Anda di halaman 1dari 16

ABSES LEHER DALAM

Ruang Ruang Fasia


Secara deskriptif leher dibagi menjadi tiga regio besar yang masing- masing dapat dibagi
menjadi beberapa divisi:
1. Regio anterior terletak diantara kedua m.sternokleidomastoid
a. Ruang suprahioid tergabi menjadi daerah submental dan submaksila (besamasama disebut daerah submandilbula)
b. Infrahioid terbagi menjadi daerah superfisial, laringotrakea, tiroid, servikal,
esofageal dan pravetebra.
2. Regio lateral sebagian besar terletak dibawah m.sternokleidomastoid
3. Rehio posterior atau :nukhal (suboksipital) terletak di antara kedua m. Trapezius.

Lapisan servikal terdiri dari fasia servikal superfisial dan fasia servikal provunda. Fasia
servikal profunsa terbagi atas tiga subdivisi:
1. Lapisan selubung
2. Lapisan pra trakea
3. Lapisan pravetebra

Fasia servikal supervisial. Lapisan fasia ini terletak tepat di bawah kulit leher.
Mengandung pembuluh- pembuluh darah dan saraf- saraf superfisial serta terpisah dari fasia
servikal provunda oleh m. Platisma yang tipis dan meluas ke arah anterior leher. Otot ini
sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior
untuk berinsersio di bagian inferior mandibula. Kadang- kadang m. Plastisma menjadi satu
dengan otot- otot wajah.
Fasia servikal profunda. Ketiga subdivisi dari fasia servikal profunda, seperti
disebutkan diatas, membungkus semua organ- organ servikal kecuali m.plastima dan
pembuluh darah serta saraf- saraf superfisial. Lanjutan ke dalam dari fasia servikal
superfisial, pertama akan tampak lapisan selubung atau pembungkus dari fasia servikal
profunda dan kemudian berturut- turut lapisan pratrakea dan pravetebra.
Lapisan selubung atau pembungkus dari fasia timbul di inferior dari abatas anterior dan
posterior sternum dari Burns (Gruber). Kedua lamela akhirnya menempel pada tulang hioid.
Disebelah lateral lapisan selubung ini menempel pada prosessus spinosus vetebra servikal
dan membungkus m.trapezius. Sebelah anterior dari batas m. Trapezius, menyarungi
m.sternokleidomastoid dan kemudian bersatu dengan fasia dari sisi berlawanan di atas tulang
2

hioid sebagai lapisan tunggal seta tulang dibawah tulang hioid dengan kedua lamela yag
membentuk ruang Burns. Dibagian superior, fasia selubung yang menempel pada pinggir
bawah mandibula, sudut posterior rahang, arcus zigomatikus (membungkus kelenjar parotis,
fasia parotis), prosesus mastoid, garis nukhal superior dan protuberans oksipital eksterna.
Sebagai fasia lapis tunggal di atas tulang hioid berjalan ke arah superior, dan bergabung
dengan lapisan penutup dari venter anterior dan posterior m. Digastikus, sehingga daaerah
submaksila dan submental tidak berhubungan satu sama lain serta dengan bagian leher
lainnya.
Lapisan pratrakea terbelah dari lapisan selubung profunda m.sternokleidomastoid. Lapisan ini
berjalan ke anterior menuju trakea, laring dan hipofaring. Menurun ke pangkal leher dan
mediastinum untuk bergabung dengan aota dan perikondrium. Di sebelah lateral menyarungi
m. Omohioid, m. Tirohioid, m.sternohioid dan m. Sternotiroid serta membentuk sarung
karotis.
Fasia pravetebra terletak posterior dari esofagus dan pembuluh darah besar leher serta diatas
otot- otot pravetebra
Ruang fasia pada leher. Tiga ruang fasia dibatasi oleh tiga lapis fasia servikal provunda.
Ruang visera terletak diantara fasia pratrakea dan fasia pravetebra yang berisi faring bagian
bawah, laring, trakea, esofagus servikal, kelenjar tiroid dan pembuluh darah besar leher.
Infeksi disni berbahaya karena akan meyebabkan tekanan pada struktur tersebut dan dapat
meluas kedawah ke dalam mediastinum, kelateral sepanjang pembuluh darah subklavia ke
dalam ruang aksila, atau keatas menuju ruang retromandibular. Ruang pravetebra terletak
dianatara otot- otot pravetebra dan fasia pravetebra. Infeksi disni dapat menerobos lke lateral
atau inferior ke dalam mediastinum posterior. Ruang suprahioid terletak diatas tulang hioid
antara lapisan selubung dan pembungkus m. Milohioid.
Infeksi disni dapat meluas ke ruang submental atau submaksila sepeti yang dijelaskan
dibawah, atau dapat meluas ke bawah kea dalam ruang visera.

