
sosialisasi terkait narkotika. Pada tahap aksi, pasien sudah mulai
melatih dan merubah tingkah lakunya seperti mulai mencari
aktivitas alternatif diluar fokus problem ketergantungan napza
(misalnya kursus, jogging, latihan futsal dan lain-lain).
e) Termination, Tahapan akhir dimana individu sedang bekerja keras
untuk mempertahankannya target sasarannya. Pasien mulai
menghindari penggunaan napza apapun dan berhasil mengendalikan
relaps yang datang serta mampu mengatasinya, meskipun individu
merasa depresi, cemas, bosan, kesepian, marah ataupun stres namun
individu tersebut yakin untuk tidak kembali kepada perilaku yang
tidak sehat.
3. Metode rehabilitasi
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no
420/MENKES/SKIII/2010, rehabilitasi pecandu narkotika dibedakan
menjadi dua yaitu:
a) Rehabilitasi Jangka Pendek (Short Term)
Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai dengan 3 bulan
tergantung dari kondisi dan kebutuhan pasien. Pendekatan yang
dapat dilakukan ke arah medik dan psikososial. Masalah medik
masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan secara lengkap
termasuk pemeriksaan penunjang medis.
b) Rehabilitasi Jangka Panjang
Lama perawatan rehabilitasi jangka panjang adalah 6 bulan atau
lebih. Dalam hal ini modalitas terapi yang dimaksudkan adalah
Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan
perubahan perilaku. Therapeutic Community (TC)
direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah
penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh
atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari
NAPZA.
Tahapan terapi rehabilitasi umumnya dapat dibagi atas beberapa
fase yakni fase penilaian (assesment phase), tahap rehabilitasi medis
(detoksifikasi), tahap rehabilitasi nonmedis (sosial), dan tahap bina
lanjut (after care). Penjelasan mengenai keempat tahapan tersebut,
sebagai berikut:
a) Tahapan Penilaian (assessment phase)
Pada tahap ini perlu dilakukannya evaluasi psikiatri yang
komprehensif. Beberapa hal yang perlu dinilai adalah : Penilaian
yang sistematis terhadap tingkat intoksikasi, keparahan-keparahan
putus zat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu
setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lama
penggunaan, efek subyektif dari semua jenis-jenis NAPZA yang
digunakan termasuk jenis-jenis NAPZA lain selain yang menjadi
pilihan utama pasien/klien.

i. Riwayat medik dan psikiatri umum yang komprehensif


ii. Riwayat gangguan penggunaan NAPZA dan terapi
sebelumnya,
iii. Riwayat keluarga dan sosial ekonomi
iv. Pemeriksaan urine untuk jenis-jenis NAPZA yang
disalahgunakan
v. Skrining penyakit infeksi seperti HIV, tuberculosis,
hepatitis
c) Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)
Detoksifikasi NAPZA merupakan proses atau tindakan medis untuk
membantu klien dalam mengatasi gejala putus NAPZA. Tahap ini
pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik maupun mental
oleh dokter terlatih sehingga dapat diputuskan apakah pecandu perlu
diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau)
yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis narkoba dan
berat ringannya gejala putus zat.
d) Tahap rehabilitasi non medis (sosial)
Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia
sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di
bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus
Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi
ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program
therapeutic communities (TC), 12 steps (dua belas langkah,
pendekatan keagamaan, dan lain-lain.
e) Tahap bina lanjut (after care)
Tahap ini merupakan layanan pasca rehab. Layanan yang diberikan
dapat bersifat reguler (rawat jalan), dimana pecandu dapat kembali
ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah
pengawasan atau bersifat intensif (rumah damping) dimana pecandu
melanjutkan program TC, 12 langkah dan diberikan kegiatan sesuai
dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari.

c. Relaps

1. Pengertian
Hubbard et. al (2001) menyatakan bahwa relaps merupakan
sebuah perilaku dengan penggunaan kembali narkoba setalah
individu menjalani penanganan secara rehabilitasi dengan adanya
pemikiran, perilaku, dan perasaan adiktif setelah periode putus zat.
Menurut Yuet Wah (2005) relaps dipandang sebagai indikasi dari
gagalnya program penanganan atau individu maupun keduanya.
Waty (2016) menyatakan dalam penelitiannya bahwa relapse yang
dimiliki oleh individu diakibatkan oleh kemudahan yang didapat
dalam memperoleh narkoba, alat yang mengingatkan masa lalu,
pemulihan yang dijalani, dukungan yang didapatkan dari keluarga,
dukungan sosial, dan pengaruh teman. Rachmawati (2010)
menyatakan relapse yang dialami oleh mantan pengguna narkoba
mengalami berbagai perubahan kemunduran pada pikiran, emosi,
serta perilaku sebagai bentuk penghindaran diri (avoidance) dan
lingkungan, permasalahan, dan konflik dialami oleh partisipan.

Connor & Maisto (2006) menyatakan relaps adalah


kelanjutan dari perilaku bermasalah yang dialami oleh klien yang
sedang memiliki perilaku adiktif dengan adanya kemudahan dalam
mengakui bahwa klien tersebut akan berhenti sementara dalam
mengkonsumsi zat adiktif, serta relaps ini adalah permasalahan
menantang yang dihadapi oleh individu yang bekerja di
bidang perilaku adiktif.

2. tahapan relapse

Marlat & Gordon (1985) menyatakan terdapat pola dalam


relaps yakni pola pertama terdiri dari peristiwa tertentu ataupun
langkah-langkah yang mengarah kepada relaps contohnya mantan
pemakai narkoba yang mengalami stress sehingga munculnya
kemarahan yang lebih mudah pada individu dan gelisah akibat
stress yang muncul terus menerus sebagai penyebab adanya
pandangan bahwa kebutuhan yang dimiliki individu adalah
narkoba, pola kedua menurut Carich dan Stone (1993, 1994) yakni
permasalahan yang mengarah pada keluarga yang dapat
menimbulkan munculnya relaps. The Stage Of Relapse:

a) Emotional Relapse
Pada awalnya kekambuhan terjadi secara emosional. Pada
tahap ini, seseorang tidak mengingkan zat yang ia biasa
gunakan namun mengalami emosi negatif seperti mudah
tersinggung, cemas, atau marah. Beberapa penelitian lain telah
melaporkan hubungan yang kuat antara pengaruh negatif dan
kekambuhan penggunaan zat. Baker dkk. (2003) baru-baru ini
mengidentifikasi pengaruh negatif sebagai motif utama
penggunaan narkoba. Penggunaan zat sering kali memberikan
penguatan negatif melalui perbaikan keadaan afektif yang tidak
menyenangkan, seperti gejala penarikan fisik (Baker et al.,
2004). Perasaan ini dapat menyebabkan individu tersebut
mengabaikan mekanisme dan strategi penanggulangan yang
telah dipelajari selama menjalani rehabilitasi ataupun
kelompok konseling.

Menurut teori ini, individu yang mengalami gangguan


afektif parah mungkin menggunakan obat-obatan adiktif
sebagai mekanisme koping, meskipun strategi tersebut hanya
efektif dalam jangka pendek namun dapat menjadi maladaptif
dalam jangka panjang. Dengan kata lain, individu menggunakan
zat untuk meredakan gejala gangguan mood yang sudah ada
sebelumnya. Salah satu tanda paling jelas dari kekambuhan
emosi adalah perawatan diri yang buruk, namun akan terlihat
berbeda pada setiap orang meliputi :
1) Meninggalkan rutinitas harian Anda
2) Tidak menghadiri sesi konseling, terapi, atau pertemuan
dukungan sebaya
3) Memiliki jadwal tidur yang tidak teratur atau tidak ada sama
sekala
4) Mengisolasi diri Anda dari orang lain.
b) Mental Relapse
Hal ini terjadi ketika emosi dari tahap pertama tidak diatasi
sehingga mengakibatkan peperangan mental. Pada tahap ini,
seseorang akan terpecah antara ingin menggunakan dan tidak
menggunakan. Mereka mungkin merasa bersalah karena
mempertimbangkan untuk menggunakannya, namun tetap ada
pembenaran tentang cara-cara untuk menggunakannya dalam
pikiran mereka. Beberapa tanda kekambuhan mental:

