Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN September 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA GASTROINTESTINAL


BLEEDING PADA PASIEN POST OPERASI CRANIOTOMY AKIBAT
INTRACEREBRAL HEMORRHAGE

Oleh:
Hafida Dewi Audinah, Sked
105101101520

Pembimbing:
Letkol. CKM. DR. dr. Rizha A. Nasution, Sp.BS, FINPS., FICS

(Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Bedah)


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
LAPORAN KASUS :
Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Gastrointestinal Bleeding Pada Pasien
Post Operasi Craniotomy Akibat Intracerebral Hemorrhage

Hafida Dewi Audinah1


Departemen Bedah Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar

ABSTRAK

Latar Belakang : Craniotomy adalah tindakan bedah dimana bagian tertentu dari
tulang tengkorak diangkat sementara untuk mengekspos otak dan melalukan prosedur
intrakranial. Indikasi dasar dilakukannya craniotomy, salah satunya yaitu untuk
evakuasi hematoma dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial (craniectomy).
Gastrointestinal bleeding (GI bleeding) akibat stress-related gastric mucosal damage
atau stress ulcer merupakan salah satu late complication dari craniotomy dengan
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Kasus : Pasien laki-laki berusia 52 tahun masuk ke UGD RS Tk II Pelamonia dengan


keluhan kesadaran menurun yang dialami secara tiba-tiba sejak tadi malam.
Sebelumnya pasien mengeluhkan nyeri kepala. Riwayat penyakit hipertensi dan
diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol. Pasien sebelumnya dirawat di RS Stella Maris
dengan diagnosis kerja CVA bleeding dan diberikan terapi berupa mannitol 100 cc/6
jam , ranitidine 50 mg/12 jam, asam tranexamat 500 mg/8 jam, citicoline 1 ampul/12
jam dna amlodipine 10 mg/24 jam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
apatis dengan GCS 13 (E3M5V5), tekanan darah 170/103 mmHg, nadi 77x/mnt, suhu
tubuh 36,9˚C, pernapasan 20x/mnt. Hasil MSCT scan kepala dengan kesan:
perdarahan cerebri dextra (lobus temporalis) disertai pergeseran garis tengah +/- 0,3
cm dan volume darah +/- 33,25 cc; multiple lacunar infarks cerebri bilateral.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didagnosis
dengan intracerebral hemorrhage regio temporoparietal dextra dan menjalani operasi
craniektomi evakuasi hematom + dekompresi ec ICH temporoparietal dextra dengan
general anestesi via ETT.

Diskusi : Pada hari ke-11 pasca operasi pasien mengalami perbaiakan kesadaran
dengan GCS 15 dari sebelumnya GCS 7X pasca operasi. Kemudian pada hari ke-13
pasca operasi, pasien mulai mengeluhkan nyeri uluhati dan didapatkan adanya nyeri
tekan epigastrik pada pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
GDS 272 mg/dl, leukositosis (21.3 x 103/uL), hemoglobin menurun (10.2 g/dL),
hematokrit menurun (32.7%), dan MCHC merunun (31.3 g/dL). Berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis GI bleeding dan
diberikan tatalaksana berupa vit k 1 ampul/8jam/iv, ulcidex 1 ampul/8jam/iv, adona 1
ampul/8jam/iv, omeprazole 1 amp/12jam/iv, meropenem 1 gr/8 jam, levofloxacin 750
mg/24 jam, paracetamol, dan sucralfat syrup 4x1.

Kesimpulan : Stress ulcer dan stress-reated GI bleeding sering terjadi pada pasien
dengan kondisi kritis, dan memiliki resiko mortalitas yang tinggi terutama pada
pasien yang tidak mendapatkan terapi profilaksis sebelumnya. Oleh karena itu,
memberikan terapi profilaksi pada pasien yang beresiko tinggi mengalami GI
bleeding post operasi dan melakukan pengawasan yang ketat akan adanya tanda GI
bleeding, terkhususnya post operasi craniotomy pada kasus ini, sangat penting untuk
dilakukan, mengingat tingginya tingkat mortalitas yang dapat terjadi.

Kata Kunci : Craniotomy, Stress Ulcer, GI Bleeding.


PENDAHULUAN  Reseksi malformasi arteriovenous (AVM)

Craniotomy  Reseksi tumor otak

Craniotomy adalah tindakan bedah  Biopsy jaringan otak abnormal

dimana bagian tertentu dari tulang tengkorak  Removal abscess otak

diangkat untuk sementara untuk mengekspos  Evakuasi hematoma: epidural, subdural,


otak dan melalukan prosedur intrakranial. (1) and intracerebral
 Insersi hardware implant:
Bagian dari tengkorak yang diangkat
ventriculoperitoneal shunt (VPS), deep
disebut bone flap, yang kemudian
brain stimulators (DBS), subdural
dikembalikan pada tempatnya setelah operasi
electrodes for seziure monitoring,
selesai dan dikencangkan dengan
Ommaya reservoir)
menggunakan plates dan screws. Craniectomy
 Reseksi epileptogenic focus/tissue;
sendiri mengacu pada operasi dimana bone
dekompresi microvascular: for trigeminal
flap diangkat namun tidak dikembalikan pada
neuralgia
tempatnya. (2)
 Mengurangi peningkatan tekanan

Indikasi Craniotomy intrakranial (craniectomy)

Craniotomy merupakan teknik penting


Kontra indikasi craniotomy
dalam bedah saraf karena memungkinkan
dokter mengakses intracranial space, dimana Tidak ada kontraindikasi mutlak dari
hampir semua penyakit yang mempengaruhi craniotomy sendiri, namun beberapa kondisi
otak dan elemen-elemennya, termasuk medis dapat menjadikan intervensi
parenkim otak (masalah di otak itu sendiri), craniotomy berisiko tinggi, oleh karena itu
pembuluh darah (arteri, vena, kapiler), dokter harus mempertimbangkan apakah
menings (3 membran yang membungkus resiko craniotomy lebih besar dibandingkan
otak), dan tulang memerlukan pengangkatan dengan resiko terjadinya kondisi medis yang
tulang tengkorak sebagai langkah pertama lain. Beberapa kondisi yang dapat
operasi. meningkatkan resiko terkait craniotomy,
Adapun beberapa indikasi dasar namun bukan kontraindikasi mutlak, yaitu: (2)
dilakukannya craniotomy, antara lain: (2)  Usia tua
 Clipping of cerebral aneurysm (baik  Status fungsional yang buruk
ruptured dan unruptured);  Penyakit kardiopulmonal berat
 Penyakit sistemik berat yang memerlukan dan defisit neurologis (misal onset baru
intensive care support: sepsis, kegagalan atau kelemahan yang memberat) dan dapat
multiorgan muncul dalam waktu beberapa jam setelah
operasi.
Pada kondisi tersebut, craniotomy tetap
 Kejang: gangguan pada jaringan otak
dapat dipertimbangkan terutama untuk
normal dapat memicu terjadinya kejang
menangani lesi intrakranial yang berkaitan
pasca operasi. Pasien dapat memiliki
langsung atau berada di sekitar jaringan saraf
gejala klasik dari kejang atau hanya
kritis atau yang biasa disebut otak “eloquent”,
penurunan kesadaran.
dimana jaringan otak ini bertanggung jawab
 Kebocoran CSF: ini dapat terjadi akibat
atas fungsi penglihatan, bicara, memori,
penutupan luka yang kurang baik (misal
kekuatan otot dan pergerakan, menelan,
duramater yang tidak tertutup dengan
koordinasi dan keseimbangan, dan bahkan
baik, bone flap yang tidak terpasang
pernapasan, sehingga dalam kondisi ini,
benar, jahitan lapisan fascial yang
penting bagi neurosurgeon (biasanya dibantu
longgar) atau infeksi.gejala yang timbul
dengan konsultasi neurologist) untuk
berupa merembesnya cairan bening dari
menentukan apakah resiko tindakan
bekas insisi.
craniotomy lebih besar dibandingkan dengan
 Infark cerebri: ini merupakan stroke yang
resiko tatalaksana konservatif (non bedah). (2)
diakibatkan oleh kerusakan pada arteri
Komplikasi craniotomy atau vena major dan dapat disebabkan
karena craniotomy itu sendiri, terutama
Komplikasi craniotomy dapat dibagi
jika kerusakan terjadi pada sinus major
menjadi 2, yaitu early complications dan late
(infark venous). Gejala dapat berupa
complications. Early complications
defisit neurologis baru (misal penurunan
craniotomy yaitu: (2)
status mental, afasia, kelemahan, rasa
 Bleeding/hematoma: hematoma dapat
kebal, gangguan penglihatan).
terbentuk pada daerah operasi karena
 Pneumocephalus: terdapat udara dalam
berbagai sebab (misal pengendalian
cranium yang masuk melalui daerah
tekanan darah post operasi kurang baik,
craniotomy dan dapat memberikan gejala
tumor residual, hemostasis inkomplit).
seperti bingung, letargi, nyeri kepala,
Gejala dapat berupa penurunan kesadaran
kejang dan mual muntah.
Sedangkan late complications dari semua pasien ICU dan sekitar 15% pada
craniotomy diantaranya adalah: pasien yang tidak mendapatkan terapi
 Infeksi: ini dapat terjadi akibat profilaksis sebelumnya, dimana hal ini
kontaminasi pada daerah operasi (otak, berkaitan dengan outcomes yang lebih buruk.
(5)
subdural/epidural space, insisi). Gelaja
yang ditimbulkan berupa demam, GI bleeding post operasi merupakan
rigor/menggigil dan gejala sistemik komplikasi kritis yang memiliki tingkat
lainnya. Pada pemeriksaan fisik dapat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dimana
ditemukan luka bekas operasi tampak dalam sebuah penelitian dilaporkan tingkat
eritema, indurasi dan dengan atau tanpa mortalitas GI bleeding pada pasien post
pus. (2) operasi major adalah sekitar 31% dengan

(4)
Late seizure: fokal epilepsi dapat muncul insidensi 0.39%. Pada pasien bedah saraf
sebagai efek sekunder dari kerusakan pada tingkat kejadian GI bleeding adalah sebanyak
CNS (gliosis). (2) 6,8%, dimana sebanyak 2,1% pasien
 Gastrointestinal bleeding: stress-related meninggal akibat komplikasi gastrointestinal.
(6)
gastric mucosal damage atau stress ulcer
telah dilaporkan banyak terjadi pada
Faktor resiko GI bleeding
pasien post operasi bedah saraf, trauma
CNS dan pasien dengan kondisi kritis. Pasien yang beresiko mengalami GI

Stress ulcer ini kemudian dapat bleeding post operasi dengan mortalitas tinggi

berkembang menjadi gastrointestinal termasuk diantaranya yaitu: (7; 8; 5; 4)


(3)
bleeding. kondisi ini dikenal juga
 Usia > 50 tahun
dengan Postoperative gastrointestinal
 Adanya penyakit penyerta: diabetes
bleeding (PGIB). (4)
melitus, hipertensi, penyakit liver kronis,

Gastrointestinal bleeding penyakit ginjal kronis, dan gagal jantung

Stress ulcer dan stress-reated kongestif.

gastrointestinal bleeding (GI bleeding) sering  Riwayat syok pre operasi


terjadi pada pasien dengan kondisi kritis,  Penggunaan obat-obatan post operasi:
dimana insidensi kejadian GI bleeding golongan nonsteroidal anti-inflammatory
berkisar antara 0,1% hingga 4% di antara drugs (NSAID), kortikosteroid,
antikoagulan dan antiplatelet
 Ukuran perforasi ulcer yang luas: penting dalam meningkatkan produksi
perforasi kecil < 1 cm2, perforasi luas > 1 bikarbonat maupun lapisan mukosa.
cm2 s/d < 3 cm2, dan giant perforation > 3
Pada kondisi dimana asam lambung
cm2)
dan pepsin menembus sel epitet, terjadi
 Nilai GCS pre dan post operasi < 10
mekanisme tambahan yang membantu
 Lesi terletak di batang otak dan ventrikel
mengurangi injury. Pada sel epitel terdapat
ke-4; stroke hemoragik; trauma
pompa ion di membran sel basolateral yang
intracerebral dan intraventricular
membantu meregulasi pH intraselular dengan
hemoragik; adanya komplikasi pasca
membuang ion hidrogen yang berlebihan.
operasi (pneumonia, edema cerebri,
Dalam proses pemulihan, sel-sel yang sehat
encephalic high pressure, dan infeksi
bermigrasi ke darerah yang cedera. Aliran
pyogenic pada CNS)
darah mukosa membuang asam lambung yang
 Terlambatnya diagnosis dan
berdifusi melalui mukosa yang cedera dan
penatalaksanaan
mensekresi bikarbonat ke permukaan sel

Patofisiologi GI bleeding epitel.

Ulser peptik adalah defek pada Dalam kondisi normal, terjadi

mukosa gaster atau duodenum yang meluas keseimbangan fisiologis antara sekresi asam

hingga mukosa muscularis. Sel epithelial dari lambung dan pertahanan mukosa

gaster dan duodenum mensekresi mukus gastroduodenum. Cedera mukosa dan ulser

sebagai respon terhadap iritasi dari epithelial peptik terjadi ketika keseimbangan antara

lining dan sebagai hasil dari stimulasi faktor-faktor agresif dan mekanisme

kolinergik. Bagian superfisial dari mukosa pertahanan terganggu. Faktor-faktor agresif

gaster dan duodenum merupakan lapisan yang seperti penggunaan obat NSAID, infeksi

berbentuk gel, dimana bersifat impermeable H.pylori, alkohol, garam empedu, asam dan

terhadap asam dan pepsin. Sel-sel lain dari pepsin, dapat mengubah pertahanan mukosa

gaster dan duodenum menseksekresi dengan memungkinkan difusi balik ion

bikarbonat yang membantu menetralisir asam hidrogen dan cedera sel epitel berikutnya.

lambung yang bearada didekat mukosa. Mekanisme pertahanan termasuk interceluler

Prostaglandin tipe E (PGE) memiliki peran junction yang rapat, mukus, bikarbonat, aliran
darah mukosa, pemulihan sel dan regenerasi dengan risiko rendah untuk perdarahan
epitel. (9) ulang. Selain itu, terapi endoskopi
mengurangi kemungkinan perdarahan
Manifestasi Klinis GI bleeding
berulang dan mengurangi kebutuhan untuk
Nyeri epigastik merupakan gejala yang
pembedahan. (9)
paling sering terjadi pada ulcer peptik maupun
Sebuah studi internasional besar
duodenum, yang secara klasik ditandai dengan
menunjukkan bahwa setelah hemostasis
rasa perih atau sensasi terbakar yang muncul
endoskopik yang berhasil untuk
(9)
setelah makan. Manifestasi klinis dari GI
perdarahan peptikulker Forrest IB
bleeding dapat terjadi mulai dari melena,
(mengeluarkan), risiko perdarahan ulang
haemopositive stools, hingga haemetemesis
pada 72 jam sangat rendah (4,9%)
massive, serta gejala lain seperti anemia,
dibandingkan dengan stigmata lain dari
syncope, dyspnea, angina, palpitasi dan syok.
perdarahan baru-baru ini, tetapi serupa
(10; 11; 9)
dengan pasien yang diobati dengan

Tatalaksana GI bleeding esomeprazole (5,4%) dan plasebo (4,9%).


(9)
Tatalaksana awal yang paling penting
pada pasien dengan GI bleeding adalah
Beberapa modalitas terapi
resusitasi cairan, transfusi darah dan koreksi
endoskopi tersedia, seperti terapi injeksi,
koagulopati. Penilaian ulang sangat penting
terapi koagulasi, klip hemostatik,
dilakukan untuk mencari adanya tanda-tanda
koagulator plasma argon, dan terapi
sepsis, yang merupakan penyebab tersering
kombinasi. Terapi injeksi dilakukan
terjadinya perburukan pada pasien dengan
dengan epinefrin dalam pengenceran
kondisi kritis. (3)
1:10.000 atau dengan alkohol absolut.

 Terapi Endoskopi Terapi endoskopi termal dilakukan dengan

Pendarahan saluran cerna bagian probe pemanas, probe sirkumaktif bipolar,

atas (GI) sekunder akibat GI bleeding atau probe emas. Tekanan diterapkan

adalah kondisi medis yang umum. untuk menyebabkan koagulasi arteri yang

Evaluasi endoskopi dari perdarahan ulkus mendasarinya (koagulasi koaptif). Terapi

dapat mengurangi durasi tinggal di rumah kombinasi dengan injeksi epinefrin diikuti

sakit dengan mengidentifikasi pasien dengan koagulasi termal tampaknya lebih


efektif daripada monoterapi untuk ulkus
dengan pembuluh darah yang tidak terapi PPI intravena mempertahankan
terlihat, perdarahan aktif, atau bekuan hemostasis lebih efektif daripada H2RA
yang melekat. (9) intravena. Dengan demikian, H2RA
intravena tidak lagi berperan dalam
 Supresi Asam
pengelolaan perdarahan ulkus peptikum.

