Anda di halaman 1dari 19

PAPER

SINDROM OVARIUM POLIKISTIK


(Polycystic Ovary Syndrome)

Makalah ini dibuat untuk melengkapi persyaratan


Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Haji Medan

Oleh:

Mutiara Permata Putri


102122032

Pembimbing:
dr. Yuri Andriansyah, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang mana telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior Rumah Sakit Umum Haji Medan. Makalah ini
bertujuan agar bagian SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Haji Medan
dengan judul “Sindrom Ovarium Polikistik” penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori
yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Haji Medan dan mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis kepada
pasien. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Yuri Andriansyah, Sp.OG yang telah
membimbing penulis dalam makalah ini.
Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan saran, pendapat, koreksi,
dan tanggapan yang membangun agar penulisan dapat lebih baik dikemudian harinya.

Medan, 24 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2

A. Definisi ....................................................................................................... 2

B. Epidemiologi .............................................................................................. 2

C. Etiologi dan Patofisiologi........................................................................... 2

D. Faktor Resiko ............................................................................................. 7

E. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 8

F. Diagnosis..................................................................................................... 8

G. Diagnosis Banding ..................................................................................... 10

H. Tatalaksana................................................................................................. 10

I. Komplikasi ................................................................................................. 14

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), infertilitas adalah suatu penyakit sistem
reproduksi yang didefinisikan oleh kegagalan untuk mencapai kehamilan klinis setelah 12
bulan atau lebih melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi.1 Infertilitas pada wanita
secara umum disebabkan oleh gangguan ovulasi, gangguan pada tuba, gangguan pada
uterus dan lain-lain. Salah satu penyebab terjadinya gangguan ovulasi adalah Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS). Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau Sindrom Ovarium
Polikistik adalah suatu kumpulan gejala yang dialami oleh perempuan usia produktif
berupa amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirsutisme dan obesitas.2
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) juga dikenal sebagai hyperandrogenic
anovulation (HA) yang merupakan kelainan sistem endokrin yang menyebabkan gangguan
kesuburan wanita usia reproduktif. Wanita PCOS mengalami kelainan metabolisme
androgen dan estrogen, sehingga terjadi peningkatan hormon testoteron, androstenedione,
dan dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS). Ketidakseimbangan hormon pada PCOS
juga erat kaitannya dengan hiperinsulinemia, resistensi insulin perifer, dan obesitas. Ciri-
ciri ini berhubungan dengan hipersekresi luteinizing hormone (LH) dan androgen dengan
konsentrasi serum follicle-stimulating hormone (FSH) rendah atau normal. Tingginya
kadar LH dibandingkan FSH mengganggu proses ovulasi karena menyebabkan
perkembangan folikel tidak sempurna menjadikan morfologi ovarium polikistik.3
Diketahui pada tahun 2015, dari 8.612 wanita dengan rentang usia 28-33 tahun,
sebanyak 5,8% diantaranya mengalami PCOS dan sebanyak 309 wanita penderita PCOS
tersebut mengalami infertilitas. Data tersebut membuktikan bahwa hampir 72% wanita
penderita PCOS mengalami infertilitas. Infertilitas pada PCOS disebabkan karena
anovulasi, dimana perkembangan folikel hanya mencapai ukuran 10 mm.1
Dalam penanganan Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) langkah pertama yang
dilakukan adalah perubahan gaya hidup, termasuk diet sehat dan berolahraga. Pengaturan
makanan yang menunjukkan keberhasilan adalah dengan mengurangi karbohidrat yaitu
pengurangan kadar glikemik. Olah raga yang dianjurkan pada pasien SOPK sedikitnya 30
menit kegiatan yang bersifat sedang minimal tiga kali seminggu.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) atau Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
merupakan gangguan endokrin pada wanita usia reproduktif yang ditandai dengan
menstruasi yang tidak teratur, hiperandrogenisme, dan polikistik ovarium. PCOS
merupakan penyakit gynecological endrocrinopathy yang menjadi penyebab paling
umum dari infertilitas karena anovulasi.1 Gejala hiperandrogensime pada SOPK
ditandai oleh akne vulgaris, alopecia, dan hirsutisme. Pada SOPK juga sering
dijumpai sindroma metabolik seperti obesitas dan diabetes mellitus.5
B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) adalah gangguan endokrin kompleks yang
terjadi pada 1,14% hingga 11,04% remaja perempuan secara global.6 Pada tahun
2015, dari 8.612 wanita rentang usia 28-33 tahun, sebanyak 5,8% diantaranya
mengalami PCOS dan sebanyak 309 wanita penderita PCOS tersebut mengalami
infertilitas. Data tersebut membuktikan bahwa hampir 72% wanita penderita PCOS
mengalami infertilitas.1
C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Hingga saat ini, penyebab SOPK masih belum diketahui sepenuhnya.
Berbagai sumber menjelaskan bahwa SOPK terjadi akibat interaksi kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi, fokus penelitian
untuk mencari penyebab SOPK terus berubah, dari faktor ovarium, aksis
hipotalamus– pituitari, hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga faktor ini saling
berinteraksi dalam pengaturan fungsi ovarium.7
Faktor genetik pada pasien SOPK diperkirakan terjadi penurunan autosomal
dominan atau terpaut-X. Selain itu, juga dilaporkan adanya penetrasi inkomplit,
penurunan poligenik, dan faktor epigenetik, mutasi tungal juga dapat menghasilkan
fenotip SOPK. Salah satunya adalah polimorfisme pada gen 17- hidroksilase atau
enzim CYP 17 yang berperan dalam produksi androgen. Lingkungan endokrin pada
perempuan dengan anovulasi kronik cenderung berada pada tahap stabil, yang berarti
konsentrasi gonadotropin dan steroid seks cenderung stabil. Hal ini berbeda dengan
konsentrasi siklik pada perempuan normal.8

