Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Disusun Oleh:
Jean V C Tahapary - 112021043

Pembimbing:
Dr. Irma Suryati, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIS ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
PERIODE 15 JANUARI 2024 -17 FEBRUARI 2024
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah Referat dengan judul “ABSES LEHER DALAM”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu
THT. Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr.
Irma Suryati, Sp.THT-KL selaku pembimbing dalam Kepaniteraan Klinik, dan kepada para
dokter dan staff Ilmu Penyakit THT RSUD KOJA Jakarta Utara, serta rekan-rekan seperjuangan
dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT. Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik
dan saran karena penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Jakarta, 22 Januari 2024

Jean V C Tahapary

2
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Abses leher dalam adalah kumpulan nanah yang terkumpul di dalam satu atau lebih ruang
yang dibentuk oleh fasia leher. Abses leher dalam dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan
akibat infeksi pada gigi, mulut, tenggorok, hidung, dan struktur lain disekitarnya. Berbagai
ruang dapat menjadi tempat terjadinya abses leher dalam diantaranya ruang submandibula,
peritonsil, parafaring, retrofaring, submental, parotid, viseral anterior, karotid, dan masseter.
Kejadian abses leher dalam menjadi lebih sedikit kejadiannya setelah ditemukan terapi
antibiotik. Walaupun begitu, bila terjadi suatu abses leher dalam harus segera waspada karena
penganganan yang terlambat sering diikuti penyebaran inflamasi bisa menyebabkan bermacam
komplikasi seperti mediastinitis, sepsis dan edema laring.1
Meskipun dalam beberapa kasus manifestasi klinis tampak jelas, namun pada beberapa
infeksi dalam derajat keparahan dan luas infeksi yang berbeda manifestasi klinis dapat
meragukan karena keterbatasan pemeriksaan fisik dan kompleksitas anatomi yang terlibat.
Manifestasi klinis infeksi leher dalam tergantung pada ruang yang terinfeksi, diantaranya rasa
nyeri, demam, pembengkakan, disfagia, trismus, disfonia, otalgia dan dyspnoea. Perjalan
progresif cepat dengan hasil fatal dapat terjadi terutama pada pasien dengan sistem imun yang
lemah (misalnya diabetes mellitus, infeksi HIV, terapi steroid, kemoterapi). 2
Keterlambatan dalam penatalaksanaan yang tepat meningkatkan risiko komplikasi yang
mengancam jiwa karena gangguan terhadap struktur vital seperti jalan napas, pembuluh darah
servikal, saraf optik, ruang intrakranial, dan kanalis vertebra.2

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD KOJA. Laporan
ini dibuat untuk memperluas wawasan pembaca mengenai abses leher dalam.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi
Lapisan Leher Dalam

Abses leher dalam merupakan abses yang terbentuk di ruang potensial leher dalam.
Ruang potensial leher dalam adalah ruang yang terbentuk oleh sekat-sekat fasia leher yang
terdiri atas :3
1. Lapisan superficial dari deep cervical fascia (Investing Layer)
2. Lapisan tengah dari deep cervical fascia yang terdiri atas :
a. Lapisan muscular
b. Lapisan visceral
3. Lapisan dalam dari deep cervical fascia yang terdiri atas :
a. Alar fascia
b. Prevertebral fascia

1. Lapisan superfisial

Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan
melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m.
masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal,
investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior.4

2. Lapisan media

Lapisan ini dibagi atas 2 yaitu lapisan muskular dan viscera. Lapisan muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia dan membungkus m. sternohioid, m.
sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid dan
kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior
4
sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan
os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus
serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera
yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m.
buccinator.4

3. Lapisan profunda

Lapisan ini dibagi menjadi 2 yaitu lapisan alar dan prevertebra. Lapisan alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan lapisan prevertebra, yang
berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan lapisan
viscera lapisan media fasia servikalis. Lapisan alar melengkapi bagian posterolateral
ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.

