Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

HEMIFACIAL SPASM (HFS)

Pembimbing:
dr. Teguh Manulima , Sp. BS

Disusun Oleh:
Densy Nurtita Fitriani
G1A014027

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU BEDAH
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
HEMIFACIAL SPASM (HFS)

Disusun Oleh:
Densy Nurtita Fitriani
G1A014027

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disetujui dan disahkan,


pada tanggal Juli, 2018

Pembimbing,

dr. Teguh Manulima , Sp.BS

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ..................................................................................................... 5
B. Anatomi.................................................................................................... 5
C. Epidemiologi ............................................................................................ 8
D. Etiologi ..................................................................................................... 8
E. Patofisiologi ............................................................................................. 9
F. Penegakkan Diagnosis ............................................................................. 10
G. Penatalaksanaan ....................................................................................... 11
H. Prognosis .................................................................................................. 12
III. KESIMPULAN ............................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

3
I. PENDAHULUAN

Hemifacial spasm (HFS) merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan

adanya kontraksi involunter unilateral otot wajah dimana otot tersebut dipersarafi

oleh nervus (VII) facialis ipsilateral. Kontraksi terjadi dimulai dari otot sekitar mata

kemudian kearah pipi, mulut dan leher (Lu, 2014). Berdasarkan literatur kasus HFS

pertama kali dilaporkan oleh F Schultze pada tahun 1875, dimana terdapat seorang

pasien laki-laki berusia 56 tahun yang mengalami gerakan involunter pada sebelah

kiri wajahnya. Hasil pada post mortem pasien tersebut didapatkan giant aneurysm

pada arteri vertebral kiri. Arteri tersebut menekan nervus facialis sinistra (Chaudhry

et al, 2015).

Prevalensi HFS sekitar 9,8 per 100.000 orang dengan rata-rata onset pada

usia 44 tahun. Faktor risiko HFS meningkat pada wanita dan populasi di Asia.

Perkiraan prevalensi HFS keseluruhan adalah 14,5 per 100.000 wanita dan 7,4 per

100.000 laki-laki. HFS pada praktiknya masih sering terjadi underdiagnosis,

misdiagnosis dan tidak adanya data lengkap pada populasi. Studi yang dilakukan

pada 203 dokter pada tahun 2004 menunjukan 90,6 % tidak mampu mendiagnosis

HFS dengan tepat dan 46,3% tidak mengetahui bagaimana memenejemen HFS. (Lu

et al, 2014; Nilsen et al, 2004).

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Hemifacial spasm (HFS) adalah movement disorder yang terjadi pada saraf

kranial ke VII (nervus facialis) yang memiliki karakteristik twitching (kedutan)

baik persisten ataupun intermiten pada otot yang dipersarafi nervus facialis.

Hallmark dari penyakit ini berupa kontraksi yang sifatnya klonik dan atau tonik

pada ekspresi wajah. Kontraksi biasanya terjadi unilateral, dimulai dari musculus

orbicularis oculi, kemudian melibatkan otot disekitar perioral, platysma dan otot

untuk ekspresi wajah lainnya (Chaudhry et al, 2015).

Gambar 2.1. Gambar pasien dengan hemifasial spasme. A : Saat terjadi


spasme. B: tanda Babinski-2, stimulasi penutupan mata dan kenaikan alis.

B. Anatomi

Nervus facialis (VII) muncul sebagai sebuah radiks motorik dan radiks

sensorik (nervus intermedius). Saraf muncul pada permukaan anterior otak

belakang diantara pons dan medula oblongata. Radiks berjalan ke lateral di dalam

fossa cranii posterior bersama nervus vetibulocochlearis dan masuk ke meatus

5
akustikus internus pada pars petrosa oossis temporalis. Pada dasar meatus, saraf ini

masuk canalis facialis, berjalan lateral melintasi telinga dalam. Pada saat mencapai

dinding medial telinga tengah (cavitas timpani), saraf melebar membentuk

ganglion geniculatum. Kemudian saraf membelok secara tajam ke belakang diatas

promontorium dan pada dinding posterior telinga tengah membelok ke bawah pada

sisi medial aditus ad antrum mastoideum. Nervus facialis berjalan kebawah di

belakang pyramid , dan keluar dari os temporale melalui foramen

stylomastoideum. Nervus facialis kemudian berjalan ke depan melalui glandula

parotidea ke daerah distribusinya (Snell, 2011).

