Anda di halaman 1dari 60

Referat

Proptosis Occuli dan Pemeriksaan Radiologinya

Disusun Oleh :
Lisdawaty Naomi Siregar
H1AP13012

Pembimbing :
dr. Rachma Tri Wahyuni, Sp.Rad

SMF BAGIAN ILMU RADIOLOGI


RUMAH SAKIT DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Lisdawaty Naomi Siregar


NPM : H1AP13012
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Psikiatri
Judul : Proptosis Occuli dan Pemeriksaan Radiologinya
Pembimbing : Dr. Rachma Tri Wahyuni, Sp.Rad
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas di Kepaniteraan
Klinik Ilmu Radiologi di Rumah Sakit Umum DR. M. Yunus Bengkulu.

Bengkulu, Oktober 2019

Lisdawaty Naomi Siregar


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Proptosis Occuli dan
Pemeriksaan Radiologinya” dengan baik. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini telah melibatkan banyak pihak,
untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Rachma Tri Wahyuni, Sp.Rad., selaku Konsulen yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing dan memberikan banyak arahan dan petunjuk dalam
penulisan referat ini. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat.
2. Keluarga dan semua teman – teman yang telah memberikan dukungan baik moril,
materiil, dan spiritual kepada penulis selama penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis
sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan kedepannya.
Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bengkulu, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 7

2.1. Anatomi Orbita ..................................................................................................................... 7

2.2. Abnormalitas Orbita ........................................................................................................... 11

2.3. Pemeriksaan Radiologi Konvensional Tanpa Kontras pada Kepala .................................. 28

2.4. Pemeriksaan Radiologi CT-Scan Orbita ........................................................................... 39

2.5. Teknik Pemeriksaan Orbita Foto Polos .............................................................................. 46

2.6. Pemeriksaan Penunjang Lain Pada Proptosis…………………………………………...53

BAB III KESIMPULAN............................................................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 58


BAB I
PENDAHULUAN
Mata bukanlah suatu organ vital bagi manusia, namun keberadaan mata sangatlah

penting. Mata adalah jendela kehidupan, tanpa mata manusia tidak dapat melihat apa yang ada di

sekelilingnya. Oleh karena itu pemeliharaan mata sangatlah penting. Salah satu struktur mata

yang penting adalah rongga orbita. Perubahan kedudukan bola mata dapat di akibatkan oleh

beberapa penyebab terutama pada pada penyakit rongga orbita. Penonjolan bola mata adalah

tanda utama penyakit pada rongga orbita.1,2,3

Proptosis atau penonjolan bola mata merupakan salah satu tanda dari penyakit pada

orbita. Lima proses yang dapat mendasari terjadinya penyakit pada orbita adalah: inflamasi,

neoplasia, abnormalitas struktural (baik kongenital maupun didapat), lesi vaskuler, dan

degenerasi serta deposisi. Kelimanya dapat terjadi secara independen atau bersamaan. Jika

ditemukan kelainan pada orbita maka metode evaluasi sistematis yang simpel harus dilakukan

untuk mengidentifikasi proses yang terjadi. Dari 1400 subjek dalam suatu penelitian

ditemukan bahwa inflamasi (sellulitis, Grave’s, pseudotumor) merupakan penyebab

terbanyak yaitu sebesar 57%, kemudian diikuti oleh abnormalitas struktural (dermoids,

epidermoids, mucoceles) sebesar 15.8%, Neoplasia (lymphoma, secondary metastatic tumors,

lacrimal gland tumors) sebanyak 10.2%, lesi vaskuler (hemangiomas, lymphangiomas,

varices, cartoid cavernous sinus fistulas) sebanyak 2.8%, dan yang terakhir adalah degenerasi

dan deposisi (orbital fat prolapse, amyloid) sebesar 1.7%.4

Penonjolan axial disebabkan karena lesi-lesi pada intrakonal. Sedangkan penonjolan

nonaxial disebabkan lesi ekstrakonal. Lesi-lesi ekspansif dapat bersifat jinak atau ganas dan

dapat berasal dari tulang, otot, saraf, pembuluh darah, atau jaringan ikat. Massa dapat bersifat

radang, neoplastik, kistik, atau vaskular. Proptosis unilateral pada anak-anak sering disebabkan

oleh selulitis orbita sedangkan pada bilateral proptosis biasanya terjadi karena penyakit –

penyakiyt sistemik seperti: Grave’s disease, lymphoma, vasculitis, pseudotumor, tumor


metastatik, carotid cavernous fistula, cavernous sinus trombosis, leukemia, dan neuroblastoma.4

Penonjolan itu sendiri tidak bersifat mencederai kecuali apabila kelopak mata tidak mampu

menutup kornea. Namun penyebab yang mendasari biasanya serius dan kadang – kadang

membahayakan jiwa. 5

Evaluasi klinis dapat menyediakan petunjuk tentang lesi yang tidak tampak dari luar

sedangkan evaluasi lainnya seperti evaluasi radiologis, USG, CT, dan MRI dapat

mengkonfirmasi diagnosis tersebut. Hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan kombinasi

antara dua atau lebih teknik evaluasi. Selain kelebihan dari masing-masing teknik, hal lain yang

perlu dipertimbangkan adalah biaya yang harus dikeluarkan dari masing-masing teknik

tersebut.6

Referat ini akan membahas mengenai penyakit orbita yang mengakibatkan manifestasi

berupa penonjolan bola mata dan penyebabnya serta gambaran radiologisnya sebagai

pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dan memberikan penatalaksanaan yang

tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Orbita1,2,3

Orbita merupakan rongga pada tengkorak di mana tempat bola mata dan struktur aksesoris

visual (termasuk alis, kelopak mata, dan lacrimal apparatus) berada.1 Rongga orbita secara

skematis digambarkan sebagai piramida dengan empat dinding yang mengerucut ke posterior.

Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak paralel dan dipisahkan oleh hidung. Pada setiap

orbita, dinding lateral dan medialnya membentuk sudut 45 derajat, menghasilkan sudut siku

antara kedua dinding lateral. Orbita dianalogikan berbentuk seperti buah pear dengan dengan

kanalis optikus diibaratkan sebagai tangkainya. Puncaknya di posterior dibentuk oleh foramen

optikum dan basisnya di bagian anterior dibentuk oleh margo orbita. Lebar margo orbita 45 mm

dengan tinggi 35 mm. Kedalaman orbita pada orang dewasa kurang lebih 40-45 mm sampai ke

apex. Dinding medial dari mata kanan dan kiri sejajar. Dinding lateralnya dari mata kanan tegak

lurus terhadap dinding lateral mata kiri. Pertumbuhan penuh dicapai pada umur 18-20 tahun

dengan volume orbita dewasa ±30cc. Bola mata hanya menempati sekitar 1/5 bagian

ruangannya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Otot-otot mata terdiri dari m. rektus

superior, m. rektus inferior, m.rektus lateralis, m. rektus medialis, m. obliqus inferior, m. obliqus

superior.2

Gambar 1. Anatomi Rongga Orbita3


Batas anterior rongga orbita adalah septum orbitale yang berfungsi sebagai pemisah antara

palpebra dan orbita. Orbita berhubungan dengan sinus frontalis atas, sinus maksilaris bawah dan

sinus etmoidalis serta sinus sfenoidalis di medial3. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh

trauma langsung pada bola mata mengakibatkan fraktur “blow out” dengan herniasi isi orbita

kedalam antrum maksilaris, infeksi pada sinus sfenoidalis dan etmoidalis dapat mengikis dinding

medialnya dan mengenai isi bola mata3. Defek pada atap dapat berakibat pulsasi pada bola mata

yang berasal dari otak3. Pada bagaian atap orbita terutama pada pars orbitalis os frontalis,

kelenjar lakrimal terletak didalam fossa glandulaae lakrimalis pada bagian anterior lateral atap,

Ala minor os sphenoidalis terdapat kanalis optikus melengkapi bagian atap diposterior3.