Penekanan asam adalah prinsip PPI memiliki profil keamanan yang sangat

farmakologis umum dari manajemen baik, meskipun perhatian harus terus

medis perdarahan akut dari peptik ulser. difokuskan pada efek samping, terutama

Mengurangi keasaman lambung diyakini dengan terapi jangka panjang dan/atau

dapat meningkatkan hemostasis terutama dosis tinggi, seperti infeksi Clostridium

melalui penurunan aktivitas pepsin dengan difficile, pneumonia yang didapat dari

adanya lingkungan yang lebih basa. komunitas, patah tulang pinggul, dan

Pepsin diyakini menghalangi proses defisiensi vitamin B12. Penggunaan PPI

hemostatik dengan mendegradasi bekuan jangka panjang juga dikaitkan dengan

fibrin. Dengan menekan produksi asam penurunan penyerapan beberapa obat. PPI

dan mempertahankan pH di atas 6, pepsin mengganggu sekresi asam lambung;

menjadi sangat kurang aktif. Dua kelas dengan demikian, penyerapan obat apa

obat penekan asam yang saat ini pun yang bergantung pada keasaman

digunakan adalah antagonis reseptor lambung, seperti ketoconazole dan garam

histamin-2 (H2RAs) dan PPI. Kedua kelas besi, terganggu dengan terapi PPI jangka

tersedia dalam sediaan intravena dan oral. panjang. Selain itu, aklorhidria (tidak

Contoh H2RA termasuk cimetidine, adanya keasaman intragastrik) dapat

famotidine, dan nizatidine. Contoh PPI dikaitkan dengan anemia defisiensi besi,

termasuk omeprazole, pantoprazole, karena bentuk besi dari besi harus diubah

lansoprazole, dan rabeprazole. (9) menjadi bentuk besi oleh asam lambung.
Sebagian besar zat besi yang diserap
H2RA adalah kelas obat yang adalah dalam bentuk besi. (9)
lebih tua, dan dalam terapi GI bleeding
aktif, penggunaannya sebagian besar telah Pemberian PPI parenteral

