Anda di halaman 1dari 35

Refleksi Kasus September 2017

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


TINDAKAN OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)
MENGGUNAKAN LARYNGEAL MASK
AIRWAY

ILHAM ARMADI
N 111 17 077

Pembimbing Klinik
dr. Ferry Lumintang, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara


menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal ini
yaitu hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot yang diperlukan untuk mengurangi
tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan,
stabilisasi otonom.1
Pengelolaan jalan napas (airway) menjadi salah satu bagian yang terpenting
dalam suatu tindakan anestesi. Hal ini disebabkan oleh beberapa efek dari obat-
obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas
untuk berjalan dengan baik.2
Penemuan dan pengembangan Laryngeal Mask Airway (LMA) oleh
seorang ahli anastesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan
dampak yang luas dan bermakna dalam praktek anastesi, penanganan airway yang
sulit, dan resusitasi kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan antara
penggunaan face mask dengan intubasi endotracheal. LMA memberikan ahli
anestesi alat baru penanganan airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat
ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu: (1) jalan nafas pharyngeal, (2)
jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli anastesi mempunyai
variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih dapat
disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anestesi, dan prosedur
pembedahan.3
LMA atau sungkup laring menjadi sangat populer dalam beberapa dekade
terakhir ini. Penggunaan sungkup laring mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan penggunaan intubasi endotrakeal dan sungkup muka. Salah satu yang
menjadi kelemahan penggunaan sungkup muka adalah tidak dapat melindungi jalan
napas dari kemungkinan regurgitasi isi lambung. Dalam pemasangannya, sungkup
laring tidak memerlukan laringoskop, tidak perlu pemberian pelumpuh otot, tidak
merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah dibanding intubasi
endotrakeal.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi & Fisiologi Jalan Napas Bagian Atas


a. Hidung
Jalan napas yang normal secara fungsional dimulai dari hidung. Udara
lewat melalui hidung yang berfungsi sangat penting yaitu penghangatan dan
melembabkan (humidifikasi). Hidung adalah jalan utama pada pernapasan
normal jika tidak ada obstruksi oleh polip atau infeksi saluran napas atas.
Selama bernapas tenang, tahanan aliran udara yang melewati hidung
sejumlah hampir dua per tiga dari total tahanan jalan napas. Tahanan yang
melalui hidung adalah hampir dua kali bila dibandingkan melalui mulut. Ini
menjelaskan mengapa pernapasan mulut digunakan ketika aliran udara tinggi
dibutuhkan seperti pada saat aktivitas berat.1

b. Faring
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid
berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan
orofaring dibawahnya oleh jaringan palutum mole. Prinsip kesulitan udara
melintas melalui nasofaring karena menonjolnya struktur jaringan limfoid
tonsiler. Lidah adalah sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena
menurunnya tegangan muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi
berfungsi menggerakkan lidah kedepan selama inspirasi dan berfungsi
sebagai dilatasi faring.1

c. Trakea
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai
setinggi servikal 6 columna vertebralis pada level kartilago tiroid. Trakea
mendatar pada bagian posterior, panjang sekitar 10-15 cm, didukung oleh
16-20 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi
dua atau bifurkasio menjadi brongkus kanan dan kiri pada thorakal kolumna
vertebrali. Luas penampang melintang lebih besar dari glotis, antara 150
300 mm2. Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus
mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang berlokasi pada
otot-otot dinding posterior, membantu mengatur rate dan dalamnya
pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada bronkus melalui
penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor iritan yang
berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk dan
mengandung reflek bronko kontriksi.1

2. Evaluasi Jalan Napas


Tujuan evaluasi jalan napas adalah untuk menghindari gagalnya
penanganan jalan napas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang
diduga akan sulit diventilasi dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation
terjadi bila terdapat penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan mask,
terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau terdapat resistensi aliran masuk
(inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan. Kesulitan
laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah usaha
laringoskopi dilakukan banyak kali.4
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan napas jika anestesiolog
mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan
napas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea, atau keduanya.4
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau kesulitan
intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan anestesi harus
menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan napas yang komprehensif.
Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan napas pernah terjadi sewaktu
dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan napas sebelumnya
pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan adanya kesulitan
jalan napas. Demikian pula halnya, jika pasien memberitahukan bahwa
dilakukan usaha yang berkali-kali untuk memasukkan selang pernapasan atau
bahwa ia terbangun pada intubasi sebelumnya, maka harus dipertimbangkan
adanya kesulitan jalan napas.4
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan napas
antara lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa
lampau, artritis reumatoid, hamil, epiglotitis, perlengketan servikal sebelumnya,
massa leher, Downs syndrome, dan sindrom genetik lainnya seperti Treacher-
Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan kelainan wajah. Dengan
anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi mengenai penanganan
jalan napas sebelumnya.4
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang
disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama
kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan
intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang terhadap rongga
mulutnya. 5
Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan
dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu
prediktor yang mencurigai adanya kesulitan penanganan jalan napas mungkin
saja penting secara klinis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih banyak
dan lebih prediktif melalui skrining berbagai prediktor pada setiap pasien.5

Gambar 1. Sistem klasifikasi Mallampati


3. Alat Alat yang Sering Digunakan dalam Manajemen Airway
a. Oral dan Nasal Airway
Hilangnya tonus otot jalan napas bagian atas (misalnya kelemahan
dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan
epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi
kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan
jalan napas. Untuk mempertahankan jalan napas bebas, jalan napas buatan
(artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior.6
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan napas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No. 3), medium (90 mm/Guedel No. 4), dan besar (100
mm/Guedel No. 5). 6
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral
airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh
digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid.
Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis
cranii.6

b. Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau
gas anestesi dari sistem pernapasan ke pasien dengan pemasangan face mask
yang rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka
pasien.6
Kebanyakan jalan napas pasien dapat dipertahankan dengan face
mask dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka
lama dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf
trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan masker digunakan dalam
jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera.
Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari
resiko aberasi kornea.6

c. Intubasi Endotrakeal
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk
membersihkan saluran tracheobronchial, mempertahankan jalan napas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi
dan oksigenasi bagi pasien operasi. Intubasi endotrakeal diindikasikan pada
berbagai keadaan saat sakit ataupun pada prosedur medis untuk
mempertahankan jalan napas seseorang, pernapasan, dan oksigenasi darah.
Pada cakupan tersebut, tambahan oksigen yang menggunakan face mask
sederhana masih belum adekuat. 7

d. Laryngeal Mask Airway


Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask dan ETT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan
pemasangan ETT pada pasien dengan jalan napas yang sulit, dan untuk
membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan
bronkoskop. 7

4. Laryngeal Mask Airway (LMA)


Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan
hilangnya pengendalian jalan nafas dan refleks-refleks proteksi jalan napas.
LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan
pemakaian face mask. LMA di insersi secara blind ke dalam faring dan
membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring.8
Laringeal Mask Airway (LMA) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk
ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level tekanan
positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak
besar, kecil, dewasa normal dan besar.2
Ukuran LMA
Ukuran Volume Inflasi Cuff
Pedoman Seleksi Pasien (Kg)
LMA Maksimal (ml)
1 Neonatus/Bayi hingga 5 Kg 4
1 Infant 5-10 Kg 7
2 Bayi/Anak-anak 10-20 Kg 10
2 Anak-anak 20-30 Kg 14
3 Anak-anak 30-50 Kg 20
4 Dewasa 50-70 Kg 30
5 Dewasa 70-100 Kg 40
6 Dewasa Lebih dari 100 Kg 50

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit napas dengan konektor berukuran 15 mm,
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah
ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam
dibandingkan untuk memasukan oral airway.6

Gambar 2. Bagian bagian LMA


LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau ETT.
Kontra indikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia
hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan napas)
yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.6

