Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“PERAWATAN PASIEN DENGAN VENTILATOR"

DISUSUN OLEH

THEODORA WULANTA
1814201037

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO


FAKULTAS KEPERAWATAN
2023
KATA PENGANTAR

Pukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kelimpahan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah ditentukan
yang berjudul “Perawatan Pasien Dengan Menggunakan Mekanik”. Penyusunan makalah ini
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Kritis. Dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekeliruan dan kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif dan
membangun demi kesempurnaan penyusun kedepannya. Tugas makalah ini tidak mungkin dapat
terselesaikan tanpa bantuan, arahan serta bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu izinkan
kami menyampaikan ucapat terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan tugas ini. Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Ruang ICU (Intensive Care Unit) adalah ruangan yang khusus untuk

semua pasien yang mengalami sakit kritis, baik karena penyakit dengan

infeksi berat atau pasien yang mengalami operasi dengan resiko yang besar,

dimana pasien yang dirawat di icu memiliki criteria tertentu. Salah satunya

adalah pasien gagal nafas, Pasien dengan gagal nafas harus dilakukan

pemasangan pipa nafas dan ventilator. Jika pasien mampu mempertahankan

pernafasan dengan adekuat maka proses weaning bisa dimulai agar pasien

bisa segera dilakukan pelepasan selang endotracheal dan pasien bisa

bernafas secara spontan tanpa bantuan alat. Weaning dapat diartikan sebagai

usaha untuk melepaskan penderita dari ketergantungan ventilasi mekanik

yang dilakukan secara bertahap. Dengan kata lain weaning berarti

pengurangan bantuan hingga penghentian pemberian terapi oksigen ventilasi

mekanik karena kebutuhan ventilasi pasien terpenuhi. Dapat disimpulkan

bahwa weaning merupakan rangkaian proses pelepasan pasien dari bantuan

ventilasi mekanik dan berlangsung secara bertahap yang titik puncaknya

adalah proses ekstubasi / pelepasan jalan napas buatan dari tubuh pasien.

Perawat berperan penting dalam membantu pasien kritis untuk

bernapas, perawat harus cakap dan terampil dalam mengkaji kebutuhan

pasien, memberi asuhan yang cepat dan efisien, mengevaluasi hasil

intervensi, juga mendukung, memberi penyuluhan serta mempersiapkan

pasien dan keluarga. Salah satunya adalah terapi oksigen yang betujuan

1
2

untuk memperbaiki hipoksemia, menurunkan kerja pernapasan dan

mengurangi kerja miokardium, karena setiap proses penyakit yang

mengubah pertukaran gas dapat menyebabkan hipoksemia. Hasil yang

diharapkan dari terapi oksigen adalah nilai saturasi oksigen yang stabil,

pernapasan yang adekuat serta mengurangi kecemasan. Tujuan tersebut

harus dicapai dengan menghantarkan oksigen dalam jumlah minimal yang

dibutuhkan pasien. Untuk kasus tertentu bisa terjadi komplikasi dan terjadi

henti napas atau gawat napas, oleh karena itu harus dilakukan pemantauan

secara ketat agar tidak terjadi sumbatan jalan napas (Morton, 2014).

Pengelolaan jalan nafas menjadi bagian yang sangat penting dalam

suatu tindakan perawatan pasien dengan kondisi kritis karena factor

penyakit atau merupakan efek dari obat- obatan yang digunakan dalam

anestesi selama pembedahan yang dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas

pasien. Salah satunya dengan melakukan pemasangan pipa napas ke dalam

saluran pernafasan bagian atas yang terhubung dengan ventilator, peran

perawat di ruang ICU diantaranya memantau keluhan sesak nafas,

kemampuan ekspansi dada, frekwensi pernafasan, mengamati keadekuatan

dan karakteristik pernafasan serta oksigenasi ke jaringan (Latief et all,

2012).

Pada perkembangannya pada masa kini ventilator bukan saja sebagai

pengganti fungsi pompa dada, namun lebih luas lagi yaitu mengatasi

gangguan ventilasi – perfusi paru sehingga dengan demikian alat bantu

nafas ini disepakati sebagai alat penyelamat pada pasien yang kritis.

Aplikasi ventilator di klinik sudah dikenal sejak tahun 1950 khususnya di


3

beberapa negara di Eropa. Pada saat itu terjadi wabah poliomyelitis yang

menyebabkan penderita mengalami gagal nafas, dimana kegagalan

pernafasan merupakan indikasi yang paling umum untuk dirawat di unit

perawatan intensif (ICU) rumah sakit. Dibalik harapan terhadap pasien yang

dipasang ventilator muncul kekhawatiran yang sangat mendasar dengan

penerapannya, pada setiap aplikasi ventilator diperlukan ketepatan indikasi,

ketepatan pasien, ketepatan metode penerapannya dan waspada akan adanya

komplikasi yang diakibatkan pemasangan ventilator. Oleh karena itu setiap

aplikasi ventilator harus memahami fisiologi pernafasan. Selain itu perawat

dalam melakukan weaning hendaknya memperhatikan protocol weaning,

karena weaning yang sesuai dengan protocol mempunyai aspek legal bagi

perawat dan pasien (Mangku, 2010).

Pasien kritis yang terpasang ventilator menempati dua per tiga dari

seluruh pasien ICU di Indonesia, dengan berbagai golongan usia baik anak,

dewasa ataupun lansia dimana semua pasien dengan kondisi kritis dan

memiliki kondisi yang tidak stabil, kelompok pasien di ICU dapat berasal

dari instalasi gawat darurat, kamar operasi, ruang perawatan, ruang HD

ataupun dari rumah sakit lain. Menurut (Anani, 2017) Di Rumah Sakit

Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin Bandung mempunyai data pengguna

terapi ventilator di tahun 2014 sebanyak 55 % pasien yang dirawat di

General Intensive Care, demikian pula dengan (Waladani, 2016).

Di RSUD Prof.Dr. Margono Soekardjo Banyumas terhitung dari bulan

Agustus 2015 sampai Januari 2016 terdapat 267 pasien yang terpasang

ventilator dengan berbagai kasus di ruang ICU. Sedangkan dari hasil rekam
4

medis pasien RSU Haji Surabaya pada tahun 2017 didapatkan pasien yang

dirawat di juga ICU sebanyak 419 orang, dengan 180 pasien yang

meninggal. Pasien yang memakai ventilator sebanyak 153 orang atau

dengan prosentase 57 % dengan berbagai kasus, diantaranya kasus bedah,

medikal bedah serta pediatrik. Pasien yang berhasil menjalani weaning dan

ekstubasi sebanyak 71 orang pasien atau dengan prosentase 46,41 %.

Dengan 82 pasien mengalami kegagalan weaning karena kondisi pasien

yang tidak memenuhi criteria dilakukan weaning dan dinyatakan meninggal

yaitu dengan prosentase 53,59 %.

