Anda di halaman 1dari 28

TUGAS POST LARING FARING 3

OPERASI ABSES LEHER DALAM

Oleh :

Kristianto Aryo Nugroho

NIM : 18/437837/PKU/17800

Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan

Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

2022
I. ANATOMI

A. Anatomi Fascia Leher


Fascia pada leher (Gambar 1) secara anatomi dibagi menjadi dua, yang
pertama adalah lapisan superfisial dan lapisan dalam. Lapisan superfisial terdiri dari
kulit, jaringan subkutan, dan platisma. Lapisan dalam dibagi menjadi tiga lapis, yaitu
lapisan superfisial, tengah dan dalam (Kulkarni, 2015).

Gambar 1. Potongan aksial leher untuk menggambarkan disposisi lapisan fasia servikal
(Perhatikan ramus ventral saraf tulang belakang leher antara otot skalenus anterior dan
medius) (Mehrotra, 2020).

Lapisan superfisial dari fascia dalam menyelubungi kelenjar submaksila dan


parotis serta beberapa otot hingga platysma (Gambar 2) (trapezius,
sternocleidomastoideus, dan otot pengikat). Lapisan ini dekat dengan ruang
submandibula dan ruang mastikator yang dapat menjadi fokus infeksi dari gigi dan
submandibula. Lapisan ini melekat di superior ke garis superior nuchal tulang osipital,
prosesus mastoid, dan arkus zigomatikum dengan batas inferior dari mandibula, os
hyoid, dan prosesus spinosus os vertebra servikal. Pada bagian inferiornya melekat pada
manubrium, klavikula, dan akromion, dan bagian belakang skapula yang kemudian
membentuk atap dari segitiga depan dan belakang dari leher. Lapisan ini membentuk
batas paling superfisial dari ruang leher dalam dan menjadi barier yang kuat dari
penyebaran infeksi, sehingga abses cenderung memasuki jauh ke ruang leher yang lebih
dalam dan berdekatan, bahkan ke mediastinum (Watkinson et al., 2018)
Gambar 2. A) Otot leher. B) Pandangan anterior dari otot skalenus dan prevertebral
(Mehrotra, 2020).

Lapisan tengah (lapisan pretrakea) dekat dengan organ viseral pada leher
seperti tiroid, paratiroid, laring dan trakea, farings, dan esofagus. Divisi otot pretrakeal,
atau lapisan tengah, menanamkan apa yang disebut "otot tali", yang merupakan otot
infrahyoid, geniohyoid, dan mylohyoid. Superior lapisan ini menempel pada tulang
hyoid dan kartilago tiroid. Di bagian bawah, pada aspek anterior leher, itu berlanjut
dengan fasia klavipektoralis yang mengelilingi otot subklavius, pectoralis minor dan
serratus anterior, dengan perlekatan pada manubrium dan klavikula, posterior tempat
perlekatan lapisan luar dalam. fasia. Di bagian posterior, divisi otot dari fasia pretrakeal
telah dilaporkan oleh beberapa orang sebagai kelanjutan dari fasia prevertebral
(Sutcliffe et al., 2020).
Lapisan dalam (lapisan prevertebra) melapisi kolumna vertebra dan otot-otot
paravertebra. Lapisan ini merupakan bagian dari lengan fascia untuk otot-otot
prevertebra yang mengelilingi kolumna vertebra. Lapisan ini meluas dari dasar
tengkorak hingga ke vertebra thorakal 3 yang kemudian menyatu dengan ligamentum
longitudinal anterior di mediastinum posterior. Lapisan ini juga meluas ke lateral
menjadi selubung axilaris. Ruang ini terletak diantara ruang tengah dan ruang dalam
bagian depan dengan nama lain ruang retrofarings, yang dibagi oleh membran tipis
bernama fascia alar. Fascia alar merupakan komponen dari diantara lapisan dalam dari
fascia servikal dalam (Sutcliffe et al., 2020).
B. Anatomi Ruang Leher Dalam
Terdapat 11 ruang leher dalam (Gambar 3) yang diklasifikasikan menjadi 3
kelompok utama berdasarkan lokasi dari hyoid yang akan membantu dalam konsep arah
penyebaran infeksi ketika beberapa kompartemen terlibat. Kelompok pertama adalah
ruang suprahyoid yang terdiri dari ruang peritonsil, ruang submandibula, ruang
parafaring, ruang mastikator atau temporal, ruang bucal, dan ruang parotis. Kelompok
yang kedua adalah ruang sepanjang leher yang terdiri dari ruang retrofarings, danger’s
space, prevertebra, dan carotis. Dan kelompok ketiga yaitu infrahyoid yang terdiri dari
ruang visceral anterior (Sataloff, 2016; Singh, 2020; Gilroy et al., 2016; Hiatt et al.,
2010).

Gambar 3. A) Ruang leher dalam potongan aksial. B) Ruang leher dalam potongan sagital
(Mehrotra, 2020).
Ruang peritonsil (Gambar 4) terletak di lateral tonsil faring dan medial dari
muskulus konstriktor superior. Beberapa penulis menyebutkan bahwa ruang peritonsil
tidak termasuk sebagai ruang leher dalam yang sebenarnya, tetapi merupakan ruang
potensial yang terletak jauh di dalam tonsila palatina. Ruangan ini dibentuk oleh
muskulus konstriktor farings superior, plika palatoglossus, plika palatofarings, dan basis
lidah yang terdiri dari jaringan longgar areolar dan tempat dari akumulasi pus ketika
terjadi abses. Ada hubungan langsung antara aspek posterior ruang parafarings dan
ruang retrofarings serta anterior dari parafarings dan ruang submandibula. Selain itu,
abses peritonsil dapat langsung menyebar melalui ruang parafaring melalui ekstensi
langsung, kelenjar getah bening atau pembuluh darah yang melewati muskulus
konstriktor superior (Sataloff, 2016).

Gambar 4. Ruang peritonsil (Mehrotra, 2020).

Ruang primer mandibula (Gambar 5) merupakan tempat yang paling sering


terjadi infeksi yang penyebarannya langsung dari gigi melalui tulang. Ruang mandibula
primer terdiri dari beberapa ruang, yaitu ruang submental, sublingual, dan
submandibular. Ruang submental terletak di antara belly anterior dari muskulus
digastrikus dan di antara muskulus mylohyoid dan kulit. Ruang ini terlibat dengan
incisivus mandibula yang terinfeksi, yang akarnya cukup panjang untuk mengerosi
hingga apikal tempat melekatnya muskulus mentalis. Ruang sublingual dan
submandibula merupakan ruangan yang terdapat pada luar aspek medial mandibula.
Biasanya ruangan ini dapat terlibat karena terdapat perforasi pada lingual akibat infeksi
dari gigi premolar dan molar mandibula. Faktor yang menentukan apakah ruang
sublingual atau submandibular terlibat adalah lokasi perforasi yang relatif terhadap
perlekatan musculus mylohyoid. Ruang sublingual berada di antara mukosa lingual dan
otot mylohyoid. Batas posteriornya terbuka, sehingga dapat langsung berhubungan
dengan ruang submandibular dan ruang- ruang sekunder yang terletak lebih posterior
dan superior. Secara klinis terdapat sedikit pembengkakan ekstraoral, tetapi dapat
ditemukan pembengkakan lingual intraoral di dasar mulut, dan jika bilateral, lidah akan
terangkat dan menelan menjadi sulit. Ruang submandibular terletak di antara otot
mylohyoid dan kulit. Seperti ruang sublingual, ruang ini memiliki batas posterior yang
terbuka, sehingga dapat berhubungan langsung dengan ruang sekunder. Ketika ruang
ini terinfeksi, pembengkakan dapat dimulai dari batas lateral inferior mandibula dan
meluas ke medial ke daerah digastrik dan posterior ke tulang hyoid (Sataloff, 2016;
Singh, 2020; Gilroy et al., 2016).

Gambar 5. Ruang primer mandibular. A) Ruang submandibular. B) Ruang sublingual. C)


Ruang submental, tanda klinis, dan drainasenya (Mehrotra, 2020).

Ruang parafarings (Gambar 6) berbentuk seperti piramid yang terbalik yang


batas atasnya terletak pada basis cranii dan meluas ke batas inferior yaitu di pertemuan
cornu mayor os hyoid dan belly posterior dari muskulus digastrik posterior. Ruangan
ini dibagi menjadi dua kompartemen yang dipisahkan oleh prosesus stiloideus. Di
bagian anterior disebut sebagai prestiloid, dan di bagian posterior disebut sebagai post
stiloid. Di ruangan prestiloid berisi struktur jaringan lunak termasuk lobus visceral dari
glandula parotis, cabang dari nervus trigeminus (nervus lingualis, alveolaris inferior,
dan aurikulotemporalis), arteri maksilaris interna, beberapa kelenjar limfonodi dan
jaringan lemak parafaring. Kemudian pada ruangan postiloid berisi arteri carotis, vena
jugularis, dan beberapa nervus cranialis (nervus glossofaringeus, vagus, assesorius,
hipoglossus). Ruang parafaring memiliki hubungan dengan beberapa ruang potensial
lain seperti ruang submandibula, peritonsil, retrofarings, ruang masticator, serta carotid
seath yang turun hingga mediastinum (Sataloff, 2016; Singh, 2020; Gilroy et al., 2016).

Gambar 6. Ruang parafaring (Mehrotra, 2020).

Ruang masticator (Gambar 7) atau disebut juga sebagai ruang temporal,


terbentuk oleh lapisan superfisial dari fasia leher dalam dan terbagi di aspek inferior
mandibula. Aspek medial dari lapisan ini menyelubungi musculus masseter dan
pterigoid medial, sedangkan aspek lateral melewati tendon temporalis dan bergabung
dengan fasia temporalis superfisial. Otot masticator, mandibula, nervus trigeminus
cabang mandibula (setelah keluar dari foramen ovale), arteri maksilaris, dan sebagian
besar lapisan lemak bucal terbungkus menjadi satu di dalam ruang masticator. Infeksi
supuratif yang mendapatkan akses paling sering ke kompartemen ini yaitu melalui akar
gigi molar mandibula ketiga, dan dapat meluas ke superior dari ruang masticator hingga
dapat melibatkan ruang pterigoid, ruang temporal superfisial, atau ruang temporal dalam
(Sataloff, 2016; Singh, 2020; Gilroy et al., 2016).
Gambar 7. Ruang masticator (Mehrotra, 2020).

Pada ruang maksilla (Gambar 8) terdapat ruang bucal yang dapat terlibat saat
infeksi gigi molar maksilla terjadi kerusakkan di posisi yang lebih tinggi dari perlekatan
otot buccinator. Ruang itu terletak di antara otot buccinator dan kulit. Ketiga gigi molar
maksilla dapat menyebabkan infeksi di ruang ini.

Gambar 8. Ruang maksilla (Mehrotra, 2020).


Ruangan bucal (Gambar 9) ini berbentuk bulat seperti telur, terletak di bawah
arcus zygomaticus dan di atas batas inferior dari mandibula. Selain itu juga terdapat
rongga parotis. Rongga parotis terdiri dari lapisan superfisial dari fasia leher dalam yang
membelah dan mengelilingi lobus superfisial dari kelenjar parotis. Lobus parotis
superfisial ini tidak sepenuhnya terbungkus oleh fasia. Dari aspek medial, fasia in
berhubungan langsung dengan ruang parafarings dan prestyloid yang memungkinkan
terjadinya perluasan langsung infeksi (Sataloff, 2016; Singh, 2020; Gilroy et al., 2016).

Gambar 9. Ruang buccal (Mehrotra, 2020).

Ruang retrofarings (Gambar 10) terletak di antara fasia buccofarings dari


lapisan tengah dan lapisan alar dari lapisan dalam fasia leher dalam. Ruang ini terletak
dari dasar tengkorak menuju ke daerah percabangan trakea pada mediastinum. Ruang
retrofarings berisi kelenjar getah bening yang pembuluh limfatik aferennya berasal dari
sinus paranasal dan nasofaring. Aliran limfatik ini berfungsi sebagai mekanisme saat
terjadi infeksi ke ruang ini pada anak-anak, sementara perluasan ke ruang retrofarings
merupakan mekanisme yang biasa terjadi pada orang dewasa (Sataloff, 2016; Singh,
2020; Gilroy et al., 2016).

