Anda di halaman 1dari 144

JOURNAL READING

6 SEPTEMBER 2021
Presentator :
Muhammad Arif Darmawan

Moderator
dr. Dian Paramita Wulandari, M.Sc., Sp. T.H.T.K.L(K)

DEPARTEMEN KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK –


BEDAH KEPALA LEHER
FKKMK UNIVERSITAS GADJAH MADA / RSUP DR. SARDJITO 1
YOGYAKARTA
2021
Visi program studi Kesehatan
T.H.T.K.L

Menjadi program studi berstandar global yang inovatif dan


unggul, serta mengabdi kepada kepentingan bangsa dan
kemanusiaan dengan dukungan sumber daya manusia yang
profesional dan dijiwai nilai-nilai Pancasila
Misi program studi Kesehatan
T.H.T.K.L
• Meningkatkan kegiatan pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat yang berlandaskan kearifan lokal.
• Mengembangkan sistem tata kelola Program Studi
Kesehatan T.H.T.K.L yang mandiri dan berkualitas (Good
Governance).
• Membangun kemitraan dan kerjasama dengan rumah sakit
dan seluruh pihak yang berkepentingan dalam rangka
mendukung kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
masyarakat
Daya Guna Terapi Injeksi Toksin Botulinum dibandingkan Kontrol
Plasebo pada Otot Intrinsik Laring Untuk Mengobati Disfonia
Spasmodik: Studi acak terkontrol

Hyodo, M., 2020. ”Botulinum Toxin Injection Into The Instrinsic Laryngeal
Muscle To Terat Spasmodic Dysphonia : A Multicenter, placebo-conttolled,
randomized, double-blinded, parallel-group comparison/open–label clinical
trial”. European journal of Neurol. Vol. 28, Hal. 1548-56
PENDAHULUAN

Disfonia spasmodik (DS)  bentuk distonia fokal yang terjadi tanpa


adanya kelumpuhan organ fonasi atau patologi struktural lainnya
DS ditandai dengan spasme intermiten involunter pada otot intrinsik
laring

DS dibagi menjadi tiga jenis: adduktor, abduktor, dan campuran.

DS Adduktor  penutupan glotis intermiten menghalangi aliran udara


ekspirasi selama fonasi, membuat suara tegang dan tercekik, dan
menyebabkan pecahnya suara

DS abduktor  spasme otot abduktor laring membuka plika vokalis,


membuat suara menjadi nafas yang terputus-putus atau afonik
TIPE DISFONIA SPASMODIK
ADDUKSI ABDUKSI CAMPURAN
 Bentuk paling umum 80-90%  Spasme  pita suara terbuka  Sangat jarang
 Spasme  pita suara kaku (sulit 10-20%  Mengakibatkan terhentinya
bergetar)  suara terputus-  Pita suara tidak dapat bergetar bicara serta sesak napas dan
putus jika terbuka terlalu jauh sesak yang bervariasi.
 menyebabkan masalah bagi  Suara sering terdengar lemah
orang dengan adduktor SD dan terengah-engah
termasuk suara vokal dalam
kata "makan", "kembali",
"dalam", "aku", "zaitun", atau
"sarang"
PENDAHULUAN

DS campuran  kedua jenis gangguan suara.

DS dianggap disfonia fokal ketika mempengaruhi laring

 80% hingga 95%  tipe adduktor


 5% hingga 17%  tipe abduktor
 Campuran DS sangat jarang

DS biasanya terjadi pada perempuan.


Rasio prempuan dan laki-laki  (1.1 : 1) sd (4.1 :1)

DS terjadi rentang usia rata-rata onset dari 31 hingga 51 tahun


PENDAHULUAN

Dampak pada DS :
 percakapan sulit  membahayakan pekerjaan
 Fungsi sosial terganggu

 Saat ini, tidak ada obat untuk DS.


 Perawatan konservatif  terapi suara, psikoterapi, dan farmakologis 
memiliki kemanjuran yang terbatas
TERAPI SUARA

 Dapat digunakan sendiri atau bersama dengan perawatan seperti suntikan


toksin botulinum atau intervensi pra/pasca-bedah
 Tujuan terapi suara adalah untuk membantu mengelola gejala dengan lebih
efektif
PENDAHULUAN

Pendekatan operasi pada DS adduktor :


 Mencegah hiperadduksi pita suara
 Pemotongan nervus laringeus rekuren unilateral
 Miomektomi tiroaritenoid
 Deinervasi-reinervasi selektif adduktor
 Tipe tiroplasti.

 Prosedur ini  ↓ resiko suara tercekik dan suara pecah.


 namun suara serak kemungkinan terjadi pasca operasi dan perbaikan
jangka panjang masih dalam penelitian.

 Intervensi bedah untuk DS abduksi belum tersedia.


PENDAHULUAN

 Injeksi Toksin Botulinum (TB) pada muskulus intrinsik laring 


umumnya dianggap sebagai pengobatan pilihan untuk DS.

 Studi klinis terkontrol  TB merupakan pengobatan SD disetujui di


Australia amerika tengah dan amerika selatan.
 TB tidak digunakan di Amerika Serikat, Eropa, atau negara-negara
Asia seperti Jepang  Akibatnya pasien tidak memperoleh manfaat
dari terapi SD yang efektif di jepang.

 Peneliti melakukan penelitian multi senter, kontrol placebo,


randomisasi, buta-ganda dan perbandingan grup parallel (terapi injeksi
TB pada DS)
KATA KUNCI

• Botulinum toksin.
• Disfonia spasmodik
• Pita suara
• Otot intrinsik laring
METODE PENELITIAN
Pertanyaan penelitian

Apakah terapi injeksi botulinum toksin berdaya guna dibandingkan


kontrol plasebo plasebo pada pasien disfonia spasmodik?

Tujuan Penelitian
Mengetahui daya guna terapi injeksi botulinum toksin dibandingkan
kontrol plasebo pada pasien disfonia spasmodik

Hipotesis Penelitian

Terapi Injeksi botulinum toksin berhasil guna dibandingkan dengan


kontrol plasebo pada pasien disfonia spasmodik
METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Randomized clinical trial, double-blinded, open-label clinical


trial

Tempat Penelitian

Departemen THT yang dilakukan didelapan institusi Jepang

Waktu Penelitian

Tidak disebutkan
METODE PENELITIAN

Populasi Target

Semua pasien dengan Disfonia Spasmodik

Populasi Terjangkau
Semua pasien dengan Disfonia Spasmodik yang datang di Departemen
THT di delapan institusi Jepang

Sampel Penelitian

Semua pasien dengan Disfonia Spasmodik yang datang di Departemen


THT di delapan institusi Jepang yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
METODE PENELITIAN

 Usia ≥ 12 tahun
 Gangguan suara (DS) lebih dari 6 bulan
Kriteria Inklusi  Derajat sedang-berat pada DS (≥ 12/25 dan
5/27)

 Penyakit neurovaskular sistemik.