Banyak indeks weaning yang dianjurkan untuk digunakan dalam

memperkirakan kesiapan pasien yang menjalani weaning, sebagian indeks

secara khusus mempertimbangkan factor pernafasan seperti kekuatan dan

daya tahan otot. Performa diafragma dan juga otot bantu pernafasan

bergantung pada daya tahan dan kekuatan otot karena keletihan pada otot

pernafasan menghambat proses weaning. Sebelum dilakukan ekstubasi

pasien harus mampu mempertahankan keadekuatan jalan nafasnya sendiri

yang ditandai dengan tingkat kesadaran dan adanya reflek batuk juga reflek

muntah. Dengan demikian program weaning sudah harus direncanakan pada

saat pasien mulai dipasang ventilator karena semakin cepat dilakukan

weaning maka pasien akan terhindar dari komplikasi – komplikasi dari

pemasangan ventilator diantaranya kegagalan weaning yang disebabkan

oleh ketidaksiapan pasien untuk bernafas spontan dengan adekuat setelah

dalam jangka waktu lama dibantu oleh ventilator. Proses weaning dimulai

jika penyebab gagal nafas sudah teratasi, dengan parameter analisa gas
5

darah dalam batas normal, pernafasan spontan pasien sudah cukup kuat,

memenuhi tidal volum optimal dan mode yang digunakan sudah

memungkinkan untuk diberikan bantuan minimal. Pemeriksaan analisa gas

darah dilakukan 30 menit setelah perubahan mode atau setting serta pasien

tidak sedang dilakukan suctioning namun prosedur ini disesuaikan dengan

protokol setempat. Sering pasien harus mengalami reintubasi karena

komplain paru yang masih rendah, tidak mampu untuk batuk secara efektif,

spasme bronkus, hipoksemia atau kolaps alveolus paska intubasi

(Sundana,2015 ; Morton, 2014).

Assesment weaning sebelum pelaksanaan weaning sangat diperlukan

untuk menilai kesiapan pasien yang akan dilakukan proses weaning, dan

semua itu dilakukan setelah penyebab gagal nafas teratasi, semua indicator

metabolic juga dalam kondisi normal, nilai saturasi oksigen dan fraksi

oksigen terpenuhi, serta hemodinamik yang stabil maka pelaksanaan

weaning bisa dilaksanakan dengan berbagai prosedur yang disesuaikan

dengan kondisi pasien dan jika pasien sudah melalui prosedur weaning serta

dinyatakan berhasil maka pasien siap dilakukan ekstubasi atau pelepasan

selang endotrachea dengan criteria yang harus dimiliki adalah pasien dalam

kondisi waspada atau mampu berespon terhadap perintah, batuk efektif serta

reflek muntah baik yaitu pasien mampu membersihkan secret dan bisa

menghembuskan udara di sekitar selang endotracheal saat balon

dikempiskan. Oleh karena itu perlu adanya SPO weaning untuk pelaksanaan

weaning di ruang ICU RSU haji.


6

Dari uraian diatas peneliti merasa tertarik untuk mengadakan

penelitian tentang hubungan proses weaning dengan kemandirian bernafas

pada pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU RSU Haji Surabaya,

karena berbagai karakteristik pasien yang dirawat dengan menggunakan

ventilasi mekanik maka proses persiapan penyapihan harus dilakukan

dengan tepat.

I.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana hubungan proses

weaning dengan keadekuatan pernafasan pada pasien dengan ventilator di

Ruang ICU RSU Haji Surabaya.

I.3 Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan proses weaning dengan keadekuatan

pernafasan pada pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU RSU Haji

Surabaya.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi proses weaning pasien yang terpasang ventilator


b. Mengidentifikasi keadekuatan pernafasan pasien yang terpasang
ventilator
c. Menganalisa hubungan proses weaning dengan keadekuatan
pernafasan pada pasien yang terpasang ventilator.
7

I.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitin ini diharapkan kan membawa manfaat yang secara

umum dapat diklasifikasikan dalam 2 manfaat, yaitu :

1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah informasi

yang berkaitan dengan proses weaning pada pasien yang terpasang

ventilator.

2. Manfaat Praktis
a. Rumah Sakit

Dengan mengetahui proses weaning yang akan diterapkan untuk

keberhasilan weaning.

b. Perawat

Dengan adanya prosedur assessment dan penatalaksanaan proses

weaning yang jelas sangat bermanfaat sebagai legalitas tindakan yang

kita lakukan.

c. Peneliti

Manfaat penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti

tentang pasien kritis yang menggunkan ventilator dan prosedur

persiapan weaning.

d. Responden / klien

Pelaksanaan proses weaning yang sesuai dengan protocol dan

kondisi pasien dapat membantu pasien menjalani weaning dengan baik.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Ventilasi Mekanik

a. Definisi

Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan

bertekanan positif atau negatif yang menghasilkan aliran udara

terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu mempertahankan

ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama (Purnawan

& Saryono, 2010). Ventilasi mekanik adalah suatu bentuk pernapasan

buatan yang menjalankan tugas otot-otot pernapasan secara normal.

Ventilasi mekanik memungkinkan oksigenasi dan ventilasi pada

pasien (Perdici, 2006).

b. Kriteria Pasien Menggunakan Ventilasi Mekanik

Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik dibagi menjadi 2

kategori (Mackenzie, 2008) yaitu:

1) Pasien yang memiliki risiko gagal napas yang disebabkan

kegagalan pompa ventilasi atau gangguan mekanisme pertukaran

gas intra pulmonary. Kegagalan pompa ventilasi dikarenakan

11
12

gangguan mekanisme perpindahan udara masuk dan keluar paru-

paru yang disebabkan hipoventilasi alveolus

2) Pasien yang membutuhkan bantuan bukan karena berhubungan

dengan langsung dengan sistem pernapasan, yaitu :

a) Pasien yang akan melakukan pembedahan berhubungan dengan

ketidakstabilan sirkulasi, asidosis metabolik dan hipotermia;

b) Pasien yang membutuhkan kontrol tekanan intracranial seperti

traumatic brain injury atau hepatic enphalopathy;

c) Pasien yang membutuhkan perlindungan jalan napas seperti :

aspirasi yang berhubungan dengan kesadaran dan pemberian

obat sedasi dan obstruksi atau gangguan pada area pernapasan

atas (facial trauma, acute epiglotis, tumor laring dan bakteri

akut faring);

d) Pasien yang membutuhkan pemantauan akibat imobilisasi

dengan diagnostik kritis seperti unstable spine fracture

c. Tujuan dari Pemasangan Ventilasi Mekanik

Pemasangan ventilasi mekanin bertujuan untuk

memanipulasi ventilasi alveolar (VA) dan PaCO2 dengan

meningkatkan saturasi oksigen dalam asteri (SaO2) dan konsentrasi

oksigen dalam darah arteri (PaO2) dengan meningkatkan kapasitas

residual fungsional, meningkatkan volume inspiratori paru-paru,

meningkatkan VA, dan meningkatkan fraksi oksigen inspirasi (FiO2),

menurunkan kerja sistem pernafasan (misalnya untuk mengatasi


13

kelelahan otot pernafasan), menstabilkan dinding dada agar tidak

terjadi cedera dada yang parah (Bersten dan Soni, 2009).

d. Tipe Ventilator

Menurut West (2003), ventilator dibagi atas:

1) Ventilator Volume Konstan

Ventilator ini memberikan gas dalam volume yang diatur

sebelumnya kepada pasien, biasanya melalui piston pengatur

bermotor dalam sebuah silinder atau peniup bermotor. Curah dan

frekuensi pompa dapat disesuaikan untuk memberi ventilasi yang

diperlukan. Rasio inspirasi terhadap waktu ekspirasi dapat

dikendalikan oleh mekanisme kenop khusus. Oksigen dapat

ditambahkan ke udara inspirasi sesuai keperluan, dan sebuah

pelembab dimasukkan dalam sirkuit. Ventilator volume-konstan

adalah mesin kuat dan dapat diandalkan yang cocok untuk

ventilasi jangka lama. Alat ini banyak digunakan dalam anestesia.