Ruang parafaring merupakan rongga segitiga besar dipenuhi dengan jaringan lemak
longgar, terletak lateral dari faring. Ruangan parafaring, juga dikenal sebagai faringomaksila,
perifaring atau ruang faring lateral, terdiri dari dua bagian, anterior (prastiloid) dan posterior
(retrostiloid).
Bagian posterior dibentuk oleh sarung karotis. Meluas dari dasar tengkorak ke riamg
servikal visera dan berisi a. Karotis interna, v jugularis interna, a faringeal asendens dan nn
hioglosus, vangus, simpatis servikalis, glosofaring dan assesorius spinalis.
Bagian anterior, ruangan yang potensial jika tidak terinfeksi, berisi jaringan ikat,
kadang a maksilaris eksterna dan biasanya beberapa kelenjar linfe. Ruang ini meluas dari
dasar tengkorak sampai angulus madibula. Ke arah anteromedial ruang anterior dibatasi oleh
fasia bukofaring yang menutupi m. konstriktor superior; yang di bagian anterior jadi menebal
pada ligamen pterigomandibula dan tercermin pada fasia yang menyelubungi m. pterigoid
interna yang membentuk batas anterolateral. Kemudian dilanjutkan dengan ligamen stilomandibula (fasia parotis media) yang membentuk dinding posteroiateral. Batas posterior dibentuk
oleh fasia yang menyelubungi stiloid dan otot-ototnya serta dinding anterior sarung karotis.
4

Di sebelah posteromedial ditemukan fasia alar (aponeurosis stilofa-ring). Seluruh fasia ini
membentuk ruang berbatas fasia lengkap kecuali sebelah superior di mana bagian medial
lapisan parotis tidak ada.

Eticlogi Infeksi Ruang Fasia


Infeksi leher dalam dapat disebabkan oleh infeksi di dalam atau di sekitar tonsil,
faring, gigi, sinus, kelenjar tiroid (atau fasianya), telinga tengah, mastoid (abses Be-zold),
petrosus tulang temporal, dasar lidah, dasar mulut, vertebra servikal atau esofagus (perforasi),
atau kista yang bernanah, cedera daerah rahang, infeksi kelenjar limfe leher, trombosis vena
pleksus pterigoid dan trauma. Tonsil merupakan pintu masuk yang paling sering, biasanya
melalui suatu flebitis atau tromboflebitis vena-vena di tonsil. Kelenjar limfe leher dapat
terinfeksi tanpa terlibatnya ruang fasia leher walaupun selalu ada potensi untuk itu.

Patologi
Sekali terjadi infeksi yang dimulai pada jaringan lunak leher, jika tidak segera terdeteksi, akan meluas ke salah satu ruang fasia leher yang paling lemah. Dari sana dapat
menjalar ke atas, ke bawah atau ke lateral, mengikuti ruang-ruang fasia seperti dijelaskan di
atas.

ABSES PARAFARING
Etiologi. Ruang para faring akan terinfeksi (1) oleh tertanam langsung dari jarum
operasi (2) melalui pembuluh darah, dan (3) melalui saluran limfatik atau supurasi dari
kelenjar servikal dalam.
Patologi. Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegrnonosa dengan tanda-tanda setempat yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan yang
melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak
diobati akan berkembang menjadi suatu abses dan akhirnya menjadi suatu trombosis dari
5

