Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

I. Batasan.
Adhesi intraperitoneal merupakan suatu perlengketan fibrosa yang abnormal di antara
permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum visceral maupun antara
peritoneum visceral dengan parietal.
Adhesi intraperitoneal pasca operasi merupakan kejadian yang sering dijumpai dan menjadi
morbiditas serta mortalitas bagi pasien. Kebanyakan kejadian adhesi intraperitoneal disebabkan
oleh operasi sebelumnya, didapatkan proses adhesi yang meningkat satu sampai sepuluh kali
pada pasien pasca operasi intraabdomen. .(1,2,3)
Adhesi intraperitoneal merupakan penyebab terbanyak infertilitas sekunder pada wanita.
Penelitian di Swedia, obstruksi usus karena adhesi meningkatkan biaya kesehatan yang
dibayarkan oleh pemerintah, di negara Eropa lainnya dan Amerika kejadian adhesi ini juga
menjadi masalah utama dalam pembiayaan kesehatan. Di Indonesia berdasarkan penelitian oleh
Sutjipto indikasi relaparotomi karena obstruksi akibat adhesi berkisar 17,7 %.
Masalah yang ditimbulkan akibat adhesi intraperitoneal berefek pada pasien, dokter bedah, dan
sistem pelayanan kesehatan. Pada pasien terjadi ileus obstruksi, ileus obstruksi rekuren,
infertilitas pada wanita, chronic abdominal dan pelvic pain, hilangnya hari kerja dan
menurunnya produktivitas kerja pasien, serta mengurangi kualitas hidup pasien. Efek terhadap
dokter bedah dimana kejadian adhesi ini meningkatkan risiko kemungkinan replarotomi,
meningkatkan waktu reoperasi / relaparotomi, meningkatnya intensitas dan risiko pembedahan.
Efek terhadap sistem pelayanan kesehatan berupa peningkatan biaya perawatan di rumah sakit,
secara rata-rata, adhesiolysis pada prosedur bedah akan menambah 1 – 2 hari perawatan di
rumah sakit. .(1,3)
II. Etiopatogenesis dan Patofisiologi.
Peritoneum terdiri dari dua lapisan, parietal dan visceral. Lapisan parietal melapisi dinding
anterior dan posterior rongga abdomen sedangkan lapisan visceral melapisi organ-organ visceral.
Total luas peritoneum 1.8 m² yang terdiri dari sel mesotelial mikroviili 1.5 – 3.0 mm, sel kuboid,
sel datar, dan membran basalis berupa kolagen, protein, serat elastik, fibroblas, sel adiposa, sel
endotelial, sel mast, eosinofil.
Gambar 1 Penampang melintang peritoneum.

Proses penyembuhan peritoneum, menurut Hertzler, seluruh permukaan dilapisi endotel secara
simultan dan sembuh dalam 5-6 hari dimana jumlah makrofag mengalami peningkatan dan
perubahan fungsi, metabolit siklooksigenase, lipooksigenase, elastase, plasminogen activator,
PAI, kolagenase, IL 1 & 6, TNF, leukotrin B4, prostaglandin E2 juga mengalami peningkatan.
Terjadi perekrutan sel mesotelial dan membentuk pulau-pulau kecil mesotel yang akan melapisi
daerah cedera. .(5,6)

Gambar 2 proses awal penyembuhan dari peritoneum yang mengalami trauma


Gambar 3 Proses terbentuknya adhesi peritoneal

Terdapat dua proses pada penyembuhan luka dari peritoneum: Fase inisial dengan
munculnya sel-sel fagositik dan proliferasi sel-sel jaringan perivaskular subperitoneal.
Etiologi dari adhesi intraperitoneal adalah: trauma operasi, iskemia jaringan, infeksi,
reaksi alergi dan darah, benda asing iritatif, keseimbangan proses pro dan anti inflamasi, aktivitas
fibrinolitik. .(4,5)
Skema Proses Penyembuhan Peritoneum dan terbentuknya adhesi