1) Keinginan akan obat-obatan atau alkohol


2) Memikirkan orang, tempat, dan hal-hal yang terkait dengan
penggunaan masa lalu
3) Meminimalkan konsekuensi penggunaan masa lalu atau
mengagungkan penggunaan masa lalu
4) Tawar-menawar (berupa pengalihan satu zat adiktif ke zat
adiktif lainnya)
5) Berbohong
6) Memikirkan skema untuk penggunaan kontrol yang lebih
baik
7) Mencari peluang kambuh dan merencanakannya
c) Physical Relapse
Kekambuhan fisik adalah ketika seseorang memulai
“penyimpangan” (penggunaan narkoba) dan “kekambuhan”
(kembali ke penggunaan yang tidak terkendali). Kebanyakan
kekambuhan fisik adalah kambuh kesempatan. Tahap ketiga dari
kekambuhan kecanduan adalah kekambuhan fisik. Kekambuhan
fisik hampir tidak dapat dihindari ketika kita tidak
memperhatikan emosi dan pikiran kita.
Beberapa peneliti membagi tahap kekambuhan fisik menjadi
dua kategori berbeda: kejatuhan dan kekambuhan. Kejatuhan
adalah saat obat atau minuman awal dikonsumsi. Kambuhnya
adalah ketika perilaku menjadi tidak terkendali dan obsesif lagi.
Penyebab relaps dapat terjadi apabila individu bergaul
kembali dengan temannya yang menggunakan narkoba atau
bandarnya, individu tidak memiliki kemampuan dalam menahan
keinginan atau adanya sugesti untuk menggunakan kembali
narkoba serta adanya stress atau frustasi (Goeders, 2004).
Penyebab dari relaps juga diakibatkan karena darah yang dimiliki
oleh individu akibat sudah terkontaminasi dengan zat-zat yang
terkandung di dalam obat terlarag sehingga individu yang sudah
berhenti kembali mengkonsumsi (Kamus Narkoba, 2006).
Relapse dapat diatasi dengan meningkatkan perilaku sehat,
mengambil keputusan dan peran lingkungan yang dapat
mencegah, mengurangi dan menghilangkan masalah penggunaan
zat (Jhonson, Sharon L: 2004).