Alat ini memiliki keuntungan dapat mengetahui volume yang

diberikan ke pasien walaupun terjadi perubahan sifat elastik paru

atau dinding dada maupun peningkatan resistensi jalan napas.

Kekurangannya adalah dapat terjadi tekanan tinggi. Akan tetapi,

dalam praktik sebuah katup pengaman aliran mencegah tekanan

mencapai tingkat berbahaya. Memperkirakan ventilasi pasien

dari volume stroke dan frekuensi pompa dapat menyebabkan


14

kesalahan penting karena kompresibilitas gas dan kebocoran, dan

lebih baik mengukur ventilasi ekspirasi dengan spirometer.

2) Ventilator Tekanan Konstan

Ventilator ini memberi gas pada tekanan yang diatur

sebelumnya dan merupakan mesin yang kecil dan relatif tidak

mahal. Alat ini tidak memerlukan tenaga listrik, tetapi bekerja

dari sumber gas terkompresi bertekanan minimal 50 pon/inci

persegi. Kekurangan utamanya, yaitu jika digunakan sebagai

metode tunggal ventilasi, volume gas yang diberikan dipengaruhi

perubahan komplians paru atau dinding dada. Peningkatan

resistensi jalan napas juga dapat mengurangi ventilasi karena

mungkin tidak cukup waktu untuk menyeimbangkan tekanan

yang terjadi antara mesin dan alveoli. Oleh karena itu, volume

ekspirasi harus dipantau. Ini sulit pada beberapa ventilator.

Kekurangan lain ventilator tekanan-konstan adalah

konsentrasi oksigen inspirasinya bervariasi sesuai kecepatan

aliran inspirasi. Ventilator tekanan-konstan kini terutama

digunakan untuk “ventilasi bantuan-tekanan”, yaitu membantu

pasien yang diintubasi mengatasi peningkatan kerja napas yang

terjadi karena slang endotrakeal yang relatif sempit. Pemakaian

dengan cara ini berguna untuk melepaskan pasien dari ventilator,

yaitu peralihan dari ventilasi mekanik ke ventilasi spontan.


15

3) Ventilator Tangki

Ventilator tipe volume konstan dan tekanan konstan

adalah ventilator tekanan-positif karena memberi tekanan positif

ke jalan napas. Sebaliknya, respirator tangki memberi tekanan

negatif (kurang dari atmosferik) ke luar dada dan tubuh lain,

kecuali kepala. Ventilator tangki terdiri dari sebuah kotak kaku

(“paru besi”) yang dihubungkan dengan pompa bervolume besar,

bertekanan rendah yang mengendalikan siklus pernapasan.

Ventilator tangki tdak lagi digunakan dalam penanganan

gagal napas akut karena membatasi akses ke pasien, ukuran besar,

dan tidak nyaman. Alat ini dipergunakan secara luas untuk

ventilasi pasien dengan penyakit neuromuskular kronik yang

perlu diventilasi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Sebuah modifikasi ventilator tangki adalah perisai yang pas di

atas toraks dan abdomen serta menghasilkan tekanan negatif. Ini

biasanya dicadangkan bagi pasien yang sudah sembuh parsial dari

gagal napas neuromuskular.

4) Patient-Cycled Ventilators

Pada ventilator ini, fase inspirasi dapat dipicu oleh pasien

ketika ia melakukan upaya inspirasi. Istilah “ventilasi bantuan”

terkadang diberikan untuk cara kerja ini. Banyak ventilasi

tekanan-konstan memiliki kemampuan ini. Ventilator ini berguna


16

pada terapi pasien yang sembuh dari gagal napas dan sedang

dilepas dari penggunaan ventilasi terkendali.

e. Mode Ventilator

Menurut West (2003), pola ventilasi dibagi menjadi:

1) Intermittent Posiive Pressure Ventilation (IPPV)

Intermittent Posiive Pressure Ventilation (IPPV) terkadang

disebut pernapasan tekanan positif intermiten (Intermitten Positive

Pressure Breathing/IPPB) dan merupakan pola umum berupa

pengembangan paru oleh penerapan tekanan positif ke jalan napas

dan dapat mengempis secara pasif pada Functional Residual

Capacity (FRC). Dengan ventilator modern, variabel utama yang

dapat dikendalikan meliputi volume tidal, frekuensi napas, durasi

inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran inspirasi, dan

konsentrasi oksigen inspirasi. Pada pasien dengan obstrksi jalan

napas, perpanjangan waktu ekspirasi memiliki keuntungan karena

daerah paru dengan konstan waktu yang lama akan memiliki waktu

untuk mengosongkan diri. Di sisi lain, tekanan jalan napas positif

yang lama dapat mengganggu aliran balik vena ke toraks.

Umumnya, dipilih frekuensi yang relatif rendah dan waktu

ekspirasi yang lebih besar dari inspirasi, tetapi setiap pasien

memerlukan perhatian yang berbeda-beda.


17

2) Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)

Pada pasien Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),

perbaikan PO2 arterial yang besar sering kali dapat dicapai dengan

mempertahankan tekanan jalan napas positif yang kecil pada akhir

ekspirasi. Nilai sekecil 5 cm H2O sering kali bermanfaat. Akan

tetapi, tekanan setinggi 20 cm H2O atau lebih kadang kala

digunakan. Katup khusus tersedia untuk memberi tekanan.

Keuntungan PEEP adalah alat ini memungkinkan konsentrasi

oksigen inspirasi diturunkan sehingga mengurangi risiko toksisitas

oksigen. Beberapa mekanisme mungkin berperan pada peningkatan

PO2 arterial yang dihasilkan dari PEEP.

Tekanan positif meningkatkan FRC, yang tipikalnya kecil

pada pasien ini karena pengikatan rekoil elastic paru. Volume paru

yang kecil menyebabkan penutupan jalan napas dan ventilasi

intermiten (atau tidak ada ventilasi sama sekali) di beberapa daerah,

terutama di daerah dependen, dan absorpsi atelektasis. PEEP

cenderung membalikkan perubahan ini. Pasien dengan edema jalan

napasnya juga mendapat keuntungan, mungkin karena cairan

bregeser ke dalam jalan napas perifer kecil atau alveoli,

memungkinkan beberapa daerah paru diventilasi ulang.

Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar

menurunkan PO2 arteri, bukan meningkatkannya. Mekanisme yang

mungkin meliputi: 1) curah jantung sangat menurun, yang


18

menurunkan PO2 dalam darah vena campuran dan PO2; 2)

penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena peningkatan

ruang mati dan ventilasi ke daerah berperfusi buruk); 3)

peningkatan aliran darah dari daerah berventilasi ke tidak

berventilasi oleh peningkatan tekanan jalan napas. Akan tetapi,

efek PEEP membahayakan ini pada PO2 ini jarang terjadi.

PEEP cenderung menurunkan curah jantung dengan

menghambat aliran balik vena ke toraks, terutama jika volume

darah yang bersirkulasi menurun karena perdarahan atau syok.

Oleh karena itu, nilainya tidak boleh diukur dari efeknya pada PO2

arteri saja, tetapi bersamaan dengan jumlah total oksigen yang

dikirim ke jaringan. Hasil dari konsentrasi oksigen arterial dan

curah jantung merupakan indeks yang berguna karena perubahan

padanya akan mengubah PO2 darah vena campuran dan kemudian

PO2 banyak jaringan. Beberapa dokter menggunakan kadar PO2

dalam darah vena campuran sebagai panduan untuk tingkat optimal

PEEP. Dalam keadaan tertentu, pemasangan PEEP menyebabkan

penurunan seluruh konsumsi oksigen pasien.

Konsumsi oksigen menurun karena perfusi di beberapa

jaringan sangat marginal sehingga jika aliran darahnya menurun

lagi, jaringan tidak dapat mengambil oksigen dan mungkin mati

perlahan. Bahaya PEEP tingkat tinggi yang lain adalah kerusakan

pada kapiler paru akibat regangan tinggi pada dinding alveolar.


19

Dinding alveolar dapat dianggap sebagai benang kapiler. Tegangan

tingkat tinggi meningkatkan stres pada dinding kapiler yang

menyebabkan robekan pada epitel alveolar, endotel kapiler, atau

semua lapisan dinding.

3) Continious Positive Airway Pressure (CPAP)

Beberapa pasien yang sedang disapih dari ventilator

bernapas spontan, tetapi masih diintubasi. Pasien demikian

mendapat keuntungan dari tekanan positif yang diberikan kontinu

ke jalan napas melalui sistem katup pada ventilator. Perbaikan

oksigenasi dihasilkan dari mekanisme yang sama seperti PEEP.

Suatu bentuk CPAP telah digunakan secara sukses dalam ARDS.

CPAP bentuk lain berguna untuk menangani gangguan pernapasan

saat tidur yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas. Di sini,

peningkatan tekanan diberikan melalui masker wajah yang dipakai

sepanjang malam.

4) Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)

IMV merupakan modifikasi IPPV, yaitu pemberian volume

tidal besar pada interval yang relatif jarang kepada pasien diintubasi

yang bernapas spontan. IMV sering dikombinasi dengan PEEP atau

CPAP. Pola ini berguna untuk menyapih ventilator dari pasien, dan

mencegah oklusi jalan napas atas pada apnea tidur obstruktif

dengan menggunakan CPAP nasal pada malam hari.


20

5) Ventilasi Frekuensi Tinggi

Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi

tekanan positif berfrekuensi tinggi (sekitar 20 siklus/detik) dengan

volume sekuncup yang rendah (50-100 ml). Paru digetarkan bukan

dikembangkan seperti cara konvensional, dan transpor gas terjadi

melalui kombinasi difusi dan konveksi. Salah satu pemakaiannya

adalah pada pasien yang mengalami kebocoran gas dari paru

melalui fistula bronkopleura.

f. Komplikasi dari Pemasangan Ventilasi Mekanik

Berikut ini beberapa komplikasi pemasangan ventilasi mekanik

menurut Bersten dan Soni (2009):

1) Komplikasi akibat peralatan. Terkait malfungsi atau pemutusan

alat, kesalahan tempat dan kontaminasi

2) Komplikasi terkait dengan paru-paru, seperti intubasi Airway

misalnya kerusakan gigi, pita suara dan trakea, Ventilator-

Acquired Pneumonia (VAP), gangguan terkait cedera paru-paru

misalnya difusi cedera paru-paru, barotrauma misalnya

pneumothorax dan keracunan O2

3) Komplikasi yang terkait dengan kardiovaskuler, seperti penurunan

preload ventrikel kanan yang menyebabkan penurunan curah

jantung, peningkatan afterload ventrikel kanan, retensi cairan

karena penurunan jantung yang mengakibatkan penurunan aliran

darah di ginjal
21

4) Komplikasi lainnya seperti : luka atau perdarahan pada jaringan

mukosa, kelemahan oto-otot pernapasan dan peripheral, gangguan

tidur, kecemasan, ketakutan akibat lamanya waktu setelah masa

penyembuhan, distensi akibat menelan, imobilisasai dan masalah

pencernaan

2. Konsep Nyeri

a. Pengertian Nyeri

International Asssociation for Study of Pain (IASP)

mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman

emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-

kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2012).

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan terkait kerusakan jaringan, baik aktual maupun

potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut

(Meliala, 2007).

b. Klasifikasi Nyeri

Menurut Witjalaksono, Villyastuti & Sutiyono (2013) membagi

klasifikasi nyeri sebagai berikut :

1) Berdasarkan durasi

a) Nyeri Akut : Nyeri kurang dari 3 bulan; mendadak akibat

trauma atau inflasi; tanda respon simpatis; penderita ansietas

sedangkan keluarga supportif.


22

b) Nyeri Kronik : Nyeri lebih dari 3 bulan; hilang timbul atau terus

menerus, tanda respon parasimpatis, penderita depresi,

sedangkan keluarga lelah.

2) Berdasarkan asal

a) Nyeri Nosiseptif : Rangsangan timbul oleh mediator nyeri,

seperti pada pasca partum operasi luka bakar

b) Nyeri Neuropatik : rangsangan oleh kerusakan saraf atau

disfungsi saraf, seperti pada diabetes mellitus

3) Berdasarkan intensitas nyeri

a) Skala Visual Analog Score : 1-10

b) Skala wajah Wong Bekker : tanpa nyeri, nyeri ringan, sedang,

berat, tak tertahankan

4) Berdasarkan lokasi

1) Nyeri superfisial : nyeri kulit, subkutan, bersifat tajam, terlokasi

2) Nyeri somatik dalam : nyeri berasal dari otot, tendo, tumpul,

kurang terlokasi

5) Nyeri viseral : nyeri berasal dari organ internal atau organ

pembungkusnya, seperti nyeri kolik ureter dan kolik

gastrointestinal.

6) Nyeri alih : masukan dari organ dalam pada tingkat spinal disalah

artikan oleh penderita sebagai masukan dari daerah kulit pada

segmen spinal yang sama.


23

7) Nyeri proyeksi : misalnya pada herpes zozter, keruskan saraf

menyebabkan nyeri yang dialihkan ke sepanjang bagian tubuh yang

diinerfasi oleh saraf yang rusak tersebut.

8) Nyeri phatom : persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh

yang hilang seperti amputasi ekstremitas.

9) Berdasarkan area nyeri, ke dalam: nyeri kepala, nyeri

leher/tenggorokan, dada, abdomen, punggung, pinggang bawah

dan sebagainya.

10) Berdasarkan sifat nyeri, ke dalam : nyeri tusuk, teriris, terbakar,

nyeri sentuh, nyeri gerak, berdenyut, menyebar, hilang timbul dan

sebagainya.

c. Mekanisme Nyeri

Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada

reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan

pada beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan

tubuh, otot ragka dan pulpa gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung-

ujung bebas saraf aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini

diaktifkan oleh adanya rangsangan-rangsangan dengan intensitas

tinggi, misalnya berupa rangsang termal, mekanik, elektrik, atau

rangsang kimiawi (Mangku & Tjokarda, 2010)

Sensasi yang disadari, persepsi nyeri tergantung pada neuron-

neuron khusus yang berfungsi sebagai reseptor, pendekteksi sebagai

stimulus, tranduksi dan konduksi kedalam susunan saraf pusat.


24

Sensasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu prothopatic (noksius) dan

empicritic (non-noksius). Sensasi empikritik (raba, tekanan, propiosesi

dan perubahan suhu) mempunyai sifat reseptor dengan nilai ambang

yang rendah dan dihantar oleh serabut saraf bermielin besar.

Sedangkan sensasi prothopatic (noksius) mempunyai reseptor dengan

nilai ambang yang tinggi dan diantar oleh serabut saraf kecil, yaitu

bermielin A dan tidak bermielin C (Morgan, 2006).

Rangsangan proses yang menyertai antara kerusakan jaringan

(sebagai sumber stimulus nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri

adalah suatu proses elektro-fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi

(Nociception). Menurut Mangku (2010) ada empat (4) proses yang

terjadi mengikuti proses elektro-fisiologik yaitu :

1) Tranduksi (Transduction)

Merupakan suatu proses dimana rangsang nyeri (noxius

stimuli) diubah menjadi aktivitas listrik yang akan diterima oleh

ujung-ujung saraf sensoris (nerve ending). Rangsangan ini dapat

berupa rangsangan fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia

(substansi nyeri). Nosiseptor, reseptor nyeri yang mengubah

energi pada sisi stimulus ke impuls neural, reseptor nyeri,

tranduksi. Nosiseptor afferen primer adalah cabang terminal A

dan C dengan badan sel terletak diganglia radiks dorsal.

Kerusakan jaringan akan memulai perubahan alur nyeri senytal

dan perifer. Pada jaringan perifer, nyeri akan mengakibatkan


25

substansi-substansi pada akhiran saraf perifer dan sumber-

sumber ekstraneuron (neurokonin, prostaglandin, serotonin,

histamin) memacu sensitisasi nosiseptor yang mengakibatkan

terjadinya tranduksi dan peningkatan konduksi dari impuls

nosiseptif ke sistem saraf pusat.

2) Transmisi (Transmission)

Transmisi merupakan proses perambatan rangsang nyeri

melalui serabut saraf sensorik menyusul proses tranduksi. Saat

signal tranduksi terjadi, impuls ditransmisikan melalui serabut

saraf A delta dan serabut saraf C sebagai neuron pertama dari

perifer ke medula spinalis yang kemudia bersinaps pada lapisan

superfisial raxed laminae. Substansi P, neurokinin, dilepaskan

serabut HT. Calcitonin gene-related (CGRP) bersama subtansi P

menyebabkan peningkatan ekstabilitas. Substansi P merangsang

pelepasan Exitatory Amino Acid (EAAs) seperti aspartate dan

glutamat yang bereaksi pada reseptor α-amino-3-hydroxy-5-

methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-

aspartate (NMDA).

3) Modulasi (Modulation)

Proses dimana terjadinya interaksi antara sistem analgesic

endogen dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterioir

medulla spinalis. Analgesik endogen ini meliputi enkefalin,

endorphin, serotonin, nor adrenalin yang mempunyai edek


26

menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.

Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri

yang dapat tertutup dan terbuka dalam menyalurkan nyeri. Proses

tertutup dan terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh

sistem analgesic endogen. Proses medulasi ini dipengaruhi juga

oleh kepribadian, motivasi dan pendidikan, ststus emosional, dan

kultur dari seseorang. Proses modulasi inilah yang menyebabkan

persepsi nyeri menjadi sangat subjektif bagi setiap orang dan

sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri.

4) Persepsi (Perception)

Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang

kompleks dan unik yang dimulai dari proses tranduksi, transmisi,

dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan

yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Serabut

nosiseptif afferen tingkat kedua dengan badan sel di medulla

spinalis yang proyeksi aksonnya pada sistem saraf pusat

memproses informasi nosisiatif. Sebagian besar serabut asenden

menyilang sebelum naik ke kernia neuron WRD atau HT; melaui

pons, medulla dan mid brain untuk berakhir pada bagian spesifik

di stimulus. Dari thalamus, informasi aferen dibawa ke korteks

somatosensorik. Trankuspinotalamus juga mengirim cabang

kolateral ke farmasio retikularis. Aktifasi struktur supraspinal


27

dimediasi EAAs, tapi neurotransmitter yang terlibat dalam proses

informasi sentral dan noseseptif ini masih belum diketahui.

d. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

1) Usia

Usia mempunyai peranan yang penting dalam

mempersepsikan dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien dewasa

memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan pada

lansia (Smeltzer and Bare, 2013). Umumnya lansia menganggap

nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat

diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Dilain

pihak, normalnya kondisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat

dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa

tua mengalami perubahan fisiologis dan mungkin mengalami

penurunan persepsi sensori stimulus serta meningkatkan ambang

nyeri. Selain itu proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi

pada dewasa tua seperti gangguan kardiovaskuler atau diabetes

militus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal

(Tamsuri, 2007).

Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai

sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat

menyebabkan nyeri. Lansia cenderung mengabaikan lama

sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan

karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian


28

dari penuaan normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari

perawatan kesehatan karena merasa takut nyeri tersebut

menandakan penyakit yang serius (Tamsuri, 2007).

2) Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin telah diidentifikasi dalam hal

nyeri dan respon nyeri. Laki-laki memiliki sensitifitas yang lebih

rendah dibandingkan wanita atau kurang merasakan nyeri. Laki-

laki kurang mengekspresikan nyeri yang dirasakan secara

berlebihan dibandingkan wanita (Smeltzer & Bare, 2013)

Penelitian oleh Uchiyama, dkk (2006) yang bertujuan

untuk meneliti perbedaan jenis kelamin terhadap nyeri pasca

bedah kolesistektomi dengan jumlah responden sebesar 100%

(46 laki-laki dan 54 wanita) yang dilakukan kolisistektomi tanpa

komplikasi. Semua pasien dirawat empat hari di rumah sakit.

Intensitas nyeri menggunakan Visual Analog Scale (VAS)

dengan skala 0-100. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien

wanita mempunyai nilai VAS lebih tinggi daripada laki-laki pada

24 jam pasca bedah kolisistektomi.

