Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

“EKLAMSIA + KISTA PARATUBA DEXTRA + OBESITAS”

Disusun Oleh
Nurul Shafa Risqia
N 111 21 073

Pembimbing Klinik :
dr. Ni Made Astijani Giri, Sp.OG

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPAITERAAN KLNIK


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nurul Shafa Risqia


No. Stambuk : N11121063
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : S1-Pendidikan Dokter
Universitas : Tadulako
Bagian : Ilmu Obgyn Dan Ginekologi
Judul Refleksi Kasus : Eklamsia + Kista Paratuba Dextra + Obesitas

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Oktober
2023

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Ni Made Astijani Giri, Sp.OG Nurul Shafa Risqia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi berasal dari Bahasa latin yaitu hiperdantension. Hiper artinya
yang berlebihan dan tension artinya tekanan. Hipertensi atau tekanan darh
tinggi adalah suatu kondisi medis dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah secara kronis (dalam waktu yang sangat lama) yang
mengakibatkan angka kesakitan dan angka kematian. Seseorang dikatakan
menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi yaitu apabila tekanan darah
sistolik >149 mmHg dan diastolic <90 mmHg. Hipertensi karena kehamilan
yaitu hipertensi yang terjadi karena atau pada saat kehamilan, dapat
memengaruhi kehamilan itu sendiri biasanya terjadi pada usia kehamilan
memasuki 20 minggu. (1)
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan
preeklampsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan
edema yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurologi
lain. Eklampsia merupakan kelainan akut pada wanita hamil, bersalin atau
nifas yang ditandai dengan timbunya kejang atau koma, yang sebelumnya
telah menunjukan gejala-gejala pre-eklampsia. Eklampsia berasal dari bahasa
Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut dipakai karena seolah-olah
gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-
tanda lain. (2)
Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang
diikuti oleh koma. Eklampsia lebih sering pada primigravida daripada
multipara. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia
gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum (eklampsia
intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum). (2,3)
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2 - 0,5 % dari seluruh persalinan dan
lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3 - 0,7 %) dibandingkan
dengan negara maju (0,05 - 0,1 %). Insiden yang bervariasi yang dipengaruhi
oleh paritas, gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan
lingkungan yang merupakan faktor resikonya. Eklampsia termasuk dari tiga
besar penyebab kematian ibu di Indonesia. Menurut laporan KIA provinsi
pada tahun 2011, jumlah kematian ibu yang di laporkan sebanyak 5.118 jiwa.
Penyebab kematian ibu terbanyak masih di dominasi oleh perdarahan (32 %),
hipertensi dalam kehamilan (25 %), infeksi (5%), partus lama (5%), dan
abortus (1%). (3)
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang
membahayakan bagi ibu dan bayi. Dari berbagai penelitian, diketahui
kematian ibu berkisar antara 9,8-25,5% sedangkan kematian pada bayi lebih
tinggi, yakni 42,2-48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju
lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan anak di negara-negara yang kurang
maju disebabkan oleh kurangnya pengawasan antenatal dan natal; penderita-
penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. (4,5)
Adapun faktor risiko terjadinya preeklampsia yang mendahului eklampsia
adalah primigravida, hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan
multiple, diabetes mellitus, hydrops fetalis dan bayi besar, umur yang terlalu
muda atau terlalu tua untuk kehamilan ada riwayat dalam keluarga yang
pernah preeklamsia/eklamsia, ada penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi
yang sudah ada sebelum kehamilan, dan obesitas. (4)

1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk
mengetahui dan mempelajari mengenai penegakan diagnosis hingga
penatalaksanaan kasus.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. FT
Umur : 31 Tahun
Pekerjaan : Pendeta
Agama : Kristen
Pendidikan : SMA
Alamat : Ds. Hanggira Kec. Lore Tengah, Poso
Tanggal Pemeriksaan : 20 September 2023
Tempat Pemeriksaan : Matahari LT.2

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan usia 31 tahun rujukan dari Puskesmas Doda
dengan diagnosis G1P0A0 Gravid aterm + eklamsia. Pasien masuk IGD
Kebidanan Undata dengan keluhan kejang sebanyak 5 kali, 3x dirumah
dan 2x di Puskesmas, dengan durasi ≤5 menit, setelah kejang pasien tetap
sadar. Keluhan disertai dengan mual (+), muntah (+) sebanyak 3x di
perjalanan menuju ke Palu, penglihatan berkunang-kunang (+), nyeri ulu
hati (-), pusing (-), mata berkunang-kunang (-), sesak (-), nyeri perut (-),
pelepasan lendir darah (-). BAK biasa dan BAB lancar.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Hipertensi (+) sejak hamil 8 bulan, diabetes melitus (-), penyakit
jantung (-), asma (-), dan alergi (-).
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat Hipertensi (-), diabetes melitus (-), penyakit jantung (-), asma
(-), dan alergi (-).