digantikan oleh penggunaan PPI. Banyak digunakan setelah terapi endoskopi

ahli gastroenterologi menyatakan bahwa berhasil untuk ulkus dengan tanda-tanda


risiko tinggi, seperti perdarahan aktif,
pembuluh darah yang terlihat, dan bekuan menghadapi hipotensi lanjutan setelah
yang melekat. Penggunaan PPI parenteral 2 L, pertimbangkan transfusi darah.
sebelum endoskopi adalah umum dalam  Kateter vena sentral untuk memantau
praktik klinis. Berdasarkan data pH resusitasi tersebut dapat
intragastrik, pasien tanpa muntah dengan dipertimbangkan.
perdarahan ulkus dapat diobati dengan  Perlindungan jalan napas dengan
lansoprazole oral (120mg bolus, diikuti intubasi harus dipertimbangkan dalam
oleh 30 mg setiap 3 jam). Bila kasus perdarahan masif.
diindikasikan, pantoprazole atau  Nasogastrik suction membantu
omeprazole intravena diberikan sebagai menjaga perut tetap kosong dan
bolus 80 mg diikuti dengan infus 8 berkontraksi.
mg/jam terus menerus selama 72 jam.  PPI IV telah terbukti mengurangi
Sebuah studi oleh Chan et al menetapkan mortalitas pada perdarahan saluran
bahwa omeprazol dosis standar intravena cerna atas dan mengurangi kejadian
lebih rendah daripada omeprazol dosis perdarahan ulang dan kebutuhan akan
tinggi dalam mencegah perdarahan ulang intervensi bedah; intervensi bedah atau
setelah terapi endoskopi untuk perdarahan endoskopi darurat mungkin diperlukan
ulkus peptikum. Perawatan ini diubah Pasien dengan perdarahan yang
menjadi terapi PPI oral setelah 72 jam jika signifikan atau berpotensi signifikan
(9)
tidak terjadi perdarahan ulang. memerlukan perawatan ICU
 Strategi terapi antimikroba dan antijamur
 Penatalaksaan GI bleeding di kondisi
yang direkomendasikan pada ulkus
gawat darurat
peptikum perforasi adalah sebagai berikut:
Pendarahan lambung yang masif  Pemberian antibiotik spektrum luas
adalah komplikasi yang paling sulit untuk  Pengumpulan sampel mikrobiologi
diobati. Prinsip resusitasi meliputi hal-hal untuk analisis bakteri dan jamur
(9)
berikut: patogen pada semua pasien yang
menjalani operasi, dengan penyesuaian
 Penetapan akses intravena (IV) yang
terapi antibiotik pascaanalisis sesuai
memadai dan penggantian volume,
kebutuhan
awalnya dengan kristaloid; dalam
 Agen antijamur tidak disarankan ini selama endoskopi, karena ini dapat
sebagai terapi empiris standar; membantu memprediksi risiko
mungkin sesuai pada pasien berisiko perdarahan lebih lanjut.)
tinggi, seperti mereka yang
Parameter yang direkomendasikan
immunocompromised, memiliki
untuk evaluasi pada rujukan gawat darurat
komorbiditas, atau usia lanjut
dan kriteria untuk menentukan pasien
 Regimen profilaksis yang telah terbukti
yang tidak stabil adalah sebagai berikut:
secara dramatis mengurangi risiko ulser
peptik yang diinduksi NSAID termasuk  Evaluasi medis/bedah yang cepat dan
penggunaan analog prostaglandin atau PPI hati-hati untuk mencegah perdarahan
(9)
sesuai dengan rejimen berikut: lebih lanjut dan mengurangi kematian
 Misoprostol 100-200 mcg PO 4 kali  Setelah rujukan gawat darurat,
sehari evaluasi tanda, gejala, dan temuan
 Omeprazol 20-40 mg PO setiap hari laboratorium untuk menilai stabilitas
 Lansoprazole 15-30 mg PO setiap hari versus ketidakstabilan
 Perforated and Bleeding Peptic Ulcer  Evaluasi menurut sistem penilaian
Clinical Practice Guidelines (2020) (9) Rockall dan Glasgow-Blatchford
untuk menilai tingkat keparahan
Pemeriksaan biokimia dan
penyakit dan memandu terapi
pencitraan/prosedur yang
direkomendasikan dalam diagnosis Strategi nonoperatif dan endoskopi yang
dugaan perdarahan ulkus peptikum adalah direkomendasikan pada pasien dengan
sebagai berikut: perdarahan ulkus peptikum adalah sebagai
berikut:
 Pemeriksaan darah; hemoglobin,
hematokrit, dan nilai elektrolit; dan  Manajemen nonoperatif sebagai
penilaian koagulasi manajemen lini pertama setelah
 Melakukan endoskopi sesegera endoskopi
mungkin, terutama pada pasien  Perawatan endoskopi untuk mencapai
berisiko tinggi (Keputusan manajemen hemostasis dan untuk membantu
dapat dipandu berdasarkan kerusakan mencegah perdarahan ulang,
yang dicatat dari perdarahan baru-baru
kebutuhan untuk pembedahan, dan Indikasi terapi antimikroba dan
kematian pengujian Helicobacter pylori pada pasien
 Pemberian eritromisin pra-endoskopi dengan perdarahan ulkus peptikum adalah
 Inisiasi terapi penghambat pompa sebagai berikut:
proton sesegera mungkin
 Terapi antimikroba empiris tidak
 Setelah hemostasis endoskopik
dianjurkan
berhasil, terapi penghambat pompa
 Tes H pylori pada semua pasien
proton dosis tinggi sebagai infus
 Jika positif H pylori, terapi eradikasi
kontinu selama 72 jam pertama
dianjurkan
 Terapi penghambat pompa proton
 Terapi eradikasi lini pertama: Terapi
selama 6-8 minggu setelah pengobatan
triple standar (yaitu, amoksisilin,
endoskopi (Terapi penghambat pompa
klaritromisin, inhibitor pompa proton)
proton jangka panjang tidak
 Terapi lini pertama jika resistensi
dianjurkan kecuali pada pasien dengan
klaritromisin tinggi terdeteksi: Terapi
penggunaan NSAID yang sedang
berurutan sepuluh hari dengan empat
berlangsung.)
obat (yaitu, amoksisilin, klaritromisin,
Indikasi tindakan pembedahan dan metronidazol, penghambat pompa
pendekatan pembedahan yang tepat pada proton)
pasien dengan perdarahan ulkus peptikum  Terapi lini kedua jika lini pertama
adalah sebagai berikut: gagal: Terapi triple levofloxacin-
amoksisilin sepuluh hari
 Bedah hemostasis, atau, jika peralatan
 Mulai terapi triple standar setelah 72-
dan personel yang memenuhi syarat
96 jam inhibitor pompa proton
tersedia, embolisasi angiografik,
intravena, selama 14 hari
setelah kegagalan endoskopi berulang
 Ulkus peptikum perdarahan refrakter: Prognosis GI bleeding
Intervensi bedah dengan operasi Mortalitas pasien dengan GI bleeing
terbuka post operasi dilaporkan lebih tinggi
 Endoskopi intraoperatif untuk dibandingkan dengan pasien tanpa GI
memfasilitasi lokalisasi daerah bleeding post operasi. (7) Interval waktu antara
perdarahan terjadinya perforasi dengan penatalaksanaan
operasi merupakan faktor mortalitas yang Pada pemeriksaan radiologi dengan
penting, dimana dalam sebuah studi MSCT scan kepala tanpa kontras irisan axial
dilaporkan tingkat mortalitas sekitar 3% pada pada tanggal 3 September 2022 didapatkan
penanganan dalam 24 jam pertama setelah hasil dengan kesan: perdarahan cerebri dextra
perforasi, 57% pada 25-72 jam pasca perforasi (lobus temporalis) disertai pergeseran garis
dan sekitar 80% pada pasien yang mendapat tengah +/- 0,3 cm dan volume darah +/- 33,25
penanganan lebih dari 120 jam setelah cc; multiple lacunar infarks cerebri bilateral
terjadinya perforasi ulser. Telah banyak studi (satu lesi cerebri dextra dan empat lesi cerebri
yang melaporkan bahwa interval operasi yang sinistra). Pada pemeriksaan foto thorax
lebih dari 24 jam meningkatkan mortalitas tanggal 5 September didapatkan hasil dengan
karena terjadi kontaminasi bakteri yang berat kesan suspek bronchitis dan slight
pada pasien dengan penanganan yang lambat, cardiomegaly. Pada pemeriksaan laboratorium
sehingga dapat terjadi syok septik. (8) tanggal 4 September 2022 didapatkan GDS
223 mg/dl, HBsAg reaktif namun SGOT dan
LAPORAN KASUS
SGPT dalam batas normal dengan kadar
Pasien laki-laki berusia 52 tahun kalium darah sedikit menurun (3.17 mmol/L).
masuk ke UGD RS Tk II Pelamonia dengan
Berdasarkan hasil anamnesis,
keluhan kesadaran menurun yang dialami
pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien
secara tiba-tiba sejak tadi malam. Sebelumnya
didiagnosis dengan intracerebral hemorrhage
pasien mengeluhkan nyeri kepala. Riwayat
regio temporoparietal dextra, dengan
penyakit hipertensi dan diabetes melitus tipe 2
diagnosis lainnya essential hypertension,
tidak terkontrol. Pasien sebelumnya dirawat di
diabetes melitus tipe 2, hepatitis B virus, dan
RS Stella Maris dengan diagnosis kerja CVA
disorder of electrolyte, serta menjalani
bleeding dan diberikan terapi berupa mannitol
perawatan bersama dengan dokter spesialis
100 cc/6 jam , ranitidine 50 mg/12 jam, asam
penyakit dalam dan dokter spesialis jantung.
tranexamat 500 mg/8 jam, citicoline 1
Kemudian pada tanggal 6 September 2022
ampul/12 jam dna amlodipine 10 mg/24 jam.
dilakukan tindakan craniektomi evakuasi
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
hematom + dekompresi ec ICH
kesadaran apatis dengan GCS 13 (E3M5V5),
temporoparietal dextra dengan general
tekanan darah 170/103 mmHg, nadi 77x/mnt,
anestesi via ETT. Setelah operasi, pasien
suhu tubuh 36,9˚C, pernapasan 20x/mnt.
distabilisasi dan dievaluasi, kemudian
menjalani perawatan lebih lanjut di ICU dan menurun (10.2 g/dL), hematokrit menurun
diberikan penatatalaksanaan head up 30º, (32.7%), dan MCHC merunun (31.3 g/dL).
oksigenasi via ETT dan terapi medikamentosa Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
berupa antibiotik, analgetik, diuretic, fisik dan penunjang, pasien didiagnosis
antikonvulsan, dan antifibrinolitik (infus NaCl Gastrointestinal bleeding dan diberikan
0,9% 32 tpm, ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv, tatalaksana berupa vit K 1 ampul/8jam/iv,
metamizole 1 gr/8jam/iv, ranitidine 50 mg/12 ulcidex 1 ampul/8jam/iv, adona 1
jam/iv, mannitol 20% 150 cc/6 jam/iv, ampul/8jam/iv, omeprazole 1 amp/12jam/iv,
fenitoin 100 mg/8 jam/iv, dan asam meropenem 1 gr/8 jam, levofloxacin 750
tranexamat 500 mg/8 jam/iv. mg/24 jam, paracetamol, dan sucralfat syrup
4x1.
Pada hari ke-3 post Craniotomy
tanggal 9 September 2022, pasien menjalani Pasien masih mengalami demam dan
tracheostomy dengan indikasi prolonged nyeri uluhati hingga pada tanggal 23
ventilator. Pada hari ke-11 pasca operasi September 2022 jam 24.00 WITA kondisi
tanggal 17 September 2022 pasien mengalami pasien memburuk, dengan tekanan darah terus
perbaiakan kesadaran dengan GCS 15 dari menurun (terendah 73/40 mmHg), suhu tubuh
sebelumnya GCS 7X (E2M5Vx) semenjak (41,2ºC) dan pernapasan meningkat
post operasi, pasien kemudian dipindahkan (46x/menit), dan telah dilakukan resusitasi
dari ICU ke perawatan HCU. Pada hari ke-13 cairan. Kemudian pada jam 05.00 WITA,
pasca operasi tanggal 19 September 2022 jam pasien mengalami apnea, tekanan darah tidak
00.45 WITA, pasien mengeluh nyeri uluhati terukur dan nadi tidak teraba, dilakukan EKG
dan pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri dan RJP 3 siklus tapi tidak berhasil.
tekan epigastrik dan didiagnosis dengan
dyspepsia. Namun pada jam 02.30 pasien
mulai mengalami peningkatan suhu tubuh
(38,2ºC) disertai dengan peningkatan denyut
nadi dan pada jam 05.00 WITA pasien sempat
mengalami penurunan kesadaran dengan GCS
3. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hasil GDS 272 mg/dl, darah rutin ditemukan
leukositosis (21.3 x 103/uL), hemoglobin
intestinal yang diinduksi oleh stress fisiologik
merupakan proses yang berkembang lambat
dan biasanya tidak menunjukkan gejala pada
(6)
fase awal, gejala nyeri epigastrik akan
timbul setelah terbentuk ulser peptik, dimana
pada perforasi ulser peptik gejala akan
berkembang menjadi nyeri perut yang lebih
berat dengan onset akut dan sering
dideskripsikan oleh pasien sebagai nyeri perut
menyeluruh, dimana gerakan sekecil apapun
Gambar 1. MSCT Scan Kepala Tanpa (9)
akan memperberat nyerinya. Sebagaimana
Kontras
yang terjadi pada kasus ini, pasien baru