Dinding lateral dipisahkan dari bagian atap oleh fissure orbitalis superior yang

memisahkan ala minor dari ala mayor os sphenoidalis. Bagian anterior dinding lateral dibentuk

oleh facies orbitalis os zigomaticus. Bagian ini merupakan bagian terkuat dari tulang-tulang

orbita3. Dasar orbita dipisahkkan dari dinding lateral oleh fissure orbitalis inferior. Pars orbitalis

maxillae membentu daerah sentral yang luas bagian dasar orbita dan merupakan tempat tersering

frakur blow out. Batas-batas dinding medial rongga orbita tidak terlalu jelas. Os ethmoidale tipis

setipis kertas, tetapi menebal kearah anterior saat bertemu dengan os lacrimale3.

Gambar 2. Anatomi Jaringan Ikat


Orbita dibentuk oleh tulang-tulang, terdiri dari : 2

Bagian atap orbita:

1. os frontalis

2. os sphenoidalis

Bagian dinding medial orbita :

1. os maksilaris

2. os lakrimalis

3. os sphenoidalis

4. os ethmoidalis

5. lamina papyracea hubungan ke os sphenoidalis (dinding ini paling tipis)

Bagian dinding lantai orbita:

1. os maksilaris

2. os zigomatikum

3. os palatinum

Bagian dinding lateral orbita :

1. os zigomatikum

2. os sphenoidalis

3. os frontalis

Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, saraf, yang masuk ke dalam

mata, yang terdiri dari: 3

1. Foramen optikum yang dilalui oleh n. Optikus, a. Oftalmika.

2. Fissura orbitalis superior yang dialalui oleh n. Lakrimalis, n. Frontalis, n. Trochlearis, v.

Oftalmika, n. Occulomotorius, n. Nasosiliaris, serta serabut saraf simpatik.

3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena dan arteri infraorbitalis.
Gambar 3. Anatomi orbita 2

Jaringan lunak yang terdapat pada rongga orbita adalah :

1. Periorbita, jaringan perior yang meliputi tulang orbita. Periorbita pada kanla optik

bersatu dengan duramater yang meliuti saraf optic di optic dan dianterior bersatu

dengan septum orbita 5.

2. Saraf optik (nervus II) yang diselubungi piamaterm araknoid maer dan duramater

se[erti selubung otak5.

3. Otot ekstraokuler. Setiap bola mata memiliki 6 otot ekstraokuler yang diselubungi

oleh fascia Ligamen dan jaringan ikat.

4. Jaringan lemak. Hampir sebagian besar rongga orbita berisi jaringan lemak5.

5. Kelenjar lakrimal berfungsi mengeluarkan air mata dan sebagian terletak di rongga

orbita.

Terlihat jelas bahwa rongga orbita berisi bermacam jaringan shingga masng-masing

jaringan memiliki kemungkinan untuk tumbuh menjadi jenis tumor5.


2.2. Abnormalitas Orbita1,3,6,9,11,14

Proptosis atau penonjolan bola mata merupakan salah satu tanda dari penyakit pada

orbita.

2.2.1. Definisi Proptosis

Proptosis dapat didefinisikan sebagai penonjolan abnormal pada bola mata akibat

lesi yang mengisi ruang dalam rongga orbita, dislokasi mata atau luxasi bola mata dan

seringkali disamakan dengan eksoftalmus. Eksoftlamus adalah penonjolan abnormal bola

mata dari orbita. Definisi lainnya mengatakan bahwa proptosis adalah setiap penambahan isi

orbita yang terjadi di samping atau di belakang bola mata yang menyebabkan terdorongnya

bola mata ke depan. 3 Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Ekspansi di

dalam kerucut otot mendorong mata kearah depan (proptosis aksilaris) sedangkan massa

yang tumbuh di luar kerucut otot menyebabkan pergeseran bola mata ke samping atau

vertikal menjauhi massa tersebut (proptosis non aksilaris). Kelainan bilateral umumnya

mengindikasikan adanya penyakit sistemik. Istilah eksoftalmos sering digunakan untuk

menggambarkan proptosis pada penyakit Graves. Istilah exothalmus digunakan untuk

proptosis dan penonjolan dari mata yang berhubungan dengan Thyroid Eye Disease (TED).

2.2.2. Pemeriksaan Orbita

Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan untuk menghindari terlewatinya

tanda- tanda penting pada orbita. Pemeriksaan dimulai dengan fungsi penglihatan,

perpindahan/pergerakan bola mata, keseimbangan okular dan duksi, fungsi periorbital ,

tanda- tanda intraokular dan tanda-tanda penyakit sistemik. 9

a. Fungsi Penglihatan

Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan tajam penglihatan,

bila gangguan penglihatannya parah maka perlu pemeriksaan proyeksi cahaya,

diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil aferen. 3 Ketajaman penglihatan dan persepsi

warna sebaiknya dilakukan sebelum pemeriksaan pupil. Tes warna Ishihara walaupun
dirancang untuk penilaian kelainan buta warna herediter tetapi dapat juga digunakan untuk

mengetahui adanya defek halus pada fungsi syaraf optik. Sedangkan reflek pupil, termasuk

penilaian kuantitatif dari defek pupil aferen relative, harus diuji pada bagian terakhir

pemeriksaan fungsi penglihatan. 9

b. Adanya Masss

Perubahan posisi bola mata harus diukur dan bila terjadi deviasi okular yang nyata

maka jika memungkinkan penting untuk mengukur jarak perpindahan letaknya dari posisi
9
awal. Proptosis juga dapat mengidentifikasikan lokasi massa karena bola mata biasanya

terdorong oleh karena adanya massa di dekatnya. Pergeseran bola mata secara axial biasa

disebabkan lesi retrobulbar seperti pada hemangioma karvernosa, glioma, meningoma,

metastase, malformasi arteriovenous, dan lesi mata yang lain di batasi otot mata.

Sedangkan pergeseran non axial terjadi oleh karena tumor sinus maxillaris yang menembus

dasar orbita kemudian mendorong bola mata. Pergeseran inferomedial dapat terjadi akibat

mukokel frontoethmoidal, abses,osteomas, dan karsinoma sinus. Proptosis bilateral pada

orang dewasa biasanya paling banyak disebabkan oleh TED sedangkan penyebab lain yang

mungkin adalah karena adanya gangguan pada bola mata bilateral pada limfoma,

vaskulitis, NSOI, metastase tumor, fistula carotic-cavernous, cavernous sinus thrombosis,

atau infiltrasi leukemik. Proptosis unilateral pada orang dewasa juga sering terjadi pada

TED sedangkan pada anak-anak yang mengalami proptosis bilateral umumnya disebabkan

oleh karena metastase neuroblastoma, infiltrat leukoma, TED, atau NSOI. 6

Exothalmometri adalah alat untuk mengukur posisi anterior-posterior bola mata,

umumnya dari tepi lateral dinding orbita sampai permukaaan kornea (Hertel

exophthalmometri).6 Nilai normal diperoleh dengan perangkat Krahn kisaran 14-21 mm

pada orang dewasa . Setiap nilai <14 mm umumnya dapat didiagnosa enophthalmos. Nilai

>21 mm ditemui sesekali pada individu dengan riwayat keturunan dengan penonjolan bola

mata atau miopia tingkat moderat. Perbedaan 2 mm atau lebih di posisi satu mata terhadap
yang lain perlu dicatat. Semua pengukuran tunduk pada variabel seperti asimetri wajah

pasien, posisi exophthalmometer atau strabismus dari satu mata bergeser. Dokter dapat

menggunakan exophthalmometer yang praktis dengan syarat metode pengukuran dan

posisi dokter dengan mata pasien harus tetap konstan. Pada anak-anak, penggunaan

sebuah exophthalmometer mungkin tidak dapat dilakukan. Dalam kasus tersebut, proptosis

unilateral dapat ditentukan dengan melihat ke bawah dan atas serta dengan mencatat posisi

relatif dari mata. 11

Asimetri atau lebih besar dari 2mm antara diperkirakan proptosis atau enopthalmus.