5. Riwayat Menstruasi :
Pasien pertama kali haid pada umur 14 tahun. Durasi haid kurang lebih 4
hari dengan frekuensi ganti pembalut 2-3 kali perhari. Siklus haid pasien
teratur setiap bulannya 28 -30 hari. HPHT pasien 23 Desember 2022

6. Riwayat Pernikahan :
Pasien menikah pertama kali pada umur 25 tahun, jumlah pernikahan 1x.

7. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


Gravida : 1 Partus : 0 Abortus : 0

No Tahun Tempat Umur Jenis Penyulit


Partus Partus Kehamila Persalinan
n

1 Hamil Sekrang

C. PEMERIKSAAN FISIK
- Kesadaran : Composmentis, GCS : E4V5M6
- Tekanan Darah : 163/101 mmHg
- Denyut Nadi : 84 x/menit
- Pernafasan : 24 x/menit
- Suhu : 36,3 ℃
- SpO2 : 94 %
- BB : 61 kg
- TB : 143 cm
- IMT : 29.9 kg/m2 (Obesitas)
Pemeriksaan Fisik Umum
- Kepala dan Leher
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-),
edema palpebra (+/+), pupil bulat, isokor diameter
2,5 mm/2,5 mm, refleks cahaya (+/+).
 Mulut : Mukosa bibir kering (+), Tonsil T1/T1, faring

hiperemis (-).
 Leher : Pembesaran KGB (-)

- Thorax
 Inspeksi : Bentuk dada Normal, pergerakan simetris bilateral,
retraksi dinding dada (-)
 Palpasi : Vokal Fremitus Kanan = Kiri, Nyeri tekan (-), Massa
Tumor (-)
 Perkusi : Sonor Kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronchi (-/-),Wheezing (-/-)

- Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midline
claviculasinistra
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni regular

- Ektremitas
 Ekstremitas Atas : Akral hangat, edema (-/-)
 Ekstremitas Bawah : Akral hangat, edema (+/+)

Pemeriksaan Obstetrik
Abdomen
 Leopold I : 32 cm (4 jari dibawah Prosessus Xypoidheus)
 Leopold II : Punggung Kanan
 Leopold III : Presentasi Kepala
 Leopold IV : Belum Masuk PAP
 TBJ : 3255 gram
 DJF : 142x/menit
 HIS :-

Pemeriksaan Dalam Vagina


Inspekulo : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vulva : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vagina : Tidak dilakukan pemeriksaan
Portio : Tidak dilakukan pemeriksaan
Uterus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pembukaan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Penurunan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pelepasan : Tidak dilakukan pemeriksaan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (19/09/2023)

Parameter Hasil Satuan Rujukan

HIV Non-Reaktif - Non-Reaktif

HBsAg Non-Reaktif - Non-Reaktif


Qualitative

VRDL Non-Reaktif - Non-Reaktif

HGB 12.5 g/dl 12-15

WBC 22.1 ribu/ul 4.0-11.0


RBC 4.52 juta/ul 4.1-5.1

HCT 36.9 % 36-47

PLT 247 ribu/ul 150-450

SGOT 21 U/L ≤34

SGPT 12 U/L ≤ 31

GDP 87 mg/dL 70-126

Na 137 mmol/l 136-146

K 2.7 mmol/l 3.5-5.0

Cl 98 mmol/l 98-106

Ureum 11 mg/dL < 50

Kreatinin 0.8 mg/dL 0.5-1.1

Urinalisis (19/09/2023)
Makroskopis
 Warna : Kuning
 Kejernihan : Jernih
 Protein : Positif 3 (+3)
 Urobilinogen : Normal
 Bilirubin : Negatif
 Blood : Positif 3
 Leukosit : Positif 2
 Keton : Positif 3
Mikroskopis
 Leukosit : Positif 2 (+2)
 Eritrosit : Penuh/LPB
E. RESUME
Pasien perempuan usia 31 tahun rujukan dari Puskesmas Doda dengan
diagnosis G1P0A0 Gravid aterm + eklamsia. Pasien masuk IGD
Kebidanan Undata dengan keluhan kejang sebanyak 5 kali, 3x dirumah
dan 2x di Puskesmas, dengan durasi ≤5 menit, setelah kejang pasien tetap
sadar. Keluhan disertai dengan mual (+), muntah (+) sebanyak 3x di
perjalanan menuju ke Palu, penglihatan berkunang-kunang (+), nyeri ulu
hati (-), pusing (-), sesak (-), nyeri perut (-), pelepasan lendir darah (-).
BAK biasa dan BAB lancar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan KU : Sakit sedang, Kesadaran :
Compos mentis GCS E4V5M6, Tekanan Darah 163/101 mmHg, Nadi
84x/menit, Respirasi 24x/ menit, Suhu 36,3°C, SpO2 : 94%. Pemeriksaan
Leopold 1: TFU 4 jari dibawah prosesus xypoidheus (32 cm), Leopold 2 :
Pu- Ka, Leopold 3 : Presentasi Kepala, Leopold 4 : belum masuk pintu
atas panggul, TBJ : 3255 gram, BJF : 142 x/ menit, HIS : tidak ada.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan peningkatan WBC
yaitu 22.1 ribu/ul, dan penurunan kalium yaitu 2.7 mmol/l. Pada
pemeriksaan urinalisa didapatkan warna kuning jernih, Protein Positif 3
(+3), peningkatan leukosit yaitu Positif 2, dan peningkatan eritrosit yaitu
penuh.

