KO-INFEKSI TB-HIV
OLEH
Lalu Beriyan Berjid Ardani
H1A011038
SUPERVISOR:
dr. Suryani Padua, Sp.P
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS
Nama
: Tn. Sultoni
Usia
: 27 tahun
Jenis kelamin
: Laki - laki
Alamat
: Baretais Sandubaya
Suku
: Sasak
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Swasta
No. RM
: 084626
MRS
: 07 September 2015
SUBYEKTIF
Keluhan Utama: Lemes
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien kiriman PKM Cakranegara dengan B24 + urolitiasis,
pasien mengeluhkan lemes sehingga pasien kebanyakan tidur atau berbaring di
kasur, dan tidak kuat melakukan aktifitas fisik sehari-hari. Pasien juga
mengeluhkan diare sebelum masuk Rumah Sakit, frekuensi diare pasien sekitar
5x/hari, dengan konsistensi cair tanpa disertai lendir dan darah, serta tidak disertai
ampas. Selain itu pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari sebelum MRS,
demam timbul mendadak dan dirasakan paling tinggi dimalam hari yang disertai
menggigil, sering berkeringat malam hari tanpa melakukan aktivitas berat.
Pasien merasakan mual (+), muntah (+) setelah masuk rumah, pasien mengaku
setiap makan merasa mual dan memuntahkan makanan yang dimakan, nafsu
makan dan berat badannya menurun
Pasien mengeluhkan batuk sejak 1 bulan yang lalu, batuk pasien mengeluarkan
dahak berwarna putih sekitar sendok makandan pasien sering terbangun karena
batuknya tidak ada darah dan tidak berwarna kehijauan
Pasien juga mengeluh sesak sejak 1 bulan yang lalu. Sesak tidak
dipengaruhi oleh perubahan posisi dan cuaca. Sesak tidak disertai nyeri dada atau
berdebar.
Buang air kecil pasien disertai rasa nyeri dengan frekuensi 3-4x/hari,
warna kemerahan, dan darah (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:
pasien.
Riwayat HIV (-) dan Riwayat ARV (-)
Riwayat Pengobatan:
Riwayat OAT (+), pasien pernah mengkonsumsi OAT 2 tahun yang lalu
selama 6 bulan yang diberikan dipuskesmas, namun setelah minum OAT
Riwayat Alergi: Riwayat alergi makanan maupun obat disangkal oleh pasien
III.
OBYEKTIF
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
GCS
: Sedang
: compos mentis
: E4V5M6
Status Gizi
o Berat Badan
o Tinggi Badan
o BMI
Vital Sign
o Tekanan Darah
o Nadi
o Frekuensi Nafas
o Suhu
: 48 kg
: 160 cm
: 18.75 (underweight)
:
:
:
:
110/70 mmHg
96 x/menit, regular dan kuat angkat
28 x/menit, regular dan simetris
37,8C, suhu aksiler
Status Lokalis
Kepala:
Ekspresi wajah
Bentuk dan ukuran
Rambut
Edema
Malar rash
Parese N. VII
Nyeri tekan kepala
Massa
:
:
:
:
:
:
:
:
normal
normal
normal
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Mata:
Simetris
Alis : normal
Exopthalmus (-/-)
Ptosis (-/-)
Edema palpebra (-/-)
Konjungtiva: anemis (-/-), hiperemia (-/-)
Sclera : icterus (-/-), hyperemia (-/-), pterygium (-/-)
Pupil : isokor, bulat, refleks pupil (+/+), miosis (-/-), midriasis (-/-)
Kornea : normal
Lensa : katarak (-/-)
Pergerakan bola mata ke segala arah : normal
Nyeri (-) pada penekanan
Telinga:
Hidung:
Mulut:
Simetris
Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di
Leher:
Thoraks:
1. Inspeksi:
Bentuk & ukuran: normal, simetris
Pergerakan dinding dada: simetris
Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Batas paru-hepar:
o Inspirasi : ICS VI
o Ekspirasi : ICS IV
Batas paru-jantung:
o Kanan
: ICS IV linea parasternalis dekstra
o Kiri
: ICS V linea mid clavicula sinistra
4. Auskultasi:
Cor
: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-), suara tambahan (-)
Pulmo :
o Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Wheezing
-
Abdomen:
1. Inspeksi:
Distensi (-), mengikuti gerak nafas, darmcountuor (-), darmsteifung (-).
Umbilicus: masuk merata
Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevy (-)
2. Auskultasi:
Bising usus (+) normal, frekuensi 12x/menit
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
3. Perkusi:
Orientasi
Timpani
Timpani
Timpani
Timpani
Timpani
Timpani
+
+
+
+
Sianosis
Edema
Clubbing finger
Deformitas
Ikterik
IV.
RESUME
Laki laki, 27 tahun
lemes
pasien kebanyakan tidur atau berbaring di kasur,
tidak kuat melakukan aktifitas fisik sehari-hari.
Diare
Sehari sebelum masuk Rumah Sakit,
frekuensi diare pasien sekitar 5x/hari,
konsistensi cair tanpa disertai lendir dan darah, serta tidak disertai ampas.
Demam
sejak 3 hari sebelum MRS,
demam timbul mendadak dan dirasakan paling tinggi dimalam hari yang
disertai menggigil, sering berkeringat malam hari tanpa melakukan
aktivitas berat.
Mual (+), muntah (+)
12 hari setelah masuk rumah sakit
pasien mengaku setiap makan merasa mual dan memuntahkan makanan
yang dimakan.
nafsu makan dan berat badannya menurun, lemas
Batuk
sejak 1 bulan yang lalu,
batuk pasien mengeluarkan dahak berwarna putih sekitar sendok makan
sering terbangun karena batuknya tidak ada darah dan tidak berwarna
kehijauan
Sesak
sejak 1 bulan yang lalu.
Sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi dan cuaca.
Sesak tidak disertai nyeri dada atau berdebar.
BAK
V.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen Thorax (07September 2015)
Interpretasi
~ Foto thorax, proyeksi AP, posisi supine
~ Soft tissue dalam batas normal, tidak ada udara subkutis maupun edema
~ Deviasi trakea (-)
~ Sudut costrofrenikus kanan dan kiri lancip
~ Cor : pinggang jantung (+), CTR 40%
~ Pulmo : Tampak infiltrate pada medial kedua lapang paru,
~ Kesan : KP Miliare (tampak sarang-sarang kecil tersebar merata diseluruh
lapang paru menyerupai gambaran badai kabut)
Darah Lengkap (07September 2015)
Parameter
HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
WBC
PLT
Hasil
07
september
10,4
4,20
31,4
74,8
24,8
33,1
5,83
220
Nilai Rujukan
13,0 18,0 g/dL
4,5 5,5 x 106 /L
40,0 50,0 %
82,0 92,0 fl
27,0 31,0 pg
32,0 37,0 g/dL
4,0 11,0 x 103 /L
150 400 x 103 /L
Kimia Lengkap
Parameter
(7/9/15)
NIlai Rujukan
GDS
Ureum
Kreatinin
Albumin
Total Protein
Globulin
Bilirubin Total
Bilirubin Direct
SGOT
SGPT
96
17
0,7
52
34
<160 mgl/dl
10 50 mgl/dl
0,9 1,3 mgl/dl
3,5-5,0 gr%
6,4-8,3 gr%
2,9-3,3 gr%
<1 mgl/dl
<0,2 mgl/dl
< 40 mgl/dl
< 41 mgl/dl
ASSESSMENT
TB (Milliare) dalam terapi OAT kategori II (sejak tgl 08/09/2015) dengan
HIV
PLANNING
VII.
Diagnostik:
-
HbsAg
Kultur Sputum
Konseling VCT
Pemeriksaan CD4+
Terapi:
Medikamentosa:
-
Dosis obat :
-
Non Medikamentosa:
-
Tirah baring
Edukasi cara batuk efektif
Edukasi perilaku seksual : menghindari hubungan seks yang beresiko
Edukasi minum obat, diet, dan mencegah penularan.
Monitoring:
Keluhan dan tanda vital harian
Prognosis:
Dubia ad malam
Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis Paru
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis
adalah
penyakit
menular
yang
disebabkan
oleh
kuman
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang
terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna
dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat
kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat
tertidur lama) dan aerob.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa
berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada
tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi
bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam.
Patogenesis Tuberkulosis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB.Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan dikelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik,
begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus
atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada
penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi
baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di
dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse) gejala
utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih.
Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka.
Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan
pemeriksaan mikroskopis.
Perjalanan Penyakit Tuberkulosis
Riwayat terjadinya TB paru ada dua yaitu infeksi primer dan pasca primer.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di
sana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di
sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya
tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister ataudormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan
mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Kedua tuberkulosis
paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer,
misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang
buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru
1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak dibagi
dalam :
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
pasien
Tuberkulosis
Paru
berdasarkan
riwayat
pengobatan
(gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi
Tuberkulosis menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :
a. Harus ada sumber penularan
b. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi,
cukup banyak dan terus menurus.
c. Virulensi (keganasan) basil.
d. Daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis
berkembang biak.
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru
Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap
orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya
penyebaran penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan
rumah (host) dan faktor lingkungan (environment). Pencegahan Tuberkulosis yang
utama bertujuan memutus rantai penularan yaitu menemukan pasien Tuberkulosis paru
dan kemudian mengobatinya sampai benar-benar sembuh.
Cara pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan
sebagai berikut :
1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan :
a. Penemuan penderita sedini mungkin.
b. Isolasi penderita sedemikian rupa
selama
masih
dapat
menularkan.
c. Segara diobati.
2. Memutuskan mata rantai penularan.
3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis
paru.
Untuk
mempengaruhi
memberantas
unsur-unsur
penyakit
seperti
Tuberkulosis
manusia,
paru
perilaku
kita
dan
harus
mampu
lingkungan
serta
menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut,
yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus
masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse
transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat
bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian
menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4
sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan
gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
window period. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala
klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat
cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.
Manifestasi klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita
penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
a. Manifestasi tumor
o Sarkoma Kaposi: Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh.
Penyakit ini sangat jarang menjadi sebab kematian primer.
o Limfoma ganas: Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang
saraf serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke
organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.
3. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perif
Gejala dan stadium klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Tabel I. Gejala Mayor dan Minor pada HIV/AIDS
Gejala Mayor
BB menurun >10% dalam 1 bulan
Diare kronik berlangsung >1 bulan
Demam berkepanjangan >1 bulan
Penurunan kesadaran
Demensia/HIV ensefalopati
Gejala Minor
Batuk menetap >1bulan
Dermatitis generalisata
Herpes zoster multi-segmental dan
berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simlex kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada
kelamin wanita
Retinitis Cytomegalovirus
alat
Stadium
Gejala Klinis
Tidak ada penurunan BB, tanpa gejala atau
II
Anemia(<8gr/dl),Trombositopeni
Pneumoni
yang tidak terinfeksi HIV, namun hal ini tidak terjadi pada pasien HIV dengan jumlah
CD4 antara 350-500.
Menurut penelitian di Inggris, harapan hidup pasien HIV pada usia 20 tahun
yang didiagnosis terlambat atau menunda pengobatan sampai jumlah CD4 <200
sel/mm3 memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih pendek daripada pasien yang
mengikuti petunjuk pengobatan, yang merekomendasikan pasien untuk memulai
pengobatan ARV ketika jumlah CD4 <350 sel/mm3. Pada penelitian lainnya juga
menyatakan bahwa CD4 awal mempengaruhi kenaikan CD4 pasien. Semakin tinggi
CD4 ODHA ketika memulai pengobatan ARV semakin tinggi jumlah CD4.
Tuberkulosis HIV (TB-HIV)
A. Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi jamur
di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi pada berbagai
tahap infeksi HIV dan imunosupresi.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB 3. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudahkan
terjadinya proses pada orang yang telah terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB laten
menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan diagnosis, dan memperburuk stigma.
TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV.
Patogenesis (TB-HIV)
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis, organisme
disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses, antigen mikobakteri
disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang meningkatkan kapasitas
makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi
infeksi dan TB tidak berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya
10% dari kasus yang berkembang menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau
ODHA tersebut bias lebih tepat.Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat
dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dahak
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif,
sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB
terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun
antibiotik perlu diberikan pada ODHA yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri
lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut
bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain.
Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons
terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.
Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis
TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto
toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.
Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Memiliki Layanan/Akses
Tes Cepat TB
Keterangan :
(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30
kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon dengan meneruskan alur diagnosis
(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
(3) Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB
dengantujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow
up, namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat
(4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB
yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera
mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik.
(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:
Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil
tes cepat
Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan
terapi TB
Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari penyebab
lain.
Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Sulit Menjangkau Layanan
Tes Cepat TB
Keterangan :
1. Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan >
30kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan
bila tidakdibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan
meneruskan alur diagnosa.
Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan beban HIV pada
pasien TB. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan
yang dapat menjadi pintu masuk bagi pasien TB menuju akses pencegahan dan
pelayanan HIV sehingga dengan demikian pasien tersebut mendapatkan
HIV.
Tujuan utama TIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan
klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin
dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti dalam pemberian
terapi ARV.
Langkah-langkah untuk pelaksanaan TIPK pada pasien TB akan dijelaskan lebih
lengkap dalam Petunjuk Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV.
ditoleransi baik .
Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien
tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam
pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.
Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV
pengobatan ARV.
Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan
tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau
satelitnya. Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang
1. Jusuf, Winariani, Hariadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR. Surabaya:
UNAIR. 2012.
2. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, jilid III ed. V. EGC: Jakarta.
2007.
and
Inflammation
[internet];
https://www.iasusa.org/sites/default/files/tam/18-1-2.pdf
2015]
Available
[accessed
from:
22
Sept
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal
Subyektif
14
Septembe
r 2015
KU: sedang
KU: sedang
15
Septembe
r 2015
Obyektif
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/60 mmHg
N : 90 x/menit, regular dan kuat
angkat
Assessment
Planning
RR:24 x/menit
T: 38,0C, suhu aksiler
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N : 60 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 24 x/menit
16
Septembe
r 2015
KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N :80 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 24 x/menit, regular dan simetris
T: 36C, suhu aksiler
17
Septembe
r 2015
KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N :80 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 24 x/menit
KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/60 mmHg
N :90 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 23 x/menit
T: 37C, suhu aksiler
19
Septembe
r 2015
KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 120/60 mmHg
N : 70 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 20 x/menit
T: 37C, suhu aksiler
21
Septembe
r 2015
KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 100/60 mmHg
N : 76 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 20 x/menit
T: 36,8 C, suhu aksiler
22
Septembe
r 2015
KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N : 80 x/menit, regular
RR: 20 x/menit
T: 36 C, suhu aksiler
23
Septembe
r 2015
II dengan HIV