Tabel 2. Perbandingan LMA, Facemask, dan ETT

e. Jenis Jenis LMA


a. Classic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management
yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk
ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan jalan nafas yang sullit. Jika LMA
dimasukkan dengan tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus,
cuff samping berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan
dengan dasar lidah. Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi
yang efektif dengan inflasi yang minimal dari lambung.9
b. LMA Fastrach (Intubating LMA)
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi
esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi
esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat blind intubation technique. Nyeri
tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada
pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting
dalam manajemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok
untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat
dipakai selama resusitasi cardiopulmonal .9

c. LMA Proseal
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi
tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan nafas yang lebih baik yang
berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA
Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernapasan dengan saluran
gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan
gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tubeorogastric untuk
dekompresi lambung.10
Terdapat suatu teori yang baik dan bukti perfoma untuk
mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA,
berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua
ini sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut.9

d. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan
airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya
meningkat yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang
bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan
kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan
perlindungan yang baik terhadap laring dari sekresi dan darah yang ada
diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan
pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih
panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work
of breathing.9

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. (a) LMA Classic; (b) LMA Flexible; (c) Intubating


Laryngeal Mask Airway; (e) LMA ProSeal

4. Teknik Anastesi LMA


a. Indikasi10
1. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika
pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
2. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan
3. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
b. Kontraindikasi 10
1. Pasien - pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada
emergency adalah pengecualian).
2. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena
seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan
lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm
H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan
lambung.
3. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.
4. Pasien-pasien dengan refleks jalan nafas atas yang intack karena insersi
dapat memicu terjadinya laryngospasm.

c. Efek Samping 10
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok,
dengan insidensi 10% dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff
LMA. Efek samping yang utama adalah aspirasi.

d. Teknik Induksi dan Insersi


Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi
yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting
untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang
dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna.9
Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak respon dengan
mandibula yang relaksasi dan tidak respon terhadap tindakan jaw thrust.
Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang
dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun
pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian
pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena refleks proteksi yang
ditumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang
berhubungan dengan jalan nafas yang rileks/menyempit jika manuve jaw
thrust tidak dilakukan.3
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol
dapat menekan refleks jalan napas dan mampu melakukan insersi cLMA
tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan
inflasi cuff akan menstimulasi dinding faring dan akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah
insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar propofol
yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.3
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah
pemberian induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk
mendalamkan anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat
topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi
dapat diberikan opioid beronset cepat (seperti fentanyl atau alfentanyl). Jika
diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal. Insersi
dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy
(Sniffing Position) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh
asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi
dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis
air sebelum dilakukan insersi.Meskipun metode standar meliputi deflasi
total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai insersi LMA dengan cuff
setengah mengembang. Tehnik ini akan menurunkan resiko terjadinya nyeri
tenggorokan dan perdarahan mukosa faring.3
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring
supine dengan satu tangan menstabilisasi kepala dan leher pasien,
sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik
dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien
dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas.
cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube.
Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama
insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum
kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas.
Saat cLMA berhenti selama insersi, ujungnya telah mencapai
cricopharyngeus (sfingter esofagus bagian atas) dan harusnya sudah berada
pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang
lembut untuk meyakinkan titik akhir teridentifikasi.9

Gambar 4. Pemasangan LMP

Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit


pernafasan. Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan
ketepatan posisi cLMA9:
1. End point yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di
inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung
dari pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting
untuk dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang
maksimum. Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan.
Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan
jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi
yang berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal,
termasuk cedera syaraf (glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan
laryngeal recuren) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas.9
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan
membuat perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan
perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan
akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama
dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian
N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan mempalpasi
secara intermiten pada pilot ballon.9
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-
bagging dengan lembut. Perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat
bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini
akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut,
ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya
suara ribut pada jalan napas atau kebocoran udara yang dapat terdengar.
Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang
kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran yang
besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka
cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.9
e. Teknik Ekstubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien
bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana refleks
proteksi jalan napas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan
pada faring secara umum tidak diperlukan dan malah dapat menstimuli dan
meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasm. Saat pasien
dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi
akan terjadi pada saatsaat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat
dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut.9

f. Komplikasi Pemakaian LMA


cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru
karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan
cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi,
seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, dan pada refluks gastro-
esofageal.9
BAB III
TINJAUAN KASUS

1. Identitas Penderita
Nama : An. AD
Umur : 7 thn
Alamat : Jl. Lasoani
Agama : Islam
Ruangan : Teratai
Tanggal Pemeriksaan : 14 September 2017
No.Rek.Medis : 81-52-39

2. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada tangan kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri pada tangan kanan
setelah jatuh tertelengkup dan tertindih oleh temannya di sekolah pada pukul
10.00 pagi. Lalu pasien pasien dibawa oleh orang tuanya ke tukang urut.
Demam (-), sesak (-), muntah (-), nyeri menelan (-) dan gangguan
menelan (-).
o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asma (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit berat lainnya (-)
o Riwayat anestesi (-)
Riwayat penyakit keluarga:
o Riwayat penyakit paru (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4 V5 M6)
Berat Badan : 21 kg
Status Gizi : Gizi Baik
Airway : Paten
Pernafasan : Respirasi 12 kali/menit
Nadi : 80 kali/menit, regular, kuat angkat
TD : 90/70mmHg
Suhu : 36,5o C

a. B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-),
buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 4 cm, jarak hyothyoid 4 cm, leher
pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi
pernapasan 12 kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 1, massa
(-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).

b. B2 (Blood)
Akral hangat, ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah 90/70 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi
jantung S1/S2 murni regular.

c. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis, pupil isokor 2mm/2mm, defisit neurologi (-).

d. B4 (Bladder)
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna
kekuningan, tidak terpasang kateter
e. B5 (Bowel)
Abdomen tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, mual (-), muntah (-)
massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).

f. B6 Back & Bone


Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (+/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 11-09-2017
Tabel 3. Hematologi Rutin
Range
Parameter Hasil Satuan Nilai
Normal
RBC 4,68 106/mm3 3,8-5,2 N
Hemoglobin (Hb) 11,9 gr/dl 11,7-15,5 N
Hematokrit 36,1 % 35,0-47,0 N
PLT 322 103/mm3 150-440 N
WBC 25,8 103/mm3 3,6-11,0 H
BT 3 30 menit 1-5 N
CT 7 00 menit 4-10 N

Tabel 5. Imunoserologi

Parameter Hasil
HbsAg Negatif

5. Diagnosis Kerja : Fraktur Humerus Dextra


6. Tindakan : Open Reduction Internal Fixation (ORIF)
7. Kesan Anestesi
Anak Laki-laki 7 tahun dengan diagnosis fraktur humerus dextra pro ORIF
dan PS ASA I.
8. Penatalaksanaan
Rencana operasi ORIF
9. Di Ruangan
IBS RSUD Undata
- Surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan
anestesi (+)
- Puasa selama 8 jam preoperasi
10. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis Pre Operatif : Fraktur Humerus Dextra pro ORIF
Status Operatif : ASA I, Mallampati I
Jenis Anastesi : General Anestesi

11. Laporan Anestesi


1) Diagnosis Pra Bedah
Fraktur Humerus Dextra pro ORIF
2) Diagnosis Pasca Bedah
Fraktur Humerus Dextra pro ORIF
3) Penatalaksanaan Praoperasi
RL 100 ml
4) Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : ORIF Humerus Dextra
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : General Anestesi dengan teknik
LMA nomor 2,5
d. Mulai Anestesi : 14 September 2017, pukul 09.00 WITA
e. Mulai Operasi : 14 September 2017, pukul 09.20 WITA
f. Premedikasi :
Midazolam 3 mg
Fentanyl 30 mcq
g. Induksi :
Recofol 50 mg
h. Medikasi tambahan :
Ketorolac 30 mg
Dexamethason 5 mg
Ceftriaxon 500 mg
i. Maintanance :
Sevoflurane 3%
j. Alat bantu pernapasan : LMA nomor 2,5
k. Respirasi : Pernapasan spontan
l. Posisi : Supinasi
m. Cairan Durante Operasi : RL 150 ml
n. Selesai operasi : 10.10 WITA

12. Preinduksi
a. Pemeriksaan fisik preoperatif
1). B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi
mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 4 cm, jarak
hyothyoid 4 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1),
faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan 12 kali/menit, suara
pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi
(-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 1, massa (-), gigi ompong (-),
gigi palsu (-).
2). B2 (Blood)
Akral hangat, ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah
(+/+), tekanan darah 90/70 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, reguler,
kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
3). B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis, pupil isokor 2mm/2mm, defisit
neurologi (-).
4). B4 (Bladder)
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari
berwarna kekuningan, tidak terpasang kateter
5). B5 (Bowel)
Abdomen tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, mual (-),
muntah (-), massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
6). B6 Back & Bone

Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (+/-),
edema ekstremitas bawah (-/-).
13. Persiapan pasien preoperatif :
IVFD RL 100 ml
14. Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
Alat-alat resusitasi (STATICS).
Obat-obat anastesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; Pulse
Oxymeter dan Capnograf.
Kartu catatan medik anesthesia
Tabel 6. Komponen STATICS
Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2,5
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
I Introducer
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

15. Intra Operatif


Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : General Anestesi
Lama anestesi : 09.00 10.15 (1 jam 15 menit)
Lama operasi : 09.20 10.10 (50 Menit)
Anestesiologi : dr. Ferry Lumintang, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Harris Tata, Sp.OT
Posisi : Supine
Infus : 1 line di tangan kiri
Tabel 7. Laporan Monitoring Anestesi

150

140 1 2 3 45

130

120
NADI

110
104 105
102
100 99 100 99 99 99
100 97 97 97 98 96 96 95 97
95
93
90 90
88
90

80 IN OUT
08.45
08.50
08.55
09.00
09.05
09.10
09.15
09.20
09.25
09.30
09.35
09.40
09.45
09.50
09.55
10.00
10.05
10.10
10.15
10.20
10.25
10.30
WAKTU

Keterangan:
Obat-Obatan
1. Midazolam 3 mg : Mulai Operasi
2. Fentanyl 30 mcg : Selesai Operasi
3. Refofol 50 mg : Mulai Anestesi
4. Kertorolac 30 mg : Selesai Anestesi
5. Dexamethasone 5 mg IN : Masuk OK
6. Ceftriaxone 500 mg Out : Keluar OK

16. Terapi Cairan


Berat Badan : 21 kg
Jumlah perdarahan : 150 ml
EBV = BB (Kg) x 70 ml/kgBB
= 21 x 70 ml/kgBB = 1.470 ml
% Perdarahan = Jumlah Perdarahan : EBV x 100%
= 150 : 1.470 x 100%
= 0,10 x 100%
= 10%

= ( + )/

1.470 (36,140)
=
(36,1+40)/2
1.470 4
=
38
= 5,733 : 38
= 150,86 ml

Pemberian Cairan
Cairan masuk
- Pre operatif : Kristaloid RL 100 ml
- Durante operatif : Kristaloid RL 150 ml
- Total input cairan : Kristaloid RL 250 ml
Cairan keluar durante operatif
- Perdarahan : 150 ml
- Urin : Tidak ada
- Total output cairan : 150 ml

Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan Maintanance (M)
M = (4 x 10kg 1) + (2 x 10kg 2) + (1 x 10kg 3)
= (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 1)
= 40 + 20 + 1
= 61 ml/jam (Dalam 1 Jam)
50menit = 61 x 50 Menit/60 detik
= 51 ml
2. Cairan defisit selama puasa (P)
P = Lama puasa x Maintenance
= 8 x 51
= 408 ml
3. Cairan yang masuk saat puasa
Cairan masuk puasa = Jumlah infus (TPM) x Lama Puasa (Menit)/2
= 20 x 480/20
= 9600/20
= 480 ml