vena jugularis interna. Abses dapat mengikuti m. stiloglosus ke dasar mulut di mana
terbentuk abses.
Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke bawah
sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis atau
suatu mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluhpembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial atau erosi a. karotis interna.
Gejala-gejala. Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan dengan
nyeri tekan di daerah submandibula terutama pada angulus mandibula, lekositosis dengan
pergeseran ke kiri dan adanya demam. Terlihat edem uvula, pilar tonsil, palatum dan
pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil
hanya tonsil yang terdorong ke medial. Pada Rontgenogram lateral mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior.
Trismus yang disebabkan oleh menegangnya m. pterigoid internus merupakan gejala
menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan
struktur yang melekat padanya sehingga tidak mengenai m. ptergoid internus.
Terapi. Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi abses.
Terapi antimikroba sangat perlu, kalau dapat dengan tes sensitivitas.
Insisi intraoral Jika timbul penonjolan ke dalam faring, dilakukan kokainisasi sebelum
tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase.
Insisi ekstranasal Jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak pembengkakan yang
jelas, drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang berfluktuasi atau
di atas bagian yang paling menonjol dari pembengkakan. Suatu cunam melengkung
dimasukkan ke dalam ruang abses tersebut, kemudian secara hati-hati diperluas dengan
merenggangkan cunam. Satu insisi lain boleh dilakukan untuk menjaga drainase. Drain
dipasang dan dijahit. Jika ditemukan suatu kavitas yang besar, sekitar drain boleh
dimasukkan tampon longgar dengan kasa jodoform. Kasa dikeluarkan setelah 1-2 hari,
sedangkan drain didiamkan selama kira-kira 1 minggu.

Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah adalah kartilago
krikoid, ujung korau mayor os hioid, prosesus stiloid, tepi dalam m. sternokleido-mastoid dan
bila perlu diseksi diteruskan ke venter posterior m. digastrikus.
Teknik. Dibuat insisi paralel dengan korpus mandibula. Paparan tambahan diperoleh
dengan membuat ekstensi vertikal ke atas walaupun secara kosmetik tidak bagus. Kelenjar
submandibula akan terlihat. Setelah vena fasial diikat dan dipotong, bagian bawah dari
kelenjar ditarik. Jari diselipkan di bawah kelenjar dan gerakkan ke belakang dan ke atas
sampai ligamen stilomandibula teraba di bawah sudut rahang. Jari meraba ke atas sepanjang
ligamen sampai prosesus stiloid teraba. Ruang parafaring ditemukan dengan menyelipkan jari
ke arah dan ke luar prosesus stiloid sampai dasar tengkorak. Jika pada dasar mulut atau dasar
lidah terdapat nanah, insisi dibuat di tengah-tengah dasar fosa submaksila dan dapat diperluas
ke depan atau belakang tergantung keperluan. Jika tidak dapat diatasi, mediastinum dapat
terserang. Infeksi menjalar terus ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah
besar, dengan perluasan dari ruang retrofaring melalui ruang pravertebra atau ruang visera
untuk memasuki mediastinum.
Trombosis yugular telah ditemukan pada beberapa kasus. Pada edem laring diperlukan trakeotomi. Telah dilaporkan komplikasi berupa angina Ludovisi, perdarahan,
osteomielitis vertebra servikal dan mandibula, pneumonia, erisipelas, gangguan n.vagus,
meningitis, abses dan septikemia.

ANGINA LEUDOVICI INFEKSI PADA RONGGA SUBMANDIBULA


DAN SUBMENTAL
Anatomi bedah dasar mulut. Pada dasar mulut terdapat 3 ruang yang penting:
Ruang submental dan sub-maksila di bawah m. milohioid dan ruang sublinguai di atasnya.
Ruang submaksila dan submental bersama-sama disebut ruang sub-mandibula. Setiap infeksi
pada dasar mulut yang menyebabkan edem, sangat menghambat saluran napas di faring; akan
tetapi infeksi di bawah milohioid jarang mengakibatkan hal tersebut, karena otot yang keras
dan kaku ini mencegah menjalarnya edem ke atas.

