Anda di halaman 1dari 25

CASE REPORT

PREEKLAMPSIA BERAT

PEMBIMBING
dr. Vonny, Sp.OG

PENDAMPING
dr. Tania Apriyani
dr. Ade Mirza

Disusun Oleh
dr. Danar Fahmi Sudarsono

INTESIP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DEMANG SEPULAU RAYA
LAMPUNG TENGAH
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan


peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya
tidak mengalami hipertensi. Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester
kedua sampai ketiga kehamilan. Gejalanya berkurang atau menghilang setelah
melahirkan sehingga terapi definitifnya mengakhiri kehamilan.
Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 – 15% dari seluruh kehamilan
di seluruh dunia. Preeklampsia bersama dengan penyakit hipertensi kehamilan
lainnya merupakan merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian dan kesakitan
terbanyak pada ibu hamil dan melahirkan di samping infeksi dan perdarahan
(Chunningham, et al, 2007). Sampai saat ini etiologi preeklampsia belum diketahui
secara pasti. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara lain
iskemik plasenta, maladaptasi imun dan factor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi
endotel dianggap berperan dalam patogenesis preeclampsia.
Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu
penyebab utama mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas
tersebut disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan dini
preeklampsia dan eklampsia, sehingga pasien tidak sempat mendapat penanganan
yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit rujukan, atau sampai ke rumah sakit
rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum semua rumah sakit rujukan
memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk menangani kasus
eklampsia pada khususnya, sehingga pengetahuan mengenai pengenalan faktor
resiko untuk dapat mendeteksi secara dini preeklampsia sangat diperlukan agar tidak
terjadi keterlambatan penanganan pertama dan rujukan.

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. ANAMNESA
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. H
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Panggungan
Tanggal Masuk : 5 April 2019
Jam Masuk : 18:00
HPHT : 4-8-2018
HPL : 11-5-2019
UK : 36-37 minggu

B. Keluhan Utama
Mulas seperti ingin melahirkan

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Datang seorang G4 P2 A1, 43 tahun ke IGD RS Demang Sepulau Raya
dengan keluhan merasa hamil 36-37 minggu, gerakan janin masih dirasakan,
mulas dan kenceng-kenceng teratur sudah mulai dirasakan, air-air belum
dirasakan keluar, keluar lendir darah (-). Nyeri kepala (+), kejang (-), nyeri di
sekitar ulu hati (-), pandangan mata kabur (-), mual (+), muntah(-), kaki
bengkak.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Sakit Jantung : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal

2
Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal

E. Riwayat Fertilitas
Belum dapat dinilai

F. Riwayat Obstetri
Buruk
G. Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Teratur, di bidan dan puskesmas

H. Riwayat Haid
Menarche : 15 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari

I. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, 1 tahun dengan suami sekarang

J. Riwayat KB
Tidak menggunakan kontrasepsi

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status generalis
Tanggal 5 April 2019
Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi cukup
Tanda vital :
T : 170/100 mmHg Rr : 20 x/ menit
N : 98 x/ menit S : 36,5 0C
SpO2 : 99%

Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva subnemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, pharing hiperemis (-)

3
Leher : Gld. thyroid tidak membesar, limfonodi tidak membesar
Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), RBK basal paru (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada,
stria gravidarum (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien
tidak membesar.
Perkusi : Timpani pada daerah bawah processus xyphoideus,
redup pada daerah uterus
Genital : Lendir (+) darah (-), air ketuban (-)
Ekstremitas Oedema

- -

+ +

akral dingin

- -

- -

Status Obstetri

4
Inspeksi
Kepala : simetris, mesocephal
Mata : Conjungtiva subnemis (+/+), Sclera Ikterik (-/-)
Thoraks : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen : Dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)
Genetalia Eksterna : vulva/uretra tenang, lendir darah (-), peradangan
(-), tumor (-)
Palpasi
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uteri,
memanjang, punggung di kanan, presentasi kepala, kepala
belum masuk panggul, TFU 29 cm, His (-), DJJ (+)
154x/menit
Pemeriksaan Leopold :
I : Teraba tinggi fundus uteri setinggi tepi atas pusat, teraba bagian besar
dan lunak di fundus, kesan bokong
II : Teraba bagian besar janin di sebelah kanan, kesan punggung, bagian
kecil di sebelah kiri
III : Teraba bagian bulat dan keras, kesan kepala
IV : Bagian terendah janin belum masuk panggul
Ekstremitas bawah : Oedem (+) akral dingin (-)
Ekstremitas atas : Oedem (+) akral dingin (-)

Auskultasi
DJJ (+) 155x per menit.