Gambar 10. Ruang retrofaring, preverterbral dan ruang pratrakeal (Mehrotra, 2020).

Danger’s Space (Gambar 11) adalah ruang potensial yang berisi berisi
jaringan areolar longgar yang menghubungkan dua lapisan fasia prevertebralis yaitu
fasia alar yang terletak di anterior dan lapisan dalam fasia leher dalam (fasia
prevertebralis) di bagian posterior, yang memanjang kraniokaudal dari basis cranii
menuju diafragma. Disebut danger’s space dikarenakan ruang tersebut dapat
menyebabkan perluasan infeksi dari ruang parapharyngeal atau retropharyngeal ke
mediastinum superior, posterior, diafragma, hingga intratoraks (Sataloff, 2016; Singh,
2020; Gilroy et al., 2016).

Gambar 11. Ruang danger atau alar (Mehrotra, 2020).

Fasia prevertebralis (Gambar 10), bersama dengan corpus vertebra dan


prosesus vertebra transversalis, membungkus menjadi ruang prevertebralis. Ruang
potensial ini meluas dari clivus di superior ke tulang coccyx secara inferior. Ruang ini
merupakan tempat dari pembuluh darah vertebra, pleksus brakialis, muskulus scalene,
dan nervus frenikus, bersama dengan muskulus paraspinosus dan prevertebralis. Infeksi
pada prevertebra biasanya terjadi dikarenakan kelanjutan dari osteomyelitis pada corpus
vertebra atau infeksi tuberkulosis (dalam kasus Pott’s Abscess) atau akibat dari luka
tembus (Sataloff, 2016; Singh, 2020; Gilroy et al., 2016).
Ruang karotis (Gambar 12) atau disebut sebagai ruang vaskular visceral
dibentuk oleh tiga struktur di leher, fasia investing, fasia pretrakea, dan fasia
prevertebralis. Di dalam ruang karotis ini terdapat arteri karotis, vena jugularis interna,
dan nervus vagus. Infeksi di ruang ini dapat terjadi karena trauma penetrasi, perluasan
langsung dari ruang parafarings, atau karena bakteri yang masuk saat injeksi obat-
obatan terlarang ke dalam vena jugularis interna (Sataloff, 2016; Singh, 2020; Gilroy et
al., 2016).
Gambar 12. Ruang karotis (Mehrotra, 2020).

Ruang pretrakeal (Gambar 10) atau ruang viseral anterior merupakan ruang
yang dibentuk oleh bagian viseral dari lapisan tengah fasia leher dalam. Ruang
pretrakeal ini berisi trakea, esofagus, farings, dan kelenjar tiroid. Pada bagian inferior,
ruang ini berhubungan dengan ruang mediastinum superior, yang memungkinkan
perluasan langsung infeksi ke dada terutama jika terjadi perforasi pada anterior dari
esofagus yang disebabkan oleh benda asing atau selama terjadi intervensi alat pada
esofagus (Sataloff, 2016; Singh, 2020; Gilroy et al., 2016).
II. INFEKSI RUANG LEHER DALAM

A. Definisi
Abses leher dalam didefinisikan sebagai adanya pus di ruang dan fasia kepala
dan ruang leher dalam. Ruang leher dalam adalah ruang potensial jaringan ikat longgar
yang berada di antara tiga lapisan fasia leher dalam. Infeksi ruang leher dalam adalah
infeksi pada ruang potensial dan fasia pada leher, yang dapat berupa abses atau selulitis.
Infeksi ini cukup berbahaya dan berpotensi mengancam kehidupan (Priyamvada et al.,
2019; Velhonoja et al., 2020).

B. Epidemiologi
Insiden abses leher dalam telah menurun drastis sejak era antibiotik. Sebelum
era antibiotik, 70% infeksi leher dalam berawal dari penyebaran infeksi di faring dan
tonsil hingga parapharynx (Rijal et al., 2018).
Menurut Brito et al., (2017) insiden diperkirakan sekitar 10/100.000
penduduk/tahun, dengan kecenderungan meningkat, terutama pada anak di bawah 5
tahun, di mana insiden diperkirakan sekitar 2/100.000 penduduk/tahun.
Pada penelitian yang dilakukan Bottin et al. (2003) menyatakan bahwa dari
76 pasien yang diteliti, terdapat 35 kasus Abses Leher Dalam disebabkan oleh adanya
infeksi odontogen, 12 pasien merupakan komplikasi dari infeksi orofaring, 11 pasien
diakibatkan infeksi submandibula dan parotis, 10 pasien diakibatkan adanya kista yang
terinfeksi, 5 pasien dari infeksi epiglottis, 2 pasien diakibatkan infeksi karena korpal
pada servikal, dan 1 pasien infeksi pada hipofaring.
Pada penelitian Huang et al. (2004) dalam penelitiannya menyatakan dari
kasus 185 Abses Leher Dalam leher dalam, abses parafaring merupakan lokasi abses
terbanyak (38,4%), diikuti Abses submandibula (15,7%), Ludwig’s angina (12,4%),
parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Sakaguchi et al. (1997) melaporkan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91
kasus. Dengan rentang usia usia 1 tahun sampai 81 tahun, pada laki-laki sebanyak 78%
dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil merupakan lokasi paling banyak ditemukan,
yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan
submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1 kasus.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rijal dan Romdhoni (2018) di RSUD Dr
Soetomo Surabaya didapatkan dari 162 sampel, sebanyak 49,59% merupakan abses
submandibula diikuti oleh abses peritonsil (16,05%), abses parafaring (8,64%), abses
retrofaring (2,47%), abses parotis (1,23%), dan sisanya merupakan abses gabungan dari
beberapa ruang.

