Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dewasa ini, angka kejadian Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) semakin
meningkat, terutama pada wanita usia reproduktif, dimana menimbulkan keluhan atau
masalah yang berkaitan dengan Infertilitas (Giovanni, 2016). Infertilitas masih
merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. World Health World
Health Organization (WHO) secara global memperkirakan adanya kasus infertil pada
8%-10% pasangan atau sekitar 2 juta pasangan infertil baru setiap tahun dan jumlah
ini terus meningkat (Triwani, 2013). Pada tahun 2013 angka infertilitas di Indonesia
telah meningkat mencapai 15-25% dari seluruh pasangan suami istri (Ahsan dkk,
2012).

Infertilitas pada wanita secara umum disebabkan oleh gangguan ovulasi,


gangguan pada tuba, gangguan pada uterus dan lain-lain. Salah satu penyebab
terjadinya gangguan ovulasi adalah Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) masih
menjadi masalah di bidang kesehatan reproduksi secara global. (Fitria, 2016).
Menurut Missmer et al. (2013) sebanyak 30% orang PCOS mengalami anovulasi.
Pada tahun 2015, dari 8.612 wanita rentang usia 28-33 tahun, sebanyak 5,8%
diantaranya mengalami PCOS dan sebanyak 309 wanita penderita PCOS tersebut
mengalami infertilitas. Data tersebut membuktikan bahwa hampir 72% wanita
penderita PCOS mengalami infertilitas (Joham et al., 2015).
Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah endokrinologi
reproduktif yang sering terjadi dan sampai saat ini masih menjadi kontroversi.
Sindroma ovarium polikistik (SOPK) atau polycystic ovarium syndrome (PCOS)
merupakan kondisi kelainan hormonal (endocrinopathy) yang umum terjadi pada
wanita usia reproduksi. Sering kali ditemukan wanita dengan keluhan mengenai haid
yang tidak teratur, ataupun sedikit, kegemukan, timbul jerawat, tumbuhnya rambut

1
yang berlebihan pada wajah atau badan, dan apabila wanita tersebut sudah menikah
dan ingin memiliki anak akan menjadi sulit hamil, mungkin wanita ini mengalami
gejala atau manifestasi klinis yang disebut dengan sindrom ovarium polikistik atau
polycystic ovary syndrome (PCOS) (Ali, 2012).

Berdasarkan problematika tersebut, maka melalui referat ini diharapkan dapat


memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sindrom ovarium polikistik
atau polycystic ovary syndrome (PCOS) tentang etiologim manifestasi klinis serta
penatalaksanaanya yang tepat. Dengan demikian dapat menjelaskan bahwa PCOS
merupakan suatu keadaan yang dapat berlangsung lama dan bila tidak ditangani dapat
berpotensi untuk berdampak buruk terhadap kesehatan wanita jangka panjang baik
dalam bentuk kesulitan memperoleh keturunan, gangguan haid maupun gangguan
metabolik.

1.2 Tujuan
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir
dari serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan.

1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan penyusun referat ini yaitu:

1.3.1 Bagi Institusi Pendidikan


Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi
kepustakaan penyusunan karya ilmiah lainnya.

1.3.2 Bagi Dokter Muda


Dokter muda mampu memahami dan mengaplikasikan semua ilmu yang
telah diperoleh selama proses penyusunan referat ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan kumpulan gejala dan tanda
dari kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan sistem
endokrin. Kelainan ini dijumpai pada sekitar 20% perempuan umur reproduksi tanpa
disertai adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau kelenjar adrenal yang
mendasari ataupun sindroma cushing (Stefano, 2014). Penyebab paling sering
penderita datang kedokter akibat adanya gangguan pada siklus menstruasi, infertilitas,
dan masalah obesitas serta kelainan lainnya seperti hirsutisme dan akne (Andon dkk,
2013).

2.2 Epidemiologi
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan kondisi kelainan endokrin yang
menyerang sekitar 5- 10% wanita pada usia reproduktif. Angka kejadian ini
bergantung pada populasi yang diteliti, prevalensi teritinggi yang pernah dilaporkan
adalah 26% (Andon dkk, 2013). Meskipun masih diperdebatkan konsensus mana
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis PCOS, namun angka kejadiannya
dipastikan meningkat dari waktu ke waktu (Richard, 2013).
Untuk Indonesia, belum ada data resmi yang menunjukkan jumlah penderita
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) karena tidak adanya kejelasan dalam pelaporan
dan pencacatan kasusnya. Namun, sebagai gambaran beberapa penelitian yang
dilakukan di Indonesia salah satunya yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
terdapat sekitar 79 orang penderita SOPK dengan frekuensi usia terbanyak antara 25-
44 tahun serta frekuensi diagnosis tertinggi pada gangguan menstruasi dan
terdapatnya ovarium polikistik (Putra, 2019). Penelitian lainnya yang dilakukan di
salah satu praktik swasta di Kota Lampung terdapat 78,8% penderita SOPK dari 316

3
subjek yang diteliti, dan paling banyak ditemukan pada usia 24-27 tahun (Mareta,
2018).
2.3 Etiologi
Penyebab Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) hingga saat ini masih belum
diketahui sepenuhnya. Berbagai sumber menjelaskan bahwa PCOS terjadi akibat
interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Dengan berkembangnya
teknologi, fokus penelitian untuk mencari penyebab PCOS terus berubah, dari faktor
ovarium, poros hipotalamus-hipofisis-ovarium, hingga gangguan aktivitas insulin.
Ketiga faktor ini saling berinteraksi dalam mengatur fungsi ovarium (Richard, 2013).

Gambar 2.1. Etiologi dan Faktor yang mempengaruhi PCOS


Sumber: Richard, 2013

Penyebab sindrom polikistik ovarium ini belum diketahui, namun diduga


terdapat keterkaitan dengan proses pengaturan ovulasi dan ketidakmampuan enzim
yang berperan dalam sintesis estrogen di ovarium (Irani, 2014). Berikut ini
penjabaran mengenai etiologi dan patogenesis sindrom polikistik ovarium :

1. Peningkatan faktor pertumbuhan menyebabkan peningkatan respon ovarium


terhadap Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone
(FSH), sehingga perkembangan folikel ovarium bertambah dan produksi

4
androgen akan meningkat. Perkembangan folikel yang berlebihan ini akan
menyebabkan banyaknya folikel yang bersifat kistik (Kasim, 2007).
2. Adanya hubungan antara obesitas dan peningkatan resiko polikistik ovarium
melalui peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan sel teka
memproduksi androgen dan menghambat Sex Hormone Binding Globulin
(SHBG) sehingga androgen bebas meningkat. Keadaan ini menyebabkan
androgen banyak di aromatisasi menjadi estrogen yang akan menghasilkan
LH dan memicu pematangan folikel (Kasim, 2007).
3. Hiperandrogen, anovulasi dan polikistik ovarium disebabkan oleh factor
genetic terkait kromosom X (Kasim, 2007).

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya PCOS sampai serkarang ini masih dipelajari. Dalam


studi dibuktikan bahwa faktor intrinsik dari folikulogenesis ovarium berpengaruh
dalam PCOS yakni hipersekresi dari sel teca dan juga sekresi abnormal insulin.
Karakteristik gambaran hormon pada PCOS yakni sekresi abnormal hormon
gonadotropin yang mana meningkatkan kadar LH, yang menstimulasi sel teca di
ovarium untuk memproduksi androgen berlebih. Hiperaktivitas adrenal, yang terjadi
pada 30% wanita dengan PCOS, juga berkontribusi dalam peningkatan dan sirkulasi
hormon androgen. Hasilnya, proses folikulogenesis normal terganggu dan
mempengaruhi perkembangan folikel yang nantinya akan menyebabkan anovulasi.
Anovulasi yang berkepanjangan dapat meningkatkan kadar androgen dan estrogen
(terutama proses konversi androgen menjadi estrone yang berlangsung pada jaringan
adiposa) (Rotstein, 2010).

Peningkatan level androgen juga menyebabkan berkurangnya sekresi SHBG


dan menurunnya SHBG dapat meningkatkan sirkulasi dari androgen dan estradiol.
Meningkatnya estradiol dapat meningkatkan hormon relising GnRH dan dapat
berkontribusi dalam meningkat level LH dan terjadi anovulasi. Proses ini termasuk

5
perkembangan abnormal dari folikel, atresia dan unovulasi yang mana rasio LH dan
FSH meningkat. Selain itu ada resusitasi insulin pada wanita pengidap PCOS dapat
berkontribusi dalam peningkatan androgen. Wanita dengan PCOS, faktor
pertumbuhan insulin meningkat yang menstimulasi sel teca di ovarium
dikombinasikan dengan LH yang mana akan dapat menyebabkan produksi androgen
berlebihan (Rotstein, 2010).

6
Gambar 2.2 Patofisiologi Sindroma Ovarium Polikistik

Sumber: Rotstein, 2010

Terdapat 4 kelainan utama yang terlibat dalam patofisiologi Polycystic Ovary


Syndrome (PCOS), yaitu :
2.4.1 Kelainan Androgen
Hiperandrogenisme adalah salah satu tanda pasien dengan Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS), ini diakibatkan produksi berlebih pada ovarium dan
kelenjar suprarenal. Sekitar 60-80% pasien dengan PCOS memiliki
konsentrasi Testosteron yang tinggi di sirkulasi. Androgen yang meningkat
pada PCOS mencakup Testosteron, androstenedion, dehidroepiandosteron
(DHEA), dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan 17-hidroksiprogesteron
(17-OHP). Peningkatan produksi androgen ovarium disebabkan oleh
peningkatan stimulasi bioaktivasi LH oleh insulin (Andon dkk, 2013).
Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan pada uji in vitro,
ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah besar pada keadaan
basal maupun terhadap stimulasi LH. Belum diketahui penyebab pasti
hiperaktivitas ini, tetapi diperkirakan terdapat gangguan jalur sinyal intrasel
(Richard, 2013).

7
Gambar 2.3 Mekanisme dari produksi androgen yang berlebihan pada PCOS
Sumber: Homburg R
Hampir semua mekanisme enzymatic pada PCOS yang merangsang
produksi androgen meningkat. Peningkatan insulin dan LH, baik secara
sendirian ataupun kombinasi akan meningkatkan produksi androgen. Adanya
single gene dengan kode cytochrome P450c17a, enzym ini memediasi
aktifitas 17a-hydroxylase dan 17-20- desmolase pada tingkat ovarium.

2.4.2 Gangguan Folikulogenesis


Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada ovarium polikistik
adalah 2-6 kali lebih banyak dibandingkan ovarium normal. Mekanisme yang
mendasari hal ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi tampaknya berhubungan
dengan gangguan signaling androgen. Pada beberapa penelitian dilaporkan
adanya korelasi positif antara jumlah folikel dengan kadar Testosteron dan
androstenedion serum. Penyuntikan dihidroTestosteron pada monyet juga
menghasilkan morfologi serupa Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), yaitu
peningkatan volume ovarium dan jumlah folikel (Andon dkk, 2013).

Gambar 2.4 Skema Hubungan Estrogen dengan Androgen

8
Sumber : Fritz and Speroff, 2011

Selain efek androgen pada folikel, jumlah folikel yang berlebih juga
mempengaruhi laju perkembangan folikel. Pada Polycystic Ovary Syndrome
(PCOS), folikel berkembang dengan lambat, yang mungkin disebabkan
defisiensi sinyal pertumbuhan dari oosit atau efek inhibisi AMH (Anti
Mullerian Hormon) yang berlebih (Andon dkk, 2013).
Folikel yang berlebih pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) berhenti
berkembang ketika diameternya kurang dari 10 mm, yaitu pada tahap sebelum
munculnya folikel dominan. Berhentinya perkembangan folikel (follicular
arrest ) ini berhubungan dengan stimulasi insulin yang berlebih, LH yang
meningkat dan, lingkungan hiperandrogen, yang menyebakan tingginya
konsentrasi cAMP di dalam sel granulosa. Kadar cAMP intraseluler yang
tinggi akan menghasilkan diferensiasi terminal sel granulosa sebelum
waktunya. Diferensiasi prematur ini menyebabkan sel granulosa bereaksi
terhadap stimulasi LH untuk mensekresikan estrogen dan progesteron ketika
ukuran folikel ≤ 8 mm (Andon dkk, 2013).
Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH, yang
ditunjukkan oleh adanya luteinisasi prematur pada ovarium pasien Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS) dengan hiperinsulinemia. Sel granulosa pada PCOS
menunjukkan adanya resistensi insulin selektif dimana terjadi resistensi pada
jalur metabolisme glukosa, tetapi tidak pada jalur steroidogenesis. Gangguan
metabolisme glukosa ini juga tampak berhubungan dengan anovulasi pada
PCOS (Andon dkk, 2013).
Pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) yang berovulasi, hanya terjadi
hipersekresi androgen oleh folikel sedangkan PCOS anovulasi, terjadi
hipersekresi androgen dan estrogen. Estrogen dalam jumlah besar yang
dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut memberikan umpan balik negatif
terhadap FSH (Andon dkk, 2013).

9
2.4.3 Gangguan Sekresi Gonadotropin
Pada Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) terjadi hipersekresi LH
dengan kadar FSH yang normal atau cenderung rendah sehingga rasio LH :
FSH menjadi besar. Peningkatan kadar LH disebabkan karena perubahan pola
sekresi, terutama peningkatan frekuensi pulsatilitas LH menjadi 1 pulsasi/jam.
Kadar FSH yang lebih rendah disebabkan oleh peningkatan kadar estradiol,
estron, dan inhibin B (Richard, 2013).
Kadar FSH yang secara relatif lebih rendah menyebabkan gangguan
perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH meningkatkan produksi
androgen pada ovarium. Konsentrasi androgen yang tinggi pada Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS) menyebabkan desensitisasi hipotalamus terhadap
umpan balik negatif progesteron, yang bersifat reversibel bila diberikan obat
anti-androgen. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan sekresi gonadotropin
pada PCOS merupakan dampak sekunder dari gangguan sekresi steroid pada
ovarium atau kelenjar suprarenal (Richard, 2013; Fritz and Speroff, 2011)

10
Gambar 2.5 Perbandingan Gambaran Kadar Hormon Wanita Ovulasi dengan
Wanita PCOS Anovulasi.
Sumber : Fritz and Speroff, 2011

2.4.4 Gangguan Kerja Insulin


Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada 50-75% penderita
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS). Penderita PCOS menunjukan resistensi
insulin perifer yang serupa dengan diabetes tipe 2 dimana terjadi penurunan
ambilan glukosa yang dimediasi insulin sebesar 35-40%. Resistensi insulin
yang terjadi pada PCOS bersifat selektif, artinya resiten pada beberapa
jaringan (seperti pada jaringan otot), tetapi sensitif pada jaringan lain (seperti
suprarenal dan ovarium) (Andon dkk, 2013). Resistensi insulin dan
hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya hiperandrogenisme dan
gangguan sekresi gonadotropin dengan cara (Richard, 2013):
a. Menurunkan kadar Sex-Hormon Binding Globulin (SHBG)
sehingga meningkatkan biovailabilitas Testosteron
b. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan
kelenjar suprarenal.
c. Meningkatkan potensi kerja LH sehingga bekerja secara sinergis
untuk meningkatkan produksi androgen.

11
Gambar 2.6 Dampak Resistensi Insulin pada Wanita PCOS
Sumber : Fritz and Speroff, 2011
Sekitar 10-65% perempuan dengan PCOS mengalami kegemukan dan
obesitas sentral yang berdampak pada metabolisme insulin. Akan tetapi,
resitensi insulin bukan merupakan gambaran umum dari PCOS. Berdasarkan
data RSCM, 75% pasien dengan PCOS mengalami resistensi insulin dengan
rata-rata indeks massa tubuh (IMT) mencapai 28,6 kg/m2 (Richard, 2013).

2.5 Problem pada Usia Reproduksi


2.5.1 Gangguan Menstruasi
Oligoovulasi/anovulasi dapat memberikan kontribusi terhadap Perdarahan
Uterus Abnormal (PUA). Secara umum manifestasinya dapat berupa
kombinasi antara perdarahan dengan waktunya yang tidak bisa diprediksi dan
jumlah darah yang keluar, pada beberapa kasus bisa menyebabkan Heavy
Menstrual Bleeding. Walaupun gangguan ovulasi sering tidak diketahui
penyebabnya namun banyak diantaranya bisa dirunut adanya endokrinopati
yang salah satunya adalah PCOS (Santoso, 2014).
2.5.2 Infertilitas

12
Masalah infertilitas merupakan alasan utama penderita PCOS datang ke
dokter, sedangkan gangguan menstruasi merupakan alasan tersering kedua.
Penyebab kedua keluhan tersebut adalah anovulasi/oligoovulasi,
hiperandrogen dan ovarium polikistik, bisa juga disertai dengan kadar LH
yang tinggi atau resistensi insulin, seluruh kondisi ini saling terkait. Maka
apabila tidak mendapatkan perhatian dengan penanganan optimal, keluhan
tersebut akan meningkatkan kecemasan pada perempuan PCOS dan bukan
tidak mungkin akan mengganggu hubungan harmonis pasangan suami istri
(Santoso, 2014).
2.5.3 Abortus
Diperkirakan 40% kehamilan dari wanita dengan PCOS akan mengalami
keguguran spontan. Pada beberapa penelitian didapatkan prevalensi resistensi
insulin yang lebih tinggi pada wanita dengan keguguran berulang bila
dibandingkan dengan kontrol cocok dan pengobatan resistensi insulin. Pada
penderita dengan abortus berulang dengan insulin-sensitizing agent
(metformin) telah terbukti menurunkan tingkat keguguran dini. Selain efek
pada resistensi insulin, metformin menurunkan tingkat sirkulasi Plasminogen
Activator Inhibitor-1 (PAI-1). PAI-1 menghambat fibrinolisis yang meningkat
pada wanita dengan PCOS. Peningkatan kadar PAI-1 telah dilaporkan
menjadi faktor risiko independen untuk keguguran spontan awal kehamilan
(Santoso, 2014).

2.6 Problem Jangka Panjang (Usia Premenopause)


Pada prinsipnya digolongkan ke dalam dua golongan besar yakni sindroma
metabolik yang meliputi diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, dan
keganasan yang meliputi keganasan pada endometrium dan keganasan pada payudara
(Santoso, 2014).
2.6.1 Sindroma Metabolik, Resistensi Insulin dan Diabetes Mellitus tipe 2

13
Penyebab resistensi insulin pada SOPK tidak semuanya dapat dipahami
dengan baik. Banyak mekanisme molekular yang dapat menjelaskan sumber
dari resistensi insulin pada PCOS yakni rendahnya kadar GLUT 4 yang
berfungsi pada transportasi glukosa (Santoso, 2014).
Penyebab hiperinsulinemia pada wanita PCOS masih belum diketahui,
dimungkinkan berhubungan dengan abnormalitas pada tingkat jalur informasi
post reseptor insulin dan/atau sekresi insulin yang abnormal. Hal ini
dimungkinkan bahwa ketidaknormalan metabolisme pada PCOS telah dimulai
pada awal kehidupan, yaitu selama periode prenatal atau prepubertal, dan
pemaparan dini terhadap androgen selama masa pertumbuhan dimungkinkan
mempengaruhi distribusi lemak dan aktivitas insulin (Santoso, 2014).
Kriteria diagnosis untuk sindroma metabolik pada wanita yang menderita
PCOS telah diimplementasikan baru-baru ini. Definisi tersebut mencakup tiga
dari lima kriteria berikut: obesitas sentral, hipertrigliseridemia, kadar HDL
yang rendah, tekanan darah yang meningkat, dan hiperglikemia (ESHRE
Consensus 2011) (Santoso, 2014).
2.6.2 Penyakit Kardiovaskuler
Wanita dengan PCOS cenderung memiliki kelainan pada profil lipid,
seperti peningkatan trigliserida, peningkatan kadar kolesterol LDL, serta
menurunnya kadar kolesterol HDL, sehingga secara tidak langsung memiliki
risiko yang lebih besar untuk terkena penyakit-penyakit koroner seperti
penyempitan pembuluh darah koroner, sampai obstruksi pembuluh darah
(Santoso, 2014).
2.6.3 Keganasan
Peningkatan insulin-like growth factor-1 (IGF-1) bebas di sirkulasi ini
diduga dapat meningkatkan risiko pertumbuhan tumor/kanker melalui
rangsangan IGF-1 bebas pada target organ. Ini dibuktikan dengan
meningkatnya IGF-1 bebas maka IGF-1R di target sel juga meningkat.
Keadaan hiperinsulin pun dapat berakibat pada proliferasi sel melalui ikatan

14
langsung insulin dengan reseptor insulin di jaringan target atau dapat juga
melalui bentuk IGF-1 (Santoso, 2014).
2.6.4 Hiperplasia dan Keganasan Endometrium
Patofisiologi terjadinya hiperplasi endometrium selama ini yang banyak
disepakati adalah stimulasi estrogen terus-menerus tanpa oposisi progesteron
(unopposed estrogen). Keadaan ini bisa disebabkan estrogen endogen maupun
eksogen. Estrogen endogen banyak disebabkan anovulasi kronik seperti
PCOS atau perimenopause. Obesitas berperan pada paparan unopposed
estrogen karena kadar estrogen yang tinggi secara kronik, berasal dari
aromatisasi androgen pada jaringan lemak dan konversi androstenedion
menjadi estron (Santoso, 2014).
2.6.5 Keganasan Buah Dada
Peningkatan kadar androgen, peningkatan kadar insulin dan IGF-I yang
terdeteksi pada penderita PCOS obes dapat merangsang pertumbuhan
keganasan buah dada (Santoso, 2014).

2.7 Diagnosis dan Gambaran Klinis


2.7.1. Anamnesis

Anamnesa pada penderita PCOS harus memperhatikan (Norwitz,


2012):

a. Perubahan Pola siklus mentruasi/ Ketidakteraturan menstruasi (80%)


terjadi segera setelah menarke, termasuk amenore sekunder dan atau
oligomenore.
b. Masalah kesuburan/ infertilitas
c. Rambut kepala rontok dan rambut tubuh tumbuh secara berlebihan.
Kerontokan rambut dan pertumbuhan rambut berlebihan dimuka,
dada, perut (hirsuitisme) disebabkan oleh kadar androgen yang tinggi.

15
d. Pertumbuhan jerawat. Pertumbuhan jerawat disebabkan pula oleh
kadar androgen yang tinggi.
e. Adanya riwayat keluarga yang menderita PCOS atau diabetes.

2.7.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita PCOS harus memperhatikan pada


(Norwitz, 2012):

a. Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola


pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada
seorang wanita. Penilaian hirsutisme dilakukan dengan menggunakan
skor Ferriman Galwey yang dimodifikasi (mFG). Setiap area diberikan
skor 0-4 dan penilaian 9 area tersebut dijumlahkan. Skor ≤15: hirsutisme
ringan, skor 16-25: hirsutisme sedang, dan skor ≥25: hirsutisme berat
(Andon, 2013; Fritz and Speroff, 2011).

16
Gambar 2.7 Skor Ferriman-Galwey yang Dimodifikasi
Sumber: Andon, 2013; Fritz and Speroff, 2011
b. Tanda-tanda hiperandrogenism: kebotakan (alopecia androgenik),
jerawat (akne)
c. Tanda-tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak sentripetal,
akantosis nigrikans: penanda dermatologis akibat resistensi insulin dan
hiperinsulinemia yang ditandai dengan perubahan warna kulit menjadi
abu-abu kecoklatan, halus, kadang-kadang seperti veruka pada leher,
selangkangan dan aksila).
d. Pada pemeriksaan bimanual dapat ditemukan ovarium yang membesar
atau dapat juga tidak teraba.

17
2.7.4. Pemeriksaan penunjang
a. USG: USG dan/atau laparoskopi merupakan alat utama untuk
diagnosis PCOS. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat.
Pada USG terlihat gambaran seperti roda pedati atau folikel-folikel
kecil berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan
laparoskopi, kedua atau salah satu ovarium pasti tampak membesar
(Norwitz, 2012).

Tabel 2.1 Perbandingan Pemeriksaan USG transabdominal dan


transvaginal pada PCOS

Sumber: Norwitz, 2012

Gambar 2.8 Gambaran USG PCOS


Sumber: Robert, 2014

18
b. Laboratorium

Peningkatan kadar androgen di sirkulasi. Androgen terpenting


yang biasanya digunakan untuk diagnosis adalah Testosteron.
Androgen lain yang meningkat mencakup androstenedion, DHEA, dan
DHEA-S. Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau
dehidroepiandrosteronsulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan
hiperandrogenisme ovarium. Kadar T yang tinggi selalu berasal dari
ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi selalu
berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml). Diantara androgen tersebut, yang
lebih sensitif untuk mendiagnosis hiperandrogenisme adalah
Testosteron bebas (free T) atau free androgen index (FAI).Pemeriksaan
penunjang pada PCOS beserta tujuan pemeriksaannya akan dijelaskan
sebagai berikut (Norwitz, 2012):
Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium pada PCOS
Pemeriksaan Nilai normal Tujuan
B-hCG < 5 mIU/mL Menyingkirkan
kehamilan
TSH 0,5-4,5 μU/mL(0,5-4,5 mU/L) Menyingkirkan
gangguan tiroid
Prolaktin < 24 ng/mL Menyingkirkan
hiperprolaktinemia
Testosteron 250 – 1100 ng/dL Menyingkirkan tumor
(total) yang menghasilkan
androgen

Testosteron 20-30 tahun: 0,06-2,57 pg/mL Menegakkan


(bebas) (0,20-8,90 pmol/L) diagnosis atau
40-59 tahun: 0,4-2,03 pg/mL (1,40- monitoring terapi
7,00 pmol/L)

19
DHEAS 600-3.400 ng/mL (1,6-9,2 μmol/L) Menyingkirkan tumor
yang menghasilkan
androgen

Androstenedi 0,4-2,7 ng/mL (1,4-9,4 Menegakkan diagnosis


one nmol/L)
Insulin puasa 3.2 – 28.5 Menentukan adanya
hiperinsulinemia

Glukosa 65-119 mg/dL (3,6-6,6 Menyingkirkan DM


puasa mmol/L) tipe 2 atau intoleransi
glukosa
Rasio glukosa ≥ 4,5 Menentukan adanya
puasa:insulin resitensi insulin
Kolesterol 150-200 mg/dL (1,5-2 g/L) Monitor perubahan
(total) gaya hidup

Kolesterol 35-85 mg/dL (0,9-2,2 mmol/L) Monitor perubahan


HDL gaya hidup

Kolesterol 80-130 mg/dL (2,1-3,4 Monitor perubahan


LDL mmol/L) gaya hidup
Biopsi Tidak ada tanda hiperplasia atau Menyingkirkan
endometrium keganasan keganasan atau
hiperplasia
Diagnosis PCOS ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain
oligomenorea atau hiperandrogenisme.
Sumber: Norwitz, 2012

2.7.4. Kriteria Diagnosis

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah sindroma klinis yang hingga saat
ini belum ada kriteria tunggal yang cukup untuk mendiagnosis penyakit ini.

Tabel. 2.3 Kriteria Diagnosis PCOS

20
Kriteria NICHD/NIH Kriteria ESHRE/ASRM Kriteria Androgen
(1990) Rotterdam (2003) Excess Society (AES)
(2006)
Memenuhi kedua Memenuhi 2 dari 3 Memenuhi kedua
kriteria : kriteria : kriteria:
1. Oligo-ovulasi/ 1. Hiperandrogenemia 1. Oligo-ovulasi/
anovulasi kronis 2. Oligo-ovulasi/ Anovulasi dan/atau
2. Hiperandrogenism Anovulasi ovarium polikistik
dengan eksklusi 3. Ovarium polikistik dari dari hasil USG
kemungkinan lain hasil USG. Tampak 2. Gambaran klinis
seperti kelainan lebih dari 12 foliket dan/atau Laboratorium
kongenital hyperplasia berdiameter 2-9mm atau menunjukan
adrenal dan sindroma peningkatan volume peningkatan hormon
Cushing. ovarium > 10 mL androgen
Sumber : Crasto and Rao, 2014

Saat ini, kriteria diagnosis PCOS yang digunakan secara luas adalah kriteria
Rotterdam 2003 (Andon dkk, 2013). Kriteria Rotterdam :
1. Oligo atau anovulasi
2. Hiperandrogenisme, baik secara klinis maupun biokimiawi
3. Gambaran polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi
Untuk mendiagnosis PCOS dibutuhkan minimal 2 dari 3 kriteria tersebut dan
tidak ditemukan kelainan – kelainan endokrin lainnya, seperti Congenital
andrenal hyperplasia (CAH), hiperprolaktinemia, kelainan tiroid, ataupun tumor
yang menghasilkan hormon androgen (Andon, 2013; Fritz and Speroff, 2011).

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding termasuk variasi yang luas dari sejumlah gangguan lain
yang berakibat pada abnormalitas pelepasan gonadotropin, anovulasi kronik, dan
ovarium yang sklerokistik. Ovarium yang sklerokistik merupakan ekspresi morfologi
yang nonspesifik dari anovulasi kronik pada pasien premenopause, dan dapat
disertai:

21
a. Lesi adrenal, misalnya sindroma Cushing, hiperplasia adrenal kongenital,
dan tumor-tumor adrenal virilisasi.
b. Gangguan hipotalamus-pituitari primer
c. Lesi-lesi ovarium yang memproduksi jumlah yang berlebihan dari
estrogen atau androgen, termasuk tumor-tumor sex-cord stromal, tumor-
tumor sel steroid dan beberapa lesi nonneoplastik seperti hiperplasia sel
Leydig dan hipertekosis troma.
Ovarium sklerokistik juga terjadi pada pasien-pasien dengan ooforitis
autoimun, setelah penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang, berhubungan
dengan adhesi periovarium, setelah terapi androgen jangka panjang pada wanita
agar menjadi pria transeksual dan ditemukan normal pada individu-indivudi
prespubertas (Anonym, 2010).

Tabel 2.4 Diagnosa Banding PCOS

Sumber: Ehrmann DA, 1995

22
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Penatalaksanaan Awal
2.9.1.1 Perubahan Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup merupakan langkah utama seperti pengaturan pola
makan dan olahraga mengingat obesitas menjadi faktor pencetus resistensi
insulin dan sindrom metabolik. Penurunan berat badan menurunkan sirkulasi
androgen dan insulin, memperbaiki lipid dan meningkatkan FSH, sehingga
mengurangi gejala fisik seperti hirsutisme, alopesia, jerawat, skin tags,
menormalkan siklus menstruasi, dan menstimulasi ovulasi (Guang and Li,
2018). Program perubahan gaya hidup, yang mana ditekankan pada
pengontrolan prilaku dan intervensi pada diet dan olah raga, menunjukkan
hasil yang sangat efektif dalam memperbaiki reproduksi dan juga gangguan
metabolik yang terjadi pada pasien berat badan berlebih ataupun obesitas
dengan atau tanpa PCOS (Dimitrios et al, 2013; Robert, 2014).

2.9.1.2 Perubahan Diet


Diet pada pasein obesitas harus seimbang, komposis yang ideal adalah
50% karbohidrat, 20% protein, dan 30% lemak. Asupan lemak 10% harus
merupakan lemak jenuh, 10% lemak tak jenuh ganda, 10% lemak tak jenuh.
Secara umum penurunan berat badan 0,5-1 kg per minggunya, dengan cara
pengurangan kalori 3.500-7.000 kalori per minggunya. Diet rendah kalori
tidak boleh kurang dari 1.200 kalori per hari (Dimitrios et al, 2013; Robert,
2014).

2.9.3 Penatalaksanaan Farmakologi


2.9.2.1 Antiestrogen
Clomiphene citrat masih menjadi pilihan terapi utama untuk menstimulasi
ovulasi pada kasus PCOS. Dosis awal adalah 50 mg/hari selama 5 hari sejak
haid hari ke-3 (Qadr and Adetunji, 2018). Bila terjadi ovulasi tetapi tidak

23
terjadi pembuahan pada siklus pertama dosis masih bisa dilanjutkan 50 mg/
hari pada siklus berikutnya (Qadr and Adetunji, 2018). Namun, bila pada
siklus awal tidak terjadi ovulasi, pada siklus berikutnya dosis bisa dinaikkan
menjadi 100 mg/hari. Peningkatan dosis ini juga berisiko memicu terjadinya
resistensi clomiphene (Qadr and Adetunji, 2018). Pemberian dapat diulang
maksimal 6 siklus (Londonkar et al, 2018).
Clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat dan memblokir reseptor
estrogen di hipotalamus untuk periode yang lama, sehingga mengurangi
umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium. Blokade ini
meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir.
Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise
gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene
citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada
hipofisis atau ovarium (Maharani, 2002).

2.9.2.2 Antidiabetes
Saat ini yang paling banyak digunakan adalah metformin yang merupakan
agen sentisisasi insulin biguanida yang menghambat produksi glukosa hepatik
dan meningkatkan pemakainan glukosa perifer. Metformin tidak merangsang
sekresi insulin atau menyebabkan hipoglikemia (Nusrattudin, 2009).
Mekanisme kerja metformin adalah menghambat produksi glukosa di
hepar dan memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin. (Nusrattudin,
2009). Tetapi metformin pada pasien PCOS akan menyebabkan penurunan
kadar insulin dalam sirkulasi, sehingga secara tidak langsung akan
menurunkan produksi androgen ovarium. Selain itu metformin juga
memberikan efek langsung terhadap sel teka dalam menurunkan produksi
androgen, sehingga secara kumulatif akan terjadi penurunan kadar androgen
total dan androgen bebas dalam sirkulasi (Nusrattudin, 2009).

24
Resistensi insulin disertai hiperinsulinemia memiliki peran penting
terhadap hiperandrogenemia dan resistensi insulin (Londonkar et al, 2018).
Selain pemberian clomiphene, pemberian antidiabetes yaitu metformin 3 x
500 mg/ hari meningkatkan sensitivitas insulin perifer dengan mengurangi
produksi glukosa di hati dan meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap
insulin (Crasto and Rao, 2014). Metformin juga menurunkan kadar androgen
pada wanita kurus dan wanita gemuk, sehingga meningkatkan kemungkinan
ovulasi spontan (Crasto and Rao, 2014). Metformin secara signifikan
mengurangi indeks massa tubuh (IMT) dengan dosis >1500 mg/ hari dan
durasi pengobatan jangka panjang juga menunjukkan efek berkelanjutan pada
penurunan berat badan >8 minggu (Crasto and Rao, 2014).
Metformin tidak hanya digunakan untuk pengobatan PCOS namun juga
digunakan sebagai profilaksis terjadinya PCOS. Metformin dapat
memperbaiki gangguan menstruasi, infertilitas berkaitan dengan anovulasi,
abortus, hiperandrogen, gangguan endometrial, kelainan kardivaskular dan
metabolik. Oleh karenan efek baiknya ini banyak praktisi yang melanjutkan
pemakain metformin bahkan sampai masa kehamilan (Stefano, 2014).

2.9.2.3 Aromatase Inhibitors


Aromatase inhibitor adalah enzim mikrosom sitokrom P450 (dikode oleh
gen CPY19) yang berperan untuk katalisasi produksi estrogen dari androgen.
Aromatase bertanggung jawab untuk mengubah androestenedion menjadi
estron dan Testosteron menjadi estradiol. Aromatase inhibitor adalah preparat
yang dapat dimnfaatkan untuk menghambat aktivitas enzim aromatase secara
spesifik (Robert, 2014). Saat ini yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan
klinis adalah generasi ketiga aromatase inhibitor, yaitu yang bersifat non
steroid (Anastrozole dan Letrozole), serta yang bersifat steroid (Anat and
Robert, 2015).

25
Aromatase inhibitor diperkenalkan sebagai pengobatan alternatif untuk
induksi ovulasi pada wanita dengan PCOS. Dari penelitian terbukti wanita
dengan anovulasi WHO kelas 2 yang resisten terhadap klomifen sitrat atau
didapatkan dengan lapisan endometrium yang tipis dikarenakan berkurangnya
reseptor estrogen akibat terapi klomifen sitrat, mendapatkan manfaat dari
pemberian aromatase inhibitor (Robert, 2014). Aromatase inhibitor telah
dipelajari untuk menginduksi ovulasi pada PCOS dimana secara fungsional
menekan produksi estrogen melalui stimulasi aksis hipotalamus-pituitari yang
berimplikasi meningkatkan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) and
follicle stimulating hormone (FSH) (Londonkar et al, 2018).
Pengunaan letrozole sekarang ini sudah dapat dijadikan sebagai terapi lini
pertama dalam induksi ovulasi, khususnya pada pasien SOPK yang resisten
terhadap klomifen sitrat. Letrozole sangat memiliki angka kehamilan yang
setara dengan injeksi gonadotropin dengan biaya dan efek samping yang lebih
sedikit (Nayereh et al, 2015). Serta keuntungannya yang tidak memilik efek
anti estrogenik negatif pada endometrium dan lendir serviks, sehingga lebih
rendah risiko terjadinya OHSS (Ovarian Hyperstimulation Syndrome), dan
lebih sedikit membutuhkan monitoring (Nayereh et al, 2015). Pada pasien
dengan kanker payudara, maka induksi ovulasi/ stimulasi ovarium dengan
klomifen sitrat tentu bukanlah pilihan yang baik akibar kadar estradiol yang
meningkat lebih tinggi setelah pemberian klomifen sitrat. Pilihan pada pasien
kanker payudara tentunya adalah aromatase inhibitor (Nayereh et al, 2015;
Londonkar et al, 2018).
Dosis yang biasa digunakan untuk Letrozole adalah 2,5 dan 5 mg, dosis
yang lebih tinggi dari 5 mg per hari selama 5 hari dapat mengakibatkan
resisten aromatase inhibitor, diikuti rendahnya kadar estrogen untuk
pertumbuhan endometrium pada saat ovulasi. Dosis yang disarankan pada
beberapa penelitian adalah dosis tunggal 20 mg diberikan pada hari ke-3
siklus menstruasi, perpanjangan dosis 2,5 atau 5 mg hingga 7-10 hari, dan

26
peningkatan dosis berjenjang dimulai 2,5 mg pada hari ke-3 hingga 10 mg
pada hari ke-6 (Nayereh et al, 2015).
Beberapa kelebihan aromatase inhibitor dibandingkan klomifen sitrat,
membuat preparat ini dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kegagalan ovulasi
pada pemberian klomifen sitrat (resisten klomifen sitrat). Aromatase inhibitor
dapat memperbaiki ovulasi sebesar 60-90% dengan angka kehamilan sekitar
9-42%. Kelebihan lain dari aromatase inhibitor dibandingkan dengan
klomifen sitrat adalah tidak adanya penekanan terhadap peetumbuhan
endometrium dan tidak mempengaruhi kekentalan lendir serviks (Andon,
2009).

2.9.2.4 Kontrasepsi Oral


Regulasi pil KB mengatasi PCOS terutama dalam mengatur siklus
menstruasi. Terapi dengan kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat:
a. Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi
androgen ovarium
b. Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan
penurunan testosteron bebas.
c. Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
d. Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron
pada kulit dengan menghambat 5α-reduktase (Maharani, 2002).
Pasien dengan SOPK terjadi anovulasi yang kronis dimana
endometriumnya distimulasi hanya dengan estrogen. Banyak dari kasus
seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan progesteron dosis
tinggi, seperti megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan (Melissa,
2010). Tiga progestin senyawa yang terdapat dalam kontrasepsi oral
(norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat) diyakini merupakan
androgen dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin baru (desogestrel,

27
gestodene, norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas androgenik
yang minimal (Maharani, 2002).

2.9.2.5 Anti-Androgen
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi
pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan
mengikat secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis
pemberian spironolakton adalah 2x50 mg/hari. Dosis yang lebih besar
mengganggu aktivitas sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total
androgen sintesis dan sekresi. Efek samping spironolakton ialah menstruasi
yang ireguler, mual dan lemah dengan dosis yang lebih tinggi. Disebabkan
spironolakton merupakan diuretik hemat kalium, wanita dengan hiperkalemia
harus diobservasi dengan hati-hati atau sebaiknya diberikan alternatif obat
lainnya (Duarsa, 2004).

Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak


mempunyai aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau
antigonadotropin. Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak
berubah, meskipun beberapa dilaporkan modulasi produksi androgen.
Flutamid mempunyai efikasi yang serupa dengan spironolakton dan
cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati kanker prostat pada
laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-250 mg dua kali
sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan meningkatkan nafsu
makan (Duarsa, 2004).

2.9.2.6 Gonadotropin
Pemberian hormon gonadotropin eksogen, yaitu kombinasi follicle-
stimulating hormone (FSH) atau human menopausal gonadotropin (HMG).
Mekanisme kerja hormon gonadotropin adalah menstimulasi ovulasi dan

28
memaksimalkan perkembangan folikel. Berbeda dengan clomiphene, terapi
gonadotropin tidak mencetuskan antiestrogenik perifer sehingga
meningkatkan kemungkinan pematangan folikel yang multipel, meningkatkan
kejadian hyperstimulation syndrome (OHSS) dan kehamilan multipel
dibandingkan clomiphene, sehingga perlu diawasi pemberiannya yang dimulai
dari dosis rendah yaitu 3,75-7,5 IU/hari. Evaluasi dilakukan setiap minggu
dengan bantuan USG dan dipertimbangkan peningkatan dosis 50% bila tidak
ada folikel yang berkembang. Penurunan dosis juga dilakukan 50% jika
pasien telah mencapai respons perkembangan folikel yang maksimal (Hayek
et al, 2016).

2.9.3 Penatalaksanaan Non-Farmakologi


2.9.3.1 Bedah Laparoskopi Ovarium (LOD)
Bedah laparoskopi ovarium juga dipertimbangkan sebagai terapi lini
kedua tetapi merupakan metode invasif dan memerlukan anastesi umum (Lee
and Rausch, 2012). Terapi ini dipilih untuk pasien yang sulit dipantau dengan
terapi gonadotropin. Kelebihan terapi ini dibandingkan terapi gonadotropin
mengurangi risiko kehamilan multipel. Terapi ini lebih efektif pada
pemeriksaan awal hormon LH yang tinggi, karena didapatkan penurunan
hormon LH dan androgen yang bermakna setelah terapi (Lee and Rausch,
2012).
Tindakan Pembedahan dapat dilakukan dengan membuat sayatan kecil di
perut bagian bawah (perut) kemudian alat seperti mikroskop yang panjang dan
tipis yang disebut laparoskop akan dimasukan ke dalam perut pasien.
Kemudian dilakukan eletrokauter atau laser untuk merusak sebagian ovarium.
Mekanisme LOD masih belun jelas, diduga LOD merusak stroma ovarium
sebagai penghasil androgen, sehingga kadar androgen menurun. Hal ini
menyebabkan hormon androgen ovarium baik produksi, sekrsi dan kadarnya

29
dalam sirkulasi menurun. Penelitian telah membuktikan bahwa LOD berguna
untuk menurunkan kadar hormon testosteron dan luteinising (LH) serta
meningkatkan kadar hormon perangsang folikel (FSH). Teknik operasi ini
dapat digunakan dalam mengembalikan keseimbangan hormon pada penderita
PCOS (Ziba et al, 2015).
Komplikasi yang bersifat akut jarang sekali terjadi pada pembedahan.
Dari 778 kasus laparoskopi ovarium, ditemukan dua kasus dengan pendarahan
yang membutuhkan laparotmi dan satu kasus dengan perforasi usus. Efek
samping jangka panjang yang dapat ditemukan adalah perlenketan dengan
organ obdomen dan menopause dini, terutama bila dilakukan jumlah tusukan
yang banyak (Ziba et al, 2015).

Gambar 2.9 Laparoskopik Ovarian Drilling (LOD)


Sumber : Amer, 2015

2.9.3.2 In vitro Fertilization (IVF)


IVF merupakan pilihan bila terjadi kegagalan terapi lini pertama
dan kedua. Biasanya IVF menjadi pilihan pada kelainan berat pada
perempuan (endometriosis, obstruksi tuba, dan kelainan obstetri lain
yang mengganggu kesuburan) dan laki-laki (azoospermia dan kelainan
kesuburan pria). IVF merupakan transfer embrio tunggal pada

30
endometrium, sehingga merupakan alternative untuk mengurangi
kemungkinan komplikasi tersebut (Barbosa et al, 2016)

BAB III
KESIMPULAN

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan kumpulan gejala dan tanda dari
kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan sistem
endokrin. Berdasarkan epidemiologinya kelainan endokrin ini menyerang sekitar 5-
10% wanita pada usia reproduktif. Walaupun penyebab pastinya belum diketahui
sepenuhnya tetapi terdapat empat permasalahan yang berkaitan dengan patofisiologi
PCOS yaitu: Kelainan androgen, gangguan folikulogenesis, gangguan sekresi
gonadotropin dan gangguan kerja insulin. Kelainan ini dapat menimbulkan beberapa
masalah pada kesehatan yang dikelompokan menjadi permasalan pada usia
reproduksi dan usia premenopause.
Diagnosis PCOS dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dengan mempertimbangkan beberapa kriteria diagnosis, salah
satunya yang saat ini digunakan secara luas adalah kriteria Rotterdam 2003 yang
meliputi 2 dari 3 kriteria berikut: Oligo atau anovulasi, Hiperandrogenisme, baik
secara klinis maupun biokimiawi dan Gambaran polikistik pada pemeriksaan
ultrasonografi.
Merujuk pada banyaknya permasalahan yang ditimbulkan, maka diperlukan
penanganan yang tepat. Perubahan pola hidup yang sehat, olahraga teratur, konsumsi
makanan sehat, serta menghentikan kebiasaan merokok dan mengendalikan berat
badan merupakan kunci utama pengobatan PCOS. Alternatif pengobatan lainnya
adalah dengan terapi farmakologis untuk menyeimbangkan hormon seperti Klomifen

31
sitrat dan kombinasinya, metformin, kontrasepsi oral, aromatase inhibitor,
antiandrogen, gonadotropin. Serta terapi non farmakologis seperti bedah laparoskopi
ovarium dan In vitro Fertilization (IVF).

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdoulaye, d., et al. 2014. Prior caloric restriction increase survival of


prepubertal obese- and PCOS-prone rats exposed to a challenge of time limited
feeding and physical activity. (serial online), Tersedia dari: http://www.the-
aps.org/publications/jappl.

2. Ahsan B, Hakim A, Tamar M (2012). Faktor Risiko Yang Memengaruhi


Keterlambatan Konsepsi (Infertlitas) Pasangan Suami Istri Di Kecamatan Palu
Utara Kota Palu. Makasar: Universitas Hasanuddin.

3. Anonym. 2010. Ovarium polikistik Sindrom - Penyebab, Gejala dan Metode


Pengobatan. Tersedia Dari URL :
http://id.hicow.com/polikistik-ovarium-sindrom/kehamilan/hormon-772734.html

4. Amer, S.K.A. 2015. Laparoscopic Ovarian Drilling. Department of


Gynaecology, Nottingham University.

5. Anat, H.K., Robert, F.C., 2015. The use of aromatase inhibitors for ovulation
induction. Fertilty, in-vitro fertilization and reproductive genetics. Wolters
Kluwer Health, Ontario, Canada. P 1-4.

6. Andon, H. 2009. Antiestrogen. Aplikasi klinis Induksi Ovulasi dan Stimulasi


Ovarium Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Perkumpulan Obstetri
& Ginekologi Indonesia. Samsul, H., Hendy, H., Sagung Seto, Jakarta. P 37-48.

7. Andon, H., dkk. 2013. Sindroma Ovarium Polikistik. Current Updates in


Polycystic Ovary Sindrome, Endometriosis, Adenomyosis. Andon, H., dkk.
Sagung Seto, Jakarta. P 1-52.

8. Ali B. Sindrom ovarian polikistik dan penggunaan GnRH. Divisi Imuno


endokrinologi, Departemen Ginekologi dan Obstetric, Fakultas Kedokteran

32
Universitas Indonesia [internet]. 2012:39(8). Tersedia dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_196Sindrom%20Ovarium%20Polikistik
%20dan%20Penggunaan%20Analog%20GnRH.pdf .

9. Barbosa G, Rocha DRTW, Arbex A, de Sa LBPC. 2016. Polycystic ovary


syndrome (PCOS) and fertility. J Endocrine and Metabolic Dis. ;06(01):58-65

10. Bulent, O.Y., Ricardo, A. 2010. Polycystic Ovary Syndrome and Ovulation
Induction. Contemporary Endocrinology : Androgen Disorder in Women :
Polycystic Ovary Syndrome and Other Disorder, 2nd Edition. Azziz, R., et al.
Humana Press Inc, Totowa, NJ. P 389- 404.

11. Crasto W, Rao P. 2014. The effect of metformin on reproduction–A short review.
J Endocrinol. Diabetes Obesity ;2(2):1038.

12. Dimitrios, P., et al. 2013. Infertilty treatment in Polycystic Ovary Syndrome :
Lifestyle intervention, medication and surgery. Polycystic syndrome, Novel
Insight into Causes and Therapy. Horn Res. Basel, Karger, vol 40, p 128-141.

13. Dumaris S, Hiswani, Jemadi. 2012. Karakteristik Penderita Kista Ovarium yang
di Rawat Inap di RS St Elizabeth Medan tahun 2008-2012. Medan: Departemen
Epidemiologi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara; 2012.

14. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada Penanganan Sopk. Dari
URL : http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/healthsciences/pendekatan-medisinalis-dan-bedah-
pada-penanganan-sopk/mrdetail/914/

15. Ehrmann DA, Barnes RB, Rosenfield RL. 1995. Polycystic ovary syndrome as a
form of functional ovarian hyperandrogenism due to dysregulation of androgen
secretion. Endocr Rev. 1995;16:322-53. 

