OLEH :
Indah Widya Astuti
H1A 011 035
PEMBIMBING :
dr. Sulasno, Sp.An
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Praktik anestesi berkaitan erat dengan evaluasi dan penanganan jalan napas. Setiap
pasien yang mendapat perawatan anestesi terpapar dengan berbagai risiko gangguan jalan
napas. Pertukaran gas yang tidak adekuat akibat kegagalan mempertahankan jalan napas
dapat berakibat fatal bagi keselamatan pasien. American Society of Anesthesiologist (ASA)
telah melaporkan masalah kerusakan otak permanen dan kematian pada anestesi paling
banyak disebabkan oleh masalah pada jalan napas (32% dari seluruh kerusakan otak
permanen dan kematian yang terkait anestesi). Oleh karena itu, setiap pelaksana anestesi
harus memeriksa setiap pasien sebagai antisipasi perlu tidaknya melakukan ventilasi mekanis
dan intubasi, tanpa mengingat apakah intervensi semacam itu bagian dari rencana primer
anestesi atau bukan. Evaluasi jalan napas yang dikombinasikan dengan penanganan jalan
napas yang tepat dan cepat akan memberikan perlindungan terhadap risiko obstruksi jalan
napas dan apnu yang membahayakan nyawa.1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Anatomi Jalan Napas
Jalan napas manusia merupakan struktur yang dinamis yang berawal dari nares
sampai alveolus. Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan napas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (parsoralis).
Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian
bergabung di bagian posterior dalam faring. Obstruksi dapat terjadi di tiap titik akibat
kelainan anatomi atau benda asing termasuk cairan seperti mukosa, darah, dan isi
lambung.2
1
Gambar 2.2 A.Jarak antar gigi incisivus, B.Jarak antara os hyoid dan dagu, C.Jarak
antara thyroid notch dengan dasar lidah seharusnya kurang dari 2 jari.3
Mallampati Class
Sistem klasifikasi ini, pertama kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan
untuk memprediksi kesulitan intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah
seseorang terhadap rongga mulutnya. Meningkatnya kesulitan melakukan
laringoskopi direk dihubungkan dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan
IV.3
Pada sumbatan jalan napas total, suara napas sama sekali tidak terdengar, tidak
terasa desiran udara dari mulut atau hidung pasien, usaha napas pasien lebih
meningkat dengan timbulnya gerakan dada paradoksal dan lebih meningkatnya
aktivitas otot bantu napas dan pada kondisi ini tanda hipoksia dan hiperkarbia
bertambah berat.4
Klasifikasi obstruksi berdasarkan lokasi sumbatan
Sumbatan di atas laring
Sumbatan di atas laring dapat disebabkan oleh lidah yang jatuh ke hipofaring, benda
asing, penyakit infeksi atau tumor jalan napas bagian atas, atau trauma di daerah
muka.4
Sumbatan pada laring
Sumbatan pada laring dapat disebabkan oleh benda asing, penyakit infeksi, reaksi
anafilaktik, tumor laring, trauma laring, paralisis pita suara, atau spasme laring.4
Sumbatan di bawah laring
Sumbatan di bawah laring dapat disebabkan olehtumor pada trakea. Trama akibat
operasi yang dapat menimbulkan trakeomalasia, benda asing pada bronkus, spasme
bronkus, atau tumor pada bronkus.4
Neck mobility
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam
intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto-oksipital yaitu
posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian
mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto-oksipital.
Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill.
