Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

SEORANG PEREMPUAN G3P2A0 HAMIL 35 MINGGU DENGAN


PREEKLAMPSIA BERAT

Disusun Oleh:
dr. Ananda Chaerunnisa P.

Dokter Pendamping:
dr. Aprizal, MARS

Dokter Penanggung Jawab


Pasien: dr. Tanko Lotisna, SpOG

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................2
BAB II. STATUS PASIEN......................................................................................3
I. Anamnesis.....................................................................................................3
II. Pemeriksaan Fisik.........................................................................................5
III. Pemeriksaan Penunjang................................................................................7
IV. Kesimpulan...................................................................................................8
V. Diagnosis.......................................................................................................9
VI. Terapi............................................................................................................9
BAB III. DISKUSI.................................................................................................10
BAB IV. TINJAUAN PUSTAKA
4.1. Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat..............................................13
4.2. Faktor Risiko...............................................................................................14
4.3. Etiologi........................................................................................................14
4.4. Patogenesis..................................................................................................15
4.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding..............................................................17
4.6. Penatalaksanaan..........................................................................................18
4.7. Komplikasi..................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26

1
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia adalah salah satu komplikasi kehamilan yang ditandai


dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang
sebelumnya tidak mengalami hipertensi. Biasanya sindroma ini muncul pada akhir
trimester kedua sampai ketiga kehamilan. Gejalanya berkurang atau menghilang
setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya mengakhiri kehamilan.
Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio
plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran
premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death
(IUFD).
Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 – 15% dari seluruh kehamilan
di seluruh dunia. Preeklampsia bersama dengan penyakit hipertensi kehamilan
lainnya merupakan merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian dan kesakitan
terbanyak pada ibu hamil dan melahirkan di samping infeksi dan perdarahan
(Chunningham, et al, 2007). Sampai saat ini etiologi preeklampsia belum diketahui
secara pasti.
Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu
penyebab utama mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas
tersebut disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan dini
preeklampsia dan eklampsia, sehingga pasien tidak sempat mendapat penanganan
yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit rujukan, atau sampai ke rumah sakit
rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum semua rumah sakit rujukan
memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk menangani kasus
eklampsia pada khususnya, sehingga pengetahuan mengenai pengenalan faktor
resiko untuk dapat mendeteksi secara dini preeklampsia sangat diperlukan agar
tidak terjadi keterlambatan penanganan pertama dan rujukan.
BAB II
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. R
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kampung Talaga, Sukamakmur, Bogor
No RM 137000
Tanggal Masuk : 25 Januari 2021
Jam Masuk : 23.25
HPMT : 22-05-2020
HPL : 26-02-2021
UK : 35 minggu

B. Keluhan Utama
Pusing

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengaku hamil 35 minggu, HPHT 22-05-2020, rujukan dari
Puskesmas Sukamakmur, datang dengan keluhan pusing sejak tadi pagi
sampai tidak bisa bangun. Gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng
teratur belum dirasakan, air kawah belum dirasakan keluar, keluar lendir darah
(-). Pusing (+), kejang (-), nyeri di sekitar ulu hati (-), pandangan mata kabur
(-), mual(-), muntah(-). Batuk (-), pilek (-), sesak (-), nyeri tenggorokan (-),
gangguan penghidu (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : (+) sejak 2 minggu terakhir, konsumsi
amlodipine 1x10mg
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Sakit Jantung : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal

E. Riwayat Fertilitas
Baik

F. Riwayat Obstetri
1. 2007, perempuan, pervaginam, lahir di puskesmas
2. 2013, perempuan, pervaginam, lahir di puskesmas
3. Hamil ini

G. Riwayat Ante Natal Care (ANC)


Teratur, di bidan dan puskesmas

H. Riwayat Haid
Menarche : 15 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari

I. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, 15 tahun dengan suami sekarang.

J. Riwayat KB
Menggunakan KB IUD sejak 2013, lepas pada 2020.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status generalis
Tanggal 25 Januari 2021
Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi cukup
Tanda vital :
T : 180/122 mmHg Rr : 22 x/ menit
N : 92 x/ menit S : 36,7 0C
SpO2 : 97%

Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, pharing hiperemis
(-) Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak
membesar
Thorax: Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-) Abdomen : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada,
stria gravidarum
(+) Auskultasi: BU (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien
tidak membesar.
Perkusi : Timpani pada daerah bawah processus xyphoideus,
redup pada daerah uterus
Genital : Lendir darah (-), air ketuban (-)
Ekstremitas Oedema

