Anda di halaman 1dari 27

Referat

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


ABSES SUBMANDUBULA, PARAFARING, DAN RETROFARING

Oleh :

Ana Chairunnisa NIM. 2130912320103

Fajar Satria Rahman NIM. 2130912310065

Siti Arika Bulan Shabhana NIM. 2130912320152

Nur Miftahul Jannah NIM. 2130912320104

Helda Pareang NIM. 2130912320099

Pembimbing :

dr. Hamita, Sp.THT-KL

BAGIAN/SMF THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Juli, 2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3

BAB III PENUTUP.................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang


terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat dari kerusakan
jaringan yang merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber infeksi yang
sebagian besar berasal dari faring (36-47%) atau odontogenik (33-45%), lalu
turun di sepanjang ruang parafaring, karotis, prevertebral atau pretrakeal dan lebih
jauh ke mediastinum.1,2 Pada saat ini infeksi tonsil merupakan penyebab utama
pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa infeksi terutama bersumber dari
gigi atau odontogenik.3 Berbagai ruang dapat menjadi tempat terjadinya abses
leher dalam diantaranya ruang submandibula, peritonsil, parafaring, retrofaring,
parotid, dan angina ludwig.4
Abses di ruang submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang
sering ditemukan. Ruang submandibula merupakan suatu ruang potensial pada
leher yang terdiri dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot
milohioid. Infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai dengan
pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral.5,6
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis atau kelenjar limfatik. Abses ini juga dapat terjadi akibat penjalaran abses
leher dalam yang berdekatan seperti abses peritonsil, abses submandibula, abses
retrofaring maupun mastikator. Gejalanya berupa demam, trismus, nyeri
tenggorok, odinofagia dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring kearah
medial, pembengkakan di sekitar angulus mandibula.7
Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi,
terutama terjadi pada bayi atau anak dibawah dua tahun. Gejala biasanya
odinofagia dan disfagia. Selain itu, juga dapat muncul gejala demam, pergerakan
leher terbatas dan sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan
sumbatan jalan nafas terutama di hipofaring. Pada pemeriksaan tampak benjolan

1
2

unilateral pada dinding belakang faring, mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.7
Dalam beberapa abad terakhir, diagnosis dan pengobatan infeksi leher
dalam merupakan suatu tantangan baik bagi dokter maupun ahli bedah.
Disamping struktur yang kompleks dan lokasi yang dalam pada region leher,
menyebabkan diagnosis dan pengobatan cukup sulit. Infeksi ini merupakan
masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan.
Prinsip penatalaksanaan abses leher dalam adalah menjaga patensi jalan nafas,
pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, hidrasi dan nutrisi adekuat dan
intervensi bedah dalam evakuasi abses baik dengan anestesi lokal maupun umum.
Meskipun penggunaan antibiotik telah menurunkan angka kematian akibat abses
leher dalam namun abses leher dalam masih merupakan masalah yang serius dan
menimbulkan komplikasi yang dapat mengancam nyawa. Diagnosis yang
terlambat atau misdiagnosis dapat mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan
yang dapat menimbulkan kematian.4,8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Gambar 2.1 Ruang Leher Dalam9

Gambar 2.2 Penampang Leher Pada Orofaring. 1. ruang parapharyngeal, 2. ruang


karotis, 3. ruang retropharyngeal, 4.ruang bahaya, 5. ruang prevertebral ;
AD, divisi alar lapisan dalam; PO , divisi prevertebral lapisan dalam. 9

3
4

Leher merupakan bagian tubuh yang memiliki anatomi yang kompleks.


Leher disusun oleh bermacam struktur yang berupa lapisan-lapisan dan pada
bagian dalamnya terdapat dua fasia, yaitu fasia leher superfisial dan fasia leher
profunda. Fasia leher luar merupakan lapisan yang tersusun oleh jaringan ikat
longgar areolar dan jaringan lemak yang melapisi dari kepala hingga ke bagian
dada, dan dari bahu ke aksila. Di dalam fasia leher luar terdapat otot-otot wajah,
saraf-saraf kutaneus, pembuluh darah dan pembuluh. Kedua fasia yang telah
disebut sebelumnya akan menciptakan ruang-ruang yang jelas secara anatomis.
Dalam pembagian ruang-ruang ini, digunakan tulang rawan hioid sebagai
pembatas sehingga dibuat tiga kelompok besar ruang leher dalam yaitu ruang
yang meliputi keseluruhan leher (ruang retrofaringeal, danger space, ruang
prevertebral, dan ruang carotid), ruang suprahioid (ruang parafaringeal, ruang
submandibular, ruang sublingual, ruang parotid, ruang mastikator, ruang
peritonsiler, dan ruang temporal), dan ruang infrahioid (ruang visera anterior, dan
ruang suprasternal).10