Ruang submental. Batas lateral ruang ini dibentuk oleh venter anterior m. digastrikus,
batas inferior oleh garis melalui tulang hioid, bagian atas oleh m. milohioid dan bagian dasar
oleh fasia selubung dan kulit dagu. Infeksi pada ruang ini biasanya terbatas karena ada
kesatuan yang keras dari fasia selubung servikal profunda dengan m. digastrikus anterior dan
tulang hioid. Edem dagu dapat terbentuk dengan jelas dan pada eksplorasi percobaan
mungkin tidak ditemukan nanah sampai sedalam 2-3 cm.
Ruang submaksila. Batas superior dari ruang ini dibatasi oleh sebuah garis sepanjang
ramus mandibula, meluas ke posterior sampai prosesus mastcid. Batas posterior dibentuk
oleh m. stilohioid dan venter posterior m. digastrikus. Batas anterior terdiri dari venter
anterior m. digastrikus. Atap terbentuk oleh m. milohioid dan m. hioglosus sedangkan
dasarnya terbentuk oleh fasia selubung servikal profunda serta kulit leher dan dagu. Di dalam
ruang didapati kelenjar submaksila, salurannya berjalan di belakang batas posterior m.
milohioid untuk memasuki ruang sublingual. Infeksi pada ruang submaksila biasanya terbatas
di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusur sepanjang duktus submaksila Whartoni
dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah
sepanjang m. hioglosus menuju ruang-ruang fasia leher.
Ruang sublingual. Ruang ini di sebelah lateral dan anterior dibatasi oleh korpus os
mandibula. Batas posterior terbentuk oleh lidah, m. palatoglosus dan m. stiioglosus serta
tulang hioid. Batas atas adalah lidah sendiri, dasarnya terbentuk oleh m. milohiod yang kaku
dan keras. Suatu daerah yang mempunyai ke lemahan, bila ada infeksi pada daerah tersebut
dapat mencapai ruang submaksila, yaitu pada tempat masuk m. stiloglosus dan m. hioglosus,
dekat sudut yang terisi bagian kelenjar submaksila dengan duktusnya, n. glosofaring dan n.
hipoglosus serta a & v lingualis. Pada infeksi ruang sublingual, edem terdapat pada daerah
terlemah di bagian superior dan posterior, sehingga dapat menghambat jalan napas.

Angin a Ludovici
Angina Ludwig (Ludovici) merupakan peradangan septik yang sangat jarang, virulen
dan sering fatal, pada jaringan lunak ruang sublingual pada awalnya, yang kemudian dapat
meluas ke ruang submandibula atau ke jaringan-jaringan leher.

Etiologi. Etiologi angina Ludovici adalah trauma bagian dalam mulut, infeksi lokal
pada mulut, karies gigi, teruiama gigi molar dan premolar, tonsilitis dan peritonsilitis, trauma
pada ekstraksi gigi, angina Vincent, erisipelas wajah, otitis media dan eksterna serta ulkus
pada bibir dan hidung. Jika infeksi berasal dari gigi, organisme pembentuk gas tipe anaerob
sangat dominan. Jika infeksi bukan berasal dari daerah gigi, biasanya disebabkan
streptokokus.
Patologi. Angina Ludovici pada dasarnya merupakan suatu selulitis primer pada
ruang sublingual yang sering menjalar ke ruang submandibula. Yang menjadi dasar pada
infeksi dalam ruang sublingual adalah m. milohioid yang keras dan kaku, sehingga resisifensi
terlemah yang berhubungan dengan edem adalah daerah superior dan posterior, dengan akibat
penyumbatan jalan napas. Ruang parotis dan faringomaksilar bisa terkena. Jika sarung karotis
sudah tercapai maka akan terjadi ancaman trombosis jugular dan mediastinitis.
Gejala. Pembengkakan seperti papan yang nyeri di daerah submandibula dan dasar
muiut, gusi serta lidah dan bahkan dapat jauh ke bawah sampai daerah klavikula. Posisi lidah
yang terdorong dapat mengganggu saluran napas. Trismus sering ditemukan. Pasien dalam
keadaan sepsis dengan demam tinggi serta leukositosis yang nyata.
Terapi. Antibiotika harus segera diberikan dengan dosis tinggi. Pemanasan baik dari
luar dengan kantong hangat maupun dari dalam dengan irigasi hangat, dapat menolong untuk
melokalisasi infeksi yang superfisial. Trakeotomi untuk menghilangkan obstruksi pernapasan
tidak boleh ditunda sampai pasien menjadi kelelahan karena sulit bernapas.
Jika terbetuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilagukan di bawah dan paralel dengan korpus mandibula melalui fasia dalam sampai ke kedalaman kelenjar submaksila. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Insisi vertikal
Tambahan dapat dibuat di atas os hiold sampai batas bawah dagu.
Prognosis. Pada penderita usia muda yang berbahaya terutama ruptur abses spontan
dengan aspirasi dan/atau spasme laring. Ada kemungkinan meskipun jarang, jika tidak
diobati, dapat menyusup ke dalam ruang faring dengan atau tanpa tanda-tanda luar, menjalar
ke bawah dari belakang esofagus menuju ke mediastinum posterior, septikemia, perdarahan,
edem, ruptur dan