Cairan defisit puasa Cairan masuk puasa = 408 480


= -72 ml
4. Stress Operasi Ringan = 4cc x BB
= 4 x 21
= 84 ml
5. Total kebutuhan cairan selama 50 menit operasi
Kebutuhan cairan operasi
= M + Defisit Cairan Selama Puasa + Stress Operasi + Urin
= 51 + 72 + 84 + 0
= 207 ml

a. Cairan masuk
Kristaloid : 100 ml + 150 ml = 250 ml
Koloid :-
Whole blood :-
Total cairan masuk : 250 ml

b. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk Cairan dibutuhkan = 250 ml 207 ml
= 43 ml
Mengganti kehilangan darah
Transfusi + 3x Cairan Kristaloid = Volume darah
= 0 + 3x = 150 ml
X = 3 x 150
X = 450 ml
Jadi, untuk mengganti kehilangan darah 150 cc diperlukan
450 cc cairan kristaloid

15. Post Operatif


Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, Nadi, Pernapasan, Aktivitas motorik.
b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan
analgetik
c. Bila Aldrette Score 8 boleh pindah ruangan.
d. Mual (-), Muntah (-), Peristaltik usus (+), Boleh makan dan minum
sedikit-sedikit.

Tabel 8. Skor Pemulihan Pasca Anesthesia J.A Aldrette 1970


TANDA KRITERIA SKOR
Seluruh ektrimitas dapat digerakkan 2
AKTIVITAS Dapat menggerakkan 2 ekstrimitas 1
Tidak bergerak 0
Mampu bernapas dalam dan batuk 2
RESPIRASI Dangkal namun pertukaran udara adequate 1
Apnea dan Obstruksi 0
TD < 20% dari nilai pre anestesi 2
SIRKULASI TD 20% - 50% dari nilai pre anestesi 1
TD > 50% dari nilai pre anestesi 0
Sadar, siaga, dan orientasi 2
KESADARAN Bangun namun cepat tertidur kembali 1
Tidak berespon 0
WARNA Merah muda 2
Pucat 1
KULIT
Sianosis 0
TOTAL SKOR 9
Perintah di ruangan:
a. Awasi tanda vital (TD, Nadi, Pernapasan tiap jam)
b. Bila kesakitan. beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri Injeksi Ondansetron 4 mg IV
d. Program cairan, infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik, injeksi Ketorolac 15 mg iv tiap 8 jam, mulai pukul 20.00
WITA
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien, An. AD, 7 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
ORIF pada tanggal 14 September 2017 dengan diagnosis pre operatif fraktur
humerus dextra pro ORIF. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 14 September
2017. Pada anamnesis didapatkan riwayat fraktur humerus sejak 4 hari yang lalu,
Pasien tidak pernah menjalani operasi dan anestesi.
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait
tindakan yang diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan serta dilakukan juga pemeriksaan
uji imunoserologi HbsAg.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 90/70 mmHg;
nadi 80x/menit; respirasi 12x/menit; suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi, Hb 11,9 g/dl dan HBsAg (-). Pasien juga tidak memiliki riwayat
penyakit berat, alergi, dan dapat berkomunikasi serta beraktivitas dengan normal.
Dengan keadaan tersebut, pasien termasuk dalam kategori ASA I, Adapun
pembagian kategori ASA adalah:
I. Pasien normal dan sehat fisisk dan mental
II. Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III. Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
IV. Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V. Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
VI. Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil.
Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboratorium tidak menunjukkan adanya
gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.
Pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anestesi. Adapun
indikasi dilakukan general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan
hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko aspirasi dengan
menggunakan premedikasi. Teknik anestesinya dengan pemasangan LMA nomor
2,5.
Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan cairan RL 100 ml. Pemberian
maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 21 kg sehingga
kebutuhan cairan maintenance pasien selama 50 menit operasi adalah 61 ml/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang
diberikan. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini
adalah 488 ml. Selama oprasi jumlah defisit darah adalah 150 ml sehingga
memerlukan pergantian cairan dengan kristaloid sebanyak 450 ml. Oleh karena
operasi yang dijalani tergolong ringan maka stress operatif sebanyak 4 ml x 21 kg
sehingga dibutuhkan 84 ml cairan kristaloid. Total kebutuhan cairan sebanyak 633
ml. Namun, pasien hanya mendapatkan 250 ml cairan kristaloid sampai operatif
selesai sehingga masih membutuhkan sebanyak 383 ml cairan pengganti.
Pasien masuk keruang OK pada pukul 08.45 WITA dilakukan pemasangan
NIBP dan O2 dengan Nadi awal 100x/menit, dan SpO2 100%. Dilakukan injeksi