B. Definisi
Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang
terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat dari kerusakan
jaringan yang merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber infeksi seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher, selain itu bisa
disebabkan oleh sialadenitis kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma atau
pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.
Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau campuran.1,5
Terdapat berbagai ruang yang menjadi tempat terjadinya abses leher dalam
diantaranya ruang submandibula, peritonsil, parafaring, retrofaring, parotid, dan
angina ludwig.4
Abses submandibula menempati urutan tertinggi dari seluruh abses leher
dalam. Abses submandibular yaitu terjadinya pembentukan pus didaerah ruang
submandibula yang merupakan suatu ruang potensial pada leher yang terdiri dari
ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Infeksi di
5

ruang submandibula biasanya ditandai dengan pembengkakan di bawah rahang,


baik unilateral atau bilateral.5
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
ruang parafaring.11 Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil,
adenoid, gigi, parotis atau kelenjar limfatik akan tampak pembengkakkan daerah
parafaring, pendorongan dinding lateral faring kearah medial, pembengkakan di
sekitar angulus mandibula. Abses ini juga dapat terjadi akibat penjalaran abses
leher dalam yang berdekatan seperti abses peritonsil, abses submandibula, abses
retrofaring maupun mastikator.7
Abses retrofaring adalah kumpulan pus di bagian belakang tenggorokan.
Gejalanya meliputi kesulitan dan nyeri saat menelan, demam, leher kaku, dan
pernapasan yang berisik dan akan tampak benjolan unilateral pada dinding
belakang faring, mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.7,12
C. Epidemiologi
Kejadian abses leher dalam dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Sehubungan dengan usia, abses leher dalam telah terbukti lebih serius
pada orang dewasa daripada anak-anak, memiliki partisipasi multiruang yang
lebih besar dan menyebabkan lebih banyak komplikasi. Tingkat kematian
bervariasi dari 1,6% sampai 7,6% dengan beban biaya terkait untuk sistem
kesehatan.13
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi evolusi penyakit dan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, yaitu usia, penyakit penyerta, jumlah
dan jenis ruang yang terkena. Pasien dengan diabetes mellitus memiliki
kecenderungan yang lebih besar terhadap infeksi, dan karena terkait dengan
penurunan respon imun diperdebatkan (defisiensi fagositosis, kemotaksis, atau
kepatuhan sel polimorfonuklear, respon sitokin yang buruk, dan kerusakan pada
sistem antioksidan). Komorbiditas lain diwakili oleh penyakit imunologi (infeksi
HIV, pengobatan dengan steroid atau kemoterapi). Pasien-pasien ini memiliki
risiko presentasi atipikal yang lebih tinggi (berbagai manifestasi klinis) yang
berkembang menjadi komplikasi yang lebih serius, sehingga harus diidentifikasi
sejak dini dan diobati secara memadai untuk meminimalkan risiko.13
6

Abses di ruang submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang
sering ditemukan dan menempati urutan tertinggi dari seluruh abses leher
dalam.5,7 Abses submandibula dapat menyerang laki-laki maupun perempuan.14
Beberapa penelitian mendapatkan angka kejadiannya lebih banyak pada laki-laki
daripada perempuan.15 Selain itu, angka kejadian juga ditemukan lebih tinggi pada
daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang lengkap.14 Angka kejadian abses
parafaring tidak diketahui secara pasti, namun dari beberapa literatur dilaporkan
18-23,5%, namun menurut hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat,
ditemukan negara maju lebih rendah angka morbiditasnya dibanding negara
berkembang, hal ini disebabkan karena penanganan abses parafaring yang lebih
cepat, alat-alat medis yang lebih modern, perkembangan antibiotik yang lebih
maju, protokol penanganan dan tehnik operasi yang lebih baik. Usia terbanyak
penderita abses parafaring adalah usia sekitar lima tahun dan tiga puluh tahun,
dengan predominasi pada lelaki.16 Sedangkan abses retrofaring jarang ditemukan
pada usia dewasa. Abses retrofaring lebih sering ditemukan pada anak, 90% kasus
abses retrofaring ditemukan pada anak-anak usia di bawah 6 tahun. Hal ini
disebabkan oleh infeksi dari hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal yang
menyebar ke kelenjar limfe retrofaring pada anak-anak yang biasa disebut
kelenjar Rouviere. Kelenjer ini akan mengalami regresi setelah anak berusia 5
tahun.17