Gambar 2.2 Nervus Facialis

6
Gambar 2.3 Nervus Facialis

Berikut adalah cabang-cabang penting dari nervus facialis, cabang tersebut

terdiri atas :

1. Nervus petrosus mayor, dicabangkan pada nervus facialis pada ganglion

geniculatum. Nervus ini mengandung serabut-serabut preganglionik

parasimpatik yang bersinaps di ganglion pterygopalatinum. Serabut

postganglionik merupakan sekremotorik glandula lakrimalis dan glandula di

hidung dan palatum. Nervus petrosus mayor juga mengandung serabut

pengecap dari palatum.

2. Nervus ke musculus stapedius, mempersarafi m. stapedius di dalam telinga

tengah.

3. Chorda tympani, berasal dari n. facialis di dalam canalis facialis pada dinding

posterior telinga tengah. Saraf ini mengandung serabut pengecap dari dua

pertiga anterior lidah dan dasar mulut.

7
4. Nervus auricularis posterior, venter poterior musculus digastricus dan

stylohyoideus, merupakan rami dari n. facialis pada saat saraf ini muncul dari

foramen stylomastoideus.

5. Lima rami terminales ke otot-otot ekspresi wajah, cabang-cabang tersebut ialah

ramus temporalis, ramus zygomaticus, ramus buccalis, ramus mandibularis,

dan ramus cervicalis.

Dengan demikian nervus facialis mengatur ekspresi wajah, salivasi, dan

lakrimasi serta merupakan jalur untuk sensasi pengecap dari bagian anterior lidah

dan dasar mulut serta dari palatum (Snell, 2011).

C. Epidemiologi

Prevalensi dari HFS sulit diperkirakan dengan tepat terlebih masih

banyaknya underdiagnosis dan misdiagnosis pada keaadaan sekarang. Secara

umum HFS dibagi menjadi primer dan sekunder, studi epidemiologi biasanya

berfokus pada HFS primer. Penelitian sebelumnya menunjukan hasil prevalensi

HFS ialah 11 dari 100.000 populasi total, dimana perbandingan wanita dan pria

yakni 2:1. Wanita memiliki hasil 14.5 per 100.000 populasi, sedangkan pada pria

hanya sekitar 7.4 per 100.000 populasi (Lu et al, 2014).

D. Etiologi

Berdasarkan etiologi HFS dibagi menjadi primer dan sekunder. HFS primer

terjadi akibat adanya kompresi dari pembuluh darah pada exit zone serabut saraf

posterior fossa cranial. Paling banyak terjadi karena pembuluh darah di bagian

superior cerebellar, anterior inferior cerebellar atau arteri vertebralis (Rosenstengel

et al, 2012).

8
HFS sekunder disebabkan oleh kerusakan nervus facialis karena adanya

suatu penyakit sebagai berikut (Yaltho, 2011) :

1. Cerebellopontine angle tumours — akustik neuroma, meningioma

2. Epidermoid, kista arachnoid, lipoma

3. Malformasi arteriovenous — fistulas, angioma vena dan aneurysma arteri

4. Lesi batang otak — stroke, trauma, demyelinating disorders

5. Infeksi — otitis media, tubercular meningitis

6. Structural abnormalities of the posterior cranial fossa — Paget's disease,

Chiari malformation

7. Tumor parotid

8. Bell's palsy

E. Patofisiologi

Zona keluar dan masuk dari serabut saraf merupakan persimpangan antara

pusat dan perifer segmen saraf dari saraf kranial. Di daerah ini terdapat daerah

transisi dari sel yang bertanggung jawab untuk mielinasi saraf kranial yaitu dari sel

oligodendroglial pusat ke sel Schwann perifer. Saraf kranial pada zona tersebut

tidak memiliki epineurium sehingga hanya dilindungi oleh membran arachnoid

saja. Oleh karenanya segmen khusus ini saraf sangat rentan terhadap cedera

(Guclu, 2011). Penyebab paling umum untuk HFS yang telah dilaporkan dalam

literatur adalah pembuluh darah yang menyimpang sehingga menekan saraf wajah

di zona masuk atau keluar serabut saraf ini yang mengarah ke demielinasi lokal

(Benitez dan Kaufmann, 2008).

