Anda di halaman 1dari 41

RESPONSI KASUS PARU

KO-INFEKSI TB-HIV

OLEH
Lalu Beriyan Berjid Ardani
H1A011038

SUPERVISOR:
dr. Suryani Padua, Sp.P

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM/ SMF PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSUPROVINSI NTB
2015

LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS
Nama

: Tn. Sultoni

Usia

: 27 tahun

Jenis kelamin

: Laki - laki

Alamat

: Baretais Sandubaya

Suku

: Sasak

Agama

: Islam

Status

: Menikah

Pekerjaan

: Swasta

No. RM

: 084626

MRS

: 07 September 2015

Tanggal pemeriksaan : 14 September 2015


II.

SUBYEKTIF
Keluhan Utama: Lemes
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien kiriman PKM Cakranegara dengan B24 + urolitiasis,
pasien mengeluhkan lemes sehingga pasien kebanyakan tidur atau berbaring di
kasur, dan tidak kuat melakukan aktifitas fisik sehari-hari. Pasien juga
mengeluhkan diare sebelum masuk Rumah Sakit, frekuensi diare pasien sekitar
5x/hari, dengan konsistensi cair tanpa disertai lendir dan darah, serta tidak disertai
ampas. Selain itu pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari sebelum MRS,
demam timbul mendadak dan dirasakan paling tinggi dimalam hari yang disertai
menggigil, sering berkeringat malam hari tanpa melakukan aktivitas berat.
Pasien merasakan mual (+), muntah (+) setelah masuk rumah, pasien mengaku
setiap makan merasa mual dan memuntahkan makanan yang dimakan, nafsu
makan dan berat badannya menurun
Pasien mengeluhkan batuk sejak 1 bulan yang lalu, batuk pasien mengeluarkan
dahak berwarna putih sekitar sendok makandan pasien sering terbangun karena
batuknya tidak ada darah dan tidak berwarna kehijauan

Pasien juga mengeluh sesak sejak 1 bulan yang lalu. Sesak tidak
dipengaruhi oleh perubahan posisi dan cuaca. Sesak tidak disertai nyeri dada atau
berdebar.
Buang air kecil pasien disertai rasa nyeri dengan frekuensi 3-4x/hari,
warna kemerahan, dan darah (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:

Keluhan serupa (-).


Riwayat DM (-), tekanan darah tinggi,asma,keganasan, sakit jantung disangkal

pasien.
Riwayat HIV (-) dan Riwayat ARV (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan serupa


Riwayat TB, tekanan darah tinggi, kencing manis, asma, kegansan dan
penyakit jantung dalam keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan:

Riwayat OAT (+), pasien pernah mengkonsumsi OAT 2 tahun yang lalu
selama 6 bulan yang diberikan dipuskesmas, namun setelah minum OAT

pasien tidak pernah kontrol kembali.


Riwayat penggunaan obat-obatan lain disangkal oleh pasien

Riwayat Pribadidan Sosial:

Pasien bekerja sebagai penyanyi disalah satu caf disenggigi.


Minum kopi (+) 2-3 gelas/ hari, Merokok (+)
Riwayat minum alkohol (+), minum jamu (-)

Riwayat Alergi: Riwayat alergi makanan maupun obat disangkal oleh pasien

III.

OBYEKTIF
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
GCS

: Sedang
: compos mentis
: E4V5M6

Status Gizi
o Berat Badan
o Tinggi Badan
o BMI
Vital Sign
o Tekanan Darah
o Nadi
o Frekuensi Nafas
o Suhu

: 48 kg
: 160 cm
: 18.75 (underweight)
:
:
:
:

110/70 mmHg
96 x/menit, regular dan kuat angkat
28 x/menit, regular dan simetris
37,8C, suhu aksiler

Status Lokalis
Kepala:

Ekspresi wajah
Bentuk dan ukuran
Rambut
Edema
Malar rash
Parese N. VII
Nyeri tekan kepala
Massa