Lapisan prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari
dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger
space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda
ini membentuk selubung karotis (carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak
melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks. 4

Gambar 1. Lapisan Leher Dalam

5
Ruang Leher Dalam
Setidaknya terdapat 11 ruang leher dalam di dalam kerangka kompleks yang dibentuk
oleh bidang fasia leher. Secara anterior, hubungan fasia dengan tulang hyoid yang kuat
merupakan barier penting terhadap penyebaran infeksi ke bawah. Maka dari itu, ruang leher
dalam sering diklasifikasikan menjadi tiga kelompok anatomi berdasarkan hubungannya
dengan hyoid.4
Ruang leher dalam dikelompokkan menjadi (modifikasi Hollingshead) : 3
1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher :
a. Ruang retropharyngeal (posterior visceral, retroviseral, retroesophageal)
b. Danger space
c. Ruang prevertebral
d. Ruang visceral vaskular
2. Ruang yang terbatas di atas tulang hyoid
a. Ruang paraparing (faringomaxilla, lateral faring, perifaring)
b. Ruang submandibular dan submental
c. Ruang parotis
d. Ruang mastikator
e. Ruang peritonsil
f. Ruang temporal
3. Ruang yang terbatas di bawah tulang hyoid
a. Ruang pretrakea
b. Ruang suprasternal
Diantara ruang-ruang ini terdapat hubungan yang memungkinkan infeksi pada satu
ruang dapat meluas ke ruang-ruang potensial lainnya.

6
Gambar 2. Ruang Leher Dalam

Abses Leher Dalam

Abses leher dalam adalah Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang potensial
diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Kebanyakan kuman penyebab
adalah Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioideus atau kuman campuran.
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses parafaring, abses
submandibular dan angina ludovici (Ludwig’s Angina).5

Abses Peritonsil

Abses peritonsil atau quinsy, adalah infeksi leher dalam yang paling sering terjadi.
Meskipun sebagian besar terjadi pada orang dewasa muda (decade kedua dan ketiga),
peningkatan resiko juga terjadi pada keadaan imunokompromised dan pasien diabetes. Abses
biasanya unilateral antara kapsul tonsil, otot konsriktor faring superior dan otot palatofaringeus. 3

a. Etiologi
Kebanyakan abses peritonsil timbul sebagai komplikasi tonsilitis atau faringitis,
tetapi juga dapat merupakan penyebaran odontogenik atau trauma mukosa lokal. Abses
peritonsil juga diyakini mucul dari penyebaran infeksi dari tonsil atau kelenjar mukosa
weber yang terletak di bagian superior tonsil. Patogen penyebab sama dengan kuman
penyebab tonsilitis, terutama streptokokus, namun tidak jarang infeksi polimikroba dan
melibatkan bakteri anaerob.3
7
b. Gejala dan Tanda
Pasien dengan abses peritonsillar biasanya datang dengan nyeri tenggorokan,
odinofagia (nyeri menelan), demam ringan dan dengan berbagai derajat trismus
(kesulitan membuka mulut). Trismus muncul sekunder akibat iritasi otot pterigoideus.
Pasien mungkin juga mengeluhkan otalgia ipsilateral. Ketika abses meluas, pasien
mungkin mengalami disfagia bahkan kesulitan menelan air liur. Pasien sering mengalami
dehidrasi sekunder akibat asupan oral yang kurang. Perubahan suara sering terjadi (suara
kentang panas / hot popato voice) yang disebabkan oleh insufisiensi velopharyngeal
sementara dan resonansi mulut yang tertahan. Napas bau juga sering terjadi.
Limfadenopati servikal anterior ipsilateral sering muncul. Apabila demam lebih dari
39,4°C harus dicurigai adanya perluasan ke parafaring dan sepsis. 3
c. Pemeriksaan
Pemeriksaan orofaring mungkin sulit dilakukan karena terdapat trismus. Pada
pemeriksaan tampak palatum mole membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba
fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak dan
hiperemis, mungkin banyak terdapat detritus, dan terdorong ke arah tengah, depan dan
bawah.5
d. Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau klindamisin
dan obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk pengeluaran nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula
dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Kemudian pasien dianjurkan untuk
operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’ chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses
disebut tonsilektomi “a’ tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses,
disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.5
e. Komplikasi5
 Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia,

