Anda di halaman 1dari 12

TATALAKSANA GIZI PADA WANITA POLYCISTIC OVARY SYNDROM (PCOS)

DALAM MENINGKATKAN FERTILITAS

DISUSUN OLEH :

SHEVA PANGESTIKA

18/427084/KU/20689

PROGRAM STUDI GIZI KESEHATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN

MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2021
I. PENDAHULUAN

Dewasa ini, zaman telah memasuki era globalisasi yang menyebabkan dan
kemajuan di berbagai bidang ekonomi, teknologi sehingga terjadi pergerseran gaya
hidup masyarakat. Sebagian besar masyarakat terutama remaja mengalami perubahan
aktivitas fisik, dan konsumsi makanan yang menjadi cenderung mengonsumsi makanan
tinggi lemak rendah serat dikarenakan menjamurnya berbagai tempat yang
menawarkan “western food”. Perkembangan yang bermunculan menyebabkan
masyarakat cenderung memiliki sedentary lifestyle atau gaya hidup kurang gerak (Septi
VK, et al., 2016). Sedentary lifestyle adalah gaya hidup seseorang yang cenderung
melakukan aktivitas ringan seperti berbaring, duduk, menonton televisi serta bermain
ponsel yang nilainya setara dengan pengeluaran energi expenditur setara 1 -1,5
metabolic equivalent (METs). Munculnya sedentary lifestyle di masyarakat dapat
mengantarkan berbagai masalah kesehatan yang dapat mengganggu keseimbangan
hormon dan metabolisme tubuh dikarenakan kurangnya aktivitas secara tidak langsung
akan menurunkan metabolisme basal tubuh seseorang (Mandriyarini, et al., 2017).
Menurut data Kemenkes (2013), sedentary lifestyle biasanya lebih sering terjadi
pada wanita dan terjadi di daerah perkotaan dikarenakan kemudahan fasilitas yang
meminimalisasi aktivitas. Hal ini erat dikaitkan dengan masalah kesehatan utama
wanita yang selalu meningkat yakni masalah infertilitas. Infertilitas merupakan
penyakit sistem reproduksi yang ditandai dengan kegagalan mencapai kehamilan klinis
dalam 12 bulan atau lebih setelah melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi
(Zegers HF, et al., 2009). Kejadian infertilitas di negara Indonesia, menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) mulai meningkat dan pada tahun 2013 prevalensinya sebesar 15-
25% dari seluruh pasangan yang ada (Riskesdas, 2013). Walaupun infertilitas dapat
terjadi baik pada pria maupun wanita, namun sayangnya hingga saat ini wanita dinilai
sebagai penentu fertilitas. Hal ini dikarenakan faktor risiko infertilitas pada wanita yang
cenderung meningkat diantaranya usia, tingkat stress, indeks massa tubuh, adanya
penyakit penyerta beberapa diantaranya seperti kelainan sistem reproduksi, gangguan
siklus ovulasi serta sindrom ovarium polikistik (PCOS) (HIFERI, 2013).
Faktor utama yang sering mempengaruhi infertilitas pada wanita yakni penyakit
penyerta PCOS atau sindroma ovarium polikistik yang terdiri dari beberapa gejala
karena adanya gangguan sistem endokrin dan menjadi penyebab paling umum
dikarenakan adanya anovulasi (Ambarwati, 2012). Kondisi ini terjadi pada 8-13%