ABSES RETROFARING; ABSES RUANG PRAVERTEBRA

Anatomi klinik. Ruang retrofaring meluas dari permukaan anterior dasar oksiput ke
bawah melalui ruang pravertebra menuju mediastinum posterior. Bagaimanapun, fasia
pravertebra dan fasia dari m. konstriktor superior melekat erat pada oksiput bersama m.
pravertebra setinggi tonjolan vertebrae servikal kedua. Hal ini yang menyebabkan abses
cenderung terbatas di bagian atas.
Di sebelah lateral, ruang retrofaring bersambungan dengan ruang parafaring.
Kelenjar limfe retrofaring umumnya terdiri dari 2-5 kelenjar, di belakang dinding
posterior faring dekat sisi luar dan letaknya berdekatan dari luar dengan pembuluh darah
besar leher. Kelenjar limfe retrofaring menampung aliran dari otot-otot dan tulang-tulang
yang berdekatan, sinus parsnasai, faring, telinga tengah dan telinga dalam serta tuba
Eustachius.
Gejala. Biasanya terdapat infeksi akut dari tenggorok sebelumnya atau bersamaan.
Pasien mengeluh sakit menelan dan jika ada pembengkakan faring atau di bagian bawah
faring, akan timbul gejala-gejala obstruksi seperti mengorok, pernapasan tersendat, atau
bahkan sesak napas dan napas berbunyi.
Aneurisma arteri pada regio ini dapat dikira sebagai abses retrofaring. Pada aneurisma
akan tampak pulsasi dan bising vaskuler yang membedakan keduanya dan untuk kepastian
pada aspirasi ada darah. Juga harus dibedakan dengan kelainan bentuk atau tonjolan korpus
vertebra. Pada kelainan ini tampak massa padat dan keras yang dapat dibedakan dengan
massa yang lunak dan mengembung pada abses.
Prognosis. Pada pasien muda yang berbahaya terutama adalah aspirasi dan spasme
laring akibat pecahnya abses. Pada pasien yang lebih tua keadaan ini tidak begitu berbahaya
karena adanya refleks untuk mengeluarkan sekret. Dengan pengobatan prognosis hampir
selalu baik, kecuali jika penyakit ini disebabkan oleh tuberkulosis vertebra, yang jarang
terjadi.

10

Kemungkinan yang lebih jarang, jika dibiarkan abses akan menjalar ke dalam ruang
parafaring dan menuju ke bawah dari belakang esofagus ke mediastinum posterior dan
menyebar mengikuti aliran darah serta limfe ke daerah meningen. Dapat puia terjadi perdarahan yang disebabkan oleh erosi pembuluh darah besar, tekanan pada epiglotis dan laring
oleh edem; ruptur dan aspirasi dari cairan infeksi dan ruptur ke dalam esofagus.
Terapi Kebanyakan kasus jika diketahui secara dini akan berhasil diobati dengan antibiotika. Jika penyakit ini dibiarkan, maka akan terjadi supurasi dengan fluktuasi dan
memerlukan tindakan pembedahan masuk rasa nyeri faring, sakit menelan dan otalgia,
terutama setelah tonsilektomi. Gejala tersebut lebih terasa waktu menelan, bernapas dalam
pada waktu pergerakan laring maksimal. Lebih spesifik lagi jika terjadi gesekan dengan
karotis akan menyebabkan perasaan tidak enak di daerah parietal dan daerah oftalmik kepala
dengan sedikit atau tanpa nyeri di bawah mata. Bila karotis eksterna terkena, terjadi nyeri
muka homolateral di bawah mata.
Seringkali diagnosis ditegakkan berdasarkan palpasi di fosa tonsilar atau hilangnya
nyeri karena suntikan anesietik ke dalam daerah yang kena gesekan. Pemeriksaan radiologik
harus dibuat foto lateral kepala dan dasar tengkorak.
Terapi. Biasanya operasi transoral untuk memperpendek elongasi prosesus atau
mengangkat ujung yang bengkok. Jika ten-dinitis terjadi pada inserasi di tulang hioid,
suntikan kortikosteroid cukup menolong.
Tonsil
Cincin Waldeyer. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin Waldeyer
dari jaringan limfoid. yang mengelilingi faring. Unsur yang lain yaitu tonsil lingual, pita
lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah
mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba Eustachius (Tonsil Gerlach's).
Cincin Waldeyer ikut berperan pada reaksi imunologi dalam tubuh (tidak berhubungan dengan timus, atau dikenal sebagai sel B). Hubungan tersebut sangat penting dalam
beberapa tahun pertama kehidupan.