III. Penatalaksanaan Adhesi Intraperitoneal


Usaha pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal menurut Ellis:
1. Pencegahan deposisi dari fibrin dengan pemberian antikoagulan ( heparin, aprotinin dan
lain- lain).
2. Menghilangkan eksudat fibrin dari rongga peritoneum dengan agen-agen fibrinolitik :
fibrinolisin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, kimotripsin, tripsin, pepsin dan
plasminogen activator
3 Pencegahan proliferasi fibroblas dengan pemberian anti inlamasi : kortikosteroid,
NSAID, antihistamin, progesteron, Ca blocker dan kolkisin.
4. Pemisahan mekanik pemakaian larutan makromolekul : kristaloid, 32% dextran 70, asam
hyaluronat, karboksimetilselulosa, sarung tangan bebas bedak, lavase peritoneum,
penempatan omentum di bawah penutupan luka, eksprimen menunjukkan bahwa
penjahitan peritoneum akan memacu timbulnya adhesi.
Pemakaian laparoskopi dalam penatalasanaan pembedahan intara abdoman mengurangi
kejadian ahesi intraperitoneal, nyeri abdomen kronik, cedera peritoneum dan jaringan minimal,
pemakaian CO2 pada laparoscopi menekan respon metabolik sel peritoneum. Menurut Sato
(2001), keberhasilan adhesiolisis dengan laporoskopi sebesar 82,4 % dan rekurensi gejala yg
lebih jarang. .(2,3)
Pendekatan yang dilakukan untuk menghindari terjadinya adhesi intraperitoneal seorang
ahli bedah harus menjaga hemostasis yang baik, mempertahankan suplai aliran darah yang
adekuat, menghindari iskemia jaringan, mempertahankan kelembaban jaringan, menghindari
pemakaian kasa kering, melakukan manipulasi jaringan secara halus, menggunakan benang yang
halus dan non reaktif, menghindari jahitan peritoneum yang ketat, menghindari benda asing
masuk kelapangan operasi, mencegah terjadinya ileus paralitik yang berlarut pasca bedah,
mencegah timbulnya infeksi dan menghindari tertinggalnya jaringan nekrotik pada area operasi.
(,2,3,4)

KARAKTERISTIK PENDERITA ADHESI INTRAPERITONEAL


PASCA OPERASI
DI RSUP SANGLAH DENPASAR
(Suatu Studi Retrospektif)

I. Latar Belakang dan Tujuan Penelitian.


Dalam satu dekade terakhir dilaporkan adanya peningkatan insiden adhesi intraperitoneal
pasca operasi yang disebabkan oleh trauma operasi, iskemia jaringan, infeksi, reaksi alergi dan
darah, serta benda asing yang iritatif.. Penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk mempelajari
karakteristik dan gambaran umum penderita adhesi intraperitoneal pasca operasi di bagian Bedah
RSUP Sanglah Denpasar, selama periode Januari 2009 sampai Desember 2009.

II. Metode, Tempat dan Waktu Penelitian.


Penelitian deskriptif ini dikerjakan secara retrospektif dengan mencatat dan
mengidentifikasi semua kasus adhesi intraperitoneal pasca operasi yang telah dilakukan tindakan
pembedahan di unit gawat darurat dan rekam medik RSUP Sanglah Denpasar selama bulan
Januari 2009 sampai Desember 2009.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan.


Total penderita adhesi intraperitoneal pasca operasi yang telah dilakukan tindakan
pembedahan dan menjalani rawat inap di unit gawat darurat rumah sakit Sanglah selama 1 tahun
terakhir adalah sebanyak 14 orang, yang terdiri dari penderita laki-laki 7 orang (50 %) dan
perempuan 7 orang (50 %).

Gambar 1. Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin

Dari kepustakaan disebutkan penderita adhesi intraperitoneal pasca operasi lebih banyak
didapatkan pada wanita dari pada laki-laki hal ini disebabkan banyaknya komplikasi pasien-
pasien wanita pasca sectio sesaria yang mengalami adhesion.
Berdasarkan usia penderita, ditemukan terbanyak pada usia 30-50 tahun, yaitu
sebanyak 7 orang (50%), 4 orang (29%%) berusia antara 10-20 tahun, 3 orang (21%) berusia
diatas 50 tahun.
Gambar 2. Distribusi penderita berdasarkan usia.

Dari kepustakaan rentang usia dengan faktor resiko tertinggi untuk terjadinya adhesi pada usia
20 sampai 40 tahun, hal ini disebabkan oleh seringnya dilakukan operasi –operasi pada abdomen
yang tidak dilakukan dengan laparoscopy selain faktor resiko yang lain yang mendukung untuk
terjadiya adhesi.
Keluhan tersering dari pasien dengan adhesi pasca operasi adalah ileus obstruksi 12
orang (86%), akut abdomen 2 orang (14%)

Gambar 3. Distribusi penderia berdasarkan keluhan


Berdasarkan kepustakaan keluhan tersering dari pasien adhesi intraperitoneal adalah
ileus obstruksi dimana pasien datang sering dengan perut yang distensi, tidak bisa bab dan
muntah dan sering disertai dengan dehidrasi dari ringan hingga berat. Pada penelitian ini
kebanyakan pasien telah dirawat sebelumnya di rumah sakit lain ataupun dikonsulkan dari
bagian diluar bedah dengan ileus dan dengan riwayat operasi pada rongga perut sebelumnya.
Tempat adhesi terbanyak ditemukan pada ileum 7 orang (50%), pada ileum dengan
uterus 5 orang (36%), ovarium dengan sigmoid 1 orang ( 7%), ovarium dengan jejunum 1 orang
(7%).