 Parese pita suara atau gangguan menelan
 Riwayat operasi DS sebelumnya.
Kriteria Ekslusi
 Terapi suara 8 minggu atau terapi BT 24
minggu terakhir
 Penyakit sistemik yang parah
Populasi (n: 24)

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Sampel (n: 24)

Evaluasi Mora, GRBAS, VHI, VAS, Laboratorium, pemeriksaan fisik


pada minggu ke 2,4,8,12

Analisis
ANALISIS PENELITIAN

 Wilcoxon sign rank test


 Wilcoxon sum rank test
HASIL PENELITIAN
Rata-rata ± standar deviasi usia :
(38,5 ± 11,2 dan 41,6 ± 10,0 tahun)
 tidak ada perbedaan yang
signifikan

Durasi penyakit berkisar antara 6


bulan sd 30 tahun  tidak signifikan
antara kedua kelompok

Jumlah penyimpangan morae dan


skala GRBAS, VHI, dan VAS pada awal
tidak berbeda secara signifikan
antara kelompok.
GAMBAR 2

Sebelum injeksi awal  jumlah morae


yang menyimpang adalah rata-rata ±
standar error 19,2 ± 1,36 dan 21,3 ±
1,86 pada kelompok BT dan plasebo

Nilai perubahan pada 4 minggu


setelah injeksi masing-masing adalah
7.0 ± 2.30 dan 0.2 ± 0.46

Pada kelompok plasebo, tidak ada


perubahan signifikan yang terlihat
antara 2 dan 12 minggu.

Perubahan jumlah morae abnormal :


 memuncak pada pada 2 minggu setelah pemberian TB (-9,9 ± 2,66)
 menurun secara bertahap hingga 12 minggu (−3,5 ± 1,42)
GAMBAR 3

DS Abduksi
 Perubahan jumlah morae
abnormal pada 4 minggu setelah
injeksi adalah -2 dan 1 pada
kedua subjek ABSD.
 Meskipun tidak ada peningkatan
pada satu subjek, sedikit
peningkatan diamati pada subjek
lainnya.

Gb 3. Perubahan jumlah aberrant morae pada DS Abduksi.


Dalam satu kasus, jumlah morae menyimpang menurun setelah injeksi TB
 Nilai perubahan skor G dalam skala GRBAS adalah 1,5 dan 1,0
masing-masing pada 2 dan 4 minggu pasca injeksi; skor B masing-
masing adalah -1.0 dan -0.5.
 Perlakuan BT meningkatkan G dan B, tetapi tidak ada skor elemen
GRBAS lain yang berubah secara signifikan pada setiap titik waktu
evaluasi.
 Tidak ada perubahan signifikan dalam skor VHI atau VAS yang
terlihat pada dua subjek.
GAMBAR 4

Gb 4. Perubahan jumlah morae yang menyimpang setelah pengulangan TB administrasi di


DS Adduksi. Jumlah aberrant morae cenderung menurun pada 2 dan 4 minggu setelah
pemberian BT berulang
Secondary end points (tabel.2)

 Pada Minggu ke2  skor S menunjukkan perubahan yang signifikan dari baseline
pada kelompok TB (uji peringkat bertanda Wilcoxon, p = 0,0156).
 Tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok plasebo (p = 0,6250).
 Tes jumlah peringkat Wilcoxon mengungkapkan perbedaan kelompok dalam
perubahan skor S dari awal pada 2 minggu (p = 0,0394).
 Pada kedua kelompok, S setelah injeksi ulang serupa dengan setelah injeksi awal
BT.

Rata-rata kuadrat terkecil perbedaan (95% CI) antara kedua kelompok pada 2 dan 12
minggu setelah injeksi adalah 8.6 (−14.6, 2.6) dan 3.6 (−6.7, 0.4), masing-masing.

Mereka menunjukkan kemanjuran pengobatan berlangsung secara signifikan selama


12 minggu. Pada kedua kelompok, perubahan jumlah aberrant morae setelah
penyuntikan ulang pertama dan kedua serupa dengan perubahan setelah
penyuntikan awal TB
 Perubahan skor VHI memuncak 4 minggu setelah injeksi BT awal : 24,0 ± 9,63 dan
perbaikan bertahan selama 12 minggu.
 Perbedaan rata-rata kuadrat terkecil (95% CI) antara kedua kelompok adalah 15.7
(−36,4, 5.0) dan 9.4 (−28.6, 9.8) pada 4 dan 12 minggu .

 Perubahan skor VAS memuncak pada 4 minggu dikelompok BT 20.5 ± 8.74 dan
pada 12 minggu 15.6 ± 8.68.
 Perbedaan rata-rata kuadrat terkecil (95% CI) antara kedua kelompok pada 4 dan
12 minggu adalah 14.7 (−34.9, 5.5) dan 12.9 (−31.8, 6.0).
 Perubahan skor VHI dan VAS setelah injeksi ulang serupa dengan setelah injeksi
awal TB.
 Meskipun signifikansi statistik tidak terlihat dalam penelitian ini, VHI dan VAS
berhasil ditingkatkan dengan injeksi TB.
DISKUSI

 Blitzer dkk 1984  injeksi BT pertama pada DS.


 Selama 30 terakhir 150 artikel membahas tentang pengobatan pada DS
sangat efektif.

 Blitzer dkk  91,2% tingkat respon pada 1300 pasien yang dirawat selama 24
tahun.

 TISCH dkk pada 144 pasien, 81.9 % hasil sangat baik


DISKUSI

 Efek BT suara serak ringan dan aspirasi pasca injeksi

 American academy of Otolaryngology – THT merekomendasikan terapi BT


sebagai pilihan untuk DS adduktor

 TB efektif untuk mengobati DS abduktor namun sebagian besar penelitian


dan kualitan buktinya masih rendah.

 Boutsen dkk  menganalisis 30 studi  TB menyebabkan perbaikan gejala


berat, tetapi pada studi Khort pengukuran dan kondisi sangat bervariasi
DISKUSI

 Satu studi pada terapi TB untuk DS adduksi.