3) Budaya

Ras dan suku merupakan faktor penting bagi seseorang

dalam merespon nyeri (Smeltzer & Bare, 2013). Peneliti

antropologi kedokteran (Lipton dan Mabach, 1984 dalam

Bandyopandhyay, Markovic & Manderson, 2007) menyatakan


29

bahwa latar belakang budaya mempengaruhi komunikasi,

ekspresi, dan respon terhadap nyeri. Suku juga mempunyai peran

bagaimana cara individu menerima dan mengkomunikasikan

nyeri mereka.

Setiap orang dengan budaya yang berbeda akan mengatasi

nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Orang yang megalami

intensitas nyeri yang sama mungkin tidak melaporkan atau

berespon terhadap nyeri dengan cara yang sama. Terdapat

perbedaan makna dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri pada

berbagai budaya. Budaya mempengaruhi perilaku nyeri

tergantung pada benyak faktor meliputi budaya kelompok yang

dipelihara dan identitas diri (Unruh & Henrikson, 2005)

4) Pengalaman Nyeri Masa Lalu

Lebih berpengalaman individu dengan nyeri yang

dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa

menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu

ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia

ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi

lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi pada individu tersebut

menerima perbedaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu.

Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui

ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannya tidak adekuat

(Tamsuri, 2007).
30

Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri

hebat, tidak menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan

dirasakan. Umumnya orang sering mengalami nyeri dalam

hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadi nyeri yang lebih

hebat (Tamsuri, 2007).

5) Faktor Fisik

Faktor fisik yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang

terpasang ventilator di ruang ICU termasuk gejala penyakit kritis

(misalnya, angina, infark miokard, dyspnea), luka (pasca-trauma,

pasca operasi), gangguan tidur, keterbatasan gerak karna alat-alat

invasif yang terpasang, faktor fisik lainnya adalah hipertermi

karena proses penyakit yang dialami. (Pasero & McCaffery,

2002).

Penyakit yang paling umum atau cedera dirawat di ICU

diantaranya infark miokard, bedah torax, penyakit cardiovaskuler

dan penyakit traumatic. Beberapa pasien rasa nyeri dirasakan

terus menerus dan selama menjalani perawatan di ruang ICU

(Pasero & McCaffery, 2002).

6) Faktor Psikososial

Faktor psikososial mempunyai pengaruh terhadap nyeri

pada pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator mekanik.

Faktor-faktor tersebut antara lain cemas dan depresi, gangguan

komunikasi, ketidakmampuan untuk melaporkan dan


31

menggambarkan rasa sakit, takut sakit, cacat, tidak adanya

keluarga yang menunggu disamping pasien sebagai support

system, kejenuhan yang dialami oleh pasien yang terpasang

ventilator mekanik (Hupcey, 2000).

7) Faktor Lingkungan

Lingkungan perawatan ICU merupakan faktor yang

menyebabkan nyeri pada pasien yang dirawat di ruang ICU.

Banyak alat elektronik yang ada di ruang ICU seperti ventilator

mekanik, bedside monitor, syiring pump, infus pump suara yang

ditimbulkan alat-alat tersebut membuat kebisingan di ruang ICU

(Hupcey, 2000). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Puntillo,

dkk (2001) melaporkan bahwa selama pasien menjalani

perawatan di ruang ICU, 15% dari mereka mengalami keadaan

tidak nyaman, 50% dari mereka mempunyai pengalaman tidak

nyaman, dan 35% dari mereka mengalami sangat tidak nyaman

(nyeri).

e. Stimulus Nyeri

Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya (Hidayat, 2015)

1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat

terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada

reseptor.

2) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat

terjadinya penekanan pada reseptor nyeri


32

3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.

4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blockade pada arteria

koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya

asam laktat.

5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik

f. Respon Tubuh Terhadap Nyeri

Menurut Tamsuri (2007), nyeri akut baik yang ringan sampai

berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :

1) Sistem Respirasi

Pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh

reflek segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin

menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi

karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi

permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan, khususnya

pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding

torak menurunkan volume tidal kapasitas residu fungsional. Hal

ini mengarah pada terjadinya atelektasis, hipoksemia dan

terkadang dapat terjadi hipoventilasi.

2) Sistem Kardiovaskuler

Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi

gangguan perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut

terhadap kardiovaskuler berupa peningakatan produksi

ketokelamin, angiostensin II, dan anti deuretik hormon sehingga


33

mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi

dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada

orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien

dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan

cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya.

Akibat peningkatan kebutuahan oksigen myocard , sehingga nyeri

dapat menyebabkan terjadinya Iskemia Myocardial. Nyeri

merupakan salah satu stressor bagi tubuh sehingga menghasilkan

sebuah stimulasi simpatis berupa peningkatan laju nadi, tekanan

arteri rata-rata, jumlah keringat dan perubahan ukuran pupil

sebagai bentuk kompensasi tubuh terhadap rangsangan nyeri

tersebut.

3) Sistem Gastrointestinal

Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan

spingter dan menurunkan motilitas saluran cerna yang

menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan

menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan mortilitas

usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia

aspirasi. Mual, muntah dan konstipasi sering terjadi.

4) Sistem Urogenital

Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan

spingter saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna

yang menyebabkan retensi urin.


34

5) Sistem Metabolisme dan Endokrin

Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan

ketokelamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga

kubutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri

meningkatkan hormon-hormon metabolik seperti ketokelamin,

kortisol dan glukagon sehingga menyebabkan penurunan hormon

anabolik seperti insulin dan testosterone. Peningkatan kadar

ketokelamin dalam darah mempunyai pengaruh terhadap kerja

insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan

metabolisme glukosa sehingga kadar gula dalam darah meningkat.

Hal ini mendorong pelepasan glukagon, glukagon memicu

peningkatan proses glukogenensis. Pasien yang mengalami nyeri

akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi

karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon

kortisol bersamaan dengan peningkatan rennin, aldosteron,

angiotensin, dan hormon antideuretik yang menyebabkan retensi

natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan

ekstraseluler.

6) Sistem Hematologi

Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan

fibrinolisis, dan hiperkoagulopati.


35

7) Sistem Imunitas

Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri

dapat mendepresi sistem retikuloendotelial yang pada akhirnya

akan menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.

8) Efek fisiologis

Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan ,

ketakutan, agitasi, dan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan

dapat menyebabkan depresi.