D. Etiologi dan Patogenesis


Diperkirakan 50-70% kasus berasal dari infeksi odontogenik, meskipun
penyebab lain termasuk: infeksi saluran napas atas, trauma, parotitis, benda asing
di saluran napas, riwayat instrumentasi dan penggunaan obat intravena. Sementara
itu, etiologi yang kurang diketahui bervariasi dalam literatur dan tetap antara 8
dan 57% dari kasus. Laporan kultur nanah dari abses leher dalam bersifat
polimikrobial, terutama mencerminkan flora rongga mulut; organisme aerob dan
anaerob diisolasi, dan organisme Gram-positif dan Gram-negatif dikultur. Di sisi
lain, dalam kaitannya dengan lokasinya, harus mempertimbangkan anatomi kepala
dan leher yang kompleks, karena banyaknya ruang yang saling terhubung, ruang
7

dalam telah dideskripsikan menurut hubungannya dengan tulang hyoid. Ruang-


ruang ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: ruang yang terletak di atas tingkat
hyoid (peritonsillar, submandibular, parapharyngeal, buccal, parotis, masticatory);
ruang yang melibatkan seluruh lingkar leher (retrofaringeal, ruang berbahaya,
prevertebral dan karotis); dan ruang visceral anterior atau pretrakeal, di bawah
tulang hyoid. Abses leher dalam dapat menyebabkan keterlibatan saluran napas
cepat (descending mediastinitis) trombosis vena jugularis interna, erosi arteri,
pneumonia, meningitis, dan perluasan intrakranial.13

Tabel 2.1 Jenis Bakteri Penyebab Infeksi Abses Submandibula20

Tabel 2.2 Jenis Parasit dan Bahan Asing Penyebab Infeksi Abses Submandibula20
Parasit Bahan Asing
Dracunculiasis Myiasis Serpihan
Luka tembak
Jarum injeksi
Mekanisme penyebaran yang paling diterima adalah penyebaran infeksi
limfatik dari rongga mulut, wajah dan kompartemen superfisial ke ruang dalam
leher. Penyebaran ini menyebabkan limfadenopati servikal yang dapat
menyebabkan pus dan pembentukan abses, dan luka tembus, yang dapat
menyebabkan infeksi ke ruang leher yang lebih dalam. Infeksi ini dapat menyebar
melalui bidang fasia, dan pus yang terakumulasi dapat memperluas ruang
potensial antara berbagai lapisan fasia serviks dalam.13 Drainase abses dari ruang
8

leher dalam yang berbeda biasanya kompleks karena struktur neurovaskular


berada di dekat ruang dan komunikasi ke bagian lain dari tubuh seperti
mediastinum dan tulang ekor.4 Infeksi tonsil dan peritonsillar adalah sumber
umum infeksi leher dalam sebelum era antibiotik, namun infeksi odontogenik
adalah sumber infeksi yang umum saat ini.4 Satu studi mendokumentasikan bahwa
infeksi tonsil adalah penyebab paling umum untuk infeksi leher dalam dan abses
pada kelompok usia anak-anak, sedangkan infeksi odontogenik adalah penyebab
paling umum untuk infeksi ruang leher dalam pada orang dewasa.18,19
Infeksi odontogenik merupakan jenis infeksi yang paling umum terjadi di
rongga mulut dengan prevalensi sebesar 34,21%. Infeksi odontogenik bisa
merupakan awal ataupun kelanjutan dari penyakit periodontal, perikoronal,
trauma, maupun infeksi pasca pembedahan.20 Infeksi odontogenik biasanya
menyebar dari mandibula atau maksila ke ruang sublingual, submandibular, atau
pengunyahan, yang secara langsung menyebar ke ruang parafaringeal.4
Tubuh mengadakan respon imunologik dengan aktivasi PMN di area
infeksi, kemudian mengaktifkan sel T dan sel B untuk memproduksi antibodi
yang akan memberikan perlawanan terhadap antigen. Sel epitel yang teraktivasi
bakteri akan melepaskan mediator inflamasi IL-1, IL-8, PGE2, TNF-α dan matriks
metaloproteinase (MMP). IL-1 akan dapat menstimulasi aktivitas osteoklas
sehingga menyebabkan resorbsi tulang. IL-8 berperan dalam menstimulasi
kerusakan jaringan ikat dan resorbsi tulang. TNF-α akan mempengaruhi respon
vaskular lokal, resorbsi tulang, dan degradasi maktriks ekstraseluler secara
intensif. MMP memegang peranan penting dalam remodelling jaringan normal
dan pertubuhan. PGE2 dapat meningkatkan destruksi matriks ekstraseluler
gingiva dan merangsang resorbsi tulang. Kondisi ini menjadi respon awal dari
jaringan terhadap stimuli bakteri, dan akan tampak sebagai tanda awal inflamasi
pada jaringan rongga mulut. Infeksi dapat terjadi secara terlokalisir atau
menyebar secara cepat ke sisi wajah lain, bergantung pada virulensi bakteri,
resistensi host, dan anatomi tempat terjadinya infeksi. Infeksi dapat terjadi secara
akut atau kronis dan bersifat subyektif. Infeksi yang bersifat akut umumnya
disertai dengan edema dan rasa sakit yang hebat juga reaksi pada tubuh berupa
9

demam serta malaise. Infeksi yang terjadi secara kronis sering kali ditandai
dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan rasa sakit, serta reaksi
ringan dari jaringan sekitarnya. Infeksi odontogenik disebabkan oleh bakteri yang
berada didalam plak, dalam sulkus gingiva, dan pada mukosa mulut. Jenis bakteri
tersebut pada kondisi normal merupakan flora normal di dalam rongga mulut.
Bakteri yang umumnya ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram positif, kokus
anaerob gram positif dan batang anaerob gram negatif. Bakteri-bakteri tersebut
dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis serta dapat menimbulkan
infeksi odontogenik jika masuk melalui pulpa yang nekrosis dan poket periodontal
yang dalam. Infeksi odontogenik diklasifikasikan menjadi Group 1-4.20