C. Etiologi
Etiologi infeksi leher dalam (DNSI) bervariasi tergantung ruang yang terlibat.
Penyebab utama paling sering adalah infeksi dan inflamasi pada saluran aerodigestif
bagian atas. Secara umum ruang leher bisa terlibat oleh berbagai infeksi, diantaranya
infeksi tonsil dan faring, infeksi gigi, trauma saluran aerodigestif bagian atas,
Sialadenitis, kista dan fistula kongenital, Pott Disease, infeksi kelenjar getah bening
yang metastasis, injeksi obat subkutan, limfadenitis retrofaringeal, dan Infeksi pada
tulang temporal (Motahari et al., 2015).
Biofilm bakteri diperkirakan menyebabkan 65% sampai 80% kejadian infeksi
dan berperan dalam penyebab infeksi odontogenik. Kebanyakan infeksi yang
berhubungan dengan gigi bersifat lokal, eksaserbasi minor akibat nekrosis yang
berlangsung lama atau penyakit periodontal. Akibatnya, terdapat potensi menjadi
periodontitis dan menjadi penyakit inflamasi kronis pada struktur pendukung gigi
(Jamal et al., 2018).
Orang yang beresiko terkena DNSI adalah pasien diabetes mellitus dengan
immunocompromised, penyakit infeksi menular seksual terutama HIV, pasien
kemoterapi, penyakit kronis seperti TBC, alkoholik, dan pecandu narkoba yang
menyuntikkan obat ke daerah leher (Scully, 2014).

D. Patogenesis
Abses terjadi karena rekasi dari pertahanan tubuh dari jaringan supaya tidak
terjadi penyebaran infeksi dalam tubuh. Agen penyebab infeksi tersebut menimbulkan
reaksi peradangan dan infeksi sel di sekitarnya sehingga menyebabkan pengeluaran
toksin. Toksin tersebut menyebabkan sel radang, sel darah putih terfokus di tempat yang
terjadi peradangan tersebut. Dalam penyembuhan luka umumnya dibagi menjadi empat
fase yang saling tumpang antara satu dengan yang lainnya. Fase tersebut yaitu fase
hemostasis, fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodeling. Dari keempat fase
tersebut, eksudat biasa terbentuk pada fase inflamasi. Fase inflamasi dipicu dengan
terlepasnya mediator- mediator inflamasi dan enzim yang dapat menyebabkan
terjadinya vasodilatasi, kerusakan junction pada antar sel endotel, gangguan pada
glycocalyx, serta terjadinya kerusakan dan menurunnya kekakuan pada matriks
ekstraselular sehingga akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan, protein, dan sel
serta menurunkan aliran limfe yang selanjutnya akan terjadi peningkatan cairan
interstitial dan terbentuknya eksudat/ pus (World Union Of Wound Healing Societies,
2019)
Pus adalah suatu cairan hasil proses peradangan yang terbentuk dari sel-sel
leukosit (Levinson, 2004). Pus merupakan suatu campuran neutrofil dan bakteri (yang
hidup, dalam proses mati, dan yang mati), debris seluler, dan gelembung minyak
(Underwood, 1999). Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi netrofil lebih
tinggi di dalam jaringan dan banyak dari sel ini mati serta membebaskan enzim-enzim
hidrolisis. Keadaan ini menyebabkan enzim netrofil mampu mencernakan jaringan di
bawahnya dan mencairkannya. Kombinasi agregasi netrofil dan pencairan jaringan di
bawahnya disebut supurasi. Jika muncul supurasi lokal pada jaringan padat berakibat
abses. Abses adalah lesi yang sulit diatasi oleh tubuh karena kecenderungannya meluas
ke jaringan, membentuk lubang dan resisten terhadap penyembuhan (Price et al., 2006).
Pada bakteri Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi kulit atau
jaringan ikat lunak. Sel PMN (Polymorphonuclear leukocytes) adalah pertahanan utama
tingkat selular melawan infeksi S. aureus dan komponen mayor terbentuknya abses. Sel
tuan rumah memproduksi beberapa agen antimikroba yang efektif membunuh bakteri,
tetapi mempunyai efek merusak jaringan inang dan berkontribusi terbentuknya abses.
Di sisi lain, S. aureus memproduksi beberapa molekul yang dapat membentuk abses,
seperti molekul yang dapat memanggil neutrophil, menyebabkan lisis sel inang, dan
termasuk didalam pembentukan kapsul sekitar abses (Kobayashi, 2015).
Asam Hialuronat merupakan komponen utama matrix ekstraselular yang
yang terdapat pada jaringan ikat longgar. Bakteri gram positif mampu memproduksi
hyaluronidase yang mampu mendegradasi jaringan ikat melewati mekanisme
pemecahan hialuronat. Spesies bakteri gram positif tersebut seperti Streptococcus,
Staphylococcus, Peptostreptococcus, Propionibacterium, Streptomyces dan
Clostridium (Hynes, 2000)
E. Mikrobiologi
Studi terbaru menggunakan metode molekuler independen kultur (metode
16rRNA sequencing) dan mengidentifikasi hampir 600 spesies bakteri. Daftar dari
spesies bakteri aerobik, fakultatif, dan anaerob yang umum merupakan bakteri normal
(beberapa spesies jamur, virus, dan bahkan protozoa juga dapat ditemukan dalam flora
mulut normal). Pada beberapa pasien, bakteri mulut normal ini adalah penyebab
sebagian besar infeksi odontogenik. Staphylococcus aureus, khususnya, jauh lebih
sering terjadi pada hidung dan tenggorokan, dan dapat berpartisipasi dalam infeksi
odontogenik campuran. Beberapa penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa pada
pasien anak-anak terdapat peningkatan S. aureus, yang kemungkinan timbul dari cincin
WDNSIeyer sebagai organisme penyebab dibandingkan dengan orang dewasa, yang
sering yaitu Streptococcus sp. yang berasal dari gigi. Gram-negatif anaerob terdiri dari
banyak flora normal mulut lainnya, dan organisme ini dapat meningkat jumlahnya,
terutama pada pasien dengan penyakit periodontal kronis (Manaka et al., 2017).
Kultur yang diperoleh dari infeksi leher dalam menunjukkan pertumbuhan
polimikroba dari spesies aerobik dan anaerobik di beberapa kasus, pola pertumbuhan
bakteri yang muncul mirip dengan infeksi odontogenik. Bakteri aerob yang paling
sering muncul dalam kultur adalah Streptococcus viridans, berbagai Staphylococcus sp.,
Klebsiella sp., Diphtheroid, Haemophilus sp., Neisseria sp., dan berbagai Streptococcus
sp. lainnya. Bakteri anaerob yang terlibat secara umum termasuk Prevotella sp.
(kelompok paling umum), Peptostreptococcus sp., Propionibacterium acnes,
Lactobacillus sp., dan Fusobacterium necrophorum. Dalam persentase kecil DNSI,
beberapa jamur diidentifikasi dalam kultur. Organisme yang paling sering diidentifikasi
termasuk Candida albicans dan Aspergillus fumigatis (Rijal et al., 2018).
Pada orang dewasa, penelitian terbaru menunjukkan S. viridans adalah isolat
yang paling umum dengan Staphylococcus yang paling umum kedua. Dibandingkan
dengan penelitian Rega et al (2006) didapatkan resistensi klindamisin pada spesies
Streptococcus sp. dan Staphylococcus sp. masing-masing meningkat menjadi 32% dan
23% dari 13,7% dan 10,5%, meskipun mereka mencatat bahwa peningkatan resistensi
tampaknya tidak mengubah Length of Stay di rumah sakit.
Selama beberapa tahun terakhir, methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) telah terlibat dalam infeksi supuratif pada leher dengan frekuensi yang
meningkat. Mayoritas literatur mengidentifikasi MRSA sebagai yang paling umum
terjadi pada anak-anak yang sangat muda, terutama kelompok di bawah usia 16 bulan.
Fusobacterium necrophorum adalah bakteri anaerob yang mewakili spesies yang paling
sering diidentifikasi dalam kasus tromboflebitis vena jugularis interna septik, meskipun
kondisi ini dapat dipicu sehubungan dengan infeksi yang disebabkan oleh spesies lain.
Klebsiella pneumoniae adalah bakteri batang gram negatif aerobik yang telah
diidentifikasi dalam sebagian besar DNSI yang terjadi pada pasien diabetes.
Mikobakteri tuberkulosis dan nontuberkulosis umumnya muncul sebagai limfadenitis
serviks atau abses superfisial, tetapi organisme ini juga dapat muncul sebagai DNSI
(Yang et al., 2008).

F. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis abses leher dalam tergantung pada ruang yang terinfeksi.
Gejala dan tanda umum diantaranya nyeri, demam, disfagia, dispnea, disfonia, trismus,
kelelahan, malaise, takikardi dan takipnea, otalgia, tanda-tanda dehidrasi, nyeri dada,
dan bengkak di leher. Nyeri adalah gejala utama pada kebanyakan pasien, Nyeri
biasanya terfokus pada ruang leher tempat infeksi, tetapi bisa juga merujuk ke telinga,
menyebabkan odynophagia trismus atau torticollis. Gejala lain yang disebabkan akan
tergantung pada tempat infeksi tetapi termasuk disfonia, disfagia, sialorrhoea atau batuk
(Watkinson et al., 2018; Das et al., 2017).
Pada pasien dengan DNSI, pemeriksaan dengan palpasi leher dan wajah dapat
didapatkan nyeri atau fluktuasi lokal serta krepitasi pada area yang terinfeksi. Gejala
kesulitan membuka mulut menunjukkan bahwa peradangan telah menyebar ke ruang
parafaring, pterygoid, atau masseter. Sumber infeksi odontogenic dipertimbangkan
dengan adanya pembengkakan alveolar, dan gigi yang nekrotik, goyah, atau patah. Pada
pemeriksaan dasar mulut dapat ditemukan adanya edema yang dapat menyebabkan
defleksi lidah kearah posterior. Pada abses yang melibatkan ruang peritonsil,
pemeriksaan orofaring biasanya ditemui pembengkakan dinding lateral atau posterior
yang asimetris, dan / atau deviasi pada uvula (Flint et al, 2010).

G. Pemeriksaan Laboratorium
Pada DNSI, beberapa pemeriksaan darah diperlukan seperti kimia darah,
hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kultur pus abses, dan tidak menutup
kemungkinan kultur darah. Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya menunjukkan
leukositosis dalam kasus DNSI. Penghitungan darah putih perhari untuk mengevaluasi
respons pasien terhadap pengobatan seperti antibiotik intravena dan/ atau drainase
bedah (Vieira, 2008).
Protein C-Reaktif juga dapat membantu menunjukkan keparahan penyakit
saat masuk dan cenderung untuk mengevaluasi perjalanan penyakit. Panel elektrolit
dasar harus diperoleh untuk menilai kadar glukosa, hidrasi tubuh, dan fungsi ginjal
terutama jika diperlukan general anestesi untuk perawatan lebih lanjut pada pasien.
Kadar albumin serum merupakan prediktor dari prognosis dan respon pengobatan pada
pasien dengan distres akut. Albumin serum juga dapat menjadi indikator yang mudah
untuk diukur yang mencerminkan status gizi keseluruhan individu (Vieira, 2008).

H. Pemeriksaan Radiologi
Untuk mencapai penatalaksanaan DNSI yang tepat, sangat penting untuk
menentukan lokasi dan keterlibatan ruang leher dalam, dan pencitraan diagnostik sangat
penting di setiap kasus. Beberapa pemeriksaan radiologi dapat dilakukan seperti foto
rontgen polos, Ultrasonografi, Contrast Enchancemenet Computerized Tomography,
dan Multi Resonance Imaging (Vieira, 2008)
Rontgen foto polos merupakan alat yang murah, cepat, dan sangat mudah
didapatkan untuk mendapatkan informasi yang cukup. Pada kasus dengan sumber
infeksi dari odontogenik, foto polos panoramik dapat membantu dalam mengidentifikasi
sumber yang tepat pada gigi. Foto polos servikal lateral telah lama menjadi pilihan
dalam evaluasi abses retrofaring karena sensitivitasnya yang tinggi untuk diagnosis.
Meskipun sensitivitasnya tinggi, terdapat beberapa laporan didapatkan foto polos
servikal lateral Nampak normal, padahal didapati adanya pembentukan abses di lokasi
atipikal (seperti nasofaring). Namun seiring waktu, foto polos sudah jarang digunakan
karena Computerized Tomography (CT) menawarkan sensitivitas yang lebih tinggi
(Durand et al., 2018).
Ultrasonografi (USG) masih digunakan secara luas dalam evaluasi lesi jinak
dan ganas pada kepala dan leher di Eropa, tetapi sudah terbatas dilakukan di Amerika
Serikat. Sifat USG yang tidak invasif dan tidak terpapar oleh radiasi menjadikannya
modalitas pencitraan yang lebih aman pada pasien terutama pasien anak, terutama pada
abses leher lateral. Sebagian besar praktisi menggunakan USG untuk melakukan
aspirasi jarum halus, yang dapat digunakan untuk melakaukan kultur atau memberikan
drainase terapeutik. USG dibatasi terutama dalam kasus edema leher atau phlegmon
yang signifikan, dan kurang sensitif untuk ruang leher bagian nonlateral seperti ruang
parafaring, retrofiring karena alati tidak menjangkau. Kadar abses dapat dilihat dengan
USG jika ukuran abses cukup besar dan dangkal. Dalam sebuah penelitian terhadap 210
individu dengan DNSI, USG memberikan informasi yang cukup pada 98% pasien;
namun, CT dapat mengevaluasi jalan napas bagian atas dan mengevaluasi ruang leher
dengan lebih baik terutama pada DNSI yang melibatkan beberapa ruang (Flint et al.,
2010)
CT memiliki peran utama dalam proses diagnosis DNSI. Bila dibandingkan
MRI, CT lebih dapat segera tersedia dan memiliki waktu akuisisi yang singkat. Akuisisi
volume dan rekonstruksi multiplanar memungkinkan penilaian yang tepat dari struktur
yang terlibat dan penentuan perluasan abses. CECT sangat sensitif (80% -90%) untuk
mendeteksi DNSI. Tetapi untuk membedakan antara selulitis dan abses kurang bisa
membedakan, terutama pada anak-anak. Spesifisitas CT meningkat hingga 82%
terutama pada abses dengan ukuran lebih dari 3,5 cm. Abses ditunjukkan oleh adanya
udara intralesi pada semua kasus (Maroldi et al, 2012)
Miller et al. (1999) mencatat peningkatan akurasi dari 77% menjadi 89%
ketika CECT yang dikombinasikan dengan pemeriksaan klinis, dengan temuan serupa
pada populasi anak-anak. Kelemahan pada CECT adalah pengaruh dari bahan logam di
dalam kepala dan leher yang menyebabkan adanya artefak. Kelemahan lain berkaitan
dengan risiko paparan radiasi, terutama pada pasien anak-anak yang harus dilakukan CT
secara berkala. Selain itu, pemberian kontras secara intravena juga dibatasi pada pasien
dengan alergi terhadap agen kontras atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

I. Tatalaksana
Dalam beberapa kasus di mana tingkat infeksi dan lokasi infeksi yang masih
terbatas, pengobatan konservatif dengan pemberian terapi antibiotik secara intravena
dapat berhasil. Namun dalam kasus-kasus lanjut, eksplorasi bedah dengan drainase
abses umumnya diperlukan (Baba et al, 2009). Diagnosis dini dan manajemen medis
dapat efektif pada DNSI. Jika didapatkan sumber infeksi yang berasal pada gigi,
pencabutan gigi yang terinfeksi sedini bisa sangat membantu. Namun, jika
penatalaksanaan medis gagal dalam 24-48 jam pertama, pembedahan tepat waktu
mencegah perluasan penyakit dan komplikasi yang mengancam jiwa. Jika terjadi
fluktuasi atau komplikasi, debridemen bedah agresif harus dilakukan.
1. Tatalaksana Jalan Nafas
Mempertahankan paten dan jalan napas yang aman adalah langkah utama dalam
manajemen pasien dengan DNSI. Kematian dapat terjadi sebagai akibat dari sesak
napas dan hipoksia serta komplikasi septik yang tertunda. Penggunaan antibiotik
yang meluas telah mengurangi morbiditas dan mortalitas dari edema faring dan
memungkinkan kebijakan pengawasan dan pengawasan pada kasus tertentu.
Sebaliknya, abses besar yang menyebabkan jalan nafas yang genting membutuhkan
penatalaksanaan baik (Watkinson, 2018).
Pasien dengan DNSI perlu dilakukan pengawasan khusus terkait obstruksi jalan
nafas. Perawatan jalan nafas menjadi sulit berhubungan adanya kondisi inflamasi
jalan nafas, rapuhnya jaringan, otot yang kaku sehingga menyebabkan trismus.
Kebutuhan untuk trakeostomi atau intubasi harus secara hati-hati dinilai dan dengan
cepat dilakukan untuk mencegah kerusakan jaringan yang sudah terinflamasi.
Intubasi dilakukan pada pilihan pertama, namun jika terdapat komplikasi pada jalan
nafas seperti edema atau intubasi gagal maka trakeostomi perlu dilakukan (Colbert,
2013).

