Bell’s palsy (BP) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kelumpuhan saraf otot
wajah (nervus fasialis perifer) yang bersifat akut (mendadak) dan penyebabnya tidak
diketahui pasti (idiopatik).
Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma
kelumpuhan nervus fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi nervus
fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf
fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.
Insiden BP dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.
Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per 100.000 populasi per tahun dan
meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan
wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah
menderita penyakit ini.
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Kelopak mata tidak menutup sempurna disertai mata kering atau keluar air
mata spontan.
Bibir mencong kadang mulut tidak bisa menutup sempurna
Siapa saja yang lebih berisiko terkena Bell’s palsy?
Orang dengan riwayat pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan pada malam
hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain
Apa kemungkinan menjadi penyebabnya?
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu:
3. Teori herediter
Penderita Bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bell’s palsy terjadi
mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut,
sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka
penderita BP diberikan pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi
inflamasi dan edema dan juga sebagai immunosupresor.
Bagaiamana penatalaksanaannya?
Karena etiologi Bell’s palsy belum jelas, beberapa pengobatan yang berbeda telah
digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bell’s palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
medikamentosa, bedah, dan terapi fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk
mengurangi inflamasi, edema dan kompresi saraf.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium
akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang
sering digunakan yaitu : massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intrakranial.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
Bagaimana prognosisnya?
Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan,
mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka
penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah
kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Di samping itu
kasus Bell’s palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.
Penderita Bell’s Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah :
Usia di atas 60 tahun
Paralisis komplit
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
Nyeri pada bagian belakang telinga
Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko
tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya
punya perbedaan peluang 10-15% antara sembuh total dengan meninggalkan gejala
sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan
gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita non
diabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita.