TREPANASI
A. DEFINISI
Trepanasi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak
untuk tindakan pembedahan definitif.
Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor,
mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. Jadi post
trpanasi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang tengkorak untuk, untuk
mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan
perdarahan
Gambar 1. Cranium
Gambar 2 Craniotomy
B. RUANG LINGKUP
Epiduran hematoma terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga tengkorak dan
cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di daerah
temporal atau temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri,
namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH
terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora
posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh
penderita trauma kepala dan 9 % dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus
dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat.
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik
karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
berlangsung lama. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,
pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan
tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan
oleh adanya massa extra aksial.
C. INDIKASI OPERASI
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut :
a. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
b. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
c. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
d. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
e. Mengurangi tekanan intrakranial.
f. Mengevakuasi bekuan darah .
g. Mengontrol bekuan darah,
h. Pembenahan organ-organ intrakranial,
i. Tumor otak,
j. Perdarahan (hemorrage),
k. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
l. Peradangan dalam otak
m. Trauma pada tengkorak.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) :
F. DIAGNOSIS BANDING
Hematom intracranial lainnya
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :
a. Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran
ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.
Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark
mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma
b. Pencitraan resonans magnetik (MRI)
Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di potongan
lain.
c. Electroencephalogram (EEG)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
d. Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan trauma
e. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
f. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
g. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme
pada otak
h. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
i. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK
j. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
k. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
H. PENATALAKSANAAN
1) PRAOPERASI
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan medikasi
antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pascaoperasi. Sebelum
pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk mengurangai edema serebral.
Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan
secara intravena segera sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung
menahan air, yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter
urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk mengalirkan
kandung kemih selama pemberian diuretik dan untuk memungkinkan haluaran urinarius
dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik bila serebral sempat terkontaminasi atau
deazepam pada praoperasi untuk menghilangkan ansietas. Kulit kepala di cukur segera
sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga adanya abrasi superfisial tidak
semua mengalami infeksi.
2. PASCAOPERASI
a. Mengurangi Edema Serebral
Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian manitol, yang
meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak (dengan sawar darah-
otak utuh). Cairan ini kemudian dieksresikan melalui diuresis osmotik. Deksametason dapat
diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam ; selanjutnya dosisnya
dikurangi secara bertahap.
b. Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering
kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya sebagai akibat syaraf
kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein, diberikan lewat
parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan
(fenitoin, deazepam) diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi supratentorial,
karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum
dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
c. Memantau Tekanan Intrakranial
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada pasien yang
menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter disambungkan ke sistem
drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK
dapat di kaji dengan menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke selang bertekanan
dan tranduser. TIK dalam dipantau dengan memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk
menjamin bahwa sistem tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa stopkok ada
pada posisi yang tepat untuk menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat
mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat
ketika tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter
tanpak tersumbat. Pirau ventrikel kadang dilakuakan sebelum prosedur bedah tertentu untuk
mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior
F. TEKNIK OPERASI
1. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk
memudahkan operator. Head-up kurang lebih
15o (pasang donat kecil dibawah kepala).
Letakkan kepala miring kontralateral lokasi
lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja
(pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke
kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan
lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik.
Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak
dengan meja operasi
3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan
melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk
menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis
cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis
orbita).
4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang
mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
5. Prosedur Operasi
a. Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
b. Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
c. Buka flap secara tajam pada loose
connective tissue. Kompres dengan
kasa basah. Di bawahnya diganjal
dengan kasa steril supaya
pembuluh darah tidak tertekuk
(bahaya nekrosis pada kulit
kepala). Klem pada pangkal flap
dan fiksasi pada doek.
d. Buka pericranium dengan diatermi.
Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole
dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
e. Penentuan lokasi burrhole idealnya pada
setiap tepi hematom sesuai gambar CT
scan.
f. Lakukan burrhole pertama dengan mata
bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang
melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
H. MORTALITAS
Tergantung beratnya cedera otak
I. PERAWATAN PASCABEDAH
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
J. FOLLOW-UP
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung.
Cetakan I.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta :
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8.
Jakarta: EGC.
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC