Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

ABSES RUANG SUBMANDIBULA SINISTRA DENGAN


PERLUASAN KE RUANG SUBMENTAL POST PENCABUTAN
GIGI DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

Oleh:

FRISKA JOLANDA KALAY (0120840315)

HANDAYANI NURFITRIANA (0120840109)

Pembimbing :

drg. MEISKE PAOKI, Sp. BM

SMF ILMU KEDOKTERAN GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH


RSUD DOK II JAYAPURA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang


terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat dari kerusakan
jaringan yang merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.Pada saat ini infeksi
tonsil merupakan penyebab utama pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa
infeksi terutama bersumber dari gigi atau odontogenik. Abses di ruang
submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang sering ditemukan.

Ruang submandibula merupakan suatu ruang potensial pada leher yang terdiri
dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid.Selain
disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh
sialadenitis kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma atau pembedahan dan
bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi
dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau campuran.Infeksi di ruang
submandibula biasanya ditandai dengan pembengkakan di bawah rahang, baik
unilateral atau bilateral.

Dalam beberapa abad terakhir, diagnosis dan pengobatan infeksi leher dalam
merupakan suatu tantangan baik bagi dokter maupun ahli bedah.Disamping
struktur yang kompleks dan lokasi yang dalam pada region leher, menyebabkan
diagnosis dan pengobatan cukup sulit.Infeksi ini merupakan masalah kesehatan
dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan.Meskipun penggunaan
antibiotik telah menurunkan angka kematian akibat abses leher dalam namun
abses leher dalam masih merupakan masalah yang serius dan menimbulkan
komplikasi yang dapat mengancam nyawa.Diagnosis yang terlambat atau
misdiagnosis dapat mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan yang dapat
menimbulkan kematian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Ruang Submandibula leher terdiri atas fasia servikal superfisial dan profunda
yang memisahkan struktur menjadi beberapa bagian. Ruang leher bagian dalam
dibentuk dari fasia ini, namun fasia servikal superfisial dari leher tidak ikut berperan
untuk terjadinya infeksi leher dalam. Ruang fasial wajah dan leher merupakan daerah
jaringan penyambung longgar, dimana memungkinkan menjadi daerah pembentukan
abses sesuai dengan perluasan jalannya infeksi. Ruangan ini dikelilingi oleh selubung
fasia yang merupakan lapisan penyambung padat menutupi otot dan organ. Fungsi
selubung ini adalah untuk memberi perlindungan juga memungkinkan pencegahan
terjadinya pergerakan struktur satu dan lainnya. Fasia kepala dan leher dalam
membungkus otot dan organ-organ viscera leher, kemudian membentuk dasar dan
ruangan yang membatasi penyebaran infeksi, diantaranya : ruang submandibula,
ruang faring lateral, ruang retrofaring, ruang bahaya (danger space) dan ruang
prevertebra. Infeksi pada ruang-ruang ini mempunyai efek yang sangat fatal dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas atau meluas kedaerah vital seperti mediastinum
dan atau carotid sheath.

Fasia servikal terdiri dari lapisan dari lapisan jaringan ikat fibrous yang
membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah yang membagi leher menjadi
ruang potensial.Fasia servikal terbagi menjadi dua bagian yaitu fasia servikal
superfisial dan fasia servikal profunda.Fasia servikal superfisial yang disebut juga
panikulus adiposus menutupi seluruh leher dan berlanjut ke muskulus platisma di
sebelah anteriornya.Fasia servikalis profunda atau yang disebut juga deep cervical
fascia terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan superfisial, lapisan media dan lapisan
profunda.

Lapisan superfisial fasia servikal profunda mengelilingi leher mulai dari linea
nukalis pada kranium sampai ke klavikula dan membungkus muskulus
sternokleidomastoideus, muskulus trapezius, kelenjar parotis dan kelenjar
submandibula.Lapisan media fasia servikal profunda terdiri dari divisi muskularis dan
divisi viseral. Divisi muskularis melekat pada tulang hyoideus dan kartilago tiroid di
superior dan melekat pada sternum, klavikula dan skapula di sebelah inferior. Divisi
visceral yang disebut juga fasia pretrakeal menyelubungi kelenjar tiroid, trakea dan
esophagus meluas sampai ke rongga dada dan menyatu dengan pericardium.

Lapisan profunda fasia servikalis profunda terdiri dari dua lapisan yaitu fasia
prevertebra dan fasia alaris. Fasia prevertebra terletak di sebelah anterior korpus
vertebra dan meluas ke lateral menutupi otot-otot prevertebralis dan melekat pada
prosesus transversus vertebra dan ligamen-ligamennya, kemudian meluas ke posterior
menutupi otot-otot ekstensor leher dan kemudian melekat pada prosesus spinosus
vertebra. Fasia prevertebra merupakan dinding belakang dari danger space yang
meluas dari dasar tengkorak sampai ke diafragma.Fasia alaris terletak antara fasia
prevertebralis di posteriornya dan divisi viseral lamina media fasia servikal profunda.

Fasia alaris melekat antara kedua prosesus transversus vertebra pada bidang
transversal dan antara dasar tengkorak sampai vertebra torakalis kedua pada bidang
vertikal, dimana fasia alaris menyatu dengan divisi viseral lamina media fasia
servikalis profunda.Fasia alaris merupakan dinding anterior dari danger space dan
sekaligus dinding posterolateral dari ruang retrofaring.Fasia servikal profunda
membatasi ruang ruang potensial leher.
Ruang ruang potensial leher bukan merupakan suatu kompartemen yang
kedap namun kerap kali berhubungan satu sama lain. Selubung karotis terbentuk dari
bagian tiga lapisan fasia servikal profunda, yang memanjang dari kepala hingga
dada.Selubung ini menutupi arteri carotis, vena jugularis interna dan nervus vagus.

