Anda di halaman 1dari 10

MANAJEMEN JALAN NAPAS

Manajemen jalan napas rutin yang berhubungan dengan anestesi umum terdiri atas :
Penilaian jalan napas
Persiapan dan kelengkapan alat
Posisi pasien
Preoksigenasi
Bag and mask ventilation (BMV)
Intubasi (bila terdapat indikasi)
Konfirmasi penempatan endotracheal tube
Manajemen intraoperatif
Ekstubasi

Penilaian Jalan Napas
Penilaian jalan napas merupakan langkah awal dalam manajemen jalan napas. Beberapa manuver
baik secara anatomis maupun fungsional dapat dilakukan untuk memperkirakan kesulitan dalam
intubasi endotrakeal. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa ventilasi yang baik (dengan
atau tanpa intubasi) perlu dicapai untuk menghindari mortalitas dan morbiditas. Penilaian jalan
napas terdiri atas :
1. Pembukaan mulut : jarak antar incisor 3cm atau lebih pada orang dewasa
2. Upper lip bite test : gigi bagian bawah dimajukan sehingga berada dimuka gigi bagian
atas. Sejauh mana tes ini dapat dilakukan menggambarkan rentang gerakan sendi
temporomandibular.
3. Skor Mallampati : tes yang sering dilakukan untuk mengukur besarnya lidah
dibandingkan dengan kavitas oral. Semakin berat obstruksi lidah yang menghalangi
gambaran struktur faring, maka semakin sulit dilakukan intubasi.
4. Jarak thyromental : jarak antara mentum dengan takik thyroid superior. Jarak normal
adalah sekitar 3 jari.
5. Lingkar leher : lingkar leher yang melebihi 27 dapat menyulitkan visualisasi pembukaan
glottis.


Persiapan Peralatan
Persiapan peralatan sangatlah penting dalam manajemen jalan napas. Berikut daftar peralatan
yang secara rutin dibutuhkan dalam manajemen jalan napas :
Sumber Oksigen
Kapabilitas BMV
Laringoskop
Beberapa endotracheal tube dengan beberapa ukuran
Alat jalan napas selain endotracheal tube (jalan napas oral, nasal, dsb)
Suction
Alat deteksi Oksimetri dan CO2
Stetoskop
Plester
Alat monitor tekanan darah dan elektrokardiografi
Akses intravena

Jalan Napas Oral dan Nasal
Hilangnya tonus otot pernapasan atas (seperti pada kelemahan otot otot genioglossus) pada
pasien dengan anestesi dapat menyebabkan lidah dan epiglottis jatuh ke belakang dinding
posterior faring. Reposisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang sering dilakukan untuk
membuka jalan napas. Untuk mempertahankan pembukaan jalan napas tersebut, jalan napas
buatan dapat dimasukan dalam mulut atau hidung untuk mempertahankan aliran udara antara
lidah dan dinding faring posterior. Pasien yang bangun atau yang menjalani anestesi ringan
dengan refleks laring yang intak dapat batuk atau bahkan mengalami spasme laringospasme
selama pemasukan jalan napas buatan tersebut. Penempatan jalan napas oral biasanya disertai
dengan penekanan refleks jalan napas, dan kadang sebagai tambahan dapat mendepresikan lidah
dengan tongue blade. Jalan napas oral orang dewasa biasanya terdiri atas ukuran kecil (80 mm),
sedang (90 mm), dan besar (100 mm).
Panjang jalan napas nasal dapat diperkirakan dengan jarak antara nares dengan meatus telinga
2-4 cm lebih panjang dari jalan napas oral. Karena adanya risiko terjadinya epistaksis, jalan
napas nasal biasanya kurang disukai pada pasien dengan trombositopenia atau adanya gangguan
antikoagulasi. Selain itu, jalan napas nasal (dan nasogastric tube) sebaiknya digunakan secara
hati hati pada pasien dengan fraktur basis tengkorak. Semua selang yang dimasukan melalui
hidung (seperti jalan napas nasal, kateter nasogatrik, selang nasotrakeal) sebaiknya diberikan
pelumas sebelum dimasukan dalam lubang hidung.


Design dan teknik Masker
Penggunaan masker dapat membantu antara oksigen atau gas anestesi dari sistem pernapasan
kepada pasien dengan membentuk area udara yang tertutup rapat pada wajah pasien. Pinggiran
masker dibentuk sesuai dengan bentuk wajah yang bervariasi. Orifice 22 mm masker terhubung
dengan sirkuit pernapasan mesin anestesi melalui right angle connector. Beberapa design masker
telah tersedia. Masker transparan dapat mempermudah observasi gas yang dihirup dan lebih
mudah mendeteksi adanya muntah.