:
:
:
:
:
:
:
:

normal
normal
normal
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Mata:

Simetris
Alis : normal
Exopthalmus (-/-)
Ptosis (-/-)
Edema palpebra (-/-)
Konjungtiva: anemis (-/-), hiperemia (-/-)
Sclera : icterus (-/-), hyperemia (-/-), pterygium (-/-)
Pupil : isokor, bulat, refleks pupil (+/+), miosis (-/-), midriasis (-/-)
Kornea : normal
Lensa : katarak (-/-)
Pergerakan bola mata ke segala arah : normal
Nyeri (-) pada penekanan

Telinga:

Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan


Lubang telinga : normal, secret (-/-)
Nyeri tekan tragus (-/-)

Peradangan pada telinga (-)


Pendengaran : kesan normal

Hidung:

Simetris, deviasi septum (-/-)


Napas cuping hidung (-/-)
Perdarahan (-/-), secret (-/-)
Penciuman kesan normal

Mulut:

Simetris
Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di

pinggir (-), tremor (-), lidah kotor bercak putih-putih (-)


Gigi : dalam batas normal
Mukosa : normal

Leher:

Kaku kuduk (-)


Scrofuloderma (-)
Pemb.KGB (-)
JVP : (tidakmeningkat)
Pembesaran otot SCM (-)
Otot bantu nafas SCM aktif (+)
Pembesaran kelenjar thyroid (-)

Thoraks:
1. Inspeksi:
Bentuk & ukuran: normal, simetris
Pergerakan dinding dada: simetris
Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider

naevi (-), vena kolateral (-), massa (-), ginekomasti (-)


Penggunaan otot bantu nafas: SCM aktif (+), hipertrofi (-), otot bantu

abdomen aktif (-)


Iga dan sela iga: simetris
Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis:cekung, simetris

Fossa jugularis:tidak tampak deviasi


Tipe pernapasan: torakoabdominal, frekuensi nafas 28 kali per menit
Ictus cordis : tidak tampak
2. Palpasi:
Trakea: deviasi (-)
Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-)
Gerakan dinding dada: simetris
Fremitus vocal:
Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Ictus cordis teraba pada ICS VIlineamidclavicula sinistra


3. Perkusi:
Densitas
Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Batas paru-hepar:
o Inspirasi : ICS VI
o Ekspirasi : ICS IV
Batas paru-jantung:
o Kanan
: ICS IV linea parasternalis dekstra
o Kiri
: ICS V linea mid clavicula sinistra
4. Auskultasi:
Cor
: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-), suara tambahan (-)
Pulmo :
o Vesikuler
Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

o Suara napas tambahan


Rhonki
-

Wheezing
-

Abdomen:
1. Inspeksi:
Distensi (-), mengikuti gerak nafas, darmcountuor (-), darmsteifung (-).
Umbilicus: masuk merata
Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevy (-)
2. Auskultasi:
Bising usus (+) normal, frekuensi 12x/menit
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
3. Perkusi:
Orientasi
Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Nyeri ketok (-)


Shifting dullness (-)
4. Palpasi:
Nyeri tekan (-)
Massa (-), hepar, ren dan lien tidak teraba
Ekstremitas:
Akral hangat

+
+

+
+

Sianosis

Edema

Clubbing finger

Deformitas

Ikterik

Pergerakan sendi : dalam batas normal.

Genitourinaria: Tidak dievaluasi

IV.

RESUME
Laki laki, 27 tahun
lemes
pasien kebanyakan tidur atau berbaring di kasur,
tidak kuat melakukan aktifitas fisik sehari-hari.
Diare
Sehari sebelum masuk Rumah Sakit,
frekuensi diare pasien sekitar 5x/hari,
konsistensi cair tanpa disertai lendir dan darah, serta tidak disertai ampas.
Demam
sejak 3 hari sebelum MRS,
demam timbul mendadak dan dirasakan paling tinggi dimalam hari yang
disertai menggigil, sering berkeringat malam hari tanpa melakukan
aktivitas berat.
Mual (+), muntah (+)
12 hari setelah masuk rumah sakit
pasien mengaku setiap makan merasa mual dan memuntahkan makanan
yang dimakan.
nafsu makan dan berat badannya menurun, lemas
Batuk
sejak 1 bulan yang lalu,
batuk pasien mengeluarkan dahak berwarna putih sekitar sendok makan
sering terbangun karena batuknya tidak ada darah dan tidak berwarna
kehijauan
Sesak
sejak 1 bulan yang lalu.
Sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi dan cuaca.
Sesak tidak disertai nyeri dada atau berdebar.
BAK

Buang air kecil pasien disertai rasa nyeri


frekuensi 3-4x/hari, warna kemerahan, dan darah (-).
Status Gizi: underweight
Pasien pernah minum OAT 2 tahun yang lalu (tuntas minum selama 6 bulan)
dari puskesmas
Merokok (+), Minum kopi (+)
Vital Sign
o Tekanan Darah : 110/70 mmHg
o Nadi
: 96 x/menit, regular dan kuat angkat
o Frekuensi Nafas : 28 x/menit, regular dan simetris
o Suhu
: 37,8C, suhu aksiler
Leher: Otot bantu SCM aktif (+), hipertrofi (-)
Thorax:
Inspeksi:
Penggunaan otot bantu nafas: SCM aktif (+), hipertrofi (-)
Tipe pernapasan: torako abdominal, frekuensi nafas 28 kali per menit

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen Thorax (07September 2015)

Interpretasi
~ Foto thorax, proyeksi AP, posisi supine
~ Soft tissue dalam batas normal, tidak ada udara subkutis maupun edema
~ Deviasi trakea (-)
~ Sudut costrofrenikus kanan dan kiri lancip
~ Cor : pinggang jantung (+), CTR 40%
~ Pulmo : Tampak infiltrate pada medial kedua lapang paru,
~ Kesan : KP Miliare (tampak sarang-sarang kecil tersebar merata diseluruh
lapang paru menyerupai gambaran badai kabut)
Darah Lengkap (07September 2015)

Parameter
HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
WBC
PLT

Hasil

07

september
10,4
4,20
31,4
74,8
24,8
33,1
5,83
220

Nilai Rujukan
13,0 18,0 g/dL
4,5 5,5 x 106 /L
40,0 50,0 %
82,0 92,0 fl
27,0 31,0 pg
32,0 37,0 g/dL
4,0 11,0 x 103 /L
150 400 x 103 /L

Kimia Lengkap
Parameter

(7/9/15)

NIlai Rujukan

GDS
Ureum
Kreatinin
Albumin
Total Protein
Globulin
Bilirubin Total
Bilirubin Direct
SGOT
SGPT

96
17
0,7
52
34

<160 mgl/dl
10 50 mgl/dl
0,9 1,3 mgl/dl
3,5-5,0 gr%
6,4-8,3 gr%
2,9-3,3 gr%
<1 mgl/dl
<0,2 mgl/dl
< 40 mgl/dl
< 41 mgl/dl

Sero Imunologi (7/9/15)


HbsAg Strip : non reaktif
Pemeriksaan GENEXPERT:
Rifampisin sensitive
Pemeriksaan Sputum
BTA I: (-)
VI.

ASSESSMENT
TB (Milliare) dalam terapi OAT kategori II (sejak tgl 08/09/2015) dengan
HIV
PLANNING

VII.

Diagnostik:
-

HbsAg
Kultur Sputum
Konseling VCT
Pemeriksaan CD4+

Terapi:
Medikamentosa:
-

IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit


Ranitidin 1amp/8jam
Ceftriaxon 2 gram/hari
OAT kategori II : HRZE + Injeksi Streptomisin 750 mg

Dosis obat :
-

Isoniazid : 5mg x 48 = 240 = 1 tab 300 mg (1-0-0)


Rifampisin : 10mgx48 = 480 = 1 tab 450 mg (1-0-0)
Pirazinamid : 25mgx48 = 1200 = 3 tab 500 mg (3-0-0)
Ethambuthol :15mgx48 = 720 = 2 tab 500 mg (2-0-0)

Non Medikamentosa:
-

Tirah baring
Edukasi cara batuk efektif
Edukasi perilaku seksual : menghindari hubungan seks yang beresiko
Edukasi minum obat, diet, dan mencegah penularan.
Monitoring:
Keluhan dan tanda vital harian
Prognosis:
Dubia ad malam

Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis Paru
Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis

adalah

penyakit

menular

yang

disebabkan

oleh

kuman

Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet


nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung
bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.
Penyebab Tuberkulosis
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan
pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di
Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati
sebagai hari Tuberkulosis.
Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran
0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,

bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang
terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna
dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat
kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat
tertidur lama) dan aerob.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa
berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada
tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi
bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam.
Patogenesis Tuberkulosis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB.Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan dikelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik,
begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus
atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada
penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi
baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di
dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar

serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak


adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaranlesi
diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi
merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah
protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus
perkijuan menyebar kesaluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini
tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat
terjadi secara berulang.
Gejala-gejala Tuberkulosis
Gejala klinis pasien Tuberkulosis:

Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.


Dahak bercampur darah.
Batuk berdarah.
Sesak napas.
Badan lemas.
Nafsu makan menurun.
Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
Demam meriang lebih dari satu bulan.

Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse) gejala
utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih.
Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka.
Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan
pemeriksaan mikroskopis.
Perjalanan Penyakit Tuberkulosis

Riwayat terjadinya TB paru ada dua yaitu infeksi primer dan pasca primer.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di
sana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di
sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya
tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister ataudormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan
mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Kedua tuberkulosis
paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer,
misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang
buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru
1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak dibagi
dalam :
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman


Tuberkulosis positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.
Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi :
a.
b.
c.
d.

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.


Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Tipe Pasien Tuberkulosis Paru


Klasifikasi

pasien

Tuberkulosis

Paru

berdasarkan

riwayat

pengobatan

sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :


Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kambuh (Relaps) Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).
Pengobatan setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
Lain-lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Cara Penularan Tuberkulosis

Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun


tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat
bernapas. Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita
batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis
tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh
lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Masa inkubasinya selama 3-6
bulan.
Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik
dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Peranan faktor
lingkungan sebagai predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit
pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang
berhawa lembab dalam daerah yang endemis terhadap penyakit Tuberkulosis.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman.
Fisiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
Tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar dari
pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif.
Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga
kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tubekulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya
melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih
berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).
Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi
Tuberkulosis selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang berarti di antara
100 penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis. Setengah dari mereka
BTAnya akan positif (0,5%).
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien tuberkulosis
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi

(gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi
Tuberkulosis menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :
a. Harus ada sumber penularan
b. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi,
cukup banyak dan terus menurus.
c. Virulensi (keganasan) basil.
d. Daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis
berkembang biak.
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru
Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap
orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya
penyebaran penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan
rumah (host) dan faktor lingkungan (environment). Pencegahan Tuberkulosis yang
utama bertujuan memutus rantai penularan yaitu menemukan pasien Tuberkulosis paru
dan kemudian mengobatinya sampai benar-benar sembuh.
Cara pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan
sebagai berikut :
1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan :
a. Penemuan penderita sedini mungkin.
b. Isolasi penderita sedemikian rupa

selama

masih

dapat

menularkan.
c. Segara diobati.
2. Memutuskan mata rantai penularan.
3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis
paru.
Untuk
mempengaruhi

memberantas
unsur-unsur

penyakit
seperti

Tuberkulosis
manusia,

paru

perilaku

memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut.