 Troung dkk  menggunakan kualitas metodelogi yang tinggi (double
blinded controlled study )
 Kelompok TB menunjukkan penurunan yang signifikan pada gangguan
syaraf dan tentang frekuensi dasar
 Karakteristik suara spektografi dan perbaikan skor bicara
 Efek samping sesak nafas ( 15,3 % ), perdarahan ringan (7.7%)
DISKUSI

 Penelitian ini menggunakan kontrol plasebo, randomisasi, buta ganda,


perbandiungan grup parallel pada DS adduktor berdasarkan panduan
GCP.
 Penelitian  studi dengan kualitas tinggi yang pertama berdasarkan
panduan GCP pada terapi BT untuk DS.
 Peneliti menemukan perbaikan signifikan pada pengukuran objek pada
minggu ke 2 hingga minggu ke 12 setelah injeksi pada grup DS adduksi.
 Pada minggu ke 2  skala penurunan signifikan pada skala S di kelompok
BT.
 VHI dan VAS juga menunjukkan peningkatan setelah injeksi TB
 Parameter objektif (skala mora dan skala GRBAS) menunjukkan
peningkatan pada minggu ke 2, sedangkan skala VHI dan VAS
menunjukkan puncak minggu ke 4.
DISKUSI

 Injeksi TB mengarah ke suara serak sehingga menyebabkan ketidak


puasan secara subjektif peningkatan suara pada minggu ke 2, tetapi suara
serak akan mengilang minggu ke 4  perbaikan suara secara subjektif.
 Catatan  injeksi BT yang ke 2 meningkatkan efikasi terapi
 Pasien DS adduktor menunjukkan kompensasi hiperadduksi supraglotis
yang mengurangi efek injeksi BT
 Peneliti berspekulasi  Pengulangan injeksi BT secara bertahap
mengurangi upaya fonasi  meningkatkan efektifitas terapi.
 Efek terapi resisten pada minggu ke 12 berdasarkan jumlah aberrant
morae, VHI dan skor VAS dengan menurun secara bertahap setelah 4
minggu  konsisten dengan laporan sebelumnya efek terapi berlangsung
dari 12 sampai 15 minggu.
DISKUSI

 Pasca terapi efek buruk termasuk suara serak sementara dan aspirasi
pada umumnya membaik pada minggu ke 4.
 Peneliti menemukan disfonia paralisis yang merupakan efek buruk yang
paling sering, dan mempunyai durasi rata-rata 16.2 hari.
 Hal tersebut sesuai dengan TISH dkk  mereka menyatakan pasien
dengan suara serak pasca terapi menunjukkan peningkatan respon
terhadap terapi.
 Aspirasi sementara juga telah dilaporkan
 Dalam penelitian ini terjadi tingkat gangguan suara dan gangguan
menelan lebih tinggi  dikarenakan peneliti melakukan wawancara
terperinci pada setiap sesi terapi, dan kemudian menemukan gejala yang
sangat ringan.
 Tidak ada gejala efek buruk yang parah dan menetap
DISKUSI

 Peneliti hanya memasukkan 2 pasien DS abduksi  kondisi ini jarang,


meskipun salah satu dari 2 pasien tidak menunjukkan peningkatan dalam
parameter apapun  yang lain menunjukkan peningkatan jumlah aberrant
morae .
 Mengulang Injeksi TB cenderung  menunjukkan bahwa TB terapi mungkin
manjur untuk pasien ABSD

 Studi sebelumnya juga mendukung kegunaan terapi BT  meskipun


kemanjuran pengobatan lebih rendah daripada DS Adduksi

 karena otot Postero krikoaritenoid terletak di belakang laring, dan injeksi


secara teknis sulit dilakukan
DISKUSI

Keterbatasan utama dari penelitian ini :


 Sedikitnya jumlah subjek, terutama pasien ABSD
 Kriteria inklusi yang ketat, termasuk tidak ada terapi BT dalam 6 bulan
terakhir, dan batas abnormal morae 12/25 dan 5/27 di ADSD dan ABSD
 Peneliti menunjukkan bahwa terapi BT secara signifikan meningkatkan
ADSD, dan telah potensi untuk meningkatkan ABSD. Kami percaya bahwa
studi kami pro- memberikan bukti klinis tambahan bahwa terapi BT tepat
KESIMPULAN

 Peneliti melakukan uji klinis berkualitas tinggi berdasarkan panduan GCP-


 garis memeriksa efikasi dan keamanan terapi injeksi BT untuk
 DS.
 Pada pasien DS Adduksi  BT berhasil meningkatkan tujuan dan
parameter suara subjektif.
 Banyaknya tanda morae yang menyimpang menurun secara signifikan
pada 4 minggu setelah pengobatan, dan peningkatan bertahan selama
sekitar 12 minggu.
 Subjektif dan VHI dan Skor VAS juga meningkat setelah pengobatan. Dari
dua ABSD pada pasien, satu menunjukkan penurunan jumlah morae
menyimpang,
TERIMAKASIH
MOHON ASUPAN
JURNAL ANALISIS

Problem Disfonia Spasmodik


Intervensi Injeksi Toksin Botulinum

Comparation Perbandingan terapi injeksi botulinum terhadap kontrol


plasebo
Outcome Injeksi botulinum aman dan signifikan untuk terapi
disfonia spasmodik
1 Apakah perkiraan efek terapi diberikan? 2 1 0 TTD

2 Apakah bermakna secara klinik? 2 1 0 TTD

3 Apakah perkiraan pengaruh terapi ini hasil akhirnya tepat? 2 1 0 TTD

4 Apakah spektrum pasien ini didefinisikan dengan baik? 2 1 0 TTD

5 Apakah diagnosis dari penyakit didefinisikan dengan baik? 2 1 0 TTD


Jika pragmatis, apakah digunakan kriteria yang pantas dan
6 memenusi syarat? 2 1 0 TTD

7 Jika explanatory, apakah kriteria tersebut dipersempit? 2 1 0 TTD

8 Apakah perlakuan dilakukan secara acak? 2 1 0 TTD

9 Jika ya, apakah dijelaskan metode acaknya? 2 1 0 TTD

10 Apakah semua pasien diperhitungkan? 2 1 0 TTD


39
11 Apakah loss to follow up rendah (<10%)? 2 1 0 TTD
TTD
12 Apakah kelompok perlakuan mirip pada awal uji dilaksanakan? 2 1 0
TTD
13 Apakah semua pasien diperlakukan sama? 2 1 0
Apakah pasien, pekerja kesehatan, dan peneliti buta terhadap
14 perlakuan? 2 1 0 TTD
15 Apakah penilaian hasil tetap buta? 2 1 0 TTD
16 Apakah ditunjukan efek samping yang terjadi? 2 1 0 TTD
17 Jika ya, apakah frekuensi dan keparahannya ditunjukkan? 2 1 0 TTD
18 Apakah analisis utama adalah "intention to treat" 2 1 0 TTD
19 Jika tidak, apakah dilakukan analisis sensitivitas? 2 1 0 TTD
20 Apakah ditambahkan faktor klinik yang relevan? 2 1 0 TTD
21 Apakah digunakan uji statistik yang sesuai? 2 1 0 TTD
22 Apakah metode yang tidak lazim dijelaskan? 2 1 0 TTD
Jika analisis subgrup dilakukan, apakah diperlihatkan secara
23 eksplit? 2 1 0 TTD
24 Apakah hasilnya membantu untuk memilih terapi? 2 1 0 TTD
TOTAL : 29
Jumlah pertanyaan yang dipakai pada artikel
ini (maximum 24) 19 (A)
skor maksimal 2xB 36 (B)
( C)
nilai keseluruhan (A/C dalam presentasi) 79%