E. Patogenesis
Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang
terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri,
parasit atau benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan yang
bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya. Pus itu
sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah
putih, organisme penyebab infeksi atau bendabenda asing dan racun yang
dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah.
Bakteri yang masuk kedalam jaringan yang sehat dapat menyebabkan
terjadinya infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sesel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan setelah
menelan bakteri maka sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah
yang membentuk pus dan mengisi rongga tersebut. Adanya penimbunan pus ini
menyebabkan jaringan disekitarnya akan terdorong dan tumbuh di sekeliling
abses menjadi dinding pembatas.

Infeksi ruang leher dalam dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu
limfogen, hematogen, perkontinuitatum dan infeksi langsung. Beratnya infeksi
10

tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Ruang
submandibula terletak diantara otot dan kulit milohyoid yang memiliki batas
posterior yang terbuka sehingga berhubungan dengan ruang di dekatnya. Saat
ruang submandibula mengalami infeksi, pembengkakan dimulai pada batas
inferior lateral dari mandibula dan meluas ke medial menuju area digastrikus dan
ke posterior menuju tulang hyoid.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau odontogenik
merupakan penyebab terbanyak dari abses submandibula. Infeksi gigi dapat
mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui
foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Pada infeksi odontogenik
perkembangan infeksi dapat terjadi antara satu hari sampai tiga minggu. Infeksi
dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikator kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula.
Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar melalui jaringan ikat,
pembuluh darah, dan pembuluh limfe. Yang paling sering terjadi adalah
perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Perjalanan infeksi pada rahang atas
dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, thrombosis sinus
kavernosus, abses labial, dan abses fasial. Perjalanan infeksi pada rahang bawah
dapat membentuk abses sublingual, submental, abses submandibula, abses
submaseter, dan angina Ludovici. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di
belakang bawah linea milohioid yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga
jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya akan
menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaring.21

F. Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat sakit gigi,
faktor predisposisi seperti diabetes melitus, imunodefisiensi, riwayat trauma atau
tertelan tulang, riwayat tuberkulosis, riwayat penyalahgunaan obat dan terapi yang
11

telah diberikan kepada pasien. Dari anamnesa juga ditanyakan adanya riwayat
penyakit infeksi lain yang dapat menjadi sumber infeksi dari abses submandibula
diantaranya adalah infeksi gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula,
adanya trauma serta kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lainnya. Gejala
dapat bervariasi tergantung dari progresivitas penyakit. Abses leher dalam yang
berat dapat menimbulkan gejala lain yang merupakan manifestasi dari komplikasi
abses leher dalam seperti gangguan jalan napas, syok septik dan mediastinitis.4,17,21
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai
dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral yang nyeri
tekan, hiperemi dan berfluktuasi. Pembengkakan di bawah rahang dapat juga
disertai dengan pembengkakan di bawah lidah serta adanya trismus. Terdapat
adanya pus pada aspirasi yang dilakukan di tempat pembengkakan tersebut.6

Gambar 2.3 Gambaran Klinis Abses Submandibula Kiri22


Secara umum pada abses parafaring dapat dijumpai pembengkakan pada
dinding faring lateral terutama dibelakang arkus posterior. Tonsil terdorong ke
medial atau kearah anterior. Terjadi gangguan terutama pada saraf kranial N IX, X
dan XII. Selain itu sering didapatkan karies dentis dan trismus yaitu terbatasnya
gerakan membuka mulut akibat perluasan infeksi yang menimbulkan spasme
iritatif pada m pterigoideus internus.21
12

Gambar 2.4 Gambaran Klinis Abses Parafaring4

Temuan klinis abses retrofaring pada pemeriksaan tenggorok dapat


ditemukan penonjolan pada dinding posterior faring, fluktuatif pada palpasi tanpa
adanya trismus. Tidak jarang ditemukan stridor dan retraksi sebagai tanda
obstruksi jalan nafas atas. Suhu tubuh yang meningkat, limfadenopati servikal
juga bisa ditemukan.17

