Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis, akan tetapi ada

beberapa keadaaan yang dapat menyebabkan kehamilan penuh dengan

ancaman. Diawali dari saat hasil bertemunya sperma dan ovum (konsepsi)

yang tidak menempel dengan sempurna ke rahim, kemungkinan

pertumbuhan janin yang terhambat, berbagai penyakit ibu yang

mengancam kehamilan, hingga proses kelahiran yang juga mempunyai

resiko tersendiri. Salah satu penyakit yang sering mengancam kehamilan

adalah preeklampsia berat (Cunningham, 2006).

Preeklampsia Berat (PEB)adalah kondisi spesifik kehamilan yang

ditandai dengan hipertensi dan proteinuria yang terjadi setelah kehamilan

20 minggu dimana sebelumnya ibu memiliki tekanan darah

normal.Temuan yang paling penting adalah hipertensi, ibu dengan PEB

memiliki tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan diastolic ≥110 mmHg.

PEB mempersulit sekitar 3% sampai 7% dari seluruh kehamilan yang

mempunyai kontribusi signifikan terhadap kematian ibu dan bayi

(Shannon, 2012).

Penyebab pasti dari preeklampsia masih belum diketahui pasti.

Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang akan

menderita preeklampsia. Akan tetapi, ada beberapa faktor resiko tertentu


2

yang berkaitan dengan perkembangan penyakit : primigravida atau

multipara dengan usia lebih tua, usia < 18 atau > 35, berat <50 kg atau

gemuk, adanya proses penyakit kronis, preeklampsia pada kehamilan

sebelumnya, komplikasi kehamilan seperti janin besar, kehamilan dengan

janin lebih dari satu, obesitas, polihidramnion (Sibai, 2007). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Rustveld (2008) menemukan faktor risiko

lain pada preeklampsia yaitu perempuan yang mengalami infeksi,

khususnya penyakit periodontal dan penyakit saluran kemih. Kira-kira

85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama. Preeklampsia terjadi

pada 14% sampai 20% kehamilan dengan janin lebih dari satu dan 30%

pasien mengalami anomaly rahim yang berat. Pada ibu yang mengalami

hipertensi kronis, penyakit ginjal, insiden mencapai 25% (Bobak, 2004).

Banyak teori yang mencoba menjelaskan penyebab preeklampsia

berat. Salah satu teori yang berkembang saat ini adalah perubahan

patologis yang disebabkan oleh gangguan perfusi plasenta dan kerusakan

sel endotel. Pada ibu dengan preeklampsia terjadi ketidakadekuatan

remodeling vascular sehingga terjadi penurunan perfusi plasenta dan

hipoksia. Iskemia plasenta diduga menyebabkan disfungsi sel endotel

dengan merangsang pelepasan zat yang merupakan racun bagi sel-sel

endotel, sehingga terjadi vasospasme, dimana mengakibatkan penurunan

perfusi ke semua sistem organ

Preeklampsia berat dapat menimbulkan berbagai dampak

diantaranya bayi berat lahir rendah, dan dilahirkan sebelum waktunya.


3

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan berkurangnya kiriman darah ke

plasenta. Akibatnya, perkembangan bayi pun jadi lambat dan memicu

terjadinya persalinan dini. Lebih fatal lagi, penyakit ini bisa menyebabkan

lepasnya jaringan plasenta secara tiba-tiba dari uterus sebelum waktunya.

Preeklampsia berakibat fatal jika tidak segera ditindak, akan merusak

plasenta sehingga menyebabkan bayi lahir dalam keadaan tidak bernyawa

atau lahir premature. PEB juga memberikan dampak terhadap berbagai

organ ibu antara lain ginjal, otak, retina, paru-paru dan jantung. Selain itu

PEB juga mengakibatkan sindrom HELLP yang dikarakteristikkan

hemolisis (H) sel darah merah, peningkatan kadar enzim hati (EL), dan

trombosit rendah (LP) dan komplikasi yang lebih serius bisa menyebabkan

kejang/eklampsia dan koma (Bobak, 2004; Cuninngham, 2006).

Terminasi kehamilan sering menjadi penyembuhan bagi

preeklampsia berat (Cunningham. 2006). Penatalaksanaan segera dapat

menurunkan angka kejadian preeklampsia dan secara tidak langsung dapat

menurunkan angka kematian ibu. Walaupun demikian, gejala sisa setelah

sembuh dari preeklampsia berat sering dirasakan oleh ibu. Hal ini

disebabkan karena telah terjadi perubahan pada organ-organ vital ibu saat

terjadi PEB, seperti spasmus arteriola pada retina yang menyebabkan

gangguan penglihatan menetap pada ibu (Wiknjosastro, 2007).