kita
dan

harus

mampu

lingkungan

serta

Keberhasilan usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada :


a. Keadaan sosial ekonomi rakyat.
Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan
sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka
sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.
b. Kesadaran berobat si penderita
Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa
sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.
c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang
penyakit Tuberkulosis.
Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis
untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si penderita
sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat pekerjaannya untuk
keluarga dan orang disekitarnya.
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Definisi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik
khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau
merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa
faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh
menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam
tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV
telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome)
Epidemiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Kasus HIV/AIDS pertama di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Menurut


UNAIDS, salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan
bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai
dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Dilihat dari tahun 1997 hingga tahun 2011
jumlah penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan hingga 21%. Pada tahun 2011,
UNAIDS memperkirakan jumlah penderita baru yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak
2,5 juta. Jumlah orang yang meninggal karena alasan yang terkait AIDS pada tahun
2010 mencapai 1,8 juta, menurun dibandingkan pada pertengahan tahun 2000 yang
mencapai puncaknya yaitu sebanyak 2,2 juta.
Di Indonesia, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun
tetapi jumlah kasus baru yang terinfeksi HIV/AIDS relatif stabil bahkan cenderung
menurun. Menurut Laporan HIV-AIDS Triwulan II Tahun 2012, didapatkan jumlah
kasus baru HIV pada triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 3.892 kasus dan
jumlah kasus kumulatif HIV pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 86.762 kasus.
Sedangkan kasus baru AIDS pada triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 1.673
kasus dan jumlah kasus kumulatif AIDS pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 32.103
kasus. Pada kasus baru HIV, Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 7 seIndonesia dan pada kasus baru AIDS, Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 2
se-Indonesia. Kasus HIV menurut usia pada Januari-Juni 2012 terbanyak pada 25-49
tahun. Pada kasus AIDS, terbanyak pada usia 30-39 tahun. Jenis kelamin pada kasus
HIV adalah laki-laki sebanyak 57% dan wanita sebanyak 43%. Jenis kelamin pada
kasus AIDS adalah laki-laki sebanyak 61,8% dan perempuan sebanyak 38,1%. Jadi
dapat disimpulkan, kasus HIV dan AIDS menurut jenis kelamin lebih banyak pada lakilaki. Pada tahun 2012 angka kematian AIDS mengalami penurunan menjadi 0,9%
dibandingkan dengan tahun 2011.
Patofisiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper
yang mengandung marker CD4 (Sel T4).Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik.
Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV

menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut,
yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus
masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse
transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat
bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian
menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4
sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan
gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
window period. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala
klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat
cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.
Manifestasi klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita
penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:

Rasa lelah dan lesu


Berat badan menurun secara drastis
Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
Pembengkakan leher dan lipatan paha
Radang paru
Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
a. Manifestasi tumor
o Sarkoma Kaposi: Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh.
Penyakit ini sangat jarang menjadi sebab kematian primer.
o Limfoma ganas: Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang
saraf serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke
organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.

3. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perif
Gejala dan stadium klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Tabel I. Gejala Mayor dan Minor pada HIV/AIDS

Gejala Mayor
BB menurun >10% dalam 1 bulan
Diare kronik berlangsung >1 bulan
Demam berkepanjangan >1 bulan
Penurunan kesadaran
Demensia/HIV ensefalopati

Gejala Minor
Batuk menetap >1bulan
Dermatitis generalisata
Herpes zoster multi-segmental dan

berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simlex kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada

kelamin wanita
Retinitis Cytomegalovirus

alat

Tabel 2. Stadium HIV/AIDS


I

Stadium

Gejala Klinis
Tidak ada penurunan BB, tanpa gejala atau

II

hanya limfadenopati generalisata persisten


Penurunan NN <10%
ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsiliti,
dan faringitis
Herpes Zoster dalam 5 tahun terakhir
Lua disekitar bibir (kelitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku

yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan,


Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir, Limfadenitis
TB
Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia,
Piomiosis
IV

Anemia(<8gr/dl),Trombositopeni

Kronik (<50109 per liter)