1
wanita di dunia. Kumpulan gejala yang terjadi pada PCOS biasanya seperti
berkurangnya frekuensi ovulasi, tidak teraturnya siklus menstruasi, tingginya kadar
hormon testosteron, yang biasanya ditandai pada penyandang PCOS yakni rambut
wajah atau tubuh yang cenderung lebat serta timbulnya banyak jerawat (Lim, et al.,
2019). Diagnosis dari PCOS ditetapkan dari gejala klinis yang timbul dari masing-
masing individu dan derajat abnormalitas sistem metabolisme dan gonadotropin dari
interaksi genetik serta lingkungan. Pada kondisi PCOS terjadi kelainan pada hormon
reproduksi dan hormon kontrol reproduksi yakni steroid dan aksi gonadotropin.
Walaupun sampai saat ini etiologi PCOS belum diketahui, resistensi insulin,
hiperinsulinemia, kekurangan maupun kelebihan berat badan diusulkan sebagai faktor
etiologi yang signifikan dengan PCOS (HIFERI, 2016).
Dari etiologi tersebut kondisi diabetes dan kelebihan berat badan sering
dikaitkan dengan PCOS dikarenakan insulin berpengaruh terhadap produksi androgen
ovarium serta penurunan produksi globulin pengikat hormon. Ditinjau dari etiologi
PCOS maka manajemen paling baik dari PCOS adalah melalui perubahan gaya hidup,
penerapan diet tertentu, olahraga serta intervensi perilaku seseorang (Lim, et al., 2019).
Tujuan pengobatan pada PCOS diantaranya untuk memanajemen berat badan,
mengobati gejala yang timbul, mencegah komplikasi sistem reproduksi agar fertilitas
dapat ditingkatkan serta meningkatkan kualitas hidup (Teede H, et al., 2018).
Dari penelitian terkini dengan perkembangan teknologi yang ada, penyandang
PCOS dapat disembuhkan melalui pendekatan farmakologi salah satunya metformin
obat anti hiperglukosa yang tergolong agen peka insulin sehingga dapat meningkatkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin (Zetira, et al., 2019). Pendekatan selanjutnya
untuk meningkatkan fertilitas pada penyandang PCOS dapat melalui terapi IVF (in vitro
fertilization) atau sering disebut bayi tabung. Prosedur ini digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dijalani oleh pasien wanita dengan kelainan kategori berat seperti
endometriosis atau obstruksi tuba serta pada pasien pria yang memiliki azoospermia
dan kelainan kesuburan (Dewi, 2020). Selanjutnya pendekatan yang paling utama yakni
melalui perubahan gaya hidup dan perbaikan asupan sehingga diperlukan adanya
asuhan gizi yang tepat agar dapat memaksimalkan pengobatan yang dijalani dan
membantu memperbaiki metabolisme sistem hormon yang terganggu.

2
II. PEMBAHASAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. INFERTILITAS
Infertilitas sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia maupun dunia. Kejadian infertilitas pada pasangan berdampak
terhadap kehidupan keluarga yang meningkatkan tingkat stress, masalah
medis, ekonomi maupun psikologis (Hestiantoro A & Soebijanto S, 2013).
Istilah infertilitas bukan hanya diartikan tidak mampu memiliki keturunan,
namun diartikan sebagai subfertilitas yakni berkurangnya tingkat fertilitas
dalam kurun waktu tertentu dan masih memiliki kemungkinan keturunan
(Indarwati, et al., 2017).
Infertilitas tidak hanya disebabkan oleh wanita, namun pada wanita
kemungkinan infertilitas sebesar 65% sedangkan pada pria sebesar 20%
(Oktarina A, et al., 2014). Menurut World Health Organization (WHO)
diperkirakan kasus infertil sebesar 8-10% sehingga dapat diperkirakan dari
50-80 juta pasangan 1 dari 7 pasangan mengalami infertilitas (Triwani,
2013). Prevalensi dari infertilitas pasangan baik wanita maupun pria
berdasar National Survey of Family Growth akan terus meningkat hingga
7.7 juta pada tahun 2025 (Chandra A, et al., 2013). Namun prevalensi
infertilitas lebih didominasi oleh wanita, dari sebuah analisis penelitian
menunjukkan lebih dari 190 negara dan wilayah di seluruh dunia
menunjukkan bahwa pada tahun 2010, wanita berusia 20-44 tahun menderita
insiden infertilitas primer 1,9%, dan kejadian infertilitas sekunder 10,5%
(Meng Q, et al., 2015).
Namun hingga saat ini studi epidemiologi komprehensif mengenai
etiologi infertilitas masih terus dianalisis. Secara konvensional, parameter
seperti usia, tingkat stress, indeks BMI, gaya hidup serta penyakit penyerta
yang menjadi faktor utama penyebab infertilitas (Jimei Cong, et al., 2016).
Faktor pertama adalah usia yang menjadi penentu infertilitas pada wanita.
Seiring bertambahnya usia wanita, maka fungsi organ reproduksi semakin
menurun sehingga menyebabkan penurunan kesuburan. Penurunan
kesuburan pada wanita dimulai pada usia 37 tahun atau berbeda setiap
idnividunya (BCCOG, 1981). Seiring dengan peningkatan usia maka
tingkat stress juga meningkat dikarenakan semakin banyak faktor eksternal