Menurut World HealthOrganization (WHO) angka kejadian

preeklampsia pada tahun 2005 berkisar antara 0,51%-38,4%. Di negara

maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6%-7% sedangkan angka


4

kejadian di Indonesia adalah sekitar 3,4-8,5% (Atrikasari, 2009). Selain itu

hasil survei yang dilakukan oleh Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak

(2010) tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan,

preeklampsia/eklampsia, dan infeksi. Hasil analisa sensus penduduk

menunjukkan proporsi preeklampsia 32%, infeksi 31%, dan perdarahan

20%.Proporsi ketiga penyebab kematian ini telah berubah, dimana

perdarahan dan infeksi semakin menurun sedangkan preeclampsia

/eklampsia proporsinya semakin meningkat.

Data penderita preeklampsia berat di RSUP Dr. M. Djamil Padang

tahun 2008 sebanyak 27 orang, mengalami peningkatan hampir tiga kali

lipat tahun 2009 yaitu sebanyak 70 orang dan pada tahun 2010 pasien

sebanyak 80 orang. Data tiga bulan terakhir periode Agustus-Oktober

2014 kasus PEB sebanyak 40 orang. Ini berarti terjadi peningkatan yang

cukup signifikan setiap tahun (Data Rekam Medis RSUP Dr. M. Djamil

Padang, 2014).

Tingginya angka kejadian preeklampsia sebagai akibat

perkembangan dari preeklampsia yang tidak terkontrol memberikan

kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya angka kematian ibu

(Mayes, 2007). Selain itu, kecil kemungkinan ibu akan sembuh sempurna

setelah mengalami preeklampsia berat (Scott, 2002). Maka dari itu penulis

terdorong untuk melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif pada

pasien preeklampsia berat dengan komplikasi HELLP sindrom dan ablasio

retina di ruang rawat gabung RSUP Dr. Djamil Padang.


5

Selain penatalaksanaan preeklampsia, upaya memberikan

perawatan yang efektif dan aman bagi pasien risiko tinggi membutuhkan

usaha dari seluruh anggota tim kesehatan secara bersama-sama, dengan

setiap anggota tim menyumbang keterampilan dan kemampuan yang unik

untuk menghasilkan hasil akhir yang optimal bagi pasien. Salah satu upaya

memberikan perawatan yang efektif dan aman bagi pasien adalah

meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai serta pengelolaan

obat oral dan injeksi.

Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi risiko. Untuk

meningkatkan keselamatan pasien,organisasi kesehatan dunia dalam WHO

for Patient Safety Solutions With Joint Commission International(2007)

juga telah menjelaskan bahwa sasaran keselamatan pasien yang perlu

tercapai pada sebuah rumah sakit (Adji, 2012) adalah: (1) Ketepatan

identifikasi pasien; (2) Peningkatan komunikasi yang efektif; (3)

Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; (4) Kepastian tepat-

lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; (5) Pengurangan risiko infeksi

terkait pelayanan kesehatan; dan (6)Pengurangan risiko pasien jatuh.

Untuk mencapai sasaran keselamatan pasien, manajemen ruangan harus

menjalankan fungsi manajerial untuk patient safety dengan optimal.

Obat merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses

penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan dan pencegahan terhadap

suatu penyakit. Keputusan penggunaan obat selalu mengandung

pertimbangan antara manfaat dan risiko. Setiap obat memiliki fungsi


6

berbeda dengan cara pakai yang berbeda pula secara rute maupun

waktunya.Bahkan obat yang dikonsumsi tidak sesuai dengan waktu dapat

berdampak buruk dan mengurangi manfaatnya, misalnya antibiotik. Salah

satu masalah yang sering muncul di pelayanan keperawatan adalah

masalah obat. Banyaknya jenisobat, jenis pemeriksaan dan prosedur,

merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis

(medicalerrors) (Cahyono, 2008).

Angka kejadian medication errors (ME) merupakan ancaman

serius bagi keselamatan dan kesehatan pasien. Laporan dari Institute of

Medicine (IOM) secara terbuka menyatakan bahwa paling sedikit terdapat

44.000 bahkan 98.000 pasien dalam satu tahun akibat kesalahan medis

yang sebetulnya bisa dicegah. Berdasarkan laporan Peta Nasional Insiden

Keselamatan Pasien (Depkes, 2008) kesalahan dalam pemberian obat

menduduki peringkat pertama (24,8%) dari 10 besar insiden yang

dilaporkan. Angka kejadian kesalahan pengobatan di Indonesia tidak

terdata secaara jelas dikarenakan kejadian tersebut lebih banyak ditutupi,

namun berdasarkan studi awal Lestari Y dalam Maynafi (2012), pada

Januari hingga Agustus 2009 di salah satu rumah sakit swasta di Kudus

didapatkan data bahwa sebanyak 30% obat yang diberikan tidak

didokumentasikan, 15% obat diberikan dengan cara yang tidak tepat, 23%

obat diberikan dengan waktu yang tidak tepat, 2% obat tidak diberikan,

dan 12% obat diberikan dengan dosis yang tidak tepat.