F. DIAGNOSIS SEMENTARA
G1P0A0 Gravid aterm + Eklamsia + Hipokalemia sedang + Calon
akseptor IUD + Obesitas

G. PENATALAKSANAAN
Puskesmas Doda

Jam Pemberian
07.00 Infus RL + MgSO4 40% Loading dose

07.05 - Diazepam 10 mg/IV


- MgSO4 Maintenance dose
- Pasang O2 4 Lpm

08.00 - MgSO4 40% 15 cc (dosis pemeliharaan I)


- BJF 148 x/menit

10.10 Pasien di Rujuk ke IGD Kebidanan RSUD Undata

15.30 BJF 148 x/menit

16.05 Pasien masuk di IGD Kebidanan

IGD Kebidanan RSUD Undata


- Pemberian O2 5 Lpm
- Nifedipin 1x10 mg + Metildopa 1x250 mg
- Inj. Ondancentron 1 amp/ IV

H. DIAGNOSIS POST SC
P1A0 Post SC Emergency aterm a/i eklamsia + kista paratuba dextra +
Akseptor IUD + Hipokalemia sedang + Obesitas.

I. INSTRUKSI POST SC
LINE 1
- IVFD RL + drips oksitosin 2 amp tiap ganti cairan 28 tpm
- Furosemide 1 amp/ 12 jam/ IV

LINE 2
- MgSO4 15 cc dalam 500 cc RL tiap ganti cairan
- Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ IV
- Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV
- Inj. Anbacim 1 gr/ 12 jam/ IV
- Inj. Metronidazole 500 mg/ 8 jam/ IV
- Inj. Kalnex 1 amp/ 8 jam/ IV
- Inj. Ondancentron 1 amp/ 8 jam/ IV
- KSR 3x1 tab
- Cek KU, TTV dan Kontraksi
- Periksa HB 6 jam post operasi

J. FOLLOWUP

Rabu, S : Nyeri bagian luka operasi (+), Keluar darah


20/09/2023 dari jalan lahir (-)
ICU
09.00 O : KU: Sakit sedang, KS: Somnolen (GCS
E3M6V5)
TD : 118/73 mmHg
N : 80 x/menit
R : 14 x/menit
S : 36,5 ℃
Spo2 : 98 %

Anemis (+/+)
TFU : Setinggi kanalikulus, kontraksi baik
PPUV : Banyak (+)

A : P1A0 Post SC Emergency aterm a/i eklamsia


+ kista paratuba dextra + Akseptor IUD +
Hipokalemia sedang + Obesitas

P:
- IVFD RL 28 tpm + Oxytocin 1 amp
- Inj. Anbacim 1 gr/ 12 jam/ IV
- Drips metronidazole 500 mg/ 8 jam
- Inj. Kalnex 1 amp/ 8 jam/ IV
- Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV
- KSR 3x1 tab
- Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam/ IV
- MgSO4 40% drips 15 cc dalam RL 28 tpm
(24 jam post SC)
- Inj. Furosemid 1 amp/ 12 jam/ IV
- Periksa DR, jika HB ≤ 8 g/dL
- Transfusi 1 labu PRC/ 12 jam/ IV
- Pindah ruangan jika PPU biasa dan KU
stabil

Rabu, S : Nyeri bagian luka operasi (+)


20/09/2023
Matahari LT.2 O : KU: Sakit sedang, KS: Composmentis(GCS
17.00 E4M6V5)
TD : 100/70 mmHg
N : 93 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,7 ℃
Spo2 : 95 %

A : P1A0 Post SC Emergency aterm a/i


eklamsia + kista paratuba dextra + Akseptor
IUD + Hipokalemia sedang + Obesitas.

P:
- IVFD RL 28 tpm + Oxytocin 1 amp
- Inj. Anbacim 1 gr/ 12 jam/ IV
- Drips metronidazole 500 mg/ 8 jam
- Inj. Kalnex 1 amp/ 8 jam/ IV
- Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV
- KSR 3x1 tab
- Inj Ketorolac 1 amp/ 8 jam/ IV
- MgSO4 40% drips 15 cc dalam RL 28 tpm
(24 jam post SC)
- Inj. Furosemid 1 amp/ 12 jam/ IV
- Periksa DR, jika HB ≤ 8 G/DL
- Transfusi 1 labu PRC/ 12 jam/ IV
- Pindah ruangan jika PPU biasa dan KU
stabil

Kamis, S : Nyeri bagian luka operasi (+)


21/09/2023
Matahari LT.2 O : : KU: Stabil, KS: Composmentis (GCS
E4M6V5)
TD : 130/90 mmHg
N : 71 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,5 ℃
Spo2 : 97 %

Asi :-/-
TFU : 1 jari dibawah pusat
PPV : (+) biasa

A : P1A0 Post SC Emergency aterm H-1 a/i


eklamsia + kista paratuba dextra + Akseptor IUD
+ Hipokalemia sedang + Obesitas
P:
- IVFD RL 28 tpm
- Inj. Anbacim 1 gr/ 12 jam/ IV
- Drips Metronidazole 500 mg/ 8 jam
- Inj. Kalnex 1 amp/ 8 jam/ IV
- Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV

Jumat, S : Nyeri bagian luka operasi (+)


22/09/2023
O : : KU: Stabil, KS: Composmentis (GCS
E4M6V5)
TD : 130/90 mmHg
N : 71 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,5 ℃
Spo2 : 97 %

Asi :-/-
TFU : 1 jari dibawah umbilicus, kontraksi baik
PPV : (+) biasa

A : P1A0 Post SC Emergency H-1 a/i eklamsia


+ kista paratuba dextra + Akseptor IUD +
Hipokalemia sedang + Obesitas

P:
- IVFD RL 28 tpm
- Inj. Anbacim 1 gr/ 12 jam/ IV
- Drips Metronidazole 500 mg/ 8 jam
- Inj. Kalnex 1 amp/ 8 jam/ IV
- Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV
- Cek TSH dan FT4 Hari ini

Sabtu, S : Nyeri bagian luka operasi berkurang (+)


23/09/2023
O : KU: Stabil, KS: Composmentis (GCS
E4M6V5)
TD : 130/80 mmHg
N : 74 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,3 ℃
Spo2 : 98 %

Asi : +/+
TFU : 1 jari dibawah umbilikus, kontraksi baik
PPU : (-)

A : P1A0 Post SC Emergency H-3 a/i eklamsia


+ kista paratuba dextra + Akseptor IUD +
Hipokalemia sedang + Hipotiroid + Obesitas

P:
- Fiotram 3 x 1
- Fibumin 2 x 1
- SF 1 x 1
- Cefadroxil 2 x 1
- Metronidazole 3 x 1

Pemeriksaan Darah Rutin (20/09/2023)

Parameter Hasil Satuan Rujukan

HGB 8.8 g/dl 12-15


WBC 28.6 ribu/ul 4.0-11.0

RBC 3.34 juta/ul 4.1-5.1

HCT 27.8 % 36-47

PLT 229 ribu/ul 150-450

Pemeriksaan Darah Rutin (20/09/2023)

Parameter Hasil Satuan Rujukan

HGB 8.8 g/dl 12-15

WBC 28.6 ribu/ul 4.0-11.0

RBC 3.34 juta/ul 4.1-5.1

HCT 27.8 % 36-47

PLT 229 ribu/ul 150-450

Pemeriksaan Endokrin (21/09/2023)


Parameter Hasil Satuan Rujukan
FT4 0.74 ng/dL 0.93-1.71
FSH 6.1 uIU/mL 0.4-4.2

Pemeriksaan Elektrolit (22/09/2023)


Parameter Hasil Satuan Rujukan
Na 137 mmol/l 136-146
K 4.8 mmol/l 3.5-5.0
Cl 103 mmol/l 98-106
BAB III
PEMBAHASAN

Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan


precklampsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan
edema yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurologi lain.
Eklampsia merupakan kelainan akut pada wanita hamil, bersalin atau nifas yang
ditandai dengan timbunya kejang atau koma, yang sebelumnya telah menunjukan
gejala-gejala preeklampsia. (6)
Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang
diikuti dengan koma. Eklampsia lebih sering pada primigravida daripada
multipara. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia
gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum (eklampsia
intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum). (6)
Penegakkan diagnosis pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan obstetrik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini, anamnesis
yang mendukung diagnosis eklampsia yaitu, pasien berumur 31 tahun dimana
umur merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya eklampsia pada ibu
hamil. Usia reproduksi sehat pada seorang wanita adalah 20-35 tahun. Kelompok
umur mampu mengurangi resiko kematian ibu karena pre-eklamsia maupun
karena penyebab lain dari kematian ibu di Indonesia. Umur <20 tahun dan >35
tahun termasuk usia yang berisiko untuk bereproduksi. Kelompok usia ini dapat
termasuk salah satu penyebab langsung kematian ibu yang sering disebut dengan
Terlalu Muda dan Terlalu Tua. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengelompokkan usia merupakan salah satu faktor penting dalam program
Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia. (7)
Tidak menutup kemungkinan bahwa pre-eklamsi dan eklamsia bisa terjadi
pada kelompok umur wanita produktif yang aman untuk kehamilan dan persalinan
yaitu antara umur 20-35 tahun. Sehingga setiap wanita yang hamil pada kelompok
umur <20 dan >35 tahun maupun pada umur reproduksi normal antara umur 20-
35 tahun wajib dilakukan pemantauan kehamilan yang intensif agar dapat
meminimalkan faktor risiko yang mungkin terjadi melalui kunjungan Ante Natal
Care (ANC) yang memadai dan teratur. (8)
Kehamilan pertama pasien atau primigravida (G1P0A0) yang merupakan
salah satu faktor resiko preeklampsi dan eklampsia pada ibu hamil. Hal tersebut
dikarenakan wanita dengan preeklamsia dan eklamsia dapat mengalami kelainan
aktivasi imun dan hal ini dapat menghambat invasi trovoblas pembuluh darah ibu.
Sehingga preeklamsia dan eklamsia lebih sering terjadi pada wanita yang terpajan
antigen paternal untuk pertama kali seperti kehamilan pertama kali atau kehamilan
pertama dengan pasangan baru. Pada pasien ini termasuk dalam golongan
eklampsia antepartum dimana eklampsia teriadi sebelum persalinan.(9)
Pada anamnesis, pasien mengeluhkan mual, muntah sebanyak 3 kali,
penglihatan berkunang-kunang yang dimana merupakan salah satu tanda dan
gejala dari eklampsia. Riwayat kejang 3 kali dirumah dan 2 kali di Puskesmas
Doda Poso merupakan tanda dan gejala dari eklampsia. Patofisiologi kejang
eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang eklamptik dapat disebabkan oleh
hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan fokus perdarahan di korteks otak.
Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada pusat motorik di daerah lobus
frontalis. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang adalah
sebagai berikut: Edema serebral, perdarahan serebral, infark serebral, vasospasme
serebral pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler, koagulopati intravaskuler
serebral, ensefalopati hipertensi. (9)
Dari pemeriksaan fisik, pasien dalam Keadaan umum: sakit sedang,
Kesadaran: composmentis GCS E4V5M6, Tekanan darah: 163/101 mmHg, Nadi
84 x/menit, Pernafasan: 24 x/menit, Suhu 36,3°C. Pada status obstetri didapatkan
tinggi fundus uteri 4 jari di bawah processus xiphoideus (32 cm), memanjang,
punggung kanan, presentasi kepala, belum masuk pintu atas panggul. TBJ: 3255
gram, BJF: 142 x/menit.
Pasien juga mengalami obesitas, pada pasien dengan preeklampsia dapat
ditemukan adanya lesi pada arteri uteroplasentalnya. Karakteristik lesinya adalah
adanya daerah dengan nekrosis fibrinoid yang diliputi oleh sel makrofag yang
memfagosit lipid. Lesi mikroskopis ini mirip dengan lesi yang ada pada
atheroskeloris. Penumpukan lemak juga dapat ditemukan pada glomerulus dari
pasien dengan preeklampsia dan biasa disebut glomerular endotheliosis. Adanya
lesi pada glomerular ini berhubungan dengan terjadinya proteinuria. Pada kadar
LDL dan trigliserida yang tinggi juga berhubungan dengan kerusakan ginjal.
Perubahan pada metabolisme lemak dapat berperan terhadap lesi endotel yang
ditemukan pada pasien preeklampsia. Keparahan dari hipertensi dan proteinuria
mencerminkan keparahan dari kerusakan endotel yang terjadi. (10)
Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium darah HGB: 12,5 gr/dI, WBC:
22.1 ribu/ul, RBC: 4.52 juta/ul, HCT: 36,9 %, PLT: 247 ribu/ul, SGOT: 21 U/L,
SGPT: 12 U/L, GDP: 87 mg/dl, Na: 137 mmol/l, K: 2.7 mmol/l, Cl: 98 mmol/l,
Ureum: 11 mg/dl, Kreatinin: 0.8 mg/dl. Hasil urinalisis menunjukan protein +3.
Peningkatan leukosit merupakan tanda adanya infeksi. Hasil urinalisis
menunjukan adanya proteinuria yang merupakan salah satu tanda dan gejala dari
eklampsia. Kehamilan normal dihubungkan dengan peningkatan laju filtras:
glomerulus sebesar 40-65% dan aliran plasma ke ginjal sebesar 50-85% selama
awal pertama kehamilan.13 Protein yang diekskresi dalam urin meningkat pada
kehamilan normal dari 5 mg/dL pada trimester pertama dan kedua serta 15 mg/dL
pada trimester ketiga.4 Ketika munculnya hipertensi dalam kehamilan, aliran
darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus menurun. Seperti pada
glomerulopati lainnya terdapat peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar
protein dengan berat molekul yang besar. Pada keadaan ini ditemukan ekskresi
albumin yang abnormal disertai protein lainnya, seperti hemoglobin, globulin dan
transferin dalam urin. Beberapa protein dengan berat molekul kecil biasanya