11

Fosa Tonsilaris (sinus tonsilaris)


Pilar anterior berisi m. Palatoglosus dan membentuk batas anterior, sedangkan pilar
posterior berisi m. palato-faringeus dan membentuk batas posterior sinus.
Palatoglosus mempunyai origo berben-tuk seperti kipas di permukaan oral palatum
mole dan berakhir pada sisi lateral lidah.
Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan di atas melekat pada palatum mole, tuba Eustachius dan pada dasar tengkorak. Otot ini meluas ke bawah sampai ke
dinding atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus. Pada waktu pembedahan
tonsil, harus diperhatikan agar tidak melukai otot ini.
Kedua pilar bertemu di atas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior akan
berpisah dan memasuki jaringan pada dasar ' lidah dan dinding lateral faring. Dinding luar
fosa tonsilaris terdiri dari m. konstriktor fa-ringeus superior.

Abses peritonsil (Quinsy)


Abses peritonsil merupakan abses akut di dalam jaringan peritonsil.
Etiologi. Penyebabnya sama dengan ton-silitis foiikuler akut. Peritonsilitis (Ouinsy)
mungkin disebabkan oleh infeksi pada kripta di fosa supra tonsil, dimana ukurannya besar,
merupakan suatu kavitas seperti celah dengan tepi tak teratur dan berhubungan erat dengan
bagian posterior dan bagian luar tonsil. Sering terjadi pada dewasa muda dan jarang terjadi
pada anak- anak.
Patologi. Pada sebagian besar kasus abses peritonsil, nanah ditemukan mengisi fossa
supratonsil, yang ditandai dengan pembengkakan dan edem palatum mole mengakibatkan
tonsil terdorong ke bawah dan ke tengah.
Pada kelompok kasus lain, pus menyusup ke bawah dan belakang, mendorong tonsil
ke depan dan menimbulkan sedikit pembengkakan di daerah supratonsil. Pilar posterior
sangat menggembung dan abses terdapat di lokasi ini.

12

Bila m. konstriktor superior dimasuki oleh abses, dapat menimbulkan infeksi di ruang
parafaring. Pus masuk secara langsung atau lewat vena. Dari sini pus menyusup ke bawah
dan memasuki mediaslinum. Pembuluh besar di leher dapat terkena, meskipun jarang, dan
mungkin dapat menyebabkan kematian.
Gejala. Biasanya peritonsilitis merupakan lanjutan dari tdnsilitis folikular akut.
Temperatur jarang melebihi 99-100F, sedang pada awal tonsilitis akut, temperatur
meningkat sampai 103F atau lebih.
Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Otot pengunyah diselusupi
oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka mulut yang cukup lebar untuk pemeriksaan
tenggorok. Menelan jadi sukar dan nyeri. Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air
ludah menetes dari mulut dan ini merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan
kepala ke lateral menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil.
Sekret kental menumpuk di tenggorok dan pasien sulit untuk membuangnya. Lidah
dilapisi oleh selaput tebal dan napas berbau. Pernapasan terganggu akibat pembengkakan
mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edem ke jaringan laring jarang terjadi.
Pada pemeriksaan tampak pembengkakan dan kemerahan yang unilateral, karena jarang
kedua tonsil terkena pada waktu yang sama. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan
membengkak setelah yang satu membaik. Dan bila kedua tonsil terinfeksi secara bersamaan,
gejala sesak napas lebih berat dan lebih menakutkan. Bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit, maka kemerahan, nyeri tekan, rasa sakit dan pembengkakan semakin berat. Bila
abses terjadi di jaringan peritonsil, pembengkakan tampak pada bagian atas pilar anterior,
sehingga palatum dan uvula terdorong ke medial. Kal ini sebagian disebabkan oleh tonsil
yang membengkak tetapi lebih disebabkan oleh edem, selulitis dan penekanan tonsil oleh
abses.
Palpasi dengan jari di regio tonsil akan terasa daerah yang berfluktuasi. Daerah tersebut biasanya berlokasi pada V4 inci ke arah luar dari tepi bebas pilar anterior, atau pada
batas % atas tonsil dengan V3 tengah, di posterior tonsil.
Penyakit ini dapat menyembuh setelah 5-10 hari, walau dapat pula lebih lama. Penyembuhan dapat terjadi setelah pus yang bau keluar secara spontan atau dikeluarkan. Bila