d. Regulasi diri

1. pengertian
Menurut Albert Bandura, Self Regulasi memiliki peranan penting
dalam mengontrol perilaku individu sendiri yang meliputi observasi diri
(self observation) dengan melihat diri sendiri, menilai perilaku, dan
mempertahankan perilaku tersebut keputusan (judgment) yaitu
membandingkan dan menetapkan suatu standar dalam diri, respon diri
(self respons) menilai suatu standar yang telah ditetapkan dalam diri
(Lenggong & Madiong, 2018). Regulasi diri adalah proses individu
dalam memanajemen diri sendiri dengan tujuan dan target hidup yang
akan dicapai, untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya proses
panjang, ketika individu dapat melalui proses tersebut dengan baik maka
individu akan merasakan kepuasan tersendiri di dalam dirinya (Manab,
2016). Regulasi diri adalah kemampuan individu dalam mengontrol diri
sendiri dalam mencapai tujuan positif (Siradjuddin & Esita,
n.d.). Menurut Bandura, Schunk dan Zimmerman (dalam Ormrod,
2011: 132-133) regulasi diri terdiri dari 5 aspek yaitu a) mengatur
standar dan tujuan (setting standards and goals), b) observasi diri (self-
observation), c) evaluasi diri (self-evaluation), d) reaksi diri (self- 17
reaction), dan e) refleksi diri (self-reflection).
a) Mengatur Standar dan Tujuan (Setting Standards and Goals)
Individu dewasa cenderung menetapkan standar untuk
perilaku mereka sendiri dengan kata lain, mereka menetapkan
kriteria mengenai perilaku apa yang dapat diterima. Mereka juga
mengidentifikasi tujuan tertentu memberi nilai dan arah pada
perilaku mereka. Standar dan tujuan tiap individu tergantung pada
standar dan tujuan milik orang lain yang mereka lihat dan mereka
percaya, yang dimaksud disini perilaku model (orang lain)
mempengaruhi standar dan tujuan individu.
b) Observasi Diri (Self-Observation)
Bagian penting dari regulasi diri adalah untuk mengamati diri dalam
sebuah tindakan. Untuk membuat kemajuan ke arah tujuan yang
penting, seseorang harus mengetahui apa yang menjadi kelebihan
mereka dan kekurangan apa yang perlu diperbaiki.
c) Evaluasi Diri (Self-Evaluation)
Perilaku orang sering dinilai oleh orang lain menjadikan seseorang
mulai menilai dan mengevaluasi perilaku mereka sendiri
berdasarkan standar yang mereka pegang untuk diri mereka sendiri.
d) Reaksi Diri (Self-Reaction)
Dalam proses ini seseorang memberikan penguatan (reinforcement)
atas keberhasilan diri mencapai sebuah tujuan dan memberikan
koreksi ataupun hukuman atas kekeliruan yang dilakukan. Pujian
atau penghargaaan terhadap diri sendiri dan kritik diri sendiri dapat
berpengaruh dalam perubahan perilaku.
e) Refleksi Diri (Self-Reflection)
Seseorang yang benar-benar mengatur diri sendiri merenungkan
(merefleksikan) dan memeriksa secara rinci tujuan mereka,
keberhasilan dan kegagalan masa lalu, keyakinan tentang
kemampuan mereka, kemudian mereka membuat penyesuaian
tujuan, perilaku, dan keyakinan yang sekiranya dapat dipertanggung
jawabkan. Dalam pandangan Bandura, refleksi diri adalah aspek
yang paling jelas dalam regulasi diri.
2. Aspek regulasi diri
Aspek regulasi diri terdiri dari metakognitif, motivasi, tindakan
positif (Manab, 2016). Metakognitif adalah proses individu menyusun
dan merencanakan perilaku yang akan dilakukan. Motivasi adalah salah
satu faktor penentu apakah rencana yang telah ditetapkan akan
dilakukan atau tidak, contoh motivasi tersebut adalah reward dan
punishment. Tindakan positif adalah hasil akhir dari tahapan awal yaitu
tindakan yang telah direncanakan, semakin besar usaha usaha yang
dilakukan dalam melaksanakan rencana dan mencapai tujuan maka
regulasi diri individu tersebut meningkat.
Berger (2011) juga menyatakan bahwa terdapat tiga aspek dari
regulasi diri yakni pengaturan diri berupa kemampuan dalam membuat
aturan, menetapkan ketentuan untuk diri sendiri sehingga mampu
menyeleksi dan memanfaatkan lingkungan agar terhindar dari masalah,
selanjutnya penyesuaian diri, yakni proses dalam mengelola perasaan
terutama kepada perasaan berlebih seperti rasa marah, senang, kecewa
dan gembira sehingga terhindar dari memori yang berlebihan, dan aspek
yang terakhir yakni tindakan situasional berdasarkan standar atau norma
untuk evaluasi diri sesuai dengan norma yang berlaku.
Miller dan Brown (Wangi & Walastri, 2014) mengemukakan bahwa
terdapat tujuh tahapan regulasi diri yaitu (a) receiving relevant
information, (b) information and comparing it to norms, (c) Triggering
change, (d) Searching for option, (e) Formulating a plan, (f)
Implementing the plan, and (g) Assessing the plan’s effectiveness.
Adapun tahapan regulasi diri diantaranya adalah:
a) Receiving yaitu langkah awal yang dilakukan individu untuk
menerima informasi yang relevan dan baik. Individu yang
menerima informasi tersebut mampu menghubungkannya
dengan informasi yang diperolehnya sebelumnya dan mampu
menghubungkannya dengan aspek lain.
b) Evaluating yaitu pengolahan informasi setelah individu melalui
receiving. Ketika individu mendapat masalah maka individu
tersebut dapat membandingkan masalah yang didapat dari
lingkungan (eksternal) dengan pendapat diri pribadi (internal)
yang telah didapatkan sebelumnya. Evaluating merupakan
tahapan penting dalam proses regulasi diri karena pada tahapan
ini individu akan mengumpulkan hasil informasi dan melihat
perbedaan pada lingkungan luar yang akan menjadi sumbangan
paling besar pada proses tindakan yang akan diambil nantinya.
c) Searching yaitu tahapan pencarian solusi masalah. Pada tahapan
evaluating individu akan melihat perbedaan antara lingkungan
dan pendapat pribadinya, setelah itu individu akan mencari
solusi yang terbaik untuk menekan perbedaan masalah tersebut.
d) Formulating merupakan penetapan tujuan atau rencana yang
menjadi target dengan memperhitungkan masalah seperti waktu,
tempat, media ataupun aspek lainnya yang menjadi pendukung
yang dapat mencapai tujuan secara efektif maupun efisien.
Penetapan tujuan ini berguna untuk memantau seberapa besar
kemajuan yang berhasil diraih dan menyesuaikan strategi apa
yang dapat diterapkan untuk meraih keberhasilan yang lebih
baik.
e) Implementing adalah tahapan pelaksanaan rencana yang telah
dirancang sebelumnya. Tindakan yang dilakukan sebaiknya
tepat dan mengarah pada tujuan, walaupun dalam sikap
cenderung dimodifikasi agar tercapai tujuan yang diinginkan.
Tujuan yang terlalu tinggi biasanya tidak menjamin pencapaian
yang maksimal dikarenakan oleh berbagai faktor yang menjadi
penghambat, maka dalam tahapan implementing, individu
selayaknya menyadari bahwa kegagalan regulasi diri pada
tahapan ini adalah sesuatu yang biasanya terjadi.
f) Assesing adalah tahapan akhir untuk mengukur seberapa
maksimal rencana dan tindakan yang telah dilakukan pada
proses sebelumnya dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Tujuan yang ingin dikelola biasanya mengalami pergeseran
nilai, akan tetapi pergeseran nilai tujuan dapat diatasi dengan
lebih memantapkan prioritas tujuan utama Penilaian keseluruhan
ini akan berdampak ketika penyelesaian masalah selanjutnya.

