Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA

REFARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
MARET 2021
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL

OLEH :

MUTI’A MUSTATIRA RAZAK


105505404919

PEMBIMBING:
dr. Irma Santy, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHMAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muti’a Mustatira Razak


NIM : 105505404919
Universitas : Universitas Muhammadiyah Makassar
Judul Refarat : Gangguan Preferensi Seksual

Telah menyelesaikan tugas refarat dalam rangka kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Maret 2021


Pembimbing

(dr. Irma Santy, Sp.KJ)

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga Refarat dengan judul
“Gangguan Preferensi Seksual” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat
senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang
memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih
yang mendalam kepada dosen pembimbing saya dr. Irma Santy, Sp.KJ, yang
telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga dalam
penyusunan sampai dengan selesainya Refarat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kekurangan dalam
penyusunan lapsus ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan refarat
ini.
Demikian, semoga Refarat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Makassar, Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I .......................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II ......................................................................................................... 4

PEMBAHASAN ......................................................................................... 4

A. Klasifikasi Gangguan Preferensi Seksual/Paraphilic Disorder

1. Fetishisme ......................................................................................... 4

Definisi............................................................................................................. 4
Epidemiologi.................................................................................................... 5
Etiologi............................................................................................................. 5
Kriteria Diagnostik .......................................................................................... 6

2. Transvestisme Fetishistik .................................................................. 7

Definisi............................................................................................................. 7
Epidemiologi.................................................................................................... 8
Kriteria Diagnostik .......................................................................................... 8

3. Ekshibisionisme ................................................................................ 9

iii
Definisi............................................................................................................. 9
Epidemiologi.................................................................................................. 10
Kriteria Diagnostik ........................................................................................ 11

4. Voyeurisme ..................................................................................... 12

Definisi........................................................................................................... 12
Epidemiologi.................................................................................................. 13
Kriteria Diagnostik ........................................................................................ 13

5. Pedofilia .......................................................................................... 14

Definisi........................................................................................................... 14
Epidemiologi.................................................................................................. 14
Kriteria Diagnostik ........................................................................................ 15

6. Sadomasokisme ............................................................................... 16

Definisi........................................................................................................... 16
Epidemiologi.................................................................................................. 16
Kriteria Diagnostik ........................................................................................ 19

7. Gangguan Preferensi Seksual Multipel ........................................... 19

8. Gangguan Preferensi Seksual Lainnya............................................ 19

9. Gangguan Preferensi Seksual YTT (yang tidak tergolongkan) ...... 20

B. Tatalaksana

C. Prognosis

BAB III ...................................................................................................... 30

KESIMPULAN ......................................................................................... 30

iv
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 31

v
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan Preferensi Seksual atau Parafila adalah ketertarikan, dorongan,

fantasi, atau perilaku seksual yang terus-menerus dan berulang dengan intensitas

berlebih yang melibatkan objek, aktivitas, atau bahkan situasi yang bersifat

atipikal. Meskipun bukan patologis bawaan, gangguan parafilia dapat berkembang

jika orang dengan parafilia menimbulkan bahaya, kesusahan, atau gangguan

fungsional pada kehidupan individu yang terkena atau orang lain.(1)

Dalam DSM-5, istilah paraphilia didefinisikan sebagai "setiap minat

seksual yang intens dan terus-menerus selain minat seksual dalam rangsangan

genital atau cumbuan pemanasan dengan fenotip normal, matang secara fisiologis,

disetujui pasangan manusia."(2) Penambahan kata "gangguan" ke klasifikasi

paraphilias adalah hal baru di DSM-5. Perubahan ini dimaksudkan untuk

mempertimbangkan bahwa kepentingan parafilik tidak selalu menunjukkan

tekanan klinis dan/atau ancaman bagi orang lain. Faktanya, prevalensi

kepentingan paraphilic non-patologis pada populasi nonklinis mencapai lebih dari

7%. Misalnya, jenis minat pedofil (yaitu, ketertarikan seksual pada anak-anak)

seperti fantasi seksual yang mencakup anak-anak praremaja terbukti ada pada

4,1% dari 8718 laki-laki Jerman, minat eksibisionistik (yaitu, terangsang secara

seksual dengan mengekspos alat kelamin mereka. kepada orang asing) dilaporkan

oleh 3,1% dari populasi umum di Swedia, dan minat voyeuristik (yaitu,

1
terangsang secara seksual dengan memata-matai orang lain berhubungan seks)

dilaporkan oleh 10,5% penelitian kohort di Finlandia.(3)

Seperti yang biasanya didefinisikan, paraphilias tampaknya sebagian besar

merupakan kondisi laki-laki. Fetisisme hampir selalu terjadi pada pria. Lebih dari

50 persen dari semua paraphilias onsetnya sebelum usia 18 tahun. Pasien dengan

paraphilia sering mengalami tiga sampai lima paraphilias, baik secara bersamaan

atau pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka. Pola kejadian ini terutama

terjadi pada eksibisionisme, fetisisme, masokisme seksual, sadisme seksual,

fetisisme transvestik, dan voyeurisme. Puncak terjadinya perilaku parafilik antara

usia 15 dan 25 tahun dan secara bertahap menurun. DSM-5 menyarankan sebutan

paraphilia digunakan untuk mereka yang berusia 18 tahun ke atas untuk

menghindari patologi keingintahuan seksual yang normal dan eksperimen sesekali

pada masa remaja. Pada pria yang berusia di atas 50 tahun, tindakan kriminal

parafilik jarang terjadi. Yang terjadi dipraktekkan secara terpisah atau dengan

mitra kerja sama.(4)

Etiologi pasti dari paraphilia dan paraphilic disorder tidak diketahui.

Namun, diperkirakan bahwa kombinasi dari proses neurobiologis, interpersonal,

dan kognitif semuanya berperan. Literatur juga menunjukkan berbagai faktor

genetik yang berkontribusi pada perkembangan pedofilia dan gangguan pedofil,

dengan bukti terbaru menunjukkan korelasi positif dari polimorfisme COMT

Val158Met (rs4680) pada pelanggar seksual paraphilic anak. Sebuah studi baru-

baru ini yang berfokus pada neurotransmisi gangguan paraphilic menemukan

bukti yang menunjukkan bahwa dopamin sentral memainkan peran penting dalam

2
patogenesis gangguan paraphilic, serta gangguan umum dari regulasi perilaku

secara sadar. Hasil penelitian ini mengungkapkan peningkatan kadar serotonin

dan norepinefrin, dengan penurunan konsentrasi DOPAC (3,4-

dihydroxyphenylacetic acid) dalam sampel urin dari populasi uji yang didiagnosis

dengan gangguan paraphilic. Sebuah korelasi ditemukan antara serotonin dan

norepinefrin dengan gangguan obsesif dan asosiasi DOPAC dengan gangguan

afektif dan disosiatif.(5)

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Gangguan Preferensi Seksual/Paraphilic Disorder

1. Fetishisme

Definisi

Fetisisme adalah penggunaan benda mati (fetish) sebagai metode

untuk menghasilkan rangsangan seksual. Namun, dalam bahasa umum,

kata tersebut sering digunakan untuk menggambarkan minat seksual

tertentu, seperti permainan peran seksual, preferensi untuk karakteristik

fisik tertentu, dan aktivitas atau objek seksual yang disukai. Gangguan

fetishistik mengacu pada gairah seksual yang berulang dan intens dari

penggunaan benda mati atau bagian tubuh yang secara umum dan secara

kultural non-seksual yang menyebabkan distress signifikan atau gangguan

fungsional.(6)(7)

Sebelum DSM-5 dirilis pada tahun 2013, kelainan ini dikenal

sebagai Fetishism. Dalam DSM-5, sekarang dikenal sebagai Gangguan

Fetisistik dan diklasifikasikan sebagai Gangguan Paraphilic, yang

memerlukan adanya paraphilia yang menyebabkan gangguan atau distress

yang signifikan, atau melibatkan bahaya pribadi atau risiko bahaya bagi

orang lain.(8)

4
Objek Fetish yang umum digunakan adalah:(5)

• Pakaian dalam wanita

• Pakaian berbahan karet, plastik, atau kulit

• Benda yang lebih spesifik, seperti sepatu atau sepatu boots

• Item yang berhubungan dengan tubuh, seperti rambut, bau

tubuh atau feses

Epidemiologi

Prevalensi Gangguan Fetisistik pada populasi umum tidak

diketahui. Paraphilias sering muncul selama masa pubertas, tetapi fetish

dapat berkembang sebelum waktu ini. Setelah berkembang, mereka

cenderung tahan lama, tetapi intensitas dan frekuensi dapat berfluktuasi

dari waktu ke waktu.(8)

Dalam beberapa penelitian dilaporkan secara konsisten bahwa

fantasi sexual tertinggi adalah fetishisme dan voyeurisme dari semua jenis

paraphilia. Sebagaimana penelitian oleh Dawson pada 2016 melaporkan

minat fetishisme sebanyak 28%.(9) Fetishisme terlihat hampir secara

eksklusif pada pria, dan 25% pria dengan Fetish adalah homoseksual.(10)

Etiologi

Dalam konteks teori psikoanalitik, Greenacre mengaitkan

fetishisme dengan kompleks kastrasi atau trauma genitalia yang parah

pada pria dan serangkaian reaksi relasional yang lebih rumit dan kurang

5
mudah dikenali pada wanita. Untuk pria, fetish memiliki fungsi

pertahanan, membantu memperkuat fungsi penis hingga potensi tertentu.

Fetish berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penis, yang tidak akan

bekerja dengan baik tanpanya.(5)

Pada wanita, fetishisme lebih jarang terjadi, terutama karena

perbedaan anatomi yang memungkinkan wanita menyembunyikan

respons seksual yang tidak memadai lebih mudah daripada pria. Wanita

dapat mengembangkan gejala yang lebih mirip dengan fetishisme pria

ketika ilusi memiliki lingga telah cukup kuat untuk mendekati proporsi

delusi; hal ini terjadi dalam kasus yang jarang terjadi di mana kesadaran

realitas wanita sangat terganggu.(5)

Kriteria Diagnostik

PPDGJ III merupakan adaptasi dari pedoman diagnostik ICD-

10(11) dan DSM-5(2). Kriteria diagnostik fetishisme berdasarkan PPDGJ

III, yaitu:(12)

• Mengandalkan pada beberapa benda mati (non-living objects)

sebagai rangsangan untuk membangkitkan rangsangan seksual dan

memberikan kepuasan seksual. Kebanyakan dari benda tersebut

(objek fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia, seperti pakaian

atau sepatu.

6
• Diagnosis ditegakkan apabila objek fetish benar-benar merupakan

sumber yang utama dari rangsangan seksual atau penting sekali

untuk respons seksual yang memuaskan.

• Fantasi fetishistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan

kecuali apabila menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa

dan tidak semestinya sampai mengganggu hubungan seksual dan

menyebabkan penderitaan bagi individu.

• Fetishistik terbatas hampir hanya pada pria saja.