- -

+ +

akral dingin

- -

- -

B. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala : simetris, mesocephal
Mata : Conjungtiva subnemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Thoraks : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen : Dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)
Genetalia Eksterna : vulva/uretra tenang, lendir darah (-), peradangan (-
), tumor (-)
Palpasi
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uteri,
memanjang, punggung di kiri, presentasi kepala, kepala
belum masuk panggul, TFU 27 cm, His (-), DJJ (+)
136x/menit, reguler
Pemeriksaan Leopold :
I : Teraba tinggi fundus uteri setinggi tepi atas pusat, teraba bagian besar
dan lunak di fundus, kesan bokong
II : Teraba bagian besar janin di sebelah kiri, kesan punggung, bagian
kecil di sebelah kanan
III : Teraba bagian bulat dan keras, kesan kepala
IV : Bagian terendah janin belum masuk panggul
Ekstremitas bawah : Oedem (+) akral dingin (-)
Ekstremitas atas : Oedem (-) akral dingin (-)
Auskultasi
DJJ (+) 136x/menit, reguler.
Pemeriksaan Dalam (VT) :
V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu di
belakang, pembukaan (-),efficement 0%, kulit ketuban belum dapat dinilai,
preskep, bagian terbawah janin belum masuk panggul, penunjuk belum
dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (-).

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal 25 Januari 2021

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.4 g/dL 12.0 – 14.0
Hematokrit 37 % 37 – 46
Leukosit 13800 /uL 5000 – 10000
Eritrosit 4.7 juta/uL 4.0 – 5.0
Trombosit 175000 /uL 150000 – 450000
LED 44 mm/jam <15
Golongan Darah O / Rh (+)
IMUNOSEROLOGI
Anti HIV Non reaktif Non reaktif
RPR Sifilis Negatif Negatif
HBsAg Negatif Negatif
KIMIA KLINIK
Gula Darah
Gula Darah Sewaktu 98 mg/dL <200
Fungsi Ginjal
Ureum 16 mg/dL <50
Kreatinin 1.0 mg/dL 0.5 – 1.5
Fungsi Liver
SGOT 21 U/L 37’C <37
SGPT 10 U/L 37’C <42
Elektrolit
Natrium 139 mmol/L 135 – 155
Kalium 3.9 mmol/L 3.5 – 5.5
Klorida 112 mmol/L 95 – 108
URINE
Makroskopis
Warna Urin Kuning Kuning
Kejernihan Keruh
Kimia Urin
Blood Urine Positif 3 /uL Negatif
Protein Urin Positif 2 mg/dL Negatif
Glukosa Urin Negatif mg/dL Negatif
Keton Urin Negatif mg/dL Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 30 – 40 /lpb <1
Leukosit 8 – 10 /lpb <6
Sel Epitel 1–3 /lpb
Bakteri Positif /lpb Negatif
RAPID TEST
IgG Non Reaktif Non Reaktif
IgM Non Reaktif Non Reaktif

IV. KESIMPULAN
Seorang G3P2A0, 36 tahun, UK 35 minggu. TD : 180/122 mmHg. Janin tunggal,
intra uteri, memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, his (-), DJJ (+) reguler.
Kepala belum masuk panggul. Portio lunak mencucu di belakang, pembukaan (-),
kulit ketuban belum dapat dinilai, preskep, bagian terbawah janin belum masuk
panggul, penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (-).
Ekstrimitas inferior didapatkan oedema. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan proteinuria +2, Hb : 12.4 g/dl, Hct : 37 %, AE : 4.7. 10 6 /μL, AL:
13800 /μL, SGOT: 21 u/L, SGPT 10 u/L.

V. DIAGNOSIS
G3P2A0 hamil 35 minggu dengan Preeklampsia Berat

VI. TERAPI
Sudah masuk dari Puskesmas:
- MgSO4 4 gr dalam NaCl 0.9% 100cc
- MgSO4 6 gr dalam NaCl 0.9% 500cc
- Amlodipin 1x10mg po
- Terpasang DC
Konsul dr Tanko, Sp.OG :
- Mondok konservatif pertahankan kehamilan
- MgSO4 4 gr dalam NaCl 0.9% 100cc selanjutnya10 gr dalam NaCl 0.9%
500cc 20tpm
- Line 2: Infus RL 20 tpm
- Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam iv
- Injeksi Dexamethason 1 amp/12 jam2 hari
- Nifedipin tab 10 mg SL setiap 30 menit maksimal 120mg / hari
- Metildopa tab 500mg po
- Pasang DC  balance cairan
- Awasi tanda-tanda impending eklampsia, KUVS
BAB III
DISKUSI

1. Diagnosis Awal pasien


Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Sukamakmur dengan keterangan
PEB usia kehamilan 35 minggu. Dari pemeriksaan fisik tekanan darah pasien
180/122 mmHg (sistolik ≥160 mmHg dan diastol ≥90 mmHg), pemeriksaan
laboratorium urinalisa proteinuria +2, gejala gangguan otak yakni nyeri kepala.
Riwayat penyakit dahulu pasien mengaku tidak memiliki riwayat hipertensi
sebelum kehamilan. Melihat usia kehamilan pasien diatas 20 minggu disertai
gejala dan tanda tersebut pasien dapat di diagnosis dengan preeklamsia berat.
Dari anamnesa pasien tidak didapatkan gejala-gejala impending eklamsia yang
meliputi mata kabur, mual muntah, nyeri epigastrium, nyeri kuadran kanan atas
abdomen.