Pemeriksaan Dalam (VT) :


Pembukaan 1cm sempit, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak
mencucu di belakang, pembukaan (-),efficement 0%, kulit ketuban belum
dapat dinilai, preskep, bagian terbawah janin belum masuk panggul,
penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir (+) darah (-).

5
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rencana Pemeriksaan Lanjutan: darah rutin, HbSAg, golongan darah, GDS,


ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, albumin, protein total, protein urin
Tanggal 5 April 2019
Urinalisa
Kejernihan : Kuning agak keruh
Protein : ++++
Reduksi : (-)

Lab Darah
Hb : 10,6 g/dl
Hct : 31 %
AE : 3,72. 106 /μL
AL : 13,07 /μL Albumin : 2,66 g/dl
Total protein : 7,06 g/dl
AT : 207. 103 /μL Gol darah :B
SGOT : 42 u/l HbsAg : (-)
GDS : 98 mg/dl SGPT : 16 u/l
Ureum : 20 mg/dl Kreatinin : 0,5 mg/dl

III.KESIMPULAN
Seorang G4P2A1, 43 tahun, UK 36-37 minggu. T : 170/100 mmHg. Janin tunggal,
intra uteri, memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, his (-), DJJ (+)
reguler. Pembukaan 1 cm sempit, kepala belum masuk panggul. Portio lunak
mencucu di belakang, pembukaan (-), kulit ketuban belum dapat dinilai, preskep,
bagian terbawah janin belum masuk panggul, penunjuk belum dapat dinilai, air
ketuban (-), lendir (+) darah (-). Ekstrimitas inferior didapatkan oedema. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan proteinuria ++++, Hb : 10,6 g/dl, Hct : 31
%, AE : 3,72. 106 /μL, AL: 13,07 /μL, Albumin : 3,66 g/dl, SGOT: 42 u/l

6
IV. DIAGNOSIS
G4P2A1, 43 tahun, UK 36-37 minggu, JPKTH kala I fase laten dengan PEB

TERAPI
- Infus RL 20 tpm
- O2 3 liter/menit
- Protap MgSO4 40% injeksi 8 gr IM (4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri)
dilanjutkan 4 gr / 6 jam
- Nifedipin tab 3x10 mg
- Metildopa tab 3x250mg
- Motivasi untuk rencana SC

7
BAB III
PEMBAHASAN

1. Diagnosis Awal pasien


Pasien merupakan rujukan Puskesmas dengan keterangan PEB usia
kehamilan 36-37 minggu. Dari pemeriksaan fisik tekanan darah pasien 168/102
mmHg (sistolik ≥160 mmHg dan diastol ≥90 mmHg), pemeriksaan laboratorium
urinalisa proteinuria +4, gejala gangguan otak yakni nyeri kepala, peningkatan
SGOT (42 ug/dl) . Riwayat penyakit dahulu pasien mengaku tidak memiliki
riwayat hipertensi sebelum kehamilan. Melihat usia kehamilan pasien diatas 20
minggu disertai gejala dan tanda tersebut pasien dapat di diagnosis dengan
preeklamsia berat. Dari anamnesa pasien tidak didapatkan gejala-gejala
impending eklamsia yang meliputi mata kabur, mual muntah, nyeri epigastrium,
nyeri kuadran kanan atas abdomen.

Pemeriksaan laboratorium tambahan pada kasus di atas untuk mencari


penegakan sindroma HELLP pada kasus preeklamsia karena diagnosis
ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium, walaupun sampai saat ini belum ada
batasan yang tegas tentang nilai batas untuk masing-masing parameter.
Gambaran hemolisis merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.
Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah menjadi
bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis.
Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan
mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya eritrosit
imatur. Pada pre eklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1/5 kasus, dimana 50%
diantaranya adalah peningkatan SGOT. Laktat dehidrogenase (LDH) adalah
enzim katalase yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi
piruvat. LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT

8
menunjukkan terjadinya hemolisis. Jumlah platelet yang rendah menjadi acuan
untuk dikelompokkan dalam kelas Sindroma HELLP yang berbeda.