Kemampuan untuk terus-menerus merencanakan tindakan guna


mencapai tujuan yang diinginkan dikenal sebagai regulasi diri (Bandura,
Schunk & Zimmerman, seperti yang dikutip dalam Ormrod,
2012). Menurut Zimmerman (sebagaimana dijelaskan oleh Ormrod,
2012), seseorang dianggap memiliki regulasi diri apabila ia memiliki
kendali penuh atas pikiran dan perilakunya sendiri, tidak tergantung pada
pengaruh orang lain atau lingkungan. Keberadaan regulasi diri
mengindikasikan kemampuan seseorang dalam mengelola rasa cemas
yang mungkin dipicu oleh orang lain dan rangsangan-rangsangan yang
berasal dari sekitarnya.
Bandura (2016) menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang
memiliki dampak terhadap regulasi diri, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:

a) Faktor Eksternal Memberikan kerangka kerja untuk mengatur


perilaku. Kondisi ini mempengaruhi cara individu berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya, membentuk standar penilaian diri
melalui pengaruh orang tua dan guru, serta memengaruhi perilaku
baik dan buruk dalam berbagai situasi, baik di lingkungan sekolah
maupun di luar sekolah.
b) Faktor Internal Proses pengamatan diri (self-observation). Individu
harus memiliki kemampuan untuk memantau perilaku dan
penampilan mereka sendiri, sebagai alat untuk menilai apakah
perilaku mereka sesuai atau tidak sesuai. Ini karena individu
cenderung memiliki pilihan dalam menentukan bagaimana mereka
akan berperilaku.