2. Penatalaksaan Non Invasif


Penatalaksanaan medis eksklusif diindikasikan pada pasien dengan selulitis atau
phlegmon, dan merupakan alternatif untuk abses yang memenuhi kriteria beberapa
kriteria, yaitu ukuran kecil, didefinisikan sebagai ukuran kuran dari 2 cm pada luas
penampang. Kemudian keterlibatan kompartemen anatomis tunggal, dan dianggap
memiliki risiko komplikasi yang rendah. Kira-kira 20-60% pasien yang datang
dengan DNSI dapat menerima manajemen medis tanpa intervensi bedah (Sataloff,
2016).
Asupan cairan yang buruk sering terjadi di mana infeksi leher menyebabkan trismus,
odinofagia atau bahkan disfagia. Dehidrasi sangat umum terjadi pada infeksi pada
ruang peritonsillar dan retropharyngeal, dan mungkin merupakan etiologi utama dari
infeksi yang berhubungan dengan sialadenitis pada ruang parotis. Tanda-tanda defisit
cairan antara lain takikardia, mukosa kering dan pucat, serta penurunan turgor kulit.
Terlepas dari itu, sebagian besar pasien mendapat manfaat dari infus tepat waktu satu
hingga dua liter cairan intravena isotonik. Pemberian resusitasi cairan yang adekuat
sebelum intervensi bedah akan mengurangi keparahan hipotensi terkait anestesi.
Bolus saline normal (20 mL/ kgBB) direkomendasikan pada saat evaluasi. Pada
pasien yang lebih tua, perawatan harus diberikan untuk menghindari kelebihan cairan
akibat komorbid medis seperti penyakit ginjal stadium akhir atau gagal jantung
kongestif (Sattalof, 2016).
Penatalaksanaan nyeri yang tepat harus memperhatikan beberapa faktor seperti usia,
patensi jalan nafas, dan tingkatan nyeri. Obat nyeri narkotik beresiko menyebabkan
depresi pernapasan dan harus digunakan dengan hati-hati terutama pada pasien usia
lanjut dan dengan pasien dengan adanya edema saluran napas. Pemantauan pasien
yang tepat diindikasikan jika analgetik narkotika akan digunakan. Kortikosteroid
intravena dapat digunakan dalam pengobatan DNSI terutama pada DNSI dengan
komplikasi edema jaringan di sekitar saluran napas. Kortikosteroid intravena dosis
tinggi juga telah dipelajari sebagai terapi tambahan dalam pengobatan abses
peritonsillar dan terbukti menawarkan keuntungan klinis yang signifikan. Pasien
yang menerima kortikosteroid selain antibiotik intravena dan aspirasi jarum
mengalami perbaikan trismus, demam, dan odinofagia yang lebih cepat (Hodgon,
2013; Lee et al., 2016).
Semua Abses Leher Dalam dengan penyebab asalnya dari odontogen atau faring
harus dimulai terapi antibiotik empiris yang mencakup gram positif, gram negatif,
dan bakteri anaerob. Antibiotik yang bekerja melawan bakteri yang memproduksi
enzim beta laktamase perlu dipertimbangkan. Namun kultur bakteri aerob dan
anaerob serta AFB (acid fast bacilli bila dicurigai tuberculosis) tetap dilakukan
diawal dengan sampel pus yang diaspirasi. Perubahan regimen antibiotik dapat
dilakukan apabila hasil kultur dan sensitivitas sudah menunjukkan hasil. Sampai saat
ini masih belum ada persetujuan secara universal dalam terapi empiris antibiotik.
Pilihan antibiotik yang sampai saat ini masih dipercaya menjadi terapi antibiotik
empiris adalah kombinasi Amoxicillin + asam klavulanat dengan metronidazole atau
Ceftriaxon + Metronidazol (Colbert, 2013)

3. Penatalaksanaan Invasif
Pembentukan abses di beberapa ruang leher dalam dan keterlibatan ruang parafaring,
submandibula atau sublingua, penderita diabetes, dan pasien immunocompromised
lebih memerlukan intervensi bedah. Ada beberapa prinsip panduan yang harus
diperhatikan saat mempertimbangkan terapi bedah untuk DNSI. Yang pertama yaitu
ketersediaan antibiotik yang sensitif pada pus. Kedua yaitu pengobatan infeksi pada
ruang fasia tergantung pada sayatan terbuka dan drainase. Ketiga, ruang fasia
berdekatan dan infeksi dapat menyebar dengan mudah dari satu ruang ke ruang lain,
sehingga penting untuk membuka semua ruang primer dan sekunder; setelah dibuka,
ruang harus memiliki saluran drainase. Keempat, gigi yang terlibat harus dicabut,
yang idealnya dilakukan pada saat insisi dan drainase untuk memastikan resolusi dari
infeksi utama (Colbert, 2013).
Drainase bedah diperlukan dalam keadaan seperti adanya air fluid level di leher atau
bukti adanya organisme yang memproduksi gas gangrene, lalu adanya ancaman pada
jalan nafas yang diakibatkan oleh abses atau phlegmon, tidak responnya abses
terhadap pemberian antibiotic intravena selama 48 sampai 72 jam, dan adanya
komplikasi DNSI. Tujuan utama dari intervensi bedah yaitu menyediakan sampel
cairan atau jaringan untuk tes kultur dan sensitivitas bakteri, dan memberikan irigasi
secara terapeutik pada ruang yang terinfeksi dan membuat jalur drainase eksternal
yang stabil untuk mencegah akumulasi abses (Colbert, 2013).

J. Komplikasi
Insidensi terjadinya komplikasi dilaporkan sangat bervariasi. Dilaporkan 3-
22% pasien dilakukan tindakan trakeostomi, baik yang terencana maupun incidental dan
pada pasien dengan Angina Ludwig dan abses retrofaring berisiko lebih tinggi terjadi
obstruksi jalan napas daripada mereka yang mengalami abses unilateral. Komplikasi
lain seperti pneumonia, trombosis IJV, aneurisma arteri karotis, dan ruptur, necrotizing
fasciitis, fistula dan defek pada kulit, parese plika vokalis dan fasial palsy, mediastinitis
desendens, perdarahan gastrointestinal bagian atas, perdarahan iatrogenik setelah
dilakukan insersi trakeostomi, emboli septik dari trombosis IJV, sepsis, kegagalan
multiorgan dan kematian. Meskipun diagnosis cepat, pemberian antibiotik, dan drainase
bedah, komplikasi dapat terjadi. Faktor predisposisi penting untuk DNSI adalah host
immunocompromised. Penyebaran infeksi ke struktur anatomi yang penting di
sekitarnya juga terjadi lebih sering (Lee et al., 2007).
III. ALAT DAN PROSEDUR UNTUK EKSPLORASI ABSES MULTIPLE

A. Peralatan
Beberapa alat yang di butuhkan untuk eksplorasi abses multiple :
1. Headlamp
2. Scalpel blade no. 15
3. Scalpel
4. Mosquito clamp
5. Mouth Gag Jennings
6. Spuit 3 cc
7. Spuit 10 cc
8. Pinset Chirurgis
9. Pinset Anatomis
10. Gunting jaringan
11. Kocher clamp
12. Retractor
13. Electrocauter
14. Kidney comb
15. Rigid suction canul
16. Flexible suction canul
17. Tampon roll
18. Salep antibiotic
19. Metronidazole bottle
20. Nacl 0,9 %

B. Prosedur
Prosedur insisi drainase abses + eksplorasi abses tergantung dari lokasi abses
yang terinfeksi. Berikut prosedur-prosedur sesuai posisi anatomis abses :

1. Abses ruang retrofaring dan ruang bahaya

a. Posisi penderita : berbaring terlentang, posisi Rose untuk mencegah aspirasi


pus.
b. Insisi melalui pendekatan trans oral, untuk menghindari terlihatnya jaringan
parut dan kontaminasi jaringan lain di leher.