16. Fitria saptarina, Indrani Nur. 2016. Pengaruh Sindrom Polikistik Ovarium
terhadap Peningkatan Faktor Risiko Infertilitas. Universitas Lampung (UNILA).
5(2): 43-48

17. Farzana, A., Nesreen, A., Hafeez, H. 2015. Frequency and outcome of treatment
in polycystic ovaries related infertility. Pak Journal Medicine Science. (serial
online), Tersedia dari URL: http://dx.doi.org/10.12669/pjms.313.8003.

18. Fritz, M.A, Speroff, L. 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic Ovary
Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility 8th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. P 495-529.

33
19. Giovanni M. 2016. Induksi Ovulasi Pada Pasien Sindroma Ovarii Polikistik.
Denpasar. Sari pustaka, Fakultas kedokteran universitas udayana.

20. Guang Hui-jan, Li Feng. 2018. Letrozole for all patients with polycystic ovarian
syndrome: A retrospective study. Medicine 2018;97:44(e13038).

21. Hayek ES, Bitar L, Hamdar LH, Mirza FG, Daoud G. 2016. Polycystic ovarian
syndrome: Update overview. Front Physiol. 2016;7:124.

22. Irani M, Merhi Z. Role of vitamin D in ovarian physiology and its implication in
reproduction: a systematic review.

23. Jeffrey R.C. 2014. Polycystic Ovary Syndrome and Hyperandrogenic States.
Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s Reproductive Endocrinology. 7th
Edition.Elsevier Sandera P 485- 511.

24. Jennifer, F.K., Tammy, L.L, Sarah, L.B. 2010. An algorithm for treatment of
infertile women with polycystic ovary syndrome. Middle East Fertility Society
Journal. (serial online). Tersedia dari URL: www.mefsjournal.com.

25. Joham AE, Teede HJ, Ranasinha S, et al. 2015. Prevalence of Infertility and Use
of Fertility Treatment in Women with Polycystic Ovary Syndrome: Data from A
Large Community-based Cohort Study. J Womens Health (Larchmt). 24(4):299-
307. doi: 10.1089/jwh.2014.5000.

26. Johnny, A., et al. 2013. Guideline for the use of Insulin Sensitizing Drugs in the
management of PCOS-associated Infertilty. Clinical Practice Guidelines Middle
East Fertility Society.

27. Kasim-Karakas SE., Cunningham,WM., Tsodikov,. 2007. A.Relation of nutrients


and hormones in polycystic ovary syndrome. Am J Clin Nutr[internet];
85(3):688-94. Tersedia dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1 7344488

28. Lee Tony T, Rausch Mary E. 2012. Polycystic ovarian syndrome: Role of
imaging in diagnosis. RadioGraphics J. 2012;32:1643–57.

29. Londonkar RL, Hugar AL, Kanjikar AP. 2018. Polycystic ovary syndrome
(PCOS)-A mini review. J Gynecol. 2018;2(1):000148.

34
30. Maharani, L. Wratsangka R. 2002. Sindrom Ovarium Polikistik: Permasalahan
Dan Penatalaksanaannya. Tersedia Dari URL :
http://www.univmed.org/wp-content/ uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf

31. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic Ovarian
Syndrome. Dari URL: http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm

32. Mareta R., Rizani Amran, Veny Larasati. 2018. Hubungan Polycystic Ovary
Syndrome(PCOS)dengan Infertilitas di Praktik Swasta Dokter
ObstetriGinekologi Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya, Th. 50 Nomor 2

33. Mascarenhas MN, Flaxman SR, Boerma T, et al. 2012. National, Regional, and
Global Trends in Infertility Prevalence Since 1990: A Systematic Analysis of 277
Health Surveys. PLoS Med. 9(12):e1001356. doi:10.1371/journal.pmed.1001356.

34. Missmer SA, Mary EA, Robert LB, Marlene BG. 2013. Infertility: Women and
Health. 2nd Edition chapter 17

35. Mohamed, N.E.G., Amal, E.M., Manal, A.F., 2015. Comparison of Letrozole
Versus Tamoxifen Effects in Clomiphene Citrate Resistant women with
Polycystic Ovarian Syndrome. J Reprod Infertil. (serial online), Tersedia dari
URL: http://www.jri.lir.

36. Nayereh, G., Ashraf, K., Nezhat, M., 2015. A Randomized Clinical Trial on
Comparing The Cycle Characteristics of Two Different Initiation Days of
Letrozole Treatment in Clomiphene Citrate Resistant PCOS Patient in IUI Cycle.
International Journal of Fertility and Sterility. Vol 9, No.1. p 17-28.

37. Nusrattudin, A., 2009. Insulin Sensitizing Agents. Aplikasi klinis Induksi Ovulasi
dan Stimulasi Ovarium. Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi
Perkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia. Samsul, H., Hendy, H., Sagung
Seto, Jakarta. P 65-81

38. Norwitz, Errol, Schorge, John. At Glance: Obstetrik dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Erlangga medical series (EMS); 2012. p: 74-8

39. Putra, Dhiva Dwi. 2019. Profil Sindroma Ovarium Polikistik di RS Soetomo
Surabaya Periode Januari 2013- Desemer 2018. Tersedia dari URL:
http://repository.unair.ac.id/93541/2/2.%20.pdf

35
40. Qadr A, Adetunji H. 2018. Systematic review and meta-analysis of letrozole and
clomiphen citrat in polycystic ovarian syndrome. Middle East Fertil Soc J.
2018;23:163-70.

41. Richard, S.L., et al. 2013. Diagnosis and treatment of Polycystic Ovary
Syndrome : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. Clinical Guideline
Endocrine Society’s.

42. Robert, L.B. 2014. Female Infertility. Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s
Reproductive Endocrinology. 7th Edition.Elsevier Sandera P 485- 520-531.

43. Santoso, B. 2014. Problematika Reproduksi dan Tantangannya Terkait dengan


Gaya Hidup Perempuan Indonesia. Surabaya. Fakultas kedokteran universitas
airlangga.

44. Sirmans SM, Pate KA. 2014. Epidemiology, Diagnosis, and Management of
Polycystic Ovary Syndrome. Clinical Epidemiology. 6:1-13.
doi:10.2147/CLEP.S37559.

45. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S. 2014. Metformin and gonadotropins for
ovulation induction in patiens with polycystic ovary syndrome : a systematic
review with meta-analysis of randomized controlled trials. Reproductive Bilogy
and Endocrinology. (serial online), Tersedia dari URL:
http://www.rbej.com/content/12/1/3.

46. Triwani. 2013. Faktor Genetik Sebagai Salah Satu Penyebab Infertilitas Pria.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

47. WHO. 2004. Infecundity, Infertility, and Childlessness in Developing Countries.


DHS Comparative Reports No.9.

48. Ziba, Z.S., et al. 2015. Comparison between Unilateral nd Bilateral Ovarian
Drilling in Clomiphene Citrate Resistance Polycystic Ovary Syndrome Patients :
A Randomized Clinical Trial of Efficacy. Royal Institute International Journal of
Fertility and Sterility Vol.9, No.1. P 1-16.

36

Anda mungkin juga menyukai