Sindroma
Wasting
(HIV),

Pneumoni

Pneumocystis, Pneumonia Bakterial yang


berat berulang dalam 6 bulan, Kandidiasis
esofagus Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan,
Limfoma Sarkoma Kaposi, Kanker Serviks
yang invasive, Retinitis CMV, TB Ekstra paru,
Toksoplasmosis, Ensefalopati HIV, Meningitis
Kriptokokus, Infeksi mikobakteria non-TB
meluas, Lekoensefalopati multifokal progresif,
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas

Jumlah CD4 (Cluster Differentiation 4)


Sel CD4 adalah sel darah putih atau limfosit yang termasuk dalam bagian
terpenting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Ketika manusia terinfeksi HIV, virus
akan menyerang sel CD4 dan menjadi bagian dari sel tersebut. Selain sel CD4
menggandakan diri untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga membuat banyak
duplikasi HIV. Semakin menurunnya sel CD4 berarti sistem kekebalan tubuh semakin
rusak dan semakin rendahnya jumlah CD4 yang ada dalam tubuh manusia, semakin
mungkin terserang penyakit atau mungkin akan mengalami infeksi oportunistik.
Jumlah CD4 saat memulai pengobatan memang berdampak pada harapan hidup
pasien HIV/AIDS. Pasien dengan HIV yang menjalani terapi ARV dengan baik disertai
dengan jumlah CD4 di atas 500 memiliki tingkat kematian yang serupa dengan pasien

yang tidak terinfeksi HIV, namun hal ini tidak terjadi pada pasien HIV dengan jumlah
CD4 antara 350-500.
Menurut penelitian di Inggris, harapan hidup pasien HIV pada usia 20 tahun
yang didiagnosis terlambat atau menunda pengobatan sampai jumlah CD4 <200
sel/mm3 memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih pendek daripada pasien yang
mengikuti petunjuk pengobatan, yang merekomendasikan pasien untuk memulai
pengobatan ARV ketika jumlah CD4 <350 sel/mm3. Pada penelitian lainnya juga
menyatakan bahwa CD4 awal mempengaruhi kenaikan CD4 pasien. Semakin tinggi
CD4 ODHA ketika memulai pengobatan ARV semakin tinggi jumlah CD4.
Tuberkulosis HIV (TB-HIV)
A. Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi jamur
di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi pada berbagai
tahap infeksi HIV dan imunosupresi.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB 3. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudahkan
terjadinya proses pada orang yang telah terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB laten
menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan diagnosis, dan memperburuk stigma.
TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV.
Patogenesis (TB-HIV)
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis, organisme
disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses, antigen mikobakteri
disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang meningkatkan kapasitas
makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi
infeksi dan TB tidak berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya
10% dari kasus yang berkembang menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau

bertahun-tahun kemudian sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya


kerusakan pada fungsi dari sel T dan makrofag. Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang
progresif, ditambah dengan adanya kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit,
membentuk ciri infeksi HIV. Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS)
sebagai predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti
epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten
TB dan juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru.
Diagnosis TB Pada ODHA
Gejala TB pada ODHA
Gejala klinis TB pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%)
dan gejala ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB
perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.
Diagnosis TB pada ODHA
Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang
dengan HIV negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada
pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh
hasil dahak BTA negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di
mana diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan
klinis, bakteriologi dan atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:
Pemeriksaan mikroskopis langsung
Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS
hasilnya positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif,
sehingga penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert
MTB/Rif perlu dilakukan.Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat
mengetahui adanya resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada

ODHA tersebut bias lebih tepat.Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat
dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dahak
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif,
sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB
terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun
antibiotik perlu diberikan pada ODHA yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri
lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut
bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain.
Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons
terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.
Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis
TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto
toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.

Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Memiliki Layanan/Akses
Tes Cepat TB

Keterangan :
(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30
kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon dengan meneruskan alur diagnosis
(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
(3) Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB
dengantujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow
up, namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat

(4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB
yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera
mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik.
(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:
Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil
tes cepat
Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan
terapi TB
Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari penyebab
lain.
Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Sulit Menjangkau Layanan
Tes Cepat TB

Keterangan :
1. Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan >
30kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan
bila tidakdibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan
meneruskan alur diagnosa.

2. Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan


penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya
3. Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks mendukung TB
:diberikan terapi TB terlebih dahulu
4. Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi
terhadaprifampisin
5. Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks tidak mendukung
TB dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk
menegakkan diagnosis TB.
Diagnosis HIV Pada Pasien TB

Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan beban HIV pada
pasien TB. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan
yang dapat menjadi pintu masuk bagi pasien TB menuju akses pencegahan dan
pelayanan HIV sehingga dengan demikian pasien tersebut mendapatkan

pelayanan yang komprehensif.


Tes dan konseling HIV bagi pasien TB dapat dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu: Tes HIV Atas Inisiasi Petugas Kesehatan dan Konseling (TIPK) dan

Konseling dan Tes Sukarela (KTS)


Merujuk pada Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS, semua pasien TB dianjurkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK
sebagai bagian dari standar pelayanan oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan

HIV.
Tujuan utama TIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan
klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin
dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti dalam pemberian

terapi ARV.
Langkah-langkah untuk pelaksanaan TIPK pada pasien TB akan dijelaskan lebih
lengkap dalam Petunjuk Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV.

Pengobatan TB Pada ODHA Dan Inisiasi Art Secara Dini

Diantara pasien TB yang mendapatkan pengobatan, angka kematian pasien TB


dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif. Angka
kematian lebih tinggi pada ODHA yang menderita TB paru dengan BTA negatif
dan TB ekstra paru oleh karena pada umumnya pasien tersebut lebih
imunosupresi dibandingkan ODHA dengan TB yang BTA positif. Tatalaksana
pengobatan TB pada ODHA termasuk wanita hamil prinsipnya adalah sama
seperti pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT
dan ARV, dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian. Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam
waktu 2- 8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan TB dan dapat

ditoleransi baik .
Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien
tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam
pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan

kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.
Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV

atau RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.


Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat
membantu dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat

pengobatan ARV.
Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan
tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau
satelitnya. Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang

terpisah maupun yang terintegrasi di dalam unit PDP.


Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai
reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk
kembali ke Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk

ARV tetap diberikan oleh unit HIV.


Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan
ARV sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan

penyesuaian ARV agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.


Pengobatan bersama TB-HIV akan dijelaskan lebih rinci dalam Buku Petunjuk
Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB-HIV.

Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Isoniazid (PP INH)


Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TB
aktif pada ODHA, sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA . Jika pada
ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi, maka PP INH diberikan yaitu
INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180
dosis atau 7 bulan.
Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Kotrimoksasol (PPK)
Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi
angka kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO.Pengobatan
pencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan
Pedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.
Perawatan, Dukungan Dan Pengobatan HIV

Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan,


artinya dilakukan secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang
bertujuan memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya.
Perawatan komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan
pendukung lainnya seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit,
perawatan penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik,

psikologi, sosial dan kebutuhan spiritual individu termasuk perawatan paliatif.


Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk
akses layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan
dukungan dari kelompok sebaya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jusuf, Winariani, Hariadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR. Surabaya:
UNAIR. 2012.
2. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, jilid III ed. V. EGC: Jakarta.
2007.

3. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th edition. New York:McGrawHil. 2008.