9
Beberapa teori menjelaskan bagaimana kompresi nervus fasialis pada zona

keluar atau masuk serabut saraf dapat menyebabkan spasme hemifasial. Salah

satunya - hipotesis asal saraf atau teori perifer yang menyatakan bahwa ada

transmisi impuls antara neuron tetangga (yaitu akibat pertukaran ion pada serabut

saraf yang berdekatan) yang berlebihan atau abnormal (Rosenstengel et al, 2012).

Hipotesis lain menyatakan bahwa HFS berasal dari hipereksitabilitas dari nukleus

motorik karena umpan balik iritatif dari lesi perifer saraf (Choi et al, 2013).

F. Penegakan Diagnosis

Gejala klinis yang ditimbulkan dari HFS salah satunya kedutan pada

kelopak mata secara intermiten. Pasien akan mengeluhkan kesulitan untuk

menutup mata, terjadi spasme otot-otot wajah bawah. Mulut tertarik pada lah satu

sisi wajah dan terjadi spasme terus-menerus. Diagnosis HFS dibuat secara klinis

melalui tanda Babinski-2 atau tanda alis-angkat yang didapat melalui pemeriksaan

fisik. Manuver dikatakan positif ketika seorang pasien mengangkat alis dengan

penutupan mata ipsilateral, menandakan sinkronisasi aktivitas otot frontalis dan

orbikularis oculi selama terjadinya HFS. Teknik ini telah dibuktikan memiliki

sensitivitas tinggi (86%), spesifisitas (100%), dan reliabilitas interrater (92%)

untuk diagnosis HFS dalam satu penelitian (Lu et al, 2014).

Semua pasien harus menjalani anamnesis dan pemeriksaan klinis yang

terperinci untuk mencari setiap defisit neurologis yang akan mengarah pada

penyebab yang mendasarinya. Investigasi lain yang mungkin dilakukan untuk

menyingkirkan penyebab sekunder termasuk elektromiografi (untuk

menyingkirkan lesi saraf wajah yang menyebabkan denervasi), dan MRI otak

10
untuk menyingkirkan demyelination atau ruang yang menempati lesi dekat batang

otak (Chaudhry et al, 2015).

Pencitraan yang digunakan untuk menentukan HFS ialah Electromyography

(EMG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Keduanya berguna untuk

membedakan HFS dengan facial movement disorder lainnya. EMG sendiri

merupakan suatu alat yang dpat mengukur guna merekam aktivitas elektrik pada

otot saat beristirahat atau relaksasi maupun saat kontraksi. Hasil pemeriksaan EMG

pada pasien HFS akan menunjukan frekuensi irregular, tajam dan tinggi. Frekuensi

tersebut mulai 150 Hz hingga 400 Hz pada motor unit yang berhubungan dengan

klinis gerakan wajah (Lu et al, 2014).

Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pencitraan yang bekerja

dengan menggunakan gelombang magnet untuk dapat melihat gambaran yang

terdapat pada kepala. Bila sudah terdapat underlying compressive lesion , MRI

dapat menjadi pilihan khusus bagi pasien HFS. Pasien yang manajemen medisnya

telah gagal dan merencanakan intervensi bedah membutuhkan MR Angiography

(dengan urutan resolusi tinggi khusus seperti Constructive Interference In Steady

State (CISS) (Chaudhry et al, 2015).

G. Penatalaksanaan

Manajemen terapi standar untuk pasien HFS yakni injeksi neurotoksin

botulinum (BoNT) dimana dapat risikonya kecil tetapi hanya mengatasi

simtomatik. Botulinum toksin adalah toksin biologis kuat yang berasal dari

organisme Clostridium botulinum. Bertindak pada daerah presinaptik dari

neuromuscular junction dan mencegah pelepasan asetilkolin yang dimediasi

11
kalsium di terminal saraf sehingga mencegah pembentukan impuls (Chaudhry et

al, 2015).

Pilihan lainnya seperti oral farmakoterapi (antikonvulsan seperti

karbamazepin, clonazepam, gabapentin), obat lain seperti baclofen, antikolinergik

dan haloperidol. Keterbatasan terbesar obat oral adalah keampuhan mereka yang

tidak konsisten dan sejumlah besar efek samping termasuk sedasi, kelelahan dan

kelelahan (Yaltho, 2011).