Skor 2 Jawaban ya
Skor 1 Jawaban unclear/possibly
Skor 0 Jawaban tidak
Tidak dapat Tidak punya nilai karena data tidak
diterapkan (TDD) tersedia

70% Valid
50-70% Sedang
50% Tidak valid
BAHAN DAN METODE

 Uji klinis multisenter  disetujui oleh Pharmaceuticals and Medical


Devices Agency (PMDA) Jepang.
 Penelitian ini melibatkan delapan lembaga Jepang.
STUDY OBJECTIVES AND END
POINTS
Peneliti melakukan uji klinis fase II/III  mengevaluasi efektivitas dan
keamanan injeksi toksin botulinum A (Botox; Allergan, Dublin, Irlandia) pada
pasien ADSD dan ABSD.

Titik akhir utama (primer) :


 perubahan nilai pada jumlah morae abnormal 4 minggu setelah pemberian
obat.

Titik akhir sekunder :


 perubahan nilai pada jumlah morae abnormal,
 skala disfonik objektif (GRBAS),
 Voice Handicap Index(VHI),
 Visual Analog Scale (VAS).
DESAIN STUDI

 Injeksi awal pada pasien ADSD  Prosedur randomisasi dan buta-ganda.


 Injeksi ulang yang kedua  diizinkan sebagai studi label terbuka.

Obat dan plasebo dilarutkan dalam saline  disuntikkan secara


transkutan ke dalam otot tiroarytenoid melalui membran krikotiroid
dengan panduan elektromiografi (EMG).

 Dosis awal injeksi  2,5 U


 Pengulangan injeksi pertama adalah (1,0 - 2,5 U) tergantung pada respons
awal.
 2 suntikan pertama  diberikan secara sepihak untuk memastikan
keamanan terhadap kemungkinan efek samping BT sesuai instruksi
PMDA  karena pengulangan injeksi pertama pada kelompok plasebo
adalah pemberian awal TB
DESAIN STUDI dan PROSEDUR

 Injeksi ulang kedua adalah secara unilateral atau bilateral 1,0 hingga 2,5 U.
 Untuk pasien ABSD, setiap injeksi adalah label terbuka, karena ABSD
sangat jarang, dan double-blinding tidak layak.
 Obat atau plasebo disuntikkan secara sepihak ke otot Posterior
cricoarytenoid (PCA) menggunakan pendekatan transservikal anterolateral
dengan panduan EMG.

 Dosis awal adalah 5 U, dan dosis berikutnya adalah 2,0 hingga 5 U.


 Untuk kedua jenis SD, interval antara suntikan setidaknya 12 minggu.
EVALUASI TERAPI

 Setelah setiap injeksi, pasien ditindaklanjuti pada minggu ke-2 dan ke-4,
dan setiap 4 minggu setelahnya, selama masa studi 48 minggu.

 Pada setiap kunjungan, jumlah Abnormal morae, skala GRBAS, VHI, dan
VAS dikumpulkan.

 endoskopi laring dilakukan, dan fungsi fonasi dan kimia darah dievaluasi.
RANDOMISASI

 Koordinator peneliti mengkonfirmasi bahwa penampilan dan kemasan obat


dan plasebo identik  memberikan bahan kepada direktur penugasan obat
(yang tidak terlibat dalam manajemen data atau stastistik analisis)

 Direktur membuat kode kunci yang dapat digunakan  setelah


pengumpulan data 16 minggu setelah suntikan pertama, di mana semua data
yang akan dianalisis telah dikumpulkan dari semua pasien.

 Peserta DS Adduksi yang memenuhi syarat secara acak pada ke kelompok


BT atau plasebo dalam rasio 1:1  pengacakan terkomputerisasi.
 Para pasien dan dokter sama-sama dibutakan pada penelitian ini.
MORAE

 Dalam bahasa Jepang, mora  unit bunyi berirama minimum yang diwakili
oleh vokal tunggal Jepang atau kompleks konsonan-vocal.

 Kata-kata Jepang terdiri dari morae  analog dengan suku kata dalam
bahasa Inggris

 Gangguan fonasi di SD direpresentasikan sebagai produksi mora yang


menyimpang

 pasien ADSD diminta untuk membaca kalimat berikut dengan lantang:


“mu/ka/shi/a/ru/to/ko/ro/ni/ja/k/ku/to/i/u/o/to/ko/no/ko/ga/i/ma/shi/ta”
(Bertahun-tahun yang lalu, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Jack),
yang mengandung banyak vokal dan konsonan bersuara yang mudah
terganggu di ADSD
MORAE

 pasien ADSD diminta untuk membaca kalimat berikut dengan lantang:


“mu/ka/shi/a/ru/to/ko/ro/ni/ja/k/ku/to/i/u/o/to/ko/no/ko/ga/i/ma/shi/ta”
 (Many years ago, there lived a boy named Jack)  mengandung banyak
vokal dan konsonan bersuara yang mudah terganggu di ADSD

 Kalimat yang dibacakan oleh pasien ABSD adalah


 “ho/n/ya/to/ha/na/ya/wa/to/o/ri/wo/he/da/te/te/ha/n/ta/i/ga/wa/ni/a/ri/ma/su”
(The bookstore and flower shop are across the street.)  mengandung
banyak konsonan tak bersuara yang mudah terganggu di ABSD.

