Oleh :
Pembimbing :
BAGIAN/SMF THT-KL
BANJARMASIN
Juli, 2023
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
unilateral pada dinding belakang faring, mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.7
Dalam beberapa abad terakhir, diagnosis dan pengobatan infeksi leher
dalam merupakan suatu tantangan baik bagi dokter maupun ahli bedah.
Disamping struktur yang kompleks dan lokasi yang dalam pada region leher,
menyebabkan diagnosis dan pengobatan cukup sulit. Infeksi ini merupakan
masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan.
Prinsip penatalaksanaan abses leher dalam adalah menjaga patensi jalan nafas,
pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, hidrasi dan nutrisi adekuat dan
intervensi bedah dalam evakuasi abses baik dengan anestesi lokal maupun umum.
Meskipun penggunaan antibiotik telah menurunkan angka kematian akibat abses
leher dalam namun abses leher dalam masih merupakan masalah yang serius dan
menimbulkan komplikasi yang dapat mengancam nyawa. Diagnosis yang
terlambat atau misdiagnosis dapat mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan
yang dapat menimbulkan kematian.4,8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
3
4
B. Definisi
Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang
terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat dari kerusakan
jaringan yang merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber infeksi seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher, selain itu bisa
disebabkan oleh sialadenitis kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma atau
pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.
Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau campuran.1,5
Terdapat berbagai ruang yang menjadi tempat terjadinya abses leher dalam
diantaranya ruang submandibula, peritonsil, parafaring, retrofaring, parotid, dan
angina ludwig.4
Abses submandibula menempati urutan tertinggi dari seluruh abses leher
dalam. Abses submandibular yaitu terjadinya pembentukan pus didaerah ruang
submandibula yang merupakan suatu ruang potensial pada leher yang terdiri dari
ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Infeksi di
5
Abses di ruang submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang
sering ditemukan dan menempati urutan tertinggi dari seluruh abses leher
dalam.5,7 Abses submandibula dapat menyerang laki-laki maupun perempuan.14
Beberapa penelitian mendapatkan angka kejadiannya lebih banyak pada laki-laki
daripada perempuan.15 Selain itu, angka kejadian juga ditemukan lebih tinggi pada
daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang lengkap.14 Angka kejadian abses
parafaring tidak diketahui secara pasti, namun dari beberapa literatur dilaporkan
18-23,5%, namun menurut hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat,
ditemukan negara maju lebih rendah angka morbiditasnya dibanding negara
berkembang, hal ini disebabkan karena penanganan abses parafaring yang lebih
cepat, alat-alat medis yang lebih modern, perkembangan antibiotik yang lebih
maju, protokol penanganan dan tehnik operasi yang lebih baik. Usia terbanyak
penderita abses parafaring adalah usia sekitar lima tahun dan tiga puluh tahun,
dengan predominasi pada lelaki.16 Sedangkan abses retrofaring jarang ditemukan
pada usia dewasa. Abses retrofaring lebih sering ditemukan pada anak, 90% kasus
abses retrofaring ditemukan pada anak-anak usia di bawah 6 tahun. Hal ini
disebabkan oleh infeksi dari hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal yang
menyebar ke kelenjar limfe retrofaring pada anak-anak yang biasa disebut
kelenjar Rouviere. Kelenjer ini akan mengalami regresi setelah anak berusia 5
tahun.17
Tabel 2.2 Jenis Parasit dan Bahan Asing Penyebab Infeksi Abses Submandibula20
Parasit Bahan Asing
Dracunculiasis Myiasis Serpihan
Luka tembak
Jarum injeksi
Mekanisme penyebaran yang paling diterima adalah penyebaran infeksi
limfatik dari rongga mulut, wajah dan kompartemen superfisial ke ruang dalam
leher. Penyebaran ini menyebabkan limfadenopati servikal yang dapat
menyebabkan pus dan pembentukan abses, dan luka tembus, yang dapat
menyebabkan infeksi ke ruang leher yang lebih dalam. Infeksi ini dapat menyebar
melalui bidang fasia, dan pus yang terakumulasi dapat memperluas ruang
potensial antara berbagai lapisan fasia serviks dalam.13 Drainase abses dari ruang
8
demam serta malaise. Infeksi yang terjadi secara kronis sering kali ditandai
dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan rasa sakit, serta reaksi
ringan dari jaringan sekitarnya. Infeksi odontogenik disebabkan oleh bakteri yang
berada didalam plak, dalam sulkus gingiva, dan pada mukosa mulut. Jenis bakteri
tersebut pada kondisi normal merupakan flora normal di dalam rongga mulut.
