Email : jeanvionatahapary@gmail.com
Abstrak
Kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada
kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan.
Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah satu
masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Kanker paru adalah salah
satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah.
Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli
paru dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah
toraks, ahli rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya. Selain kanker paru, terdapat juga beberapa
penyakit paru yang dapat menimbulkan gejala seperti kanker paru seperti Tuberkulosis Paru,
Pneumonia, bahkan PPOK.1
Kata Kunci : Kanker Paru, Penanganan Kanker Paru, Tuberkulosis Paru, Pneumonia, PPOK
Abstract
Lung cancer is a type of malignant disease that is the main cause of death in the mortality group
due to malignancy, not only in men but also in women. High rates of smoking in the community
will make lung cancer as one of the health problems in Indonesia, like other malignant problems.
Lung cancer is one type of lung disease that requires fast and targeted treatment and action. The
diagnosis of this disease requires close and integrated collaboration between lung experts and
diagnostic radiologists, anatomical pathologists, therapeutic radiologists and thoracic surgeons,
medical rehabilitation experts and other experts. In addition to lung cancer, there are also some
lung diseases that can cause symptoms such as lung cancer such as Pulmonary Tuberculosis,
Pneumonia, and even COPD.1
Keywords: Lung Cancer, Lung Cancer Treatment, Pulmonary Tuberculosis, Pneumonia, COPD
Pendahuluan
Kanker yang juga disebut neoplasma ganas atau tumor ganas ialah suatu massa jaringan
yang abnormal, yang pertumbuhannya melebihi dan tidak dikoordinasi dengan jaringan normal,
dan tetap berkembang walaupun rangsangan yang menimbulkan perubahan tersebut telah hilang.
Prevalensi kanker paru di negara sangat maju sangat tinggi, di Amerika tahun 2002
dilaporkan terdapat 169.400 kasus baru (merupakan 13% dari semua kanker baru yang
terdiagnosis) dengan 154.900 kematian (merupakan 28 % dari seluruh akibat kanker), di Inggris
prevalensi kejadiannya mencapai 40.000/tahun, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat 4
kanker terbanyak, di RS Kanker Dharmais, Jakarta tahun 1998 menduduki urutan ke 3 sesudah
kanker payudara dan leher rahim(1). Kanker paru adalah penyebab kematian tersering dari seluruh
kanker yang tersering di dunia (meliputi Ca Paru, Ca Prostat, Adenocarcinoma colon).
Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya penderita ke
dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit. Untuk menegakkan
diagnosis kanker paru diperlukan bermacam pemeriksaan, seperti dengan foto rotgen dada
maupun dengan CT Scan.
Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat membantu penderita, dan penemuan
diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup
yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak dapat menyembuhkannya.1
Anamnesis
Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis.
Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (allo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk
diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain
sebagainya.Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem
dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan,
lingkungan).2
Pasien telah menjalani pengobatan TB sebelumnya selama 2 bulan tetapi keluhan batuk
tidak berkurang
Pasien mengeluh sering sakit pada punggung disekitar tulang belakangnya selama 1
bulan belakangan
Pasien memiliki riwayat merokok 10 tahun dengan frekuensi 2 bungkus per hari
Riwayat keluarga ada yang menderita kanker paru
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Inspeksi adalah teknik pengkajian yang paling sering digunakan. Inspeksi dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Selama inspeksi langsung bergantung
sepenuhnya pada penglihatan, pendengaran, dan penciuman. Sedangkan inspeksi tidak
langsung digunakan alat-alat seperti speculum hidung atau vagina, atau oftalomoskop,
untuk membuka jaringan internal sehingga meningkatkan penglihatan pada area tubuh
tertentu.3
2. Palpasi
3. Perkusi
4. Auskultasi
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakan diagnosis suatu penyakit, selain dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dibutuhkan pula pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, patologi
anatomi, radiologi, elektrokardiogram, dan USG.
a. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan
ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang
ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat
ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis
intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan
dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita
penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan.
Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis
penyakit paru, harus disertai difollow-up yang teliti. Pemberian OAT yang tidak
menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan
kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak
berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan
kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut.