 Kalimat-kalimat tersebut masing-masing berisi 25 dan 27 morae. Suara


direkam secara digital menggunakan perekam ICD-UX543F (Sony, Tokyo,
Jepang). Data suara dikirim secara elektronik ke komite evaluasi pusat; tiga
ahli phoniatrics secara terpisah menghitung jumlah morae yang
menyimpang. Nilai median digunakan dalam analisis.
GRBAS

Skala GRBAS  evaluasi Grade (G)  tingkat keparahan suara serak


pendengaran/persepsi kualitas suara  kekasaran (R)  suara serak atau berderak
dikembangkan oleh Japan Society of breathiness (B)  suara berbisik
Logopedics and Phoniatrics  asthenia (A)  suara yang lemah
digunakan secara luas secara klinis. strain (S) suara yang berusaha keras atau
menyempit.
VHI

VHI mencakup 30 item yang dibagi menjadi domain fungsional, emosional,


dan fisik, masing-masing dengan 10 item.
Skala lima poin berikut digunakan untuk setiap item:
 0 : tidak pernah;
 1 : hampir tidak pernah;
 2 : kadang-kadang;
 3 :hampir selalu; dan
 4 :selalu.
Skor total berkisar dari 0 hingga 120; semakin parah gangguan suara
subjektif, semakin tinggi skor totalnya. Kami menggunakan VHI versi Jepang
[25] dengan sedikit modifikasi
VHI
VAS
 VAS Peserta secara subyektif menilai keparahan disfonia mereka
menggunakan VAS 100 mm
 Skor yang lebih tinggi menunjukkan bahwa fonasi lebih dipengaruhi oleh
SD. Seorang penilai mencatat semua skor.
Safety measures

Sebagai langkah-langkah keamanan :


 Tes laboratorium (hematologi dan biokimia klinis) dilakukan,
 Tanda-tanda vital (tekanan darah dan detak jantung) dicatat.
 Pemeriksaan fisik juga dilakukan, dan efek samping (efek buruk) dicatat.
 Setiap tanda, gejala, penyakit, atau kecelakaan yang tidak diinginkan atau
Tidak diharapkan yang timbul setelah injeksi selama masa studi dianggap
sebagai efek buruk
ANATOMI
ANATOMI OS. LARING
OTOT-OTOT EKSTRINSIK

m. Mylohyoid, Insersi ke Gerakan traksi


m. Geniohyoid bagian atas kepala ( Elevasi os
m. Stylohyoid os. Hyoid Hyoid)

m. Sternohyoid, m. Omohyoid Sebaliknya


m. Tyrohyoid

5
8
OTOT INTRINSIK
• Bagian posterolateral terdapat prosessus
muskularis  insersi dari m. krikoaritenoid lateral
dan posterior
• Bagian anterolateral  m. tiroaritenoid
60
 Aduksi dan memendekan plika
vokalis
• Bagian Posteromedial 
m.interaritenoid  aduksi plika vokalis
Membran Plika Vokalis
• Plika vokalis  m. tiroaritenoid dan lapisan jaringan lunaknya,
yang memanjang dari prosesus vokalis pada aritenoid menuju
garis tengah kartilago tiroid katup penting untuk penutupan
glotis terhadap fonasi
• Plika vokalis  epitel squamous stratifikatum tipis  Lamina
propia terdiri dari fibrous protein (elastin, collagen)
ekstracelluler elemen, sedikit sel fibroblast

64
DISFONIA SPASMODIK
Disfoni  gangguan suara yang disebabkan kelainan pada laring, bukan merupakan
suatu penyakit tetapi merupakan gejala penyakit

Disfonia spasmodik  gangguan suara kronis yang tidak diketahui asalnya yang ditandai
dengan kontraksi otot laring yang berlebihan atau tidak tepat selama berbicara.

Disfoni dapat berupa


 suara parau (hoarseness),
 suara mendesah (breathy voice),
 suara kaku (strain voice) sampai
 tidak bersuara (afoni).
EPIDEMIOLOGI
EPIDEMIOLOGI
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI

SPASMODIK DISFONIA
DISFONIA
 Tidak diketahui
Etiologi yang sering dijumpai :
 Fungsi abnormal di area otak yang
Infeksi/peradangan
disebut ganglia basal (membantu
Kelainan neurologis, trauma laring
koordinasi otot seluruh tubuh)
Tumor jinak dan tumor ganas
 Penelitian terbaru  area korteks
Etiologi yang jarang dijumpai :
serebral yang mengontrol perintah ke
Gangguan psikologis seperti stress
otot.
Obat-obatan
 Dalam beberapa kasus, disfonia
Hormonal, usia
spasmodik dapat terjadi dalam keluarga.
Variasi anatomi
Meskipun gen spesifik untuk distonia
Penyakit neuromuskuler
spasmodik belum diidentifikasi
ETIOLOGI DISFONIA SECARA
UMUM
ETIOLOGI DISFONIA SECARA
UMUM
GEJALA
SPASMODIK DISFONIA
 Suara terdengar terengah-engah DISFONIA SECARA UMUM
 Berbisik, tercekik atau kencang  suara seak (hoarseness),
 Tremor vocal  suara mendesah (breathy voice),
 Suara serak  suara kaku (strain voice) sampai
 Suara gemetar  tidak bersuara (afoni).
 Suara terputus-putus
 Upaya yang diperlukan untuk
menghasilkan suara
 Gagal mempertahankan suara

Terkadang suara bisa normal dan bisa


terputus dan menghilang.
PAOFISIOLOGI DS
ANAMNESIS
DISFONIA SECARA UMUM
 Mendengarkan keluhan utama penderita
 Mendengarkan suara penderita
 Lakukan anamnesis secara komprehensif
 Anamnesis komprehensif :
 Keluhan utama :
Durasi, hilang timbul, pernah normal lagi ?
 Faktor predisposisi :
Dimulai dengan infeksi saluran napas akut? Teriak?
 Riwayat medis yang lalu :
Trauma, pasca operasi/intubasi, hipotiroid?
 Simptom yang berhubungan dengan :
Disfagi, batuk kronis, alergi, sesak napas
 Riwayat sosial :
Pekerjaan, rokok, alkohol, vocal misuse/abuse
 Riwayat obat-obatan, terkait efek samping :
Kekeringan mukosa , Obat jantung bisa berefek samping batuk, Hormon
DIAGNOSTIK