difiltrasi namun kemudian direabsorbsi sehingga ditemukan di dalam urin. (11)
Untuk dapat mendiagnosis eklamsia sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa eklampsia selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi, kejang, dan
proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Kadar protein urin ≥ 300 mg dalam 24 jam atau terbaca positif 2 (+
+). Pada pasien ini tekanan darah saat masuk di Rumah Sakit Undata tergolong
tinggi yaitu 163/101 mmHg disertai kejang sebanyak 5 kali dengan durasi ≤5
menit. Pemeriksaan kedua yang menunjang untuk diagnosis didapatkan hasil
urinalisis pasien mengandung protein +3 dan terdapat edema palpebra dan
eksremitas yang dapat mendukung diagnosis eklamsia.
Pada kasus pasien diberikan tatalaksanan berupa informed consent terkait
keadaan ibu dan rencana penanganannya, oksigenasi sungkup 5 liter/menit, injeksi
magnesium sulfat sesuai protap yang merupakan obat anti kejang, nifedipine 1 tab
+ metildopa 250 mg yang merupakan obat antihipertensi karena tekanan darah
pasien 163/101 mmHg. Diberikan injeksi ondancentron karena pasien
mengeluhkan mual dan muntah dan rencana terminasi kehamilan. (12)
Prinsip dasar dalam pengelolaan eklampsia antara lain terapi suportif
untuk stabilisasi penderita, selalu dingat masalah airway, breathing, circulation,
monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan "Glasgow-Pittsburg Coma
Scale". Kontrol kejang dengan pemberian magnesium sulfat intravena dipilih
karena kerjanya di perifer tidak menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan
sampai 24 jam paska persalinan atau 24 jam bebas kejang. Dilakukan pemberian
obat antihipertensi secara intermitten, sebagai obat pilihan adalah nifedipin. Pada
pasien eklampsia juga dilakukan koreksi hipoksemia dan asidosis, hindari
penggunaan diuretik kecuali jika ada edema paru, gagal jantung kongestif dan
edema anasarka, batasi pemberian cairan intravena kecuali pada kasus kehilangan
cairan berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan, hindari penggunaan
cairan hiperosmotik, dan segera dilakukan terminasi kehamilan. (12)
Magnesium sulfat dapat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin
pada rangsangan seat saraf dengan menghambat transimisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps dan pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi. Magnesium sulfat merupakan obat yang digunakan
untuk pasien pre-eklampsia berat. Obat ini diberikan juga pada pasien dengan
kejang dan untuk mencegah pasien jatuh kedalam eklampsia. Obat ini merupakan
obat pengganti seperti diazepam, fenitoin atau kombinasi dari obat klorpromazin,
prometazin, dan petidin. (12)
Efektivitas MgSO4 untuk mengurangi komplikasi maternal dan fetal
sangat baik. Obat tersebut diberikan secara intravena dengan dosis pertama di
loading 4 gram selama 15-20 menit yang mana dapat diulang dengan dosis 2 gram
jika kejang berulang dan lalu diberikan maintenance dengan dosis 1 gram perjam
untuk 24 jam. Terapi MgSO4 harus dimonitor di ICU karena dapat terjadi
kegagalan organ. Monitor yang harus diperiksa berulang kali adalah pemeriksaan
GCS (Glassgow Coma Scale), reflek tendon, frekuensi pernafasan lebih dari 12
kali permenit, dan diuresis lebih dari 30 ml/jam. Bila manifestasi overdosis
muncul maka pemberian MgSO4 diberhentikan, lalu pertimbangkan pemberian
calcium gluconate dan periksa kadar magnesium dalam darah. (12)
Obat antihipertensi golongan calcium channel blocker yaitu nifedipine
dapat diberikan dengan dosis 10 mg per oral. Nifedipin adalah obat antagonis
kanal kalsium. Obat tersebut merupakan antihipertensi yang efektif dan sebaiknya
tidak diberikan secara sublingual. Karena dapat menyebabkan penurunan drastis
tekanan darah yang dapat menyebabkan fetal distress. Secara nyata, nifedipin
yang long acting tidak banyak menimbulkan efek samping pada sirkulasi
uteroplasental. Untuk mengontrol hipertensi, nifedipin biasnya dimulai dengan
dosis 30 mg perhari yang dapat ditingkatkan 120 mg per hari. Lalu diberikan
golongan dan alpha-2 reseptor agonist yaitu metildopa 250 mg, metildopa dapat
diberikan tunggal atau dalam kombinasi untuk mengobati preeklamsia berat.
Metildopa termasuk dalam kelas 2 agonis sentral yang bekerja dengan
mengurangi lonjakan norepinefrin pada reseptor otot polos dan menyebabkan
vasodilatasi. Obat ini merupakan obat antihipertensi yang paling aman karena
tidak menimbulkan efek samping pada ibu hamil. (12)
Terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi definitif untuk
eclampsia. Terminasi kehamilan dilakukan bila telah dilakukan stabilisasi
(pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu yaitu 4-8 jam setelah satu atau
lebih keadaan setelah pemeberian obat anti kejang terakhir, setelah kejang
terakhir, setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir dan penderita mulai
sadar (responsif dan orientasi), cara terminasi kehamilan disesuaikan dengan
keadaan ibu saat masuk. (13)
Sectio caesarea (SC) merupakan metode untuk melahirkan bayi melalui
irisan pada abdomen dan uterus. Berdasarkan Center for Disease Control and
Prevention (CDC), lebih dari 700.000 orang menjalani sectio caesarea yang
pertama dan 400.000 wanita menjalani sectio caesarea berulang tiap tahun.
Terdapat beberapa indikasi dalam persalinan dengan SC antara lain letak
sungsang, SC berulang, kehamilan prematuritas, kehamilan dengan resiko tinggi,
kehamilan ganda, kehamilan dengan preeklampsia dan eklampsia (wanita dengan
preeklampsia menunjukkan peningkatan untuk dilakukan pengakhiran kehamilan
dengan SC, dalam satu penelitian didapat 83% yang didiagnosis preeklampsia
menjalani SC. (13)
Bila preeklampsia tidak ditangani dengan baik, maka dapat berkembang
menjadi eklampsia yang mana tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga janin
dalam rahim ibu. Kemungkinan yang terberat adalah terjadinya kematian ibu dan
janin, solusio plasenta, hipofibrinogemia, hemolisis, perdarahan otak, kelainan
mata, edema paru, nekrosis hati, sindroma Hemolysis, Elevated Liver enzyme, and
Low Platelets (HELLP), dan kelainan hati. Ditemukan juga adanya edema serebri