Foto toraks memberikan manifestasi antara lain: massa radiopaque di paru, massa +
obstruksi jalan nafas dengan gambaran atelektase, massa + gambaran pneumonia,
pembesaran kelenjar para hilar, kavitasi: terjadi 2-10% kasus, tumor pancoast: terdapat
gambaran massa di daerah superior atau apeks lobus superior, efusi pleura. Bila foto
toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan pengosongan
isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar
bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat
produktif, dan/atau cairan serohemoragik.14
b. CT-Scan toraks
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada
foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara
lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih
baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis,
efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada
meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat
berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3)
dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis
intrapulmoner.14
Diagnosis Banding
1. Tuberkulosis
2. PPOK
3. Pneumonia
Pada masa yang lalu, pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia tipikal yang
disebabkan oleh streptococcus pneumonia dan atipikal yang disebabkan oleh kuman
atipik seperti halnya M. pneumonia. Kemudian ternyata manifestasi dari pathogen lain
seperti H.infulenza, S.aureus dan bakteri gram negative memberikan sindrom klinik yang
identik dengan pneumonia oleh Str. Pneumonia, dan bakteri lain dan virus dapat
menimbulkan gambaran yang sama dengan pneumonia oleh M. pneumonia. Sebaliknya
Legionella spp dan virus dapat memberikan gambaran pneumonia yg berfariasi luas.
Karena itu istilah tersebut tidak lagi digunakan.
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia dan sering terjadi pada
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
lain seperti DM, payah jantung, keganasan, penyakit syaraf kronik, dan penyakit hati
kronik. Factor predisposisi antara lain berupa kebiasaan merokok
Diagnosis Kerja
Karsinoma bronkogenik
Lebih dari 90% tumor ganas paru berupa karsinoma. Kanker paru merupakan kanker yang
paling sering ditemukan dengan prognosis yang jelek, dimana sekitar 5% mempunyai
kemungkinan hidup 5 tahun. Hal ini disebabkan oleh sifat agresif penyakit, sehingga hanya 15%
kasus yang memungkinkan untuk dapat dioperasi sewaktu diagnosis ditegakan. Sedangkan satu-
satunya kesempatan untuk sembuh yaitu dengan tindakan operasi pembuangan masa tumor.
Walaupun begitu, pengobatan kemoterapi yang intensif mulai menunjukan hasil yang
menguntungkan penderita kanker paru jenis sel kecil. Di inggris sekitar sepertiga dari seluruh
kematian akibat kanker pada pria disebabkan oleh kanker paru. Penyakit ini juga menunjukan
kenaikan insidennya diantara wanita, yang sekarang rangkingnya sudah sangat dekat dengan
kanker payudara. Mungkin sekali dalam waktu yang tidak lama akan sampai sebagai penyebab
kematian tersering kanker diantara wanita. Secara khas, penderita berumur antara 40 -70 tahun;
penyakit ini jarang mengenai mereka yang berumur kurang dari 30 tahun.
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru belum diketahui,
tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor
penyebab utama.
1. Rokok
Telah terbukti bahwa rokok merupakan resiko yang besar untuk terjadinya kanker
paru. Meningkatnya insiden kanker paru dalam abad terakhir ini sejalan dengan naiknya
konsumsi rokok. Pada tahun 1978 di inggris dan wales, jumlah kematian pria akibat
kanker paru meningkat sampai 26.771, sedikit menurun menjadi 26.041 pada tahun 1984
dan menurun lagi menjadi 21.291 pada tahun 1992. Pada waktu yang bersamaan
prevalensi merokok menurun, dan lebih banyak lagi orang yang berhenti merokok
paru pada wanita semenjak perang dunia II disebabkan karena lebih banyak wanita yang
merokok. Terdapat perubahan yang progresif pada mukosa bronkus yang berhubungan
dysplasia. Metaplasia skuamosa dan sel displastik ditemukan lebih banyak pada perokok
Abses
Ditemukan kenaikan yang bermakna risiko kanker paru pada mereka yang terkena
perokok, risiko akan bertambah besar, mungkin sampai 20-100 kali. Periode laten
Debu lain
Tidak ada bukti bahwa kanker paru berkaitan dengan pneumoconiosis akibat debu
batu bara. Meskipun demikian, didapat proporsi yang signifikan dari pekerja
Gas radioaktif
kaya akan berbagai metal dan juga radon, ditemukan jumlah kematian yang tinggi
diantara pekerjanya akibat kanker paru. Mereka yang selamat dari bom atom yang
diledakan di jepang pada tahin 1945 menunjukan insiden kanker paru yang
Factor lain
Adanya peningkatan resiko timbulnya kanker paru diantara pekerja pada industri
pengolah nikel, krom, gas mustard, arsenic, dan distilasi tar arang.
3. Fibrosis
Beberapa kanker paru perifer (biasanya adenokarsinoma) timbul pada daerah yang
mengalami fibrosis, misalnya luka, focus tuberculosis atau infark. Teori terjadinya
jaringan parut. Asumsi tersebut pada saat ini merupakan tantangan yang disebut kanker
jaringan parut yang ditentukan sebagai suatu karsinoma dengan reaksi desmoplastik
pula dengan jelas naiknya secara bermakna insiden adenokarsinoma paru pada penderita
fibrosis paru.
PATOFISIOLOGI
1. Fase Inisiasi
Fase ini berlangsung cepat. Karsinogen kimia misalnya golongan alkylating dapat
langsung menyerang tempat dalam molekul yang banyak elektronnya, disebut karsinogen
nukleofilik. Tempat yang diserang adalah asam nukleat (DNA/ RNA) atau protein dalam sel
terutama di atom nitrogen, oksigen dan sulfur. Ikatan karsinogen dengan DNA menghasilkan lesi
di materi genetik. RNA yang berikatan dengan karsinogen bermodifikasi menjadi DNA yang
dimutasi. Karsinogen kimia yang berikatan dengan DNA disebut genotoksik dan yang tidak
berikatan dengan DNA disebut epigenetik. Karsinogen genotoksik dapat juga mempunyai efek
epigenetik. Ko-karsinogen dan promotor termasuk dalam karsinogen epigenetik yang
menyebabkan kerusakan jaringan kronis, perubahan sistem imun tubuh, perubahan hormon atau
berikatan dengan protein yang represif terhadap gen tertentu. Jadi karsinogen epigenetik dapat
mengubah kondisi lingkungan sehingga fungsi sebuah gen berubah, bukan strukturnya. Sel
berusaha mengoreksi lesi ini dengan detoksifikasi kemudian diekskresi atau dapat terjadi
kematian sel atau terjadi reparasi DNA yang rusak tersebut oleh enzim sel menjadi sel normal
kembali. Karsinogen kimia dapat didetoksifikasi/ dinon-aktifkan kemudian diekskresi atau dapat
langsung diekskresi. Tetapi dari proses pengnon-aktifan ini dapat terbentuk metabolit yang
karsinogenik. Sebelum terjadi reparasi DNA dapat terjadi replikasi DNA yaitu satu siklus
proliferasi sel yang menyebabkan lesi DNA tersebut menjadi permanen disebut fiksasi lesi.
Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen sampai terjadi fiksasi lesi
(terbentuk sel terinisiasi) adalah beberapa hari (1-2 hari). Sel terinisiasi dapat mengalami
kematian, bila tidak, maka sel dapat masuk ke fase promosi. Pada akhir fase inisiasi belum
terlihat perubahan histologis dan biokimiawi hanya terlihat nekrosis sel dengan meningkatnya
proliferasi sel.
2. Fase Promosi
Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat yang disebut promotor.
Promotor sendiri tidak dapat menginduksi perubahan kearah neoplasma sebelum bekerja pada sel
terinisiasi. Bila promotor ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini akan
berproliferasi. Jadi promotor adalah zat proliferatif. Promosi adalah proses yang menyebabkan
sel terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh stimulus zat lain (promotor). Dari
penyelidikan pada kultur jaringan diketahui fase ini berlangsung bertahun-tahun (10 tahun atau
lebih) dan reversibel sebelum terbentuknya sel tumor yang otonom. Esterforbol adalah promotor
untuk kanker kulit, paru dan hati. Sel preneoplasma dapat tumbuh terus pada kultur jaringan
sedangkan sel normal akan berhenti tumbuh. Sel preneoplasma lebih tahan terhadap lingkungan
yang tidak mendukung dan kemampuan kloningnya lebih besar. Sel preneoplasma lebih tahan
terhadap lingkungan yang tidak mendukung dan kemampuan kloningnya lebih besar. ) Pada
akhir fase promosi terdapat gambaran histologis dan biokomiawi yang abnormal.
3. Fase Progresi
Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada awal fase ini, sel preneoplasma dalam stadium
metaplasia berkembang progresif menjadi stadium displasia sebelum menjadi neoplasma. Pada
awal fase ini, sel preneoplasma dalam stadium metaplasia berkembang progresif menjadi
stadium displasia sebelum menjadi neoplasma. Sel-sel menjadi kurang responsif terhadap sistem
imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada tingkat metaplasia dan permulaan displasia (ringan sampai
sedang) masih bisa terjadi regresi atau remisi yang spontan ke tingkat lebih awal yang
frekwensinya makin menurun dengan bertambahnya progresivitas lesi tersebut. Pada akhir fase
ini gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan. Penyelidikan terakhir
memperlihatkan terjadi aglutinasi pada permukaan sel kanker sehingga sel kanker tumbuh terus
meskipun terjadi kontak antar sel. Kebanyakan sel kanker mensekresi enzim fibrinolitik yang
melarutkan jaringan ikat di sekitarnya dan faktor angiogenesis yang menginduksi pembentukan
kapilar darah baru di antara pembuluh darah yang berdekatan dengan sel kanker untuk
nutrisinya.