4. Price, Wilson. Gangguan Sistem Pernapasan, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Ptoses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. 2014
6. Lane. 2010. Pathogenesis of HIV Infection: Total CD4+ T-Cell Pool, Immune
Activation,

and

Inflammation

[internet];

https://www.iasusa.org/sites/default/files/tam/18-1-2.pdf
2015]

Available
[accessed

from:
22

Sept

FOLLOW UP PASIEN
Tanggal

Subyektif

14
Septembe
r 2015

Pasien masuk Rumah sakit


dengan keluhan lemes,
diare (+) 5x/hari (cair),
demam (+), berkeringat
malam hari (+), batuk
(+),sesak (+). Sekarang
pasien merasakan mual
(+), muntah (+), Batuk dan
Sesak menurun, Nafsu
makan
menurun
(+),
demam (+). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal

KU: sedang

Pasien mengeluh mual (+),


muntah (+), Nafsu makan
menurun (+), lemas (+),
sesak dan batuk menurun,
demam (-). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal

KU: sedang

15
Septembe
r 2015

Obyektif

Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/60 mmHg
N : 90 x/menit, regular dan kuat
angkat

Assessment

Planning

TB (Milliare) dalam - IVFD NaCl 10 tpm


terapi OAT kategori - Ketoconazole 2x1
- Cotrimoxazol 2x1
II dengan HIV
- Ranitidin 1amp/8 jam
- Ondansentron 1amp/8 jam
OAT
:
HRZE
Streptomisin 750 mg

RR:24 x/menit
T: 38,0C, suhu aksiler

Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N : 60 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 24 x/menit

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori
II dengan HIV

T: 35,8C, suhu aksiler

16
Septembe
r 2015

Pasien mengeluh mual (+),


muntah (+), Nafsu makan
menurun (+), lemas (+),
sesak dan batuk menurun,
demam (-). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal

KU: sedang
Kes: CM

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori
II dengan HIV

GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N :80 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 24 x/menit, regular dan simetris
T: 36C, suhu aksiler

17
Septembe
r 2015

Pasien mengeluh mual (+),


muntah (+), Nafsu makan
menurun (+), lemas (+),
sesak dan batuk menurun,
demam (-). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal

KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N :80 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 24 x/menit

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori
II dengan HIV

T: 37C, suhu aksiler


18
Septembe
r 2015

Pasien mengeluh mual (+),


muntah (+) menurun,
Nafsu makan menurun (+),
lemas (+), sesak dan batuk
menurun, demam (-). BAB
(+) tidak diare dan BAK
(+) normal

KU: sedang
Kes: CM

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori
II dengan HIV

GCS:E4V5M6
TD: 110/60 mmHg
N :90 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 23 x/menit
T: 37C, suhu aksiler

19
Septembe
r 2015

Pasien mengeluh mual (+),


muntah (+), Nafsu makan
menurun (+), lemas (+),
sesak dan batuk menurun,
demam (-). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal

KU: sedang
Kes: CM
GCS:E4V5M6
TD: 120/60 mmHg
N : 70 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 20 x/menit
T: 37C, suhu aksiler

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori
II dengan HIV

21
Septembe
r 2015

Pasien mengeluh mual (+),


muntah (+), Nafsu makan
menurun (+), lemas (+),
sesak dan batuk menurun,
demam (-). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal

KU: sedang
Kes: CM

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori
II dengan HIV

GCS:E4V5M6
TD: 100/60 mmHg
N : 76 x/menit, regular dan kuat
angkat
RR: 20 x/menit
T: 36,8 C, suhu aksiler

22
Septembe
r 2015

Pasien mengeluh mual (+),


muntah (+), Nafsu makan
menurun (+), lemas (+),
sesak dan batuk menurun,
demam (-). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal

KU: sedang
Kes: CM

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori
II dengan HIV

GCS:E4V5M6
TD: 110/70 mmHg
N : 80 x/menit, regular
RR: 20 x/menit
T: 36 C, suhu aksiler

23
Septembe

Pasien mengeluh mual (+), KU: sedang


muntah (+), Nafsu makan
menurun (+), lemas (+), Kes: CM

TB (Milliare) dalam Terapi lanjut


terapi OAT kategori

r 2015

sesak dan batuk menurun, GCS:E4V5M6


demam (-). BAB (+) tidak
diare dan BAK (+) normal TD: 100/60 mmHg
N : 75 x/menit, regular
RR:18 x/menit
T: 36 C, suhu aksiler

II dengan HIV

Anda mungkin juga menyukai