Untuk memfasilitasi diagnosis dini DS  kriteria diagnostik yang mempertimbangkan


karakteristik klinis penyakit yang terdiri dari :
 gejala utama  4 item masing-masing untuk Abduksi dan Adduksi
 gejala yang menyertai  membantu untuk diagnosis tp tidak spesifik
 temuan klinis selama fonasi  gerakan intermiten dari pita suara yang diamati
dengan laringoskopi gerakan laring abnormal.
 respon pengobatan  perbaikan gejala vokal melalui trik sensorik selama fonasi
Prosedur operasi.
A) Sayatan tulang rawan tiroid, dengan hati-hati agar tidak memotong jaringan lunak di bawahnya.
B) Tepi kartilago yang diinsisi ditarik ke samping dan dibuat lubang kecil pada komisura anterior.
Cangkok komposit harus diambil dari tepi atas tiroid ala.
C) Perforasi ditutup dengan graft, dan sebagian otot diputar dan digunakan sebagai flap untuk
memastikan pemisahan perforasi dari shim di bawahnya.
D) Shim atas dan bawah memisahkan tepi kartilago yang diinsisi dengan jarak 4 mm
TIPE THYROPLASTI
Type I Thyroplasty: Indications :
 Dysphonia or aspiration due to
Vocal Fold Paralysis/Paresis
 Dysphonia due to Vocal Fold
Atrophy

 Teori / atrofi pita suara bulging


medial dari kontraksi otot
Tiroaritenoid yang tidak
adekuai..
 Implan tiroplasti medialisasi
pada midmembran pita suara
untuk meniru aktifitas otot TA
 Tujuan  memperbaiki
kualitas dan mencegah
aspirasi.
1. 4 cm (1,5 inci) sayatan kulit horizontal dibuat di
bagian depan leher untuk mengekspos tulang
rawan laring
2. Kartilago tiroid dipisahkan dengan hati-hati di
garis tengah  melebarkan kedua sisi kartilago
tiroid, celah glottal anterior menjadi lebih lebar
 aliran udara melalui pita suara menjadi lancar
 sura tercekik lebih berkurang
3. jarak antara kedua sisi tulang rawan tiroid dapat
disesuaikan sehingga pasien diminta untuk
berbicara selama prosedur untuk menemukan
celah yang paling tepat yang membuat pasien
merasa tidak ada pencekikan
4. Setelah menentukan celah ini, jembatan titanium
ukuran yang sesuai (2,0 hingga 5,0 mm) yang
khusus dibuat untuk operasi ini ditempatkan dan
difiksasi dengan jahitan nilon di bagian superior
dan inferior celah antara kedua sisi kartilago tiroid
MIOMEKTOMI

Insisi mukosa. Garis insisi dibuat pada permukaan superfisial


lateral membran plika vokalis dengan pisau bedah

Identifikasi TA. Otot TA diekspos dan dipisahkan dengan


membran pita suara menggunakan forsep pemisah
MIOMEKTOMI

Otot TA bilateral direseksi dengan tujuan meliputi komisura


anterior pada regio anterior, prosesus vokalis kartilago
arytenoid pada regio posterior, dan area yang berbatasan
dengan otot lateral cricoarytenoid (otot LCA) pada sisi lateral.

Reseksi Lengkap
MIOMEKTOMI

lem fibrin. Defek diisi dengan lem fibrin sebelum akhir


operasi.

Kesimpulan Miektomi TA bilateral di bawah mikrolaringoskopi adalah teknik yang berguna


sebagai pengobatan untuk ADSD, dalam dua hal: sayatan serviks tidak diperlukan dan efek
jangka panjang diperoleh.
Anatomi laring normal menunjukkan jalur intralaring dari
cabang adduktor saraf laring rekuren dan hubungannya
dengan jendela laringotomi

Anatomi saraf setelah denervasi dan reinervasi adduktor


selektif. Cabang adduktor ke TA dan LCA dipotong dan
dieksteriorisasi. Saraf ansa cervicalis dianastomosis dengan
saraf adduktor distal
INJEKSI BOTULINUM ADUKSI
MEKANISME BOTULINUM

Mekanisme kerja botulinum toxin  menghambat asetilkolin pada neuro-muscular


junction sehingga menyebabkan paralisis flasid

Asetilkolin  nerotransmiter yang menstimulasi otot halus dan kelenjar keringat

Setelah BT diinjeksikan  Toksin berdifusi ke dalam jaringan  terikat secara selektif dan
irreversible di terminal presinaptik neuro-muscular junction  menempel pada protein
membran spesifik yang bertanggung jawab terhadap ekskresi asetilkolin

Toksin dengan cepat menginhibisi pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction


menyebabkan relaksasi otot lokal dan reversible
Back up metopen

98
KATA KUNCI
Penulisan Kata Kunci
 Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas
dalam artikel.
 Kata kunci dapat diambil dari thesaurus bidang ilmu masing-masing.
 Pilihlah kata kunci yang paling baik yang dapat mewakili topik yang dibahas
dalam artikel tersebut.
 Kata kunci walaupun sangat sederhana penting dalam indeks artikel serta dapat
membantu akses suatu tulisan ke pembaca melalui pemindaian komputer di
internet.
 Bila seseorang ingin mencari suatu artikel dengan membaca kata kunci maka
salah satu kata kunci yang anda tuliskan dapat membuka artikel tersebut.
 Jumlah kata kunci bervariasi dari 3 sampai 6 kata dan cara pengurutannya dari
yang spesifik ke yang umum dan ditulis dalam satu baris. Kata kunci ditempatkan
sesudah abstrak.

99
level of evidence

100
101
Randomized Controlled Clinical
Trials (RCT)
 Randomized Controlled Clinical Trials RCT sendiri dapat dibagi menjadi beberapa jenis,
diantaranya:
adalah suatu jenis penelitian dimana
subyek dari suatu populasi • Open trial: peneliti dan subyek penelitian
mengetahui obat apa yang diberikan
dikelompokkan secara acak ke dalam
grup yang biasa disebut dengan • Single mask (single blind): salah satu pihak tidak
kelompok studi dan kelompok kontrol, mengetahui obat apa yang diberikan, bisa saja
peneliti atau subyek penelitian.
untuk menerima dan tidak menerima
suatu tindakan preventif, terapeutik, • Double mask (double blind): kedua pihak (peneliti
dan subyek penelitian) tidak mengetahui
manuver dan intervensi. pengobatan yang diberikan, demi menghindari
terjadinya berbagai bias
 Jenis penelitian ini biasanya digunakan
untuk mengetahui efektivitas suatu obat. • Triple mask (triple blind): peneliti, subyek
penelitian, dan penilai tidak mengetahui obat apa
yang diberikan.