Gambar 2.5 Tampak Pendorongan Dinding Posterior Abses Retrofaring17


 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis. Pemeriksaan
lekosit secara serial merupakan cara yang baik untuk menilai respons terapi.
Pemeriksaan glukosa darah diperlukan untuk mencari faktor predisposisi.
Pemeriksaan elektrolit darah diperlukan untuk menilai keseimbangan elektrolit
yang mungkin terjadi akibat gangguan asupan cairan dan nutrisi. Dapat dilakukan
pemeriksaan kultur bakteri dan uji sensitivitas terhadap antibiotika. Aspirasi pus
13

untuk kultur dan uji sensitivitas harus dilakukan sebelum pemberian antibiotika
secara empiris. Sedapat mungkin dilakukan kultur aerob dan anaerob. Pus dari
aspirasi akan memberikan hasil kultur yang paling akurat. Hasil kultur yang
negatif dapat memberi kesan bahwa penyebab abses leher dalam adalah infeksi
oleh bakteri anaerob. Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan
adanya abses pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses
leher dalam yang diduga sumber infeksinya berasal dari gigi.
Pemeriksaan penting pada abses leher dalam meliputi rontgen leher dengan
posisi anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya
proses infeksi di ruang leher dalam dengan adanya udara di daerah subkutan,
adanya pembengkakan, gambaran cairan di daerah jaringan lunak serta adanya
penyempitan di saluran nafas akibat pendorongan trakea. Pemeriksaan foto polos
dada dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi dengan didapatkannya
gambaran pneumotoraks serta pneumomediastinum yang merupakan indikator
pembentukan abses yang berasal dari leher dalam. Jika hasil pemeriksaan foto
polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses leher dalam, maka idealnya
dilakukan pemeriksaan Computed Tomography scan atau CT scan dengan kontras
yang merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat
menentukan lokasi dan perluasan abses, adanya pelebaran mediastinum akibat
mediastinitis, adanya edema paru serta pneumomediastinum akibat komplikasi.
Pada CT scan dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang
berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan sekitarnya. CT
scan memiliki sensitifitas 90% dan spesifisitas 60%. Pemeriksaan penunjang
lainnya adalah Magnetic Resonance Imaging atau MRI yang dapat mengetahui
lokasi abses, perluasan dan sumber infeksi, sedangkan Ultrasonografi atau USG
adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih
murah dibandingkan CT scan serta dapat menilai lokasi dan perluasan abses.4
Pada foto polos servikal tampak penebalan retrofaring lebih dari 7 mm di
servikal 2 dan lebih dari 22 mm di servikal 6 atau lebih dari ½ korpus vertebra.
Pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk membedakan apakah penebalan
jaringan lunak di retrofaring suatu abses abses, selulitis, masa atau perluasan abses
14

ke ruang lain. Pada penonjolan di retrofaring perlu dilakukan aspirasi dengan


menggunakan jarum spinal no 18 untuk memastikan ada atau tidaknya pus. Pada
pemeriksaan laboratorium darah biasanya ditemukan peningkatan sel darah
putih.17

Gambar 2.6 Rontgen Servikal AP-Lateral. Terdapat gambaran opak dengan kepadatan
jaringan lunak dan gambaran lucent pada daerah submandibular yang
mendukung diagnosis abses mandibula.22

Gambar 2.7 Foto Rontgen Servikal Lateral Abses Retrofaring. Tampak gambaran soft
tissue dengan gambaran udara di dalamnya.17

Gambar 2.8 CT-scan pasien menunjukkan lesi hipodens berbatas tidak tegas pada
ruang parafaring kiri
15

Gambar 2.9 CT Scan Kontras Leher dan Dada (Irisan koronal) dengan Mediastinitis,
terjadi perluasan infeksi ke ruang pleura. 23

Gambar 2.10 Alogortima Diagnosis dan Tatalaksana Abses Leher 2


16

G. Tatalaksana
Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses leher
dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan napas, pernafasan dan sirkulasi,
pemilihan antibiotika dan pembedahan. Karena abses leher dalam memiliki
potensi untuk mengancam nyawa maka pasien harus dirawat di rumah sakit. Jalan
nafas merupakan masalah utama dalam penatalaksanaan pasien dengan abses
retrofaring, begitu juga dengan intubasi endotrakeal saat operasi. Trakeostomi
dianjurkan jika ditemukan abses yang luas untuk mencegah ruptur dan aspirasi
selama intubasi.
Tindakan eksplorasi abses dapat melalui transoral maupun eksternal.
Drainase abses dapat dilakukan dengan aspirasi abses yang kemudian dilanjutkan
dengan insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang
ditimbulkannya. Evakuasi abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun
dengan anestesi umum. Insisi abses submandibula untuk drainase dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas
abses. Insisi tersebut sedapat mungkin sejajar dengan garis lipatan kulit alamiah
menembus jaringan subkutan, muskulus platisma sampai ke fasia servikal
profunda. Diseseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke dalam rongga
abses dan kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga abses diirigasi
dengan larutan garam fisiologis dan dipasang drain. Pada abses yang masih
terlokalisasi pada ruang retrofaringeal bagian atas dan tidak ada tanda obstruksi
jalan nafas insisi transoral adalah pilihan. Pada abses yang cukup besar dan
meluas ke arah hipofaring insisi transoral tidak cukup menjamin drainase yang
baik, sehingga disarankan melakukan insisi eksternal.17
Pilihan antibiotika ini tergantung pada bakteri penyebabnya yang didasarkan
atas hasil kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotika. Namun demikian
antibiotika empiris intravena harus diberikan segera setelah mengambil spesimen
kultur tanpa menunggu hasil kultur tersebut. Umumnya sebelum didapatkan hasil
kultur, pasien diberikan antibiotik intravena dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
17

minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Bisa diberikan kombinasi antibiotik yang sensitif untuk kumakuman gram positif,
negatif kuman-kuman anaerob. Insisi dan eksplorasi dapat ditunda 24-36 jam
sambil menunggu perbaikan dengan pemberian antibiotik. Jika tidak ada
perbaikan segera lakukan tindakan bedah, namun sebelumnya lakukan aspirasi
untuk memastikan adanya pus. Paksa operasi bisa diberikan antibiotik intravena
sampai 48 jam bebas demam. Setelah itu bisa dihentikan dan diganti antibiotik
oral selama dua minggu.17,

Pada pasien ini diberikan antibiotik berupa amoksisilin, yaitu penisilin


spektrum luas. Dimana diketahui bahwa penisilin memiliki potensi untuk
menjadi agen lini per-tama dalam pengobatan infeksi odon-togenik. Sebagian
besar antibiotik beta-laktam lainnya, termasuk sefalosporin generasi keempat,
tidak ditemukan memiliki efektivitas yang lebih besar daripada penisilin.
Amoksisilin adalah obat spektrum luas yang berguna dalam konteks ini
walaupun banyak klinisi lebih me-nyukai efek anti-anaerobik spesifik dari
metronidazol. Selain itu, pasien juga diberikan metilprednisolon3x4 mg.
pemberian obat ini untuk mencegah terjadinya inflamasi yang luas.
Pada pasien juga dapat diberikan analgesik untuk menghilangkan rasa sakit
sementara sampai faktor penyebab infeksi terkendali. Pilihan analgesik harus
didasarkan pada kesesuaian pasien. Obat antiinflamasi nonsteroid digunakan
pada nyeri ringan sampai sedang. Analgesik opioid, seperti dihidrokodein dan
petidin, digunakan untuk rasa sakit yang parah. Paraseta-mol, ibuprofen dan
aspirin cukup un-tuk sebagian besar nyeri ringan akibat infeksi gigi. Analgesik
perlu diberi-kan dengan hati-hati, terutama apabila menggunakan narkotika,
karena membawa risiko depresi pernapasan.24
 Durante operatif
Selama pembedahan perlu diperhatikan ukuran abses, banyaknya pus, lokasi
abses, dan struktur anatomi dari leher. Insisi abses dapat melalui intraoral
maupun ekstraoral. Insisi ekstraoral dilakukan dengan meletakkan 2 jari di bawah
dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior
18

m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial


mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya
prosesus stiloid. Bila nanah terdapat dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan
vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi abses yang kecil, terbatas, atau
uniloculated dapat dibantu dengan menggunakan image.
Aspirasi dengan jarum besar dapat dilakukan pada keadaan ukuran abses
yang kecil dan letak abses parafaring yang mudah untuk dicapai atau bila keadaan
umum pasien tidak mendukung untuk dilakukan anestesi umum. Dalam
melakukan aspirasi dengan jarum besar dapat dipakai CT-scan ataupun USG
sebagai penuntun. Aspirasi dengan jarum juga dipakai sebagai langkah awal
sebelum dilakukan tindakan pembedahan, terutama untuk pengambilan kultur
kuman.17

Gambar 2.10 Tempat Insisi Tipikal Untuk Insisi Ekstraoral Dan Drainase.

 Postoperatif
Sesudah operasi yang perlu dimonitor adalah tanda-tanda respon terhadap
terapi, kultur dan sensitifitas kuman terhadap antibiotik, ada tidaknya tanda-tanda
19

sumbatan jalan nafas, dan ada tidaknya komplikasi dari abses parafaring.17

Gambar 2.11 Bagan Penanganan Infeksi Leher Dalam di Ruang Gawat Darurat.25

H. Komplikasi
Pada abses leher dalam, komplikasi yang mengancam jiwa seperti obstruksi
saluran napas bagian atas, trombosis vena jugularis, mediastinitis desendens,
emboli septik vena, ruptur arteri karotis, dan sindrom gangguan pernapasan, syok
septik, dan koagulopati intravaskular diseminata. Jika abses leher dalam menyebar
ke arah mediastinum, kemungkinan kematian meningkat. Kecenderungan ke arah
mediastinitis umumnya terkait dengan abses retrofaringeal. Pyothorax fatal terjadi
karena keterlibatan sekunder pleura setelah mediastinitis dapat terlihat abses
retropharyngeal akut yang masif. Komplikasi seperti trombosis sinus kavernosus
telah didokumentasikan pada pasien dengan abses parafaringeal. Kadang-kadang,
komplikasi vaskular ditemukan karena perluasan abses leher dalam ke ruang
vaskular yang mengakibatkan situasi yang mengancam jiwa. Penyebaran abses
lebih lanjut ke mediastinum dapat terjadi melalui selubung karotis (Lincoln
highway). Satu studi menunjukkan bahwa ruptur arteri utama di leher akibat abses
leher dalam memiliki angka kematian 20%-40%, terlepas dari pengobatan yang
20

diberikan. Studi lain melaporkan oklusi endovaskular dari pseudoaneurisma


karotis pada pasien anak dengan abses leher dalam. Jenis penelitian serupa
menggambarkan kasus erosi arteri karotis pada anak berusia 4 tahun setelah
infeksi ruang parafaring yang berhasil dikelola dengan ligasi karotis. Munculnya
antibiotik modern dan metode bedah telah menghasilkan komplikasi dan kematian
minimal setelah abses leher dalam. Namun, kurangnya infrastruktur di tingkat
pelayanan kesehatan primer terutama di negara berkembang dan terbelakang
merupakan penyebab komplikasi akibat abses leher dalam. Kondisi hidup yang
tidak higienis di daerah kumuh perkotaan dan kurangnya kesadaran di antara
pasien menyebabkan tingginya insiden abses leher dalam. Sejumlah besar uang,
tenaga kerja, dan sumber daya dapat dihemat dengan meningkatkan kualitas
standar perawatan kesehatan primer. Tingkat literasi dan kesadaran yang lebih
tinggi tentang abses leher dalam di kalangan masyarakat dapat menurunkan
jumlah abses leher dalam yang terkait dengan penyakit lain. Biaya pencegahan
abses leher dalam jauh lebih rendah daripada perawatan, dan ini lebih relevan di
negara berkembang dan terbelakang.4

Gambar 2.12 Komplikasi Mediastinitis26

I. Pencegahan
Pencegahan infeksi odontogenik mencakup semua aspek perawatan gigi
termasuk karies gigi, penyakit pulpa dan periodontal, kondisi patologis, trauma
dan operasi restoratif serta implan. Pengobatan infeksi odontogenik terutama
dilakukan dengan pembedahan yang bertujuan untuk menghilangkan sumbernya.
Terapi saluran akar, pencabutan gigi dan insisi serta drainase ruang yang
terinfeksi biasanya didukung oleh antibiotik dan tindakan lain untuk
21

meningkatkan pertahanan pasien.27


J. Prognosis
Sejak ditemukan antibiotik, kejadian komplikasi terkait dengan abses leher
dalam telah menurun selama dekade terakhir. Diagnosis dini, penanganan yang
cepat dan tepat akan memperoleh kesembuhan yang lebih cepat dan berhasil baik,
sedang pasien yang terlambat mendapat penanganan dapat mengalami komplikasi
yang lebih berat dan waktu penyembuhan yang lebih lama.17
BAB III

PENUTUP

Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang


terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat dari kerusakan
jaringan yang merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber infeksi. Gejala
dan tanda-tanda klinisnya meliputi adanya rasa nyeri dan pembengkakan pada
daerah leher yang terkena.
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis sangat penting menggali informasi
mengenai riwayat sakit gigi dan faktor predisposisi seperti diabetes melitus dan
imunodefisiensi. Pada pemeriksaan fisik abses submandibula ditemukan
pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral, pada abses
parafaring ditemukan pembengkakkan daerah parafaring, pendorongan dinding
lateral faring kearah medial, pembengkakan di sekitar angulus mandibula, dan
pada abses retrofaring ditemukan benjolan unilateral pada dinding belakang
faring, mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.
Tatalaksana utama penyakit ini adalah stabilisasi jalan napas, drainase
abses, dan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan uji sensitivitas terhadap
antibiotika. Abses leher dalam yang berat dapat menimbulkan gejala lain yang
merupakan manifestasi dari komplikasi abses leher dalam seperti gangguan jalan
napas, syok septik dan mediastinitis. Oleh karena itu diagnosis dini, penanganan
yang cepat dan tepat serta tindakan pencegahan primer dapat mengurangi
komplikasi dan memperoleh kesembuhan yang lebih cepat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Yue R, Moehario LH. Microbe pattern and risk factors of deep neck abscess
patients in Atma Jaya hospital. Damianus Journal of Medicine. 2021; 20(1).