Proptosis dapat dinilai dengan baik ketika penguji melihat dari bawah dengan posisi kepala

pasien head tilted back (disebut juga worm-eye view). Psedoproptosis adalah penonjolan

yang abnormalan atau ketidak asimetrisan bola mata yang penyebabnya bukan karena isi

dari kavum orbita. Biasanya diagnosa ditunda terlebih dahulu sampai lesi massa

menghilang. Penyebab psedoptosisi adalah bola mata yang besar, enothalmus kontralateral,

ukuran asimetri orbita, asimetri fisura palpebra. 6

Gambar 4. Hertel exophthalmometer membutuhkan tepi orbita lateralis sebagai titik


acuan dan karena itu tidak cocok apabila digunakan setelah reseksi dinding orbita
lateral. 14
Gambar 5. Exophthalmometer Naugle menggunakan tepi orbita atas dan bawah untuk
fiksasi instrumen. 14
Ukuran, bentuk, tekstur dan fiksasi dari massa orbita anterior memberikan gambaran

kemungkinan tempat asal massa dan kemungkinan diagnosis yang dapat ditegakkan.

tenderness menunjukkan adanya peradangan akut, seperti yang terjadi pada dacryoadenitis.

Kista dermoid pada kuadran supero -temporal , ketika terjadi mobilisasi maka akan muncul

tanda yang khas (Gambar 8) , tetapi ketika diam maka akan mudah mengalami perlekatan

periosteal, atau dapat meluas melalui defek pada dinding lateral orbita. Lesi yang menetap

dalam kuadran supero - medial biasanya kemudian akan menjadi frontal mucocoeles ketika

pasien dewasa , atau menjadi kista dermoid pada anak-anak ( Gambar 9) dan juga menjadi

anterior encephalocoele yang sangat jarang terjadi. Lesi subconjunctival berupa gambaran

"Salmon patch" adalah karakteristik dari limfoma ( Gambar 10) sedangkan massa lunak yang

menyebabkan pembengkakan kelopak mata harus dianggap sebagai tumor infiltratif atau

peradangan , hingga jika tidak terbukti. 9

Gambar 6. Periocular dermoids: Lesi yang khas tampak pada kuadran supero-
temporal 9
Gambar 7. the superomedial dermoid memiliki diagnosa yang berbeda dari
anterior encephalocoele 9

Gambar 8. Lesi “Salmon patch” konjungtiva dari


limfoma 9
c. Keseimbangan Mata Dan Pergerakan Mata Tunggal (Duksi)

Pasien dengan penglihatan binokular harus diperiksa untuk melihat adanya

penyimpangan okular yang tersembunyi maupun yang tampak dan memperkirakan jangkauan

duksi uniokular pada empat posisi penting. Forced duction test (traksi) dengan anestesi topikal

akan membantu dalam membedakan penyebab neurologis atau penyebab mekanis dari

pergerakan bola mata yang terbatas. Demikian juga dengan retraksi dari bola mata selama

duksi aktif menunjukkan adanya fibrosis dari otot antagonis ipsilateral, hal ini menjadi gejala

dari myositis orbita kronis. 9

d. Tanda-tanda pada Periorbita dan palpebra

Pembengkakan adalah tanda pada palpebra yang paling sering ditemukan pada

penyakit orbita, namun adanya retraksi palpebra, kelambatan gerak, atau penutupan palpebra

yang tidak lengkap sering terjadi dan merupakan tanda dari orbitopati tiroid (Gambar 11).

Kontur berbentuk S pada kelopak mata bagian atas kemungkinan dapat dikaitkan dengan

beberapa kondisi seperti terjadiya plexiform neurofibroma pada neurofibromatosis perifer,


dacryoadenitis dengan adanya tanda-tanda inflamasi, tumor atau infiltrasi kelenjar lakrimal.

kelainan vena anterior memberikan gambaran warna biru pada palpebra sedangkan lesi

xanthoma memberikan gambaran plak kuning pada palpebra.9

(a)

(b)

(c)

(d)
Gambar 9.Tanda khas dari dysthyroid orbitopathy: (a) bilateral proptosis dan retraksi kelopak mata atas,
(b) lid lag, (c) lagophthalmos pada penutupan kelopak mata secara perlahan (d) festoons disebabkan
karena periorbital oedema. 9
Dilatasi yang nyata pada pembuluh darah disertai adanya getaran yang teraba atau bruit

yang terdengar menunjukan adanya sebuah fistula carotico-cavernous dengan aliran cepat atau

malformasi arteri-vena (gambar 12.a). Peningkatan tekanan dalam sirkulasi vena retina

menyebabkan hilangnya pulsasi spontan dari vena retina sentral sedangkan ada atau tidak

adanya pulsasi harus diketahui pada kedua fundus. Hilangnya sensasi periokular juga harus

dikaji karena dapat dijadikan tanda untuk mengetahui lokasi penyakit orbita selain itu

hilangnya sensasi kornea pun harus dicatat. Pemeriksaan pada hidung dan mulut juga penting.

Varises palatal dapat mengindikasikan orbital varises yang merupakan penyebab spontan dari

perdarahan orbita, atau adanya massa nasal atau nekrosis palatal kemungkinan
mengindikasikan adanya tumor sino-orbital atau infeksi (seperti mucormycosis). 9

Gambar 10. Abnormal vasculature pada konjungtiva chemosis pada pasien


dengan malformasi arteri-vena aliran tinggi 9
e. Tanda-Tanda Penyakit Intraokular atau Sistemik

Pemeriksaan bio-mikroskop slit lamp pada permukaan okular dan segmen anterior

maupun posterior harus dilakukan. Chemosis konjungtiva dapat dilihat pada kondisi terjadinya

inflamasi dan keratokonjungtivitis limbik superior biasanya berhubungan dengan orbitopati

tiroid. Patognomonik nodul Lisch dari neurofibromatosis tampak jelas pada pasien

pascapubertas (gambar 13). Peradangan segmen anterior atau posterior kemungkinan

menyertai sindrom inflamasi orbita sebagai fenomena sekunder. 9

Gambar 11. Nodul Lisch yang khas pada Neurofibromatosis tipe 1. 9


Dengan terjadinya kompresi pada bola mata karena adanya tarikan recti inferior pada

tiroid orbitopati, pengukuran tekanan intra okular kerap kali meningkat pada saat terjadinya

fiksasi. Pengukuran tekanan yang benar adalah dengan menempatkan dagu ke arah depan, di

depan bagian lainnya, dan pasien diminta menatap sedikit ke arah bawah. Pulsasi yang sangat

fluktuatif selama pemeriksaan tonometri aplanasi menunjukkan adanya hubungan arterio-vena

yang mempengaruhi sirkulasi orbita, atau adanya transmisi pulsasi dural seperti yang terjadi

pada displasia sphenoid karena neurofibromatosis. 9


Striae koroid dihasilkan dari cekungan pada bola mata akibat adanya massa orbita,

meningioma saraf optik atau idiopatik. Lipatan hampir selalu terjadi terjadi pada makula dan

tidak ada hubungannya dengan posisi massa orbita. Atrofi atau pembengkakan optic disc dapat

disebabkan karena berbagai hal dan opticociliary shuntuk pada pembuluh darah merupakan

hasil dari kompresi saraf optik yang berlangsung lama, misalnya pada meningioma syaraf

optik. 9

Kelenjar limfe regional harus diperiksa pembesaran dan kepadatannya dan adanya

limfadenopati. Limfadenopati disebabkan oleh keganasan hematologi, kemungkinan

berhungungan dengan splenomegali. Pada pasien dengan massa pada orbita, adanya clubbing-

finger dapat mengindikasikan adanya karsinoma bronkogenik sedangkan perubahan tiroid

acropachy atau myxoedema pretibial akan menunjukan terjadinya orbitopati tiroid.

2.2.3. Pemeriksaan Abnormalitas Orbita

Lima proses yang dapat mendasari terjadinya penyakit pada orbita adalah: inflamasi,

neoplasia, abnormalitas struktural (baik kongenital maupun didapat), lesi vaskuler, dan

degenerasi serta deposisi.