2
Kelainan Androgen
Hiperandrogenisme adalah salah satu tanda pasien dengan SOPK, ini
diakibatkan produksi berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar 60- 80%
pasien dengan SOPK memiliki konsentrasi Testosteron yang tinggi di sirkulasi.
Androgen yang meningkat pada SOPK mencakup Testosteron, androstenedion,
dehidroepiandosteron (DHEA), dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan 17-
hidroksiprogesteron (17-OHP).
Peningkatan produksi androgen ovarium disebabkan oleh peningkatan
stimulasi bioaktivasi LH oleh insulin. Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang
tebal dan pada uji in vitro, ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah
besar pada keadaan basal maupun terhadap stimulasi LH. Belum diketahui penyebab
pasti hiperaktivitas ini, tetapi diperkirakan terdapat gangguan jalur sinyal intrasel.8
Gangguan Folikulogenesis
Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada ovarium polikistik
adalah 2-6 kali lebih banyak dibandingkan ovarium normal. Mekanisme yang
mendasari hal ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi tampaknya berhubungan dengan
gangguan signaling androgen. Pada beberapa penelitian dilaporkan adanya korelasi
positif antara jumlah folikel dengan kadar Testosteron dan androstenedion serum.
Selain efek androgen pada folikel, jumlah folikel yang berlebih juga
mempengaruhi laju perkembangan folikel. Pada SOPK, folikel berkembang dengan
lambat, yang mungkin disebabkan defisiensi sinyal pertumbuhan dari oosit atau efek
inhibisi AMH (Anti Mullerian Hormon) yang berlebih.
Folikel yang berlebih pada SOPK berhenti berkembang ketika diameternya
kurang dari 10 mm, yaitu pada tahap sebelum munculnya folikel dominan.
Berhentinya perkembangan folikel ( follicular arrest ) ini berhubungan dengan
stimulasi insulin yang berlebih, LH yang meningkat dan, lingkungan hiperandrogen,
yang menyebakan tingginya konsentrasi cAMP di dalam sel granulosa.
Kadar cAMP intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi terminal
sel granulosa sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini menyebabkan sel
granulosa bereaksi terhadap stimulasi LH untuk mensekresikan estrogen dan
progesteron ketika ukuran folikel ≤ 8 mm. Insulin juga meningkatkan respon sel
granulosa terhadap LH, yang ditunjukkan oleh adanya luteinisasi prematur pada
ovarium pasien SOPK dengan hiperinsulinemia.