Gambar 4. Distribusi penderita berdasarkan tempat terjadinya adhesi


Kepustakaan menyebutkan hampir lebih dari 50% tempat terjadinya adhesi pada usus halus,
walaupun lokasi tepatnya pada usus halus tidak disebutkan, pada penelitian ini ileum
merupakan tempat tersering terjadinya adhesi kemungkinan disebabkan karena ileum bagian
dari usus halus yang panjang dan berbatasan langsung dengan usus besar serta pada operasi –
operasi yang sebelumnya sering melakukan manipulasi pada ileum.
Lama terjadinya adhesi setelah operasi yang pertama terbanyak setelah 2 tahun 7 orang
(50%), setelah 1 tahun 6 orang (43%), setelah 2 minggu pasca operasi 1 orang (7%).
Gambar 5. Distribusi penderita berdasarkan waktu terjadinya adhesi

Proses terjadinya adhesi berdasarkan kepustakaan dapat terjadi awal dan lanjut setelah operasi
hal ini ditentukan oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya adhesi pasca operasi
seperti yang dijelaskan pada tinjauan pustaka. Waktu terjadinya adhesi pasca operasi berkisar
dari 11 hari hingga 34 tahun. Pada penelitian ini timbulnya komplikasi dari adhesi terbanyak
setelah 2 tahun
Operasi yang tersering menimbulkan adhesi pasca operasi adalah laparotomi 6 orang
(43%), sectio sesaria 4 orang (29%), histerectomy 2 orang (14%), appendisectomy 2 orang
(14%). Pada semua kasus adhesi intraperitoneal pasca operasi dilakukan laparotomi adhesiolisis
(release adhesion).
Gambar 6. Distribusi penderita berdasarkan riwayat operasi sebelumnya
Penderita dengan adhesi intraperitoneal umumnya terjadi setelah dilakukan manipulasi
pada cavum abdomen termasuk pada organ didalamnya. Berdasarkan kepustakaan operasi yang
tersering menimbulkan kejadian adhesi adalah laporotomy hal ini disebabkan teknik operasi ini
memungkinkan untuk dilakukannya manipulasi yang banyak pada usus, pembilasan / pencucian
usus pasca operasi yang kurang optimal, dan berbagai tindakan operator yang dapat menjadi
pemicu terjadinya adhesi.

IV. Kesimpulan.
Adhesi intraperitoneal pasca operasi kejadianya sama antara laki-laki dan perempuan dengan
peak incidence antara usia 30-50 tahun. Lokasi adhesi tersering pada ileum. Kondisi operasi
pertama dan penanganan durante operasi yang pertama akan menentukan cepat tidaknya
terjadinya adhesi intraperitoneal pasca operasi.

V. Saran.
Dalam penelitian ini penderita tidak diikuti secara penuh melalui kontrol poliklinik
postoperatif, sehingga keluhan-keluhan (termasuk rekurensi) penyakit primer baik berupa adhesi
berulang maupun komplikasi lainnya setelah dilakukan tindakan tidak terdeteksi. Oleh karena
itu perlu dilakukan monitoring bahkan observasi prospektif untuk menilai keberhasilan
pengobatan dan kemungkinan komplikasi adhesi yang berulang setelah tindakan adhesiolisis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Livingstone EH. Ileus Obstruction. In: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, et al, editors.
Surgery Basic Science and Clinical Evidence. 1st ed. New York: Springer-Verlag; 2001.
p.492-496.
2. Jacocks A, Talavera F, Grosso MA, Zamboni P, Geibel J, editors. Intestinal adhesion.
Available in: http://www.emedecine.com/med/topic2822.htm. Last Updated: April 12,
2006.
3. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, editor. Lambung dan Duodenum dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi pertama. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 1997. hal.730-745.
4. Doherty GM, Way LW. Ileus. In: Doherty GM, Way LW, editors. Current Surgical
Diagnosis and Treatment. 11th ed. New York: Mc Graw Hill; 2003. p.553-555.
5. Kanne JP, Gunn M, Blackmore CC, editors. Delayed Gastric Perforation from
Hydrochloric Acid Ingestion. AJR, 2005 September; 185: 682-684.
6. Jakson B, Grey J, editors. Adhesi. Available in
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1876976/ Last update : May 12 2009
7. Xafier F, Zenisi P, Romien R B, editors. Adhesion Post Laparotomy. Available in:
http://www.humupd.oxfordjournals.org/cgi/content/abstract/7/6/577 Last Updated: April
5, 2009.

Anda mungkin juga menyukai