3
yang mempengaruhi. Tingkat stress pada wanita memicu pengeluaran
hormon kortisol yang mempengaruhi pengaturan hormon reproduksi. Stress
pada wanita yang meningkat menyebabkan adanya spasme pada tuba falopi
dan uterus sehingga pergerakan dan pematangan sel telur dapat terganggu
(BCCOG, 1981). Faktor selanjutnya yang mempengaruhi infertilitas wanita
yakni indeks massa tubuh yang dapat diukur dengan berat dan tinggi badan.
Seseorang yang memiliki indeks massa tubuh lebih besar dari 25 cenderung
memiliki abnormalitas dari sekresi GnRH dan gonadotropin relative seiring
dengan pertambahan berat badan (Tarigan & Ridmadhanti, 2019).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi infertilitas pada wanita yakni
penyakit atau gangguan penyerta pada sistem reproduksi diantaranya yakni
adanya gangguan siklus ovulasi, obstruksi tuba serta polycistic ovary
syndrom (PCOS). Hal ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormon
LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle-Stimulating Hormone)
(Maggyvin & Barliana, 2019). Biasanya kondisi ini ditandai dengan
menstruasi yang tidak lancar dan tidak sesuai dengan siklus normal. Kondisi
tersebut dapat mengganggu pematangan sel telur.

2. POLYCISTIC OVARY SYNDROM (PCOS)


Wanita usia subur yang tersebar di dunia kurang lebih 20% mengidap
PCOS. PCOS merupakan gangguan endokrin yang menyebabkan
infertilitas pada 5-10% pada wanita usia subur (Hadibroto, 2005).
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah suatu kondisi wanita usia
produktif memiliki kumpulan haid yang tidak teratur, hirsutisme
(tumbuhnya rambut secara lebat) dan obesitas. Dari gejala yang dialami
hasil laboratorium dan USG menunjukkan gambaran PCOS (Mareta, et al.,
2018). PCOS ditandai dengan banyaknya kadar androgen dalam darah,
morfologi ovarium polikistik, perkembangan folikel terhambat, serta
menyebabkan infertilitas (Mohammad, M. B. & Seghinsara, A. M., 2017).
Faktor penyebab dari PCOS sering dikaitkan dengan pergeseran gaya
hidup menjadi sedentary lifestyle sehingga wanita usia produktif cenderung
memiliki aktivitas minimal dan pola makan yang tidak seimbang. Kondisi
tersebut menyebabkan wanita usia subur mengalami obesitas dan gula
darah yang cenderung tinggi sehingga mempengaruhi keseimbangan sistem

4
hormon. Kondisi obesitas berkaitan dengan tingginya kadar gula darah
dikarenakan resistensi insulin. Resistensi insulin menyebabkan terjadinya
hiperandrogenemia atau jumlah hormon androgen berlebih pada pasien
PCOS. Ketika ovarium memproduksi jumlah hormon androgen berlebih,
testosteron akan melepaskan hormon LH (Luteinizing Hormone) pada
kelenjar pituitari anterior yang dapat mengganggu perkembangan folikel.
Kenaikan level insulin menyebabkan abnormalitas pada hipotalamus-
pituitari-ovarium yang berdampak pada terjadinya PCOS dengan
mekanisme hiperinsulinemia yang meningkatkan frekuensi sekresi GnRH
(Gonadotropin Releasing Hormone), produksi LH melebihi FSH (Follicle
Stimulating Hormone), meningkatnya produksi androgen ovarium,
menurunnya pematangan folikel sehingga menyebabkan infertilitas pada
pasien PCOS (Maggyvin & Barliana, 2019).
Infertilitas pada penyandang PCOS dapat diatasi dengan beberapa cara
diantaranya yang pertama dengan medikasi. Medikasi yang diberikan pada
penyandang PCOS yang pertama adalah antiestrogen yang tergolong obat
yang menghambat kerja estrogen. Obat antiestrogen yang berguna untuk
mengobati masalah fertilitas adalah klomifen sitrat dan tamoksifen sitrat.
Klomifen sitrat bekerja dengan menduduki reseptor estrogen di
hipotalamus dan pituitari anterior sehingga meningkatkan sekresi Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). FSH dan LH
pada ovarium bekerja dalam pematangan folikel yang mengandung sel telur
serta menginduksi ovulasi (Lehne, 2007). Selanjutnya tamoksifen sitrat
mempunyai struktur dan sifat yang mirip dengan klomifen dan signifikan
meningkatkan ovulasi wanita dengan PCOS.
Medikasi selanjutnya yang sering digunakan pada penyandang PCOS
adalah metformin. Metformin merupakan salah satu obat antidiabetes yang
berhubungan dengan penggunaannya dalam terapi infertilitas pada wanita
PCOS karena obat tersebut dapat meningkatkan sensitivitas jaringan
terhadap insulin. Wanita PCOS cenderung resisten terhadap insulin dan
mempunyai kadar androgen yang lebih tinggi sehingga kemampuan ovulasi
lebih rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan sebuah penelitian yang
menunjukkan bahwa metformin lebih baik dibandingkan dengan plasebo

5
atau non terapi dalam memperbaiki jumlah ovulasi pada wanita PCOS
(Tang T, et al., 2012).
Tidak hanya dengan medikasi, infertilitas pada wanita PCOS dapat
diatasi dengan teknologi serta perkembangan dunia medis yang ada. Salah
satunya terapi lini ketiga yang sering diterapkan adalah IVF (In Vitro
Fertilization) atau bayi tabung yang menjadi pilihan pada wanita dengan
kelainan reproduksi tingkat berat. IVF merupakan transfer embrio tunggal
pada endometrium, langkah ini menjadi alternatif untuk mengurangi
kemungkinan komplikasi (Dewi, 2020).. Tingkat keberhasilan IVF pada
PCOS bernilai sama dengan pasien tanpa PCOS sehingga tidak
mengganggu proses implantasi embrio (Barbosa G, et al., 2016). Menurut
sebuah penelitian, IVF yang dibantu dengan pemberian D-Chiro-Inositol
bertujuan agar dapat menurunkan produksi androgen, meningkatkan fungsi
ovulasi, dan menurunkan konsentrasi testosteron serum (Caprio F, et al.,
2015).
Peningkatan fertilitas pada wanita PCOS yang paling utama dapat diatasi
dengan intervensi gaya hidup dan penerapan asuhan gizi yang tepat. Sekitar
30-75% perempuan dengan PCOS di seluruh dunia mengalami kelebihan
berat badan atau obesitas (Escobar-Morreale H & San Millan J, 2007).
Berdasarkan data RSCM (2008) sebesar 73% perempuan PCOS mengalami
obesitas dan non obes mencapai 12% (Wiweko, 2014). Dari data tersebut,
maka penatalaksanaan asuhan gizi pada penyandang PCOS adalah menjaga
agar indeks massa tubuh dalam rentang ideal. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa berat badan ideal dapat memperbaiki fungsi metabolik
dan reproduksi secara signifikan, menurunkan kadar androgen dan
memperbaiki fungsi ovulasi (Hestiantoro A, et al., 2014).

3. TATALAKSANA GIZI
Dalam memaksimalkan pengobatan yang dijalankan pada penyandang
PCOS, diperlukan asuhan gizi agar dapat menurunkan gejala yang timbul
serta meningkatkan fertilitas pada wanita PCOS. Dikarenakan PCOS sangat
berkorelasi terhadap kondisi obesitas dan resistensi insulin maka
tatalaksana gizi pada pasien PCOS berupa diet rendah kalori atau diet
rendah indeks glikemik. Penerapan diet rendah kalori dapat menggunakan

6
pengurangan jumlah kalori sebesar 500-1000 kkal/hari dengan komposisi
seimbang disertai peningkatan asupan serat pada pasien PCOS dengan
obesitas (Moran L, et al., 2009). Diperlukan pemberian edukasi mengenai
komposisi makanan seimbang yakni 50% karbohidrat, 20% protein, dan
30% lemak. Selanjutnya, asupan sehari dari pasien harus dibagi menjadi
beberapa waktu makan yakni sarapan, makan siang, makan malam dan dua
sampai tiga kali makanan selingan dalam porsi yang lebih kecil daripada
makanan utama.
Pada diet rendah indeks glikemik diperlukan edukasi kepada pasien
PCOS bahwa indeks glikemik merupakan indeks yang menggambarkan
potensi karbohidrat yang terkandung dalam makanan untuk menaikkan
kadar glukosa darah setelah konsumsi makanan tersebut (American
Diabetes Association, 2007). Sehingga pada pasien PCOS yang resisten
insulin diperlukan asupan jenis karbohidrat yang memiliki IG rendah.
Karbohidrat dengan IG rendah meningkatkan sensitivitas insulin dan
meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL. Menurut penelitian Kowalik
(2014), 95% perempuan mengalami perbaikan siklus menstruasi dan
sebesar 63% pada perempuan dengan diet seimbang biasa. Hal ini dapat
terjadi karena peningkatan sensitivitas insulin dan penurunan androgen.