Evaluasi abnormalitas orbita harus dapat membedakan orbital dari lesi periorbital dan

intraokular. Perbedaan ini dapat mengarahkan kepada sebuah diagnosis. Evaluasi dimulai dari

anamnesis dan pemeriksaan untuk membimbing ke arah diagnosa dan terapi. Pada abnormalitas

orbita penting untuk ditanyakan riwayat 6 P, yaitu : 4

1. Pain, kemungkinan merupakan tanda dari adanya inflamasi dan infeksi, perdarahan orbita,

tumor glandula lakrimalis maligna, invasi dari karsinoma nasopharyngeal, atau adanya

metastase.
2. Proptosis, biasanya diindikasikan dengan adanya massa di belakang bola mata. Penonjolan

axial disebabkan karena lesi-lesi pada intrakonal. Sedangkan penonjolan nonaxial

disebabkan lesi ekstrakonal.

Pada bilateral proptosis biasanya terjadi karena Grave’s disease, lymphoma, vasculitis,

pseudotumor, tumor metastatik, carotid cavernous fistula, cavernous sinus trombosis,

leukemia, dan neuroblastoma.

3. Progression, progresivitas lesi dapat dijadikan indikasi diagnostik. Lesi dengan onset hari

sampai dengan minggu biasanya disebabkan idiopathic orbital inflammatory disease,

cellulitis, hemorrhage, thrombhophlebitis, rhabdomyosarcoma, thyroid ophthalmopathy,

neuroblastoma, tumor metastatik, atau granulocytic sarcoma. Sedangkan pada onset bulan

sampai dengan tahun biasanya disebabkan dermoid, tumor benigna, tumor neurogenic,

hemangioma kavernosa, lymphoma, histicyioma fibrosa, osteoma.

4. Palpation, pada massa di belakang orbita tidak dapat teraba.

5. Pulsation, pulsasi tanpa adanya bruits kemungkinan disebabkan adanya neurofibromatosis

atau meningoencephalokel, atau mungkin akibat dari operasi pengangkatan atap orbital.

Pulsasi dengan atau tanpa bruits, dapat disebabkan karena carotid cavernous fistula, dural

arteriovenous fistulas, dan orbital arteriovenous fistulas.

6. Periorbital changes, yang berhubungan dengan lesi orbital biasanya terlihat adanya retraksi

palpebra, kelainan vaskular pada palpebra, lesi eczematous pada palpebra, ekimosis

palpebra, edema pada palpebra inferior, dan kelainan lainnya.

Proptosis yang asimetris dapat dideteksi dengan inspeksi mata pasien dari arah depan

bawah (Worm’s eye view) atau dari arah samping. 4


Gambar 12. Posisi Worm’s eye view 3

2.2.4. Pemeriksaan Proptosis

Pemeriksaan klinis harus dilakukan secara lengkap sehingga dapat dikelola dengan

tepat. Ada beberapa tahap pemeriksaan : 1

a. Tahap Pemeriksaan Medis

Tahap ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu ;

1. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit dapat membantu menduga penyebab proptosis. Dari anamnesis

dapat ditanyakan adanya riwayat trauma atau penambahan proptosis saat pasien

membungkuk (mengarah ke proptosis akibat malformasi arteri vena), onset lama

atau tiba-tiba (pada infeksi), kemudian ditanyakan tanda-tanda infeksi lain seperti

adanya panas badan meningkat, atau adanya penyakit sinusitis atau abses gigi. Dapat

ditanyakan juga tanda-tanda penyakit tiroid, seperti tremor, sifat gelisah yang

berlebihan, berkeringat banyak atau adanya penglihatan ganda.

Bila dari pertanyaan ini tidak didapat jawaban, maka dapat diarahkan pada penyakit

tumor, kemungkinan tumor retrobulber. Anamnesis yang penting untuk tumor adalah

i. Onset, karena umumnya proptosis terjadi lebih lambat pada tumor jinak dan cepat

pada tumor ganas.

ii. Umur, dapat menentukan jenis tumor, yaitu tumor anak-anak dan tumor dewasa
iii. Tajam penglihatan penderita, apakah menurun bersamaan dengan terjadinya

proptosis atau tidak. Jika bersamaan, dapat diduga tumor terletak di daerah apex

atau saraf optik.

iv. Adanya tanda klinis lain tumor ganas seperti rasa sakit, atau berat badan menurun

v. Riwayat penyakit keganasan di organ lain, untuk mengetahui kemungkinan

metastase.

2. Pemeriksaan Mata

Pemeriksaan mata secara teliti sangat diperlukan,antara lain pada visus, adanya

penurunan visus dapat dicurigai adanya tumor di intrakonal. Perhatikan pula

perubahan pada struktur organ lainnya, seperti palpebra(jaringan parut, retraksi

palpebra atau perdarahan), konjungtiva, kornea(erosi akibat penonjolan bola mata

yang menyebabkan lagoftalmus), kamera okuli anterior, iris(nevi, neovaskularisasi),

pupil (reflek pupil), fundus(atrofi papil atau edema papil, striae retina). Pemeriksaan

dapat dilanjutkan pada otot bola mata, lapang pandang dan tekanan intraokular.

3. Pemeriksaan Orbita

i. Pengukuran Proptosis, untuk mengetahui derajat proptosis dengan

membandingkan ukuran kedua mata.

Normalnya nilai penonjolan tidak melebihi 20 mm atau beda kedua mata tidak

lebih dari 3 mm. Pengukuran dilakukan dengan eksoftalmometer Hertel.

Gambar 13. Pemeriksaan dengan Eksoftalmometer Hertel 5


ii. Posisi proptosis, perlu diketahui karena letak tumor biasanya sesuai dengan

jaringan yang berada di orbita. Ada 2 jenis posisi, yaitu sentrik dan eksentrik.

Posisi sentrik biasanya disebabkan tumor yang berada di konus. Sedangkan posisi

eksentrik harus dilihat dari arah terdorongnya bola mata untuk memperkirakan

tumor.

iii. Palpasi, dinilai konsistensi tumor, pergerakan dari dasarnya, adanya rasa nyeri

pada penekanan, serta permukaan tumor.

iv. Pulsasi dan bruits.

v. Ocular movement, gerakan okular mungkin terbatas pada arah tertentu oleh karena

adanya massa atau proses inflamasi.

b. Tahap Pemeriksaan Penunjang

Terdiri dari 2 tahapan yaitu: pemeriksaan primer yang terdiri dari Computed

Tomography (CT), MRI (Magnetic Resonance Imaging), dan Ultrasonography Orbita

(USG) dan pemeriksaan sekunder yang terdiri dari: venography, arteriography, serta CT

dan MR angiography.
2.2.5. Etiologi Proptosis1,3,7,8,10

Proptosis dapat didefinisikan sebagai penonjolan abnormal pada bola mata akibat lesi

yang mengisi ruang dalam rongga orbita, dislokasi mata atau luxasi bola mata dan seringkali

disamakan dengan eksoftalmus. Eksoftlamus adalah penonjolan abnormal bola mata dari

orbita. Definisi lainnya mengatakan bahwa proptosis adalah setiap penambahan isi orbita

yang terjadi di samping atau di belakang bola mata yang menyebabkan terdorongnya bola

mata ke depan. 3 Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita.
24
25
2.2.6. Patologi Proptosis

26
Jamur (di udara, debu, tanah, tumbuhan, dan organisme yang  membusuk)  partikel

debu  terhirup  tertumpuk  di mukosa sinus nasal dan paranasal  menyebar ke mata 

proptosis.

27
2.3. Pemeriksaan Radiologi Konvensional Tanpa Kontras pada Kepala1,6,8,12

2.3.1. Anatomi Cranial

Skull ata tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk pula mandibula

atau tulang rahang bawah. Tengkorak terdiri dari 22 tulang (atau 28 tulang termasuk tulang

telinga), dan ditambah lagi 2 atau lebih tulang-tulang rawan hidung yang menyempurnakan

bagian anteroinferior dari dinding – dinding lateralis dan septum nasal. Pembagiannya terdiri

dari:

 8 Buah tulang tengkorak (Cranial Bones)

Tulang ini berfungsi untuk melindungi otak. Terdiri dari: Os. Frontal, Os. Parietal,

Os. Occipital, Os. Ethmoid, Os. Sphenoid, Os. Temporal, Os. Males, Os. Inkus, dan

Os. Stapes.