Bakteri yang umumnya ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram positif, kokus
anaerob gram positif dan batang anaerob gram negatif. Bakteri-bakteri tersebut
dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis serta dapat menimbulkan
infeksi odontogenik jika masuk melalui pulpa yang nekrosis dan poket periodontal
yang dalam. Infeksi odontogenik diklasifikasikan menjadi Group 1-4.20
E. Patogenesis
Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang
terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri,
parasit atau benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan yang
bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya. Pus itu
sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah
putih, organisme penyebab infeksi atau bendabenda asing dan racun yang
dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah.
Bakteri yang masuk kedalam jaringan yang sehat dapat menyebabkan
terjadinya infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sesel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan setelah
menelan bakteri maka sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah
yang membentuk pus dan mengisi rongga tersebut. Adanya penimbunan pus ini
menyebabkan jaringan disekitarnya akan terdorong dan tumbuh di sekeliling
abses menjadi dinding pembatas.
Infeksi ruang leher dalam dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu
limfogen, hematogen, perkontinuitatum dan infeksi langsung. Beratnya infeksi
10
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Ruang
submandibula terletak diantara otot dan kulit milohyoid yang memiliki batas
posterior yang terbuka sehingga berhubungan dengan ruang di dekatnya. Saat
ruang submandibula mengalami infeksi, pembengkakan dimulai pada batas
inferior lateral dari mandibula dan meluas ke medial menuju area digastrikus dan
ke posterior menuju tulang hyoid.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau odontogenik
merupakan penyebab terbanyak dari abses submandibula. Infeksi gigi dapat
mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui
foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Pada infeksi odontogenik
perkembangan infeksi dapat terjadi antara satu hari sampai tiga minggu. Infeksi
dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikator kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula.
Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar melalui jaringan ikat,
pembuluh darah, dan pembuluh limfe. Yang paling sering terjadi adalah
perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Perjalanan infeksi pada rahang atas
dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, thrombosis sinus
kavernosus, abses labial, dan abses fasial. Perjalanan infeksi pada rahang bawah
dapat membentuk abses sublingual, submental, abses submandibula, abses
submaseter, dan angina Ludovici. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di
belakang bawah linea milohioid yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga
jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya akan
menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaring.21
F. Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat sakit gigi,
faktor predisposisi seperti diabetes melitus, imunodefisiensi, riwayat trauma atau
tertelan tulang, riwayat tuberkulosis, riwayat penyalahgunaan obat dan terapi yang
11
telah diberikan kepada pasien. Dari anamnesa juga ditanyakan adanya riwayat
penyakit infeksi lain yang dapat menjadi sumber infeksi dari abses submandibula
diantaranya adalah infeksi gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula,
adanya trauma serta kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lainnya. Gejala
dapat bervariasi tergantung dari progresivitas penyakit. Abses leher dalam yang
berat dapat menimbulkan gejala lain yang merupakan manifestasi dari komplikasi
abses leher dalam seperti gangguan jalan napas, syok septik dan mediastinitis.4,17,21
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai
dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral yang nyeri
tekan, hiperemi dan berfluktuasi. Pembengkakan di bawah rahang dapat juga
disertai dengan pembengkakan di bawah lidah serta adanya trismus. Terdapat
adanya pus pada aspirasi yang dilakukan di tempat pembengkakan tersebut.6
untuk kultur dan uji sensitivitas harus dilakukan sebelum pemberian antibiotika
secara empiris. Sedapat mungkin dilakukan kultur aerob dan anaerob. Pus dari
aspirasi akan memberikan hasil kultur yang paling akurat. Hasil kultur yang
negatif dapat memberi kesan bahwa penyebab abses leher dalam adalah infeksi
oleh bakteri anaerob. Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan
adanya abses pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses
leher dalam yang diduga sumber infeksinya berasal dari gigi.
Pemeriksaan penting pada abses leher dalam meliputi rontgen leher dengan
posisi anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya
proses infeksi di ruang leher dalam dengan adanya udara di daerah subkutan,
adanya pembengkakan, gambaran cairan di daerah jaringan lunak serta adanya
penyempitan di saluran nafas akibat pendorongan trakea. Pemeriksaan foto polos
dada dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi dengan didapatkannya
gambaran pneumotoraks serta pneumomediastinum yang merupakan indikator
pembentukan abses yang berasal dari leher dalam. Jika hasil pemeriksaan foto
polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses leher dalam, maka idealnya
dilakukan pemeriksaan Computed Tomography scan atau CT scan dengan kontras
yang merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat
menentukan lokasi dan perluasan abses, adanya pelebaran mediastinum akibat
mediastinitis, adanya edema paru serta pneumomediastinum akibat komplikasi.