2. Transvestisme Fetishistik

Definisi

Transvestisme Fetishistik adalah penggunaan pakaian lawan jenis

yang pada prinsipnya untuk membangkitkan gairah seksual dan

menciptakan penampilan lawan jenis. Transvestisme fetishistik dibedakan

dari transvestisme transeksual dengan hubungannya yang jelas dengan

gairah seksual dan keinginan kuat untuk melepaskan pakaian begitu

orgasme terjadi dan gairah seksual menurun. Ini dapat terjadi sebagai fase

awal dalam perkembangan transseksualisme.(11)

Transvestisme melibatkan gairah seksual yang berulang dan intens

dari cross-dressing, yang dapat bermanifestasi sebagai fantasi, dorongan,

atau perilaku. Gangguan transvestik adalah transvestik yang

menyebabkan distress yang signifikan atau gangguan fungsional yang

signifikan.(13)

7
Epidemiologi

Prevalensi gangguan transvestisme fetishistik tidak diketahui.

Gangguan transvestisme fetishistik jarang terjadi pada pria dan sangat

jarang pada wanita. Kurang dari 3% pria melaporkan pernah terangsang

secara seksual dengan mengenakan pakaian wanita. Persentase individu

yang melakukan cross-dressing dengan gairah seksual lebih dari sekali

atau beberapa kali dalam hidup mereka akan lebih rendah. Mayoritas laki-

laki dengan gangguan transvestisme fetishistik diidentifikasi sebagai

heteroseksual, meskipun beberapa individu kadang-kadang berinteraksi

seksual dengan laki-laki lain, terutama ketika mereka berpakaian

silang.(2) Kebanyakan laki-laki yang memiliki gangguan transvestisme

fetishistik adalah laki-laki yang sudah menikah.(5)

Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik Transvestisme Fetishistik berdasarkan PPDGJ

III, yaitu:(12)

• Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk

mencapai kepuasan seksual.

• Gangguan in harus dibedakan dari fetishisme (F65.0) dimana

pakaian sebagai objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi

juga untuk menciptakan penampilan seorang dari lawan jenis

kelaminnya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai

8
dan seringkali suatu perlengakapan yang menyeluruh, termasuk

rambut palsu dan tata rias wajah.

• Transvestisme Fetishistik dibedakan dari Transvestisme

transsexual oleh adanya hubungan yang jelas dengan bangkitnya

gairah seksual deng keinginan/hasrat yang kuat untuk melepaskan

baju tersebut apabila orgasme telah terjadi dan rangsangan seksual

menurun.

• Adanya riwayat Transvestisme Fetishistik biasanya dilaporkan

sebagai suatu fase awal oleh para penderita transseksualisme dan

kemungkinan merupakan suatu stadium dalam perkembangan

transseksualisme.

3. Ekshibisionisme

Definisi

Kecenderungan berulang atau terus-menerus untuk mengekspos

alat kelamin kepada orang asing (biasanya lawan jenis) atau orang di

tempat umum, tanpa mengundang atau bermaksud untuk melakukan

kontak lebih dekat. Biasanya ada, tetapi tidak selalu, rangsangan seksual

pada saat pemaparan dan tindakan tersebut biasanya diikuti dengan

masturbasi.(11)

9
Epidemiologi

Prevalensi gangguan eksibisionistik tidak diketahui. Namun,

berdasarkan tindakan seksual eksibisionistik pada populasi nonklinis atau

umum, kemungkinan prevalensi tertinggi untuk gangguan eksibisionistik

pada populasi pria adalah 2%-4%. Prevalensi gangguan eksibisionistik

pada wanita bahkan lebih tidak pasti tetapi umumnya diyakini jauh lebih

rendah daripada pria.(2)

Setelah tindakan pemaparan diri, umumnya tidak ada upaya untuk

melakukan aktivitas seksual lebih lanjut dengan orang asing, meskipun

eksibisionis mungkin merasakan keinginan untuk mengejutkan orang

asing atau mungkin memiliki fantasi bahwa orang tersebut akan

terangsang secara seksual.(5)

Eksibisionisme alat kelamin pada dasarnya adalah perilaku pria

dan jarang terjadi pada wanita. Hal ini dijelaskan oleh perbedaan jenis

kelamin dalam perkembangan castration complex dan karena adanya

perbedaan anatomi pada wanita. Eber dan Kohut menggambarkan

eksibisionisme perempuan sebagai gangguan narsisme tubuh.(5)

Pria dengan gangguan eksibisionisme, entah pemalu atau lancang,

digambarkan bahwa biasanya mereka merasa didominasi oleh wanita dan

membenci hal tersebut. Dengan mengekspos diri mereka sendiri, mereka

mencoba mengubah posisi mereka menjadi mendominasi daripada

didominasi. Eksibisionis merasa tindakan ini membuat perempuan

10
menjadi korban tak berdaya, bukan sebaliknya, merasa tak berdaya di

hadapan perempuan. Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa

eksibisionis memiliki rasa maskulinitas yang rapuh. Rasa ancaman

terhadap maskulinitas yang rapuh ini diimbangi dengan demonstrasi

kejantanan.(5)

Pria dengan gangguan eksibisionistik merasa sulit untuk

berhubungan dengan wanita secara keseluruhan. Sebaliknya, mereka

memandang perempuan hanya sebagai sarana untuk memberikan

kepuasan dan bukti terhadap kastrasi. Banyak eksibisionis sangat berhati-

hati dengan istri/pasangan mereka. Mereka berusaha keras untuk tidak

pernah melihat istri/pasangan mereka dalam keadaan telanjang ataupun

dilihat oleh pasangan mereka dalam keadaan telanjang. Hubungan seksual

cenderung kaku dan konvensional.(5)

Pada beberapa individu, eksibisionisme alat kelamin laki-laki

merupakan indikator pelanggaran seksual di masa depan. Dalam studi

longitudinal 1980, Bluglass menemukan bahwa 7% eksibisionis

dikemudian hari dihukum karena kontak seksual, termasuk

pemerkosaan.(5)

Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik Ekshibisionisme berdasarkan PPDGJ III,

yaitu:(12)

11
• Kecenderungan yang berulang atau mentap untuk memamerkan

alat kelamin kepada orang asing (biasanya lawan jenis kelamin)

atau kepada orang banyak di tempat umum, tanpa ajakan atau niat

untuk berhubungan lebih akrab.

• Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki

heteroseksual yang memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa,

biasanya menghadap mereka dalam jarak yang aman di tempat

umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau

terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.

• Pada beberapa penderita, ekshibisionisme merupakan satu-satunya

penyaluran seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini

dilanjutkan bersamaan (simultaneously) dengan kehidupan seksual

yang aktif dalam suatu jalinan hubungan yang berlangsung lama,

walaupun demikian dorongan menjadi lebih kuat pada saat

menghadapi konflik dalam hubungan tersebut.

• Kebanyakan penderita ekshibisionisme medapatkan kesulitan

dalam mengendalikan dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat

“ego-alien” (suatu benda asing bagi dirinya).

4. Voyeurisme

Definisi

Kecenderungan berulang atau terus-menerus untuk melihat orang

lain melakukan hubungan seksual atau membuka baju. Ini dilakukan

12
tanpa disadari oleh orang-orang yang diamati, dan biasanya mengarah

pada rangsangan seksual dan masturbasi.(11)

Istilah voyeurisme mengacu pada keinginan untuk melihat

ketelanjangan dan aktivitas koitus. Sulit membedakan kenikmatan

mengintip orang telanjang dari perilaku yang serupa tetapi menyimpang

dalam situasi lain. Ketika gangguan voyeuristik parah, mengintip adalah

bentuk aktivitas seksual eksklusif.(5)

Epidemiologi

Tindakan voyeuristik adalah perilaku seksual yang berpotensi

melanggar hukum yang paling umum. Prevalensi populasi gangguan

voyeuristik tidak diketahui. Namun, berdasarkan tindakan seksual

voyeuristik pada sampel nonklinis, prevalensi seumur hidup tertinggi

untuk gangguan voyeuristik adalah sekitar 12% pada pria dan 4% pada

wanita.(2)

Onsetnya biasanya sebelum usia 15 tahun, dan kelainannya

cenderung kronis. Luasnya kecenderungan voyeuristik dalam masyarakat

umum dibuktikan dengan keinginan bersama untuk menikmati kegiatan

eksploitatif seperti pertunjukan seks langsung dan pornografi.(5)

Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik voyeurisme berdasarkan PPDGJ III, yaitu:(12)

13
• Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang

yang sedang berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti

sedang menanggalkan pakaian.

• Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan

masturbasi, yang dilakukan tanpa orang yang diintip

menyadarinya.

5. Pedofilia

Definisi

Preferensi seksual terhadap anak-anak, laki-laki atau perempuan

atau keduanya, biasanya pada usia prapubertas atau awal pubertas.(11)

Epidemiologi

Prevalensi populasi penyakit pedofil tidak diketahui. Prevalensi

gangguan pedofilik tertinggi pada populasi pria adalah sekitar 3%-5%.

Prevalensi populasi penyakit pedofil pada wanita bahkan lebih tidak pasti,

tetapi kemungkinan besar merupakan sebagian kecil dari prevalensi pada

pria.(2)

Banyak pedofil memiliki riwayat pribadi hubungan orang tua-anak

yang tidak stabil saat masih anak-anak, terkadang disertai dengan

pelecehan seksual. Satu studi menunjukkan gangguan neurokognitif pada

usia dini dalam riwayat orang-orang dengan pedofilia. Mayoritas pedofil

memiliki preferensi seksual yang jelas. Kelompok yang tidak

14
berdiferensiasi atau biseksual hanya menyumbang 5-25% pedofil.

Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 60–90% insiden pelecehan

melibatkan anak perempuan.(5)

Variasi besar ada di antara pria yang menggunakan anak-anak

secara seksual. Sepertiga hingga setengahnya lebih memilih anak-anak

sebagai pasangan seksual. Yang lain tertarik pada anak-anak tetapi

bertindak berdasarkan impuls mereka hanya saat di bawah tekanan stress.

Beberapa (biasanya lebih muda dari 30 tahun) terbelakang secara sosial,

kurang pengalaman sesuai usia, dan memiliki perasaan malu dan rendah

diri; tidak dapat melakukan kontak dengan wanita dewasa, mereka

melanjutkan pola seksual praremaja(5)

Sekitar 37% dari korban kekerasan seksual yang dilaporkan ke

lembaga penegak hukum adalah remaja (<18 tahun); 34% dari semua

korban berusia di bawah 12 tahun. Satu dari 7 korban berusia di bawah 6

tahun. 40% persen pelaku yang menjadi korban anak-anak di bawah 6

tahun adalah remaja (<18 tahun).(5)

Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik pedofilia berdasarkan PPDGJ III, yaitu:(12)

• Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya prapubertas atau

awal masa pubertas, baik laki-laki maupun perempuan.

• Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan.

15
• Preferensi tersebut harus berulang dan menetap.

• Termasuk: laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner

seksual dewasa, tetapi karena mengalami frustrasi yang kronis

untuk mencapai hubungan seksual yang diharapkan, maka

kebiasaannya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.

6. Sadomasokisme

Definisi

Preferensi untuk aktivitas seksual yang melibatkan penderitaan

atau penghinaan, atau perbudakan. Jika subjek lebih suka menjadi

penerima rangsangan semacam itu, disebut masokisme; jika pelaku,

disebut sadisme. Seringkali seseorang mendapatkan gairah seksual

baik dari aktivitas sadis maupun masokis.(11)

Epidemiologi

Prevalensi populasi gangguan sadisme seksual tidak diketahui dan

sebagian besar didasarkan pada individu dalam pengaturan forensik.

Bergantung pada kriteria sadisme seksual, prevalensinya sangat

bervariasi, dari 2% hingga 30%. Di antara pelanggar seksual yang

dilakukan secara sipil di Amerika Serikat, kurang dari 10% mengalami

sadisme seksual. Di antara individu yang telah melakukan pembunuhan

bermotif seksual, tingkat gangguan sadisme seksual berkisar dari 37%

hingga 75%.(2)

16
Prevalensi populasi gangguan seksual masokisme tidak diketahui.

Di Australia, diperkirakan 2,2% pria dan 1,3% wanita telah terlibat dalam

sadisme dan masokisme, sadomasokisme, atau dominasi dan kepatuhan

dalam 12 bulan terakhir.(2)

Tindakan sadomasokis biasanya melibatkan berbagai macam

aktivitas, seperti mengikat diri, menutup mata, memukuli, sengatan listrik,

memotong, menusuk, dan penghinaan (misalnya, buang air kecil atau

buang air besar, dipaksa menggonggong, dilecehkan secara verbal, atau

dipaksa untuk berpakaian silang). Beberapa masokis seksual

menimbulkan rasa sakit melalui mutilasi diri, dan beberapa terlibat dalam

aktivitas kelompok atau menggunakan layanan yang disediakan oleh

pelacur. Hipoksifilia adalah bentuk masokisme berbahaya yang

melibatkan gairah seksual oleh kekurangan oksigen yang dicapai melalui

kompresi dada, tali, pengikat, kantong plastik, masker, atau bahan kimia.

Kekurangan oksigen dapat dilakukan sendiri atau dengan pasangan. Data

dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Kanada menunjukkan bahwa

1-2 kematian per juta populasi akibat praktik ini dilaporkan setiap

tahun.(5)

Beberapa pria masokis seksual juga menunjukkan fetisisme,

transvetisme fetisistik, atau sadisme seksual. Fantasi seksual masokis

kemungkinan besar hadir di masa kanak-kanak. Kegiatan masokis

biasanya dimulai pada masa dewasa awal, cenderung kronis, dan

umumnya melibatkan pengulangan tindakan yang sama. Beberapa orang

17
meningkatkan keparahan tindakan dari waktu ke waktu, dan peningkatan

keparahan ini dapat menyebabkan cedera atau kematian. Tingkah laku

yang diritualisasi adalah ciri khas adegan masokis; penyimpangan sekecil

apa pun dari skrip dapat mengakibatkan kegagalan untuk mencapai hasil

yang diinginkan. Fitur ini juga dipandang sebagai mekanisme di mana

masokis mempertahankan kendali.(5)

Fantasi seksual sadisme kemungkinan besar hadir di masa kanak-

kanak. Timbulnya aktivitas sadis umumnya terjadi pada masa dewasa

awal, dan perilaku sadis cenderung kronis. Meskipun beberapa individu

dengan gangguan sadisme seksual tidak meningkatkan keparahan

tindakan mereka dari waktu ke waktu, kebanyakan melakukannya. Ketika

dilakukan dengan orang yang tidak bersedia, aktivitas tersebut

kemungkinan besar akan diulangi sampai pelakunya ditangkap. Jika

sadisme seksual parah dan terkait dengan gangguan kepribadian

antisosial, korban dapat terluka parah atau dibunuh.(5)

Tidak ada garis yang jelas yang memisahkan sadisme seksual dari

masokisme seksual, dan kecenderungannya seringkali dapat

dipertukarkan. Kondisi tersebut dapat hidup berdampingan pada individu

yang sama, terkadang terkait dengan paraphilias lain. Hubungan ini

didukung oleh temuan bahwa mereka yang memiliki fantasi masokis juga

terlibat dalam fantasi sadis. Beberapa ahli teori psikoanalitik,

bagaimanapun, berpendapat bahwa kondisi tidak hidup berdampingan

dalam diri seseorang dan dinamikanya berbeda.(5)

18
Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik sadomasokisme berdasarkan PPDGJ III,

yaitu:(12)

• Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan peningkatan

atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (individu yang lebih

suka untuk menjadi resipien dari perangsangan demikian disebut

“masochism”, sebagai pelaku = “sadism”)

• Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari aktivitas

sadistic maupun masokistik.

• Kategori ini hanya digunakan apabila aktivitas sadomasokistik

merupakan sumber rangsangan yang penting untuk pemuasan seks.

• Harus dibedakan dari kebrutalan dalam hubungan seksual atau

kemarahan yang tidak berhubungan dengan erotisme.

7. Gangguan Preferensi Seksual Multipel

Kadang-kadang lebih dari satu preferensi seksual abnormal terjadi

pada satu orang dan tidak ada yang menduduki peringkat pertama.

Kombinasi yang paling umum adalah fetisisme, transvestisme, dan

sadomasokisme(11)

8. Gangguan Preferensi Seksual Lainnya

Berbagai pola preferensi dan aktivitas seksual lainnya, termasuk

melakukan panggilan telepon seksual, bergesekan dengan orang-orang

19
untuk rangsangan seksual di tempat umum yang ramai, aktivitas seksual

dengan binatang, dan penggunaan strangulasi atau anoksia untuk

meningkatkan rangsangan seksual.(11)

9. Gangguan Preferensi Seksual YTT (yang tidak tergolongkan)

Kategori ini berlaku untuk presentasi di mana gejala yang

merupakan karakteristik dari gangguan parafilik yang menyebabkan

gangguan atau gangguan yang signifikan secara klinis dalam bidang

fungsi sosial, pekerjaan, atau penting lainnya mendominasi tetapi tidak

memenuhi kriteria lengkap untuk salah satu gangguan dalam kelas

diagnostik gangguan paraphilic. Kategori gangguan preferensi seksual

YTT digunakan dalam situasi di mana dokter memilih untuk tidak

menentukan alasan kriteria tidak terpenuhi untuk gangguan paraphilic

tertentu, dan termasuk presentasi di mana tidak ada informasi yang cukup

untuk membuat diagnosis yang lebih spesifik.(11)

B. Tatalaksana(5)

Berbagai gangguan parafilik mempengaruhi berbagai macam orang.

Tingkat keparahan, kesusahan, dan gangguan (hingga dan termasuk perilaku

kriminal) akibat gangguan ini juga sangat bervariasi. Akibatnya, pilihan

pengobatan bervariasi dan harus mempertimbangkan kebutuhan khusus setiap

kasus. Pilihan pengobatan mungkin termasuk psikoterapi individu, terapi

kelompok, terapi perkawinan/pasangan, dan terapi keluarga, serta

20
farmakoterapi atau bahkan intervensi bedah (jarang), seperti yang

diindikasikan.

Untuk orang dewasa dengan gangguan eksibisionistik (mereka dengan

sosiopati dikecualikan), terapi kelompok telah efektif dalam meningkatkan

keterampilan sosial dan memberikan dukungan terhadap pelanggaran

tambahan. Secara khusus, terapi kelompok telah efektif dengan remaja yang

dihambat oleh rasa malu tetapi tidak dengan remaja yang sarat insting

kompulsif. Psikoterapi individu telah membantu banyak eksibisionis.

Sayangnya, eksibisionisme memiliki salah satu tingkat residivis tertinggi dari

semua pelanggaran seksual.

Gangguan fetishistik sering dimulai pada masa remaja dan biasanya

berlanjut. Pengobatan fetish spesifik dan bukan dinamika dasar primer belum

terlalu menjanjikan. Teknik perilaku menunjukkan hasil yang menjanjikan,

terutama jika dibantu dengan tindak lanjut yang memadai.

Banyak orang dengan kelainan pedofilik telah lama memiliki fantasi

seksual tentang anak-anak. Akibatnya, perubahan bisa menjadi sangat sulit.

Dokter dapat mencoba mengurangi intensitas fantasi dan membantu pelaku

mengembangkan strategi penanganan. Pelaku kekerasan harus (tetapi

seringkali tidak) mau mengakui masalahnya dan berpartisipasi dalam

pengobatan. Psikoterapi dinamis, teknik perilaku, pendekatan kimiawi, dan

intervensi bedah memberikan hasil yang beragam. Pemeliharaan seumur

hidup mungkin merupakan pendekatan yang paling pragmatis dan realistis.

21
Sayangnya, individu dengan masokisme seksual atau gangguan

sadisme jarang hadir untuk perawatan sampai seseorang menjadi pasangan

yang tidak mau atau terluka. Keseriusan dan intensitas perilaku ini sering kali

meningkat seiring waktu. Prognosis bervariasi, tergantung pada kedalaman

dinamika yang mendasari (yang sangat buruk jika melibatkan sosiopati) dan

tingkat motivasi pasien.

1. Intervensi Psikoterapeutik

a. Cognitive-behavioral therapy

Terapi perilaku kognitif (CBT) melibatkan penerapan teknik

terapi perilaku untuk memodifikasi penyimpangan seksual dengan

mengubah pola pikir pasien yang terdistorsi dan membuat mereka

menyadari pembenaran irasional yang mengarah pada perilaku seksual

yang tidak diinginkan. Ini dapat digunakan sesuai dengan pendekatan

7 langkah, sebagai berikut:

1) Pengondisian agresif dengan amonia atau (masturbasi) satiation

2) Konfrontasi distorsi kognitif (sangat efektif dalam kelompok)

3) Empati korban (menampilkan video korban dan konsekuensi yang

mereka alami dari tindakan pasien)

4) Pelatihan ketegasan (termasuk pelatihan keterampilan sosial,

manajemen waktu, dan penataan)

5) Pencegahan kambuh (mengidentifikasi anteseden perilaku [situasi

berisiko tinggi] dan cara mengganggu anteseden ini)

22
6) Sistem pengawasan (rekan keluarga yang membantu memantau

perilaku pasien)

7) Pemeliharaan seumur hidup

b. Orgasmic reconditioning

Dalam rekondisi orgasmik, pasien direkondisi ke rangsangan

seksual yang lebih tepat. Pertama, pasien diinstruksikan untuk

bermasturbasi sesuai dengan rangsangan khasnya yang kurang dapat

diterima secara sosial. Kemudian, sebelum orgasme, pasien diminta

untuk berkonsentrasi pada fantasi yang lebih dapat diterima. Proses ini

diulangi pada titik-titik yang semakin awal sebelum orgasme sampai,

pada akhirnya, pasien memulai fantasi masturbasi dengan rangsangan

yang sesuai.

c. Social skills training

Karena pandangan luas bahwa gangguan paraphilic

berkembang pada pasien yang tidak memiliki kemampuan untuk

mengembangkan hubungan, banyak terapis dan dokter menggunakan

pelatihan keterampilan sosial untuk merawat pasien dengan jenis

gangguan ini. Mereka mungkin bekerja pada masalah-masalah seperti

mengembangkan keintiman, melakukan percakapan dengan orang

lain, dan pelatihan keterampilan yang tegas. Banyak kelompok

pelatihan keterampilan sosial juga mengajarkan pendidikan seksual

dasar, yang sangat membantu populasi pasien ini.