Positioning
Saat memanipulasi jalan napas, dibutuhkan posisi pasien yang benar. Kesejajaran relative aksis
oral dan faring dapat tercapai dengan memposisikan pasien dalam posisi sniffing. Bila
dicurigai terdapat patologi tulang belakang, kepala harus berada dalam posisi netral selama
menjalani semua manipulasi jalan napas. Stabilisasi in-line leher harus dipertahankan selama
manajemen jalan napas pada pasien pasien tersebut, kecuali foto radiologis yang sesuai telah
diperiksa oleh dokter ahli bersangkutan.

Preoksigenasi
Bila memungkinkan, preoksigenasi dengan masker oksigen sebaiknya dilakukan sebelum
intervensi jalan napas. Oksigen dihirup dalam masker selama beberapa menit sebelum induksi
anestesi. Dengan demikian, kapasitas residual fungsional (FRC), cadangan oksigen pasien bersih
dari nitrogen. Sekitar 90% FRC 2L dalam preoksigenasi dipenuhi dengan O2. Dengan
mempertimbangkan kebutuhan oksigen normal sebesar 200-250 mL/m, pasien yang menjalani
preoksigenasi dapat memiliki 5-8 menit cadangan oksigen. Peningkatan durasi apnea tanpa
desaturasi mempengaruhi keselamatan, jika ventilasi dalam induksi anestesi tertunda. Kondisi
kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen (sepsis, kehamilan) dan penurunan FRC (
obesitas morbid, kehamilan) mengurangi periode apnea sebelum terjadinya deasturasi.

Bag and Mask Ventilation (BMV)
BMV merupakan langkah pertama dalam manajemen jalan napas di berbagai situasi, dengan
pengecualian pada pasien yang menjalani serangkaian intubasi yang cepat. Induksi rangkaian
cepat menghindari BMV untuk menghindari inflasi perut dan untuk mengurangi potensi
terjadinya spirasi isi lambung pada pasien yang tidak puasa dan pasien dengan pengosongan
lambung yang terlambat. Pada situasi darurat, BMV mengawali tindakan intubasi sebagai cara
untuk mengoksigenasi pasien, dengan pemahaman bahwa terdapat risiko aspirasi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam melakukan tindakan, tangan kiri digunakan
untuk memegang masker pada wajah pasien. Wajah diangkat ke masker dengan menggunakan
jari ketiga, keempat dan kelima tangan kiri. Jari jari tersebut ditempatkan di mandibula, dan
rahang didorong kedepan, untuk menjauhkan dasar lidah dari faring posterior untuk membuka
jalan napas. Ibu jari dan jari telunjuk berada di atas masker. Bila jalan napas paten, menekan bag
akan menyebabkan pengangkatan dada pasien. Bila ventilasi tidak efektif (tidak ada
pengangkatan dada, tidak ada end-tidal CO2 yang terdeteksi, tidak ada embun pada masker),
jalan napas oral atau nasal dapat digunakan untuk memperbaiki obstruksi jalan napas sekunder
akibat jaringan faring yang membesar. Ventilasi masker yang sulit biasanya ditemukan pada
pasien dengan obesitas, berjanggut, dan adanya deformitas kraniofasial. Dahulu, anestesi
biasanya diberikan melalui masker. Beberapa tahun terkahir, sejumlah alat supraglotis yang
bervariasi dapat digunakan baik untuk membantu jalan napas (bila BMV tidak memungkinkan)
maupun manjemen jalan napas pada anestesi rutin (bila intubasi tidak terlalu dibutuhkan).

Intubasi
Indikasi
Memasukan selang ke dalam trachea telah menjadi bagian penting dalam anestesi umum.
Intubasi bukanlah tindakan yang bebas resiko, dan tidak semua pasien dengan anestesi umum
membutuhkannya. Sebuah tracheal tube (TT) biasanya digunakan untuk melindungi dan sebagai
akses jalan napas. Intubasi diindikasikan pada semua pasien yang berisiko mengalami aspirasi
dan pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan melibatkan rongga tubuh atau kepala dan
leher. Ventilasi dengan masker atau ventilasi dengan LMA biasanya cukup memuaskan untuk
prosedur operasi yang pendek, seperti cystoscopy, pemeriksaan dalam narkose, perbaikan hernia
inguinal, pembedahan pada ekstremitas, dan sebagainya.


