DIFFICULT AIRWAYS
Pembimbing:
Dr. T. Liempy, Sp. An
Disusun oleh:
Ruhmana Firah Fadilla R 030.09.215
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta
Periode 16 Maret 18 April 2015
Lembar Pengesahan
Nama
NIM
: 030.09.215
Universitas
: Universitas Trisakti
Fakultas
: Kedokteran
Bidang Pendidikan
: Ilmu Anestesi
: Difficult Airway
TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL :
Co-assisten
Penguji
dr. T. Liempy,
Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
Jalan napas merupakan hal penting yang harus dipertahankan dan paten dalam
anestesi. Dimulai dengan penilaian jalan napas rinci untuk mengidentifikasi kesulitan
jalan nafas, dan cara-cara untuk menanganinya.
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di mana
anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran napas
bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan jalan napas
merupakan interaksi kompleks dari faktor pasien, klinis, dan kemampuan dokter.
Kesulitan jalan napas ini, apa bila tidak ditanggulangi dapat berujung pada kematian,
brain injury, cardiopulmonary arrest, pembuatan saluran napas secara operasi ayng
tidak perlu, trauma airway dan kerusakan pada gigi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
Anatomi Jalan Napas
merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang
bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring
antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal
rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea.1
2. DIFFICULT AIRWAY
Definisi
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesi konvensional terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker
di saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. 2
Klasifikasi Difficult Airways
Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 52 :
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga
SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2
inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra
ventilasi masih dalam batas normal.
2. Kesulitan penempatan SGA
Penempatan SGA membutuhkan upaya berulang dengan ada ata tidaknya
patologi trakea.
3. Kesulitan dilakukan laringoskopi
Kesulitan untuk melihat bagian pita suara, setelah dicoba beberapa kali
dengan laringoskop sederhana.
4. Kesulitan intubasi trakea
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang
terakhir lebih dari 10 menit
5. Kegagalan intubasi
Penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi
Diagnosis
Anamnesis
Anemnesis riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas
atau
Bila
Pemeriksaan fisik
o METODE LEMON
Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin
menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON.3
L = Look externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan
ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher
pendek, trauma facial, gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang
besar.3
E = Evaluate 3 3 2 rule
3 3 2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai
alat ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.3
Klinis
Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
Kelas II
Kelas III
O = Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan
abses peritonsil, trauma.
Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika
melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring.3
N = Neck deformity
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan
berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi
sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika
laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal" adalah 35 (The atlantooksipital/ A-O joint).
10
Klasifikasi
Klinis
Mallampati
Kelas I
Kelas II
palatum mole
Pilar fausial dan palatum mole
Kelas III
terlihat
Palatum durum dan palatum mole
Kelas IV
masih terlihat
Palatum durum sulit terlihat 2,3
B. Klasifikasi Samsoon
Klinis
Young
Kelas I
Visualisasi
seluruh
bukaan
Kelas II
laring
Visualisasi
hanya
Kelas III
komisura
11
Kelas IV
Visualisasi hanya soft palate
Tabel 2.3 Skor Samsoon and Young untuk penilaian laring
12
Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan
yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.2
tube.
Peralatan Intubasi fiberoptik.
Peralatan Intubasi retrograd.
Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet
transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA,
dan combitube.
Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,
cricothyrotomy).
Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
2) Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau dugaan
kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan
jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi
3) Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam
manajemen kesulitan jalan nafas,
4) Melakukan preoksigenasi preanestesi dengan sungkup wajah sebelum
memulai manajemen kesulitan jalan nafas, kuran glebih selama 3 menit untuk
mencapai hasil saturasi oksigen yang baik
5) Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen
kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA.
Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas
1) Intubasi sadar.
Intubasi endotraea dalam keadaan pasien sadar dengan anestesi topikal, pilhan
teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka,
leher, perdaraha, usus, serta kesulitan jalan napas. Ketika intubasi endotrakeal
direncanakan dalam keadaan sadar di bawah anestesi topikal, kombinasi obat
premedikasi digunakan untuk menghilangkan kecemasan, memberikan jalan
14
napas yang jelas dan kering, dan mencegah aspirasi isi lambung.yaitu antara
lain seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi
pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus
mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi
jangan kena plika vocalis. Midazolam dalam dosis 20 sampai 40 mg / kg iv,
diulang setiap 5 menit yang diperlukan, yang digunakan untuk mencapai
tingkat yang diinginkan sedasi (dosis maksimal 100 sampai 200 mg / kg).8
Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar pada pasien yang
menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil yang memuaskan 88100%.2
2) Laringoskopi dengan bantuan video.
Meningkatkan visualisasi laring, frekuensi kesuksesan lebih tinggi dibanding
intubasi dengan laringoskop, dan frekuensi yang lebih tinggi dari intubasi
upaya pertama; tidak ada perbedaan dalam waktu untuk intubasi, trauma jalan
nafas, bibir / trauma karet, trauma gigi, atau sakit tenggorokan.
15
16
dengan
Keuntungan
Kerugian
Hands-free operasi Lebih invasif
Segel yang lebih Risiko lebih dari
baik pada pasien
berjenggot
Kurang
praktis
untuk
jalan nafas
Melindungi
mobilitas TMJ
N2O difusi ke
sekresi
lebih diperlukan
Membutuhkan
beberapa
saluran napas
Saraf wajah kurang
dengan
intubasi trakea
polusi kamar
Kurang invasif
Sangat
berguna
dalam intubasi sulit
Kurang gigi dan
trauma laring
Kurang
laringospasme
dan
dalam manset
beberapa
kontraindikasi
Peningkatan
risiko
mobilitas leher
Tidak ada risiko
besar
terserang
intubasi
endobronkial
atau
aspirasi
gastrointestinal
Kurang aman di
bronkospasme
Tidak memerlukan
relaksasi otot
Tidak memerlukan
yang
mempertahankan
terhadap
Perbandingan
Anestesi
kurang
aman
Risiko yang lebih
dari
dapat
menyebabkan
distensi lambung
Tabel 3.1 Perbandingan LMA dengan Sungkup dan Intubasi Trakea
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT
yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan
nafas harus bebas seraya pasiennya sadar. 4
5) SGA untuk intubasi (ILMA),
6) Laryngoscopic berbagai desain dan ukuran,
18
19
dengan
dipertimbangkan
penggunakan
atau
tidak
rigid
laringoskop
dimungkinkan.
Suatu
mungkin
FOB
tidak
(fiberoptik
20
21
ujung dari nasal airway untuk memberikan O 2 100% selama laringoskopi. Jika
pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan
ventilasi dilakukan melalui na sal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan
adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan
pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam
lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah
diberi pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan
dimajukan jika hanya dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini
juga penting untuk mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika
kepala dari bronkhoskop diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak
dengan derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT,
epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi untuk
melewati pita suara yang telah abduksi. 4
kematian,
kerusakan otak,
cardiac arrest,
kerusakan gigi.
2.
3.
4.
23
Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk
situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. A tidak pada retardasi
mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini
mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin
membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth,
induksi inhalasi) 2
alternatif, SGA (LMA atau ILMA) sebagai saluran intubasi (dengan atau tanpa
bimbingan serat optik), intubasi dengan serat optik , intubasi dengan stylet
atau tabung changer, light wand, dan blind oral or nasal intubation.
d) Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau
membatalkan operasi.
24
Pemasangan face mask, jika facemask adekuat, masuk jalur nonemergensi ASADAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan ventilasi supraglotis dengan LMA.
Jika berhasil, dilanjutkan jalur nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi
trakea.
Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA
menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi,
oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.
Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level
hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal. 2
25
Any
problems
Call
for help
Not more
than 4 attempts,
maintaining:
(1) oxygenation
with face mask and
(2) anaesthesia
succeed
Tracheal intubation
Verify tracheal intubation
(1) Visual, if possible
(2) Capnograph
(3) Oesophageal detector
"If in doubt, take it out"
failed intubation
Plan B: Secondary tracheal intubation plan
ILMATM or LMATM
Not more than 2 insertions
Oxygenate and ventilate
succeed
failed oxygenation
(e.g. SpO 2 < 90% with FiO 2 1.0)
via ILMATM or LMATM
succeed
Postpone surgery
Awaken patient
Gambar 3.9 Algoritma Difficult Airway Pada Intubasi Trakea Pasien Dewasa
Menurut Difficult Airway Society
26
Any
problems
Call
for help
Pre-oxygenate
succeed
Tracheal intubation
Verify tracheal intubation
(1) Visual, if possible
(2) Capnograph
(3) Oesophageal detector
"If in doubt, take it out"
failed intubation
Plan C: Maintenance of
oxygenation, ventilation,
postponement of
surgery and awakening
Maintain
30N cricoid
force
succeed
failed oxygenation
(e.g. SpO2 < 90% with FiO2 1.0) via face mask
Postpone surgery
LMATM
Reduce cricoid force during insertion
Oxygenate and ventilate
failed ventilation and oxygenation
succeed
27
Failed intubation, increasing hypoxaemia and difficult venti lation in the paralysed
anaesthetised patient: Rescue techniques for the "can't intu bate, can't ventilate" situation
failed intubation and difficult ventilation (other than laryngospasm)
Face mask
Oxygenate and Ventilate patient
Maximum head extension
Maximum jaw thrust
Assistance with mask seal
Oral 6mm nasal airway
Reduce cricoid force - if necessary
failed oxygenation with face mask (e.g. SpO 2 < 90% with FiO 2 1.0)
succeed
Oxygenation satisfactory
and stable: Maintain
oxygenation and
awaken patient
Cannula cricothyroidotomy
Surgical cricothyroidotomy
Technique:
1.=Insert cannula through cricothyroid membrane
2.=Maintain position of cannula - assistant's hand
3.=Confirm tracheal position by air aspiration = 20ml syringe
4.=Attach ventilation system to cannula
5.=Commence cautious ventilation
6.=Confirm ventilation of lungs, and exhalation
= through upper airway
7.=If ventilation fails, or surgical emphysema or any
= other complication develops - convert immediately
= to surgical cricothyroidotomy
fail
4-step Technique:
1.=
Identify cricothyroid membrane
2.=
Stab incision through skin and membrane
= Enlarge incision with blunt dissection
= (e.g. scalpel handle, forceps or dilator)
3.=
Caudal traction on cricoid cartilage with
= tracheal hook
4.=
Insert tube and inflate cuff
Ventilate with low-pressure source
Verify tube position and pulmonary ventilation
Notes:
1. These techniques can have serious complications - use onl y in life-threatening situations
2. Convert to definitive airway as soon as possible
3. Postoperative management - see other difficult airway guidelines and flow-charts
4. 4mm cannula with low-pressure ventilation may be successf ul in patient breathing spontaneously
Difficult Airway Society guidelines Flow-chart 2004 (use wit h DAS guidelines paper)
28
menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari
ventilator sebelum ekstubasi.4
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus
dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam
dan ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi
pada penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak
ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang
bertujuan menandakan pasien sudah bangun. 2, 4
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk pada
TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri,
tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan
dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat
memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan
premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi,
ekstubasi saat anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat
mentolerir hal ini. Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko
aspirasi atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. 2
Pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction
terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi risiko aspirasi atau
laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen sebagai cadangan
apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan napas setelah TT
dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari plester dan balon dikempiskan.
Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas pada kantong anestesia yang
dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret yang terkumpul pada ujung
balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang kemudian dapat disuction.
Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin tidak terlalu
penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah biasanya
digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup stabil
untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan sungkup
wajah dipertahankan selama pengantaran pasien. 2, 4
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006. pg: 310-2.
2. American Society of Anesthesiologists: Practice guidelines for management of
the difficult airway: An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology 2013; 118:25170
3. Birnbaumer DM. Airway Assessment Using "LEMON" Score Predicts Difficult
ED
Intubation.
Emerg
Med
2005
Feb;
22:99-102.
Available
at:
http://www.jwatch.org/em200502160000001/2005/02/16/airway-assessmentusing-lemon-score-predicts#sthash.E216Wqd6.dpuf
4. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006. pg: 317-31.
5. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict
difficulty at intubation in the emergency department? Emerg Med J 2005;22:99102. Available at: http://emj.bmj.com/content/22/2/99
6. Magboul A. The Dilemma of Airway Assessment and Evaluation. The Internet
Journal of Anesthesiology. 2004 Volume 10 Number 1.
7. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI, Jakarta,
2009.
8. Rankumar V. Preparation of the patient and the airway for awake intubation.
Indian
Anaesth.
2011
Sep-Oct;
55(5):
442447.
Available
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3237141/?report=reader
9.
30