Pada CT scan dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang
berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan sekitarnya. CT
scan memiliki sensitifitas 90% dan spesifisitas 60%. Pemeriksaan penunjang
lainnya adalah Magnetic Resonance Imaging atau MRI yang dapat mengetahui
lokasi abses, perluasan dan sumber infeksi, sedangkan Ultrasonografi atau USG
adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih
murah dibandingkan CT scan serta dapat menilai lokasi dan perluasan abses.4
Pada foto polos servikal tampak penebalan retrofaring lebih dari 7 mm di
servikal 2 dan lebih dari 22 mm di servikal 6 atau lebih dari ½ korpus vertebra.
Pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk membedakan apakah penebalan
jaringan lunak di retrofaring suatu abses abses, selulitis, masa atau perluasan abses
14
Gambar 2.6 Rontgen Servikal AP-Lateral. Terdapat gambaran opak dengan kepadatan
jaringan lunak dan gambaran lucent pada daerah submandibular yang
mendukung diagnosis abses mandibula.22
Gambar 2.7 Foto Rontgen Servikal Lateral Abses Retrofaring. Tampak gambaran soft
tissue dengan gambaran udara di dalamnya.17
Gambar 2.8 CT-scan pasien menunjukkan lesi hipodens berbatas tidak tegas pada
ruang parafaring kiri
15
Gambar 2.9 CT Scan Kontras Leher dan Dada (Irisan koronal) dengan Mediastinitis,
terjadi perluasan infeksi ke ruang pleura. 23
G. Tatalaksana
Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses leher
dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan napas, pernafasan dan sirkulasi,
pemilihan antibiotika dan pembedahan. Karena abses leher dalam memiliki
potensi untuk mengancam nyawa maka pasien harus dirawat di rumah sakit. Jalan
nafas merupakan masalah utama dalam penatalaksanaan pasien dengan abses
retrofaring, begitu juga dengan intubasi endotrakeal saat operasi. Trakeostomi
dianjurkan jika ditemukan abses yang luas untuk mencegah ruptur dan aspirasi
selama intubasi.
Tindakan eksplorasi abses dapat melalui transoral maupun eksternal.
Drainase abses dapat dilakukan dengan aspirasi abses yang kemudian dilanjutkan
dengan insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang
ditimbulkannya. Evakuasi abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun
dengan anestesi umum. Insisi abses submandibula untuk drainase dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas
abses. Insisi tersebut sedapat mungkin sejajar dengan garis lipatan kulit alamiah
menembus jaringan subkutan, muskulus platisma sampai ke fasia servikal
profunda. Diseseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke dalam rongga
abses dan kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga abses diirigasi
dengan larutan garam fisiologis dan dipasang drain. Pada abses yang masih
terlokalisasi pada ruang retrofaringeal bagian atas dan tidak ada tanda obstruksi
jalan nafas insisi transoral adalah pilihan. Pada abses yang cukup besar dan
meluas ke arah hipofaring insisi transoral tidak cukup menjamin drainase yang
baik, sehingga disarankan melakukan insisi eksternal.17
Pilihan antibiotika ini tergantung pada bakteri penyebabnya yang didasarkan
atas hasil kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotika. Namun demikian
antibiotika empiris intravena harus diberikan segera setelah mengambil spesimen
kultur tanpa menunggu hasil kultur tersebut. Umumnya sebelum didapatkan hasil
kultur, pasien diberikan antibiotik intravena dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
17
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Bisa diberikan kombinasi antibiotik yang sensitif untuk kumakuman gram positif,
negatif kuman-kuman anaerob. Insisi dan eksplorasi dapat ditunda 24-36 jam
sambil menunggu perbaikan dengan pemberian antibiotik. Jika tidak ada
perbaikan segera lakukan tindakan bedah, namun sebelumnya lakukan aspirasi
untuk memastikan adanya pus. Paksa operasi bisa diberikan antibiotik intravena
sampai 48 jam bebas demam. Setelah itu bisa dihentikan dan diganti antibiotik
oral selama dua minggu.17,
Gambar 2.10 Tempat Insisi Tipikal Untuk Insisi Ekstraoral Dan Drainase.