DISKUSI mengeluhkan gejala GI bleeding berupa nyeri


epigastrik dan anemia setelah hari ke-13 pasca
Pada kasus ini pasien mulai operasi craniotomy. Hal serupa juga
menunjukkan gejala GI bleeding pada hari ke- dilaporkan dalam sebuah clinical case report
13 post operasi berupa nyeri epigastrik dan oleh Ji-Ho Jung, dimana 3 pasien post
anemia (Hb 10.2 g/dL, HCT 32.7%, MCHC craniotomy mengalami gejala GI bleeding
31.3 g/dL) disertai tanda-tanda respon berupa hematochezia pasca operasi hari ke-15,
3
inflamasi (WBC 21.3 x 10 /uL), lalu 4 hari ke-17 dan ke-49, dan tidak pernah melaporkan
kemudian pasien mulai mengalami syok adanya gejala nyeri epigastrik sebelumnya. (6)
sepsis (berdasarkan kriteria qSOFA, tekanan
darah 73/40 mmHg dan pernapasan GI bleeding pada pasien post craniotomy
46x/menit). Sesuai dengan yang dilaporkan Mekanisme pasti dari terbentuknya

studi-studi sebelmunya, nyeri epigastrik stress ulcer dan GI bleeding post operasi

merupakan keluhan tersering ditemukan pada craniotomy masih kontroversi. Diduga kuat

GI bleeding. (10; 11; 9)


Selain itu, syok sepsis penyebab yang mendasari munculnya stress

juga dapat terjadi pada pasien yang telah ulcer adalah akibat hilangnya proteksi

mengalami perforasi dan dan terjadi mucosal barrier, dimana hal ini berkaitan

kontaminasi bakteri yang berat akibat dengan penurunan perfusi ke jaringan

penanganan yang lambat. (8)