9) Homeostasis Cairan dan Eletrolit

Efek yang ditimbulkan akaibat dari peningkatan pelepasan

hormone aldosteron berupa retensi natrium. Efek akibat

peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan

produksi urin. Hormon ketokelamin dan kortisol menyebabkan

berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.

g. Nyeri pada Pasien dengan Ventilator

Nyeri merupakan salah satu stressor yang sering terjadi pada

pasien perawatan kritis. Beberapa sumber nyeri yang telah

teridentifikasi, diantaranya adalah penyakit akut, pembedahan,

trauma, peralatan invasif, intervensi keperawatan dan medis (Cambell,

2010). Beberapa prosedur yang sering mengakibatkan nyeri akut

adalah perubahan posisi pasien, penghisapan lendir dari trakea pada

pasien dengan ventilasi mekanik, penggantian balutan luka dan

pemasangan ataupun pelepasan kateter (Cade, 2008). Hampir 50 %


36

dari pasien telah diwawancarai, nilai intensitas nyeri mereka berada

pada skala sedang sampai parah, baik saat istirahat maupun selama

dilakukan prosedur (Chanques, 2006).

h. Pengukuran Intensitas Nyeri

a) Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)

Critical-Care Pain Observtsion Tool (CPOT) adalah

sebuah skala yang disarankan oleh para ahli untuk menilai nyeri

pada pasien-pasien kritis yang tidak dapat berkomunikasi secara

verbal. Skala ini dikembangkan di Prancis, memiliki 4 bagian

dengan setiap bagian memiliki kategori sikap yang berbeda, yaitu

ekspresi wajah, gerakan tubuh, ketegangan otot dan kepatuhan

terhadap pemasangan ventilator untuk pasien terintubasi atau

vokalisasi untuk pasien yang tidak terintubasi. Pada tahun 2009,

Gelinas dan Jhonston juga melakukan penelitian dengan

menggunakan skala CPOT yang diterjemahkan kedalam bahasa

inggris dengan melibatkan 51 orang perawat sebagai pengumpul

data, diperoleh nilai inter-rater reliability yang tinggi, yaitu antara

0,80 – 0,93 (Gelinas et. al, 2009). Marmo dan Fowler (2009) juga

melakukan penelitian validitas dan reliabilitas CPOT yang

digunakan pada pasien bedah jatung, diperoleh nilai inter-rater

reliability yang tinggi yaitu 0,981.


37

Setiap bagian memiliki skor 0 sampai 2, dengan jangkauan

kemungkinan nilai 0 – 8 (Gelinas et.al, 2006). Hasil akhir CPOT

dapat dinilai sebagai berikut:

1. Skor 0 : tidak nyeri

2. Skor 1-2 : nyeri ringan

3. Skor 3-4 : nyeri sedang

4. Skor 5-6 : nyeri berat

5. Skor 7-8 : nyeri sangat berat

Tabel 2. Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)


Indikator Kriteria Skor Deskripsi
1 Ekspresi wajah Santai, Netral 0 Tidak ada ketegangan otot yang terlihat
Tegang 1 Merenggut, alis menurun, orbit
menegang dan terdapat kerutan levator
atau perubahan lainnya (misalnya
membuka mata atau menangis selama
prosedur invasif)
Meringis 2 Semua gerakan wajah pada skor 1
ditambah kelopak mata tertutup rapat
(pasien dapat mengalami mulut terbuka
atau mengigit endotrakeal tube)
2 Gerakan tubuh Tidak adanya 0 Tidak bergerak sama sekali (tidak
gerakan atau berarti tidak adanya rasa sakit) atau
posisi normal posisi normal (gerakan tidak dilakukan
terhadap bagian yang terasa nyeri atau
tidak dilakukan untuk tujuan
perlindungan)
Ada gerakan 1 Gerakan lambat, gerakan hati-hati,
Perlindungan menyentuh atau menggosok bagian
yang nyeri, (mencari perhatian melalui
gerakan)
Kegelisahan / 2 Menarik-narik tube, mencoba untuk
Agitasi duduk, menggerakkan
tungkai/meronta-ronta, tidak mengikuti
perintah, menyerang staf, mencoba
turun dari tempat tidur.

3 Kepatuhan Toleransi 0 Alarm tidak aktif/tidak bunyi, ventilasi


terhadap terhadap mudah
pemasangan ventilator atau
ventilator gerakan
Batuk tapi masih 1 Batuk, alarm aktif/bunyi tapi berhenti
toleransi secara spontan
38

Indikator Kriteria Skor Deskripsi


(atau pasien Melawan 2 Tidak sinkron, ventilasi tertahan, alarm
terpasang ventilator sering bunyi
intubasi Atau
Berbicara dalam 0 Berbicara dalam suara normal atau
Atau nada normal atau tidak ada suara sama sekali.
tidak ada suara
Vokalisasi Menghela nafas, 1 Menghela napas, merintih
(untuk Pasien merintih
tidak terpasang Menangis 2 Menangis, terisak-isak.
intubasi) terisak-isak
4 Ketegangan Santai 0 Tidak ada perlawanan pada gerakan
Otot pasien
Tegang kaku 1 Ada perlawanan pada gerakan pasif
Sangat tegang 2 Perlawanan kuat pada gerakan pasif
atau sangat kaku atau tidak bias dilakuakan gerakan pasif
JUMLAH …./8
Sumber : Gelinas et.al, 2006

b) Comfort Scale

Pada awalnya Comfort Scale digunakan bagi pasien anak-

anak. Comfort Scale dikembangkan dan diuji cobakan untuk pasien

dewasa dan ternyata valid. Terdapat 9 kategori dalam alat

pengkajian ini (Mason, 2012). Angka 1 menunjukkan pasien tidak

responsi dan 5 menunjukkan level ketidaknyamanan (Ashkenazy

dan DeKeyser-Ganz, 2011). Pasien akan diobservasi selama dua

menit dari bagian indikator Comfort Scale yang mudah dilihat

pertama kali oleh tenaga medis. Nadi dan tekanan darah akan

diobservasi lebih sering. Perpindahan penilaian dari satu indikator

ke indikator yang lain dalam Comfort Scale akan dilakukan dengan

cepat. Skor setiap indikator akan dijumlahkan (Ashkenazy dan

DeKeyser-Ganz, 2011). Interpretasi nilai Comfort Scale

dikategorikan sebagai berikut:

9 - 16 : Sedasi dalam
39

17 - 27 : Sedasi dan analgesia adekuat

27 - 45 : Sedasi inadekuat

Tabel 3.Comfort Scale


Kategori Deskripsi Skor
Kewaspadaa Tidur pulas/nyenyak 1
n Tidur kurang nyenyak 2
Gelisah 3
Sadar sepenuhnya dan waspada 4
Sangat waspada 5
Ketenangan Tenang 1
Agak cemas 2
Cemas 3
Sangat cemas 4
Panik 5
Distress Tidak ada respirasi spontan dan tidak ada batuk 1
Pernapasan Respirasi spontan dengan sedikit/tidak ada respons 2
terhadap ventilasi
Melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk 3
terus-menerus/tersedak
Sering batuk, terdapat tahanan/perlawanan terhadap 4
ventilator
Melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk 5
terus-menerus/tersedak
Menangis Bernapas dengan tenang, tidak menangis 1
Terisak-isak 2
Meraung 3
Menangis 4
Berteriak 5
Pergerakan Tidak ada pergerakan 1
Kadang-kadang bergerak perlahan 2
Sering bergerak perlahan 3
Pergerakan aktif/gelisah 4
Pergerakan aktif termasuk badan dan kepala 5
Tekanan Tekanan darah di bawah batas normal 1
Darah Basal Tekanan darah berada di batas normal secara 2
konsisten
40