KLASIFIKASI
Berdasarkan level penyebarannya penyakit kanker paru-paru terbagi dalam dua kriteria:
Pembagian stadium klinis kanker paru berdasarkan sistem TNM menurut International Union
Against (IUAC)/The American Joint Comittee on Cancer (AJCC) 1997 adalah sebagai berikut :
STADIUM TNM
T3, N0, M0
T1-3, N2, M0
Keterangan :
yang normal.
subkarina.
N3 : Metastasis pada mediastinal atau kelenjar getah bening hilus
2010).
Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat bervariasi. Faktor-faktor
seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan
berbagai organ jauh dapat mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru.
Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi sputum. Produksi
sputum yang berlebih merupakan suatu gejala karsinoma sel bronkoalveolar (bronchoalveolar
cell carcinoma). Hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala pada hampir 50% kasus. Nyeri dada
juga umum terjadi dan bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi tumor atau nyeri yang lebih berat
oleh karena adanya invasi ke dinding dada atau mediastinum. Susah bernafas (dyspnea) dan
penurunan berat badan juga sering dikeluhkan oleh pasien kanker paru. Pneumonia fokal rekuren
dan pneumonia segmental mungkin terjadi karena lesi obstruktif dalam saluran nafas. Mengi
unilateral dan monofonik jarang terjadi karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor dapat
ditemukan bila trakea sudah terlibat.
Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Biasanya hal
ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor, melainkan karena zat hormon/peptida yang dihasilkan
oleh tumor itu sendiri. Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah, mual, nyeri
abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea (galactorrhea). Produksi
hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil dan beberapa sel menunjukkan karakteristik
neuro-endokrin. Peptida yang disekresi berupa adrenocorticotrophic hormone (ACTH),
antidiuretic hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin dan hormon paratiroid. Walaupun kadar
peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien kanker paru, namun hanya sekitar 5% pasien yang
menunjukkan sindroma klinisnya. Jari tabuh (clubbing finger) dan hypertrophic pulmonary
osteo-arthropathy (HPOA) juga termasuk manifestasi non metastasis dari kanker paru. Neuropati
perifer dan sindroma neurologi seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan
dengan kanker paru.
Penurunan berat badan >20% dari berat badan sebelumnya (bulan sebelumnya) sering
mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan metastasis ke hepar sering mengeluhkan
penurunan berat badan. Kanker paru umumnya juga bermetastasis ke kelenjar adrenal, tulang,
otak, dan kulit. Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan nyeri local. Metastasis ke tulang
dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung melibatkan tulang iga, vertebra, humerus,
dan tulang femur. Bila terjadi metastasis ke otak, maka akan terdapat gejala-gejala neurologi,
seperti confusion, perubahan kepribadian, dan kejang. Kelenjar getah bening supraklavikular dan
servikal anterior dapat terlibat pada 25% pasien dan sebaiknya dinilai secara rutin dalam
mengevaluasi pasien kanker paru.
PENATALAKSANAAN
3. Rawat rumah (hospice care) pada kasus terminal : mengurangi dampak fisis maupun
psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.
4. Suportif : menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti pemberian nutrisi
darah dan komponen darah, growth factors obat anti nyeri dan anti infeksi.
Terapi bedah adalah pilihan pertama pada stadium I atau II pada pasien dengan sisa cadangan
parenkim paru yang cukup. Reseksi paru biasanya ditoleransi baik bila prediktif post reseksi
FEV1 yang didapat dari pemeriksaan spirometri preoperatif dadn kuantitatif ventilasi perfusi
scanning melebihi 1000 ml. Luasnya penyebaran intradada yang ditemui saat operasi menjadi
pegangan luas prosedur operasi yang dilaksanakan. Lobektomi atau pneumonektomi tetap
sebagai standar dimana segmentektomi dn reseksi baji bilobektomi atau reseksi sleeve menjadi
pilihan pada situasi tertentu. Survival pasien yang dioperasi pada stadium I mendekati 60%,
pada stadium II 25-37% dan II A 17-36,3%. Pada stadium III A masih ada kontroversi mengenai
keberhasilan operasi bila kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding atau dinding toraks
mendapat metastasis. Pasien stadium III b dan IV tidak dioperasi. Combined modality therapy
yaitu gabungan radiasi, kemoterapi dengan operasi (dua atau tiga modilitas) dilaporkan
memperpanjang survival dari studi-studi yang masih berlangsung.
Radioterapi
Pada beberapa kasus yang inoperable, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa
juga sebagai terapi adjuvan/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti mengurangi efek
obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus. Efek samping yang sering adalah
disfagia karena esofagitis pasca operasi, sedangkan pneumonitis pasca radiasi jarang terjadi
(<10%). Radiasi dengan dosis paru yang bertujuan kuratif secara teoritis bermanfaat pada kasus
yang inoperable, tetapi belum disokong data percobaan klinis yang sahih. Keberhasilan
memperpanjang survival sampai 20% dengan cara radiasi dosis paru ini didapat dari kasus-kasus
stadium I usia lanjut, kasus dengan penyakitt penyerta sebagai penyulit operasi atau pasien yang
menolak dioperasi. Pada pasien dengan metastasis sebatas N1-2 atau saat operasi terlihat tumor
sudah merambat sebatas sayatan operasi, radiasi pasca operasi dianjurkan untuk diberikan.
Radiasi praoperasi untuk mengecilkan ukuran tumor agar misalnya pada reseksi lebih komplit
pada tumor pancoast atau stadium III B dilaporkan bermanfaat dari beberapa sentra kanker.
Radiasi paliatif pada kasus sindrom vena kava superior atau kasus dengan komplikasi dalam
rongga dada akibat kanker seperti hemoptisis, batuk refrakter, atelektasis, mengurangi nyeri
akibat metastasis ke kranium dan tulang, juga amat berguna.
1. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani
pasien SCLC atau dengan metastase luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Kemoterapi dilakukan dengan
menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan
tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan.
II.11 PENCEGAHAN
Penghentian merokok adalah langkah/tindakan yang paling penting yang dapat mencegah
kanker paru. Mengecilkan paparan pada merokok pasif juga adalah suatu tindakan pencegahan
yang efektif. Pekerja yang bekerja pada lingkungan dengan polusi udara tinggi, sebaiknya
menggunakan alat pelindug diri, seperti masker untuk meminimalkan terhirupnya zat polutan ke
dalam paru. Selain itu, makan makanan yang mengandung buah-buahan dan sayuran. Pilih diet
sehat dengan berbagai buah-buahan dan sayuran. Makanan sumber vitamin dan nutrisi yang
terbaik. Skrining tumot diperlukan juga untuk dilakukan tatalaksana dini agar tidak berlanjut
menjadi kanker.
II.12 PROGNOSIS
Prognosis kanker paru tergantung dari beberapa aspek, antara lain kebiasaan merokok
yang tidak dihentikan, jenis sel kanker, dan pemilihan terapi. Pasien dengan kanker paru rata-rata
hanya 1-2% hidup sampai 5 tahun, jika tanpa pengobatan penderita hanya hidup 6-12 bulan.
BAB III
KESIMPULAN
Kanker paru merupakan semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang
berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru). Prevalensi
terjadinya kanker paru pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan usia tua. Etiologi
kanker paru masih belum pasti tapi dari beberapa studi menyatakan bahwa etiologi kanker paru
antara lain, rokok baik perokok aktif maupun pasif, paparan zat polutan, dan adanya riwayat
genetik. Manifestasi klinis pasien dengan kanker paru, antara lain batuk berdahak bisa dengan
darah atau tidak, sesak nafas, dan nyeri dada.
Diagnosis kanker paru ditegakkan selain berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
juga ditunjang dengan pemeriksaan penunjang berupa rontgen thoraks, CT Scan, MRI, sitologi
sputum, serologi, dan gold standard yaitu biopsi. Tatalaksana kanker paru bertujuan untuk
kuratif, paliatif, home care, dan suportif. Pembedahan, radiasi, dan kemoterapi merupakan
tindakan yang dapat dilakukan. Prognosis pasien dengan kanker paru dilihat dari kebiasaan
merokok dan terpapar polusi yang harus di kurangi, jenis sel kanker, dan stadium kanker
tersebut, makin berat stadium makin buruk prognosisnya.
Daftar Pustaka
1. Amin Zulkifli. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI; 2006.
h.1015-1020.
2. Moffat D, Faiz O. At a Glance Anatomi. Jakarta: Erlangga; 2003. h.12-13
3. Patricia G M. Pandua Pemeriksaan Kesehatan Dengan Dokumentasi Soapie. Edisi II.
Jakarta: EGC; 2005. h.32-40