Menurut Hollingshead seperti dikutip oleh Gadre ruang-ruang potensial leher


diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan tulang hyoideus menjadi ruang
yang melibatkan seluruh panjang leher, ruang yang terletak di atas tulang hyoideus
dan ruang yang terletak di bawah tulang hyoideus. Ruang yang melibatkan seluruh
panjang leher adalah ruang retrofaring, danger space, ruang prevertebra dan ruang
vascular viseral.Ruang yang terletak di atas tulang hyoideus adalah ruang parafaring,
ruang submandibula, ruang parotis, ruang mastikator, ruang peritonsiler dan ruang
temporal.

Ruang yang terbatas dibawah tulang hyoideus adalah ruang pretrakeal atau ruang
viseralis anterior dan ruang suprasternal.

Gambar 1. Anatomi fascia dan ruang pada leher


Ruang submandibula adalah ruang fasial kepala dan leher ( kadang-kadang
juga disebut ruang fasial atau ruang jaringan ). Merupakan ruang potensial , dan
berpasangan di kedua sisi, terletak pada permukaan dari otot milohioid antara anterior
dan posterior otot digastrikus. Ruang ini berhubungan dengan segitiga submandibula,
bagian dari segitiga anterior leher.

Batas-batas anatomi setiap ruang submandibular adalah: otot milohioid pada


bagian superior. kulit, fasia superficial, otot platysma dan lapisan superfisial dari fasia
servikalis pada bagian inferior dan lateral. permukaan medial mandibula pada bagian
anterior dan lateral. tulang hyoid pada bagian posterior. bagian anterior dari otot
digastrikus pada sisi medial.

Gambar 2. Anatomi ruang submandibular

Ruang submandibula terletak di anterior dari ruang parafaring, sebelah


inferior berbatasan berbatasan dengan lapisan superfisial fascia servikalis profunda,
meluas dari os hyoid sampai ke mandibula, bagian inferiornya berbatasan dengan
korpus mandibulla dan bagian superior dengan mukosa dari dasar mulut.Ruang
submandibula terdiri dari ruang sublingual bagian superior dan bagian inferior ruang
submaksilla, yang dipisahkan oleh muskulus milohyoideus. Ruang sublingual berisi
kelenjar sublingual, n. Hipoglossus dan duktus Whartons. Ruang submaksila dibagi
oleh m. Digastrikus anterior menjadi kompartemen sentral, kompartemen submental,
dua kompartemen lateral dan kompartemen submaksilla. Semua bagian ini saling
berhubungan, oleh karena kelenjar submaksilla meluas dari ruang submaksilla
sepanjang tepi posterior m. Milohyoideus sampai ke ruang sublingual sehingga dapat
menyebabkan penyebaran infeksi secara langsung.

Otot milohioid berperan penting dalam penyebaran infeksi yang bersumber


dari gigi. Otot ini menempel ke mandibula dan meninggalkan akar dari gigi molar
kedua dan ketiga di bawah garis milohioid dan puncak dari molar pertama atas.
Kebanyakan infeksi molar apikal melubangi mandibula pada sisi lingual, jadi jika
puncak gigi berada di atas garis milohioid itu akan melibatkan ruang sublingual .Jika
perforasi terjadi pada bagian bawah garis milohioid maka yang terkena adalah ruang
submandibula.

Pasien dengan infeksi pada daerah submandibula umumnya akan mengalami


demam, trismus, pembengkakan pada leher daerah submandibula, kesulitan dalam
membuka mulut dan makan. Posisi akar gigi terhadap linea obliqua mandibula
memberikan gambaran klinis penyebaran infeksi odontogenik dari akar gigi. Infeksi
yang berasal dari akar gigi yang terletak superior terhadap linea obliqua mandibula
yaitu dari gigi insisivus sampai molar pertama pada umumnya memberikan gejala
awal pada daerah submentalis sedangkan infeksi yang berasal dari akar gigi yang
terletak inferior terhadap linea obliqua mandibula yaitu pada gigi molar umumnya
bermanifestasi di ruang submandibula. Infeksi gigi periapikal umumnya menembus
korteks lingual dari mandibula dan timbul di ruang submandibula.
2.2 Definisi

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pus pada daerah
submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula
berasal dari proses infeksi gigi, dasar mulut, faring, dan kelenjar limfe submandibula.
Mungkin juga infeksi dari ruang dalam leher yang lain.
Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula sudah
semakin jarang dijumpai. Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan
kesehatan mulut yang meningkat. Walaupun demikian angka morbiditas yang timbul
akibat abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan
yang cepat dan tepat sangat diperlukan.
2.3 Epidemiologi

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus


pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari
proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin
juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Abses submandibula sudah
semakin jarang dijumpai, hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan
kesehatan mulut yang meningkat.

Rana dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa diantara abses leher dalam,
abses submandibula merupakan abses leher dalam yang paling sering terjadi (60%),
diikuti oleh abses parafaring (16%), abses parotis (6%) dan abses retrofaring (4%).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo ditemukan bahwa penderita abses
submandibula berusia antara 12 sampai 96 tahun dengan rata-rata usia sekitar 57
tahun. Angka kejadian abses submandibula lebih banyak ditemukan pada laki-laki
(51,9%) dibanding perempuan (48,1%).12 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
secara retrospektif dibagian Rekam Medik RSU Prof. DR. R. D. Kandaou, Manado,
didapati jumlah penderita Abses Submandibula yang datang di bagian poli bedah,
IRD Bedah dan Irna A Rumah Sakit Umum Prof. DR. R. D. Kandaou Manado, pada
periode juni 2009 sampai juli 2012 adalah 39 orang.