Satu-satunya pengobatan kuratif untuk HFS yaitu Microvascular

decompression (MVD). Prosedur ini berisiko karena sifatnya invasif, apabila

berhasil dapat menyembuhkan keluhan dengan cara mengurangi kompresi pada

serabut saraf fasialis. Komplikasi yang apat dihasilkan dari tindakan MVD ialah

rekurensi, hilangnya pendengaran, paralisis n. facialis dan kebocoran cairan

serebrospinal (Lu et al, 2014).

H. Prognosis

Hemifasial spasme merupakan penyakit yang progresif tetapi tidak fatal.

Sebagian besar berespon terhadap pilihan terapi sesuai etiologinya.

12
III. KESIMPULAN

Hemifacial spasm (HFS) adalah movement disorder yang terjadi pada saraf

kranial ke VII (nervus facialis) yang memiliki karakteristik twitching (kedutan) baik

persisten ataupun intermiten. Kontraksi bersifatnya klonik dan atau tonik pada

ekspresi wajah, unilateral, dimulai dari musculus orbicularis oculi, kemudian

melibatkan otot disekitar perioral, platysma dan otot untuk ekspresi wajah lainnya.

Etiologi HFS dibagi menjadi primer dan sekunder. HFS primer terjadi akibat

adanya kompresi dari pembuluh darah dan sekunder karena adanya kelainan pada

n. facialis itu sendiri.

Penegakan diagnosis dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

sepetri temuan tanda Babinski-2 dan pemeriksaan penunjang seperti EMG, MRI,

CT scan dan Angiografi. Terapi HFS yang paling umum dan tidak invasif adalah

injeksi neurotoksin botulinum (BoTN), dan tindakan invasif yang sering dilakukan

sebagai tindakan kuratif yakni microvascular decompression (MVD), namun

prosedur ini memiliki komplikasi seperti rekurensi, hilangnya pendengaran,

kelumpuhan n. fasialis dan kebocoran cairan serebrospinal. Prognosis HFS baik

apabila diterapi sesuai etiologinya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Benitez ,M. C. dan A. M. Kaufmann. 2008. Neurovascular compression findings in


hemifacial spasm. Journal of Neurosurgery, vol. 109, no. 3, pp. 416–420.
Chaudhry, Neera, Abhilekh Srivastava, Laxmikant Joshi. 2015. Hemifacial spasm:
The past, present and future. Journal of the Neurological Sciences, pp. 1-
5.
Choi , S. I., M. W. Kim, D. Y. Park, R. Huh, and D. H. Jang. 2013.
Electrophysiologic investigation during facial motor neuron suppression
in patients with hemifacial spasm: Possible pathophysiology of hemifacial
spasm: a pilot study. Annals of Rehabilitation Medicine, vol. 37, no. 6, pp.
839–847.
Guclu B., M. Sindou, D. Meyronet, N. Streichenberger, E. Simon, and P. Mertens.
2011. Cranial nerve vascular compression syndromes of the trigeminal,
facial and vago-glossopharyngeal nerves: comparative anatomical study of
the central myelin portion and transitional zone; Correlations with
incidences of corresponding hyperactive dysfunctional syndromes. Acta
Neurochirurgica, vol. 153, no. 12, pp. 2365–2375.
Lu, A Y., Jacky T. Yeung, Jason L. Gerrard, Elias M. Michaelides, Raymond F.
Sekula Jr., and Ketan R. Bulsara. 2014. Hemifacial Spasm and
Neurovascular Compression. The Scientific World Journal, pp. 1-7.
Nilsen B., K.-D. Le, dan E. Dietrichs. 2004. Prevalence of hemifacial spasm in
Oslo,Norway. Neurology, vol. 63, no. 8, pp. 1532–1533.
Rosenstengel C., M. Matthes, J. Baldauf, S. Fleck, H. Schroeder. 2012. Hemifacial
spasm: conservative and surgical treatment options, Dtsch. Arztebl. Int.
109 (41), pp. 667–673.
Snell, R. S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh
Sugarto L. Jakarta:EGC.
Yaltho T.C, J. Jankovic. 2011. The many faces of hemifacial spasm: differential
diagnosis of unilateral facial spasms, Mov. Disord. 26 (9) 1582–1592.

14

Anda mungkin juga menyukai