Sedacum (Midazolam) 3 mg pada kasus ini sebagai premedikasi untuk efek sedatif.
Obat ini memiliki efek sedativa yang berfungsi menenangkan otak dan sistem saraf
kita. Karena itu, midazolam akan memicu rasa kantuk dan rileks, sehingga dapat
menurunkan tingkat kecemasan sebelum seseorang menjalani operasi.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu Recofol
50 mg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi
yang cepat. Selain itu juga recofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur
oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat
dicapai dalam waktu 30 detik. Pemberian fentanyl 30 g yang merupakan obat
opioid yang bersifat analgesik dan bisa bersifat induksi. Penggunaan premedikasi
pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan
pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa
khawatir. Pada kasus ini tidak diberikan pelemas otot saat pemasangan LMA.
Pasien juga diberikan dexamethasone 5 mg sebagai adjuvant analgetik pascaoprasi
dan pencegahan inflamasi (bengkak) akibat pemasangan LMA. Sementara
Ceftriaxone 500 mg diberikan sebagai antibiotik perioperatif.
Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan
pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding
dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas
dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu lama. LMA tidak
dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi dalam jangka
waktu lama. LMA juga tidak dapat dilakukan pada pasien dengan reflek jalan nafas
yang intack, karena insersi LMA akan mengakibatkan laryngospasm. LMA sebagai
alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA
bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
Keuntungan penggunaan LMA diabanding ET adalah kurang invasif, mudah
penggunaanya, meminimalkan trauma pada gigi dan laring, efek laryngospasm dan
bronkospasme minimal, dan tidak membutuhkan agen relaksasi otot untuk
pemasangannya. LMA diekstubasikan ketika pasien sadar, pasien bangun dan
mampu untuk membuka mulut sesuai perintah. Ekstubasi LMA dilakukan pada
keadaan pasien sadar karena dimana refleks proteksi jalan nafas telah normal pulih
kembali.
Pada kasus ini obat anestesi inhalasi yang digunakan adalah sevofluran 3%.
Sevofluran merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cair, tidak berwarna,
tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik untuk inhalasi. Proses induksi dan
pemulihan cepat dari semua obat anestesia inhalasi yang lain. Terhadap
kardiovaskular relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama anestesia.
Tahanan vaskular dan curah jantung menurun sehingga tekanan darah sedikit
menurun.
Pada pukul 10.10 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan
pemantauan akhir Nadi 88x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama
50 menit dengan perdarahan 150 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan napas dalam keadaan baik,
pernapasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien An. AD umur 7 tahun dengan diagnosis fraktur humerus dexra pro
ORIF menjalani tindakan open reduction internal fixation (ORIF) dengan status
fisik ASA I dan skor mallampati 1. Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi
general (umum) dengan LMA, respirasi spontan.
Anestesi general tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring adalah
alat bantu pernapasan (penanganan jalan nafas) yang dimasukkan kedalam laring.
Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi
dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Thomas J Gal. Airway Management in Millers Anesthesia, Chapter 42, Elsivier:
2005: page 1617.
3. Turan et al.Comparison of the laryngeal mask (LMA) and laryngeal tube (LT)
with the new perilaryngeal airway (CobraPLA) in short surgical procedures.
EJA 2006; 23: 234 238
4. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The
American Society ofAnesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-2.
5. Gwinnutt CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta.
2014.
6. Orebaugh SL. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.
Philadelphia: Lippincott, Williams, and Wilkins. 2007.
7. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta
8. Verghese C, Brimacombe JR.Survey of Laryngeal mask airway usage in 11910
patients: safety and efficacy for conventional and nonconventional usage.
Anesth Analg 1996; 82: 129 133
9. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In: Update in
Anaesthesia: 32 42
10. Peter F Dunn.Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts
General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217

Anda mungkin juga menyukai