sebagai komplikasi terjadinya eklampsia. Perubahan ini membuat perfusi organ
maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta. Vasospasme
siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah
merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun. (13)
Pada pasien ini dilakukan tindakan section caesarea dengan indikasi
utama eklamsia. Eklamsia merupakan kegawatdaruratan medis yang dapat
mengancam nyawa ibu dan janin, yang ditandai dengan kejang, peningkatan
tekanan darah, dan proteinuria pada ibu hamil. Tatalaksana utama pada kasus
eklamsia adalah dilakukannya terminasi tanpa melihat gestasi kehamilan. Setelah
dilakukan sectio caesarea pada pasien, diagnosis baru ditegakkan yaitu P1A0 Post
SC Emergency aterm atas indikasi eklamsia + kista paratubal dextra + Akseptor
IUD + Hipokalemia sedang + Obesitas.
Ketika dilakukan pembedahan didapatkan kista paratuba pada pasien dan
dilakukan kistektomi dextra. Gejala kista paratuba tidak khas, beberapa ilmuan
menemukan gejala yang berbeda-beda bahkan ada yang tidak bergejala
(asimptomatis), sehingga biasanya kista partubal merupakan kondisi yang
kebetulan ditemukan. Gejala yang dikeluhkan pun tergantung pada lokasi lesi,
umumnya gejala yang dikeluhkan adalah nyeri panggul kronik, infertil, haid tak
teratur, disparenia, gross hematuria, obstruksi saluran cerna dan ikterus.
Endosalpingiosis bisa bergejala akibat iritasi mekanik pada organ abdomen,
misalnya pada kasus kista endosalpingiosis yang besar menyebabkan rasa nyeri
kronik pada pinggang, dimana dengan operasi pengangkatan kista tersebut bisa
menghilangkan gejala. (14)
Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat di ICU, dengan monitoring
keadaan umum, kesadaran, dan TTV pasien yang mulai membaik, lalu dilakukan
kembali pemeriksaan darah rutin dan didapatkan HGB: 8.8 g/dL, WBC: 28.6
ribu/ul, RBC: 3.34 juta/ul, HCT: 27.8 %, dan PLT: 229 ribu/ul. Kadar leukosit
pada pasien lebih meningkat daripada sebelumnya hal ini dikarenakan perbedaan
jumlah leukosit pada kedua kelompok pasien tersebut dikarenakan pada
preeklampsia terjadi pengecilan diameter lumen arteriola spriralis, sehingga
mengganggu aliran darah ke plasenta. Berkurangnya perfusi dan lingkungan yang
hipoksik akan mengakibatkan pelepasan debris plasenta, sehingga terjadi
inflamasi sistemik. Bahan-bahan ini merupakan bahan asing yang kemudian
merangsang timbulnya proses inflamasi sehingga mengakibatkan terjadinya
peningkatan jumlah leukosit. Sedangkan pada keadaan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam
batas normal. Setelah 1 hari dirawat di ICU pasien dipindahkan di ruangan
Matahari lantai 2, dengan keadaan pasien membaik. (15)
Dilakukan pemeriksaan Endokrin, ditemukan FT4 menurun yaitu 0.74
ng/dL dan TSH meningkat yaitu 6.1 uIU/mL. Berdasarkan teori hubungan antara
perubahan fungsi tiroid dan preeklampsia mungkin bersifat timbal balik. Ini
berarti kelainan tiroid merupakan salah satu penyebab predisposisi preeklampsia
dan hipotiroidisme merupakan salah satu penyebab patofisiologis preeklampsia.
Hipotiroidisme dapat berperan penting dalam kontraksi otot polos pada arteri
ginjal dan sistemik, menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer,
tekanan darah teratogen, dan penurunan perfusi jaringan. Oleh karena itu,
identifikasi kelainan tiroid dan penatalaksanaannya yang tepat dapat
mempengaruhi kejadian preeklamsia. Disarankan bahwa evaluasi fungsi tiroid
dapat berguna dalam memprediksi preeklamsia. Dalam hal ini, TSH memainkan
peran sentral dalam skrining dan diagnosis gangguan tiroid. (16)
Di sisi lain, preeklampsia dapat menjadi penyebab utama teratogenic
hipotiroidisme. Efek preeklamsia pada fungsi tiroid belum dapat dijelaskan,
namun peningkatan kadar endotelin sebagai vasokonstriktor yang diproduksi oleh
endotel teratoge terlibat dalam teratogenic hipotiroidisme subklinis pada
preeklamsia. Dari 95 wanita preeklamsia, 44,2% mengalami disfungsi tiroid
dengan 38,9% pasien mengalami hipotiroidisme subklinis dan 4,2%
hipotiroidisme nyata dan 1% hipertiroidisme. (16)
Saat ini, beberapa peneliti menyebutkan hubungan antara komplikasi ibu
dan janin dengan disfungsi tiroid merupakan masalah yang memprihatinkan. Oleh
karena itu, dokter teratogen dan ahli endokrinologi harus semakin menyadari
potensi komplikasi hipotiroidisme pada kehamilan dan harus merekomendasikan
skrining fungsi tiroid pada kehamilan untuk diagnosis dini; tindak lanjut pada
trimester ketiga kehamilan, terutama pada wanita preeklampsia dan pengobatan
disfungsi tiroid untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Untungnya, evaluasi tes
fungsi tiroid (serum T3, T4 dan TSH) dapat diandalkan, sederhana, ekonomis dan
teratogen. Pada pasien ini dengan Hipotiroid diberikan obat Eutyrox 50 mg 1 x
1/oral. Levothyroxine adalah obat perawatan pilihan. Karena LT-4 adalah obat
sintetis, konten teratog terstandarisasi dan lebih dapat diandalkan. Itu dianggap
aman untuk digunakan dalam kehamilan dan belum terbukti memiliki potensi
teratogenic. (16)
Dilakukan pemeriksaan Elektrolit dimana ditemukan kadar normal setelah
di terapi dengan pemberian obat KSR yaitu Na: 137 mmol/l, K: 4.8 mmol/l, dan
Cl: 103 mmol/l, dimana KSR mengandung kalium klorida yang digunakan untuk
mengobati atau mencegah jumlah kalium yang rendah dalam darah.
Prognosis yang dapat terjadi bila pasien segera ditangani dengan
pemberian pengobatan, maka geiala perbaikan akan tampak jelas setelah
kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan
patofisiologik akan segera mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam
kemudian setelah persalinan.
Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini
merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam
beberapa jam kemudian. Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya,
kecuali pada janin dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis
janin pada pasien eklampsia juga tergolong buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anggreni., Dhinna. Mail., Erfiani., Mail. Adiesti., Ferilia. Hipertensi