Pada hasil laboratorium pasien didapatkan hitung trombosit dalam batas


normal (207. 103 /μL), SGOT meningkat (42 ug/dl), SGPT dalam batas normal
(16 u/l), Albumin yang menurun (3,66 g/dl), proteinuria (++++). Pada PEB,
proteinuria bisa terjadi karena kerusakan sel glomerulus yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran protein
pada urin. Pada pasien ini, terdapat edema pada extremitas inferior. Edema
sebenaranya normal terjadi pada 40% wanita hamil kecuali edema yang
patologik. Edema patologik yaitu edema nondependent pada muka dan tangan,
atau edema generalisata (anasarka) dan biasanya disertai kenaikan berat badan
yang cepat.

Pada pre eklampsia terjadi vasospasme menyeluruh pada hampir semua


organ tubuh termasuk pada sistem saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan volume cairan intraseluler sel otak karena penurunan tekanan
osmotik koloid yang menyebabkan edema serebri sehingga dapat menimbulkan
gejala seperti kejang, nyeri kepala, vertigo, hiperrefleksi, dan buta kortical. Nyeri
kepala merupakan salah satu keadaan yang mengancam kearah eklamsia atau
disebut Impending Eklampsia

2. Penatalaksanaan PEB
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah terapi pada penyulit
dengan medikamentosa dan merencanakan sikap pada kehamilan tergantung dari
usia kehamilan. Pada terapi pasien disebutkan konservatif mempertahankan
kehamilan tanpa mempebgaruhi keselamatan pada ibu. Pada diagnosis awal
pasien tersebut dipilih terapi pengelolaan konservatif karena kehamilan masih
kurang bulan (36 minggu) dan belum ditemukan tanda-tanda eklampsia.
Kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa. Diharapkan dapat dipertahankan sampai usia kehamilan se-
aterm mungkin. Pemberian terapi medikamentosa dalam hal ini meliputi mondok
rumahsakit, pemberian terapi intravena, dan pemberian antikejang Mg SO4

9
sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pada pasien juga diberikan MgSO4.
Pemberian MgSO4 sebagai antikejang karena MgSO4 mampu menurunkan kadar
asetilkolin dan menghambat transmisi neuromuscular dengan menjadi kompetitif
inhibitor ion kalsium.

Pada pasien ini segera diberikan Dexamethasone rescue, yaitu pemberian


double strength dexamethasone. Dexamethasone diberikan 10 mg iv tiap 12 jam
selama dua hari. Kegunaan dari pemberian double strength dexamethasone ini
meningkatkan pematangan paru janin.

Dalam observasi selanjutnya, dimonitoring gejala impending eklamsia setiap


harinya, pengukuran proteinuria, tekanan darah. Ternyata tidak didapatkan
perbaikan keadaan ibu. Hal tersebut ditunjukkan dengan tekanan darah yang
belum mencapi target setelah 6 jam dan 24 jam setelah pemberian
medikamentosa, serta ditemukan keluhan nyeri kepala, mual dan muntah
walaupun proteinuria mengalami perbaikan (++).

3. Pemberian Antihipertensi
Pada pasien ini tekanan darah saat datang adalah 168/102, kemudian
diberikan nifedipin 3x 10 mg sebagai terapi hipertensi pada kehamilannya. Pada
literatur, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap yaitu penurunan awal
25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan hingga mencapai < 160/
105 atau MAP < 125. Nifedipin merupakan antihipertensi pada pre eklampsia lini
pertama dengan dosis 10-20 mg per oral, diulang setelah 30 menit dengan dosis
maksimal 120mg/24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek
vasodilatasi sangat cepat sehingga hanya boleh diberikan per oral.

Pada hipertensi kronis kehamilan, metildopa merupakan antihipertensi lini


pertama dengan dosis awal 3x 500 mg dosis maksimal 3 gram/ 24 jam. Lini
selanjutnya adalah antihipertensi dari golongan Calsium Canal Blocker seperti
nifedipin dengan dosis bervariasi antara 30- 90 mg/ hari.

Setelah mendapat kombinasi terapi nifedipin dan metildopa, pada pasien


tidak terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan. Pada evaluasi 6 jam

10
setelah terapi didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg dan pada evaluasi 24 jam
setelah terapi didapatkan tekanan darah 160/70 mmHg.