Diantara penderita-penderita Abses Submandibula didapatkan bahwa


mayoritas penderita abses Submandibula adalah pria dengan presentasi 53%
dibandingkan dengan wanita yang hanya mencapai 43% 11. Selain pada pria
presentasi penderita Abses Submandibula terbanyak juga terdapat pada kelompok
umur >50 tahun mencapai 33%. Berdasarkan penelitan Abses submandibula ini
didapatkan juga pada anak-anak dengan usia termuda 1 tahun dan yang tertua pada
umur 70 tahun,oleh karena itu tidak ada batasan umur pada abses submandibula,
seperti yang diungkapkan oleh Sakaguchi bahwa Abses Submandibula dapat ditemui
dari umur 1-81 tahun.

2.4 Etiologi

Abses submandibula merupakan salah satu abses odontogenik yang cukup


sering ditemui, khususnya di masa pancaroba saat daya tahan tubuh manusia relatif
menurun sehingga tubuh tidak mampu melawan bakteri. Abses ini berasal dari gigi
premolar atau molar rahang bawah.yang meluas ke arah lingual di bawah m.
Mylohyoid.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo, penyebab tersering


abses submandibula adalah infeksi pada gigi (46,9%). Selain disebabkan oleh infeksi
gigi, infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh sialadenitis kelenjar
submandibula, limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan bisa juga sebagai
kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh
kuman aerob, anaerob atau campuran.Sumber infeksi dari abses leher dalam pada
orang dewasa dan anak-anak terdapat perbedaan yaitu pada orang dewasa sumber
infeksi biasanya berasal dari gigi dan kelenjar ludah sedangkan pada anak-anak
penyebaran infeksi ke ruang leher dalam terutama berasal dari infeksi dari daerah
tonsil dan faring.Higiene orodental yang buruk merupakan faktor predisposisi
terjadinya abses submandibula.Faktor predisposisi yang lainnya adalah adanya
penyakit sistemik seperti diabetes melitus dan penyakit imunodefisiensi karena
penyakit-penyakit tersebut yang dapat mempermudah perkembangan bakteri serta
penyebaran infeksi.

Pada penelitan yang dilakukan oleh Rana dkk pada tahun 2009 sampai dengan
tahun 2010 didapatkan penyebab tersering terjadinya abses leher dalam adalah infeksi
yang berasal dari gigi (48%), diikuti oleh infeksi pada tonsil (14%). Pada era
preantibiotik , organisme yang paling sering terisolasi dari leher dalam abses ruang
leher dalam adalah Staphylococcus aureus. Sejak diperkenalkannya antibiotik ,
streptokokus aerob dan non-streptokokus anaerob menjadi agen penyebab infeksi
leher dalam, Tetapi kebanyakan infeksi leher dalam bersifat polimikrobial.
Organisme penyebab yang paling umum ditemukan dari hasil kultur adalah
Streptokokus viridians, Stafilokokus epidermidis, Stafilokokus aureus, Streptokokus
β hemolitikus, Bacteroides, fusobacterium, spesies Peptostreptokokus, Neisseria,
Klebsiella pneumoniae dan pseudomonas. Pada abses submandibula yang bersumber
dari infeksi gigi, bakteri yang paling sering ditemukan adalah grup Streptokokus dan
bakteri anaerob.Jenis streptokokus yang paling sering ditemukan pada penderita abses
submandibula yang disebabkan oleh infeksi gigi adalah Streptokokus viridians
sedangkan pada abses submandibula yang tidak disebabkan oleh infeksi gigi, kuman
yang paling sering ditemukan adalah Stafilokokus aureus.Klebsiella pneumoniae
merupakan bakteri aerob gram negatif yang paling banyak ditemukan pada pasien
diabetes melitus.

2.5 Patogenesis

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang terbentuk
dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri, parasit atau
benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan mencegah
agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya.Pus itu sendiri merupakan suatu
kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab
infeksi atau benda-benda asing dan racun yang dihasilkan oleh organisme dan sel-sel
darah.Bakteri yang masuk kedalam jaringan yang sehat dapat menyebabkan
terjadinya infeksi.Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan setelah menelan
bakteri maka sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang
membentuk pus dan mengisi rongga tersebut. Adanya penimbunan pus ini
menyebabkan jaringan disekitarnya akan terdorong dan tumbuh di sekeliling abses
menjadi dinding pembatas.

Infeksi ruang leher dalam dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu limfogen,
hematogen, perkontinuitatum dan infeksi langsung. Beratnya infeksi tergantung dari
virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Ruang submandibula terletak
diantara otot dan kulit milohyoid yang memiliki batas posterior yang terbuka
sehingga berhubungan dengan ruang di dekatnya. Saat ruang submandibula
mengalami infeksi, pembengkakan dimulai pada batas inferior lateral dari mandibula
dan meluas ke medial menuju area digastrikus dan ke posterior menuju tulang hyoid.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau odontogenik merupakan
penyebab terbanyak dari abses submandibula. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan
periodontal.Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya.