 Tulang rangka wajah (Facial Bones)

Tulang ini berfungsi untuk memberi bentuk dan struktur pada wajah serta

menyokong tulang-tulang di dalam wajah. Melindungi bagian tepi atas sistem

pernafasan dan saluran pencernaan, bersama – sama cranial membentuk lengkung

mata (eye sockets), terdiri dari: 2 os. Maxillary bones, 2 os. Nasal, 2 os. Lacrimal, 2

os. Zyangomaticum, 2 os. Palatine, 2 os. Inferior nasal concha, 1 os. Vomer, 1 os.

Mandibula.

28
Gambar 14. Anatomi Cranial

2.3.2. Landmark dan Baseline dalam Pemeriksaan Foto Kepala

Landmark merupakan suatu tanda yang berada di daerah tubuh yang digunakan

untuk membantu di dalam pemeriksaan. Saat memposisikan kepala pasien, harus

diperhatikan bentuk wajah dan variasi anatomis landmark untuk dapat menentukan

bidang yang akan diagunakan setepat mungkin disesuaikan dengan posisi kaset.

Bagian tubuh seperti mastoid dan orbital margin merupakan landmark yang tepat.

Sedangkan baseline merupakan suatu garis khayal pada daerah tubuh yang juga

digunakan untuk membantu dalam pemeriksaan. Landmark dan baseline yang

digunakan di kepala dalam pemeriksaan radiografi adalah:

29
Landmark

1. Verteks adalah suatu titik yang berada pada pertengahan MSP kepala pada tulang

parietal.

2. Glabella adalah suatu titik yang berada pada MSP sejajar dengan kedua alis mata

pada tulang frontal.

3. Nasion adalah suatu titik yang berada pada MSP setinggi kedua mata.

4. Acanthio adalah suatu titik yang berada pada MSP di antara lubang hidung dan

bibir.

5. Infra orbita point adalah suatu titik yang berada di bawah dari orbita.

6. Outer canthus of eye adalah suatu titik yang berada pada leteral dari orbita.

7. Inner canthus of eye adalah suatu titik yang berada pada medial dari orbita.

8. Mental adalah suatu titik yang berada pada MSP di bawah bibir.

9. External meatus acusticus eksternus adalah suatu titik yang berada tepat di

lubang telinga.

Gambar 15. Landmark Cranial

30
Baseline

1. Glabellomeatal line adalah garis yang menghubungkan MAE dengan glabella

2. Orbito meatal line adalah garis yang menghubungkan MAE dengan orbita

3. Infra orbito meatal line adalah garis yang menghubungkan MAE dengan infra

orbita point

4. Acanthiomeatal line adalah garis yang menghubungkan MAE dengan acanthio

5. Mentomeatal line adalah garis yang menghubungkan MAE dengan mental

6. Glabelloalveolar line adalah garis yang menghubungkan glabella dengan alveola

Gambar 16. Baseline Cranial

2.3.3. Teknik Radiografi Foto Cranial1,6,8,12

Ada 5 posisi dasar yang digunakan dalam teknik radiografi foto tulang cranium/skull

yaitu:

1. Postero-anterior (occipito-frontal) dan PA Axial projections

Tujuan PA: melihat detail-detail tulang frontal, struktur cranium disebelah depan dan

pyramid os petrossus .

31
Tujuan PA Caldwell : melihat detail kavum orbita. Terlihat gambaran alae major dan

minor os sphenoidale superimposed terhadap orbita, petrosus ridge yang merupakan

tegmen timpani juga diproyeksikan didekat margo inferior cavum orbita.

Posisi pasien:

- Duduk tegak atau prone

- Atur MSP pada pertengahan lysolm

- Fleksikan lengan atur posisi tangan senyaman mungkin

Posisi objek:

- Atur kepala dan hidung agar menempel kaset dan MSP tegak lurus kaset

- Atur OML agar tegak lurus kaset, tahan nafas saat pengambilan foto.

Gambar 17. Posisi PA Axial Caldwell

Gambar 18. Caldwell Position

32
Gambar 19. Foto Polos Cranial Posisi Caldwell

2. Lateral

Tujuannya adalah: untuk melihat detail – detail tulang kepala, dasar kepala, dan

struktur tulang muka. Patologi yang ditampakkan adalah fraktur, neoplastic

process, paget’s disease, infeksi, tumor, dan degenerasi tulang. Pada kasus trauma

gambaran cranial lateral akan menampakkan fraktur horizontal, air-fluid level

pada sinus sphenoid, tanda-tanda fraktur basal cranii apabila terjadi perdarahan

intracranial.

Posisi pasien:

- Prone atau duduk tegak

- Recumbent

- Semiprone (sim’s position)

Posisi objek:

- Atur kepala true lateral dengan baguan yang akan diperiksa dekat dengan IR

- Tangan yang sejajar dengan bagian yang akan diperiksa berada di depan

kepala dan bagian yang lain lurus di belakang tubuh

- Atur MSP sejajar terhadap IR

- Atur interpupilary line tegak lurus IR

- Pastikan tidak ada tilting pada kepala


33
- Atur agar IOML sejajar dengan IR

Strukur yang ditampakkan:

Bagian yang menempel dengan film ditampakkan dengan jelas. Sella turcica

mencakup anterior dan posterior clinoid dan dorsum sellae di tampakkan dengan

jelas.

Gambar 20. Posisi Lateral

Gambar 21. Foto Polos Cranial Posisi Lateral

34
3. Towne Position (Semi-axial/Grashey’s Position)

Tujuannya adalah melihat detail tulang occipital dan foramen magnum, dorsum

sellae, os petrosus, kanalis audiotorius internus, eminentia arkuata, antrum

mastoideum, processus mastoideus dan mastoid sellulae. Posisi ini juga

memungkinkan perbandingan piramida os. Petrosus dan mastoid pada gambar

yang sama. Posisi towne diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara

30-60 derajat kea rah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di

atas glabella dari foto polos kepala dalam bidang midsagital.

Posisi pasien:

- Pasien dalam keadaan supine/duduk tegak pusatkan MSP tubuh ke garis

tengah grid

- Tempatkan lengan dalam posisi yang nyaman dan atur bahu untuk

dibaringkan dalam bidang horizontal yang sama

- Pasien hyprshenic dalam posisi duduk tegak jika memungkinkann

- Bila ini tidak memungkinkan, untuk menghasilkan proyeksi yang diinginkan

pada bagian oksipital asal oleh penyudutan CR Caudad dengan mengangkat

kepala dan mengaturnya dalam posisi horizontal . Stewart merekomendasikan

sudut 40.

Posisi objek:

- Atur pasien sehingga MSP tegak lurus dengan garis tengah kaset ‘

- Fleksikan leher secukupnyaa, garis orbitomeatal tegak lurus ke bidang film

- Bila pasien tidak bisa memfleksikan lehernya, aturlah sehingga garis infra

orbita meatal tegak lurus dan kemudian menambah sudut CR

35
- Untuk memperlihatkan bagian oksipito basal atur posisi film sehingga batas

atas terletak pada puncak cranial. Pusatkan kaset pada foramen magnum.

- Untuk membatasi gambaran dari dorsum sellae dan ptrous pyramid atar kaset

sehingga titik tengah akan bertepatan dengan CR

- Periksa kembali dan imobilisasi kepala

- Tahan napas saat ekspose.

Gambar 22. Towne’s Position

Gambar 23. Foto Polos Cranial Posisi Towne’s

36
4. Vertiko submental (basal)

Tujuannya untuk melihat detail dari basis crania. Patologi yang ditampakkan

adalah fraktur dan neoplatic / inflammatory process dari arczyangomaticum.

Posisi pasien:

- Supine atau erect. Posisi erect akan membuat pasien merasa lebih nyaman

Posisi objek:

- Hyperekstensikan leher hingga IOML // IR

- Verteks menempel pada IR

- Atur MSP tegak lurus meja/permukaan bucky

- Pastikan tidak ada rotasi ataupun tilting

Posisi ini sangat tidak nyama sehingga usahakan agar pemeriksaan dilakukan

dengan waktu sesingkat mungkin.

Gambar 24. Vertico-submental position

5. Waters Position

Tujuannya untuk melihat gambarab sinus paranasal.