Pemeriksaan laboratorium tambahan pada kasus di atas untuk mencari


penegakan sindroma HELLP pada kasus preeklamsia karena diagnosis
ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium, walaupun sampai saat ini belum ada
batasan yang tegas tentang nilai batas untuk masing-masing parameter.
Gambaran hemolisis merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.
Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah menjadi
bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis.
Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan
mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya eritrosit
imatur. Pada pre eklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1/5 kasus, dimana 50%
diantaranya adalah peningkatan SGOT. Laktat dehidrogenase (LDH) adalah
enzim katalase yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi
piruvat. LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT
menunjukkan terjadinya hemolisis. Jumlah platelet yang rendah menjadi acuan
untuk dikelompokkan dalam kelas Sindroma HELLP yang berbeda.
Pada hasil laboratorium pasien didapatkan hitung trombosit dalam batas
normal, SGOT dan SGPT dalam batas normal, proteinuria (++). Pada PEB,
proteinuria bisa terjadi karena kerusakan sel glomerulus yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran protein
pada urin. Pada pasien ini, terdapat edema pada extremitas inferior. Edema
sebenaranya normal terjadi pada 40% wanita hamil kecuali edema yang
patologik. Edema patologik yaitu edema nondependent pada muka dan tangan,
atau edema generalisata (anasarka) dan biasanya disertai kenaikan berat badan
yang cepat.

Pada pre eklampsia terjadi vasospasme menyeluruh pada hampir semua


organ tubuh termasuk pada sistem saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan volume cairan intraseluler sel otak karena penurunan tekanan
osmotik koloid yang menyebabkan edema serebri sehingga dapat menimbulkan
gejala seperti kejang, nyeri kepala, vertigo, hiperrefleksi, dan buta kortical. Nyeri
kepala merupakan salah satu keadaan yang mengancam kearah eklamsia atau
disebut Impending Eklampsia

2. Penatalaksanaan PEB
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah terapi pada penyulit
dengan medikamentosa dan merencanakan sikap pada kehamilan tergantung dari
usia kehamilan. Pada terapi pasien disebutkan konservatif mempertahankan
kehamilan tanpa mempebgaruhi keselamatan pada ibu. Pada diagnosis awal
pasien tersebut dipilih terapi pengelolaan konservatif karena kehamilan masih
kurang bulan (35 minggu) dan belum ditemukan tanda-tanda eklampsia.
Kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa. Diharapkan dapat dipertahankan sampai usia kehamilan se-
aterm mungkin. Pemberian terapi medikamentosa dalam hal ini meliputi mondok
rumahsakit, pemberian terapi intravena, dan pemberian antikejang Mg SO4
sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pada pasien juga diberikan MgSO4.
Pemberian MgSO4 sebagai antikejang karena MgSO4 mampu menurunkan kadar
asetilkolin dan menghambat transmisi neuromuscular dengan menjadi kompetitif
inhibitor ion kalsium.

Pada pasien ini segera diberikan Dexamethasone rescue, yaitu pemberian


double strength dexamethasone. Dexamethasone diberikan 10 mg iv tiap 12 jam
selama dua hari. Kegunaan dari pemberian double strength dexamethasone ini
meningkatkan pematangan paru janin.

Dalam observasi selanjutnya, dimonitoring gejala impending eklamsia setiap


harinya, pengukuran proteinuria, tekanan darah. Ternyata tidak didapatkan
perbaikan keadaan ibu. Hal tersebut ditunjukkan dengan tekanan darah yang
belum mencapi target setelah 6 jam dan 24 jam setelah pemberian
medikamentosa, serta ditemukan keluhan nyeri kepala, mual dan muntah
walaupun proteinuria mengalami perbaikan (++).

3. Pemberian Antihipertensi
Pada pasien ini tekanan darah saat datang adalah 180/122, kemudian
diberikan nifedipin 10 mg SL sebagai terapi hipertensi pada kehamilannya. Pada
literatur, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap yaitu penurunan awal
25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan hingga mencapai < 160/
105 atau MAP < 125. Nifedipin merupakan antihipertensi pada pre eklampsia lini
pertama dengan dosis 10-20 mg per oral, diulang setelah 30 menit dengan dosis
maksimal 120mg/24 jam.