Pada infeksi odontogenik perkembangan infeksi dapat terjadi antara satu hari
sampai tiga minggu.Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikator
kemudian ke parafaring.Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari
ruang submandibula.Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial
lainnya.Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar melalui jaringan ikat,
pembuluh darah, dan pembuluh limfe.Yang paling sering terjadi adalah
perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara jaringan yang berpotensi
sebagai tempat berkumpulnya pus.
Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses
submukosa, abses gingiva, thrombosis sinus kavernosus, abses labial, dan abses
fasial. Perjalanan infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses sublingual,
submental, abses submandibula, abses submaseter, dan angina Ludovici. Ujung akar
molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea milohioid yang terletak di
aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan
membentuk abses, pusnya akan menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas
ke ruang parafaring.

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Gejala yang paling umum adalah demam, nyeri dan
pembengkakan di bawah rahang pada satu atau kedua sisi yang dirasakan nyeri.
Lamanya gejala ini bervariasi antara 12 jam sampai 28 hari dengan rata-rata 5 hari.
Gejala lain yang dapat timbul adalah perubahan suara, odinofagia, disfagia dan
trismus. Pasien dapat menjadi dehidrasi karena kurangnya asupan nutrisi dan cairan.

Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat sakit gigi, faktor predisposisi seperti
diabetes melitus, imunodefisiensi, riwayat penyalahgunaan obat dan terapi yang telah
diberikan kepada pasien.Gejala dapat bervariasi tergantung dari progresivitas
penyakit. Abses leher dalam yang berat dapat menimbulkan gejala lain yang
merupakan manifestasi dari komplikasi abses leher dalam seperti gangguan jalan
napas, syok septik dan mediastinitis. Dari anamnesa juga ditanyakan adanya riwayat
penyakit infeksi lain yang dapat menjadi sumber infeksi dari abses submandibula
diantaranya adalah infeksi gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula,
adanya trauma serta kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lainnya.Adanya faktor
predisposisi dari abses submandibula yaitu higiene orodental yang buruk, diabetes
melitus serta adanya penyakit imunodefisiensi dapat diperoleh juga dari anamnesa.

Rana dkk menyatakan bahwa gejala berupa bengkak dan nyeri merupakan
keluhan utama sebagian besar dari abses leher dalam. Dari 50 pasien abses leher
dalam sebanyak 96% pasien mengeluh adanya pembengkakan, sebanyak 92% pasien
mengeluh nyeri dan 66% pasien mengeluh demam.6 Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Paolo Rizzo pada tahun 1998-2006 di Rumah Sakit Treviso, Italia,
gejala klinis yang sering terjadi pada pasien dengan abses submandibula adalah
prmbengkakan pada leher (98,8%) dan sulit menelan (35,8%). Gejala lain yang sering
ditemukan adalah 23,5% pasien mengeluh demam, 24,7% mengeluh nyeri dan 17,3%
pasien mengeluh adanya trismus.

Pada pemeriksaan fisik infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai


dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral yang nyeri
tekan, hiperemi dan berfluktuasi. Pembengkakan di bawah rahang dapat juga disertai
dengan pembengkakan di bawah lidah serta adanya trismus. Terdapat adanya pus
pada aspirasi yang dilakukan di tempat pembengkakan tersebut.Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan lekositosis.

Pemeriksaan lekosit secara serial merupakan cara yang baik untuk menilai
respons terapi. Pemeriksaan glukosa darah diperlukan untuk mencari faktor
predisposisi.Pemeriksaan elektrolit darah diperlukan untuk menilai keseimbangan
elektrolit yang mungkin terjadi akibat gangguan asupan cairan dan nutrisi. Pada abses
leher dalam harus dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan uji sensitivitas terhadap
antibiotika. Aspirasi pus untuk kultur dan uji sensitivitas harus dilakukan sebelum
pemberian antibiotika secara empiris. Sedapat mungkin dilakukan kultur aerob dan
anaerob. Pus dari aspirasi akan memberikan hasil kultur yang paling akurat. Hasil
kultur yang negatif dapat memberi kesan bahwa penyebab abses leher dalam adalah
infeksi oleh bakteri anaerob.

Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada
gigi.Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang diduga
sumber infeksinya berasal dari gigi.Pemeriksaan foto polos jaringan lunak leher
posisi anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya proses
infeksi di ruang leher dalam dengan adanya udara di daerah subkutan, adanya
pembengkakan, gambaran cairan di daerah jaringan lunak serta adanya penyempitan
di saluran nafas akibat pendorongan trakea.

Pemeriksaan foto polos dada dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi


dengan didapatkannya gambaran pneumotoraks serta pneumomediastinum yang
merupakan indikator pembentukan abses yang berasal dari leher dalam.Jika hasil
pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses leher dalam,
maka idealnya dilakukan pemeriksaan Computed Tomography scan atau CT scan
dengan kontras yang merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher dalam.
Pemeriksaan ini dapat menentukan lokasi dan perluasan abses, adanya pelebaran
mediastinum akibat mediastinitis, adanya edema paru serta pneumomediastinum
akibat komplikasi.Pada CT scan dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah
hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan
sekitarnya. CT scan memiliki sensitifitas 90% dan spesifisitas 60%.

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah Magnetic Resonance Imaging atau


MRI yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan dan sumber infeksi, sedangkan
Ultrasonografi atau USG adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif
dan relatif lebih murah dibandingkan CT scan serta dapat menilai lokasi dan
perluasan abses.

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari abses submandibula adalah limfadenitis, abses


submaseter, abses bukal, sialodenitis dan neoplasma di daerah leher.

2.8 Penatalaksanaan

Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses leher


dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan napas, pernafasan dan sirkulasi. Karena
abses leher dalam memiliki potensi untuk mengancam nyawa maka pasien harus
dirawat di rumah sakit.
Penatalaksanaan abses submandibula dapat dilakukan dengan memberikan
terapi antibiotik yang adekuat dan drainase abses. Drainase abses dapat dilakukan
dengan aspirasi abses yang kemudian dilanjutkan dengan insisi dan eksplorasi,
tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya. Evakuasi abses
dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Insisi abses
submandibula untuk drainase dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau
setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Insisi tersebut sedapat mungkin
sejajar dengan garis lipatan kulit alamiah menembus jaringan subkutan, muskulus
platisma sampai ke fasia servikal profunda. Diseseksi tumpul dengan hemostat
dilakukan sampai ke dalam rongga abses dan kemudian dilakukan drainase
abses.Setelah itu rongga abses diirigasi dengan larutan garam fisiologis dan dipasang
drain.Perlu diperhatikan, dalam 4 sampai 8 jam pertama sebaiknya dilakukan
observasi dan penatalaksanaan awal dengan pemberian antibiotik intravena dan
hidrasi. Hal ini dilakukan sambil mengawasi perkembangan keadaan pasien jika
diperlukan sebaiknya dilakukan drainase.

Perkembangan gejala yang menunjukkan perlunya dilakukan drainase adalah


apabila terjadi demam persisten, nyeri, bengkak dan peningkatan WBC (white blood
cell).Indikasi lainnya untuk dilakukan drainase meliputi potensi kompromi jalan
napas, kondisi kritis karena komplikasi atau septikemia, dan melibatkan beberapa
ruang.Drainase dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan termasuk drainase
transoral, dan aspirasi jarum. Setelah mengakses rongga , sampel pus atau jaringan
debridement harus dikumpulkan untuk kultur dan sensitivitas .Pilihan antibiotika ini
tergantung pada bakteri penyebabnya yang didasarkan atas hasil kultur dan uji
sensitivitas terhadap antibiotika. Namun demikian antibiotika empiris intravena harus
diberikan segera setelah mengambil spesimen kultur tanpa menunggu hasil kultur
tersebut.Umumnya sebelum didapatkan hasil kultur, pasien diberikan antibiotik
intravena dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah


efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal,
toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama. Bakteri
penyebab abses leher dalam umumnya adalah polimikroba termasuk bakteri aerob
dan anaerob.Oleh karena itu terapi antibiotik empiris yang harus diberikan sebaiknya
yang dapat bekerja pada bakteri aerob dan anaerob.Lebih dari dua pertiga infeksi
leher dalam disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan beta laktamase. Antimikroba
yang paling efektif adalah kombinasi dari penisilin dan antibiotik yang resisten
terhadap beta laktamase inhibitor ( amoksisilin / klavulanat, tikarsilin / klavulanat,
piperacillin / Tazobactam ), cefoxitin, carbapenem, atau klindamisin.

Pemberian makrolid atau ketolides ditambah metronidazol dapat


dipertimbangkan pada pasien yang alergi amoksisilin. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Shih-Wei Yang dkk pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 mengenai
cakupan spektrum kerja antimikroba yang berbeda pada hasil kultur bakteri aerob dan
anaerob dari 89 pasien dengan hasil kultur positif, didapatkan kombinasi dari
seftriakson dan klindamisin, seftriakson dan metronidazol, atau penisilin G dan
gentamisin dan klindamisin merupakan terapi antibiotika yang disarankan untuk
penatalaksanaan abses leher dalam.
2.9 Komplikasi

Komplikasi abses submandibula terjadi akibat keterlambatan diagnosis dan


penatalaksanaan serta terapi yang tidak tepat dan adekuat.Komplikasi yang dapat
terjadi adalah obstruksi jalan nafas, osteomielitis mandibula, penyebaran infeksi ke
ruang leher dalam di dekatnya, mediastinitis serta sepsis yang menyebabkan semakin
sulitnya penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.

Pada era antibiotik modern, telah dilaporkan angka kematian akibat


komplikasi dari abses submandibula mencapai 40%.Salah satu penyebaran infeksi
pada abses submandibula yang dapat terjadi adalah ke ruang submental. Ruang ini
adalah ruang fasia kepala dan leher yang merupakan ruang potensial terletak antara
otot milohioid superior , otot platisma inferior, terletak digaris tengah bawah dagu .
Ruang ini terletak tepat di wilayah segitiga submental , bagian dari segitiga anterior
leher. Abses dari gigi molar mandibula kedua dan ketiga dapat melubangi mandibula
dan menyebar ke dalam ruang submandibula dan submental.

2.10 Prognosis

Sejak ditemukan antibiotik, kejadian komplikasi terkait dengan abses leher


dalam telah menurun selama dekade terakhir. Diagnosis dini , manajemen agresif
dengan bedah intervensi dan manajemen jalan napas yang tepat dapat mengurangi
komplikasi dan kematian yang terkait dengan abses leher dalam termasuk abses
submandibula. Prognosis yang cukup baik didapatkan pada penelitian yang dilakukan
di Departemen THT-KL RSHS Bandung periode Januari 2012-Desember 2012 yang
memperlihatkan kondisi pasien saat pulang dengan perbaikan sebanyak 71%.