7

Keperawatan di Indonesia saat ini masih dalam suatu proses

profesionalisasi, yaitu terjadinya suatu perubahan dan perkembangan

karakteristik sesuai tuntutan secara global dan lokal. Untuk

mewujudkannya maka selain asuhan keperawatan secara profesional pada

kanker serviks perawat juga harus memperhatikan keefektifan pengelolaan

obat di ruangan guna menunjang pelayanan yang diberikan kepada pasien.

Pemberian obat sesuai dengan 12 benar dan peningkatan keamanan obat

yang berbahaya, sesuai dengan standar pasien safety bertujuan untuk

mencegah kesalahan pengobatan dan melindungi pasien dari bahaya obat-

obatan. Dimana ketepatan perlu dalam pemberian obat agar obat efektif

dan bekerja dengan baik (Salendab dalam Cetd, 2012).

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan perawat

diruangan Ginekologi yang dilakukan pada tanggal 7-8 Oktober 2014,

didapatkan hasil bahwa dari 11 orang pasien yang dirawat memegang

sendiri obat yang diberikan, baik injeksi maupun oral. Dan dalam hal

konsumsi obat oral, perawat tidak memberikan langsung sesuai dengan

waktu meminum obat. Hasil wawancara dengan 8 orang dari 11 pasien

didapatkan bahwa pasien terkadang lupa meminum obatnya, dan terkadang

tidak tahu pasti waktu yang tepat untuk minum obat sesuai dosisnya.

Sedangkan untuk Obat-obat high alert, NASA, dan NORUM tidak ada

pemisahan tempat penyimpanan maupun pelebelan khusus.Hasil

wawancara dengan Perawat pelaksana didapatkan bahwa ruangan belum

memiliki fasilitas dan SOP untuk melaksanakan manajemen obat.


8

Berdasarkan latar belakang diatas dan fenomena yang ditemukan,

maka penulis tertarik menyusun Laporan Ilmiah Akhir tentang “Asuhan

Keperawatan pada Pasien Post Sectio CaesariaAtas Indikasi Preeklampsia

Berat dan Manajemen Pengelolaan Obat Oral dan Injeksi dan

Penyimpanan High Alertdi Ruangan Kebidanan RSUP Dr. M. Djamil

Padang Tahun 2014”.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien

preeklampsia berat dan melakukan aplikasi manajemen keperawatan di

Ruangan Kebidanan RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2014

2. Tujuan khusus

a) Manajemen Asuhan Keperawatan

1. Melakukan pengkajian yang komprehensif pada pasien

preeklampsia berat di ruangan Rawat Gabung Kebidanan

RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2. Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien preeklampsia

berat di ruangan Rawat Gabung Kebidanan RSUP Dr. M.

Djamil Padang.

3. Membuat perencanaan keperawatan pada pasien preeklampsia

berat di ruangan Rawat Gabung Kebidanan RSUP Dr. M.

Djamil Padang.
9

4. Melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien

preeklampsia berat di ruangan Rawat Gabung Kebidanan

RSUP Dr. M. Djamil Padang.

5. Mendokumentasikan evaluasi keperawatan pada pasien

preeklampsia berat di ruangan Rawat Gabung Kebidanan

RSUP Dr. M. Djamil Padang.

b) Manajemen Layanan Keperawatan

1. Mengidentifikasi masalah manajemen pengelolaan dan

penyimpanan obat oral, injeksi dan high alertdi ruangan Rawat

Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2. Membuat perencanaan manajemen pengelolaan dan

penyimpanan obat oral, injeksi dan high alertdi ruangan Rawat

Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.

3. Melaksanakan implementasi pada masalah manajemen

pengelolaan dan penyimpanan obat oral, injeksi dan high

alertdi ruangan Rawat Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil

Padang.

4. Melakukan evaluasi terhadap implementasi yang dilakukan

terhadap masalah pengelolaan dan penyimpanan obat oral,

injeksi dan high alertdi ruangan Rawat Ginekologi RSUP Dr.

M. Djamil Padang.
10

C. Manfaat

1. Bagi Instansi Pendidikan

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan informasi dan

referensi kepustakaan untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai

masalah preeklampsia khususnya asuhan keperawatan pada

pasiendengan preeklampsia beratdan pengelolaan masalah manajemen

layanan di suatu ruangan.

2. Bagi Pasien

Diharapkan pasien dengan preeklampsia beratbisa mendapatkan

penanganan yang tepat, sehingga bisa meminimalisir komplikasi yang

akan terjadi dan pelayanan asuhan keperawatan yang komprehensif.

3. Bagi Peneliti

Penulisan ilmiah ini diharapkan untuk menambah wawasan dalam

mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan

menginformasikan data, meningkatkan pengetahuan dalam bidang

keperawatan serta dapat menjadi bahan masukan bagi penulis lain.

4. Bagi Ruangan

Penulisan ini diharapkan ruangan dapat memaksimalkan pelaksanaan

manajemenpengelolaan dan penyimpanan obat oral, injeksi dan high

alertdan manajemen asuhan keperawatan pada semua pasien terutama

pada pasien masalah preeklampsia berat yang memerlukan perhatian

khusus.

Anda mungkin juga menyukai