102
Randomized Controlled Clinical Trials
(RCT)
Kelebihan dari desain studi RCT adalah: Kelemahan dari desain studi RCT adalah:
• Faktor bias dapat dikontrol secara • Desain dan pelaksanaan yang kompleks
efektif karena faktor perancu telah dan mahal.
dibagi secara seimbang. • Masalah etika memberikan perlakuan
• Telah dilakukan kriteria inklusi. yang dihipotesiskan merugikan, atau
• Dari segi statistika lebih efektif karena tidak memberikan perlakuan yang
jumlah kelompok perlakuan dan bermanfaat.
kontrol sebanding. • Uji klinis terkadang harus dilakukan
• Pemilihan peserta secara random seleksi tertentu sehingga tidak
sangat menguntungkan uji klinis secara merepresentasikan populasi.
teori. • Jika ukuran sampel terlalu kecil,
randomisasi gagal mengontrol faktor
perancu.
• Jika waktu perlakuan terlalu pendek, RCT
tidak mampu menunjukan efek
perlakuan yang sesungguhnya.
103
Cross sectional

• Cross sectional adalah suatu penelitian Studi Cross sectional dapat dikelompokkan
untuk mempelajari korelasi antara menjadi dua jenis, yaitu:
faktor faktor resiko dan dampaknya, 1. Deskriptif
dengan cara pendekatan, observasi
atau pengumpulan data sekaligus • Penelitian ini digunakan untuk menentukan
pada suatu saat (point time approach). besaran pengaruh dari masalah kesehatan
atau faktor resiko dan penelitian
• Artinya, tiap subjek penelitian hanya perkembangan masalah secara alamiah dalam
diobservasi sekali saja dan pokok bahasan epidemiologi deskriptif.
pengukuran dilakukan terhadap status 2. Analitik
karakter atau variabel subjek pada saat
pemeriksaan. • Penelitian ini bertujuan untuk menemukan
antara hubungan variabel atau faktor dalam
• Hal ini tidak berarti bahwa semua ruang lingkup arah dan besarnya hubungan
subjek penelitian diamati pada waktu yang terjadi.
yang sama.

104
Cross sectional
Kelebihan dari studi ini adalah:
• Merupakan penelitian observasi yang paling simpel
• Mudah untuk dilaksanakan
• Hasil segera diperoleh
Karakteristik dari studi ini adalah: • Dapat menjelaskan hubungan antara fenomena kesehatan yang
diteliti dengan faktor yang terkait terutama karakteristik yang
• Pengamatan subjek studi hanya menetap
dilakukan satu kali selama penelitian. • Memberikan informasi prevalensi
• Merupakan studi awal dari suatu rancangan studi kasus-control
• Perhitungan perkiraan besarnya sampel maupun cohort
tanpa memperhatikan kelompok yang • Memiliki bias recall yang lebih sedikit dari subjek
terpajan atau tidak.
• Pengumpulan data dapat diarahkan Kelemahan dari studi ini adalah:
sesuai dengan kriteria subyek studi.
• Tidak bisa menyimpulkan hubungan sebab akibat karena
• Tidak terdapat kelompok kontrol dan urutan waktunya tidak dapat ditentukan
tidak terdapat hipotesis spesifik.
• Tidak cocok untuk kasus yang jarang terjadi
• Hubungan sebab akibat hanya berupa • Tidak dapat digunakan untuk menghitung insidensi atau
perkiraan yang dapat digunakan sebagai resiko relatif yang sebenarnya
hipotesis dalam penelitian analitik atau
eksperimental. • Penelitian dalam satu waktu, hanya berkaitan dengan
survivor dan survive yang ditemukan
• Tidak berguna untuk mendeskripsikan sejumlah kasus atau
kejadian ketika kasus tersebut reccurent.
Cohort

• Penelitian cohort adalah rancangan epidemiologi analitik non eksperimental dan


bersifat observasional yang bertujuan mencari adanya hubungan sebab akibat
dengan membandingkan insiden penyakit pada kelompok yang tidak terpajan oleh
faktor risiko sebagai kontrol dalam satu jangka waktu tertentu.

106
Cohort

107
Cohort

108
Cohort
Kelebihan dari studi kohort adalah: Kelemahan dari studi kohort adalah:
• Penelitian kohort merupakan pilihan terbaik untuk kasus • Penelitian kohort memerlukan sampel yang besar dan
yang bersifat insidens dan perjalanan penyakit atau efek waktu yang lama sehingga sulit untuk mempertahankan
yang diteliti. subjek penelitian agar tetap mengikuti proses penelitian.
• Penelitian kohort paling baik dalam menerangkan • Sarana dan biaya yang diperlukan biasanya mahal.
hubungan antara faktor risiko dengan efek secara temporal
(sebab akibat). • Seringkali rumit
• Penelitian kohort merupakan pilihan terbaik untuk kasus • Kurang efisien dalam hal waktu dan biaya.
yang bersifat fatal dan progresif.
• Penelitian prospektif tidak efisien untuk penelitian
• Penelitian kohort dapat dipakai untuk meneliti beberapa penyakit dengan fase laten yang lama
efek sekaligus dari suatu faktor risiko tertentu
• Penelitian retrospektif membutuhkan ketersediaan data
• Karena pengamatan dilakukan secara kontinu dan sekunder yang lengkap dan handal
longitudinal, penelitian kohort memiliki kekuatan yang andal
untuk meneliti berbagai masalah kesehatan yang makin • Terancam drop out
meningkat.
• Dapat menimbulkan masalah etika.
• Besarnya risiko relatif dan risiko atribut dapat dihitung
secara langsung.
• Pada penelitian kohort dapat dilakukan perhitungan statistik
untuk menguji hipotesis. 109
• Penelitian kohort menyediakan angka dasar bagi kasus-
kasus baru penyakit sehingga program pencegahan dapat
dievaluasi
Case Control
Karakteristik dari case control adalah:
1. Populasi yang diteliti terdiri dari kelompok yang
diklasifikasikan sebagai yang berpenyakit dan tidak
berpenyakit.
• Case control adalah sebuah studi 2. Melihat ke masa lalu (retrospektif) untuk mengukur pajanan
yang membandingkan pasien dari objek yang diteliti.
yang memiliki penyakit (kasus) 3. Hipotesis sebaiknya menspesifikasikan secara jelas hubungan
dengan pasien yang tidak memliki yang diduga antara masalah kesehatan dan pajanannya.
penyakit (kontrol) dan melihat 4. Pemilihan kasus :
kembali secara retrospektif untuk 1. Tidak ambigu dan deskripsi secara objektif dari masalah
membandingkan seberapa sering kesehatan termasuk cara mendiagnosis
paparan faktor risiko dalam setiap 2. Kriteria untuk memenuhi syarat
kelompok untuk menentukan 5. Pemilihan kontrol:
hubungan antara faktor risiko dan 1. Mewakili kelompok tanpa penyakit
study control disease. 2. Memperkuat ada tidaknya hubungan sebab akibat
3. Sebaiknya mirip dengan kasus dengan memperhatikan
• Case Control bersifat observasi potensi dari pajanan
dan dirancang untuk 4. Kriteria yang biasa digunakan sebaiknya dapat
dibandingkan dalam semua cara dengan kriteria yang
memperkirakan peluang. digunakan untuk memilih kasus
5. Yang dibandingkan ialah pengalaman terpajan oleh
faktor risiko antara kelompok kasus dan kelompok
kontrol.
110
Case Control
Kelemahan dari studi ini adalah:
• Tidak diketahuinya efek variable luar karena
keterbatasan teknis yaitu variable yang tidak ikut
dikenakan waktu matching.
Kelebihan dari studi ini adalah: • Bias penelitian akibat tidak dilakukan pengukuran
• Tidak menghadapi kendala etik, oleh peneliti dengan tanpa mengetahui yang harus di
seperti halnya penelitian cohort ukur (blind measurement)
dan eksperimental. • Kelemahan pengukuran variabel secara retrospektif
adalah objektifitas dan reliabilitasnya, sehingga untuk
• Pengambilan kasus dan kontrol faktor-faktor risiko yang tidak jelas informasinya dari
pada kurun waktu yang anamnesis maupun data rancangan sekunder sangat
bersamaan. berisiko bila menggunakan rancangan mengatasinya,
anamnesis sebaiknya dilengkapi data penunjang yang
• Adanya pengendalian faktor diperlukan untuk menegakkan diagnosis misalnya
risiko sehngga hasil penelitian pemeriksaan laboratorium klinis, roengenologi,
lebih tajam. mikrobiologi dan imunologis. Apalabila data tersebut
adalah data sekunder, perlu dilengkapai dengan
• Tidak perlu intervensi waktu, uraian mengenai cara memperoleh data secara
sebab subjek bias dibatasi. lengkap.
• Kadang-kadang kesulitan untuk memilih kontrol
dengan matching karena banyaknya faktor risiko
dan/atau sedikitnya subjek penelitian.