Nilai normalnya adalah 35 derajat.3,5
b. LM MAP
Penilaian kesulitan intubasi dilakukan dengan:
- Look for external face deformities;
- Mallampati;
- Measure (3-3-2 fingers);
- Atlanto-occipital extension;
- Pathological obstructive conditions.5
c. 4D
- D (Dentition, evaluasi keadaan gigi-geligi);
- D (Distortion, evaluasi apakah ada edema, darah, muntahan, tumor, infeksi);
- D (Disproportion, evaluasi dagu pendek, leher gemuk, mulut kecil, lidah besar);
- D (Dysmobility, evaluasi tyromental joint, cervical spine).5
d. Wilson Risk Score
Tabel 2.1 skor resiko Wilson5
4
Kriteria
Berat
badan
0
<90
1
90-110
2
>110
(kg)
Mobilitas
>90o
90o
<90o
IG>5 cm
SL>0
IG<5 cm
SL=0
IG<5 cm
SL<0
Normal
Moderate
Severe
Moderate
Severe
kepala
dan
leher
Mobilitas
rahang
Receding
mandible
Buck teeth
Normal
*Total maksimal 10 poin
e. Magboul 4M
Tabel 2.2 Skor 4M Magboul5
Score
Mallampati
Measurement
Movement
Malformation
1
Grade 1
3 mouth open
Left
Skull : hidro
and
microcephalus
2
Grade 2
3 thyromental
Right
Teeth : buck,
protruded,
loose teeth
and macromicro
mandibles
3
Grade 3
2 hypomental
Flexion
Obstruction :
due to obesity,
short bull
neck and
swelling
around the
head and neck
Total
4
Grade 4
1 sublaxation
extension
Pathplogy :
Craniofacial
abnormalities
and
syndrome :
treacher
Collins,
Goldenhars,
Pierre Robin,
Waardenburg
syndromes
4
Ventilasi face mask adalah intervensi penanganan jalan napas yang paling dasar
dan merupakan keterampilan yang harus dikembangkan pertama kali oleh yang
sedang mempelajari anestesi. Tiga sasaran yang harus dicapai agar dapat
melakukan ventilasi face mask yang optimal:
Penutupan yang optimal harus dibuat antara mask dan wajah pasien.
Orofaring pasien harus dibuka dengan menggeser (displacement) mandibula ke
anterior agar cocok dengan face mask dan mengekstensikan kepala.
Penempatan oral atau nasal airway selama ventilasi facemask dapat membantu
membuka orofaring dengan membuat saluran udara buatan di antara lidah dan
dinding posterior faring.
Harus dibuat tekanan positif yang cukup untuk mengatasi resistensi jalan napas
bagian atas pasien, dinding dada, dan diafragma untuk memberikan efisiensi
pada pertukaran udara di alveolus.
Sebuah laringoskop terdiri dari gagang dan sebuah bilah yang dapat ditukar
dengan balon lampu di ujungnya. Bilah tersebut memiliki berbagai bentuk dan
ukuran, tetapi yang paling sering digunakan adalah Macintosh 3 (melengkung)
dan Miller 2 (lurus). Setelah endotracheal tube melewati glotis, fiksasi dibuat di
antara endotracheal tube dan dinding trakea. Pada dewasa dan anak yang besar
(tua), fiksasi ini dibuat dengan mengembangkan sebuah cuff di dekat ujung distal
tube dengan udara. Oleh karena penyempitan anatomis pada tingkat kartilago
krikoid pada anak-anak, digunakan uncuffed tubes dan fiksasi langsung terbentuk
di antara tube dan trakea. Untuk prosedur intraoral (seperti eksisi lesi lidah),
endotracheal tubes dapat dimasukkan dalam glotis melalui hidung baik dengan
menggunakan laringoskop direk atau laringoskop serat optik.3
Endotracheal tube dianggap sebagai gold standard, yaitu penanganan jalan
napas yang definitif karena dua alasan prinsip. Pertama, khususnya penempatan
cuffed endotracheal tube, kemungkinan aspirasi isi lambung ke dalam jalan napas
sangat berkurang. Kedua, melalui endotracheal tube maka tekanan positif jalan
napas dapat diberikan paling banyak melalui ventilasi mekanis.3
b
Gambar 2.7 a.Hubungan aksis oral, faring , dan laring untuk intubasi.
b.Laringoskop: Macintosh dan Miller blades.
pasien trauma
laring yang intak untuk memproteksi jalan napasnya dari aspirasi dan kapan
endotracheal tube ditempatkan untuk melindungi dari aspirasi, maka dapat
dilakukan induksi rapid sequence (rapid sequence induction/RSI). RSI berbeda
dengan induksi standar setelah induksi anestesi umum dalam tiga hal:
Selama RSI, ventilasi face mask tidak digunakan untuk memventilasi pasien.
Hal ini untuk menghindari distensi lambung yang dapat terjadi dengan
ventilasi face mask.
Penekanan krikoid dipertahankan mulai dari sebelum pasien mendapat agen
induksi hingga pemasangan endotracheal tube dalam trakea telah dipastikan.