Persiapan Laringoskopi Direk
Persiapan untuk dilakukannya intubasi meliputi pemeriksaan kelengkapan peralatan dan posisi
pasien yang benar. TT yang akan digunakan sebaiknya diperiksa ulang. Sistem inflasi manset TT
dapat diuji dengan cara membuat inflasi manset menggunakan alat suntik 10mL. Pertahankan
tekanan pada manset setelah alat suntik dilepas memastikan fungsi manset dan katup yang baik.
Beberapa ahli memotong TT sesuai dengan panjang yang telah ditetapkan terlebih dahulu untuk
mengurangi ruang dalam selang, risiko intubasi bronchial, dan mengurangi risiko oklusi akibat
kekusutan selang. Konektor sebaiknya ditekan dengan lembut ke dalam selang untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya diskoneksi. Bila menggunakan stylet, sebaiknya dimasukan pada saat
pasien mengalami kesulitan dalam ventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan
pada pasien yang keberatan menggunakan masker. Namun, kegagalan dalam preoksigenasi
meningkatkan risiko desaturasi cepat yang menyertai apnea.

Oleh karena anestesi umum meniadakan refleks protektif kornea, perawatan yang harus
dilakukan pada periode tersebut jangan sampai mencederai mata pasien dengan tanpa sengaja
menyebabkan abrasi kornea. Maka, mata sebaiknya ditutup dengan kasa yang diplestes, biasanya
setelah pemberian salep mata sebelum manipulasi jalan napas.




Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang menggunakan tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka, blade
laringoskop dimasukan ke sisi kanan orofaring secara berhati hati menghindari gigi. Lidah
dipinggirkan ke kiri atas sampai dasar faring menggunakan pinggiran blade. Pemindahan lidah
ke sisi kiri akan memperjelas visualisasi untuk penempatan TT. Ujung berliku blade biasanya
dimasukan ke dalam vallecula, dan ujung blade yang lurus menutupi epiglottis. Dengan salah
satu dari blade, pegangan laringoskop diangkat ke atas dan menjauhi pasien dalam bidang tegak
lurus terhadap mandibula pasien untuk melihat pita suara. Kemudian, TT diambil dengan tangan
kanan, dan ujungnya dimasukan melalui pita suara. Manuver Backward, Upward, Rightward,
Pressure (BURP) diaplikasikan secara eksternal untuk memindahkan glottis dengan posisi
anterior untuk membantu visualisasi glottis. Manset TT sebaiknya diletakkan di bagian atas
trachea, namun melewati laring. Laringoskop kemudian ditarik keluar secara berhati hati untuk
menghindari kerusakan pada gigi. Manset TT diinflasikan dengan jumlah udara seminimal
mungkin untuk membentuk segel selama ventilasi tekanan positif yang bertujuan untuk
meminimalisasi tekanan yang diberikan pada mukosa trachea. Overinflasi melebihi 30 mmHg
dapat menghalangi aliran darah kapiler, dan mencederai trachea. Menekan pilot balloon dengan
jari bukanlah metode yang dapat digunakan untuk menentukan apakah tekanan pada manset
sudah cukup atau tidak.
Setelah intubasi, dada dan epigastrium kemudian diauskultasi dan deteksi kapnografik (tes yang
pasti) dimonitor untuk memastikan lokasi intratrakhea. Bila terdapat keraguan apakah selang
berada dalam esophagus atau trachea, ulangi laringoskop untuk mengkonfirmasi posisinya. CO2
End-tidal tidak akan diproduksi bila tidak ada cardiac output. FOB melalui selang dan
visualisasi cincin trachea dan karina dapat mengkonfirmasi posisi TT yang benar. Kemudian,
selang diplester untuk fiksasi posisinya. Meskipun deteksi CO2 dengan menggunakan
kapnografik merupakan metode konfirmasi posisi TT pada trachea, namun tidak mengeksklusi
intubasi bronchial. Bukti awal terjadinya intubasi bronchial biasanya berupa peningkatan puncak
tekanan inspirasi. Penempatan selang yang benar dapat dikonfirmasi ulang dengan cara palpasi
manset pada celah sternum bersamaan dengan menekan pilot balloon dengan tangan lain. Manset
sebaiknya tidak dapat dirasakan diatas level kartilago krikoid, karena lokasi intralaring jangka
panjang dapat menyebabkan suara serak, dan meningkatkan risiko ekstubasi. Posisi selang dapat
pula didokumentasikan dengan radiografi dada. Deskripsi diatas diasumsikan pada pasien yang
tidak sadar. Intubasi oral biasanya ditoleransi buruk oleh pasien yang sadar. Sedasi intravena,
penggunaan spray anestesi lokal pada orofaring, blok saraf regional, dan konfirmasi ulang dapat
memperbaiki penerimaan pasien. Intubasi yang gagal sebaiknya tidak diikuti dengan cara yang
sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, seperti
reposisi pasien, mengurangi ukuran selang, menggunakan stylet, memilih blade yang berbeda,
menggunakan laringoskop indirek, menggunakan rute nasal, atau meminta bantuan ahli yang
lain. Bila pasien juga mengalami kesulitan bernapas dengan masker, bentuk lain dari manajemen
jalan napas (LMA, combitube, krikotomi, trakeostomi) sebaiknya dilakukan.