2.11 Penyakit sistemik

2.11.1 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) atau kencing manis adalah suatu penyakit kronis yang
terjadi ketika konsentrasi glukosa darah dalam tubuh berlebih. Ini biasanya terjadi
ketika produksi insulin, hormon pengatur kadar glukosa darah, dari pankreas tidak
memadai, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
dihasilkan. Diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia dan intoleransi glukosa.
Hiperglikemia digunakan untuk menggambarkan peningkatan konsentrasi glukosa
dalam darah, sedangkan intoleransi glukosa dikaitkan dengan resistensi insulin

Penyakit ini dikaitkan dengan berbagai komplikasi mikro dan makrovaskuler


dalam tubuh. Komplikasi dan manifestasioral dalam bentuk gingivitis, periodontitis,
xerostomia, infeksioportunistik, akumulasi plak yang lebih besar, parestesi oral,
gangguan pengecapan, kandidiasis, terhambatnya penyembuhan luka dan
rekonstruksi tulang juga menjadi masalahyang muncul di bidang kedokteran gigi.
Dari sekian banyak komplikasi dan manifestasi oral yang telah diuraikan di atas, dua
faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pencabutan gigi pada
penderita diabetes mellitus adalah terhambatnya penyembuhan luka Dan rekonstruksi
tulang.

2.11.2 Hipertensi

Hipertensi atau yang dikenal sebagai tekanan darah tinggi didefinisikan


sebagai suatu kenaikan tekanan darah sistole lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah
diastole lebih dari 90 mmHg, dengan diagnosis didasarkan pada hasil yang sama pada
dua atau lebih kunjungan setelah pemeriksaan awal. Hipertensi ditandai adanya suatu
kenaikan tekanan darah yang persisten sebagai akibat dari kenaikan resistensi dari
arteri perifer.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal


tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih dari satu
periode. Konstriksi arteriol membuat darah sulit untuk mengalir dan meningkatkan
tekanan melawan dinding arteri. Hipertensi menjadi kontraindikasi relatif dalam
pencabutan gigi berkaitan dengan penggunaan anestesi lokal. Adanya vasokonstriktor
dalam anestesi lokal merupakan masalah tersendiri berkaitan dengan tekanan darah
pasien.
Anestetikum lidokain dengan epinefrin (adrenalin) sebagai vasokonstriktornya
merupakan yang paling umum digunakan dalam praktek dokter gigi. Salah satu efek
samping yang paling penting dari campuran lidokain dengan epinefrin adalah efek
kardiovaskular yang membatasi penggunaannya pada beberapa kasus tertentu. Hal ini
disebabkan karena penyerapan sistemik epinefrin dari tempat injeksi atau injeksi
intravaskulernya. Efek kardiovaskular yang dimaksud seperti hipertensi, nyeri dada,
takikardia, dan aritmia jantung

Beberapa bukti penelitian menyatakan bahwa penggunaan bahan anestesi


lokal yang mengandung vasokonstriktor dalam dosis yang dianjurkan tidak
mengakibatkan peningkatan perubahan tekanan darah yang signifikan. Bila ada
perubahan, hanya bersifat sesaat. Sehingga, dalam beberapa literatur menyatakan
bahwa anestesi lokal dengan vasokonstriktor dapat dengan aman digunakan selama
pencabutan gigi pada pasien hipertensi. Meskipun demikian, masih ada kontroversi
tentang hal ini. Komplikasi mengancam nyawa yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan darah secara spontan dapat terjadi selama prosedur pencabutan gigi pada
pasien hipertensi Selain itu, konsumsi obat-obatan pada pasien dengan hipertensi
tidak terkontrol juga dapat memicu terjadinya pendarahan setelah pencabutan gigi.
Obat-obatan yang umumnya dikonsumsi pasien hipertensi adalah antikoagulan.

2.11.3 Penyakit Jantung

Penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung merupakan faktor resiko dalam


praktek kedokteran gigi, terutama karena tidak adanya kontrol medis yang memadai.
Oleh karena itu penting bagi dokter gigi untuk mengetahui masalah medis setiap
pasien, perawatan yang diterima, dan kemungkinan pengobatan yang akan dilakukan.
Penyakit jantung yang paling sering terlihat dalam praktek kedokteran gigi, seperti
hipertensi arteri, penyakit jantung iskemik, aritmia dan gagal jantung. Peran dokter
gigi pada pasien penderita penyakit jantung meliputi mendeteksi penyakit, merujuk
pasien, edukasi dan konseling, penundaan perawatan gigi, serta pencegahan dan
perawatan kondisi mulut. Dokter gigi bertugas memeriksa tekanan darah pasien
selama kunjungan rutin atau skrining dan memberi konseling berkaitan dengan faktor
risiko seperti diet, merokok, dan gaya hidup. Ketika seorang pasien diduga menderita
penyakit jantung, tetapi tidak memperoleh pengobatan atau dengan kata lain penyakit
tersebut tidak terkontrol, maka dokter gigi dapat merujuk pasien ke dokter ahli
jantung. Pemahaman tentang pengobatan dan status kesehatan kardiovaskular pasien
betujuan untuk memberikan penanganan yang tepat dan menghindari potensi interaksi
obat.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien

Nama : Ny.SA
Umur : 56 tahun
Tanggal lahir : 01/01/1960
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Arso XI
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : benjolan dibagian leher sebelah kiri dan dibawah dagu.

RPS :Pasien datang dengan keluhan benjolan dibagian leher sebelah kiri dan
dibawah dagu sejak ± 4 hari yang lalu. Demam (+), nyeri (+), mual (-), muntah
(+).Pasien sulit membuka mulut dan makan minum.