Pada hipertensi kronis kehamilan, metildopa merupakan antihipertensi lini


pertama dengan dosis awal 3x 500 mg dosis maksimal 3 gram/ 24 jam. Lini
selanjutnya adalah antihipertensi dari golongan Calsium Canal Blocker seperti
nifedipin dengan dosis bervariasi antara 30- 90 mg/ hari.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 DEFINISI DAN KLASIFIKASI PREEKLAMPSIA BERAT


Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria
(Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan
catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama
dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam
kehamilan, yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia
dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat
(George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam
atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia
kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan
preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat
menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat
berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa :
 Muntah-muntah
 Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
 Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema,
atau sakit karena perubahan pada lambung
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta.
Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan –
perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

4.2 FAKTOR RESIKO PREEKLAMPSIA BERAT


Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
termasuk preeclampsia berat, yaitu:
 Primigravida, primipaternitas
 Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
 Umur yang ekstrim.
 Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.
 Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar,
2008)
 Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang
dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2
 Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden
preeclampsia yang tinggi.
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan
secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi
kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam
kehamilan (Cunningham, et al, 2007).

4.3 ETIOLOGI PREEKLAMPSIA BERAT


Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
 Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
 Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada
kehamilan kembar atau kehamilan mola.
 Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.
 Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama
kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di
dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk
terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade
peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah
kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme,
transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),
penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon
inflamasi dari kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).

4.4 PATOGENESIS PREEKLAMPSIA BERAT


4.4.1 Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan
pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan
conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat dalam
berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan
hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel
menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen, termasuk
platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel
junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi
ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia.
Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan
sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir
gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).

4.4.2 Aktivasi sel endotel


Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam
pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini,
faktor yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta - juga
dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi vaskular
endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan hasil dari
perubahan sel endotel yang luas.
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan
bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam
darah perifer wanita preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan
oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi oksida
nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan meningkatkan
kepekaan terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi
sel endotel akan terjadi:
 Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
 Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin lebih
tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi sebaliknya
sehingga berakibat naiknya tekanan darah.
 Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).
 Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik
morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan
meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi
endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan
preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk memproduksi
prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan serum wanita hamil
normal (Cunningham, et al, 2007).

4.5 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING PREEKLAMPSIA BERAT


Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
 Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg.
Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
 Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
 Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
 Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
 Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur.
 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan
edema).
 Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)
 Edema paru-paru dan sianosis.
 Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
 Trombositopenia (<100.000/mm3)
 Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
 Sindrom HELLP.

4.6 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling
aman Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua
unsur:
 Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
 Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung
pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
 Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi
medikamentosa
 Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

4.6.1 Penanganan di Puskesmas


Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara
prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan
kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan
dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5,
berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan
injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul
kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial
dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada
glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c
RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang
sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang
dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.

4.6.2 Penanganan di rumah sakit


Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah
pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap
kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu
:
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
 Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan - SM 40 % 10 g im, terbagi pada
selama 5 menit glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan
sampai 24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105
mmHg atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka

Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB


dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang
memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim
• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending
eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose
( loading dose tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat
deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason
24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
• Menimbang berat badan tiap hari
• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase,
Albumin serum dan faktor koagulasi
• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk
kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru
diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1
minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan
indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
• Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi
kenaikan tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi
kenaikan tekanan darah yang progresif
• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
• Didapatkan gangguan fungsi hepar
• Didapatkan gangguan fungsi ginjal
• Terjadi solusio plasenta
• Timbul onset persalinan atau ketuban
pecah (ii). Indikasi Janin
• Usia kehamilan ≥ 37 minggu
• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
• Terjadi
oligohidramnion (iii). Indikasi
Laboratorium
• Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam,
mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai
berikut :
(i) Pasien belum inpartu
• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor
pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan
misoprostol 25 μg intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila
tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi
kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
• Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
• Kala II diperingan
• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised,
persalinan dilakukan dengan operasi sesar
• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi
sesar

4.7 KOMPLIKASI PREEKLAMPSIA BERAT


4.7.1 Penyulit Ibu
a. SSP : Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal
detachment Kebutaan cortex
b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal : Gagal ginjal akut
Nekrosis Tubular Akuta
d. Hematologik:
DIC
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
Iskemia
miokardium (Angsar, 2008)
4.7.2 Penyulit Janin
a. PJT
b. Solusio
plasenta
c. IUFD
d. Kematian neonatal
e. Prematuritas
f. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)
DAFTAR PUSTAKA

Angsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi
keempat halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD et
al. 2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics. 21th ed.
London: Prentice-Hall International, 2001: 567-618.

Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current


Concepts. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.

Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding Seminar


Konsep Mutakhir Preeklampsia.

Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN. Maternal
Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And Low
Platelets) Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.

Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI


Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang

Roberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced


Hypertension. Lancet 1993; 341: 1447-1454.

Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin.
Preeclampsia: An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989;
161: 1200-1204.

Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology


2000; 6: 261-270.

Anda mungkin juga menyukai