Kartilago krikoid merupakan satu-satunya kartilago trakea yang mengelilingi
seluruh trakea. Penekanan pada aspek anterior kartilago krikoid akan
menyumbat esofagus dengan cara menutup lumennya di antara aspek posterior
kartilago krikoid dan aspek anterior korpus vertebra servikal.
Suksinilkolin biasanya digunakan sebagi pelumpuh otot terpilih untuk
memfasilitasi intubasi karena singkatnya waktu onset. Rokuronium merupakan
pilihan lain bagi pasien yang mungkin mendapat efek samping dari
penggunaan suksinilkolin yang mengganggu (misalnya pasien luka bakar dan
cedera medulla spinalis).
g. Krikotiroidotomi
Ketika akses jalan napas dari mulut atau hidung gagal atau tidak tersedia
(contoh, trauma maksilofacial, faringeal, laringeal, patologis atau deformitas),
akses gawat darurat melalui ekstrathoracic trakhea adalah rute yang mungkin
terhadap jalan napas.3
Krikotiroidotomi adalah membentuk saluran napas melalui membran
krikotiroid. Membran krikotiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid.
Membran ini, berukuran 9 mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang
elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah.
Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago
tiroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan 110
1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adams apple). Sebagai
alternatif pada pasien dengan kartilago tiroid yang tidak menonjol, identifikasi
kartilago tiroid bisa dilakukan dengan melakukan palpasi pada sternal notch
kemudian susuri ke arah leher atas hingga teraba kartilago yang lebih lebar dan
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kartilago yang teraba sebelumnya. Dua
pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid
superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran
terdapat suatu tonjolan yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar
lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa
laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan
arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9 cm di atas
ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap
membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior.3
11
12
BAB 3
KESIMPULAN
Masalah jalan napas merupakan masalah yang serius dalam praktik anestesi,
American Society of Anesthesiologist (ASA) telah melaporkan masalah kerusakan otak
permanen dan kematian pada anestesi paling banyak disebabkan oleh masalah pada jalan
napas (32% dari seluruh kerusakan otak permanen dan kematian yang terkait anestesi).
Pertukaran gas yang tidak adekuat akibat kegagalan mempertahankan jalan napas dapat
berakibat fatal bagi keselamatan pasien sehingga diperlukan evaluasi dan tatalaksana jalan
napas yang cepat dan tepat untuk menghindari obstruksi jalan napas yang dapat
membahayakan nyawa1.
Evaluasi jalan napas bertujuan untuk menghindari gagalnya penanganan jalan napas
dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang diduga akan sulit diventilasi dan/atau
diintubasi. Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan napas jika anestesiolog mengalami
kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan napas bagian atas,
kesulitan mengintubasi trakea, atau keduanya. Tedapat beberapa cara untuk mengevaluasi
jalan napas seperti LEMON atau MELON, LM MAP, 4D, Wilson Rick Scale, Magboul 4M, dan
Upper Lips Bite Test (ULBT).3-5
Tatalaksana gangguan jalan napas dapat dilakukan dengan berbagai metode mulai dari
maneuver tanpa alat seperti chin lift maneuver dan jaw-thrust maneuver, dengan alat seperti Oro-
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Lohom G. Ronayne. Prediction of Difficult Tracheal Intubation. European Journal of
Anaesthesiology; p. 31-36. 2003
2. Morgan GE. Airway Management In Clinical Anesthesiology, 4th ed, New York :
Mcgraw hill: p. 91-115. 2006
3. American College of Surgeons, 2004. Airway and ventilator management. Advanced
Trauma Life Support: Student Course Manual. 9th edition.
4. Mangku, G. dan Sehapathi T.G.A. Buku ajar ilmu anestesi dan reanimasi. Jakarta: Indeks,
2010.
5. Magboul M. Ali. Magboul: The Dilemma of Airway Assessment and Evaluation. Journal
of Anesthesiology. 10 (1). 2004.
6. Khan ZH, Mohammadi M, Rasouli MR, Farrokhnia F, Khan RH. The Diagnostic Value of
the Upper Lip Bite Test Combined With Sternomental Distance, Thyromental Distance,
and Interincisor Distance for Prediction of Easy Laryngoscopy and Intubation :
Prospective Study. Anesthesia and Analgesia; 109 (3) : p.822-824. 2009.
7. Latief S.A, Suryadi, K.A, Dachlan M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009.
14