2. Abses ruang parafaring (ruang faringo maksila) dan ruang viscera vaskuler

- Drainase eksternal yaitu melalui fosa sub maksilaris


- Insisi bentuk T atau hanya insisi horisontal yang lebih kosmetis
- Insisi horisontal sejajar dan dibawah mandibula
- Insisi vertikal sepanjang tepi depan otot sternocleidomastoid
- Selubung karotis ditelusuri untuk menemukan rongga abses
- Jari operator dimasukkan dibawah kelenjar submandibula, dan
digunakan untuk diseksi secara tumpul sepanjang venter posterior otot
digastrikus ke dalam ke apeks mastoid, ke arah prosesus stiloid yang
terletak didalam ruang parafaring.
- Dipasang drain terpisah dibagian superior dan inferior ruang yang telah
dibuka. Ujung kornu majus tulang hyoid merupakan pedoman inferior
penting yang tetap.

3. Abses ruang submandibula

- Abses lidah dan dasar mulut yang berada di submental space


(Ludwig’s angina).
- Insisi horisontal dibuat sepanjang tepi bawah massa
- Lipatan kulit atas yang sangat terbatas dibuat untuk mengidentifikasi
raphe mylohyoid. Insisi vertikal dibuat sepanjang raphe
- Rongga abses dimasuki dengan menggunakan klem bengkok
- Otot geniohyoid dapat diidentifikasi dan dipisahkan.
- Drain Penrose kecil dimasukkan. Dilakukan penutupan otot platysma
pada tepi insisi

4. Abses leher lateral

- Insisi kulit pendek dan horizontal dilakukan jika mungkin pada lipatan
kulit alamiah, pada titik yang paling menonjol
- Lipatan kulit atas yang sangat terbatas dilakukan untuk
mengidentifikasi tepi depan otot sternocleidomastoid. Insisi dilakukan
sepanjang tepi depan ini
- Klem bengkok dimasukkan ke dalam rongga abses. Ini dapat meluas
sampai dibawah mandibula. Harus dihindarkan arah yang salah
- Drain Penrose kecil dimasukkan. Dilakukan penutupan otot platysma
pada tepi insisi

5. Abses ruang masticator


- Insisi dibawah mandibula sampai mencapai periosteum
- Diseksi secara tumpul dilakukan disisi superfisial dan dalam
mandibula
6. Abses ruang peritonsil
- Pilihan : aspirasi jarum, insisi dan drainase atau tonsilektomi segera
- Aspirasi atau insisi dan drainase dapat dilakukan setelah anestesi
topikal dan infiltrasi, tetapi kadang memerlukan anestesi umum
- Aspirasi dengan jarum spinal 18 G atau insisi dilakukan pada daerah
yang paling fluktuatif.
- Setelah insisi, rongga abses dibuka lebar dengan menggunakan
hemostat panjang.
- Jika gagal dengan drainase dan antibiotik (jarang), dianjurkan
tonsilektomi.

7. Abses ruang temporal

- Drainase eksternal
- Insisi kira-kira 3 cm dibelakang kantus lateral atau insisi kening
horisontal.
- Harus dilakukan drainase kompartemen superfisial dan dalam.

8. Abses ruang viscera anterior (ruang pre trakea)


- Drainase eksternal
Insisi : - Jika abses terlokalisir dengan jelas, insisi di area yang
menonjol.
- Jika abses tidak terlokalisir, diperlukan insisi yang lebih lebar.
Pastikan semua septa yang ada di ruang leher dalam terbuka. Bila perlu
dilakukan massase berulang dengan menggunakan salep untuk mengeluarkan pus
kearah luka insisi. Dapat dilakukan juga palpasi bimanual untuk mengevaluasi masih
ada ruangan yang belum terdrainase dan mengevaluasi adanya fistula. Evaluasi
bimanual dapat dibantu juga dengan menggunakan mouth gag jenning untuk
mendapatkan visualisasi orofaring yang lebih luas. Setelah pus dapat terdrainase dan
nekrotomi, dapat dilakukan drainase dengan menggunakan NaCl 0,9% ke seluruh
lapang abses dan dapat dipertimbangkan juga dengan spooling cairan antibiotic.
Setelah dipastikan seluruh ruang bersih, dipersiapkan kassa salep antibiotic, dan
masukkan kassa salep di seluruh sudut ruangan abses, mengisi seluruh ruangan tetapi
tidak padat. Pastikan kassa berada diluar luka insisi untuk membantu proses drainase
dari pus yang tersisa.

C. Perawatan Paska Operasi


Paska tindakan eksplorasi, pastikan pasien diberikan antibiotik baik secara
oral maupun intravena sesuai kultur sensitivitas antibiotik. Antiinflamasi diberikan
untuk menekan peradangan. Dilakukan juga perawatan luka berkala dan bila perlu
dilakukan nekrotomi berkala. Evaluasi masalah sistemik pada pasien untuk perbaikan
kondisi pasien. Perhatikan diet pasien, bila kesulitan dapat dibantu dengan selang NGT
untuk memastikan masuknya diet secara adekuat. Balance cairan juga dipertimbangkan
untuk memastikan intake cairan pasien cukup.
LAMPIRAN ALAT

Anda mungkin juga menyukai