Posisi pasien: erect

Posisi objek:
37
- Ekstensikan leher atau dagu dan hidung menghadap permukaan meja/bucky

- Atur kepala sehingga MML (mentomeatal line) tegak lurus terhadap IR, OML

akan membentuk sudut 370 derajat terhadap bidang IR

- Instruksikan kepada pasien untuk membuka mulut dengan tidak mengubah

posisi atau ada pergerakkan pada kepala dan MML menjadi tidak lurus lagi

- Atur MSP tegak lurus terhadap pertengahan grid atau permukaan meja/bucky

- Pastikan tidak ada rotasi atau tilting.

Struktur yang ditampakkan:

Tampak bagian inferior sinus maksilaris bebas dari superimposisi dengan

processus alveolar dan petrosus ridge, inferior orbital rim, dan tampak gambaran

sinus frontalis oblique. Sinus sphenoid tampak apabila pasien membuka mulut.

Gambar 25. Water’s Position

38
Gambar 26. foto polos cranial dengan water’s position

2.4. Pemeriksaan Radiologi CT Scan Orbita12,17,18

2.4.1. Definisi

Pemeriksaan CT (Computed Tomography) scan pada struktur-struktur di sekitar mata

yang menghasilkan gambaran 3 dimensi dari struktur-struktur di sekitar mata, khususnya

otot-otot penggerak bola mata dan saraf-saraf optik. CT scan dapat membantu untuk

mengidentifikasikan abnormalitas lebih dini dan lebih akurat dari teknik-teknik lainnya,

seperti sinar-X. CT scan struktur-struktur di sekitar mata juga disebut CT scan orbita. Yang

dimaksud dengan orbita adalah struktur tulang yang menyangga bola mata. Komputer akan

menghasilkan citra irisan yang menggambarkan ukuran dan posisi struktur di sekitar mata

dan hubungannya satu dengan yang lain. Pada kasus-kasus tertentu, diberikan zat khusus

yang disebut cairan kontras untuk memperjelas citra yang dihasilkan.

Menurut Springer (1996), pada pemeriksaan CT Scan orbita dapat menggambarkan

keakuratan struktur-struktur tulang orbita seperti pada muscles ophthalmic, bola mata, dan

retroorbital fat. Menurut Neseth (2000), Imejing dari orbita secara lengkap dibuat potongan

39
axial dan coronal. FOV yang divisulisasikan dari gambaran lateral kepala, meliputi anterior

bola mata sampai dengan posterior dorsum sella. Scan range yang digunakan adalah dengan

irisan yang tipis untuk potongan coronal maupun potongan axial untuk meningkatkan

kualitas gambar. Pada scan axial menggambarkan secara keseluruhan dari penebalan

superior dari sinus maksilaris yang melalui superior orbita rim.

Sedangkan menurut Springer (1996), pemeriksaan rutin untuk orbita dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu, dengan potongan axial dan potongan coronal, dengan slice thickness

yang digunakan pada pemeriksaan CT Scan orbita tidak lebih dari 2 mm. Pemeriksaan CT

Scan Orbita dapat digunakan untuk menentukan infraorbital foreign body dan untuk evaluasi

dari trauma.

Slice thickness yang tipis (3 mm) lebih disukai untuk menggambarkan potongan axila

dan coronal dari orbita, hal ini karena dapat memberikan penilaian dari lessi soft tissue dan

dapat membantu untuk melihat batasan dari dinding tulang orbita. Beberapa institusi

menggunakan slice thickness 1 mm pada scanning axial, kemudian mereformat untuk

menghasilkan gambaran coronal atau sagital. Teknik reformat berguna ketika gambaran

coronal tidak dapat dilakukan, namun kualitas gambaran reformat memiliki mutu yang

lebih rendah dibandingkan dengan direct image (Seeram, 2001).

2.4.2. Indikasi

1. Untuk meneliti anatomi mata dan struktur-struktur di sekitarnya.

2. Untuk mengevaluasi kelainan-kelainan dari orbit dan mata khususnya perluasan

kerusakan jaringan dan destruksi sel.

3. Untuk mengevaluasi kelainan-kelainan dari orbital dan mata khususnya

perluasan kerusakan jaringan dan destruksi sel.

40
4. Untuk mengevaluasi fraktur (patah tulang) orbita dan struktur-struktur di

sampingnya.

5. Untuk menentukan penyebab suatu kondisi yang disebut exophtalmus, yang

merupakan tonjolan abnormal bola mata.

6. Untuk membantu diagnosa kelainan yang berhubungan dengan otak yang

berpengaruh pada fungsi pandangan.

7. Untuk mengevaluasi kondisi-kondisi khusus dimana diduga adanya kelainan

sirkulasi.

CT scan orbita dapat membantu mengidentifikasi kerusakan jaringan, penyebab

pembesaran orbita, lekukan dinding orbita, atau destruksi tulang. CT scan orbita juga dapat

membantu menentukan jenis lesi, termasuk di dalamnya beberapa tumor dan pembesaran

saluran optik. Pada evaluasi fraktur (patah tulang) di sekitar mata, CT scan orbita dapat

memberikan pencitraan 3 dimensi yang lengkap dari struktur yang terkena. CT scan dengan

cairan kontras dapat memberikan informasi tentang sirkulasi darah pada struktur mata.

2.4.3. Teknik Pemeriksaan

Infomasikan mengenai prosedur pemeriksaan kepada pasien, pasien dianjurkan untuk

puasa makan dan minum jika dalam pemeriksaan memerlukan injeksi media kontras.

41
Atur posisi pasien dalam keadaan supine pada scanning axial, head first. Tempatkan

kepala pada head holder, dagu fleksi dengan nyaman ke arah dada sehingga OML (Orbito

Meatal Line) tegak lurus untuk scan axial dan supine atau prone pada scanning coronal

dengan kepala dan leher ekstensi dan mengganjal pada holder.

Scannogram dapat dibuat antero posterior (AP) maupun lateral. Scannogram pada

proyeksi AP akan dapat mengevaluasi apakah posisi objek sudah lurus dan berada di

pertengahan. Sedangkan scannogram lateral bermanfaat untuk menentukan penyudutan

gantry (Neseth, 2000).

Gambar 27. Scannogram CT Scan Orbita potongan axial dan coronal (Neseth, 2000)

42
43
44
2.5. Teknik Pemeriksaan Orbita Foto Polos 1,5,12

1. PA Caldwell

a) Posisi Pasien :

- Erect atau prone (jika memungkinkan erect)

45
b) Posisi Obyek :

- Dahi dan hidung pasien menempel kaset.

- Mengatur dagu sehingga OML (orbitomeatal line) tegak lurus dengan kaset.

- Atur MSP tegak lurus terhadap garis tengah kaset atau bucky. Pastikan kepala tidak

miring dan tidak ada rotasi.

c) CR :

- 15° caudad, keluar pada nasion. (jika area yang ingin ditampakkan adalah dasar orbita,

menggunakan sudut 30° caudad untuk memproyeksikan petrosa ridge di bawah inferior

orbital margin)

- CR menuju ke pertengahan kaset

d) SID : 100 cm

e) Kaset : 24 x 30 cm atau 18 x 24 cm, membujur

f) Respirasi : Tahan napas

g) Struktur yang tampak :

- Tampak orbital rim (tepi orbita), maxilla, nasal septum, zyangomatic bones, dan
anterior nasal spine.

- Bayangan petrous ridge mengisi 1/3 bagian bawah orbita (15° caudad).

- Bayangan petrous ridge ada di bawah inferior margin orbita (30° caudad).

- Tidak ada rotasi kepala ditandai dengan jarak MSP ke margin luar orbita kanan dan
kiri simetris, fisura orbita superior simetris.

- Inferior orbital rim berada dipertengahan kaset.

46
2. Lateral Projection

a) Posisi Pasien

- semiprone atau duduk tegak

b) Posisi Objek

- tempatkan outer canthus mata yang sakit dekat dengan kaset dan pusatkan pada titik

tengah kaset.

- Atur kepala pasien untuk menempatkan MSP sejajar dengan bidang IR dan

interpupiliary line (IPL) tegak lurus terhadap bidang IR.

c) CR

- Tegak lurus kaset, melalui outer canthus.

- Instruksikan pasien untuk melihat lurus ke depan pada saat eksposi.

d) Respirasi : Tahan napas.

e) Kaset :18 x 24 cm

f) SID : 100 cm

g) Kriteria Radiograf:

- Densitas dan kontras harus optimal untuk mengetahui lokasi benda asing pada orbit
dan mata.

- Tampak superior orbital superposisi

47
3. Parietoacanthial Projection ( Waters Method)

a) Posisi Pasien

- Erect or prone (erect lebuh dianjurkan jika kondisi pasien memungkinkan)

b) Posisi Objek :

- Leher ekstensi, dagu menempel pada kaset/bucky.

- Atur kepala sehingga MML tegak lurus bidang kaset, OML akan membentuk sudut

370 terhadap kaset/bucky.

- Atur MSP tegak lurus terhadap garis tengah kaset/bucky, hindari rotasi dan

kemiringan kepala (Salah satu cara untuk mengecek adanya rotasi atau tidakadalah

dengan meraba proceccus mastoideus tiap sisi dan lateral margin orbita dengan

jempol dan fingertips untuk memastikan bahwa garis ini sama jauhnya terhadap

meja)

c) CR: tegak lurus kaset, keluar pada acantion. Pusatkan IR dangan CR

d) SID: 100 cm

e) Kaset: 24x30 cm atau 18 x 24 cm, membujur.

f) Respirasi : tahan napas

g) Kriteria Radiograf

- Tampak tepi bawah orbita, maxilla, nasal septum, zyangomatic bones, zyangomatic
arches dan anterior nasal spine

48
- Leher yang diekstensikan benar akan menampakan petrous ridge di bawah sinus
maxilla.
- Tidak ada rotasi ditandai dengan jarak antara MSP (nasal septum) ke margin kepala
bagian luar (kanan dan kiri) sama.
- Pastikan kepala (skull) tervisualisasi dengan acanthion sebagai pusat.
- Kontras dan densitas diperlukan utk menampakan daerah maxilla.

Teknik Pemeriksaan foramen orbita1,5,12

1. Parietoorbital Oblique Projection (Rhese Methode)

a) Posisi Pasien

- semi prone / duduk tegak

b) Posisi Obyek :

- tempatkan lengan pasien pada posisi nyaman dan atur kedua bahu agar terletak pada
bidang horisontal yang sama tinggi.

- Pusatkan orbita yang terindikasi (dkt dg kaset) tdk menutupi ½ kaset. Tempatkan
pipi, hidung, dan dagu pasien menempel meja pemeriksaan / bucky.

- Atur leher pasien fleksi untuk mengatur AML (Acanthiomeatal Line) tegak lurus
dengan kaset.

- Atur rotasi kepala pasien sehingga MSP kepala membentuk sudut530terhadap


bidang kaset. Busur dapat digunakan untuk mencapai sudut 53° yang lebih akurat.

- Gunakan alat fiksasi di kepala pasien

49
c) CR

- Tegak lurus terhadap kaset, masuk pada 1 inchi (2,5 cm) superior dan posterior dari

TEA (Top of Ear Attachment).

- CR keluar melalui orbit yang menempel kaset.

CP: 1 inch (2,5 cm) superior dan posterior dari TEA

d) SID: 100 cm

e) Kaset : 18 x 24 cm

f) Struktur yang tampak :


Superior orbital margin

Lateral orbital margin

Optic canal and foramen

Medial orbital margin


Lesser wing of sphenoid
Ethmoidal sinus

Inferior orbital margin

- Tampak Optic canal


- Tampak foramen opticum bebas berada di quadran (¼ bagian) lateral bawah
lingkaran orbita
- Ada penyimpangan pada lateral menandakan rotasi yang salah pada kepala.
- Ada penyimpangan pada longitudinal menandakan penyudutan yang salah pada
AML.
- Kedua orbita diperiksa utk perbandingan.
- Tampak sinus ethmoidal, sinus sphenoid, dan sinus frontal.

2. Orbitoparietal Oblique Projection

a) Posisi Pasien

- Pasien duduk tegak atau supine

50
b) Posisi Objek

- Pusatkan MSP tubuh dengan garis tengah meja/bucky. Tempatkan lengan


pasien disamping tubuh dan atur kedua bahu berada dalam satu bidang
horisontal

- Rotasikan kepala pasien sehingga MSP kepala membentuk sudut 530 terhadap
kaset

- Atur AML tegak lurus dengan kaset.

- Gunakan alat imobilisasi pada kepala.

c) Respirasi : tahan napas

(Sisi yang diperiksa yang jauh dari kaset)

d) CR: tegak lurus terhadap kaset, masuk ke bagian paling atas dari orbita pada

quadran (1/4 lingkaran) lateral bawah . Pusatkan CR dengan IR.

e) CP: bagian paling atas dari orbita atau pada foramen optikum

f) SID : 100 cm

g) Kaset : 18x24 cm

51
h) Struktur yang tampak :

- Optic canal pada akhir gambar,

- Foramen opticum pada kuadran (1/4 lingkaran) lateral bawah orbita

- Proyeksi ini adalah kebalikan dari proyeksi parietoorbital.

Note : Proyeksi orbitoparietal oblique (rhese method) seharusnya digunakan pada

pasien yang tidak dapat diposisikan prone. Meskipun dengan posisi pasien supine,

proyeksi ini dapat mengakibatkan pembesaran gambar (magnifikasi) karena OID

yang jauh. Selanjutnya radiasi yang diekspose ke mata lebih besar daripada

parietoorbital oblique.

2.6. Pemeriksaan Penunjang Lain pada Proptosis1,4,17,18

1. Pemeriksaan Primer

a. Computed Tomography, adalah teknik fotografi yang menggambarkan satu lapisan tubuh

pada suatu kedalaman tertentu, dan dapat digunakan untuk merekonstruksi setiap bagian

dan setiap potongan. Gambar orbital dapat diperoleh pada potongan aksial, yaitu sejajar

dengan saraf optik. Pada potongan koronal, akan menunjukkan mata, saraf optik, dan otot

luar mata, sedangkan pada potongan sagital, sejajar dengan nasal septum. 1,4

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging), adalah suatu alat pemeriksaan yang bersifat non

invasif, karena tidak menggunakan radiasi ionisasi, sehingga tidak menimbulkan efek

biologik. Pada dasarnya, MRI merupakan interaksi dari 3 komponen, yaitu atomic nuclei

possessing, gelombang radiofrekuensi dan bidang magnetik. Setiap jaringan orbita

memiliki parameter resonansi magnet yang berbeda-beda, yang kemudian ditangkap

menjadi data, lalu diubah menjadi gambar oleh komputer. Kelebihan MRI adalah tidak

menggunakan sinar X, gambar yang terjadi lebih rinci, dan dapat menghitung biokimia

jaringan, dan relatif jarang menimbulkan kerusakan jaringan. 1,4


52
c. Ultrasonografi Orbita (USG Orbita), biasanya digunakan untuk pemeriksaan pasien

dengan kelainan orbita. Ukuran, bentuk dan posisi dari jaringan normal dan abnormal

dapat diketahui dengan teknik ultrasound. Gambaran 2 dimensi jaringan dapat dilihat

dengan B scan Ultrasonography. Pada A scan, gambarannya hanya satu dimensi dari

jaringan lunak orbita, ditandai dengan spike yang bervariasi dari panjang dan tingginya

tergantung dari karakteristik tiap jaringan. Untuk Doppler ultrasonography, dapat

memberikan informasi khusus mengenai aliran darah (misalnya, kecepatan dan arah

aliran darah pada pasien dengan penyakit vaskular oklusi pembuluh darah atau kelainan

lain yang terkait dengan peningkatan aliran darah). Tetapi kekurangan dari

ultrasonography adalah keterbatasan dalam menilai lesi di osterior orbita (karena redaman

suara) atau sinus atau ruang intrakranial (karena suara tidak dapat melewati udara atau

tulang). 1,4

2. Pemeriksaan Sekunder

Pemeriksaan sekunder biasanya dilakukan dengan indikasi, pada kasus-kasus tertentu.