8
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring menyebabkan terjadinya abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus,
sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

Gambar 3. Abses Peritonsil

Abses Retrofaring

Abses retropharyngeal adalah Kumpulan nanah di ruang retrofiring. Hal ini terjadi dalam
dua bentuk yaitu abses retrofaring akut primer yang biasa terjadi pada bayi dan anak (usia kurang
dari 5 tahun) dan abses retrofiring kronis yang umum terjadi pada dewasa. Abses retrofiring
terbentuk akibat limfadenitis supuratif dari kelenjar retropharyngeal henle, yang terletak di
kedua sisi retrofiring. Kelenjar ini menerima limfatik dari rongga hidung, faring tuba eustachius
dan telinga tengah. Kelenjar ini akan mengalami atrofi antara usai 3 dan 5 tahun, sehingga abses
retrofiring akut jarang terjadi pada anak di atas usia 5 tahun. Kelenjar henle Ketika terinfeksi
awalnya akan menjadi adenitis, kemudia periadenitis dan pembentukan abses terjadi. Abses
biasanya satu sisi.5

a. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1)
infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfa-adenitis retrofaring. (2) Trauma
dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi. (3) Tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin).3
9
b. Gejala dan Tanda
Gejala dapat berupa nyeri menelan (odinofagia), pada bayi muda akan menyebabkan
rewel, menolak makan, hipersaliva, demam dan leher kaku (tortikolis). Abses ini juga
menyebabkan kesulitan bernapas akibat sumbatan jalan nafas terutama di hipofaring.
Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan
oleh abses juga dapat mengganngu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis.3,5
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan rontgen soft tissue cervical lateral
yang akan memberikan gambaran tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm
pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih
dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis
vertebra servikal.5
d. Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotik dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob.
Diberikan secara parenteral. Antibiotik tersebut diantaranya klindamisin, sefalosporin
generasi ketiga (misalnya, ceftriaxone), atau penisilin yang resisten beta-laktamase
(misalnya, ampisilin-sulbaktam atau piperacillin-tazobactam).. Selain itu dilakukan
pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring
trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat
dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala
dan tanda infeksi reda.5
e. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang parafaring, ruang
vaskuler visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan napas sampai asfiksia, (4) bila pecah
spontan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru. 5

10
Gambar 4. Abses Retrofaring

Abses Parafaring

Ruang parafaring berhungan dengan setiap ruang leher dalam lainnya dan juga
berhubungan dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal dari ruang masticator, parotis,
ruang submandibular, sublingual, ruang retrofaring dan peritonsil semua dapat menyebar ke
ruang ini, dan karena itu Ketika pasien datang dengan abses parafaring, harus dilakukan
pemeriksaan setiap ruang lain untuk memastikan bahwa tidak ada ruang lain yang terlibat. 3

a. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara (1) langsung, yaitu akibat
tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi
karena ujung jarum suntuk yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis
(m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
(2) proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring. (3) penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring
atau submandibula.5
b. Gejala dan tanda
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan disekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol kearah medial.5
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgent jaringan lunak
AP atau CT scan.5

11
d. Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman
aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan
dengan antibiotic 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narcosis. Caranya melalui
insisi dari luar dan intraoral. Insisi dari luar dilakukan 2½ jari dibawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilakukan dari batas anterior m.
sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan
m. pterigoideus interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid.
Bila abses terdapat didalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertical dari pertengahan
insisi horizontal ke bawah di depan m. sternokleidomastoideus (cara mosher). Insisi
intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi
dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring
anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan insisi eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. 5
e. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) kearah sekitarnya. Penjalaran keatas dapat mengakibatkan
peradangan intracranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.5