23
d. Twelve-step programs

Banyak dokter dan terapis merujuk pasien dengan paraphilias

ke program 12 langkah yang dirancang untuk "pecandu seksual".

Seperti Alcoholics Anonymous, program-program ini dirancang untuk

memberikan kendali kepada anggota kelompok, yang memimpin

sebagian besar sesi. Untuk meningkatkan kesadaran akan masalah

tersebut, program memasukkan restrukturisasi kognitif dengan

dukungan sosial. Kelompok ini juga berfokus pada rasa "kekuatan

yang lebih tinggi" dan ketergantungan setiap individu pada

spiritualitas.

e. Group therapy

Terapi kelompok dalam pengaturan ini dirancang untuk

membantu individu parafilik menerobos penyangkalan yang biasanya

mereka tunjukkan dengan mengelilingi mereka dengan pasien lain

yang memiliki kondisi yang sama. Begitu orang-orang ini mulai

mengakui bahwa mereka memiliki kelainan seksual, terapis dapat

mulai menangani masalah individu (misalnya, pelecehan seksual di

masa lalu) yang mungkin menyebabkan gangguan seksual.

Ketika masalah individu ini telah diidentifikasi, permulaan

terapi tipe gestalt (dengan korban, jika ada) mungkin diperlukan untuk

membantu pasien mengatasi rasa bersalah dan malu yang terkait

dengan paraphilia khusus mereka. Tujuan dari jenis terapi ini adalah

24
mengarahkan pasien pada "penyesalan yang sehat". Pasien-pasien ini

membutuhkan terapi seumur hidup untuk mengurangi kemungkinan

kambuh.

f. Individual expressive-supportive psychotherapy

Terapi suportif ekspresif individu membutuhkan pasien yang

berpikiran psikologis yang bersedia untuk fokus pada paraphilia.

Terapis seharusnya tidak menetapkan tujuan tinggi yang tidak realistis

tetapi harus menerobos penyangkalan. Kontra-transferensi dan

penghindaran pasien dapat menjadi masalah khusus dengan bentuk

terapi ini. Jika terapi memungkinkan pasien untuk menerobos

penyangkalan, mereka kemudian dapat mengerjakan makna bawah

sadar di balik paraphilia tertentu.

2. Terapi Farmakologis

Intervensi farmakologis dapat digunakan untuk menekan perilaku

seksual. Perawatan ini mungkin menawarkan bantuan yang tulus untuk

berbagai pasien dengan gangguan paraphilic; namun, banyak efek samping

telah dilaporkan. Selain itu, pertanyaan etika, medis, dan hukum telah

diajukan mengenai masalah persetujuan yang diinformasikan, terutama di

rumah sakit dan pengaturan penjara.

Pengobatan yang dapat dipertimbangkan dalam pengobatan

gangguan paraphilic termasuk yang berikut ini:

25
• Antidepresan, seperti lithium dan berbagai inhibitor reuptake

serotonin selektif (SSRIs)

• Long-acting gonadotropin-releasing hormones (ie, medical

castration), seperti leuprolida asetat dan triptorelin

• Antiandrogen (untuk menurunkan gairah seks), seperti

medroxyprogesterone acetate (10 mg setiap 12 jam, dengan dosis

dua kali lipat setiap 3 hari hingga maksimum 200 mg / hari,

kemudian dipertahankan selama 1 bulan dan disesuaikan

seperlunya)

• Fenotiazin, seperti fluphenazin

• Mood stabilizer

SSRI dapat diresepkan secara khusus untuk mengobati gangguan

seksual kompulsif terkait, untuk menginduksi efek samping seksual yang

menurunkan libido, atau keduanya. Dosis yang digunakan lebih tinggi

daripada yang biasanya diberikan untuk depresi. Kisaran dosis biasa untuk

beberapa SSRI yang biasa digunakan dalam pengaturan ini adalah sebagai

berikut:

• Sertraline - 150–200 mg / hari

• Fluoxetine - 20–80 mg / hari

• Fluvoxamine - 200–300 mg / hari

• Citalopram - 20–80 mg / hari (perlu hati-hati dalam dosis> 40 mg /

hari dengan risiko perpanjangan QTc)

26
• Escitalopram - 10–40 mg / hari (perlu hati-hati dalam dosis> 20 mg

/ hari dengan risiko perpanjangan QTc)

• Paroxetine - 20–60 mg / hari

3. Bedah

Psikosurgeri menggunakan traktotomi stereotaxic dan leucotomy

limbik dapat dilakukan. Ini adalah prosedur invasif, tindakan irreversible

yang digunakan pada sejumlah kecil subjek, terutama di Jerman. Beberapa

keberhasilan telah dilaporkan dalam pengobatan pedofilia,

hiperseksualitas, dan eksibisionisme. Mengingat efek samping emosional,

fisik, dan intelektual, serta masih tersedianya intervensi farmakologis yang

sesuai, prosedur ini jarang digunakan secara luas.

Orkidektomi bilateral (pengebirian bedah) telah digunakan sejak

abad ke-19 di Eropa dan Amerika, meskipun tidak di Eropa Barat sebelum

tahun 1970-an. Mengingat efek merugikan dari prosedur ini (misalnya,

gangguan berat badan, ginekomastia, hot flashes, osteoporosis dan nyeri

tulang pada pasien lanjut usia, depresi), prosedur ini juga tidak digunakan

secara luas; intervensi farmakologis biasanya lebih sering digunakan

karena memberikan alternatif yang reversible.