Postoperatif
Sesudah operasi yang perlu dimonitor adalah tanda-tanda respon terhadap
terapi, kultur dan sensitifitas kuman terhadap antibiotik, ada tidaknya tanda-tanda
19
sumbatan jalan nafas, dan ada tidaknya komplikasi dari abses parafaring.17
Gambar 2.11 Bagan Penanganan Infeksi Leher Dalam di Ruang Gawat Darurat.25
H. Komplikasi
Pada abses leher dalam, komplikasi yang mengancam jiwa seperti obstruksi
saluran napas bagian atas, trombosis vena jugularis, mediastinitis desendens,
emboli septik vena, ruptur arteri karotis, dan sindrom gangguan pernapasan, syok
septik, dan koagulopati intravaskular diseminata. Jika abses leher dalam menyebar
ke arah mediastinum, kemungkinan kematian meningkat. Kecenderungan ke arah
mediastinitis umumnya terkait dengan abses retrofaringeal. Pyothorax fatal terjadi
karena keterlibatan sekunder pleura setelah mediastinitis dapat terlihat abses
retropharyngeal akut yang masif. Komplikasi seperti trombosis sinus kavernosus
telah didokumentasikan pada pasien dengan abses parafaringeal. Kadang-kadang,
komplikasi vaskular ditemukan karena perluasan abses leher dalam ke ruang
vaskular yang mengakibatkan situasi yang mengancam jiwa. Penyebaran abses
lebih lanjut ke mediastinum dapat terjadi melalui selubung karotis (Lincoln
highway). Satu studi menunjukkan bahwa ruptur arteri utama di leher akibat abses
leher dalam memiliki angka kematian 20%-40%, terlepas dari pengobatan yang
20
I. Pencegahan
Pencegahan infeksi odontogenik mencakup semua aspek perawatan gigi
termasuk karies gigi, penyakit pulpa dan periodontal, kondisi patologis, trauma
dan operasi restoratif serta implan. Pengobatan infeksi odontogenik terutama
dilakukan dengan pembedahan yang bertujuan untuk menghilangkan sumbernya.
Terapi saluran akar, pencabutan gigi dan insisi serta drainase ruang yang
terinfeksi biasanya didukung oleh antibiotik dan tindakan lain untuk
21
PENUTUP
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Yue R, Moehario LH. Microbe pattern and risk factors of deep neck abscess
patients in Atma Jaya hospital. Damianus Journal of Medicine. 2021; 20(1).
4. Swain SK, Lenka S, Jena PP. Deep neck abscess: our experiences at a
tertiary care teaching hospital of Eastern India. matrix science medica. 2022;
6(1):18-22.
9. Aynehchi BB, Har-El G. Deep neck infections. Dalam: Johnson JT, Rosen
CA, penyunting. Bailey’s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi
ke5. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h. 794-814.
10. Aynehchi, Behrad B. dan Har-El, Gady. 2013. Deep Neck Infections.
Dalam: Bailey, Byron J. (Editor). Bailey’s Head and Neck Surgery–
Otolaryngology Volume 1 (edisi ke-5) (halaman 794– 811). Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia, US
23
24
13. Alvarado AP, et al. Prevalence, morbidity and mortality of deep neck
abscess in a tertiary hospital from Northwestern Mexico. Romanian Journal
of Rhinology. 2021; 11(41):41-46.
14. Hesly, I., Lumintang, N., & Limpeleh, H. (2014). Profil abses submandibula
di bagian bedah RS Prof. Dr. R. D. Kando Manado Periode Juni 2009
sampai Juli 2012. E-CliniC, 2(1), 0–1.
16. Dewantara IPS, Putra IDGAE, Sucipta IW. Penanganan abses parafaring
dengan pendekatan transoral. Medicina. 2017; 48(1):62-66.
19. Sharma K, Das D, Joshi M, Barman D, Sarma AJ. Deep neck space
infections – A study in diabetic population in a tertiary care centre. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg 2018; 70:22-7.
20. Aryani, Fardani SR, dkk. Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses
Submandibula. Indonesian Journal of Dentistry. 2022; 2(1):7-15.
21. Dewi IGA, Putra DG, Sucipta IW. Abses ruang submandibula sinistra
dengan perluasan ke ruang submental. Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar. 1-47.
23. Alvarado AP, et al. Prevalence, morbidity and mortality of deep neck
abscess in a tertiary hospital from Northwestern Mexico. Romanian Journal
of Rhinology. 2021; 11(41):41-46.
25