Nekrosis submukosa gaster selama kondisi kritis.
Vasokonstriksi dari splanchnic merupakan
respon awal yang terjadi pada saat terdapat Kondisi stress fisologis sering terjadi
penurunan kadar oxygen dalam sirkulasi pada pasien dengan kondisi kritis seperti
karena darah akan dialihkan ke organ vital pasca craniotomy, kondisi stress fisiologi
seperti jantung dan otak, sehingga hal ini menginduksi eksitasi sistem saraf simpatik
menyebabkan terjadinya penurunan volume dan inaktivasi vagal. Eksitasi simpatis
darah tidak proportional dan lebih besar di menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
splanchnic dibandingkan di ditempat lain. intestinal dan menyebabkan penurunan suply
Sebagaimana dalam sebuah penelitian darah ke gastrointestinal mengakibatkan
ditemukan penurunan 15% volume darah hipoksia mukosa, sementara inaktivasi vagal
sirkulasi akan menyebabkan penurunan 40% menghambat jalur anti-inflamasi,
volume darah dalam splanchnic sementara menyebabkan cedera intestinal. Sekitar 3%-
heart rate, tekanan darah dan cardiac output 4% dari kerusakan mukosa akibat stres
tidak berubah. (3) fisiologik dilaporkan mengakibatkan GI
bleeding yang signifikan secara klinis. Dalam
Lapisan mukosa dan submukosa
kasus kami, pasien menjalani perawatan ICU
saluran GI rentan terhadap perubahan iskemik
dalam waktu lama setelah operasi craniotomy,
karena 70% aliran darah mesenterika
serta adanya penyakit penyerta seperti
memperdarahi lapisan ini. Tingkat kerusakan
diabetes mellitus, hipertensi dan hepatitis B.
intestinal akibat iskemia bervariasi, mulai dari
Tubuh pasien mengalami stress konstan yang
lesi mukosa akibat iskemia reversibel hingga
menyebabkan nekrosis intestinal. (8) (6)
nekrosis dan perforasi dengan cedera
transmural. Kondisi stress fisiologi, seperti Faktor resiko GI bleeding pada pasien post
pada pasien pasca craniotomy, dapat craniotomy
mengakibatkan hipoperfusi splanknik, yang Pasien pada kasus ini merupakan
terbukti terkait dengan nekrosis iskemik seorang laki-laki berusia 52 tahun dengan
mesenterika. Jika nekrosis atau ulserasi riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi
intestinal mengekspos pembuluh darah dan hepatitis B, dimana berdasarkan referensi,
intestinal dan terjadi cedera pada pembuluh hal ini merupakan salah satu faktor resiko
darah yang terekspos, hal itu dapat yang meningkatkan kejadian GI bleeding pada
(6)
menyebabkan perdarahan masif. pasien pasca craniotomy. Usia > 50 tahun
meningkatkan faktor resiko terjadinya GI
bleeding post craniotomy, bahkan dalam
sebuah study dilaporkan bahwa pada usia > 70 bahwa sebanyak 30% orang dewasa yang
tahun resiko terjadinya GI bleeding pasca mengkonsumsi NSAID mengalami efek
operasi meningkat 20 kali lebih tinggi samping GI. (9)
dibandingkan dengan usia 20 tahunan.
Neurological injury yang disertai
Adanya penyakit penyerta seperti diabetes
dengan stres fisiologi berat dan kondisi kritis
melitus, hipertensi dan penyakit liver kronis
diketahui dapat meningkatkan morbiditas dan
beresiko tinggi terjadi GI bleeding pasca
mortalitas terkait stress-related GI bleeding
operasi, penyakit komorbid ini diduga
pada penyakit neurologis akut, termasuk
berkaitan dengan penggunaan multidrug,
traumatic brain injury (TBI), intracerebral
gangguan koagulopati, perubahan fungsi
hemorrhage (ICH) spontan, stroke iskemik,
ganstrointestinal dan varises dan peptic ulcer
cedera spinal, dan infeksi sistem saraf pusat
bleeding. (7; 8; 5; 4)
(CNS). (5)
Pasien ini didiagnosis dengan ICH Pasien kritis pasca operasi craniotomy,
regio temporoparietal dextra dan mendapatkan lebih rentan terhadap stress-related GI
terapi bedah craniectomy evakuasi hematom bleeding, karena mereka mengalami
dan dekompresi, dimana GI bleeding dan peningkatan sekresi asam lambung yang
perforasi GI merupakan salah satu komplikasi disebabkan oleh stimulasi vagal dari
operasi bedah saraf yang memiliki tingkat pencernaan melalui CNS pathways. Selain itu
mortalitas tinggi, dilaporkan bahwa tingkat faktor lain yang diduga berperan dalam GI
kejadian GI bleeding pada pasien post operasi bleeding pada pasien ini adalah lamanya bed
bedah saraf adalah 6,8%, dimana sebanyak rest. Lamanya bed rest pada pasien ini
2,1% pasien meninggal akibat komplikasi dipengaruhi oleh penurunan kesadaran pasca
gastrointestinal. (6) craniotomy (GCS 7X), kesadaran pasien
Terapi medikamentosa berupa kembali pulih (GCS 15) setelah hari ke-11
metamizole diberikan kepada pasien ini post operasi, sehingga pasien menjalani bed
sebagai analgetik pasca operasi, dimana rest yang cukup lama. Dilaporkan bahwa
metamizole merupakan golongan NSAID. pasien yang menjalani bed rest dalam jangka
NSAID merupakan penyebab umum penyakit waktu yang lama cenderung mengalami
ulser peptik. Obat ini mengganggu barrier distensi abdomen akibat hipomotilitas dari
permeabilitas mukosa, membuat mukosa saluran cerna selama bed rest. Distensi GI
rentan terhadap injury, dimana dilaporkan yang memburuk menyebabkan gangguan pada
suply darah, mengakibatkan cedera pada pump inhibitors (PPIs) sebagai standar terapi
dinding GI dan menyebabkan translokasi pada pasien dengan resiko tinggi terjadi
bakteri, yang berakhir pada infeksi stress-related GI bleeding. Neurological
peritoneum dan kondisi sepsis. Stress-induced injury merupakan salah satu faktor resiko
nekrosis intestinal merupakan proses yang terjadinya GI bleeding, oleh karena itu
relatif lambat, sehingga sulit untuk guideline ASHP juga merekomendasikan
memprediksi terjadinya kegagalan GI diawal. stress ulcer prophylaxis (SUP) untuk
Oleh karena itu dokter harus menilai adanya diberikan pada pasien ICU yang dalam
gejala GI bleeding secara regular pada pasien kondisi sulit mengikuti perintah atau nilai
yang mengalami kondisi stress fisiologis. (6) Glasgow Coma Scale (GCS) ≤ 10. (5)