Gambar 5. Abses Parafaring

12
Abses Submandibula

Abses submandibular adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibular. Ruang


submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan
dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila kemudian dibagi lagi atas ruang
submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Abses dapat terbentuk
diruang submandibular atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah
kepala leher. Penyakit ini jarang pada anak, umumnya pada remaja dan dewasa yang
dihubungkan dengan infeksi gigi.3,5

a. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob. 5
b. Gejala dan tanda
Abses mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke atas dan ke arah
belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan dan gangguan
menelan. Pembengkakan daerah dagu / submandibular dan nyeri leher merupakan
keluhan yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai
trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular yang
fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.3
c. Terapi
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os. Hyoid, tergantung
letak dan luas abses. Pasien rawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.

13
Gambar 5. Abses Submandibula

Angina Ludwig

Angina Ludwig adalah selulitis difus yang jarang terjadi dan mengancam jiwa pada
jaringan lunak dasar mulut dan leher. Nama kondisi ini diambil fari nama seorang dokter jerman,
Wilhelm Friedrich von Ludwig, yang mendeskripsikannya pada tahun 1836. Angina berasal dari
bahasa latin ‘angere’ yang berarti tersedak.6

a. Etiologi
Angina ludwig terutama berasal dari infeksi gigi pada gigi geraham mandibula,
khususnya gigi geraham kedua dan ketiga, yang mencakup 90% kasus. Faktor
predisposisi gigi antara lain kebersihan mulut yang buruk, karies gigi, dan perawatan
gigi. Sumber infeksi seringkali disebabkan oleh kuman aerob dan anaerob. 5,7
b. Gejala dan tanda
Terdapat nyeri pada tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan didaerah
submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut
membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak
napas, karena sumbatan jalan napas.5
c. Terapi
Sebagai terapi diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dapat dilakukan eksplorasi yang
dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan). Insisi dilakukan di
garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu
dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi), untuk mencegah kekambuhan.
Pasien dirawat inap sampai infeksi reda. 5
14
d. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan napas dan sepsis.5

Gambar 6. Angina Ludwig

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Abses leher dalam merupakan suatu keadaan emergensi dibidang tht, dimana terdapat
kumpulan nanah yang terbentuk di ruang potensial leher dalam. Abses leher dalam sendiri
terbagi atas abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring dan abses submandibular.
Diagnosis dan penatalaksanaan dari abses leher dalam ini terkadang mengalami kesulitan
dikarenakan kompleksitas anatomi dari daerah abses ini sendiri. Pengobatan berupa evakuasi
abses dan pemberian antibiotika spektrum luas dosis tinggi secara parenteral banyak dipakai
untuk mengatasi abses leher dalam. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan dengan anestesi
lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas dan dalam insisi dan drainase
dilakukan dengan bius umum.

Daftar Pustaka

1. Arliando A M, Adelien, Utama D S. Prevalensi abses leher dalam di rsup dr. mohammad
hoesin Palembang peride 1 januari 2012-31 desember 2015. Majalah Kedokteran
Sriwijaya, Th. 49, No. 3, Juli 2017
2. Hedge A, & Mohan S, & Eng H L W. Infections of the deep neck spaces. Singapore
medical journal. 2012. p.53. 305-11; quiz 312.
3. Rahman S. Kumpulan makalah ilmiah simposium dan workshop emergensi di bidang
telinga hidung tenggorok. FK UNAND. Padang, 2013. h. 64-71.
4. Wineski L E, & Snell R S. 2019. Snells clinical anatomy by regions. Philadelphia:
Wolters Kluwer.
5. Soepardi E A, Iskandar N, dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hiung tenggorok kepala
& leher. Edisi keenam. FKUI. Jakarta, 2007
6. Miah MR, Ali AS. Angina ludwig. Br Dent J. 2020 Sep; 229 (4):268
7. Bridwell R, Gottlieb M, Koyfman A, Long B. Diagnosis and management of Ludwig’s
angina: An evidence-based review. Am J Emerg Med. 2021 Mar; 41:1-5

16

Anda mungkin juga menyukai