Dalam Kehamilan. 2018.
2. Triana E, Syahredi SA. Eklampsia Antepartum pada GSP4 AOH3 Gravid
Preterm 33-34 Mingu+ Sindrom HELLP+AK+IUFD. Jurnal keschatan
Andalas: 2019; 8 (1).
3. Alpiansyah A, Rodiani. Wanita Usia 20 (Tahun, Primigravavida Hamil 37
minggu degan Eklampsia Antepartum. Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Jurnal Medula Unila. Univrsitas Lampung. Lampung : Januari
2017; 7(1).
4. Gibbs, Ronald S.et al. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th
Editionchapter: 16 - Hypertensive Disorders of Pregnancy. 2008.
Lippincott Williams & Wilkins: USA
5. Cunningham FG, et al, editor. Williams Obstetry. 23rd Edition, section
VII obstetrical complication, chapter 34 : Hypertensive Disorders in
Pregnancy. 2010. Mc-Graw Hill: USA
6. Wiknjosastro, H. Preckelampsia dan EKlampsia dalam ilmu kebidanan.
Edisi 4. Yayasan Bina Pustaka Prawiharjo. Jakarta: 2016
7. Doddy, A. K., et al. Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan
Ginekologi RSU Mataram. 2008. RSU Mataram : Mataram
8. Bere., Ika. Sinaga., Mindo. Fernandez. Faktor resiko kejadian Pre-Eklamsi
pada Ibu Hamil di Kabupaten Belu. Jurnal MKMI. 2017; Vol 13 (2).
9. Kemenkes RI. Buku saku: pelayanan keschatan ibu di fasilitas keschatan
dasar dan rujukan. Jakarta: WHO, POGI, IBI; 2013
10. Wafiyaunisa., Zahra. Rodiani. Hubungan Obesitas dengan Terjadinya
Preeklamsia. Majority. 2016; Vol 5 (5).
11. Sibai BM. Diagnosis, prevention, and management of eclampsia. Obster
Gynecol. Feb 2005;105(2):402-10.
12. Prasetya, Rodiani. Seorang Perempuan usia 35 tahun dengan Pre-
eklampsia berat dan parsial Hellp sindrom. Jurnal Medula Unila. 2016; 6
(1).
13. Wahyuni., Ari. Octiara, Liani. Anestesi Spinal pada Sectio Caesarea
dengan Indikasi Preeklampsia Berat: Sebuah Laporan Kasus. Medula.
2021. 11 (1).
14. Nusratuddin. Hartono., Eddy. Sungowati., Ketut. Edosalpingiosis. Majalah
Obstetri & Ginekologi. 2015. Vol 23 (1).
15. Kibas., Akbar. Latuconsina., Vina. Maelissa., Merlin. Hubungan Jumlah
Leukosit dengan Kejadian Preeklamsia di RSUD dr. M. Haulussy Ambon
Tahun 2018. Vol 3 (2).
16. Hajifoghaha,M.,Teshnizi,S.H., Forouhari,S., Dabbaghmanesh,M.H. 2022.
Association of thyroid function test abnormalities with preeclampsia: a
systematic review and meta-analysis. Jurnal BMC. 22:240.

Anda mungkin juga menyukai