C. Prognosis(5)

Sulit untuk memprediksi prognosis parafilia. Hasil pengobatan jangka

panjang tampaknya membutuhkan pendekatan yang mengatasi dinamika yang

mendasari yang melampaui paraphilia sederhana itu sendiri. Morbiditas atau

27
mortalitas paraphilia bergantung pada tindakan yang dilakukan, komorbiditas

yang terlibat, kerjasama pasien dengan terapis, dan apakah sistem hukum

terlibat atau tidak.

Paraphilias dapat bersifat sementara, seperti yang ditunjukkan oleh

eksperimen yang dilakukan karena rasa ingin tahu yang besar selama masa

remaja, atau dapat tetap menjadi masalah seumur hidup yang melibatkan

masalah hukum, keuangan, interpersonal, pekerjaan, akademik, dan lainnya.

Kematian dapat terjadi dalam beberapa keadaan, melalui tindakan seperti

autoerotic asphyxiation. Perawatan dan prognosis harus didasarkan pada

penilaian individu.

Karakteristik berikut umumnya terkait dengan prognosis yang baik:

• Sikap kooperatif

• Kehidupan seks normal

• Termotivasi, dengan keinginan untuk berubah

• Sukarela menjalani pengobatan

Karakteristik berikut umumnya dikaitkan dengan prognosis yang buruk:

• Awal paraphilia pada usia lebih muda

• Adanya tuntutan hukum

• Tidak termotivasi

• Sikap tidak kooperatif

• Paraphilia sebagai satu-satunya aktivitas seksual atau outlet

28
• Komorbiditas

• Kurangnya penyesalan atas tindakan

29
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan paraphilic membentuk kumpulan diagnosis yang heterogen

berdasarkan minat seksual yang menyimpang. Gangguan ini mempengaruhi

beberapa individu untuk terlibat dalam perilaku yang dapat mengakibatkan

pelanggaran seksual dan oleh karena itu merupakan target intervensi penting

bagi psikiater dan masyarakat luas. Pilihan pengobatan hanya sedikit dan

penelitian tentang kemanjuran dan keefektifannya terbatas. Agen biologis

yang saat ini digunakan termasuk inhibitor reuptake serotonin selektif dan

obat antiandrogen seperti analog steroid sintetis dan analog hormon pelepas

gonadotropin. Meskipun bukti yang tersedia terbatas untuk mendukung

penggunaan obat-obatan ini pada individu dengan gangguan paraphilic, ada

upaya baru-baru ini untuk mengembangkan pedoman praktis untuk

penggunaan dan pendekatan pengobatan rasional. Umumnya, pendekatan ini

merekomendasikan pengobatan yang lebih agresif untuk individu dengan

gangguan paraphilic yang lebih parah yang berisiko membahayakan diri

mereka sendiri dan masyarakat. Penelitian neuroimaging memberikan

harapan bahwa ketika pengetahuan kita tentang substrat saraf dari minat dan

perilaku seksual yang menyimpang tumbuh, kita mungkin dapat

mengidentifikasi orang-orang yang paling berisiko terkena dan paling

membutuhkan perawatan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher KA, Marwaha R. Paraphilia. NCBI Bookshelf Paraphilia. 2020;

2. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders Fifth Edition DSM-5. 5th ed. Washington, DC London,
England: American Psychiatric Publishing; 2013. 970 p.

3. Lew-Starowicz M, Giraldi A, Krüger THC. Psychiatry and Sexual


Medicine: A Comprehensive Guide for Clinical Practitioners. Vol. 1.
Switzerland: Springer Nature Switzerland; 2021. 511 p.

4. Kaplan, Sadock. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical


Psychiatry. 4th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2017.

5. Reardon CL, Bienenfeld D. Paraphilic Disorders. EmedicineMedscape


[Internet]. 2020;1–21. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/291419

6. Brown GR. Fetishistic Disorder | Psychology Today [Internet]. MSD


Manual Professional Edition. 2019 [cited 2021 Mar 16]. Available from:
https://www.psychologytoday.com/us/conditions/fetishistic-disorder

7. Jannini E, Foresta C, Lenzi A, Maggi DaviddLRowland


EmmanueleeAJanniniiEditors M. Cultural Differences and the Practice of
Sexual Medicine A Guide for Sexual Health Practitioners [Internet].
Switzerland: Springer Nature Switzerland AG; 2020. 346 p. Available
from: http://www.springer.com/series/13846

8. Patricelli K. Fetishistic Disorder [Internet]. Southwest Alabama Behavioral


Health Care Systems. 2021 [cited 2021 Mar 16]. p. 3. Available from:
https://www.swamh.com

9. Joyal CC, Carpentier J. The Prevalence of Paraphilic Interests and


Behaviors in the General Population: A Provincial Survey. J Sex Res.

31
2017;54(2):161–71.

10. Meston C. The Sexual Psychophysiology Laboratory. Fetishes [Internet].


The University Of Texas at Austin. 2013. Available from:
http://homepage.psy.utexas.edu/HomePage/Group/MestonLAB/HTM
files/Resources_msd_para.htm

11. WHO. International Statistical Classification of Diseases and Related


Health Problems, 10th Revision ICD-10 [Internet]. 5th ed. Vol. 1, World
Health Organization. 2016. 1080 p. Available from:
http://www.who.int/classifications/icd/icdonlineversions/en/

12. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya; 2013. 335 p.

13. Brown GR. Transvestic Disorder [Internet]. Sexuality, Gender Dysphoria,


and Paraphilias. 2019. Available from:
https://www.msdmanuals.com/professional/psychiatric-
disorders/sexuality,-gender-dysphoria,-and-paraphilias/transvestic-disorder

32

Anda mungkin juga menyukai