Awalnya pasien mengeluh adanya luka pada lidah sudah 3 bulan dan mencoba
mengobati sendiri tetapi tidak sembuh.Lalu pasien datang ke rumah sakit berobat
tetapi tidak sembuh juga.Pasien mengaku kembali ke RS lagi untuk cek Gula dan
bertemu dokter lalu disarankan untuk ke dokter gigi.Pasien mengaku dokter gigi
menyarankan agar mencabut gigi geraham belakang kiri bagian bawah.Pasien
mengaku gigi dicabut tanggal 20 Maret 2019.Setelah 2 minggu pencabutan pasien
tidak merasakan sakit bagian lidah tapi ketika masuk minggu ketiga pasien mengeluh
sakit dan ketika bangun tidur pipi sebelah kiri sampai dagu bengkak, demam (+),
nyeri pada pembengkakan (+), sulit membuka mulut (+), makan (-), minum (-)

RPD :

 Riwayat Cabut Gigi (+)


 Diabetes Mellitus (+)
 Hipertensi (+)
 Jantung (+)
 Kolestrol (+)

3.2.1 Status Umum


KU : Baik
Vital Sign : TD : 160/100 mmHg , N : 68x/menit, R : 22x/menit,
SB : 36,5 ̊C, SpO2 : 99%

3.2.2 Status Lokal


a. Extra Oral : Regio Fasial

Inspeksi :

 tidak simetris
 udem (+) region submandibular sinistra, submental
 Oral higiene buruk.
 massa (+) region submandibula sinistra , submental
 bibir kering dan pecah-pecah (+), sianosis (-)
 pus (-)
 telinga dan hidung tampak tenang
Palpasi :

 teraba lunak
 pemeriksaan KGB : mobile
 nyeri / sakit (-)

b. Intra Oral

Keterangan :

Gusi : Udem (+) inferior dextra, tidak kemerahan,

Perdarahan (-)

Gigi : Karies Superfisial (+)

Warna : Gigi tampak kehitaman


Lidah :

 Permukaan atas tampak bercak putih


 Permukaan tepi lidah sinistra tampak ulcerasi
 Warna : pucat

Palatum Durum, Palatum Molle :

 Udem (-)
 Massa (-)
 Hiperemis (-)
 Tenggorok sulit dievaluasi karena trismus sehingga pasien hanya bisa
membuka mulut kira-kira 2 cm.

a. Pemeriksaan Penunjang
 Panoramik : (+)
 Dental Foto :

Diagnosa : Abses Subamndibula Sinistra, Submental post


Pencabutan Gigi + Diabetes Mellitus tipe 2 +
Hipertensi

Prognosis : Baik

Rencana Pengobatan :

UMUM

 Relief of Pain
 Pulp Capping
 Pulpotomi
 Pulpektomi
 Penambalan Permanen
 Pencabutan Gigi
 Scalling Ultrasonik
 Lain-lain

SPESIALISTIK

 Bedah Mulut
 Penyakit Mulut
 Konservasi Gigi
 Periodontia
 Pedodontia
 Prostodonsia
 Ortdontia

Tabel Perawatan

Tanggal & Gigi Kode Riwayat Penyakit Diagnosa Terapi Terapi


Jam ICD 10
Selasa, S Benjolan leher bagian sebelah kiri dan
9 April 2019 . dibawah dagu sejak ± 4 hari yang lalu
pukul 12.00
WIT
O Region submandibular, regio submental
A Abses submandibular, submental post
pencabutan gigi
P Co. Penyakit Dalam
Pemeriksaan GDP, GDPP
Wajah Tampak Depan Wajah Tampak Samping Kiri

Wajah Tampak Samping Kanan Tampak Bagian Dagu

Gambar 3.

Terdapat adanya pembengkakan pada region submandibula, submentalis


Gambar 4. Lokasi Gigi yang dicabut Gambar 5. Ulkus pada mukosa pipi

Gambar 6. Bercak putih pada lidah Gambar 6. Terdapat Karies pada gigi
Gambar 7. Foto Panoramik

Interpertasi :
BAB IV

PEMBAHASAN

Abses submandibula merupakan abses leher dalam yang paling sering terjadi
dimana angka kejadian abses submandibula lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibanding perempuan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo ditemukan
bahwa angka kejadian abses submandibula pada laki-laki (51,9%) dan perempuan
(48,1%), berusia antara 12 sampai 96 tahun. Pada kasus ini terjadi pada perempuan
berusia 56 tahun.Gejala pada pasien ini adalah bengkak dan nyeri dibawah rahang kiri
hingga di bawah dagu yang disertai demam dan trismus.Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Rana dkk, bahwa gejala berupa bengkak dan nyeri merupakan
keluhan utama sebagian besar dari abses leher dalam. Dari 50 pasien abses leher
dalam sebanyak 96% pasien mengeluh adanya pembengkakan, sebanyak 92% pasien
mengeluh nyeri dan 66% pasien mengeluh demam. Paolo Rizzo menyatakan gejala
klinis yang sering terjadi pada pasien dengan abses submandibula adalah
pembengkakan pada leher (98,8%) dan sulit menelan (35,8%). Gejala lain yang
sering ditemukan adalah 23,5% pasien mengeluh demam, 24,7% mengeluh nyeri dan
17,3% pasien mengeluh adanya trismus. Orodental hygiene yang buruk dan adanya
infeksi yang berasal dari gigi merupakan faktor predisposisi pada pasien ini.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo pada tahun 1998-2006 di
Rumah Sakit Treviso, Italia, penyebab tersering abses submandibula adalah infeksi
pada gigi (46,9%). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rana dkk, bahwa infeksi yang berasal dari gigi merupakan penyebab tersering dari
abses leher dalam yaitu 48%.Pada pasien ini jumlah lekuosit berangsur-angsur
menurun mendekati normal. Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan pasien didiagnosis dengan abses submandibula sinistra.dengan
perluasan ke submentalis. Salah satu penyebaran infeksi pada abses submandibula
yang dapat terjadi adalah ke ruang submental. Ruang ini adalah ruang fasia kepala
dan leher yang merupakan ruang potensial terletak antara otot milohioid superior ,
otot platisma inferior, terletak digaris tengah bawah dagu . Ruang ini terletak tepat di
wilayah segitiga submental , bagian dari segitiga anterior leher. Abses dari gigi molar
mandibula kedua dan ketiga dapat melubangi mandibula dan menyebar ke dalam
ruang submandibula dan submental.Sebagian besar penyebab abses leher dalam
adalah polimikrobial termasuk bakteri anaerob dan aerob.