Intubasi Nasotrakheal
Prinsip intubasi nasal adalah sama dengan intubasi oral, kecuali bahwa TT dimasukan melalui
hidung dan nasofaring kedalam orofaring sebelum laringoskopi. Lubang hidung dimana pasien
paling mudah bernaps dipilih, dimasukan TT dan dipersiapkan. Tetes hidung Phenylephire (0,5%
atau 0,25%) menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan memperkecil membrane mukosa.
Bila pasien sadar, salep (untuk lubang hidung) atau spray (untuk orofaring) anestesi lokal dan
blockade saraf dapat digunakan.
TT yang diberikan pelumas berupa jeli larut air dimasukan ke dalam dasar hidung, di bawah
turbinate, pada sudut yang tegak lurus dengan wajah. Untuk memastikan selang telah masuk ke
dasar rongga hidung, ujung proksima TT dapat ditarik kearah kepala. Selang akan terus masuk
hingga ujungnya dapat dilihat pada orofaring. Seringkali, ujung distal TT dapat ditekan masuk ke
trachea tanpa kesulitan. Bila terdapat kesulitan, ujung selang dapat diarahkan ke pita suara
dengan Magill forceps, secara hati hati agar tidak merusak manset. TT melalui nasal, kateter
jalan napas atau nasogastrik memiliki risiko besar pada pasien dengan trauma wajah berat karena
kemungkinan terjadinya displacement intrakranial.

Ekstubasi
Biasanya, ekstubasi dilakukan bila pasien dalam pengaruh anestesi yang kuat atau pasien yang
sadar. Pada kondisi apa pun, penyembuhan terhadap agen blockade neuromuscular yang adekuat
haru dicapai terlebih dahulu sebelum dilakukan ekstubasi. Bila telah digunakan blockade
neuromuskular, pasien paling tidak memiliki periode ventilasi mekanik terkontrol dan ventilator
harus dihentikan sebelum dilakukan ekstubasi. Tindakan eksturbasi selama anestesi ringan
(keadaan di antara anestesi dalam dan keadaan sadar) sebaiknya dihindari karena adanya
peningkatan risiko spasme laring. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya tampak
pada saat tindakan suction faring. Adanya reaksi terhadap tindakan suction (menahan napas,
batuk) merupakan tanda anestesi ringan, dimana tidak adanya reaksi merupakan tanda anestesi
yang dalam. Selain itu, membuka mata atau pergerakan yang sengaja menunjukan bahwa pasien
telah cukup sadar untuk ekstubasi. Tindakan ekstubasi pada pasien sadar biasanya berhubungan
dengan batuk pada TT. Reaksi tersebut dapat meningkatkan heart rate, tekanan vena sentral,
tekanan darah arteri, tekanan intracranial, tekanan intraabdominal, dan tekanan intraokular.
Dapat pula menyebabkan terbukanya luka dan meningkatkan perdarahan. Adanya TT pada
pasien asma yang sada dapat memicu bronkospasme. Beberapa ahli berusaha menurunkan
kemungkinan terjadinya hal tersebut dengan memasukan 1,5mg/kg lidocaine intravena 1-2 menit
sebelum tindakan suction dan ekstubasi. Namun, ekstubasi selama keadaan anestesi dalamlebih
baik dilakukan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping tersebut
Tanpa mempertimbangkan apakah selang sudah dicabut ketika pasien dalam keadaan anestesi
dalam atau keadaan sadar, faring sebaiknya di-suction sebelum ekstubasi untuk menurunkan
potensi aspirasi darah dan secret. Selain itu, pasien sebaiknya diberikan ventilasi oksigen 100%
apabila pasien kesulitan bernapas setelah TT dicabut. Sebelum dilakukan ekstubasi, plester TT
dicabut, dan mansetnya mengalami deflasi. Selang dicabut dengan gerakan halus, dan masker
dipasang pada pasien untuk memberikan Oksigen. Pemberian oksigen menggunakan masker
dipertahankan selama periode pemindahan pasien ke ruangan perawatan paska anestesi.
Referensi
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan and Mikhails clinical anesthesiology. Edisi
5. New York. McGraw-Hill. 2013. 312-41

Anda mungkin juga menyukai