Termasuk dalam pemeriksaan sekunder adalah venography, arteriography, serta CT dan

MR angiography. 1,4

a. Venography, digunakan untuk menilai kelainan varises dan sinus kavernosus dengan

menyuntikkan kontras di vena frontal atau vena angularis. Karena aliran darah akan

menghasilkan sinyal kosong pada MRI, abnormalitas vena yang lebih besar dan

strukturnya dapat divisualisasikan dengan baik pada MR venography. Pada beberapa

malformasi pembuluh darah orbitocranial atau fistula, paling baik diakses melalui vena

oftalmika superior. 1,4

b. Arteriography, adalah gold standard untuk mendiagnosa kelainan arteri seperti aneurisma

dan malformasi arteri-vena. Kateter retrograde pada pembuluh darah cerebral dilakukan
53
lewat arteri femoralis. Namun, dapat terjadi komplikasi neurologis dan pembuluh darah

karena teknik pemasangan kateter dan suntikan pewarna radiopak ke dalam sistem arteri,

tes ini digunakan untuk pasien dengan probabilitas tinggi dengan lesi. Pemeriksaan ini

dianjurkan bila terdapat kesulitan membedakan massa dengan kelainan vaskular. Indikasi

arteriografi harus benar-nbenar terseleksi pada penderita terutama pada penderita dngan

lesi intrakranial atau lesi arterial seperti aneurisma. 1,4

CT dan MR Angiography, pemeriksaan ini memungkinkan untuk pemeriksa dalam

mendapatkan gambaran tentang arteri-vena malformasi, aneurysma, dan arteriovenous

fistula, tetapi disertai resiko dan ketidaknyamanan pasien dengan pemasangan kateter

intravaskular dan penyuntikan material kontras. MR angiography kurang sensitif

dibanding dengan direct angiography untuk mengidentifikasi carotid atau dural

cavernous sinus fistula. Saat memutuskan untuk melakukan pemeriksaan, ahli mata

sebaiknya berdiskusi dengan ahli radiologi tentang suspek lesi dan menentukan

pemeriksaan imaging yang terbaik untuk pasien. 1,4

3. Patologi

Pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan penunjang akhir yang menentukan

diagnosis, spesimen jaringan didapatkan dari tindakan orbitotomi untuk mengambil lesi

tersebut. Cara pemeriksaan yang bisa digunakan adalah frozen section. Frozen section

adalah sarana untuk menegakkan diagnosis histopatologik dengan cepat, saat penderita

masih di kamar bedah. Cara ini dipakai pada pengelolaan proses keganasan, yang

memungkinkan ahli bedah melanjutkan tindakan bedahnya atau terapi definitif lain yang

diperlukan. Indikasi frozen section yang spesifik adalah: 1,4

54
1. Menentukan jenis penyakit, apakah tumor tersebut hanya merupakan suatu

peradangan atau neoplasma. Bila tumor merupakan neoplasma, potong beku

menentukan tumor jinak atau ganas

2. Identifikasi jaringan

3. Menentukan luas penyakit, menetapkan batas sayatan atau menetapkan ada tidaknya

metastasis di dalam kelenjar limfe

4. Menentukan apakah jaringan biopsi sudah adekuat

55
BAB III
KESIMPULAN

Proptosis merupakan tanda kelainan pada orbita yang memiliki beberapa etiologi. Etiologi

dari proptosis dapat berupa infeksi seperti selulitis orbita, inflamasi seperti NSOI, vaskuler dan

trauma seperti CCF, maupun tumor jinak maupun ganas. Evaluasi terhadap proptosis untuk

menegakkan diagnosis pasti dan etiologi harus dilakukan secara sistematis melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang adekuat.

Pemeriksaan pada orbita harus dilakukan secara berurutan untuk menghindari terlewatinya

tanda-tanda penting padanya. Pemeriksaan dapat dimulai dengan memeriksa fungsi penglihatan,

perpindahan/pergerakan bola mata, keseimbangan okular dan duksi, fungsi periorbital, tanda-tanda

intraokular dan tanda-tanda penyakit sistemik. Walaupun begitu, riwayat kesehatan pasien secara

menyeluruh juga perlu untuk dikaji dan beberapa pertanyaan seperti riwayat penyakit dahulu dan

sekarang, cedera yang pernah dialami, operasi yang pernah dilakukan, dan terapi obat yang pernah

didapat harus ditanyakan kepada pasien.

Evaluasi dan penanganan dari penyakit orbital telah berkembang sedemikian rupa terutama

pada peningkatan teknik pencitraan (imaging technique). Computed Tomography (CT) Scanning,

Magnetic Resonance Imaging (MRI), Ultrasonografi Orbital, Angiography, Positron Emission

Tomography (PET), Octreotide Skintigraf, dan diagnosis jaringan merupakan beberapa bentuk tes

tambahan yang tersedia dan semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi yang ada.

Pemeriksaan klinis dapat menyediakan petunjuk umum tentang lesi tersembunyi sedangkan

evaluasi lainnya seperti evaluasi radiologis, USG, CT, dan MRI dapat mengkonfirmasi diagnosis

tersebut.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Moeloek NF, Usman TA. Pandangan Umum dan Penatalaksanaan Tumor Orbita.

Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta. 1992.

2. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Fundamentals and Principles of ophthalmology.

Edition 2010-2011. Section 2. The Foundation of the American Academy of

Ophthalmology. 2010

3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit

FKUI, Jakarta. 2004

4. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. Edition

2010-2011. Section 7. The Foundation of the American Academy of Ophthalmology.

2010

5. Kanski JJ, Bowling B. Cinical Ophthalmology : A Systemic Approach. Seventh Edition.

Elsevier Saunders, London, New York. 2011

6. Burnside, John W et al. 1991. Diagnosis Fisik. Jakarta;EGC

7. American Academy ofOphthalmology Staff. Evaluation of Orbital Disorders. In:

American Academy of Ophthalmology Staff, editor. Orbit, Eyelid and Lacrimal System.

Basic and Clinical Science Course. Sec 7. San Fransisco: The foundation of American

Academy of Ophthalmology; 2014-2015.

8. Barry, Seltz L. Microbiology and Antibiotic Management of Orbital Cellulitis. Pediatric

Official Journal of The Academy of Pediatric. 2011.

9. Collin and Rose. 2001. Fundamental of Clinical Opthalmology: Plastic and Orbital

Surgery. Tavistock Square, London, BMJ Books

57
10. Bartalena L and Tanda ML. Graves' Ophthalmopathy. N Engl J Med 2009; 360:994-1001

11. Garrity, James A.; Henderson, John Warren. 2007. Henderson's Orbital Tumors, 4th

Edition. Riverwood. Lippincott Williams & Wilkins

12. Rauniyar RK, Thakur SD, Panda A, Sharma U. 2011. Radiological Evaluation of Orbit

in cases of Proptosis in Eastern Nepal. NJR 2011;1(1):8–14

13. Karcioglu, ZA. Orbital Tumors: Diagnosis and Treatment. New York,USA: Springer

14. Collin and Rose. 2001. Fundamental of Clinical Opthalmology: Plastic and Orbital

Surgery. Tavistock Square, London, BMJ Books

15. Bartalena L and Tanda ML. Graves' Ophthalmopathy. N Engl J Med 2009; 360:994-1001

16. Garrity, James A.; Henderson, John Warren. 2007. Henderson's Orbital Tumors, 4th

Edition. Riverwood. Lippincott Williams & Wilkins

17. Naik MN, Tourani KL, Sekhar G C, Honavar SG. Interpretation of computed

tomography imaging of the eye and orbit. A systematic approach. Indian J Ophthalmol

2002;50:339- 53

18. Imbrasienė D, Paunksnis A, Jankauskienė J, Žaliūnienė D, Stanislovaitienė D, Karaliūtė

R. Orbital Ultrasonography for Diagnosis and Evaluation of Retrobulbar Vascular

Disorders. Ultragarsas (Ultrasound), Vol. 65, No. 3, 2010.

58
59

Anda mungkin juga menyukai