2. Gehrke T, Scherzad A, Hagen R, Hackenberg S. Deep neck infections with


and without mediastinal involvement: treatment and outcome in 218
patients. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology. 2022; 279:1585–
15.

3. Ismi O, Yeşilova M, Özcan C, Vayisoğlu Y, Görür K. Difficult cases of


odontogenic deep neck infections: a report of three patients. Balkan Med J.
2017; 34(2):172-179.

4. Swain SK, Lenka S, Jena PP. Deep neck abscess: our experiences at a
tertiary care teaching hospital of Eastern India. matrix science medica. 2022;
6(1):18-22.

5. Anggreni S, Putra IDAE. Karakteristik penderita abses submandibula di


Departemen THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. Medicina. 2020;
51(2):153–158.

6. Asyari A. Penatalaksanaan abses submandibula dengan penyulit uremia dan


infark miokardium lama. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang; 2019;
2:1–7.

7. Indrayani LW, Putra IDEA, Saputra KAD, Suardana W. Karaksteristik


penderita abses leher dalam di RSUP Sanglah Denpasar periode 1 Januari-
31 Desember 2014. Departemen THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. 2014.

8. Rahardjo P. Infeksi leher dalam. Makasar: Graha Ilmu. 2013. p.2-16.

9. Aynehchi BB, Har-El G. Deep neck infections. Dalam: Johnson JT, Rosen
CA, penyunting. Bailey’s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi
ke5. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h. 794-814.

10. Aynehchi, Behrad B. dan Har-El, Gady. 2013. Deep Neck Infections.
Dalam: Bailey, Byron J. (Editor). Bailey’s Head and Neck Surgery–
Otolaryngology Volume 1 (edisi ke-5) (halaman 794– 811). Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia, US

23
24

11. Lizar EN, Yotosudarmo H, Imanto M. Abses Parafaringeal, Submandibular


dan Subtracheal dengan Komplikasi Fistula Faringokutan. Majority. 2017;
6(3):69-74.

12. Cheng AG. Retropharyngeal Abscess. MSD Manual. 2022

13. Alvarado AP, et al. Prevalence, morbidity and mortality of deep neck
abscess in a tertiary hospital from Northwestern Mexico. Romanian Journal
of Rhinology. 2021; 11(41):41-46.

14. Hesly, I., Lumintang, N., & Limpeleh, H. (2014). Profil abses submandibula
di bagian bedah RS Prof. Dr. R. D. Kando Manado Periode Juni 2009
sampai Juli 2012. E-CliniC, 2(1), 0–1. 

15. Utari, I. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Rumah Sakit


Umum Daerah Bangli - Bali. Jurnal Kedokteran. 2019; 05(01):187–197.

16. Dewantara IPS, Putra IDGAE, Sucipta IW. Penanganan abses parafaring
dengan pendekatan transoral. Medicina. 2017; 48(1):62-66.

17. Morina E, Novialdi, Asyari A. Diagnosis dan penatalaksanaan abses


retrofaring pada dewasa. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 58-63.

18. Wilkie MD, De S, Krishnan M. Defining the role of surgical drainage in


paediatric deep neck space infections. Clin Otolaryngol 2019; 44:366-71.

19. Sharma K, Das D, Joshi M, Barman D, Sarma AJ. Deep neck space
infections – A study in diabetic population in a tertiary care centre. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg 2018; 70:22-7.

20. Aryani, Fardani SR, dkk. Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses
Submandibula. Indonesian Journal of Dentistry. 2022; 2(1):7-15.

21. Dewi IGA, Putra DG, Sucipta IW. Abses ruang submandibula sinistra
dengan perluasan ke ruang submental. Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar. 1-47.

22. Septikasari R, Riawan L, Sylvyana M. Management of left submandibular


abscess due to sialolith: a case report. International Journal of Medical
Reviews and Case Reports. 2020; 4(9):65-68.

23. Alvarado AP, et al. Prevalence, morbidity and mortality of deep neck
abscess in a tertiary hospital from Northwestern Mexico. Romanian Journal
of Rhinology. 2021; 11(41):41-46.
25

24. Litha Y, Gazali M, Lopo C, Nayoan CR. Submandibular abscess. J urnal


Medical Profession. 2019; 1(2):144-150.

25. Alimin NH, Syamsuddin E. Emergency management of Ludwig’s angina: a


case report. J Dentomaxillofacial Sci. 2017;2(3):201.

26. Kusuma AY, Suraso B. Penatalaksanaan abses retrofiring dengan


komplikasi mediasnitis dan empyema toraks. Jurnal THT-KL. 2012;
5(1):14-17.

27. Kataria G, Saxena A, Bhagat S. Prevalence of odontogenic deep neck space


infections (DNSI): a retrospective analysis of 76 cases of DNSI.
International Journal of Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery.
2015; 1(1):11-16.

Anda mungkin juga menyukai