3
Sel granulosa pada SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin selektif
dimana terjadi resistensi pada jalur metabolisme glukosa, tetapi tidak pada jalur
steroidogenesis. Gangguan metabolisme glukosa ini juga tampak berhubungan dengan
anovulasi pada SOPK.
Pada SOPK yang berovulasi, hanya terjadi hipersekresi androgen oleh folikel
sedangkan SOPK anovulasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen. Estrogen
dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut memberikan umpan
balik negatif terhadap FSH.8
Gangguan Sekresi Gonadotropin
Pada SOPK terjadi hipersekresi LH dengan kadar FSH yang normal atau
cenderung rendah sehingga rasio LH : FSH menjadi besar. Peningkatan kadar LH
disebabkan karena perubahan pola sekresi, terutama peningkatan frekuensi pulsatilitas
LH menjadi 1 pulsasi/jam. Kadar FSH yang lebih rendah disebabkan oleh
peningkatan kadar estradiol, estron, dan inhibin B.
Kadar FSH yang secara relatif lebih rendah menyebabkan gangguan
perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH meningkatkan produksi androgen pada
ovarium. Konsentrasi androgen yang tinggi pada SOPK menyebabkan desensitisasi
hipotalamus terhadap umpan balik negatif progesteron, yang bersifat reversibel bila
diberikan obat anti-androgen. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan sekresi
gonadotropin pada SOPK merupakan dampak sekunder dari gangguan sekresi steroid
pada ovarium atau kelenjar suprarenal.8

G
ambar 1. Perbandingan Gambaran kadar Hormon wanita ovulasi dengan wanita
SOPK anovulasi.8

4
Gangguan kerja Insulin
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada 50-75% penderita SOPK.
Penderita SOPK menunjukkan resistensi insulin perifer yang serupa dengan diabetes
tipe 2 dimana terjadi penurunan ambilan glukosa yang dimediasi insulin sebesar 35-
40%. Resistensi insulin yang terjadi pada SOPK bersifat selektif, artinya resiten pada
beberapa jaringan (seperti pada jaringan otot), tetapi sensitif pada jaringan lain
(seperti suprarenal dan ovarium).
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya
hiperandrogenisme dan gangguan sekresi gonadotropin dengan cara :
1. Menurunkan kadar sex-Hormon binding globulin (SHBG) sehingga meningkatkan
biovailabilitas Testosteron
2. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan kelenjar
suprarenal.
3. Meningkatkan potensi kerja LH sehingga bekerja secara sinergis untuk
meningkatkan produksi androgen.
4. Efek langsung pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk mengatur pelepasan
gonadotropin, mekanismenya belum jelas.8

Gambar 2. Hubungan Resistensi Insulin dan Hiperandrogen.8

5
Gambar 3. Dampak Resistensi insulin pada wanita SOPK.8
Sekitar 10-65% perempuan dengan SOPK mengalami kegemukan dan obesitas sentral
yang berdampak pada metabolisme insulin. Akan tetapi, resitensi insulin bukan
merupakan gambaran umum dari SOPK.8
Low Grade Chronic Inflammation
Istilah inflamasi kronik derajat rendah digunakan untuk menggambarkan
kondisi peningkatan beberapa sitokin inflamasi sebagai respon dari suatu stimulus.
Inflamasi kronis derajat rendah secara biokimiawi diartikan sebagai kondisi terjadinya
peningkatan 2-3 kali lipat konsentrasi mediator inflamasi seperti TNFα, IL-1, IL-6
dan C-Reactive Protein (CRP) di sirkulasi sistemik.
Berdasarkan berbagai penelitian inflamasi kronis derajat rendah memiliki
peran penting dalam progresifitas berbagai penyakit seperti diabetes dan penyakit
kardiovaskular. Pada sindrom ovarium polikistik, inflamasi kronis derajat rendah
berperan sebagai penghubung antara hiperandrogenisme, resistensi insulin, akumulasi
lemak tubuh, dan komplikasi jangka panjang penyakit.7
Teori Disbiosis of Gut Microbiota (DOGMA) pada SOPK
Salah satu karakteristik yang sering ditemukan pada SOPK adalah inflamasi
kronik derajat rendah. Tremellen dkk menyusun hipotesis yang menghubungkan
inflamasi kronik tersebut dengan gangguan pada mikroba usus, yang dinamakan teori
Dysbiosis of Gut Microbiota (DOGMA).
Dijelaskan bahwa terdapat dua mekanisme utama pada teori DOGMA, yaitu :