111
Case Cross Over
Karakteristik dari studi ini adalah:
• Exposure harus berubah dari waktu ke waktu pada orang yang
sama dan selama periode waktu yang singkat.
• Cross over studi adalah
• Exposure tidak boleh berubah secara sistematis dari waktu ke
studi dimana intervensi waktu. Pada contoh aktivitas fisik paparan di jam segera sebelum
yang dilakukan pada onset dan telah mendokumentasikan paparan referensi dua hari
kelompok orang yang sebelum pada waktu yang sama. Ini tidak akan sesuai jika aktivitas
fisik terjadi dalam waktu yang sistematis (setiap hari kedua pada
sama terkena dua waktu yang sama).
intervensi yang berbeda • Exposure harus memiliki efek jangka pendek. Durasi efek paparan
dalam dua periode harus lebih pendek dari rata-rata waktu antara dua eksposur rutin
terpisah dari waktu. pada individu yang sama. Efek dari paparan pertama harus berhenti
sebelum paparan berikutnya.
• Waktu induksi antara paparan dan hasil harus pendek.
• Penyakit harus memiliki onset mendadak . Kasus cross over tidak
tepat jika tanggal yang tepat/ waktu onset tidak tersedia atau jika
onset mendadak tidak ada (beberapa penyakit kronis).
• Beberapa periode waktu acuan dapat digunakan untuk
mendokumentasikan paparan rata-rata antara kasus. Dalam hal itu,
rata-rata waktu yang terkena dihitung dan dibandingkan dengan
paparan sesaat sebelum onset penyakit. Efisiensi kasus
menyeberang metode meningkat dengan jumlah periode referensi
disertakan.
112
Case Cross Over

Kelebihan dari desain studi ini adalah: Kelemahan dari desain studi ini adalah:
• Mengurangi variasi antar individu dan • Tidak cocok untuk penyakit yang cepat sembuh atau yang
memperkecil ukuran sample sampai 50% sembuh dalam 1 x terapi.
dari desain paralel.
• Ada carry over effect yaitu efek perlakuan pertama belum
• Cocok untuk peyakit kronik dan stabil. hilang pada saat pengobatan kedua danorder effect yaitu
• Kontrol karakteristik tiap individu. terjadinya perubahan derajat penyakit atau lingkungan
selama penelitian berlangsung.
• Efektif untuk mempelajari efek dari
paparan jangka pendek terhadap risiko • Kemungkinan drop out lebih besar.
kejadian akut. • Perlu waktu untuk menghilangkan efek obat awal sebelum
pengobatan kedua dimulai (wash out period) yang cukup.
• Tidak dapat dikerjakan pada subyek dengan kepatuhan
rendah.
• Tidak otomatis mengantrol pembauran dari faktor waktu
terkait.
• Contoh: Uji perbandingan efektivitas obat untuk asma
kronik reumatoid
artritis hiperkolesterolemia hipertensi Uji bioekivalensi
obat “copy drugs” dengan obat inovator.
113
Cohort study

• Identifikasi dulu kausanya


• Kemudian subjek diikuti secara prospektif selama
periode tertentu untuk mencari ada tidaknya efek.
(husein alatas, dkk)

114
Case control study

• Pengukuran variabel bebas dan tergantung tidak


dilakukan pada saat yang sama.
• Penelitian ini melakukan pengukuran variabel
tergantung yakni efek.
• Variabel bebasnya di cari secara retrospektif.

• Misal efek penyakit lalu di ikuti tuk mencari faktor


resiko.
115
Cross sectional

• Peneliti melakukan observasi atau pengukuran


variabel pada satu saat.
• Satu saat adalah suatu titik yang diteliti dan tidak
melakukan tindak lanjut.

116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
Phramatic

Peneliti ingin memperlihatkan terdapat


perbedaan efek
• Menerapkan hasil penelitian kedalam praktek
klinis
• Peserta yang drops out tetap di analisa baik
kelompok kontrol atau kelompok terapi
132
explanatory

Ingin mengetahui kenapa terjadi


perbedaan efek
• Peneliti mencegah drop out
• Peneliti menerapkan kondisi yang ideal
133
134
135
136
137
138
139
140
141
P values

• Besarnya peluang probabilitas yang di amati dari


statistik uji.
• Jika p : 0.05 maka hanya 5 kesalahan yang di
tolerir oleh peniliti sehingga jika > 0.05 maka tidak
bermakna.

142
Uji hipotesa 1 tailed

• Bila arah hipotesanya sudah jelas, dasar teori jelas


dan ingin membuktikan variabel independentnya
berkaitan dengan variabel dependentnya.

143
Uji hipotesa 2 tailed

• Bila arah hipotesanya dua arah, peneliti belum


mengetahui dasar teorinya dan ingin melihat
seperti apa arahnya.

144

Anda mungkin juga menyukai