Peningkatan tekanan darah sesekali ≥15% diatas 3


batas normal (1-3 kali dalam observasi selama 2
menit)
Seringnya peningkatan tekanan darah ≥15% diatas 4
batas normal (>3 kali dalam observasi selama 2
menit)
Peningkatan tekanan darah terus-menerus ≥15% 5
Denyut Denyut jantung di bawah batas normal 1
Jantung Denyut jantung berada di batas normal secara 2
Basal konsisten
Peningkatan denyut jantung sesekali ≥15% diatas 3
batas normal (1-3 kali dalam observasi selama 2
menit)
Seringnya peningkatan denyut jantung ≥15% diatas 4
batas normal (>3 kali dalam observasi selama 2
menit)
Peningkatan denyut jantung terus-menerus ≥15% 5
Tonus Otot Otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot 1
Penurunan tonus otot 2
Tonus otot normal 3
Peningkatan tonus otot dan fleksi jari tangan dan kaki 4
Kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari tangan dan kaki 5
Tegangan Otot wajah releks sepenuhnya 1
Wajah Tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan otot 2
wajah yang nyata
Tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata 3
Tegangan hampir di seluruh otot wajah 4
Seluruh otot wajah tegang, meringis 5
Skor total
Sumber: Mason, 2012
41

B. Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka kerangka teoritis

pada penelitian ini digambarkan seperti dibawah ini:

Gangguan pernafasan
Faktor yang mempengaruhi nyeri : /oksigenasi
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Budaya Pasien terpasang
4. Pengalaman nyeri masa lalu ventilasi mekanik
5. Faktor Fisik
6. Psikososial
7. Lingkungan 1. Penggantian balutan luka
2. Perubahan posisi
Sumber : Smeltzer and Bare (2013); 3. Penghisapan lendir
Tamsuri (2007); Uchiyama, dkk (2006) ; 4. Pemasangan atau pelepasan kateter
Lipton dan Mabach, 1984 dalam Sumber: Cade (2008)
Bandyopandhyay, Markovic &
Manderson, (2007); Unruh & Henrikson
(2005); Pasero & McCaffery (2002); NYERI
Hupcey (2000).

Skoring

Dapat berkomunikasi Tidak dapat berkomunikasi

1. VRS (Verbal Rating Scale) 1. FLACC (Faces, Legs, Activity, Cry, and
2. VAS (Visual Analog Scale ) Consolability)
3. NRS (Numeric Rating Scale) 2. Wong Bekker
3. BPS (Behavioral Pain Scale )
Sumber: Potter & Perry(2012); 4. CPOT (Critical-Care Pain Observation
Wood (2004) dalam McLafferty & Tool )
Farley (2008); Andarmoyo (2013); 5. Comfort Scale
Price (2006)
Sumber: Potter & Perry (2012); Payen
(2001); Gelinas et.al (2006)

Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian


42

C. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian digambarkan sebagai perbandingan antara

instrumen CPOT Comfort Scale seperti gambar di bawah ini:

CPOT (Critical-Care Comfort Scale


Pain Observation Tool ) 1. Kewaspadaan
1. Ekspresi wajah 2. Ketenangan
2. Gerakan tubuh 3. Distress pernapasan
3. Ketegangan otot 4. Menangis
4. Kepatuhan dengan 5. Pergerakan
ventilasi mekanik 6. Tonus otot
untuk pasien dengan 7. Tegangan wajah
intubasi atau vokalisasi 8. Tekanan darah basal,
untuk pasien ekstubasi 9. Denyut jantung basal

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa

medis post laparatomi, ileostomi atas indikasi hernia inkarserata dan ganggren

caecum ileum disimpulkan bahwa:

1. Pengkajian menunjukkan pada jalan napas pasien yaitu terpasang ETT dan

OPA, terdapat sekret pada jalan napas, bewarna putih dan jumlah sedikit.

Pernapasan dibantu ventilator mode BIPAP Asb, Pinsp 22, Pasb 15, FiO2

40%, PEEP 5, RR12, saturasi O2 99%, RR spontan 0. Tekanan darah 117/68

mmHg, MAP = 87 mmHg, HR 80x/menit, TD: S= 35,80 C, nadi teraba kuat

dan teratur, akral teraba dingin, CRT > 3 detik, konjungtiva subanemis,

mukosa bibir lembab. Kesadaran sulit dinilai karena pengaruh obat, pupil

isokor, ukuran 2mm/ 2mm, reflex cahaya (+/+). Penilaian nyeri dengan

Behavioral Pain Scale skor 9 (uncontrol pain). Terdapat balutan luka post

laparatomi pada abdomen, terpasang drain di abdomen kiri, dan stoma di

abdomen kanan. Pemeriksaan laboratorium pasien ditemukan adanya kondisi

hemoglobin rendah, hematokrit rendah dan adanya peningkatan nilai ureum

dan kreatinin.

2. Diagnosa keperawatan yang diangkatkan pada pasien adalah pola napas tidak

efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, nyeri akut berhubungan

130
131

dengan agen cidera fisik (prosedur operasi), dan resiko ketidakseimbangan

elektrolit dengan faktor resiko ketidakseimbangan cairan, efek samping

prosedur pembedahan, disfungsi ginjal, muntah/ masalah fungsi

gastrointestinal.

3. Perencanaan dibuat dengan menggunakan metode kriteria hasil atau tujuan

perawatan yaitu, respon ventilasi penyapihan mekanik: dewasa, status

pernapasan: ventilasi, status pernapasan: kepatenan jalan napas, status

pernapasan : pertukaran gas , level nyeri, status kenyamanan: fisik, tanda vital,

keseimbangan elektrolit, keseimbangan cairan, fungsi gastrointestinal, dan

fungsi ginjal.

4. Intervensi yang direncanakan yaitu manajemen jalan napas, pengisapan jalan

napas, manajemen jalan napas buatan, manajemen ventilasi mekanik: infasif,

monitoring asam-basa, manajemen nyeri, administrasi analgetik, terapi

latihan: mobilitas sendi, monitor tanda vital, manajemen elektrolit,

manajemen cairan, dan monitoring cairan.

5. Implementasi dilaksanakan dengan pemilihan intervensi yang dibutuhkan saat

ini.

6. Hasil evaluasi keperawatan yang didapatkan yaitu masalah pola napas tidak

efektif, nyeri akut dan resiko ketidakseimbangan elektrolit teratasi sebagian.


132

B. Saran

1. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan dapat memberikan informasi dalam pemberian asuhan

keperawatan pada pasien post laparatomi , ileostomi atas indikasi hernia

inkarserata dan ganggren caecum ileum di Ruang Rawatan Intensif (ICU),

sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan.

2. Bagi Institusi Rumah Sakit

Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil

kebijakan dalam upaya pemberian asuhan keperawatan pada pasien post

laparatomi, ileostomi atas indikasi hernia inkarserata dan ganggren caecum

ileum dengan penerapan passive range of motion exercises . Karena ROM

pasif dapat digunakan sebagai bentuk awal mobilisasi dini dan dapat

menurunkan perilaku nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik di ruangan

ICU RSUP DR. Djamil Padang.

3. Bagi Pengetahuan

Penulisan laporan ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan

referensi tambahan dan masukan tentang asuhan keperawatan pada pasien

post laparatomi, ileostomi atas indikasi hernia inkarserata dan ganggren

caecum ileum dengan penerapan passive range of motion exercises di ruangan

ICU RSUP DR. .Djamil Padang.

Anda mungkin juga menyukai