6
1. Diet tinggi lemak jenuh dan tinggi gula akan memacu pertumbuhan bakteri
patogen pada usus (Enterococcus, Clostridia, E. coli, Proteus, Pseudomonas) dan
menekan pertumbuhan bakteri “baik” (Bifidobacteria, Lactobacillus).
Dinding sel bakteri patogen gram negatif mengandung Lipopolisakarida (LPS)
yang dapat mengaktivasi respon inflamasi;
2. Diet tinggi lemak, tinggi gula, dan rendah serat dalam makanan dapat
meningkatkan permeabilitas mukosa usus. Hal ini menyebabkan “bocornya” LPS
dari usus ke dalam sirkulasi (endotoksemia metabolik) sehingga mencetuskan
respon inlamasi dan aktivasi makrofag, yang berujung pada terjadinya resistensi
insulin.7

Gambar 4. Teori DOGMA Pada Patogenesis SOPK.7


D. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan Sindroma Ovarium
Polikistik ( SOPK ) yaitu gangguan menstruasi, riwayat infertilitas, adanya riwayat
diabetes melitus dalam keluarga, riwayat ibu mengalami gangguan menstruasi,
gangguan mood, dan rendahnya aktivitas fisik. Sebagian besar pasien SOPK memiliki
riwayat gangguan menstruasi dan anovulasi. Riwayat penyakit diabetes melitus dalam
keluarga dan riwayat ibu yang pernah mengalami gangguan menstruasi juga
meningkatkan resiko SOPK yang cukup signifikan. Kurangnya aktivitas fisik
menyebabkan penumpukan lemak dan dapat berakibat pada terjadinya obesitas.
Obesitas menjadi salah satu faktor resiko terjadinya SOPK. Berdasarkan evaluasi
mental pada wanita SOPK didapati bahwa gangguan mood juga dapat meningkatkan

7
resiko SOPK. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah SOPK adalah dengan
menjalankan diet yang tepat dan rajin berolahraga.5
E. MANIFESTASI KLINIS
Sindroma Ovarium Polikistik adalah kondisi yang heterogen, gejala ini sering
muncul pertama kali pada masa remaja. Meskipun gejalanya bervariasi dalam tingkat
keparahannya dan juga dapat berubah seiring bertambahnya usia. Gambaran utama
pasien SOPK adalah menstruasi yang tidak teratur, akne vulgaris, hirsutisme,
alopecia, adipositas sentral dan gangguan kesuburan (infertilitas). Banyak gejala yang
terkait dengan SOPK telah terbukti mengarah pada penurunan kualitas hidup terkait
kesehatan dan mengakibatkan depresi dan kecemasan. Hal tersebut umumnya
dilaporkan pada wanita dengan SOPK, terlepas dari status berat badan. Meskipun
obesitas adalah ciri umum SOPK, wanita kurus juga berisiko lebih tinggi terhadap
penyakit ini jika dibandingkan dengan kontrol.5
F. DIAGNOSIS
Saat ini, kriteria diagnosis SOPK yang digunakan secara luas adalah kriteria
Rotterdam 2003, yaitu :
1.Oligo atau anovulasi
2. Hiperandrogenisme, baik secara klinis maupun biokimiawi
3. Gambaran polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi
Untuk mendiagnosis SOPK dibutuhkan minimal 2 dari 3 kriteria tersebut dan tidak
ditemukan kelainan – kelainan endokrin lainnya, seperti Congenital andrenal
hyperplasia (CAH), hiperprolaktinemia, kelainan tiroid, ataupun tumor yang
menghasilkan hormon androgen.8
Oligomenorea – amenorea dan/atau anovulasi
Gambaran SOPK ditemui pada 60 – 85% pasien dengan keluhan gangguan
menstruasi berupa oligomenorea dan amenorea. Consensus on Women’s Health
Aspects of PCOS menyatakan 90% perempuan dengan oligoamenorrhea atau
amenorrhea dapat didiagnosis dengan SOPK, dan hampir 95% perempuan dengan
SOPK mengeluhkan oligoamenorrhea atau amenorrhea. Pasien SOPK dengan
amenorrhea umumnya memiliki hiperandrogenisme berat dan jumlah folikel antral
lebih tinggi. Kondisi anovulasi terjadi akibat sekresi hormon gonadotropin yang tidak
sesuai, sehingga produksi hormon sehingga Luteinizing Hormone (LH) lebih tinggi
dibandingkan Follicle Stimulating Hormone (FSH).7