B. KETERKAITAN DENGAN PENELITIAN


Dalam penelitian yang ada dengan kasus PCOS, telah banyak diterapkan
diet rendah kalori dengan membatasi kalori yang dikonsumsi sehingga dapat
memanajemen berat badan dalam rentang ideal. Pada penelitian John, et al.
(2016) dengan studi kualitatif sebanyak 10 wanita dengan PCOS mengikuti
program penurunan berat badan dengan diet rendah kalori serta perubahan
gaya hidup berupa olahraga dinilai efektif dibanding diet yang lain dalam
menurunkan gejala PCOS.
Namun, sebagian besar studi intervensi diet pada wanita dengan PCOS
hanya berfokus pada pembatasan energi sehingga hanya dominan terlihat
penurunan berat badan dibandingkan penurunan gejala, sedangkan insiden
resistensi insulin masih dinilai tinggi. Sehingga dalam penerapannya agar
lebih efektif, diet rendah kalori perlu diikuti dengan modifikasi diet rendah

7
IG agar menghasilkan manfaat yang lebih besar daripada yang dicapai
dengan pembatasan kalori (Marsh & Brand-Miller, 2005).

III. KESIMPULAN
Kemajuan zaman dan teknologi menjadikan adanya kecenderungan wanita
untuk menerapkan sedentary lifestyle menyebabkan peningkatan infertilitas
yang salah satunya dipicu oleh kondisi Polycistic Ovary Syndrom (PCOS).
Polycistic Ovary Syndrom (PCOS) ini merupakan penyakit multifaktor yang
faktor utamanya disebabkan oleh gaya hidup dan diet tidak seimbang sehingga
dapat mengganggu metabolisme sistem hormon yang berpengaruh terhadap
fertilitas wanita. Pasien PCOS dapat melalui berbagai terapi baik dari medikasi
maupun dengan teknologi medis untuk meningkatkan fertilitas, selain itu untuk
memaksimalkan terapi yang diterima, maka diperlukan penerapan diet rendah
kalori dan pemilihan makanan sumber karbohidrat rendah Indeks Glikemik.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, 2012. Ilmu Gizi Kesehatan dan Reproduksi. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu.
American Diabetes Association, 2007. Nutrition Recommendations And Intervention
For Diabetes (A Position Statement). S.L.:S.N.
Barbosa G, Rocha DRTW, Arbex A & De Sa LBPC, 2016. Polycystic Ovary Syndrome
(PCOS) And Fertility. Journal Of Endocrine And Metabolic Disease, 6(1), Pp. 58-65.
BCCOG, 1981. Genekologi. Bandung: Elstar Offset.
Caprio F, D'Eufemia M & Trotta C, 2015. Myo-Inositol Therapy For Poorresponders
During IVF: A Prospective Controlled Observational Trial. Journal Of Ovarian Research,
8(37).
Chandra A, Casey E.C & Elizabeth H.S, 2013. Infertility And Impaired Fecundity In
The United States 1982-2010. National Health Statistic.
Dewi, N. L. P. . R., 2020. Pendekatan Terapi Polycystic Ovary Syndrome (PCOS). CDK
Journal, 47(9), Pp. 703-705.
Escobar-Morreale H & San Millan J, 2007. Abdominal Adiposity And The Polycystic
Ovary Syndrome. Journal Of Trends Endocrinol Metabolism, 18(7), Pp. 266-272.
Hadibroto, 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. Majalah Kesehatan Nusantara, 38(4),
Pp. 333-337.
Hestiantoro A & Soebijanto S, 2013. Konsensus Penanganan Infertilitas. Himpunan
Endokrinologi Reproduksi Dan Fertilitas Indonesia.
Hestiantoro A, Et Al., 2014. Sindrom Ovarium Polikistik. PEACE : Current Updates
On Polycystic Ovary Syndrome.
HIFERI, 2013. Konsensus Penanganan Infertilitas. Himpunan Endokrinologi
Reproduksi Dan Fertilitas Indonesia.
HIFERI, 2016. Konsensus Tata Laksana Sindrom Ovarium Polikistik. Himpunan
Endokrinologi Reproduksi Dan Fertilitas Indonesia.
Indarwati, I., Budi Hastuti, U. R. & Yulia L, 2017. Analysis Of Factors Influencing
Female Infertility. Journal Of Maternal And Child Health, 2(2), Pp. 150-161.
Jimei Cong, Pingping Li, Liqiang Zheng & Jichun Tan, 2016. Prevalence And Risk
Factors Of Infertility At A Rural Site Of Northern China. Research Article.
John, et al,. 2016. The Experiences Of Women With Polycystic Ovary Syndrome on A
Very Low-Calorie Diet. International Journal of Women’s Health. Pp: 299-310.
Kowalik. 2014. Dietary Interventions In The Treatment of Women With Polycystic
Ovary Syndrome. Journal of Nutrition, Obesity & Metabolic Surgery. Pp : 14-19.
Lehne, 2007. Pharmacology For Nursing Care. 6 Ed. St. Louis: Saunders, An Imprint
Of Elsevier Inc.

9
Lim, S. Et Al., 2019. Lifestyle Changes In Women With Polycystic Ovary Syndrome.
Cochrane Library, Volume 3.
Maggyvin, E. & Barliana, M. I., 2019. Literature Review : Inovasi Terapi Polycystic
Ovary Syndrome (Pcos) Menggunakan Targeted Drug Therapy Gen Cyp19 Rs2414096.
Jurnal Farmaka, 17(1), Pp. 107-118.
Mandriyarini, R., M.Sulchan & Nissa, C., 2017. Sedentary Lifestyle Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Obesitas Pada Remaja SMA Stunted di Kota Semarang. Journal Of
Nutrition College, 6(2), Pp. 149-155.
Mareta, R., Amran, R. & Larasati, V., 2018. Hubungan Polycystic Ovary
Syndrome(PCOS)Dengan Infertilitas Di Praktik Swasta Dokter Obstetri Ginekologi
Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya, Pp. 85-91.
Marsh, K. & Brand-Miller, J., 2005. The Optimal Diet For Women With Polycystic
Ovary Syndrome. British Journal Of Nutrition, Pp. 154-165.
Meng Q, Et Al., 2015. Incidence Of Infertility And Risk Factors Of Impaired Fecundity
Among Newly Married Couples In A Chinese Population. REPROD BIOMED ONLINE,
30(1), Pp. 92-100.
Mohammad, M. B. & Seghinsara, A. M., 2017. Polycystic Ovary Syndrome ( PCOS ),
Diagnostic Criteria And AMH. Asian Pasific Journal Of Cancer Prevention, Volume 18,
Pp. 17-21.
Moran L, Et Al., 2009. Treatment Of Obesity In Polycystic Ovary Syndrome : A
Position Statement Of The Androgen Excess And Polycystic Ovary Syndrome Society.
Journal Of Fertil Steril.
Oktarina A, Abadi A & Bachsin R, 2014. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Infertilitas
Pada Wanita Di Klinik Fertilitas Endokrinologi Reproduksi. Palembang: Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Septi VK, Toto S & Lely L, 2016. Physical Activity And Sedentary Lifestyle Towards
Teenagers' Overweight/Obesity Status.. International Journal Of Community Medicine And
Public Health, 3(3), Pp. 630-635.
Tang T, Et Al., 2012. Insulin-Sensitising Drugs (Metformin,
Rosiglitazone,Pioglitazone, Dchiro-Inositol) For Women With Polycystic Ovary Syndrome,
Oligo Amenorrhoea And Subfertility. Cochrane Database Of Systematic Reviews, Volume
5.
Tarigan, R. & Ridmadhanti, S., 2019. Pengaruh IMT (Indeks Masa Tubuh) Terhadap
Terjadinya Infertilitas Sekunder Pada Perawat Wanita di Rsud Tahun 2017. Journal Of
Midwifery, 7(2), Pp. 36-41.
Teede H, Et Al., 2018. International PCOS Guideline. P.
Https://Www.Monash.Edu/__Data/Assets/Pdf_File/0004/1412644/PCOS_Evidence‐
Based‐Guidelines_20181009.Pdf 2018.

10
Triwani, 2013. Faktor Genetik Sebagai Salah Satu Penyebab Infertilitas Pria.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Wiweko, 2014. Anti-Mullerian Hormone As A Diagnostic And Prognostic Tool For
PCSOS Patients. Journal Of Assisted Reproduction And Genetics.
Zegers HF, Adamson GD & De Mouzon J, 2009. The International Committee For
Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART) And The World Health
Organization (WHO). 24(11), Pp. 2683-2687.
Zetira, Z., Rodiani & Fakhruddin, H., 2019. Pengaruh Metformin Terhadap Wanita
Infertilitas Dengan Sindrom Polikistik Ovarium. Jurnal Majority, 8(1), Pp. 172-177.

11

Anda mungkin juga menyukai