13

pus keluar spontan, biasanya pecah pada pilar anterior. Ada kalanya resorpsi selulitis spontan
terjadi tanpa pengeluaran pus.
Abses peritonsil harus dibedakan dari infeksi ruang submaksila. Infeksi di ruang ini
biasanya terjadi akibat karies atau infeksi pada gigi molar. Pus dapat mendorong otot-otot
dalam ke arah konstriktor superior sehingga tonsil terdorong ke medial, seperti pada quinsy.
Komplikasi dan gejala sisa. Komplikasi dan gejala sisa jarang didapati. Namun pernah dilaporkan: edem glotis akibat perluasan proses radang ke bawah; tercekik akibat pecahnya abses secara spontan; tromboflebitis salah satu vena besar leher; ulserasi salah satu
arteri besar di regio submaksila; periton-silitis kronis dengan aliran pus yangberjeda; abses
berkapsul di tonsil; dan abses parafaring dengan atau tanpa mediastinitis.
Terapi. Terapi dengan antibiotika yang adekuat harus diberikan sampai temperatur
tubuh normal dan sakit menghilang.
Irigasi dengan larutan NaCl 0,85% hangat (110-115F) atau glukosa 5% tiap 2-3 jam
akan mempercepat penyembuhan dan meringankan penderitaan. Kompres hangat di leher dan
rahang akan mengendurkan ketegangan otot.
Terapi operasi. Bila telah terjadi fluktuasi dan terapi konservatif tidak menolong,
maka tindakan aspirasi pus cukup memadai, tetapi lebih sering harus diikuti dengan in-sisi.
Anestesi lokal dengan aplikasi larutan kokain 5% atau injeksi lidokain 2% di regio insisi,
cukup memadai. Bila didapati trismus hebat sehingga sulit melakukan insisi, maka diberi
kokain melalui hidung untuk mencapai n. palatina desendens yang akan mengendurkan
ketegangan otot.
Lokasi insisi ditentukan oleh daerah yang terdorong ke depan atau yang berfluktuasi.
Biasanya pada bagian depan pilar anterior setinggi batas antara bagian 1/3 atas dan tengah
tonsil, walau hal ini mungkin di pilar posterior atau melewati tonsil. Kegagalan evakuasi pus
biasanya disebabkan tonsil yang terlalu ke depan, di bawah pilar anterior. Dalam hal ini insisi
dibuai menembus tonsil dan bukan ke jaringan sekitarnya. Bila kedalaman insisi diteruskan
sampai tepi luar tonsil, biasanya pus akan dapat ditemukan. Dengan mengingat anatomi
daerah ini, maka insisi anterior selalu akan berhasil mengevakuasi pus bila memang ada. Bila

14

dilakukan insisi posterior, maka insisi diarahkan ke luar melewati pilar posterior atau tepat di
dekatnya, karena sering kantung pus meluas ke posterior tonsil.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Ballanger, John Jacob. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Jakarta: Binarupa Aksara ; 1997.
2. Adams, George. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.
3. Iskandar N, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.

16

Anda mungkin juga menyukai