8
Hiperandrogenisme
Hiperandrogenisme pada SOPK dinilai secara klinis maupun biokimiawi.
a. Penilaian hiperandrogenisme secara klinis yaitu mencakup hirsutisme,
alopesia androgenik, akne, dan gejala lainnya, namun penilaian terutama
diperoleh dari hirsutisme.7 Hirsutisme adalah tanda kelebihan androgen
yang paling jelas dan merupakan gejala yang penting pada SOPK.
Penilaian hirsutisme dilakukan dengan menggunakan skor Ferriman-
Galwey yang dimodifikasi (mFG). Setiap area diberikan skor 0-4 dan
penilaian 9 area tersebut dijumlahkan. Skor ≤15 : hirsutisme ringan, skor
16-25 : hirsutisme sedang, dan skor ≥25 : hirsutisme berat.8

Gambar 5. Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG).8


b. Secara biokimia, hiperandrogenisme dilihat dari peningkatan di sirkulasi
kadar androgen, terutama testosteron, serta androgen lainnya yaitu
androstenedion, DHEA, dan DHEA – S. Testosteron bebas (free
testosterone) atau free androgen index - FAI) merupakan androgen yang
lebih sering digunakan dalam diagnosis hiperandrogenisme. Nilai FAI
dihitung dari total testosteron dalam nmol/L dibagi dengan kadar SHBG
dalam nmol/L x 100, dan dikatakan masuk dalam kriteria SOPK jika nilai
FAI > 5%. Berdasarkan sejumlah studi diketahui bahwa pemeriksaan
testosteron bebas lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan testosteron total
untuk menegakkan adanya hiperandrogenisme.7
9
Gambaran Ovarium Polikistik
Gambaran ovarium polikistik berdasarkan kriteria Rotterdam 2003 adalah
ditemukannya folikel sejumlah 12 atau lebih dengan diameter 2 – 9 mm pada masing
– masing ovarium dan/atau peningkatan volume ovarium (> 10ml).7

Gambar 6. Gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi.7


G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding PCOS yaitu hipotiroid, hiperprolaktinemia, hipertecosis, sindrom
Cushing, hiperplasia adrenal kongenital.9
H. TATALAKSANA
• TERAPI LINI PERTAMA : PERUBAHAN GAYA HIDUP DAN PENDEKATAN
FARMAKOLOGI
1. Perubahan Gaya Hidup dan Nutrisi
Perubahan gaya hidup merupakan langkah utama seperti pengaturan pola makan
dan olahraga mengingat obesitas menjadi faktor pencetus resistensi insulin dan
sindrom metabolik. Penurunan berat badan menurunkan sirkulasi androgen dan
insulin, memperbaiki lipid dan meningkatkan FSH, sehingga mengurangi gejala
fisik seperti hirsutisme, alopesia, jerawat, skin tags, menormalkan siklus
menstruasi, dan menstimulasi ovulasi. Keseimbangan energi negatif (dengan
defisit 350-1.000 kkal/ hari) menjadi faktor kunci penurunan berat badan dan
lemak, perbaikan siklus menstruasi, dan sensitivitas insulin, terlepas dari pola
dietnya. Dengan keseimbangan energi negatif didapatkan penurunan berat badan
yang signifikan (–4 kg) dan penurunan testosteron (–9 ng/ dL), insulin puasa (–5

10
mIU/ L), area under the curve (AUC) untuk insulin (–5.823 mIU/L. min), leptin
puasa (–11 ng / mL), AUC untuk leptin (–1.854 ng / mL. min), kolesterol total (–
22 mg/ dL), dan kolesterol low-density lipoprotein (LDL) (–12 mg / dL).
Defisiensi vitamin D juga sering terjadi pada pasien PCOS. Namun, penelitian
terkait pemberian vitamin D untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan
sensitivitas insulin masih terbatas.3
2. Pendekatan Farmakologi
- Anovulasi.
Clomiphene citrat masih menjadi pilihan terapi utama untuk menstimulasi
ovulasi pada kasus PCOS. Dosis awal adalah 50 mg/hari selama 5 hari sejak
haid hari ke-3. Bila terjadi ovulasi tetapi tidak terjadi pembuahan pada siklus
pertama dosis masih bisa dilanjutkan 50 mg/ hari pada siklus berikutnya.
Namun, bila pada siklus awal tidak terjadi ovulasi, pada siklus berikutnya
dosis bisa dinaikkan menjadi 100 mg/hari. Peningkatan dosis ini juga berisiko
memicu terjadinya resistensi clomiphene. Pemberian dapat diulang maksimal
6 siklus. Efek samping terapi ini adalah ovarian hyperstimulation syndrome
(OHSS), distensi, dan rasa tidak nyaman gastrointestinal, dan kehamilan
kembar atau lebih.3
- Obat Antidiabetes
Resistensi insulin disertai hiperinsulinemia memiliki peran penting terhadap
hiperandrogenemia dan resistensi insulin. Selain pemberian clomiphene,
pemberian antidiabetes yaitu metformin 3 x 500 mg/ hari meningkatkan
sensitivitas insulin perifer dengan mengurangi produksi glukosa di hati dan
meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Metformin juga
menurunkan kadar androgen pada wanita kurus dan wanita gemuk, sehingga
meningkatkan kemungkinan ovulasi spontan. Metformin secara signifikan
mengurangi indeks massa tubuh (IMT) dengan dosis >1500 mg/ hari dan
durasi pengobatan jangka panjang juga menunjukkan efek berkelanjutan pada
penurunan berat badan >8 minggu. Metformin efektif meningkatkan ovulasi
pada PCOS dengan OR 3,88 (95% CI 2,25 - 6,69) dibandingkan plasebo,
sedangkan kombinasi metformin dan clomiphene dengan OR 4,41 (95% CI
2,37 - 8,22) dibandingkan terapi clomiphene saja. Selanjutnya, pengobatan
metformin meningkatkan induksi ovulasi pada 46% wanita PCOS
dibandingkan 24% pada kelompok plasebo. Dalam terapi kombinasi
11
metformin dan clomiphene, 76% wanita mencapai ovulasi dibandingkan 42%
pada pengguna clomiphene saja. Namun, penelitian terbatas pada
kemungkinan peningkatan kelahiran hidup pada PCOS.3
- Aromatase Inhibitors
Aromatase inhibitor biasa digunakan sebagai terapi kanker payudara hormon
responsif, dan telah dipelajari untuk menginduksi ovulasi pada PCOS; secara
fungsional menekan produksi estrogen melalui stimulasi aksis hipotalamus-
pituitari yang berimplikasi meningkatkan gonadotropin-releasing hormone
(GnRH) and follicle stimulating hormone (FSH). Dibandingkan anastrozole,
penelitian terkait penggunaan letrozole lebih banyak. Berdasarkan hasil review
sistematik dan meta-analisis, letrozole meningkatkan tingkat ovulasi dan
kelahiran hidup secara signifikan serta menurunkan risiko kehamilan kembar
dibandingkan clomiphene citrate.3
- Kontrasepsi Oral
Regulasi pil KB mengatasi PCOS terutama dalam mengatur siklus menstruasi.
Obat-obatan ini juga mengurangi hirsutisme, jerawat, dan kadar androgen.
Kombinasi estrogen dan progestin adalah kontrasepsi oral primer yang
digunakan dalam pengobatan hirsutisme dan jerawat yang berhubungan
dengan PCOS. Meskipun datanya jarang, beberapa kontrasepsi oral baru yang
mengandung progestin antiandrogenik, seperti drosperenone dan dienogest
secara teoritik lebih efektif untuk mengobati gejala androgenik. Wanita
dengan hirsutisme biasanya menunjukkan perbaikan klinis setelah sekitar 6
bulan pengobatan dengan kontrasepsi oral.3
- Obat Kategori Lainnya
Medroxyprogesterone acetate 5-10 mg/hari selama 10-14 hari setiap bulan
bertujuan mengatasi pendarahan uterus disfungsional dan amenore pasien
PCOS yang tidak berencana hamil. Terapi progestin setiap bulan menekan
pertumbuhan dinding endometrium abnormal tetapi tidak menekan produksi
androgen ovarium. Terapi ini juga meningkatkan sensitivitas insulin dan
metabolisme lemak. Statin dapat mengatasi PCOS karena dapat menurunkan
kadar testosteron serta kolesterol lipoprotein (LDL-C), trigliserida, dan
kolesterol total.3