Terapi Pofilaksis GI bleeding Tatalaksana GI bleeding


Pasien pada kasus ini mendapatkan Setelah pasien didiagnosis GI
terapi ranitidine 50 mg/12 jam/iv sebagai bleeding, pasien mendapatkan tatalaksana
profilaxis stress ulcer, dimana ranitidine terapi berupa vit K 1 ampul/8jam/iv, ulcidex 1
adalah golongan antagonis reseptor histamine- ampul/8jam/iv, adona 1 ampul/8jam/iv,
2 yang bekerja sebagai penghambatan omeprazole 1 amp/12jam/iv, meropenem 1
reversibel reseptor H2 di sel parietal lambung gr/8 jam, levofloxacin 750 mg/24 jam, dan
menyebabkan pengurangan sekresi, volume sucralfat syrup 4x1. Hal ini sudah sesuai
dan konsentrasi asam lambung. Selain itu, dengan rekomendasi dimana prinsip
pada hari ke-5 dan seterusnya terapi ranitidine farmakologis umum dari manajemen medis
digantikan dengan omeprazole 40 mg/12 perdarahan akut dari peptik ulser adalah
jam/iv sebagai terapi profilaksis, dimana penekanan asam lambung, pada pasien ini
omeprazole merupakan golongan proton diberikan omepraozle dari golongan PPI.
pump inhibitor (PPI). Hal ini sudah sesuai Selain itu pemberian antibiotik meropenem
dengan anjuran berdasarkan Guideline dan levofloxacin juga sudah sesuai dengan
American Society of Health-System rekomendasi, yaitu pemberian antimikroba
Pharmacists (ASHP) dan the Surviving spektrum luas. (9)
Sepsis Campaign, dimana keduanya Namun pada pasien ini tidak dilakukan
merekomendasikan stress ulcer prophylaxis pemeriksaan endoskopi. Direkomendasikan
(SUP) dengan pemberian antagonis reseptor untuk melakukan endoskopi sesegara
histamine-2 (H2RAs) atau dengan proton mungkin, terutama pada pasien berisiko tinggi
seperti pada pasien ini yang memiliki jaringan submukosa gaster selama kondisi
beberapa faktor resiko. (9) kritis.
Saran yang dapat diberikan pada
Pada kasus ini, pasien mengeluhkan
laporan kasus ini yaitu melakukan penilaian
nyeri uluhati yang disertai dengan nyeri tekan
adanya tanda-tanda petic ulcer dan GI
epigastrik pada pemeriksaan fisik dimana hal
bleeding secara teratur dan melakukan
ini merupakan gejala tersering pada peptic
pengawasan yang ketat terutama pada pasien
ulcer.
yang berisiko tinggi mengalami GI bleeding,
serta melakukan pemeriksaan endoskopi Mortalitas pasien dengan GI bleeing
sesegera mungkin jika diduga terjadi GI post operasi dilaporkan
bleeding.
Oleh karena itu, memberikan terapi
KESIMPULAN profilaksi pada pasien yang beresiko tinggi
Stress ulcer dan stress-reated gastro- mengalami GI bleeding post operasi dan
intestinal bleeding (GI bleeding) sering terjadi melakukan pengawasan yang ketat akan
pada pasien dengan kondisi kritis, dan adanya tanda GI bleeding, terkhususnya post
memiliki resiko mortalitas yang tinggi operasi craniotomy pada kasus ini, sangat
terutama pada pasien yang tidak mendapatkan penting untuk dilakukan, mengingat tingginya
terapi profilaksis sebelumnya. resiko mortalitas yang dapat terjadi.
Pada kasus ini pasien memiliki
beberapa faktor resiko mengalami GI bleeding
post operasi yaitu: berusia >50 tahun;
memiliki penyakit penyerta diabetes melitus,
hipertensi, penyakit liver kronis; riwayat
intracerebral hemorrhage dan prosedur
operasi craniotomy.

Mekanisme penyebab yang mendasari


munculnya stress ulcer pada pasien ini diduga
akibat hilangnya proteksi mucosal barrier,
yang berkaitan dengan penurunan perfusi ke
REFERENSI

1. Thomas, Ricardo J. Fernández-de. Craniotomy. s.l. : StatPearls Publishing, 2022. PMID: 32809757.

2. Hanft, Simon. Craniotomy. s.l. : Emedicine Medscape, 2017.

3. Nathens, Avery B. Prophylaxis and management of stress ulceration - Surgical Treatment. s.l. : NCBI,
2001.

4. Kim, Sang Hyuck. Postoperative Gastrointestinal Bleeding and Its Associated Factors: A Nationwide
Population-Based Study. s.l. : Journal of Personalized Medicine, 2021.
https://doi.org/10.3390/jpm11111222.

5. Liu, Bolin. Risks and benefits of stress ulcer prophylaxis in adult neurocritical carepatients: a
systematic review and metaanalysis of randomized controlled trials. s.l. : BioMed Central , 2015. DOI
10.1186/s13054-015-1107-2.

6. Jung, Ji-Ho. Clinical warning signs of life-threatening hematochezia in neurosurgical patients with long
term bed rest. s.l. : Wolters Kluwer Health, Inc, 2020.
http://dx.doi.org/10.1097/MD.0000000000022471.

7. Zheng, Kang. High risk factors of upper gastrointestinal bleedingafter neurosurgical procedures. s.l. :
NCBI, 2005. PMID: 16409857.

8. Chihoko Nobori. Giant duodenal ulcers after neurosurgery for brainstem tumors that required
reoperation for gastric disconnection: a report of two cases. s.l. : BMC Surgery, 2016. doi:
10.1186/s12893-016-0189-3.

9. Anand, BS. Peptic Ulcer Disease. s.l. : Emedicine Medscape, 2021.

10. Weledji, Elroy Patrick. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding: a review. s.l. : elsevier, 2020. DOI:
10.1016/j.sipas.2020.100004.

11. Cole, Rhonda A. Gastroenterology.

12. Aziz, Faisal. Surgical Treatment of PerforatedPeptic Ulcer. s.l. : Emedicine Medscape, 2022.
13. Unnithan, Ajaya Kumar A. Hemorrhagic Stroke. s.l. : StatPearls Publishing, 2022. PMID: 32644599.

14. Tenny, Steven. Intracranial Hemorrhage. s.l. : StatPearls Publishing, 2022. PMID:29262016.

15. Ibrahim, Rian C. Penanganan Pasien Perdarahan Intraserebral di Ruang Rawat Intensif. Manado : e-
CliniC, 2021. DOI: https://doi.org/10.35790/ecl.9.1.2021.31704.

16. Liebeskind, David S. Intracranial Hemorrhage. s.l. : Emedicine Medscape, 2018.

Anda mungkin juga menyukai