Baumeister dan Heatherton (2018) mengajukan bahwa regulasi diri


melibatkan empat elemen pokok, yakni:

a) Standar Kondisi Ideal: Ini mencakup cita-cita, tujuan, serta kondisi


yang ingin dicapai oleh individu. Absennya standar yang jelas dan
terarah dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan dapat
menghambat perkembangan kemampuan regulasi diri siswa yang
belajar secara konsisten.
b) Pemantauan: Ini melibatkan perbandingan individu terhadap standar
yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, individu perlu
mengendalikan perilaku mereka. Kemampuan siswa dalam
memantau perkembangan belajar di kelas dan menjaga serta
mengontrol perilaku mereka agar tetap sejalan dengan tujuan mereka
sangat penting. Frustasi dalam pemantauan diri sendiri bisa
menghambat regulasi diri.
c) Kekuatan Regulasi Diri: Elemen ini mencakup kegigihan dan
kemampuan untuk mengatur diri. Pengaturan diri bukanlah hal yang
mudah, sehingga siswa memerlukan energi dan tekad. Proses
regulasi diri bergantung pada kapasitas sumber daya dan energi yang
tersedia pada setiap individu.
d) Motivasi: Motivasi individu untuk mencapai tujuan atau standar
yang diinginkan. Dalam praktiknya, motivasi ini berperan sebagai
pendorong agar individu dapat mengatur diri mereka sendiri untuk
meraih tujuan. Tanpa adanya motivasi internal atau eksternal, siswa
dapat mengalami kesulitan dalam mengatur diri.

e. Psikoedukasi

Psikoedukasi adalah bentuk intervensi yang dapat mengubah aspek


kognitif, emosional dan perilaku dalam suatu kelompok untuk mengatasi
masalah yang di hadapi (Dwi et al., 2020). Psikoedukasi diselenggarakan
sebagai intervensi yang difokuskan pada masalah-masalah kehidupan,
pemberdayaan, dan pengembangan ketrampilan dengan upaya membangun
kesehatan mental. Selain itu, psikoedukasi mengubah sikap dan perilaku
secara langsung dalam suatu program. Psikoedukasi bertujuan
mengembangkan life skills individu atau kelompok berupa kemampuan
memahami orang lain, kemampuan mengungkapkan diri, dan
menyelesaikan konflik. Teori Zimmer menjelaskan bahwa self regulasi
merupakan suatu proses belajar yang meliputi aspek personal (kognitif,
emosional), perilaku (behavioral), dan kontektual (Yasdar & Muliyadi,
2018).
DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi, dkk. (2007). Psikiatri: Konsep dasar dan gangguan gangguan. Bandung:
Refika Aditama.

Natasya, Z. A. (2021). Program Pemulihan Korban Penyalahgunaan Narkotika,


Psikotropika, Dan Obat Terlarang (Narkoba) Pada Yayasan Harapan
Permata Hati Kita (Yakita) Banda Aceh (Doctoral dissertation, UIN Ar-
Raniry Banda Aceh).

Puspasari, M.,& Aulia, P. (2021). Pengantar Psikologi Adiksi. Depok: Rajawali


Pers

Santoso, S. L. (2015). Hubungan regulasi diri dengan coping stres berfokus masalah
pada pengurus ormawa FIP UNY. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan Dan
Konseling.

Anda mungkin juga menyukai