12
• TERAPI LINI KEDUA : PEMBERIAN GONADOTROPIN DAN BEDAH
LAPAROSKOPI OVARIUM
- Gonadotropin
Pemberian hormon gonadotropin eksogen, yaitu kombinasi follicle-stimulating
hormone (FSH) atau human menopausal gonadotropin (HMG).Mekanisme
kerja hormon gonadotropin adalah menstimulasi ovulasi dan memaksimalkan
perkembangan folikel. Berbeda dengan clomiphene, terapi gonadotropin tidak
mencetuskan antiestrogenik perifer sehingga meningkatkan kemungkinan
pematangan folikel yang multipel, meningkatkan kejadian hyperstimulation
syndrome (OHSS) dan kehamilan multipel dibandingkan clomiphene,
sehingga perlu diawasi pemberiannya yang dimulai dari dosis rendah yaitu
3,75-7,5 IU/hari. Evaluasi dilakukan setiap minggu dengan bantuan USG dan
dipertimbangkan peningkatan dosis 50% bila tidak ada folikel yang
berkembang. Penurunan dosis juga dilakukan 50% jika pasien telah mencapai
respons perkembangan folikel yang maksimal.3
- Bedah laparoskopi ovarium
Bedah laparoskopi ovarium juga dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua
tetapi merupakan metode invasif dan memerlukan anastesi umum. Terapi ini
dipilih untuk pasien yang sulit dipantau dengan terapi gonadotropin.
Kelebihan terapi ini dibandingkan terapi gonadotropin mengurangi risiko
kehamilan multipel. Terapi ini lebih efektif pada pemeriksaan awal hormon
LH yang tinggi, karena didapatkan penurunan hormon LH dan androgen yang
bermakna setelah terapi. Siklus menstruasi yang teratur setelah terapi pada 63-
85% wanita dan meningkatkan kesuburan.3

• TERAPI LINI KETIGA : IN VITRO FERTILIZATION (IVF)

- IVF merupakan pilihan bila terjadi kegagalan terapi lini pertama dan kedua.
Biasanya IVF menjadi pilihan pada kelainan berat pada perempuan
(endometriosis, obstruksi tuba, dan kelainan obstetri lain yang mengganggu
kesuburan) dan laki-laki (azoospermia dan kelainan kesuburan pria). Sindrom
hiperstimulasi ovarium (OHSS) adalah efek samping umum terapi
gonadotropin. OHSS adalah kumpulan gejala jika ovarium bereaksi berlebihan
dan menghasilkan terlalu banyak kantung telur (folikel). IVF merupakan
transfer embrio tunggal pada endometrium, sehingga merupakan alternatif
13
untuk mengurangi kemungkinan komplikasi tersebut. Protokol yang dapat
dipilih sebelum tindakan IVF di antaranya kombinasi atau dosis tunggal
clomiphene, human menopausal gonadotropins (hMG), rekombinan FSH,
agonis GnRH, dan antagonis GnRH. Protokol yang paling sering dipilih yaitu
desensitisasi FSH yang dimulai pada fase awal, tengah, dan akhir luteal untuk
mengawali siklus dari fase folikel hingga pemberian hCG. Keberhasilan IVF
pada PCOS sama dengan pasien tanpa PCOS yang menandakan PCOS sama
sekali tidak mengganggu proses implantasi embrio.3
• Pengobatan alternatif
Bebagai modalitas pengobatan alternatif antara lain kinesiologi, herbalisme,
homeopati, refleksiologi, akupresur, akupuntur, induksi ovulasi, dan terapi pijat.1
Akupunktur merupakan modalitas yang paling umum dan terbukti dapat mengatur
siklus menstruasi pasien PCOS, menurunkan berat badan, memperbaiki suasana hati,
dan mengurangi nyeri kepala.1 Aplikasi jarum akupunktur dapat meningkatkan
aliran darah, menstimulasi organ, berkontribusi menormalkan kadar hormon, dan
meningkatkan fungsi sistem reproduksi. Penelitian di Universitas Göteborg di
Swedia (2000) melibatkan 24 wanita PCOS yang menerima akupunktur selama 2-3
bulan. Pada akhir penelitian, sembilan (38%) mengalami ovulasi teratur. Namun,
hasil berlawanan ditemukan pada pasien yang memiliki kadar testosteron dan insulin
tinggi serta obesitas.3
I. KOMPLIKASI
Komplikasi PCOS dapat meliputi infertilitas, Diabetes gestasional atau
tekanan darah tinggi yang diinduksi kehamilan, Keguguran atau kelahiran prematur,
Steatohepatitis nonalkohol (peradangan hati parah yang disebabkan oleh akumulasi
lemak di hati), Sindrom metabolik, Diabetes tipe 2 atau pradiabetes, sleep apnea,
Depresi, kecemasan dan gangguan makan, Perdarahan uterus abnormal, kanker
endometrium.10