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat


Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria
(Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan
catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama
dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam
kehamilan, yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia
dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat
(George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam
atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia
kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan
preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat
menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat
berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa :
 Muntah-muntah
 Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
 Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema,
atau sakit karena perubahan pada lambung

12
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta.
Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan –
perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

2. Faktor Resiko Preeklampsia Berat


Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
termasuk preeclampsia berat, yaitu:
 Primigravida, primipaternitas
 Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
 Umur yang ekstrim.
 Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.
 Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar,
2008)
 Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang
dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2
 Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden
preeclampsia yang tinggi.
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan
secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi
kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam
kehamilan (Cunningham, et al, 2007).

3. Etiologi Preeklampsia Berat


Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
 Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
 Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada
kehamilan kembar atau kehamilan mola.
 Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.

13
 Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama
kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di
dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk
terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade
peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah
kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme,
transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),
penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon
inflamasi dari kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).

4. Patogenesis Preeklampsia Berat


Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan
pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan
conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat dalam
berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan
hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel
menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen, termasuk
platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel
junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi
ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia.
Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan

14
sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir
gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).

Aktivasi sel endotel


Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam
pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini,
faktor yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta - juga
dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi vaskular
endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan hasil dari
perubahan sel endotel yang luas.
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan
bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam
darah perifer wanita preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan
oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi oksida
nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan meningkatkan
kepekaan terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi
sel endotel akan terjadi:
 Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
 Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin lebih
tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi sebaliknya
sehingga berakibat naiknya tekanan darah.
 Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).
 Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik
morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan
meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi

15
endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan
preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk memproduksi
prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan serum wanita hamil
normal (Cunningham, et al, 2007).

5. Diagnosis dan Diagnosis Banding Preeklampsia Berat


Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
 Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg.
Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
 Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
 Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
 Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
 Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur.
 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan
edema).
 Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)
 Edema paru-paru dan sianosis.
 Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
 Trombositopenia (<100.000/mm3)
 Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
 Sindrom HELLP.

0 6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin

16
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
 Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
 Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung
pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
 Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi
medikamentosa
 Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara
prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan
kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan
dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5,
berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan
injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul
kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial
dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada
glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c
RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang
sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.

17
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang
dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.

Penanganan di rumah sakit


Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah
pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap
kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap,
yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
 Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan - SM 40 % 10 g im, terbagi pada
selama 5 menit glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :

18
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105
mmHg atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka

Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB


dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang
memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim

19
• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending
eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose
( loading dose tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat
deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason
24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
• Menimbang berat badan tiap hari
• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase,
Albumin serum dan faktor koagulasi
• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk
kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru
diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1
minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan
indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan

20
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
• Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi
kenaikan tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi
kenaikan tekanan darah yang progresif
• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
• Didapatkan gangguan fungsi hepar
• Didapatkan gangguan fungsi ginjal
• Terjadi solusio plasenta
• Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
• Usia kehamilan ≥ 37 minggu
• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
• Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
• Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam,
mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai
berikut :
(i) Pasien belum inpartu
• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor
pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan
misoprostol 25 μg intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila
tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi
kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.

21
• Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
• Kala II diperingan
• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised,
persalinan dilakukan dengan operasi sesar
• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi
sesar

7. Komplikasi Preeklampsia Berat


Penyulit Ibu
a. SSP : Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal detachment
Kebutaan cortex
b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal : Gagal ginjal akut
Nekrosis Tubular Akuta
d. Hematologik:
DIC

22
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
Iskemia miokardium
(Angsar, 2008)

Penyulit Janin
a. PJT
b. Solusio plasenta
c. IUFD
d. Kematian neonatal
e. Prematuritas
f. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)

DAFTAR PUSTAKA

Angsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi
keempat halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

23
Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD et
al. 2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics. 21th ed.
London: Prentice-Hall International, 2001: 567-618.

Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current


Concepts. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.

Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding Seminar


Konsep Mutakhir Preeklampsia.

Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN. Maternal
Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And Low
Platelets) Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.

Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI


Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang

Roberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced


Hypertension. Lancet 1993; 341: 1447-1454.

Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin.
Preeclampsia: An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989; 161:
1200-1204.

Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology


2000; 6: 261-270.

24

Anda mungkin juga menyukai