Pada saat melakukan anamnesis sangat penting ditanyakan mengenai riwayat


penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit sistemik yang terdapat pada
pasien. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien ini yaitu pemeriksaan
gula darah puasa dan pemeriksaan tes gula darah 2 jam Post Prandial (PP).
Pemeriksaan ini berkaitan dengan adanya penyakit sistemik dan infeksi.

Pada penderita diabetes dengan kadar gula darah tidak terkontrol rentan
terhadap infeksi.Hal ini disebabkan terjadi penurunan fungsi respons imun tubuh, sehingga
menyebabkan gangguan fungsi neutrofil termasuk kemotaksis, fagositosis dan aktifitas
bakteriasidal dan gangguan kerja komplemen. Dari suatu penelitian
m e n g e n a i r e s p o n s i m u n p a d a p a s i e n D M d e n g a n u l k u s , didapatkan
adanya penurunan fungsi respons imun selular dan hormonal, yang dinyatakan
dengan menurunya persentase sel limfosit B dan T

Salah satu komplikasi menahun pada penderita diabetes adalah


terjadinya proses angiopati pada pembuluh darah. Proses tersebut terjadi akibat
penumpukan lemak,kolesterol, kalsium, sel otot polos dan trombosit di dinding pembuluh darah.
Keadaan hiperglikemi yang terus menerus mempunyai dampak
berkurangnya kemapuan pembuluh darah u n t u k    berkontraksi dan
relaksasi. Hal ini mengakibatkan sirkulasi darah tubuh menurun dan menyebabkan
terjadinya gangguan penyembuhan luka.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian antibiotic cefriaxon 1 x 2


gr,metronidazol 3 x 500mg. Pasien dikonsulkan ke Bagian Penyakit Dalam untuk toleransi
operasi dan penatalaksanaan diabetesnya.
Edukasi pada pasien ini adalah hal yang sangat penting karena
pasien tidak mengetahui bahwa keluhan tersebut ada kaitannya dengan
penyakit diabetes melitus yang dideritanya, sehingga luka semakin parah
dengan kadar gula yang semakin meningkat yang mengakibatkan perluasan dari
infeksinya maupun kompliaksi dari diabetesnya.

Adapun gigi yang sering menjadi sumber infeksi adalah gigi molar mandibula
dengan prevalensi 22,7-43% dengan ruang submandibula merupakan tempat infeksi
yang paling sering terjadi pada pasien dengan infeksi gigi yaiu 60%. Abses
submandibula yang disebabkan oleh infeksi odontogenik, berasal dari gigi molar
kedua atau ketiga bawah.Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas m. milohioid,
dan abses dilokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular. Ujung akar molar
kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea milohioid yang terletak di aspek
dalam mandibular, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk
abses, pusnya akan menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang
submental.
BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien perempuan berusia 56 tahun dengan diagnosis abses


submandibula sinistra.Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perjalanan infeksi
dan abses ke ruang leher dalam lainnya seperti ke ruang submental sehingga terjadi
abses submental. Pasien pada kasus ini mengalami perluasan ke ruang submental dan
menunjukkan perbaikan setelah dilakukan insisi drainase abses dan mendapatkan
terapi medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the deep spaces of the neck. In: Bailey BJ,
Johnson JT,editors. Head & neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2006. p.665-82.

2. Rosen EJ. Deep neck spaces and infections.Grand rounds resentation, UTMB,
Dept.Of Otolaryngology.2002.

3. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku


ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok.Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2007. p. 185-8.

4. Rahardjo P. Infeksi Leher Dalam. Makasar: Graha Ilmu.2013. p.2-16.

5. Anonim. (2016, Juni 21-last update), “Submandibular space”, Available:


https://en.wikipedia.org/wiki/Submental space (Accessed: 2016, September 12).

6. Rana K, Rathore PK, Wadhwa V, Kumar S. Deep Neck Infections: Continuing


Burden in Developing World. International Journal of Phonosurgery and
Laryngology. 2013;3(1):6-9.

7. Das R, Manickam A, Saha j, Basu s. Unilateral Marginal Mandibular Nerve Palsy


in a Case of Submandibular Space Abscess – A Rare Case Report with Review of
Literature. Global Journal of Medical Research: J Dentistry and Otolaryngology.
2015; 15(1):5-7.

8. Stong BC, Johns ME, Johns III MM. Anatomy and Physiology of the Salivary
Glands. In : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and Neck Surgery -
Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 518-
25.
9. Christian JM. Odontogenic Infections. In: Flint PW, Haughey BH, Lund VJ,
Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al., editors. Cummings Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2010. p. 177-90.

10.Fragiskos FD. Odontogenic Infections. In: Fragiskos FD, editor. Oral Surgery.
Berlin:Springer-Verlag; 2007. p. 232-4.

Anda mungkin juga menyukai