14
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) atau Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)


merupakan gangguan endokrin pada wanita usia reproduktif yang ditandai dengan
menstruasi yang tidak teratur, hiperandrogenisme, dan polikistik ovarium.

PCOS dipengaruhi oleh beberapa faktor ekstra ovarian, seperti obesitas, resistensi
insulin, dan faktor lingkungan. Terapi nonfarmakologi terpenting adalah perubahan pola
hidup dengan mengurangi berat badan dan berolahraga. Terapi farmakologi pilihan
pertama adalah clomiphene citrat yang kadang dikombinasi dengan metformin, aromatase
inhibitor letrozole. Pasien yang belum berencana hamil bisa menggunakan pil kontrasepsi
untuk mengatur siklus menstruasi. Terapi lini kedua terdiri dari terapi gonadotropin dan
bedah laparoskopi ovarium. Terapi lini ketiga in vitro fertilization. Terapi alternatif dapat
dipertimbangkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Maggyvin E, Barliana MI. 2019. Literature Review : Inovasi Terapi Polycystic Ovary
Syndrome (Pcos) Menggunakan Targeted Drug Therapy Gen Cyp19 Rs2414096.
Farmaka. 2019;17(1):107–18.

2. Mareta R, Amran R, Larasati V. 2018. Hubungan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)


dengan Infertilitas di Praktik Swasta Dokter Obstetri Ginekologi Palembang. Majalah
Kedokteran Sriwijaya [Internet]. 2018;50(2):85–91. Available from:
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/8552

3. Dewi NLPR. 2020. Pendekatan Terapi Polycystic Ovary Syndrome (PCOS). Cerminan
Dunia Kedokteran. 2020;47(9):703–5.

4. Sirait BI. 2018. Sindroma Ovarium Polikistik dan Infertilitas. Jurnal Ilmu WIDYA
[Internet]. 2018;5(3):1–6. Available from:
http://repository.uki.ac.id/id/eprint/1691%0Ahttp://inajog.com/index.php/journal/
article/view/849

5. Nathaniel, J. 2021. Tingkat Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Mahasiswi Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tentang Tanda Dan Gejala Sindroma
Ovarium Polikistik. Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

6. Cioana M, Deng J, Nadarajah A, Hou M, Qiu Y, Chen SSJ, et al. Prevalence of


Polycystic Ovary Syndrome in Patients with Pediatric Type 2 Diabetes: A Systematic
Review and Meta-analysis. JAMA Netw Open. 2021;5(2):E2147454.

7. POGI. 2016. Konsensus tata laksana sindrom ovarium polikistik. Jakarta :


Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

8. Giovanni, M. 2016. INDUKSI OVULASI PADA PASIEN SINDROMA OVARIUM


POLIKISTIK ( SOPK ). Denpasar : RSUP Sanglah Denpasar

9. Sheehan MT. Polycystic ovarian syndrome: diagnosis and management. Clin Med Res.
2004;2(1):13–27.

10. Mayo Clinic (2020). Diseases & Conditions. Polycystic Ovary Syndrome (PCOS).

Anda mungkin juga menyukai